Karakteristik Karsinoma Serviks RSUP. H. Adam Malik Tahun 2011 - 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Serviks
2.1.1 Anatomi Serviks

Gambar 2.1 Anatomi Serviks
(Sumber: Standring, S., 2008. 40th. Gray’s The Anatomical Basis of Clinical Practice.
United Kingdom: Churchill Livingstone).

Serviks uteri atau serviks merupakan jaringan berbentuk silinder, dengan panjang
2,5 – 3 cm dan merupakan penghubung vagina dan uterus . Serviks uteri terbentuk
dari jaringan ikat, pembuluh darah, otot polos, dengan konsistensi kenyal. Ada dua
bagian utama serviks yaitu bagian ektoserviks dan bagian endoserviks. Bagian dari
serviks yang dapat dilihat dari dalam vagina selama pemeriksaan ginekologi dikenal
sebagai ektoserviks. Endoserviks, atau kanal endoserviks adalah bagian yang
merupakan terusan dari os eksternal yang menghubungkan serviks dan rahim. Os
eksternal adalah pembukaan kanal yang ada diantara endoserviks dan ektoserviks
(Huang, 2013).
Serviks dan vagina berasal dari duktus Mulleri yang pada awalnya berada dalam
barisan yang terdiri dari 1 lapis epitel kolumnar. Pada saat usia kehamilan 19 – 20
minggu, epitel kolumnar pada daerah vagina akan mengalami kolonisasi dan tumbuh

ke atas. Hubungan antara epitel skuamosa pada vagina dan daerah ektoserviks dengan
epitel kolumnar pada daerah kanalis endoserviks disebut hubungan skuamokolumnar
original. Posisi sambungan skuamokolumnar original sangat bervariasi. 66% terletak
di daerah ektoserviks, 30% di daerah forniks terutama pada bayi. Posisi sambungan
skuamokolumnar menentukan daerah perluasan metaplasia skuamosa serviks.
Metaplasia skuamosa adalah proses yang penting dalam terjadinya kanker pada
serviks (Putra, 2006)
Permukaan pars vaginalis diselimuti epitel skuamosa, dan pars kanalis serviks
uteri dilapisi oleh epitel kolumnar. Perbatasan antara epitel skuamosa dan kolumnar
terdapat di ostium serviks, sambungan skuamo-kolumnar (SSK) atau zona
transformasi yang merupakan tempat predileksi timbulnya tumor (Huang, 2013).

2.1.2 Histologi Serviks

Gambar 2.2 Histologi Serviks
SS = Skuamosa Berlapis ; J = Junction ; SC = Simpel Kolumnar
(Sumber : Mescher Al :Junqueira’s Basic Histology : Text and Atlas, 12th Edition:
http://www.accessmedicine.com)
Serviks adalah bagian terbawah dari uterus yang berbentuk seperti silinder dan
berbeda secara histologi dengan bagian uterus lainnya. Lapisan mukosa endoserviks

adalah epitel selapis kolumnar penghasil mukus pada lamina propia yang tebal.
Bagian dari serviks dimana kanal endoserviks terhubung ke vagina disebut os
eksternal, yang menonjol ke bagian vagina dan ditutupi mukosa eksoserviks yang
dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis. Zona transformasi terjadi dimana epitel
kolumnar selapis mengalami transisi ke epitel skuamosa berlapis. Semakin kedalam,

lapisan tengah dari serviks memiliki sedikit otot polos dan mengandung lebih banyak
jaringan ikat padat. Dibagian ini terdapat banyak limfosit dan leukosit lainnya
menembus

epitel

berlapis

untuk

memperkuat

pertahanan


tubuh

terhadap

mikroorganisme.
2.2 Prakanker Serviks
2.2.1 Lesi prakanker
Sejak tahun 1908, Schauenstein sudah mulai memperkenalkan bahwa
terminologi karsinoma sel skuamosa serviks dimulai dari lesi prainvasif. Istilah
karsinoma insitu digunakan untuk menggambarkan perubahan lokal epitel kearah
keganasan. Karsinoma insitu disebut juga displasia. Menurut World Health
Organization (WHO), displasia didefinisikan sebagai sebuah lesi yang di tandai
dengan terjadinya perubahan atipik pada permukaan epitel. Berdasarkan tingkat dan
ketebalan perubahan epitel ini, displasia dibagi menjadi tiga yaitu : displasia ringan,
sedang dan berat. Dan untuk lebih mengarah semua bentuk lesi prekursos kanker
serviks, oleh Richart tahun 1973 dalam syahbani (2007) dikenalkan istilah neoplasia
intraepithelial serviks (NIS), termasuk didalamnya displasia dan karsinoma insitu
pada serviks.
Untuk mencapai suatu keadaan kanker serviks invasif, diperlukan proses
panjang dan biasanya didahului oleh penyakit preinvasif. Penyakit preinvasif ini

