Prespektif keadilan dalam pembagian hart

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses pewarisan sangat terkait erat dengan beragamnya tafsir tentang
keadilan dalam pembagian harta peninggalan. Oleh karena itu, ketentuan
tentang pembagian harta waris pun menjadi beragam. Sebagian berorientasi
atau mengacu pada hukum agama (Islam), sebagian yang lain mengacu pada
ketentuan yang berlaku dalam adat-istiadat dari masingmasing etnis atau suku
(hukum adat), dan ada pula yang mengacu pada hukum peninggalan kolonial
(Hukum Burgerlijk Wetboek atau yang dikenal dengan sebutan Hukum BW).
Jika dilihat dari faktor subyek hukum yang berhak mewaris dan besaran bagian
yang diterima oleh ahli waris, maka ketiga jenis hukum waris di atas juga
memiliki ketentuan yang berbeda. Menurut ketentuan dalam hukum Islam, ahli
waris laki-laki memperoleh bagian waris dua kali lipat lebih banyak daripada
perempuan (2:1), sementara dalam hukum adat, besaran bagian waris laki-laki
dan perempuan sangat tergantung pada adat yang berlaku di wilayah atau
sukunya masing-masing; adakalanya ahli waris laki-laki mendapatkan bagian
warisan lebih banyak daripada yang didapat perempuan, dan sebaliknya,
adakalanya perempuan mendapatkan harta warisan lebih banyak daripada lakilaki. Menurut hukum waris BW, baik ahli waris laki-laki maupun perempuan
memiliki hak dan bagian yang sama. Oleh karena itu, masyarakat di Indonesia
dapat memilih aturan hukum yang dikehendaki ketika hendak melakukan

pembagian harta warisan.
Ketiga hukum waris ini, meskipun aturan hukumnya berbeda, namun
pada prinsipnya adalah sama, yaitu mengatur peralihan hak atas benda oleh
pewaris kepada orang lain yang berkedudukan sebagai ahli waris dari si
pewaris. Dalam pelaksanaannya ketiga hukum waris tersebut menetapkan
sistem yang berbeda dalam mengalihkan hak atas benda kepada ahli warisnya.
Hukum Islam dan BW menganut asas kematian sehingga harta benda baru

1

dapat diwariskan ketika si pewaris telah meninggal dunia. Sebaliknya, hukum
adat menganut sistem keturunan, sehingga dalam hukum ini, waris dapat
dilakukan selagi pewaris masih hidup.
Dalam kehidupan sosial, pelaksanaan hukum waris pada dasarnya
adalah untuk menjamin ketertiban dan keadilan perpindahan harta kekayaan
dalam kehidupan masyarakat yang saling mewarisi antara sesama keluarga.
Oleh karena itu, ketiga hukum waris yang berlaku di Indonesia tersebut telah
menjamin rasa ketertiban dan keadilan dari masing-masing pihak yang
menganutnya. Namun demikian, akan menjadi suatu problem yang rumit
apabila suatu aturan hukum waris dipertentangkan atau dinilai dari sudut

pandang aturan hukum waris yang lain dan hal ini sering terjadi di kalangan
masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk melakukan unifikasi sistem hukum
waris di Indonesia.
Berangkat dari persoalan tersebut, tulisan ini berusaha mengkaji lebih
lanjut dan membandingkan tentang konsep keadilan yang terkandung dalam
hukum waris Islam dengan hukum waris adat.
B. Perumusan Masalah
Dari sedikit ulasan diatas dapat ditarik point pertanyaan yakni,
Bagaimana prespektif keadilan dalam pembagian harta menurut hukum Islam
dan hukum adat ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin diungkap penulis dalam tulisan ini adalah
mendeskripsikan tentang perbedaan konsep-konsep keadilan yang mendasari
pembagian harta warisan menurut kedua sistem hukum, yaitu Hukum Islam
dan Hukum Adat.

