Gangguan Berbahasa Penderita Rhotacism Pada Pembelajar Bahasa Jerman: Tinjauan Psikolinguistik

11

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep
Konsep yang mendasari penelitian ini yakni Rhotacism atau cadel merupakan
gangguan berbahasa yang termasuk gangguan penyakit organik. Pada anak usia balita,
hal ini dianggap wajar karena perkembangan organ artikulasinya belum sempurna. Lain
halnya pada orang dewasa yang seluruh organ tubuhnya termasuk organ artikulasinya
juga telah mengalami tahap sempurna dalam perkembangannya (Sidabutar, 1994:25).
Dysarthria refers to a disturbance in the execution of motor patterns for speech
due to paralysis, weakness, or discoordination of the speech musculature. (Weiss, 1987:
86). Artinya ‗Disartria mengacu pada gangguan di dalam pelaksanaan pola – pola
motorik wicara yang mengarah kepada kelumpuhan, kelemahan, atau kesalahan dalam
mengorganisasikan otot – otot wicara‘. Dapat dikatakan bahwa cadel adalah salah satu
bentuk disartria yang disebabkan oleh gangguan pola – pola motorik wicara. Pola-pola
motorik wicara tersebut disebabkan oleh gangguan struktur kelainan pada otot yang
terdapat di bawah lidah (frenulum lingualis). Adanya kelainan pada otot tersebut dapat
menyebabkan gerakan lidah menjadi kurang baik.
Rhotacism denotes the imperfect sounding of [r] as by making it [l] (Garner,

2009:66). Yang berarti Rhotacism menunjukkan ketidaksempurnaan bunyi [r] sehingga
menjadi bunyi [l]. Oleh karena itu Rhotacism ini perlu ditinjau secara psikolinguistik
karena memungkinkan adanya dampak pada perkembangan kemampuan kognitif
penderita yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan dalam pelafalan kata sehingga

12

berdampak pada ketidakpercayaan diri dalam berbahasa Jerman, dalam hal ini contoh
pelafalan kata-kata dari penderita Rhotacism akan dianalisis secara fonologi dalam
kajian ilmu bahasa mengenai perubahan fonetis yang dilafalkan oleh penderita
Rhotacism.

2.1.1 Gangguan Berbahasa
Berbahasa adalah proses mengeluarkan pikiran dan perasaan (dari otak) secara
lisan, dalam bentuk kata-kata atau kalimat-kalimat. Manusia yang normal fungsi otak
dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki
kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa,
baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasanya terganggu (Chaer,
2009: 148).
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan

akibat faktor medis dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan
faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan
alat-alat bicara, sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah
lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari
lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya (Chaer, 2009: 148).
Secara medis menurut Sidharta (dalam Chaer, 2009:149) gangguan berbahasa
itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu gangguan berbicara, gangguan berbahasa,
gangguan berpikir. Ketiga gangguan itu masih dapat diatasi kalau penderita gangguan

13

itu mempunyai daya dengar yang normal; bila tidak, tentu menjadi sukar atau sangat
sukar.

2.1.2 Gangguan Berbicara
Perkembangan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan bicara.
Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan anak dibesarkan.
Kelainan bicara merupakan salah satu jenis kelainan atau gangguan perilaku
komunikasi yang ditandai dengan adanya kesalahan proses produksi bunyi bicara.
Kelainan proses produksi menyebabkan kesalahan artikulasi bunyi, baik dalam titik

artikulasi

maupun

cara

pengucapannya,

akibatnya

terjadi

kesalahan

seperti

penggantian/substitusi atau penghilangan (Chaer, 2009:149).
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis.
Salah satu faktor penyebab gangguan berbicara disebabkan pada gangguan mekanisme
berbicara. Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh

kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta
kerongkongan dan paru-paru. Sidarta (dalam Chaer, 2009:150) menjelaskan gangguan
berbicara menurut mekanismenya ini dapat dirinci menjadi :
1. Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Ganggauan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para
penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang, sehingga cara
berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil, dan terputusputus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.

14

2. Gangguan Akibat Faktor Laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak
atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai oleh
suara yang serak dan hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari
segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.
3. Gangguan Akibat Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk
mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu
dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah
bunyi menjadi tidak sempurna, sehingga misalnya, kalimat ―Sudah barang tentu dia

akan menyangkal‖ mungkin akan diucapkan menjadi ―Hu ah ba-ang ke-ku ia-an meangkay‖. Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnya
pun lumpuh sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu
menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti terganggunya
artikulasi). Gejala terkena stroke banyak dikenali dari kepeloan ini.
4. Gangguan Akibat Faktor Resonantal
Gangguan akibat faktor resonantal ini menyebabkan suara yang dihasilkan
menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya suaranya menjadi bersengau
(bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk
berkomunikasi melalui defek (suatu keadaan dimana terjadi kehilangan struktur normal
pembentuk bagian tubuh) di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi yang
seharusnya menjadi terganggu. Hal ini terjadi juga pada orang yang mengalami

15

kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit itu tidak
memberikan

resonansi

yang


seharusnya,

sehingga

suaranya

menjadi

bersenguau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot
menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kesengauan ini.

2.1.3 Rhotacism atau Cadel
Rhotacism refers to the occurance of [ r ] in place of some other speech sound
(Hartmann dan Stork 1971 : 198). Yang berarti Rhotacism mengacu pada terjadinya [r]
di tempat beberapa bunyi ujaran lain.
Kemudian Garner (2009:66) menjelaskan bahwa Rhotacism denotes the
imperfect sounding of [r] as by making it [l]. Yang berarti Rhotacism menunjukkan
ketidaksempurnaan bunyi [r] sehingga menjadi bunyi [l].
Dapat ditarik kesimpulan bahwa


Rhotacism adalah ketidakmampuan

mengucapkan bunyi [r] sehigga berubah menjadi bunyi [l]. Untuk mengucapkan bunyi
[r] diperlukan manipulasi yang cukup kompleks antara lidah, langit-langit, dan bibir.

2.1.4 Penyebab Timbulnya Rhotacism
a. Gangguan artikulasi (disartria)
Menurut Sidiarto (2009) dari FKUI-RSCM, Jakarta, cadel adalah salah satu
bentuk disartria yaitu sebutan untuk gangguan artikulasi (pengucapan kata) yang
disebabkan oleh gangguan struktur atau gangguan fungsi dari organ artikulasi. (Perwira,
2000: 5) mengatakan disartria adalah gangguan bicara yang diakibatkan cidera

16

neuromuscular. Gangguan bicara ini diakibatkan luka pada sistem saraf, yang pada
gilirannya mempengaruhi bekerja baiknya satu atau beberapa otot yang diperlukan
untuk berbicara. Cadel dapat disebabkan oleh gangguan struktur kelainan pada otot
yang terdapat di bawah lidah. Adanya kelainan otot tadi dapat menyebabkan gerakan
lidah menjadi kurang baik.

