T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Modal Sosial pada Buruh Gendong dengan Pedagang dan Pembeli di Sub Terminal Agribisnis Jetis Bandungan T1 BAB II

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Teori Modal Sosial
Menurut Piere Bourdieu, definisi modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual
atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki
jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang
sedikit banyak terinstitusionalisasikan (Field, 2011:23). James Coleman mendefinisikan
social capital yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai

tujuan-tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi (dalam Fukuyama,
2007:12). Robert D. Putnam, mendefinisikan modal sosial adalah bagian dari kehidupan
sosial seperti jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak
bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama (dalam Field, 2011:
51).
Francis Fukuyama (2002:22)

mendefinisikan modal sosial secara sederhana

sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di
antara para anggota-anggota suatu kelompok memungkinkan terjalinnya kerja sama di

antara mereka. Jika para anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota
yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai.
Jika orang-orang yang bekerja sama dalam sebuah perusahaan saling mempercayai dan
bekerja menurut serangkaian norma etis bersama, maka berbisnis hanya memerlukan
sedikit biaya (Fukuyama, 2007: 38).
Michael Wollcock (dalam Dwi Rajibianto, 2010) membedakan tiga tipe modal
9

sosial yaitu sebagai berikut :
1) Sosial Bounding : berupa kultur nilai, kultur persepsi dan tradisi atau adat istiadat.

Modal sosial dengan karateristik ikatan yang kuat dalam suatu siistem
kemasyarakatan di mana masih berlakunya system kekerabatan dengan system
klen yang mewujudkan rasa simpati, berkewajiban, percaya resiprositas dan
pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yang dipercaya. Tradisi merupakan tata
kelakuan yang kekal serta memiliki integrasi

kuat dalam pola perilaku

masyarakat mempunyai kekuatan mengikat dengan beban sangsi bagi

pelanggrnya.
2) Social Bridging : berupa institusi maupun mekanisme yang merupakan ikatan

sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karateristik kelompoknya.
Dapat dilihat pula adanya keterlibatan umum sebagai warga Negara, asosiasi, dan
jaringan.
3) Social Linking : berupa hu ungan/jaringan sosial dengan adanya hubungan

diantara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam
masyarakat.
Abdullah (dalam Suwartiningsih, Sri& Prananingrum, Dyah Hapsari, 2009 :43)
mengidentifikasi tiga bentuk modal sosial yamg ada dalam masyarakat yaitu:
1.

Ideologi dan tradisi lokal yang mengacu pada paham tertentu dalam menyikapi hidup
dan menentukan tatanan sosial. Hal ini dpat berupa kepercayaan setempat yang
merupakan basis bagi legitimasi tindakan sosial; ajaran yang menjadi sistem acuan
dalam tinglah laku yang terwujud; etika sosial

yang mengatur hubungan antar


manusia dengan manusia atau lingkungan; etos kerja; nilai tradisi; dan norma yang

10

merupakan perangkat aturan tinglah laku.
2.

Hubungan dan jaringan sosial yang merupakan pola-pola hubungan antara orang dan
ikatan sosial dalam suatu masyarakat seperti kerbat atau ikatan ketetanggaan.

3.

Jaringan terdapat dalam masyarakat, menjangkau institusi lokal yang berfungsi bagi
kepentingan kelompok dan masyarakat. Ini dapat berupa kelembagaan adat atau
pranata sosial yang berperan secara langsung ataupun tidak langsung.
Dari ketiga bentuk modal social yang ada, dapat disimpulkan bahwa semua bentuk
modal sosial berjalan bersama dan saling melengkapi. Konsep modal sosial merujuk
pada hubungan sosial, institusi, norma sosial dan saling percaya antara orang atau
kelompok lain serta mempunyai dampak positif terhadap peningkatan kehidupan

dalam komunitas.
Hasbullah (dalam Niken Handayani, 2006) bahwa : Modal Sosial adalah kemampuan

masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu
jaringan guna mencapai suatu tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu
pola interrelasi yang imbal balik dan saling menguntungkan, dan dibangun diatas
kepercayaan yang ditopang oleh normanorma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat.
Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan
hubungan diatas prinsip-prinsip imbal balik, saling menguntungkan dan dibangun diatas
kepercayaan.
Oleh karenanya, Modal sosial adalah salah satu faktor peran penting dalam relasi
antara manol, pedagang sayur dan pembeli sayur di STA Jetis, Bandungan, Kabupaten
Semarang dan mempengaruhi kelancaran kegiatan ekonomi. Modal sosial yang terjadi
antara manol dengan pedagang dan pembeli yang dimaksudkan diatas adalah seperti