dikarakteristikan secara mikroskopis dari berkembangnya sel-sel atipik dari berbagai
tingkatan displasia ataupun NIS sebelum berkembang menjadi karsinoma invasif
(Syahbani, 2007).
Lesi prakanker sering juga disebut NIS, Cervical Intraepithelial Neoplasia
(CIN), atau Servikal Intraepithelial Lesion (LIS). NIS adalah pertumbuhan sel
abnormal yang mencakup berbagai lesi epitel yang secara histologi maupun sitologi
berbeda dibanding epitel normal tetapi belum menunjukkan kriteria keganasan. Yang
termasuk kedalam kriteria keganasan adalah peningkatan selularitas, abnormalitas
nukleus dan peningkatan rasio nukleus ataupun sitoplasma.

Broders (1932) dalam Syahbani (2007) memperkenalkan istilah karsinoma
insitu (CIS) yang berarti suatu lesi epitel yang tidak mengalami invasif kedalam
stroma, dan seluruh ketebalan epitelnya tidak mengalami diferensiasi. Perubahan
epitel serviks dengan gambaran diantara karsinoma insitu dan epitel normal disebut
sebagai displasia oleh Reagan dan Hamonic (1956) dalam Syahbani (2007).
2.2.2 Sambungan Skuamokolumnar Baru
Stimulasi hormonal memberi respon berupa perubahan volume serviks.
Peningkatan sekresi estrogen saat pubertas dan kehamilan pertama, menyebabkan
peningkatan volume serviks dan merupakan suatu eversi dari epitel kolumnar
endoserviks ke penempatan ektoserviks. Eversi dari epitel kolumnar menjadi

ektoserviks dikenal dengan ektropion, dan kesalahan dari ektropion disebut erosi
(Putra, 2006).
Gelombang estrogen dari pubertas menetapkan lactobacilli sebagai bagian
dari flora normal vagina. Mikroorganisme ini menghasilkan asam laktat, yang
menurunkan PH vaginal menjadi 4 atau kurang. Epitel kolumnar endoserviks
terekspos setelah pubertas pada kadar keasaman dari lingkungan vagina. Kerusakan
pada epitel kolumnar yang tereversi disebabkan oleh kadar keasaman yang dihasilkan
oleh proliferasi dari cadangan sel stroma epitel kolumnar dasar, dan hal ini akan
menggantikan epitel dengan epitel imatur, undifferentiated, stratified, skuamosa dan
epitel metaplastik. Metaplasia skuamosa yang imatur mengalami proses maturasi,
produksi maturasi berupa pelapisan epitel metaplastik skuamosa yang sulit dibedakan
dengan epitel skuamosa original. Hubungan awal linier original antara epitel
skuamosa dan kolumnar tergantikan oleh zona metaplasia skuamosa yang mengalami
maturasi. Bagian tepi atas dari bagian ini merupakan suatu demarkasi atau garis yang
jelas antar epithelium, yang memperlihatkan morfologi skuamosa, dan vili epitel,
serta kolumnar jika diliat dengan kolposkopi. Hubungan ini dikenal dengan
sambungan skuamokolumnar (Putra, 2006).

2.2.3 Zona Transformasi
Zona


transformasi

adalah

area

datar

antara

original

sambungan

skuamokolumnar dengan sambungan skuamokolumnar yang baru. Zona transformasi
yang sudah matang, tidak bisa digambarkan atau dibedakan dengan sambungan
skuamokolumnar original. Proses perubahan terjadi karena pengaruh hormonal tetapi
pada akhirnya menghasilkan suatu epitel dewasa yaitu epitel skuamosa yang
terglikogenasi(Putra, 2006).