Diskoordinasi antara gerakan otot-otot

pernapasan, otot-otot pita suara dan

lidah bermanifestasi pada pengucapan kata-kata dalam kalimat yang tersendat-sendat,
kurang jelas dan banyak kata-kata yang ditelan. Gangguan artikulasi kata-kata dan
gangguan irama berbicara itu dinamakan disartria. Daerah seleblar (hemisferium
serebri) berhubungan erat dengan korliks selebri, terutama mengenai gerakan tangkas
otot-otot di kepala dan leher. Karenanya disartria akan timbul juga akibat kerusakan
hemisferium serebeli (Sidharta, 1986:82). Scanning speech atau disartri ialah akibat
inkordinasi otot-otot yang digunakan untuk berbicara (Munandar, 1986:65).
Macam-macam artikulasi diuraikan dalam bagian pembentukan bunyi-bunyi
ujar memberikan kriteria bagi penggolongan semua bunyi menjadi dua golongan yang
besar, yaitu vokoid dan kontoid. Chaer (2009:38) menyatakan vokoid adalah jenis bunyi
bahasa yang dihasilkan oleh arus ujar dan ke luar dari glotis tidak mendapat hambatan
dari alat ucap, melainkan hanya diganggu oleh posisi lidah. Sementara itu, kontoid
diartikan sebagai bunyi yang dihambat ketika pengucapannya, sehingga menyebabkan
bergetarnya salah satu alat-alat supra glotal (Samsuri, 1985:103).
Untuk dapat mengucapkan kata-kata sebaiknya, sehingga bahasa yang didengar
dapat ditangkap dengan jelas dan tiap suku kata dapat mendengar secara terperinci,


17

maka mulut, lidah, bibir, plataum mol dan pita suara serta otot-otot pernafasan harus
melakukan gerakan tangkas.

b. Ankyloglossia atau tongue tie
Ankyloglossia merupakan kelainan anatomi yang membuat lidah menjadi
terganggu fungsinya sehingga sering disebut sebagai tongue-tie. Setiap orang memiliki
frenulum lingualis yang terletak di bawah lidah. Frenulum ini merupakan membrana
mukosa yang menghubungkan antara lidah dengan lantai dasar rongga mulut (Langlais
dan Miller, 2001:45).
Menurut Laskaris (1986: 6) Ankyloglossia or tongue-tie is a rare developmental
disturbance in which the lingual frenum isshort or is attached close to the tip of the
tongue. Yang berarti ‗Ankiloglosia atau lidah dasi, adalah gangguan perkembangan
yang langka dimana frenum lingual pendek atau terpasang dekat dengan ujung lidah‘.
Ankyloglossia atau tongue tie adalah suatu kondisi patologis dimana frenulum
lingualis tidak melekat dengan tepat ke lidah. Keadaan kongenital ini ditandai oleh
frenulum lingualis yang pendek dan salah posisi, serta lidah yang tidak dapat dijulurkan
atau ditarik masuk. Ankiloglosia menyebabkan gangguan ketika berbicara, terutama

pada saat pengucapan bunyi [r] karena pada saat pengucapan bunyi tersebut
membutuhkan aktivitas lidah yang tinggi (Langlais dan Miller, 2001:46).

18

Gambar 2. Frenulum Lingualis Pendek

Sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=https://variasi-anatomis-frenulum-lin
gualis-abnormal.png&imgrefurl.

Ankyloglossia atau tongue tie ini terjadi ketika frenulum lingualis pendek, ketat,
tebal, fibrotik atau posisinya terlalu jauh ke depan sehingga pergerakan dan fungsi lidah
menjadi terganggu. Lidah tidak mampu menjulur melampaui gusi dan bibir bawah serta
gerakan lidah menjadi terbatas.

2.1.5 Bahasa Jerman
Pembelajaran bahasa Jerman di Indonesia telah memiliki sejarah yang cukup
panjang. Bahasa Jerman telah diajarkan di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda,
terutama di dua sekolah menengah atas yaitu AMS (Algemeene Middelbaare School)
‗Sekolah Menengah Atas‘ pada tahun 1930-an dan HBS (Hohere Burgerschool)

‗Sekolah Lanjutan Tingkat Menengah‘ pada tahun 1923-an. Guru-guru bahasa Jerman
pada saat itu kebanyakan orang Belanda. Setelah masa kemerdekaan pelajaran bahasa

19

Jerman tetap diajarkan di SMA hingga sekarang. Saat ini bahasa Jerman diajarkan di
SMA, MA, SMK terutama pada jurusan Pariwisata, Perhotelan dan di Perguruan
Tinggi. Dapat dikatakan bahwa bahasa Jerman pada saat ini banyak dipelajari di
berbagai negara khususnya di Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa Jerman terdapat
empat keterampilan berbahasa

yaitu keterampilan menyimak (Hörverstehen),

keterampilan berbicara (Sprechfertigkeit), keterampilan membaca (Leseverstehen) dan
keterampilan menulis (Schreibfertigkeit). Keempat keterampilan tersebut memiliki
hubungan satu sama lain dalam pembelajaran bahasa dan keempat keterampilan tersebut
bertujuan untuk menciptakan sebuah komunikasi yang baik.
Menurut Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna
dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional,
yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan
perasaan dan pikiran. Dari penjelasan wibowo dapat ditarik simpulan dari keempat
keterampilan berbahasa tersebut, yang lebih penting dalam belajar bahasa adalah
keterampilan berbicara dan membaca karena keterampilan keduanya memerlukan
aktivitas alat ucap untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Pada bidang linguistik, kedua
keterampilan tersebut tergolong pada tataran fonologi.
Dalam tataran fonologi, permasalahan

yang mungkin muncul dalam

pembelajaran bahasa Jerman untuk pembelajar Indonesia dapat disebabkan oleh adanya
perbedaan sistem bunyi dari kedua bahasa (Jerman dan Indonesia). Bahkan
permasalahan ini dapat lebih meluas lagi jika sistem bunyi dalam bahasa daerah ikut
dipertimbangkan. Hal ini ditimbulkan karena adanya sifat bilingualitas yang melekat

20

pada masyarakat Indonesia, pada umumnya menguasai sekurang-kurangnya dua bahasa,
yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Permasalahan tersebut tampak dari perbedaan sistem bunyi yang meliputi
jumlah bunyi antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Pada sistem bahasa Jerman
terdapat 15 variasi fonem vokal yang bersumber dari 7 bunyi vokal dan 22 fonem
konsonan (Aloseviciene, 2009), sedangkan pada sistem bahasa Indonesia terdapat 6
fonem vokal dan 22 fonem konsonan (Alwi, 1993). Perbedaan bunyi ini dapat
menimbulkan kesalahan pelafalan dalam berkomunikasi, sebagai akibat ketidaktepatan
melafalkan kata-kata dalam bahasa Jerman. Meskipun bunyi tidak memiliki makna
tetapi bunyi memiliki fungsi sebagai pembeda makna. Sebagai contoh, dalam bahasa
Jerman perbedaan antara panjang dan pendek suatu bunyi vokal bersifat fonemis
(distinctive), seperti bunyi vokal /i:/ dalam [i:n] ihn 'dia (lk) dan bunyi /i/ seperti dalam
[in] in 'di', bunyi tersebut dapat membedakan makna apabila pelafalan tidak sesuai.
Contoh lain adalah bunyi vokal /a:/ yang beroposisi dengan /a/, seperti pada kata
[ma:lən] mahlen ‗menggiling‘ dan [malən] malen ‗melukis‘. Masalah ini akan menjadi
rumit, apabila pembelajar tidak memahami fonetik dalam bahasa Jerman.
Kemampuan dalam mengindentifikasi, memahami, dan memproduksi bunyibunyi bahasa seperti yang terdapat dalam sistem fonologi merupakan sesuatu yang
mutlak harus dimiliki oleh pembelajar bahasa Jerman, agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman dalam berbahasa Jerman.