11

kepercayaan, jaringan sosial, dan norma sosial. Dengan adanya modal sosial
memungkinkan terjalinnya kerja sama dan membentuk kerukunan dari manol dan
pedagang serta pembeli. .

Modal sosial terletak pada kemampuan masyarakat yang dalam penelitian ini
adalah manol dan pedagang sayuran serta pembeli untuk bekerjasama membangun suatu
jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama bersifat timbal balik dan saling
menguntungkan. Kerjasama yang terjadi dibangun berdasar atas kepercayaan yang
didukung oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang kuat.
Modal sosial adalah sumber-sumber daya yang berkembang pada seseorang
individu atau sekelompok individu seperti kepercayaan, norma-norma sosial, dan
jaringan sosial yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Adapun tiga
unsur modal sosial tersebut, yaitu:
2.1.1.

Kepercayaan
Fukuyama (2002:24) mendefinisikan kepercayaan yaitu norma-norma
kooperatif seperti kejujuran dan kesediaan untuk menolong yang bisa dibagi-bagi
antara kelompok-kelompok terbatas masyarakat dan bukan dengan yang lainnya
dari masyarakat atau dengan lainnya dalam masyarakat yang sama. Jika para
anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggotanya yang lain akan
berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai.
Fukuyama (2002:72) mengatakan bahwa kepercayaan adalah efek samping yang
sangat penting dari norma-norma sosial yang kooperatif


yang memunculkan

social capital. Jika masyarakat bisa di andalkan untuk tetap menjaga komitmen,

norma-norma saling menolong yang terhormat, dan menghindari perilaku

12

oportunistik, maka berbagai kelompok akan terbentuk secara lebih cepat, dan
kelompok yang terbentuk itu akan mampu mencapai tujuan-tujuan bersama secara
lebih efisien.
Menurut Fukuyama (2002:75) kepercayaan seharusnya di ingat dalam
dirinya sendiri bukan merupakan kebajikan moral, tetapi lebih merupakan efek
samping dari kebajikan. Kepercayaan muncul ketika masyarakat saling berbagi
norma-norma kejujuran dan ketersediaan untuk saling menolong dan oleh
karenanya mampu bekerja sama satu dengan yang lain. Kepercayaan dihancurkan
oleh sikap mementingkan diri sendiri yang eksesif atau oportunisme. Maka dari
itu, kepercayaan dapat membuat orang-orang bisa bekerja sama secara lebih
efektif karena bersedia menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan

individu.
Mollering (dalam Arya Hadi Dharmawan, 2002) merumuskan enam fungsi
penting kepercayaan (trust) dalam hubungan-hubungan sosial-kemasyarakatan
yaiu sebagai berikut :
 Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah psikologis
individual. Sikap ini akan mendorong orang berkeyakinan dalam
mengambil satu keputusan setelah memperhitungkan resiko-resiko yang
ada. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama
atas tindakan sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan
legitimasi kolektif.
 Kerja sama, yang berarti pula sebagai proses sosial asosiatif dimana trust
menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan antar individu tanpa

13

dilatarbelakangi rasa saling curiga. Selanjutnya, semangat kerja sama akan
mendorong integrasi sosial yang tinggi.
 Penyederhanaan pekerjaan, di mana trust membantu meningkatkan
efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaankelembagaan sosial. Pekerjaan
yang menjadi sederhana itu dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang

bisa jadi akan sangat mahal sekiranya pola hubungan sosial dibentuk atas
dasar moralitas ketidakpercayaan.
 Ketertiban. Trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu,
yang ikut menciptakan suasana kedamaian dan meredam kemungkinan
timbulnya

kekacauan

sosial.