Kalposkopi dapat mendiskripsikan dengan baik keadaan prakanker jika
keseluruhan sambungan skuamokolumnar yang baru dapat terlihat. Kolposkopi
dianggap tida adekuat jika keseluruhan sambungan skuamokolumnar tidak dapat
terlihat. Zona transformasi juga dapat menggambarkan batas distal dari neoplasia
intraepital glandular dengan lesi tinggi yang menjadi prekursor ke arah
adenokarsinoma serviks (Putra, 2006).
2.2.4 Batas Atas Metaplasia Skuamosa
Sambungan skuamokolumnar yang baru merupakan daerah yang tidak stabil.
Penilaian

kolposkopi

serviks

secara

serial

memperlihatkan


sambungan

skuamokolumnar baru bergerak ke arah cephal. Studi histologi dari spesimen biopsi
kolposkopi secara langsung memperlihatkan adanya sel hiperplasia dan metaplasia
skuamosa imatur awal yang terjadi di sepanjang epitel. Metaplasia skuamosa imatur
tahap awal dapat meluas sejauh 10 mm di atas sambungan skuamokolumnar yang
baru. (Putra, 2006).
Metaplastik epithelium imatur pada sambungan skuamokolumnar baru tidak
termasuk dalam pengertian zona transformasi tetapi adanya epitel tersebut
memberikan risiko terbesar dalam transformasi neoplastik pada masa yang akan
datang. Selama fase dinamis metaplasia, terutama masa pubertas dan kehamilan
pertama, sel-sel imatur secara aktif akan difagositosis (Putra, 2006).

Usia koitus pertama merupakan variabel epidemiologi penting dalam menentukan
risiko terjadinya neoplasia serviks. Risiko terkena kanker serviks akan meningkat 26
kali jika usia awal hubungan antara setahun menstrual pertama dan berbeda pada usia
23 tahun atau yang lebih tua (Putra, 2006).
2.2.5 Patogenesis Lesi Prakanker
Cow dan Cox, dkk dalam Syahbani (2007) faktor risiko displasia sesuai dengan
kanker serviks, karena kanker serviks merupakan perkembangan lanjutan dari

displasia. Sekita 15 % displasia ringan menjadi displasia sedang, 30% displasia
sedang menjadi displasia berat, 45% displasia berat menjadi kanker serviks insitu,
dan selanjutnya 90% kanker serviks insitu menjadi kanker serviks invasif.
Sebaliknya, 20% displasia berat menjadi displasia sedang, 40% displasia sedang
menjadi displasia ringan, dan 75% displasia ringan mejadi metaplasia-normal.
2.2.6 Klasifikasi Lesi Prakanker
Pada tahun 1980, British Society of Clinical Cytology (BSCC) membuat
pembagian berdasarkan korelasi antara sitologik dengan histopatologik diskariosis
ringan, sedang dan berat dimana dipakai istilah CIN. Tetapi displasia berat dan
kanker serviks insitu susah dibedakan. Istilah CIN ini juga belum mendapat
kesepakatan dikarenakan tidak seluruh neoplasia berkembang menjadi kanker seviks.
Pada tahun 1980-an, secara patologi ditemukan sel koilositik atau condylomatous
atypia yang dihubungkan dengan infeksi HPV. Koilosit adalah suatu sel atipik di
ruang perinuklear atau gambaran pada sitplasma,perubahan sitologi pada sel ini
merupakan petanda adanya infeksi HPV. Dengan adanya petanda tersebut
disederhanakan pembagian lesi prakanker menjadi dua grup secara histologi yaitu :
1. Low-grade CIN yang meliputi sel-sel koilosit atipik dan CINI
2. High-grade CIN yang meliputi CIN 2dan CIN 3

Gambar 2.3 CIN 1 – Low-grade Squamouse Intraepithelial Lesion


Gambar 2.4 CIN 2 – High-grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)

Gambar 2.5 CIN 3 – HSIL

2.3 Kanker Serviks
2.3.1 Definisi Kanker Serviks
Kanker serviks adalah salah satu jenis keganasan atau neoplasma yang
lokasinya terletak di daerah serviks, daerah leher rahim atau mulut rahim (Rasjidi,
2010). Karsinoma sel skuamosa pada serviks menggambarkan hasil dari
perkembangan displasia atipik yang progresif pada epitel metaplastik di zona
transformasi (Putra, 2006).