21

2.2. Landasan Teori
2.2.1 Psikolinguistik
Secara etimologi psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan linguistik.
Slobin (dalam Chaer, 2003: 5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba
menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan
kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana
kemampuan bahasa diperoleh manusia.
Menurut Dardjowidjojo (2003:21) Psikolinguistik adalah studi tentang prosesproses mental dalam pemakaian bahasa, sebelum menggunakan bahasa seorang
pemakai bahasa terlebih dahulu memperoleh bahasa. Secara rinci psikolinguistik
mempelajari empat topik utama yaitu (1) komprehensi, yakni proses-proses mental yang
dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan
memahami apa yang dimaksud, (2) produksi, yakni proses mental pada diri kita yang
membuat seseorang dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (3) landasan biologis dan
neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (4) pemerolehan bahasa, yakni
bagaimana anak memperoleh bahasa.
Menurut Chaer (2003: 6) ilmu psikolinguistik mencoba menguraikan prosesproses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat yang
didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu
diperoleh oleh manusia. Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan
hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu
bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Dalam

22

praktiknya, psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi
pada masalah-masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran bahasa
permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan multibahasa, gangguan berbahasa
seperti cadel, gagap, latah dan sebagainya, serta masalah-masalah sosial lain yang
menyangkut bahasa.

2.2.2 Teori Genetik Kognitif Chomsky
Teori genetik dan kognitif ini dipelopori oleh Avram Noam Chomsky, yang
merupakan seorang ahli psikolinguistik

Amerika Serikat. Chomsky membahas

masalah-masalah bahasa dan psikologi, kemudian membingkainya menjadi satu bingkai
dengan bentuk bahasa kognitif.
Menurut Chomsky (dalam Chaer, 2009: 108) teori genetik-kognitif ini
didasarkan pada satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani (the innateness
hypothesist). Hipotesis ini mengatakan

bahwa otak manusia dipersiapkan secara

genetik untuk berbahasa. Manusia memiliki bekal kodrati (innate properties) waktu
yang lahir dan bekal inilah yang kemudian membuatnya mampu untuk mengembangkan
bahasa, piranti pemerolehan bahasa tersebut menurut Chomsky dinamakan Language
Acquisition Device (LAD).
LAD (Language Acquisition Device) merupakan alat yang hanya menangkap
gelombang-gelombang bahasa. Setelah diterima, gelombang-gelombang itu ditata dan
dihubung-hubungkan satu sama lain menjadi sebuah sistem kemudian dikirimkan ke
pusat pengolahan kemampuan berbahasa (Language Competence). Pusat ini

23

merumuskan kaidah-kaidah bahasa dari data-data ujaran yang dikirimkan oleh LAD dan
menghubungkannya dengan makna yang dikandungnya, sehingga terbentuklah
kemampuan berbahasa. Pada tahap selanjutnya, pembelajar bahasa menggunakan
kemampuan berbahasanya untuk mengkreasikan atau menghasilkan kalimat-kalimat
dalam bahasa yang dipelajarinya untuk mengungkapkan keinginan atau keperluannya
sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah diketahuinya (Chomsky dalam Chaer, 2009:
108).
Chomsky melihat bahwa bahasa adalah kunci untuk mengetahui akal dan pikiran
manusia. Manusia berbeda dengan hewan karena kemampuannya berfikir dan
kecerdasannya, serta kemampuannya berbahasa.
Tampak teori linguistik Chomsky menyangkut adanya pasangan penuturpendengar yang ideal di dalam sebuah masyarakat tutur yang betul-betul merata dan
sama. Kedua penutur dan pendengar itu harus mengetahui dan menguasai bahasanya
dengan baik. Terjadinya suatu tindak tutur memerlukan adanya interaksi dari berbagai
faktor. Dalam hal ini komptensi atau kecakapan linguistik dari penutur-penutur yang
menyokong terjadinya tuturan tadi, hanya merupakan satu faktor saja.
Sehubungan dengan hal di atas, Chomsky (dalam Chaer, 2009: 77) membedakan
adanya kompetensi (kecakapan linguistik) dan performansi (pelaksanaan atau perlakuan
linguistik) dalam proses pembentukan bahasa. Kompetensi adalah pengetahuan yang
dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya, sedangkan performansi atau perbuatan
berbahasa merupakan pelaksanaan berbahasa dalam bentuk menerbitkan kalimatkalimat dalam keadaan yang nyata. Kedua tahapan tersebut akan membentuk tata

24

bahasa yang baik, sehingga dapat diterima dan dipahami baik bagi penutur atau
pendengar dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa.
Dalam hal ini, Chomsky (dalam Syamsu 2000: 108) juga mengatakan bahwa
kemampuan berbahasa manusia itu dipengaruhi juga oleh kemampuan kognitifnya,
teorinya mengatakan bahwa ada intervensi dari kemampuan yang menyangkut ingatan,
persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang sangat berpengaruh ke dalam jiwa manusia.
Teori ini digolongkan ke dalam kelompok teori kognitif karena teori ini menekankan
pada otak (akal, mental) sebagai landasan dalam proses pembelajaran bahasa. Dapat
ditarik kesimpulan bahwa perkembangan bahasa seseorang dipengaruhi oleh
kemampuan kognitifnya, sebab semakin tinggi kemampuan kognitif seseorang maka
semakin berkembang kemampuan bahasa seseorang tersebut.

2.2.3 Fonologi
Menurut Chaer (2003:102), secara etimologi istilah ―fonologi‖ ini dibentuk dari
kata ―fon‖ yang bermakna ―bunyi‖ dan ―logi‖ yang berarti ―ilmu‖. Jadi, secara
sederhana dapat dikatakan bahwa fonologi merupakan ilmu yang mempelajari bunyibunyi bahasa pada umumnya. Objek kajiannya adalah ―fon‖ atau bunyi bahasa yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Sejalan dengan Verhaar (1984:36) mengatakan
bahwa fonologi merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyibunyi suatu bahasa tertentu sesuai dengan fungsinya untuk membedakan makna
leksikal dalam suatu bahasa.