Dengan

demikian,

trust

membantu

menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab.
 Pemelihara kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan setiap

komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan
yang tidak tercerai-berai.
 Modal sosial. Trust adalah aset penting dalam kehidupan kemasyarakatan
yang menjamin struktur-struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi
secara operasional serta efisien.
Kepercayaan sebagai pengikat masyarakat dalam membentuk modal sosial
yang berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut. Hubungan
manol dan pedagang serta pembeli dalam melakukan transaksi yang sama-sama

mengharapkan adanya kejujuran. Kepercayaan tidak dapat muncul dengan seketika,
melainkan membutuhkan proses dari hubungan antara pelaku usaha yang sudah
lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama.

14

2.1.2.

Jaringan Sosial
Salah satu pengertian jaringan dikemukakan oleh Robert M.Z. Lawang,
jaringan merupakan terjemahan dari network yang berasal dari dua suku kata

yaitu net dan work. Net berarti jaring, yaitu tenunan seperti jala, terdiri dari
banyak ikatan antar simpul yang saling terhubung antara satu sama lain. Work
berarti kerja. Jadi network yang penekanannya terletak pada kerja bukan pada
jaring, dimengerti sebagai kerja dalam hubungan antar simpul-simpul seperti
halnya jaring. Berdasarkan cara pikir tersebut, maka jaringan (network) menurut
Robert M. Z. Lawang (dalam Damsar, 2011: 157-158) dimengerti sebagai:
o Ada ikatan antar simpul (orang/kelompok) yang dihubungkan dengan
media (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikatkan dengan
kepercayaan. Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat
kedua belah pihak.
o Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media
hubungan sosial menjadi satu kerja sama bukan kerja bersama-sama.
o Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar
simpul itu pasti kuat menahan beban bersama dan malah dapat
“menangkap ikan” lebih banyak.
o Dalam kerja jaring itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri.
Jika satu simpul saja putus maka keseluruhan jaring itu tidak bisa
berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi satu
kesatuan dan ikatan yang kuat. Dalam hal ini analogi tidak seluruhnya
tepat terutama kalau orang yang membentuk jaring itu hanya dua saja.


15

o Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan atau antara
orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan.
o Ikatan atau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga
bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan studi jaringan sosial
melihat hubungan antar individu yang memiliki makna subyektif yang
berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul atau ikatan. Simpul
dilihat melalui aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan merupakan
hubungan antar para aktor tersebut.
Fukuyama (2002: 324) mendefinisikan jaringan sebagai sekelompok agenagen individual yang berbagi norma-norma atau nilai-nilai informal melampaui
nilai-nilai atau norma-norma yang penting untuk transaksi-transaksi pasar biasa.
Jaringan memberikan dasar bagi kohesi sosial karena mendorong orang bekerja
sama satu sama lain dan tidak sekedar dengan orang yang mereka kenal secara
langsung untuk memperoleh manfaat timbal balik (Field, 2010: 18).
“Social capital is defined as resources embedded in one’s social networks.
Resources, that can be accessed or mobilized through ties in the networks”
(Modal sosial didefinisikan sebagai sumber daya yang tertanam dalam jaringanjaringan sosial seseorang, sumber daya dapat diakses atau dimobilisasi melalui
hubungan dalam jaringan-jaringan).
Granovetter

(dalam

Damsar,

1997:43-44)

menjelaskan

adanya

keterlekatan perilaku ekonomi dalam hubungan sosial di mana melalui jaringan
sosial yang terjadi dalam kehidupan ekonomi. Pada tingkatan antar individu,