2.3.2 Etiologi Kanker Serviks
Pada awalnya sel kanker serviks berasal dari epitel serviks yang mengalami
mutasi genetik sehingga mengubah perilakunya. Sel yang bermutasi ini melakukan
pembelahan sel yang tidak terkendali, immortal dan menginvasi jaringan stroma di
bawahnya. Keadaan yang menyebabkan mutasi genetic yang tidak dapat diperbaiki
akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan kanker ini (Edianto, 2006)
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus HPV. Lebih dari 90%

kanker serviks jenis skuamosa mengandung deoxyribose-nucleic acid (DNA) virus
HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Penyebaran virus ini
terutama melalui hubungan seksual. Dari banyak tipe HPV, tipe 16 dan 18
mempunyai peranan penting melalui sekuensi gen E6 dan E7 dengan mengkode
pembentukan protein-protein yang penting dalam replikasi virus (Edianto, 2006).
Onkoprotein dari E6 akan mengikat dan menjadikan gen penekan tumor (p53)
menjadi tidak aktif, sedangkan onkoprotein E7 akan berikatan dan menjadikan produk
gen retinoblastoma (pRb) menjadi tidak aktif (Edianto, 2006).

2.3.3 Faktor Risiko Kanker Serviks
Faktor risiko perilaku
Sebagian besar pasien kanker serviks uteri adalah wanita yang sudah
menikah, sedangkan pada wanita yang belum menikah khususnya biarawati, sangat
jarang ditemukan (Edianto, 2013). Aktivitas seksual terlalu muda ( < 16 tahun), serta
jumlah pasangan seksual yang tinggi ( > 4 orang) juga merupakan faktor risiko
terjadinya kanker serviks. Karena hubungannya yang erat dengan infeksi HPV,
wanita yang mendapat atau menggunakan penekanan kekebalan (immunosuppessive)
dan penderita HIV berisiko menderita kanker serviks (Edianto, 2006 ).
Peranan HPV (Human Papilloma Virus)
Virus HPV termasuk family papovavirus suatu virus DNA yang bersifat
mutagen. HPV berbentuk ikosahedral dengan ukuran 55 nm, memiliki 72 kapsomer
dan 2 protein kapsid. Infeksi virus HPV sudah terbukti menjadi penyebab lesi
prakanker, kondiloma akuminata dan kanker. Meskipun HPV ini pada umumnya
menyerang wanita, tetapi virus ini juga memiliki peranan dalam timbulnya kanker
pada anus, vulva, vagina, penis dan beberapa kanker orofaring (Putra, 2006).
Terdapat 138 strain HPV yang sudah dapat diidentifikasi, 30 di antaranya
dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Walaupun umumnya HPV ditulakan
melalui kontak seksual, tidak seorang dokter pun dapat memperkirakan kapan infeksi
itu terjadi. Kebanyakan infeksi HPV juga dapat mengalami remisi setelah beberapa
tahun. Beberapa diantaranya akan menetap tanpa atau dengan menyebabkan
abnormalitas pada sel (Putra, 2006).
Penelitian yang ada menunjukkan bahwa lebih dari 90% kanker serviks
disebabkan oleh HPV, yang 70% -nya disebabkan oleh tipe 16 dan 18 sesuai dengan
yang dipublikasikan dalam Lancet Oncology bulan April 2005. Dari kedua tipe ini,
HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker serviks. Seseorang yang sudah