25

Dapat dikatakan bahwa fonologi merupakan satu subdisiplin linguistik yang
membicarakan tentang bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan
teori-teori perubahan bunyi itu. Fonologi juga membicarakan runtunan bunyi-bunyi
bahasa dan cara menganalisisnya. Dengan demikian, kegiatan mempelajari bunyi
bahasa idealnya tidak hanya sebatas upaya pengenalan bunyi-bunyi itu, tetapi juga harus
diiringi dengan latihan menganalisis bunyi-bunyi bahasa tersebut dari segala segi.
Fonologi memiliki dua cabang kajian yaitu fonetik dan fonemik. Fonetik adalah
cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar fisik bunyi-bunyi bahasa (Verhaar : 2001:
19). Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang
berhubungan dengan penggunaan bahasa. Verhaar (1982: 12) membagi urutan proses
terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:
a) Fonetik Organis
Fonetik organis (artikulatoris, fisiologis) yaitu fonetik yang mengkaji dan
mendeskripsikan mekanisme alat-alat ucap manusia dalam menghasikan bunyi bahasa
(Gleason, 1955: 239). Jadi, fonetik organis ini mendeskripsikan cara membentuk dan
mengucapkan

bunyi

bahasa,

serta

pembagian

bunyi

bahasa

berdasarkan

artikulasinya. Fonetik ini sebagian besar termasuk ke dalam bidang garapan linguistik.
Oleh sebab itu, para linguis memasukkannya pada bidang linguistik teoretis.
b) Fonetik Akustis
Fonetik akustis yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan bunyi bahasa
berdasar pada aspek-aspek fisiknya sebagai getaran udara (Malmberg, 1963: 5). Bunyi
bahasa dikaji frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, beserta timbrenya. Fonetik

26

akustis erat hubungannya dengan fisika, atau merupakan ilmu antardisiplin antara
linguistik dan fisika. Fonetik akustis berfungsi praktis seperti dalam pembuatan
telepon, rekaman piringan hitam dan cassette recorder.
c) Fonetik Auditoris
Fonetik auditoris yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan cara
mekanisme pendengaran penerimaan bunyi-bunyi bahasa sebagai getaran udara
(Bronstein & Jacoby, 1967:70-72). Fonetik auditoris ini sebagian besar termasuk pada
bidang neurologi (kedokteran), atau merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik dan
kedokteran.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik
adalah fonetik organis atau artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan
masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia
sekaligus yang menjadi bagian penelitian ini.
Sedangkan fonemik adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi
membedakan makna. Chaer (2012:125) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi
bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b]
dan [u]; dan [r], [a], [b] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang
pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem
/l/ dan fonem /r/.
Dalam kajiannya, fonetik akan berusaha mendeskripsikan perbedaan bunyibunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya. Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b]

27

yang terdapat, misalnya, pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran
studi bunyiik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu menyebabkan berbedanya makna
kata [paru] dan [baru] itu (Chaer, 1994: 102).
Dalam hal ini, kajian fonologi ini akan digunakan untuk menganalisis perubahan
bunyi setiap pelafalan kata-kata yang diucapkan pendeita Rhotacism dalam berbahasa
Jerman. Kajian fonetis tersebut berupa perubahan fonetis dan kekeliruan pembacaan.
Kajian fonetis tersebut digunakan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan bunyi,
yang tidak ada hubungannya dengan perubahan makna. Hal ini sesuai dengan defenisi
dari fonetis organis atau artikulatoris yaitu yang berhubungan dengan bagaimana bunyi
itu dihasilkan oleh artikulator manusia dan perubahan bunyi yang terjadi karena ada
gangguan Rhotacism.

2.2.3.1 Fonem dan Alofon
Menurut Verhaar (1985: 36) fonem adalah sesuatu yang mempunyai fungsi
untuk membedakan kata-kata dari kata yang lain. Pengertian bunyi yang dikemukakan
oleh Verhaar ini juga berlaku untuk fonem-fonem dalam bahasa Jerman. Bunyi-bunyi
yang merupakan wujud lahiriah suatu fonem disebut alofon-alofon, anggota fonem, atau
varian bunyi tersebut (Kentjono, 2005: 161). Dalam bahasa Jerman seperti /t/. Bunyi /t/
adalah sebuah bunyi. Bunyi-bunyi cabang dari [t] tersebut dinamakan alofon. Jika
dalam bahasa Jerman kata hart [hart] dilafalkan [hard] tidak membedakan arti, sehingga
[t] dan [d] dianggap bunyi yang sama atau [t] merupakan variasi bunyi dari [d] dan
disebut sebagai alofon. Alofon bukanlah fonem, sehingga alofon tidak membedakan

28

makna dan bersifat fonetis (Ibrahim, 1982: 105). Hanya saja jika diucapkan tidak
sesuai, maka akan terdengar tidak harmoni.
2.2.3.2 Bunyi Segmental
Bunyi segmental yang dimaksudkan di sini ialah bunyi ujaran yang dihasilkan
oleh alat-alat bicara yang mempunyai fungsi membedakan makna yang dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya seolah-olah menjadi segmen-segmen (Chaer,
2012: 129). Fonem-fonem bahasa Jerman ini digolongkan menjadi dua sistem, yaitu (1)
sistem vokal, (2) sistem konsonan. Dalam bunyi segmental ini juga dijelaskan mengenai
fonetik artikulatoris vokal dan konsonan bahasa Jerman yang tujuannya hanya sebagai
informasi dan pelengkap dalam pemahaman pelafalan bunyi dalam bahasa Jerman.

2.2.3.2.1 Sistem Vokal
Maksan (1994:39) berpendapat bahwa vokal adalah bunyi yang dihasilkan alat
ucap tanpa adanya hambatan/gangguan terhadap udara yang mengalir keluar dari paruparu. Kualitas vokal setidaknya ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (a) gerak vertikal
lidah, (b) dimensi depan-belakang atau gerak horisontal lidah, dan (c) bentuk bibir
(Féry, 2004:47). Pada situasi yang ideal, ketika pita suara menutup maka langit-langit
lunak akan naik dan lidah di bagian tengah-depan dari mulut.
Karena lidah lentur, maka ia dapat digerakkan naik-turun juga dilekuk-lekukkan
ke depan atau ke belakang. Naik-turunnya lidah menyebabkan ukuran rongga mulut
berubah. Pada posisi tinggi, ruang yang ada di rongga paru-paru menjadi sempit
sehingga menghasilkan bunyi yang melengking tinggi. Bila lidah diturunkan, rongga

29

mulut menjadi semakin lebar. Misalnya bunyi [i] pada kata Sitz „duduk‘ dan, [e] pada
sechs ‘enam‘.
Posisi lidah di depan atau di belakang juga memegang peranan penting dalam
membentuk bunyi vokal. Vokal-vokal tertentu akan terbentuk ketika digabungkan
dengan tinggi rendahnya lidah. Hal ini dapat digambarkan pada bunyi [u] pada Buch
‗buku‘ dan [o] pada Karo ‗belah ketupat‘.
Kriteria terakhir dari pembentukan bunyi vokal adalah bentuk bibir. Bunyibunyi vokal tertentu diucapkan dengan kedua bibir dibulatkan (rounded) atau
dilebarkan (spread). Pada umumnya bunyi vokal depan diucapkan dengan bibir
dilebarkan, seperti [i] pada Tisch ‗meja‘ dan [e] pada Feld ‗lapangan‘. Sedang bunyi
dibulatkan tampak pada bunyi [u] Buch ‗buku‘ dan [o] Büro ‗kantor‘. Pada bahasa
Jerman, vokal dibagi menjadi dua bagian yaitu monoftong dan diftong.
a. Monoftong
Monoftong disebut vokal murni dicirikan bahwa selama produksi kualitas vokal
tidak berubah, yaitu posisi lidah dan tingkat pembukaan mulut tetap tidak berubah
selama diucapkan. Dalam bahasa Jerman, didapati vokal umlaut yaitu ä, ö, dan ü.
(Aloseviciene, 2009:12) menjelaskan kriteria klasifikasi vokal Jerman yaitu:
1) Kelisanan / Nasalitas
Sebuah vokal nasal dibentuk oleh velum (langit-langit lunak) diturunkan
sehingga udara dapat keluar secara simultan melalui rongga hidung dan rongga mulut.
Vokal nasal yang khas dalam bahasa Perancis. Vokal nasal hidung konsonan [m], [n]
dan [ŋ] yang harus dibedakan, bahwa udara keluar hanya melalui rongga hidung.