16

jaringan sosial dapat didefinisikan sebagai rangkaian hubungan yang khas di
antara sejumlah orang dengan sifat tambahan, yang ciri-ciri dari hubungan ini
sebagai keseluruhan, yang digunakan untuk menginterprestasikan tingkah laku
sosial dari individu-indvidu yang terlibat.
Granovetter (dalam Ritzer, 2010: 470-47) membedakan antara “ikatan
kuat dan lemah”. Ikatan kuat misalnya hubungan antara seseorang dan teman
karibnya, dan ikatan lemah misalnya hubungan antara seseorang dan kenalannya.
Ikatan lemah dapat menjadi sangat penting, seorang individu tanpa ikatan lemah
akan merasa dirinya terisolasi dalam sebuah kelompok yang ikatannya sangat kuat
dan akan kekurangan informasi tentang apa yang terjadi di kelompok lain ataupun
masyarakat luas. Granovetter juga menegaskan bahwa ikatan yang kuat pun
mempunyai nilai, misalnya orang mempunyai ikatan memiliki motivasi lebih
besar untuk saling membantu dan lebih cepat untuk saling memberikan bantuan.
Analisis jaringan sosial memperkenalkan dua konsep baru dalam mengkaji
struktur sosial yang memusatkan perhatian pada hubungan sosial (Ruddy
Agusyanto, 2007:59). Pertama , analisis jaringan sosial memperkenalkan suatu
konsep untuk mengkaji perilaku atau tindakan manusia, yang mana manusia
selalu dilihat dalam suatu proses interaksi sosial; manusia yang satu memanipulasi
manusia-manusia lainnya. Dalam hal ini, analisis jaringan sosial seolah-olah
mengindikasikan bahwa seseorang (person) tergantung kepada orang lain dan
tidak kepada sesuatu yang abstrak. Kedua , analisis jaringan sosial berusaha
memfokuskan perhatian kepada proses internal dan dinamika yang inheren di
dalam hubungan hubungan sosial atau saling ketergantungan umat manusia.

17

Fukuyama (2002:332) menjelaskan bahwa melalui hubungan persahabatan
atau pertemanan pun, dapat diciptakan jaringan yang memberikan saluran-saluran
alternatif bagi aliran informasi dan ke dalam sebuah organisasi. Jaringan dengan
kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada dalam
jaringan dengan kepercayaan rendah (Field, 2010:103). Individu yang mengalami
pengkhianatan dari mitra dekat akan mengetahui betapa sulit menjalin kerja sama
tanpa dilandasi kepercayaan.
Terjadinya sebuah jaringan sosial itu tidak terlepas dari komunikasi yang
menghasilkan sebuah interaksi sosial. Dengan demikian jaringan ini memfasilitasi
terjadinya komunikasi, interaksi dari manul dan pedagang menimbulkan atau
menumbuhkan kepercayaan dan kerja sama antara kelompok ini.
Proses untuk pembentukan jaringan sosial adalah dengan terjadinya
sebuah komunikasi. Jaringan dibangun atas simpul yang ada yaitu peran modal
sosial antara manol, SPTI

dan pedagang sayur di STA Jetis, Bandungan,

Kabupaten Semarang dengan memperluas jaringan sosial dengan berkomunikasi.
2.1.3.

Norma Sosial
Norma merupakan sekumpulan aturan yang yang dipatuhi dan dijalankan
oleh masyarakat walau tidak tertulis. Aturan-aturan kolektif tersebut di pahami
oleh semua anggota masyarakat dan terdapat sangsi sosial untuk mencegah
individu melakukan suatu hal yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto : ’’norma merupakan kesepakatan bersama
yang berperan untuk mengontrol dan menjaga hubungan antara individu dengan

18

individu lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Norma-norma masyarakat
merupakan patokan untuk bersikap dan berperilaku secara pantas yang berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan dasar, yang mengatur pergaulan hidup dengan
tujuan untuk mencapai suatu tata tertib’’.

Norma biasanya dibangun, tumbuh, dan dipertahankan untuk memperkuat
masyarakat itu sendiri. Norma-norma sosial diciptakan secara sengaja. Dalam
pengertian bahwa orang-orang yang memprakarsai/ikut mempertahankan suatu
norma merasa diuntungkan oleh kepatuhannya pada norma dan merugi karena
melanggar norma (Coleman, 2009: 333)
Douglass North (dalam Fukuyama, 2002: 243) menjelaskan bahwa normanorma sangat penting untuk mengurangi biaya-biaya transaksi. Jika kita tidak
memiliki norma, maka kita mungkin harus merundingkan aturan-aturan
kepemilikan atas dasar kasus per kasus, sebuah situasi yang tidak kondusif bagi
pertukaran pasar, investasi, maupun pertumbuhan ekonomi. Dalam cabang
ekonomi terdapat teori permainan yang menjelaskan munculnya norma-norma
sosial. Secara sederhana teori permainan dapat digambarkan sebagai berikut:
“....bahwa kita semua dilahirkan ke dunia bukan sebagai oversosialized
communitariant-nya Dennis Wrong dengan banyaknya ikatan-ikatan dan