terkena virus HPV tipe 16 memiliki kemungkinan terkena kanker serviks sebesar 5%.
Kanker serviks yang disebabkan oleh HPV umumnya berjenis karsinoma sel (Putra,
2006).
Virus ini menginfeksi membran basalis pada daerah metaplasia dan zona
transformasi serviks. Setelah menginfeksi sel epitel serviks sebagai upaya untuk
berkembang biak, virus ini akan meninggalkan sekuensi genomnya pada sel inang.
Genom HPV berupa episomal (bentuk lingkaran dan tidak terintegrasi dengan DNA
inang) dijumpai pada CIN dan berintegrasi dengan DNA inang pada kanker invasive.
Pada percobaan in vitro HPV terbukti mampu mengubah sel menjadi immortal
(Edianto, 2006).
Hubungan antara infeksi HPV dengan kanker serviks pertama kali dicetuskan
oleh Harold zur Hassen pada tahun 1980. Hubungan anatara infeksi HPV dengan
kejadian kanker serviks terlihat jauh lebih kuat di banding faktor pencetus lainnya
seperti merokok dan metastasis dari kanker pada organ lain (Edianto, 2006).
Dikarenakan terus meningkatnya infeksi HPV dilakukan usaha-usaha untuk
mengidentifikasi tipe dari virus ini. Dari hasil pemeriksaan sekuensi DNA yang
berbeda hingga saat inidikenal lebih dari 200 tipe HPV. Kebanyakan dari virus ini
bersifat jinak. Tiga puluh diantaranya ditularkan melalui hubungan seksual dengan
masing-masing kemampuan mengubah sel epitel serviks. Tipe risiko rendah seperti
tipe 6 dan 11 berhubungan dengan kondiloma dan displasia ringan. Sebaliknya, tipe
risiko tinggi seperti tipe 16, 18, 31,33 dan 35 berhubungan dengan displasia sedang
sampai karsinoma in situ (Edianto, 2006)
Infeksi terjadi melalui kontak langsung. Pemakaian kondom tidak cukup aman
untuk mencegah penyebaran virus ini karena kondom hanya menutupi sebagian organ
genital saja, sementara labia, skrotum, dan daerah anal tidak terlindungi (Edianto,
2006 )

Tipe virus risiko tinggi menghasilkan protein yang dikenal dengan protein E6
dan E7 yang mampu berikatan dan menonaktifkan protein p53 dan pRb epitel serviks.
P53 dan pRb adalah protein penekan tumor yang berperan menghambat kelangsungan
siklus sel. Dengan tidak aktifnya p53 dan pRb, sel yang telah bermutasi akibat infeksi
HPV dapat meneruskan siklus sel tanpa harus memperbaiki kelainan DNA-nya.
Ikantan E6 dan E7 serta adanya mutasi DNA merupakan dasar utama terjadinya
kanker (Edianto,2006).
Faktor lainnya
Merokok juga sering dikaitkan dengan terjadinya keganasan. Terdapat data
yang mendukung rokok sebagai penyebab kanker serviks dan hubungannya dengan
kanker sel skuamosa pada serviks. Mekanisme kerjanya bisa secara langsung melalui
aktivitas mutasi mukus serviks (cairan pada permukaan mulut rahim) pada perokok
atau melalui efek imunosupresive (mengurangi daya tahan tubuh) yang muncul dari
kebiasaan merokok. Tembakau pada rokok juga mengandung bahan-bahan
karsinogenik (penyebab kanker) baik yang dihisap sebagai rokok maupun cigarette
yang dikunyah. Asap rokok sendiri menghasilkan polycyclic aromatic hidrocarbons
heterocyclic amine yang sangat karsinogen (penyebab kanker) dan mutagen
(penyebab mutasi). Bahan yang berasal dari tembakau yang diisap terdapat pada
mukus serviks wanita perokok dan dapat menjadi ko-karsinogen infeksi virus. Bahanbahan tersebut juga terbukti dapat menyebabkan kerusakan epitel DNA serviks
sehingga dapat menyebabkan neoplasma serviks (Rasjidi, 2010).

2.3.4 Patogenesis Kanker Serviks

Gambar 2.6 Ilustrasi virus HPV
(Sumber : Nobel committee for physiology or medicine 2008)

Penyebab utama terjadinya kanker serviks adalah virus HPV. Hubungan
seksual yang terlalu dini dan berganti-ganti pasangan dapat meningkatkan risiko
terkena virus HPV. Terdapat banyak jenis virus HPV, tetapi hanya beberapa yang
bersifat persisten di tubuh dan akan menyebabkan terjadinya lesi prakanker yang
menyababkan terjadinya kanker serviks.
Terjadinya karsinoma serviks yang invasif berlangsung dalam beberapa tahap.
Tahapan pertama dimulai dari lesi pre-invasif, yang ditandai dengan adanya
abnormalitas dari sel yang biasa disebut dengan displasia. Displasia ditandai dengan
adanya anisositosis (sel dengan ukuran yang berbeda-beda), poikilositosis (bentuk sel
yang berbeda-beda), hiperkromatik sel, dan adanya gambaran sel yang sedang
bermitosis dalam jumlah yang tidak biasa. Displasia memilik 3 pembagian yaitu
displasi ringan, sedang dan berat. Sedangkan pada tahap invasif, gejala yang
dirasakan lebih nyata seperti perdarahan intermenstrual dan post koitus, discharge
vagina purulen yang berlebihan berwarna kekuning-kuningan terutama bila lesi