30

Beberapa kata-kata dari bahasa Perancis juga dituturkan dalam bahasa Jerman dengan
vokal yang dinasalkan.
die Nuance ['nyã: s], die Balance [ba'lã: s] dialihkan ke bahasa Jerman [~aŋs]
der Satin [zat'ɛ:], manekin [manə'kɛ:]dialihkan ke bahasa Jerman [~ ɛn]
die Boullion [bʊl'jõ:], der Perron [pɛ'rõ:]dialihkan ke bahasa Jerman [~ ɔŋ]
2) Kualitas Vokal
Kualitas vokal ditentukan dengan memvariasikan mulut dan tenggorokan
dengan lidah dan rahang bawah dan bibir. Kualitas vokal digambarkan oleh tiga
parameter: tinggi lidah, posisi lidah horisontal dan posisi bibir.
a) tinggi lidah (derajat pembukaan sudut rahang)
Dalam bahasa Jerman, ada lima tingkat tinggi atau tingkat pembukaan sudut rahang:


Tinggi (vokal tertutup): [i:], [y:] [u:]



Setengah tinggi (semi tertutup) vokal: [ɪ], [y], [ʊ]



vokal Medium [e:], [ø:], [o:]



setengah kedalaman (semi terbuka) vokal [ɛ], [oe], [ɔ] dan [ə]



kedalaman (terbuka) vokal: [a:], [a] dan [ɐ]

b) Horizontal Posisi Lidah
Setelah posisi horizontal lidah di bagian depan atau belakang daerah mulut, perbedaan:
 vokal depan
Lidah didorong ke depan: [i:], [ɪ], [y:], [y] [e:], [ɛ], [ɛ:], [ø:], [oe ].
 vokal Central
Lidah yang bergerak ke belakang: [a:], [a], [ə], [ɐ].

31

 Vokal Belakang
Lidah ditarik kembali, dorsum belakang lidah dinaikkan: [u:], [ʊ], [o:], [ɔ].
c) Posisi Bibir
Bibir bisa bulat atau tidak bulat dalam artikulasi vokal. Vokal belakang selalu
bulat dalam bahasa Jerman dan vokal depan tidak bulat:
Vokal tidak bulat [i:], [ɪ], [e:], [ɛ], [ɛ:], [a:], [a], [ɐ].



Pada vokal tidak bulat disebabkan posisi bibir terbentang lebar dengan pengguan
lidah belakang.
Vokal bulat: [y:], [y], [ø:], [oe] [u:], [ʊ], [o:], [ɔ].



Pada vokal bulat terlihat aktivitas posisi bibir dalam keadaan bulat dengan posisi
lidah vokal pusat.
3) Kuantitas Vokal
Selain kualitas vokal, kuantitas vokal juga penting dalam artikulasi vokal.
Dalam banyak bahasa, termasuk vokal bahasa Jerman dibedakan menurut vokal pendek
dan vokal panjang. Perbedaan:


vokal pendek: [ɪ], [ɛ], [oe], [a], [ʊ], [ɔ].



vokal panjang [i:], [e:], [ɛ:], [y:], [ø:], [a:], [u:], [o:].

32

Gambar 3. Posisi vokal Jerman

- vorn : Depan

- hoch : tinggi

- zentral : central

- mittel : medium

- hinten : belakang

- tief : pendek

b. Diftong
Diftong terdiri atas dua bunyi vokal tunggal berurutan yang terdapat dalam satu
suku kata, contoh : meist ‗kebanyakan‘, Laus ‗kutu‘, neu ‗baru‘. Perubahan kualitas
vokal berbeda dengan pengucapan pada monoftong. Posisi lidah dan pembulatan bibir
berubah dari artikulasi vokal yang satu ke vokal lain: [aɪ] pada kata nein ‗tidak‘, [aʊ]
pada kata blau ‗biru‘ dan [ɔɪ] pada kata neun ‗sembilan‘. Selain itu diftong bisa
terbentuk dari vokalisasi ujung dalam ‗r‘, disebabkan pemusatan diftong seperti pada
pengucapan kata Ohr [oɐ] ‗telinga‘ atau mir [iɐ] ‗saya‘ (Aloseviciene, 2009:13).

2.2.3.2.2 Sistem Konsonan
Verhaar (1999:33) mengemukakan bahwa konsonan adalah bunyi yang
dihasilkan dengan mempergunakan artikulasi pada salah satu bagian alat-alat bicara.

33

Halangan yang dijumpai udara itu dapat besifat seluruhnya, dapat bersifat sebagian
yaitu dengan menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu. Dengan memperhatikan
bermacam-macam faktor untuk menghasilkan konsonan, maka kita dapat membagi
konsonan-konsonan. Pertama, berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya. Kedua,
berdasarkan macam halangan udara yang dijumpai udara yang mengalir keluar. Ketiga,
berdasarkan turut tidaknya pita suara bergetar, dan keempat berdasarkan jalan yang
dilalui udara ketika keluar dari rongga-rongga ujaran. Untuk mengkaji sistem bunyi
konsonan dan bunyi vokal dalam bahasa Jerman, Aloseviciene (2009) akan
memaparkan fonem-fonem bahasa Jerman dalam bentuk peta konsonan.
Berikut daftar tempat-tempat artikulasi konsonan yang ditunjukkan pada
Gambar 4. Lokasi organ artikulasi dari mulut atau tenggorokan, dimulai dengan bibir
dengan berakhir di glotis (Aloseviciene, 2009:9).
Gambar 4. Tempat Artikulasi Konsonan

34

Berikut daftar tempat-tempat artikulasi konsonan yang ditunjukkan pada
Gambar 4.yaitu lokasi organ artikulasi dimulai dari bibir dan berakhir sampai glotis,
sebagai berikut:

1. Labial
Labial adalah bunyi-bunyi yang dibuat dengan bibir. Ada dua versi yang
berbeda:
a) bilabial - bunyi yang dibentuk melalui bibir atas dan bibir bawah. Dalam bahasa
Jerman ada [b], [p] dan [m].
b) Labio - dental - bunyi dalam produksi bibir bawah menyentuh gigi seri rahang atas.
Dalam bahasa Jerman, bunyi labio - dental pada bunyi [f] dan [v].
2. Dental
Dental adalah bunyi yang dihasilkan oleh gigi atas dan gigi bawah. Dalam
bahasa Jerman dental tidak tersedia.
3.Alveolar:
Bunyi alveolar dihasilkan melalui kontak ujung lidah menyentuh gusi atau
daerah kaki gigi. Dalam bahasa Jerman ada [t], [d], [s], [z], [l].dan [r].
4. Postalveolar:
Suara Postalveolar dibentuk melalui bagian depan lidah dan tepi belakang
alveolar. Dalam bahasa Jerman, bunyi [ʃ] terjadi seperti kata Schule ‗sekolah‘dan [ʒ]
seperti pada kata Garage‗garasi‘.