kewajiban-kewajiban sosial terhadap yang lain, tetapi lebih sebagai indvidu yang
terisolasi dengan segulung hasrat atau preferensi mementingkan diri sendiri.
Dalam banyak hal, kita bisa memuaskan preferensi-preferensi itu secara lebih
efektif jika kita bekerja sama dengan orang lain, dan oleh karenanya harus
mengembangkan norma-norma negosiasi kooperatif yang mengatur berbagai

19

interaksi sosial” (Fukuyama, 2002: 244).
Dalam hal ini norma-norma menjaga hubungan sosial antara manol
dengan pedagang dan pembeli. Kepatuhan pelaku pasar terhadap norma-norma
sosial yang telah disepakati dapat meningkatkan solidaritas dan mengembangkan
kerja sama dengan mengacu pada norma-norma sosial yang menjadi patokan dan
sesuai kesepakatan mereka.
2.2 Buruh Gendong
Peningkatan perekonomian memberikan kontribusi dalam menciptakan dan
memperluas lapangan pekerjaan. Perluasan lapangan pekerjaan menimbulkan persaingan
yang ketat dan tentunya menuntut pendidikan, skill serta kreatifitas yang tinggi. Namun
hal ini menyebabkan tersingkirnya mereka yang berpendidikan rendah dan kemudian
beralih pada sektor informal demi menjamin kehidupannya. Sebagian sektor informal
yang di pilih adalah pekerja atau buruh gendong.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata buruh didefinisikan sebagai orang
yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah/pekerja. Buruhpun di bagi ke dalam
beberapa jenis yaitu sebagai berikut:
1. Buruh Harian: buruh yang menerima upah berdasarkan hari masuk kerja.
2. Buruh Kasar: buruh yang menggunakan tenaga fisiknya karena tidak mempunyai
keahlian di bidang tertentu.
3. Buruh Musiman: buruh yang bekerja hanya pada musim-musim tertentu (misalnya
buruh tebang tebu).
4. Buruh Pabrik: buruh yang bekerja di pabrik.
5. Buruh Tambang: buruh yang bekerja di pertambangan.

20

6. Buruh Tani: buruh yang menerima upah dengan bekerja di kebun atau di sawah
orang lain.
7. Buruh Terampil: buruh yang mempunyai keterampilan di bidang tertentu.
8. Buruh Terlatih: buruh yang sudah dilatih untuk keterampilan tertentu.
Bila dilihat berdasarkan pengertian di atas maka, buruh gendong pada pasar Jetis
Bandungan dapat di kategorikan dalam buruh kasar karena menggunakan tenaga fisik
dalam melakukan pekerjaannya. Dengan demikian buruh gendong pada penelitian ini
adalah pekerja yang dibayar tenaganya dengan jumlah yang telah di sepakati bersama
untuk mengangkut barang dalam hal ini komoditas dagangan yaitu sayur-sayuran sesuai
permintaan pedagang (pedagang sebagai penyewa yang membayar upah).
2.3 SPTI (Serikat Pekerja Transport Indonesia) Cabang Bandungan
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja disebutkan
bahwa buruh atau pekerja merupakan mitra pengusaha yang sangat penting dalam proses
produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya,
menjamin kelangsungan perusahaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia pada umumnya.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga mengatur mengenai serikat pekerja,
diantaranya yaitu adalah:
1) Setiap pekerja memiliki hak untuk membentuk dan menjadi anggota sebuah
serikat buruh. Serikat buruh berhak menarik dan mengelola dana dan
mempertanggungjawabkan keuangan serikat, termasuk penyediaan dana untuk
aktifitas mogok kerja.
2) Adanya sebuah perjanjian kesepakatan kerja bersama dibuat antara serikat buruh