nekrotik, berbau dan dapat bercampur dengan darah, sistisis berulang, dan gejala akan
lebih parah pada stadium lanjut di mana penderita akan mengalami cachexia,
obstruksi gastrointestinal dan sistem renal(Edianto, 2006).
2.3.5 Stadium kanker serviks
Penentuan stadium dilakukan setelah ditegakkannya diagnosis kanker serviks
dengan pemeriksaan histologi jaringan biopsi. Penentuan stadium harus diikuti
dengan kondisi klinis, didukung oleh bukti-bukti klinis dan sederhana. Penentuan
stadium menurut FIGO ( International Federation of Gynecology Obstetrics) tahun
2014 dilihat berdasarkan lokasi tumor primer, ukuran besar tumor dan adanya
penyebaran keganasan. Staging ini dibuat untuk mempermudah perancangan terapi
dan memperkirakan prognosis pasien.
2.1 Klasifikasi Stadium Kanker Serviks menurut FIGO 2008
Stadium
FIGO

0
I
IA

IA1
IA2
IB
IB1
IB2
II
IIA

Keterangan
Tidak ada dugaan tumor primer
Tidak ada bukti tumor primer
Karsinoma in situ (karsinoma pervasif)
Karsinoma masih terbatas diserviks (penyebaran ke korpus
uteri diabaikan)
Karsinoma invasif hanya dapat didiagnosa secara mikroskopis.
Lesi telah menembus membran basalis dengan kedalaman < 5
mm dan diameter < 7mm
Lesi telah menembus membran basalis dengan kedalaman < 3
mm dan diameter < 7 mm
Lesi telah menembus membran basalis dengan kedalaman 3-5
mm dan diameter < 7 mm
Lesi terbatas diserviks atau secara mikroskopik ukuran lesi
lebih besar daripada T1a/IA2
Lesi berukuran < 4 cm
Lesi berukuran > 4 cm
Lesi mencapai uterus tetapi belum meluas hingga dinding
pelvis atau sepertiga bawah vagina
Lesi tanpa perluasan ke parametrium

IIA1
IIA2
IIB
III

Lesi berukuran < 4 cm
Lesi berukuran > 4 cm
Lesi meluas hingga ke parametrium
Lesi terbatas pada dinding serviks melibatkan sepertiga bawah
vagina sehingga menyebabkan hidronefrosis atau gagal ginjal
IIIA
Lesi mencapai sepertiga bawah vagina
IIIb
Lesi terbatas pada dinding pelvis sehingga menyebabkan
hidronefrosis atau gagal ginjal
IVA
Lesi mencapai mukosa kantung kemih atau rektum atau terbatas
pada pelvis
IVB
Metastasis jauh
Sumber : World Health Organization (WHO), Breast and Female Genital, 2014

2.3.6 Jenis histopatologis pada kanker serviks
Epithelial tumours
1. Tumor skuamosa dan prekursor



Karsinoma sel skuamosa
o Keratinizing
o Non-keratinizing
o Basaloid
o Verrucous
o Warty
o Papillary
o Lymphoepithelioma-like





o Squamotransisional sel
Early invasive squamous cell carcinoma
Cervical intraepithelial neoplasia : prekursor dari karsinoma sel skuamos
serviks

2. Tumor glandular dan prekursor



Adenocarcinoma

o Mucinous adenocarcinoma
-

Endocervical

-

Intestinal variant

-

Signet-ring cell variant

-

Minimal deviation variant

-

Villoglandular variant

o Endometrioid adenocarcinoma
o Clear cell adenocarcinoma
o Serous adenocarcinoma




o Mesonephric adenocarcinoma
Early invasive adenocarcinoma
Adenocarcinoma in situ

3. Uncommon carcinomas and neuroendocrine tumours









Adenosquamous carcinoma
o Glassy cell carcinoma variant
Adenoid cystic carcinoma
Adeniod basal carcinoma
Neuroendocrine tumours
o Small cell carcinoma



o Large cell neuroendocrine carcinoma
Undifferentiated carcinoma

Tumor Mesenkim
1. Malignant mesenchymal tumours








Leiomyosarcoma
Endometrioid stromal sarcoma, low grade
Undifferentiated endocervical sarcoma
Alveola soft part sarcoma