2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Azas dan Sistem Hukum Waris
Secara mendasar ada 3 unsur pokok dalam konsep hukum kewarisan
yaitu: Adanya harta peninggalan atau kekayaan pewaris yang disebut warisan,
adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atau memiliki harta warisan,
adanya ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau
pembagian harta warisan.
Menurut undang-undang, ada 2 cara mendapatkan warisan, yaitu
pertama sebagai ahli waris mennerut ketentuan undang-undang atau kedua
karena ditunjuk dalam surat wasiat testament.(1)
Hukum kewarisan merupakan salah satu bagian dari hukum perorangan
dan kekeluargaan, yang umumnya berpokok pangkal pada sistem menarik garis
keturunan, yaitu matrilineal, patrilineal, dan bilateral atau parental.(2)
Dalam sistem matrilineal, hukum waris berpangkal pada pertalian
keturunan menurut garis perempuan, sebagai contoh adalah masyarakat
Minangkabau, Enggano, Timor, Kerinci (Jambi), Semendo (Sumatera Selatan).
Menurut sistem patrilineal, hukum waris berpangkal pada pertalian keturunan
menurut garis laki-laki, sebagai contoh adalah masyarakat Batak, Gayo, Nias,
Lampung, Buru, Seram, Bali, Ambon. Sedangkan pada sistem Bilateral atau
Parental, hukum waris berpangkal pada pertalian keturunan menurut garis ibu
dan bapak, sebagai contoh adalah masyarakat Melayu, Bugis, Jawa,

Kalimantan (Dayak).
Disamping itu, bila dilihat dari sistem pewarisanya, ada pula yang dapat
dikelompokkan menjadi:

1. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intemasa, 1985), hlm. 95.
2. H.M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 3.

3

1. Sistem Pewarisan Individual. Misalnya: Pada susunan kekeluargaan bilateral
(Jawa), patrilineal (Batak).
2. Sistem Pewarisan Kolektif. Misalnya: Harta pusaka tinggi di Minangkabau,
Tanah Dati di Ambon.
3. Sistem Pewarisan Mayorat. Misalnya: di Bali, Lampung, dan lain-lain.
Dalam hukum waris berlaku azas bahwa hanyalah hak-hak dan
kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat
diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban dalam
lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajibankewajiban kepribadian, misalnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai

seorang ayah tidak dapat diwariskan, begitu pula hak-hak dan kewajibankewajiban seseorang sebagai anggota suatu perkumpulan.(3)
B. Hukum Kewarisan Adat
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan
kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainya seperti Jepang,
India dan Cina. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis
yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang terjadi di masyarakat lebih cepat dibandingkan dengan
Hukum Positif. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Hukum Adat lebih
elastis dari pada Hukum Positif.
Istilah Hukum Adat di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh C.
Snouck Hurgronje, kemudian pada tahun 1893, C. Snouck Hurgronje dalam
bukunya yang berjudul “De Atjehers”. Beliau menyebutkan istilah hukum adat
sebagai “adat reacht” untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian
sosial (social control) yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Apa yang telah

3. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intemasa, 1985), hlm. 96.

4


dirintis oleh C. Snouck Hurgronje dilanjutkan oleh Cornelis van Vollenhoven
yang kemudian dikenal sebagai pakar Hukum Adat Hindia Belanda.
Menurut Cornelis van Vollenhoven untuk daerah di Nusantara, hukum
adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat sebagai berikut: (1) Aceh, (2)
Gayo dan Batak, (3) Nias dan sekitarnya, (4) Minangkabau, (5) Mentawai, (6)
Sumatra Selatan, (7) Enggano, (8) Melayu, (9) Bangka dan Belitung, (10)
Kalimantan (Dayak), (11) Sangihe Talaud, (12) Gorontalo, (13) Toraja, (14)
Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), (15) Maluku Utara, (16) Maluku Ambon,
(17) Maluku Tenggara, (18) Papua, (19) Nusa Tenggara dan Timor, (20) Bali
dan Lombok, (21) Jawa dan Madura, (22) Jawa Mataraman, (23) Jawa Barat
(Sunda).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Hukum Adat berbeda-beda di
tiap daerah yaitu:
a) Agama: Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya: di Pulau
Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, di Aceh dipengaruhi Agama Islam,
di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
b) Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
c) Masuknya bangsa-bangsa Arab,china, Eropa.(4)
Disamping itu, Sistem Hukum Kewarisan Adat yang beraneka ragam