35

5. Palatal:
Suara palatal diartikulasikan oleh kontak lidah ke langit-langit keras (palatum),
pada bahasa Jerman terdapat [ç] seperti pada kata mich‗saya‘, dan [j].
6. Velar:
Velar adalah bunyi yang dibentuk melalui pangkal lidah (dorsum) menyentuh
langit-langit lunak (velar). Dalam bahasa Jerman pada bunyi [k], [g] dan [ŋ].
7. Uvular:
Uvular dihasilkan oleh gerakan dorsum lidah supositoria, yang disebut uvula.
Uvular pada bahasa Jerman adalah [x] pada kata Dach ‗atap‘ dan [ʁ] seperti pada kata
Ruhe ‗ketenangan‘.
8. Glottal:
Glotal juga disebut laryngal diproduksi dalam laring. Jika glotis menyempit,
menciptakan frikatif glotal, dalam bahasa Jerman terdapat pada bunyi [h] seperti pada
kata Haus ‗rumah‘, aliran udara pendek di daerah glotis dibendung, menciptakan
hamzah, yang disebut glottal (berhenti) [ʔ], yang diproduksi di Jerman depan suku kata
vokal dengan suara awal.
Selain kriteria klasifikasi yang mempengaruhi fonasi aliran udara atau tempat
artikulasi, konsonan dibedakan dalam hal sifat / cara artikulasi:
1. Plosif:
Plosif yang disebabkan oleh penutupan total pada titik organ artikulasi dengan
pembukaan letupan berikutnya. Satu-satunya suara dalam produksi aliran udara sejenak
benar-benar terhambat. Plosif dalam bahasa Jerman adalah [p] [b], [t], [d], [k], [g] dan

36

hamzah atau glottal berhenti [ʔ], yang terjadi sebelum suara awal vokal dan bukan
merupakan perbedaan makna.
2. Frikatif:
Frikatif berbeda dengan plosif tidak dibentuk oleh penutupan lengkap. Dalam
produksinya, kesenjangan antara artikulator yang terlibat, sehingga aliran udara dapat
keluar dan menyebabkan suara menggosok. Frikatif dalam bahasaJerman adalah [f]
seperti pada Fabrik‗pabrik‘, [v] seperti pada Wand‗dinding‘, [s] pada akhir Kuss
‗ciuman‘, [z] seperti pada Süden‗selatan‘, [ʃ] seperti pada Schale ‗mangkok‘, [ʒ] seperti
pada Garage ‗garasi‘, [ç ] pada kata freundlich ‗ramah‘, [x] seperti pada Krach [ʁ]
pada kata Ruhe ‗ketenangan‘dan [h] seperti pada kata Haus‗rumah‘.
3. Nasal
Nasal diartikulasikan dengan menurunkan velum (langit-langit lunak). Ini
memberikan penutupan lengkap dari rongga mulut, sehingga udara dapat keluar hanya
melalui rongga hidung. Dalam bahasa Jerman pada bunyi [m], [n] dan [ŋ] pada kata
lang‗panjang‘.
4. Lateral
Lateral disebabkan oleh aliran udara di atas sisi lidah, sedangkan ujung lidah
menyentuh alveoli. Lateral dalam bahasa Jerman pada bunyi [l] seperti kata Land
‗negara‘.

37

5. Vibran
Vibran adalah suara yang dihasilkan oleh getaran artikulator yang terlibat di
dalam produksi suara. Misalnya, yang disebut supositoria R [ʁ] dibentuk oleh getaran
uvula.
6. Affrikatif
Affricates membentuk kelas konsonan tambahan. Ini adalah kombinasi dari
plosif dan frikatif, yang terbentuk di tempat yang sama artikulasi. Dalam hal tersebut
diartikulasikan dalam berbagai bibir dan gigi atau alveoli [pf] seperti pada Pflaume, [ts]
seperti pada Zahn ‗gigi‘ dan Katze‗kucing‘, [tʃ] seperti pada Matsch‗lumpur‘, [dʒ]
seperti pada Dschungel‗hutan belantara‘, [ks] pada kata Text ‗teks‘, links‗sebelah kiri‘.
7. Approximan
Dalam produksi approximan, satu artikulator dekat ke yang lain, tetapi saluran
vokal tidak dipersempit sedemikian rupa sehingga aliran turbulansi terjadi. Dalam
bahasa Jerman adalah [j] . Aproksiman [j] yang juga disebut sebagai semi vokal.
Kita telah berhadapan dengan klaster konsonan dan tidak ada konsonan tunggal
yang terjadi pada Tabel

38
Tabel 1: Sistem Konsonan Jerman
Tempat Artikulasi
Bilabial
Cara Artikulasi
Plosif
Frikatif
Nasal
Lateral
Vibra/ getar
Affrikatif
Approximan

Labiodental

pb
fv
m

Alveolar

Postalveolar

Palatal

ʃʒ

ç

td
sz
n
l
r
ts dʒ

Velar

Uvular

kg
ŋ

x
ʁ

Glottal
ʔ
h

R


pf
j

Linguistik, khususnya di bidang fonetik dan fonologi, karena pemutaran sistematis suara dalam sistem penulisan bahasa
tanpa transkripsi fonetik. Sistem transkripsi fonetik yang paling umum adalah dari "International Phonetic Alphabet" (IPA).
Pada Tabel 2 di bawah ini, akan memberikan gambaran hubungan fonem-grafem (hubungan pengucapan bunyi) dalam bahasa
Jerman, transkripsi digunakan IPA. (Aloseviciene, 2009:17, : Mangold, 2005: 14, : Duden 6, 2005: 14).
Tabel 2. Pengucapan Bahasa Jerman dalam Alfabet Fonetik Internasional
Kelompok
Bunyi
Vokal
a
i

Bunyi
[a:]
[a]
[i:]

Grapem
a, ah, aa
a
i, ie, ih, ieh

Transkripsi Fonetis
Laden [laːdən], Hahn [haːn], Staat [ʃtaːt]
Masse [masə]
Kino [kiːno], Liebe [liːbə], ihn [i:n], sieh [zi:]

Gloss
toko, ayam Jantan,
massa
bioskop, cinta, dia (lk), melihat

39

e

o
u
ö
ü
Vokal yang
direduksi
Diphthonge

[ɪ]
[e:]
[ɛ]
[ɛ:]
[o:]
[ɔ]
[u:]
[ʊ]
[ø:]
[oe]
[y:]
[y]
[ə]
[ɐ]
[aɪ]
[aʊ]
[ɔɪ]

i
e, eh, ee
e, ä
ä, äh
o, oh, oo
o
u, uh
u
ö, öh
ü, üh, y
ü, y
e
er, r
ei, ai, ey, ay
au
eu, äu