Angisarcoma
Malignant peripheral nerve sheath tumour

Tumor campuran mesenkimal dan epithel






Karsinosarkoma
Adenosarkoma
Tumor Wilms

Melanotik, limfoit dan tumor serviks sekunder








Malignant melanoma
Yolk sac tumour
Limfoma dan leukaemia
Secondary tumour

2.3.7 Gejala Klinis Kanker Serviks
Gejala klinis kanker serviks dalam Huang (2013) berupa:
1. Perdarahan per vagina : pada stadium awal terjadi perdarahan sedikit
sesaat setelah koitus atau saat membersihkan vagina. Perdarahan akan
terus bertambah dalam frekuensi maupun volume perdarahan akan terus
bertambah dan dterkadang dapat menimbulkan hemoragi masif dengan
penyebab eksfoliasi jaringan kanker.
2. Sekret per vagina : pada stadium awal berupa keputihan yang bertambah,
disebabkan iritasi oleh lesi kanker atau peradangan dari glandula serviks
yang

mengalami

hipersekresi.

Dengan

progresi penyakit,

sekret

bertambah, encer seperti air, berbau amis dan bila terjadi infeksi timbul
bau busuk atau bersifat purulen.

3. Nyeri : umumnya pada stadium sedang, lanjut atau bila disertai infeksi.
Nyeri terasa di lokasi bawah abdomen, regiogluteal atau sakrokoksigeal.
4. Gejala saluran urinarius : sering disertai infeksi, dapat menimbulkan
polakisuria, urgensi dan disuria. Dengan perkembangan kanker dapat
mengenai vesika urinari, dan menimbulkan hematuria, piuria hingga
terbentuk fistel sisto-vaginal.
5. Gejala saluran pencernaan : ketika lesi kanker serviks menyebar ke
ligamen kardinal, ligamen sakral dapat menekan rektum dan menimbulkan
obstipasi.

Bila

tumor

menginvasi

rektum

dapat

menimbulkan

hematokezia, akhirnya timbul fistel rektovaginal.
2.3.8 Deteksi Dini dan Penegakan Diagnosa Kanker Serviks
Deteksi dini untuk kanker serviks bertujuan agar penemuan lebih awal lesi kanker
atau kelainan pada serviks yang beresiko lebih besar dalam terjadinya kanker serviks.
Pemeriksaan sitologi seperti papsmear dan liquid-based cytology (LBC), pemeriksaan
DNA-HPV dan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) merupakan tes
skrining untuk prekanker atau kanker serviks (American Cancer Society, 2014).
Papsmear adalah pemeriksaan sitologi menggunakan spatula yang di usap pada
zona transformasi serviks, dan hasil yang didapatkan diletakkan di gelas objek dan di
teliti di laboratorium patologi anatomi. Lain halnya dengan papsmear, pemeriksaan
LBC tidak menggunakan gelas objek melainkan spatula dimasukkan kedalam tabung
yang berisi cairan khusus. Hasil LBC lebih baik dibandingkan pemeriksaan dengan
papsmear, terbukti dari hasil false-negative yang lebih kecil. Pemeriksaan HPV-DNA
berfungsi untuk melihat apakah pasien terinfeksi HPV, meskipun tidak semua pasien
yang terinfeksi HPV akan mengalami kanker serviks tetapi telah dipastikan bahwa
HPV merupakan penyebab terbesar dalam terjadinya kanker serviks. Pemeriksaan
IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) merupakan metode inspeksi yang sangat
sederhana. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan asam asetat
3% - 5% pada serviks sebelum melakukan inspeksi visual. Pemeriksaan ini disebut