terjadi pula karena dipengaruhi juga oleh bentuk etnis diberbagai daerah
lingkungan Hukum Adat. Misalnya, sistem matrilineal di Minangkabau,
patrilineal di Batak, bilateral di Jawa, alterneren unilateral (sistem unilateral
yang beralih-alih) seperti di Rejang Lebong atau Lampung Papadon, yang
diperlukan kepada orang-orang Indonesia yang masih erat hubunganya dengan
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
C. Hukum Kewarisan Islam
Hukum Kewarisan Islam juga dipengaruhi oleh adanya pluralisme
ajaran, seperti ajaran Kewarisan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ajaran syi’ah.
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum-Adat.

5

ajaran Hazairin. Yang paling dominan dianut adalah ajaran Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali). Akan tetapi, yang paling
dominan penganutnya di Indonesia diantara empat mazhab tersebut adalah
mazhab Syafi’i disamping ajaran Hazairin yang

mulai berpengaruh di


Indonesia sejak tahun 1950, sebagai bentuk ijtihad untuk menguraikan hukum
kewarisan dalam Al-Qur’an secara bilateral.(5)
Hukum kewarisan ini berlaku bagi orang-orang Indonesia yang
beragama Islam berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal
49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Sistem Tata Hukum
Warisan yang diperlakukan kepada golongan rakyat yang beragama Islam,
yaitu adalah Hukum Waris Islam.
D. Perbedaan Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Islam dan Hukum
Adat Dilihat Dari Konsep Keadilanya
A. Konsep-konsep Keadilan
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu
hal, baik menyangkut benda atau orang. Banyaknya jumlah dan variasi teoriteori tentang keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang
dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan
itu sendiri tidak jelas. Keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya.(6)
Mengingat sulitnya merumuskan tentang apa itu keadilan karena
beragamnya nilai-nilai yang mendasarinya, maka paling tidak ada 2 kriteria
sentral ketika kita berwacana tentang keadilan secara universal, yaitu: Nilai
persamaan dan nilai perbedaan. Artinya, ada yang berpendapat bila sesuatu
itu disebut adil maka setiap orang haruslah mendapatkan bagian yang sama,

tetapi adapula yang mengatakan bahwa adil itu haruslah berbeda antara satu
orang dengan orang lain karena didasarkan pada kontribusinya.
5. H.M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 2.
6. http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan

6

Kedua nilai tersebut dapat kita telusuri dari pandangan Aris Toteles
mengenai teori-teori keadilan yang dikemukakanya, yaitu: Teori Keadilan
Distributif dan Teori Keadilan Komutatif.
Keadilan Distributif adalah keadilan yang diperoleh seseorang
berdasarkan jasa-jasanya sehingga wajar saja apabila muncul perbedaan antara
satu orang dengan orang lainya. Bila jasa orang tersebut besar, maka ia akan
memperoleh bagian yang banyak, tetapi bila jasanya kecil maka ia berhak atas
bagian yang sedikit dan manakala jasanya tidak ada maka orang tersebut tidak
berhak mendapatkan sesuatu.
Berbeda dengan Keadilan Distributif, Keadilan Komutatif menyatakan
bahwa adil itu apabila semua orang akan mendapat bagian yang sama tanpa
melihat jasa-jasanya. Karena itu, teori keadilan ini lebih mengedepankan

persamaan, sedangkan Keadilan Distributif lebih mengedepankan perbedaan.
Itulah sebabnya, Teori Keadilan Distributif mendasari konsep individual justice
sedangkan Teori Keadilan Komutatif mendasari konsep social justice.
Karena salah satu tujuan dari hukum (termasuk hukum waris) adalah
mewujudkan keadilan selain kepastian hukum dan kemanfaatan, maka teoriteori keadilan tersebut juga berpengaruh terhadap konsep keadilan yang
mendasari pembagian harta warisan, baik menurut Hukum Islam dan Hukum
Adat.
B. Pengertian Hukum Kewarisan Islam dan Adat di Indonesia
Seperti uraian diatas, hukum waris di Indonesia masih beraneka warna
coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk tunduk pada hukumnya
masing-masing. Misalnya, golongan masyarakat yang beragama Islam
diberlakukan Hukum Waris Islam. Untuk golongan masyarakat non muslim,
mereka tunduk kepada hukum adatnya masing-masing dan disatu sisi
dipengaruhi oleh unsur-unsur agama dan kepercayaan.
Hal ini menunjukkan belum terdapat suatu pengertian yang seragam
tentang makna hukum waris sebagai suatu standard hukum (pedoman) serta