Bitte [bɪtə]
Weg [veːk], sehen [zeːən], Tee [teː]
Geld [gɛlt], mächtig [mɛçtɪç]
Mädchen [mɛːtçən], mähen [mɛːən]
Brot [broːt], Sohn [zoːn], Boot [boːt]
voll [fɔl]
Buch [buːx], Stuhl [ʃtuːl]
Suppe [zʊpə]
böse [bøːzə], fröhlich [frøːlɪç]
Töchter [toeçtɐ], können [kœnən]
müde [myːdə], früh [fryː], Typ [tyːp]
Glück [glʏk], Ypsilon [ypsilɔn]
beginnen [bəˈgɪnən], Freude [frɔydə]
Verkäufer [fɛɐˈkɔyfɐ], Uhr [uːɐ]
dein [dain], Mai [mai], Meyer [maiɐ], Bayern [baiɐn]
Frau [fraʊ],
heute [hɔɪtə], Mäuse [mɔɪzə]

tolong
jalan, melihat, teh
uang, berkuasa
gadis, menyabit
roti, Anak (lk), perahu
penuh
buku, kursi
sup
marah, bahagia
anak (pr), bisa
lelah, pagi, tipe
keberuntungan, y
memulai, sukacita
penjual, pukul
kamu, Mei, Meyer, Bayer
nyonya,
hari ini, tikus-tikus

[p]

p, pp, -b

Oper [oːpɐ], doppelt [dɔpəlt], gelb [gɛlp]

opera, ganda, kuning

[b]
[t]

b
t, tt, -d,
th, dt
d,dd

Biber [biːbɐ]
Tisch [tɪʃ], bitte [bɪtə], Pfund [pfʊnt],
Theorie [teoˈriː], Stadt [ʃtat]
drei [drai], Teddybär [tɛdibɛ:ɐ]

Lada
meja , silahkan, pon,
teori, kota
tiga, beruang-beruangan

Konsonan
Plosif

[d]
[k]

Frikatif

[g]
[f]

k, ck, -g, gg, kaufen [kaufn], Zucker [tsʊkɐ], Tag [ta:k], flagg [flak], membeli, gula, hari, bendera,
Campus [kampʊs], Chor [ko: ɐ], Text [tɛkst]
c, ch, x
kampus, paduan suara, teks
g
legen [le:gn]
Meletakkan
f, ff, v
Film [fɪlm], hoffen [hɔfn], Vater [fa:tɐ]
film, berharap, ayah

40

Vibra
Nasal

Lateral
Approximan
Bunyi
aspirasi
Glottal
Affrikatif

[v]
[s]
[z]
[ʃ]

w, v, (q)u
s, ss, ß
s
sch, s(t), s(p)

[ʒ]
[ç]
[x]
[r]
[ɐ]
[m]
[n]
[ŋ]
[l]
[j]
[h]

j, g
ch, -ig
ch
r, rr, rh
r, er
m, mm
n, nn
ng, n(k)
l, ll
j, y
h

[ʔ]

erarbeiten,
Glottal
Eberesche
pf
Pfanne [pfanə]
z, tz, ts, - Zettel [ ɛtəl], Platz [pla ], rechts [rɛç ],
Kaution [kauˈ joːn], Pizza [pɪ a]
t(ion), zz
x, ks, gs,
Text [tɛkst], links [lɪŋks], sagst [za:kst],
chs
wachsen [vaksən]
tsch, ch
Deutsch [dɔy ], Chomsky [tʃɒmskɪ]
dsch
Dschungel [ʤʊŋəl]

[pf]
[ts]
[ks]
[tʃ]
[dʒ]

Welt, Vokal, bequem
Haus [haus], fassen [fasən, stoßen [ʃtoːsən]
reisen [raizən]
Schule [ʃuːlə], stehen [ʃteːən]
spielen [ˈʃpiːlən]
Journalist [ʒʊrnaˈlɪst], Ingenieur [ɪnʒeˈniøːɐ]
Milch [mɪlç], vierzig [fɪr ɪç]
Buch [buːx]
rot [roːt], Herr [hɛr], Rhetorik
mehr [meːɐ], Zimmer [ ɪmɐ]
Mutter [mʊtɐ], komme [kɔmə]
Name [naːmə], Mann [man]
singen [zɪŋən], Bank [baŋk]
lessen [leːzən], hell [hɛl]
Jacke [jakə], Yoga [joːga]
Hut [huːt]

dunia, vokal, nyaman
rumah, menangkap, mendorong
bepergian
sekolah, berdiri
bermain
wartawan, insinyur
susu, empat puluh
Buku
merah, tuan, retorika
lebih, kamar
ibu, datang
nama, lelaki
bernyanyi, bank
membaca, terang
jaket, yoga
topi
mengembangkan, abu gunung
panci
catatan, tempat, kanan,
deposito, pizza
teks, kiri, mengatakan,
tumbuh
Jerman, Chomsky
hutan

41

2.2.3.3 Teori Kekeliruan Pembacaan
William Scott Gray adalah seorang ahli linguistik Inggris, Gray (1996:45)
mengemukakan teori yang menyatakan bahwa dalam suatu kekeliruan pembacaan,
terdapat enam kategori kesalahan yang dilakukan oleh pembaca. Enam kategori tersebut
adalah :
1. Penggantian (substitution). Yang dimaksud dengan penggantian adalah penggantian
sebagian atau keseluruhan dari satuan bahasa yang dibaca, dengan bentuk-bentuk
lain.
2. Penambahan (addition). Yang dimaksud dengan penambahan adalah penambahan
bunyi pada satuan bahasa yang dibaca.
3. Penghilangan (omission). Yang dimaksud dengan penghilangan adalah penghilangan
seluruh atau sebagian bunyi pada satuan bahasa yang dibaca.
4. Pengulangan (repetition). Yang dimaksud dengan pengulangan adalah pengulangan
seluruh atau sebagian bunyi pada satuan bahasa yang dibaca.
5. Pembalikan (reversal). Yang dimaksud dengan pembalikan adalah pembalikan
urutan pada satuan bahasa yang dibaca. Pembalikan ini dapat berupa pembalikan
fonem, huruf, atau morfem.
6. Kata tidak dikenal (unknown words). Yang dimaksud dengan kata tidak dikenal
adalah hasil kekeliruan pembacaan

yang mengalami proses penggantian,

penambahan, penghilangan, pengulangan atau pembalikan, yang menghasilkan kata
yang tidak dapat diidentifikasi dalam bahasa sasaran.