21

atau beberapa serikat buruh yang sudah tercatat di lembaga pemerintahan yang
bertanggung jawab atas urusan ketenagakerjaan dan pengusaha atau beberapa
pengusaha.
3) Mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari
gagalnya perundingan. Artinya buruh memiliki hak untuk melakukan mogok kerja
bila pada perundingan antara buruh dan penyewa jasa mereka(misal: pengusaha)
tidak mencapai suatu kesepatan. Namun, mogok kerja yang dilakukan haruslah
mengikuti prosedur Undang-Undang yang berlaku serta tidak menggangu
ketertiban dan keamanan umum.
Demikian adanya

sehingga peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia

dapat diwujudkan melalui pembentukan serikat pekerja atau serikat buruh. Hal ini
menjadi dasar atau acuan terbentuknya SPTI yang merupakan seperangkat aturan atau
norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan kerja anatara
pengusaha/pedagang dan buruh/pekerja.
SPTI sebagai suatu lembaga yang menaungi para buruh dalam hal ini buruh
gendong di STA Jetis Bandungan mempunyai fungsi dan tanggungjawab untuk
mengayomi dan membantu meningkatkan kesejahteraan anggota (manol) dan
keluarganya (keluarga inti/yang tinggal seatap). Oleh karenanya dalam menjalankan tugas
ini SPTI cabang Bandungan bertindak tegas yakni hanya manol yang bisa melakukan
pekerjaan mengangkut barang sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah di atur.
Persyaratannya antara lain harus mendaftarkan diri agar mendapatkan Kartu Tanda
Anggota (KTA) dengan memberikan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, dan uang
pendaftaran yang besarannya telah ditentukan.

KTA manol berlaku selama 3 tahun

22

dengan upah Rp. 2500/keranjang/gendong. SPTI juga mengatur penempatan posisi manol
serta bekerja pada shift siang atau malam. Posisi manol di tempatkan sesuai dengan
kebutuhan blok-blok mana yang membutuhkan banyak tenaga. Blok-blok tersebut diatur
sesuai dengan jenis dan sumber komoditas dagangan sehingga tidak terjadi kekurangan
tenaga ataupun masalah dengan pedagang saat pedagang membutuhkan tenaga manol dan
juga tidak terjadi konflik karena saling berebut gendongan antar manol. Dengan
demikian,sangat membantu dalam pendapatan manol secara ekonomi.
Selain itu juga, SPT mendirikan dan menjalankan koperasi yang masih berjalan
dan terus berkembang hingga sekarang yaitu koperasi Gotong Royong Maju Makmur.
2.4 Penelitian Terdahulu
Telah banyak penelitian-penelitian sosial mengenai modal sosial yang telah
dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut dapat dijadikan pembanding dengan penelitian
yang ditentukan oleh peneliti. Adapun beberapa penelitan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Studi Modal Sosial Pedagang Dalam Meningkatkan Daya Saing Pasar
(Fatimah, 2012). Penelitian berfokus pada pemanfaatan modal sosial yang digunakan
oleh Forum Silatuhrahmi Paguyuban Pedagang Pasar Tradisional (FSP3Y) dalam
meningkatkan daya saing pasar tradisional. Modal sosial juga digunakan terhadap
penyelesaian permasalahan bersama guna meraih kepentingan bersama para pedagang
tradisional. Penelitian ini mengunakan metode penelitian kualitatif berupa studi kasus
dengan perspektif fenomenologi.
Dalam penelitian ini menghasilkan bahwa modal sosial FSP3Y dimanfaatkan dalam
berbagai inovasi kegiatan seperti Promo Pasar dan Belanja Berhadiah, Penerbitan Warta
Pasar Jogja, kemandirian pedagang dalam memperbaiki tampilan dagangannya, serta