7

pegangan yang berlaku untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Namun demikian semua pihak sependapat jika berbicara mengenai
hukum waris, ada 3 unsur pokok yang menjadi pusat perhatian: (1) Adanya
harta peninggalan (warisan), (2) Adanya pewaris, (3) Adanya ahli waris.
Menurut hukum kewarisan Islam (faraidh), pengertian hukum waris
menurut bahasa adalah taqdir (kadar/ketentuan), sedangkan menurut syara’
adalah bagian-bagian yang ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh
adalah khusus mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya
oleh syara’.(7)
Kemudian ditinjau dari Hukum Adat, pengertian hukum waris adalah:
“Aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan
dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari
generasi pada generasi”.(8)
C. Deskripsi Hukum Waris Islam
Agama

Islam

datang

dengan

aturan-aturan

yang

adil,

tidak

membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, kecil ataupun besar
semua mendapat bagian. Untuk itu Allah menurunkan Al-Qur’an surat an-Nisa’
ayat 7 yang artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya , dan bagi orang wanita ada hak
bagian pula dari harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, baik sedikit
ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Berapa bagian harta peninggalan sipewaris yang akan dinikmati oleh
para ahli waris baik anak laki maupun anak perempuan ditetapkan oleh Allah
SWT di dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 11-12 yang artinya: “Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak anakmu, yaitu
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua
7. Abdul Ghani Abdillah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 4.
8. Hilman Hadi Kusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Citra Aditnya Bakti, 1993),
hlm. 104-105

8

pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separuh harta. Untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun”. Jadi jelaslah bahwa pembagian harta
warisan menurut syariat Islam tunduk kepada yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT, yakni bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 orang anak
perempuan.

9

Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 171 huruf A Kompilasi Hukum
Islam (KHI) menyatakan: “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak milik harta peninggalan pewaris, menentukan siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya masing-masing”.
Kemudian Pasal 176 Bab III KHI menjelaskan tentang: “Anak perempuan bila
hanya seorang ia mendapat separoh (1/2) bagian, bila dua orang atau lebih
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga (2/3) bagian, dan apabila anak
perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki
adalah dua berbanding satu (2:1) dengan anak perempuan. Dan Pasal 183
KHI menyatakan: “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
dalam

pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari

bagiannya”.
Dari uraian diatas, nampak bahwa antara apa yang telah ditetapkan
didalam ayat Al-Qur’an dengan yang terdapat dalam KHI khususnya mengenai
besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam
pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh si pewaris adalah sama yakni
2 berbanding 1.
Uraian diatas memperjelas bahwa Hukum Kewarisan Islam menganut
prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat.
Artinya, Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak bapak ataupun
pihak ibu saja dan para ahli warispun demikian tidak pula terbatas pada pihak
laki-laki ataupun pihak perempuan saja.
D. Deskripsi Hukum Waris Adat
Menurut Ter Haar, 1950, “Hukum Waris Adat sesungguhnya adalah
hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunanya,
yang pada intinya adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan
yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi”.(9) Dengan
9. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat , terjemahan R. Surbakti Presponoto,
Let. N. Voricin Vahveve, Bandung, 1990.