42

2.2.4 Diksi atau Pilihan Kata
Menurut Enre (1988: 101) diksi atau pilihan kata adalah penggunaan kata-kata
secara tepat untuk mewakili pikiran dan perasaan yang ingin dinyatakan dalam pola
suatu kalimat. Maksudnya, seseorang yang memilih kata secara tepat untuk menyatakan
sesuatu. Dalam memilih kata yang setepat-tepatnya untuk menyatakan suatu maksud,
seseorang tidak dapat lari dari kamus. Kamus memberikan suatu ketepatan kepada
seseorang tentang pemakaian kata-kata. Dalam hal ini, makna kata yang tepatlah yang
diperlukan. Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat
apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping itu, pemilihan
kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu. Keraf
(2008; 24) menuliskan point-point penting tentang diksi, yaitu:
1. Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata
yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana
yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
2. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansanuansa makna dari suatu gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan
untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang
dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
3. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan
sejumlah besar kosa kata atau pembendaharaan kata bahasa itu, sedangkan yang

43

dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan
kata yang dimiliki oleh sebuah kata (Gorys Keraf, 2008: 24).
Dari pernyatan di atas tampak bahwa fungsi pilihan kata atau diksi adalah untuk
menyampaikan sebuah kata agar lebih jelas, jika pilihan kata tersebut tepat dan sesuai,
dan juga bertujuan agar tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penutur
atau pendengar, sehingga tercapai komunikasi yang harmoni. Dalam pembahasan ini
yang berkaitan dengan ketepatan dan kesesuaian pemilihan kata dalam penelitian ini
adalah sinonim, sinonim dijelaskan sebagai ungkapan (kata) yang maknanya kurang
lebih sama dengan makna ungkapan (Verhaar, 1983: 132).

2.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang gangguan berbicara penderita Rhotacism pada pembelajar
bahasa Jerman secara khusus belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Mereka cenderung meneliti gangguan berbicara secara umum.
Gustianingsih (2014) ―Gangguan Fonologis Bahasa Indonesia pada Anak
Autistic Spectrum Disorder di kota Medan‖ (Hasil Penelitian Hibah Bersaing – Dikti
Tahun Anggaran 2014). Penelitian ini menjelaskan bahwa gangguan fonologis yang
terjadi pada anak ASD di kota Medan sangat beragam, mulai dari gangguan bunyi
vokal, konsonan sampai pada gangguan pola persukuan bahasa Indonesia. Penelitian
dilakukan pada 4 rumah Autistik Indonesia di Medan seperti Yakari, Tali Kasih,
Homeschooling dan Sekolah Alam. Penelitian dilakukan pada

anak usia 7—10

(kategori anak-anak dengan hambatan Speech Delay, Ekolali dan hiperaktif) dan

44

kategori usia 17—24 tahun, lebih cenderung hiperaktif. Hasil yang diperoleh adalah
bunyi vokal [a], [e], [o] sudah diperoleh dengan baik dan sempurna untuk kasus ASD
anak-anak dan ASD dewasa, tetapi [i], [ε] sudah diperoleh ASD dewasa, sedangkan
ASD anak-anak belum. Bunyi [u] dan [i] sama-sama belum diperoleh ASD anakanakdan ASD dewasa. Hal ini terjadi karena menghasilkan bunyi [i] dan [u] harus
mengangkat lidah setinggi-tingginya agar vokal tinggi ini sempurna dihasilkan,
sedangkan ASD anak-anak dan ASD dewasa ini masih belum dapat menghasilkannya.
Bunyi konsonan [p], [b], [t], [d], [k], [l], [m], [n], [y] sudah diperoleh ASD dewasa,
sedangkan ASD anak-anak baru memperoleh [p], [t], [l], [m], [n] dan [y]. Bunyi
konsonan [g] dihasilkan dengan berubah menjadi bunyi dental bersuara [d] untuk ASD
dewasa, sedangkan ASD anak-anak berubah menjadi bunyi bilabial tak bersuara [t].
Semua bunyi konsonan bersuara belum diperoleh ASD anak-anak, sedangkan ASD
dewasa sudah diperoleh beberapa seperti [d], [b], [l], [m], [n], dan [y].
Arsal (2012) telah melakukan penelitian yang berjudul Analisis Pedigree Cadel
(Studi Kasus Beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan). Telah dilakukan penelitian
Analisis pedigree terhadap sifat cadel. Cadel merupakan ketidakmampuan melafalkan
huruf ‖r‖. Umum dijumpai pada anak usia BALITA (bawah lima tahun), tapi sering
pula terdapat pada orang dewasa. Cadel yang dialami oleh orang dewasa umumnya
disebabkan oleh pengaruh lingkungan seperti psikoedukatif (pendidikan yang diberikan
oleh oarang tua (ayah,ibu)) dan psikokultural (kemampuan mental, kemampuan akal
budi, atau kemampuan (mind) sekumpulan individu dalam mendorong diri mereka
untuk berproduksi lebih tinggi) dan dapat pula disebabkan oleh faktor penyakit seperti

45

menderita down syndrom, stroke, atau pada penderita penyakit yang berhubungan
dengan syaraf. Adapun yang disebabkan oleh faktor herediter (menurun secara genetik
dari orang tua kepada anak) belum diketahui secara pasti, sehingga penelitian ini
bertujuan untuk menentukan sifat cadel yang disebabkan oleh pengaruh herediter dan
untuk menentukan pola pewarisan cadel. Penelitian ini dilakukan sejak tahun 1994 yang
kemudian dilanjutkan lagi tahun 2012 di Propinsi Sulawesi Selatan tempat sampel
berdomisili. Sebanyak tiga silsilah keluarga hasil penelitian yang telah disusun dari data
yang memenuhi kriteria dianalisis untuk menentukan sifat cadel yang disebabkan oleh
faktor herediter dan menentukan pola pewarisan sifat cadel. Pola-pola pewarisan sifat
yang digunakan adalah yang umum ditemukan pada manusia. Dibuat suatu asumsi
bahwa ― Karakter A diturunkan menurut pola b‖ dalam menentukan pola pewarisan
cadel, kemudian melalui fenotip(sifat organisme yang tampak atau yang dapat diamati
oleh alat indera) yang terdapat pada silsilah keluarga dilihat kesesuaian dengan
kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cadel dapat disebabkan oleh faktor
herediter dan diwariskan menurut pola resesif autosomal (sebuah kondisi genetik yang
muncul hanya pada individu yang telah menerima dua salinan gen autosom, satu salinan
dari setiap orangtua).
Purnamasari (2010) dalam penellitian berjudul ―Gangguan berbicara psikogenik
pada penderita latah: tinjauan psikolinguistik‖. Penelitian ini membahas tentang
gangguan berbicara psikogenik pada penderita latah yang ditinjau dari segi fonologi dan
sintaksis.. Penderita latah yang menjadi subjek penelitian adalah penderita latah berat
yakni latah ekolalia, ekopraksia dan automatic obedience, yang berjumlah 1 orang,

46

sedangkan 2 orang subjek penelitian yang lain menderita latah koprolalia. Kata-kata
yang diucapkan para penderita latah menjadi bahan penelitian dan ditinjau secara
sederhana dari teori fonologi yaitu perubahan bunyi dan sintaksis pada teori Frase yang
dibagi atas frase endosentrik dan frase eksosentrik. Dari dua pendekatan tersebut dapat
menentukan hubungan antara pola-pola bunyi bahasa itu dengan makna-maknanya.
Kata-kata maupun kalimat-kalimat yang diucapkan oleh penderita latah murni hanyalah
sebuah kegiatan membeo tanpa menyadari makna maupun kesempurnaan dari