23

sikap proaktif pedagang dalam menyuarakan aspirasinya. Dalam berbagai kegiatan
tersebut, FSP3Y bekerja sama dengan banyak pihak seperti pemerintah, sponsor kegiatan,
relawan pengelola Warta Pasar Jogja, dan Sekolah Pasar PUSTEK UGM. Dimensi
jejaring, trust, dan solidaritas tercipta dari kerjasama yang dilakukan dalam pelaksanaan
kegiatan tersebut. Selain itu, aksi kolektif, tindakan politik, dan pemberdayaan dilakukan
pedagang untuk memperbaiki citra pasar dan memperjuangkan eksistensi mereka dalam
berusaha. Selain itu, adanya pemanfaatan media untuk berpromosi, pengadaan sarasehan
sebagai tempat pertukaran informasi, pengetahuan dagang, dan prospek bisnis. Namun,
belum semua pedagang berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan oleh FSP3Y karena
belum semua menyadari pentingnya pengembangan usaha secara mandiri.
Kedua, Modal Sosial Pedagang Kaki Lima Di Jalan Gambir Tanjungpinang
(Studi PKL sayur-sayuran) oleh Ichsan Pramatya, 2013. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif deskriptif. Penelitian berfokus pada mengetahui kepercayaan (trust)
yang terbentuk di antara sesama Pedagang Kaki Lima Sayur-sayuran di Jalan Gambir
Tanjungpinang dan untuk mengetahui hubungan timbal balik antar Pedagang Kaki Lima
di Jalan Gambir Tanjungpinang. Modal sosial menjadi salah satu unsur pendorong dalam
meningkatkan serta mempertahankan usaha ekonomi. Hasil penelitianini adalah
menemukan bahwa adanya nilai modal sosial yang terbentuk dan terjalin diantara
pedagang dari aturan-aturan informal yang berlaku di kelompok pedagang yang mampu
mereka patuhi bersama, meskipun tidak ada perjanjian tertulis, sehingga aturan-aturan
informal tersebut menjadi norma-norma tersendiri yang berkembang serta dilaksanakan
secara bersama-sama; dengan demikian memperlihatkan rasa saling percaya (trust), dan
adanya jaringan-jaringan sosial (sosial networking).

24

Ketiga, Strategi Hidup Buruh Porter Di Stasiun Tawang Kota Semarang (Asep
Rakhmat R, 2015). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian berfokus
untuk mengetahui alasan yang melatarbelakangi seseorang dalam memilih pekerjaan
sebagai buruh porter di Stasiun Tawang, serta berfokus juga untuk mengetahui dan
mendeskripsikan strategi hidup buruh porter Stasiun Tawang Semarang. Hasil penelitian
menemukan bahwa bentuk strategi hidup yang digunakan para buruh porter yang adalah
berhutang, adanya jaringan yang baik dan bekerja sambilan. Strategi hidup yang
digunakan oleh buruh porter dalam kehidupannya adalah menggunakan rasa saling
percaya satu sama lain antar buruh porter, adanya jaringan yang baik yang melahirkan
solidaritas yang kuat antar para buruh porter, sehingga hubungan timbal balik dalam
kehidupan buruh porter sangatlah penting.
Keempat, Peran Modal Sosial Terhadap Keberlangsungan Usaha Pedagang Burjo
Di Salatiga (Pandi, 2016). Penelitian menggunakan metode kualitatif. Peneltian Pandi
memiliki fokus kajian pada keberlangsungan usaha melalui modal sosial dengan unit
amatan pedagang Burjo di Salatiga. Hasil penelitian yang ditemukan adalah modal sosial
terbentuk karena proses transaksi yang terjadi anatar pedagang Burjo dan pembeli yang
kemudian melahirkan adanya ikatan saling percaya (trust) kemudian membangun ikatan
kekerabatan atau jaringan dalam kesepakatan bersama tertentu yang telah disepakati
bersama sehingga menghasilkan usaha burjo yang terus eksis hingga sekarang.
Dari berbagai penelitian tersebut, belum ada yang berfokus pada peran modal
sosial terhadap buruh gendong di STA (Sub Terminal Agribisnis) Jetis di Kecamatan
Bandungan Kabupaten Semarang.

25

2.5 Kerangka Pikir
MODAL SOSIAL

SPTI/SERIKAT
PEKERJA

PEDAGANG
BURUH
GENDONG/MANOL
L
KOPERASI
GOTONG
ROYONG
MAJU
MAKMUR

PEMBELI
MODAL SOSIAL

PERAN MODAL SOSIAL DI
SUB TERMINAL AGRIBISNIS
JETIS BANDUNGAN

HASIL PENELITIAN PERAN
MODAL SOSIAL

26