10

demikian, hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para ahli
warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak
pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Bentuk
peralihannya dapat dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan, atau
penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli warisnya.
Dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4
unsur pokok, yaitu : (1) Adanya Pewaris, (2) Adanya Harta Waris, (3) Adanya
ahli Waris, dan (4) Penerusan dan Pengoperan harta waris.
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan
dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya
adalah :
1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang
dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi
atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli
waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta
warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian
mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris
Islam.
3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk
sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum
adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu
akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang
menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu
pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh
atau selamatan yang disebut tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau
seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para

11

anggota waris berkumpul. Kalau harta warisan akan dibagi, maka yang
menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain :
(1) Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris ) atau
(2) Anak laki-laki tertua atau perempuan
(3) Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana
(4) Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama
yang minta, ditunjuk dan dipilih oleh para ahli waris.
Dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan sistem keturunan dan
kekerabatan adat masih tetap dipertahankan dengan kuat. Hazairin mengatakan
bahwa: “…hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral”.(10)
Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat dikataakan
bahwa sistem hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, antara lain :
1. Sistem Keturunan
Dilihat dari segi garis keturuan maka perbedaan lingkungan hukum adat itu
dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. Sistem Patrilineal (kelompok garis ayah) Sistem keturunan yang ditarik
menurut garis bapak, contohnya: Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung,
Seram, Nusa Tenggara.
b. Sistem Matrilineal (kelompok garis ibu) Sistem keturunan yang ditarik
menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol
pengaruhnya dari kedudukan pria dalam pewarisan. Contohnya,
Minangkabau dan Enggano.
c. Sistem Parental atau bilateral (kelompok garis ibu dan bapak) Sistem
yang ditarik menurut garis orang tua (ibu dan bapak) dimana kedudukan

10. Hazairin, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1975).

12

pria dan wanita tidak dibedakan dalam pewarisan. Contohnya: Jawa,
Sunda, Madura, dan Melayu.(11)
2. Sistem kolektif
Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalihan harta
warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbaik dan tiap ahli waris hanya
mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta
tersebut. Contohnya seperti di Minangkabau, Ambon, dan Minahasa.
3. Sistem Mayorat Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu
kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan
kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (contohnya di Bali,
Lampung, Teluk Yos Sudarso), atau perempuan tertua (di Sumendo,
Sumatera Selatan), anak laki-laki termuda (di masyarakat Batak) atau
perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
4. Sistem individual
Menurut sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta
warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya, sistem ini
dijalankan di masyarakat yang menganut sistem parental.
E. Perbandingan Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat
Untuk membandingkan antara hukum waris adat dengan hukum
kewarisan Islam, berikut ini dapat dilihat beberapa perbedaan antara lain:
1. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan
itu lalu dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan yang berlaku.
2. Hukum waris Islam telah menetapkan hak-hak dan bagian para ahli waris
atas harta peninggalan pewaris sebagaimana yang telah ditentukan AlQur’an Surah An-Nisa’.
3. Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk
sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada ahli waris.
11. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat , (Bandung: Alumni, 1983), hlm 23.

13

Jika ahli waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia
berhak mendapat warisan, maka ia dapat saja mengajukan permintaan untuk
dapat cara bermusyawarah dan mufakat para ahli waris lainnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dengan karakteristik masyarakat yang majemuk dan pluraristik sangatlah
sulit ditentukan untuk meninjau konsep-konsep keadilan sistem pewarisan
manakah dari kedua sistem kewarisan tersebut yang dianggap sesuai dengan
rasa keadilan masyarakat karena masing-masing golongan masyarakat
memiliki acuan yang berbeda tentang keadilan, ada yang mengacu ke
Hukum Islam dan Hukum Adat.
2. Konsep keadilan dalam hukum adat lebih sulit ditentukan karena sebagai
misal untuk adat Minangkabau, anak perempuan yang diutamakan sedang
dalam hukum adat bata, hak waris anak laki-laki memang lebih besar
dibandingkan anak perempuan. Hanya saja ketentuan seberapa besar bagian
dari masing-masing (anak laki-laki dan perempuan) tidak disebutkan secara
jelas.
3. Teori Keadilan Distributif yang mengedepankan nilai perbedaan mewarnai
Hukum Waris Islam. Sedangkan Hukum Waris Adat ada yang sebagian
terpengaruhi oleh Teori Keadilan Distributif (misalnya Hukum Adat
Minangkabau dan Hukum Adat Batak), tetapi ada juga yang dipengaruhi
oleh Teori Keadilan Komutatif (Hukum Adat Jawa yang membagi warisan
yang sama antara anak perempuan dan anak laki-laki dengan cara dum-dum
kupat).

14