positif abnormal bila terjadi perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada daerah
yang dioleskan asam asetat (WHO, 2006).
Langkah pertama dalam penentuan kanker serviks yang paling sering adalah hasil
dari pemeriksaan papsmear yang abnormal. Papsmear bukanlah tes untuk
menegakkan diagnosis melainkan tes skrining. Hasil papsmear yang abnormal
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat apakah ada tidaknya kanker
atau prakanker di serviks. Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik juga perlu
diketahui. Hal ini berhubungan dengan faktor resiko dan gejala-gejala kanker serviks
(American Cancer Society, 2014).
Berikut pemeriksaan yang dilakukan untuk penegakan diagnosis kanker serviks
menurut American Cancer Society (2014):
1. Pemeriksaan kolposkopi : di bawah penerangan yang tinggi dan menggunakan
kaca pembesar langsung mengamati lesi di serviks. Merupakan salah satu cara
diagnosa penting untuk diagnosis dini karsinoma serviks. Dapat menemukan
lesi preklinis yang tidak terlihat dengan mata normal. Jika terdapat bagian
yang mencurigakan bisa dilakukan biopsi.
2. Biopsi serviks : untuk memastikan diagnosis CIN dan karsinoma serviks.
Karsinoma serviks stadium dini tidak memperlihatkan lesi yang jelas, untuk
dapat memperoleh jaringan kanker secara akurat, perlu dilakukan biopsi, lalu
dilakukan pemeriksaan patologinya.
3. Kuretase endoserviks : pemeriksaan ini dilakukan jika hasil dari papsmear
positif tetapi tidak terlihat ke abnormalannya melalui kolposkopi.
4. Sistoskopi dan proktoskopi.
Sistoskpoi adalah tabung dengan lensa dan cahaya yang dimasukkan ke dalam
vesika urinari melalui uretra. Pemeriksaan ini berguna untuk melihat
pertumbuhan kanker. Proktoskopi adalah inspeksi rektum melalui tabung
bercahaya untuk menglihat penyebaran kanker serviks ke rektum.

5. Pemeriksaan

radiologi

:

pemeriksaan

ini

berguna

untuk

melihat

perkembangan kanker. Menggunakan x-ray, computerized tomography (CT)
scan dan magnetic resonance imaging ( MRI ) dengan gelombang radio dan
magnet.

2.3.9 Penatalaksanaan Kanker Serviks
Secara umum jenis terapi yang dapat diberikan bergantung pada usia dan
keadaan umum penderita, luasnya penyebaran, dan komplikasi lain yang menyertai
Metode terapi kanker serviks berupa operasi, radioterapi, kemoterapi, imunoterapi
dan lain-lain. Pada umumnya kasus stadium lanjut (stadium IIb, III, dan IV) dipilih
pengobatan radiasi diberikan secara intrakaviter dan eksternal, sedangkan stadium
awal dapat diobati melalui pembedahan atau radiasi.
Terapi tunggal apakah berupa radiasi atau operasi merupakan pilihan bila
kanker serviks dapat didiagnosis dalam stadium dini. Pada dasarnya untuk stadium
lanjut ( IIb, III, dan IV) diobati dengan kombinasi radiasi eksterna dan intrakaviter
(brakhiterapi).
Penatalaksanaan prekanker
1. Cryotherapy : penatalaksanaan dengan cara membekukan daerah abnormal
serviks menggunakan besi yang sangat dingin

Gambar 2.7 Cryotherapy
(sumber : WHO cervical cancer control, 2006)

2. LEEP (Loop Electrosurgical Excision Procedure) : pembuangan area serviks
abnormal menggunakan kabel kecil yang sudah di panaskan dengan listrik.
Prosedur ini berhasil untuk 9 dari 10 wanita dengan lesi prakanker.

Gambar 2.8 Metode LEEP
(sumber : WHO cervical cancer control, 2006)

3. Konisasi cold-knife : pembuangan berbentuk kerucut pada serviks abnormal.

Gambar 2.9 Metode Konisasi
(sumber : WHO cervical cancer control, 2006)

Penatalaksanaan Kanker Invasif
Terapi primer
1. Operasi atau pembedahan
-

Trachelectomi adalah pembedahan dengan tujuan untuk membuang serviks.
Bagian yang dibuang adalah parametria dan sebagian vagina atas.

Gambar 2.10 Gambaran Pembedahan Trachelectomi
(sumber : WHO cervical cancer control, 2006)

-

Simpel histerektomi : pembuangan uterus dengan bedah secara keseluruhan
termasuk serviks. Pembedahan bisa dilakukan melalui abdominal bawah
atau pun melalui vagina. Tuba falopi dan ovarium tidak di buang, tetapi
bisa dibuang bila terlihat abnormal.

Gambar 2.11 Gambaran Simpel Histerektomi
(sumber : WHO cervical cancer control, 2006)

-

Radikal histerektomi : pembedahan dengan tujuan untuk membuang uterus,
serviks, jaringan sekitar (parametria) dan 2 cm vagina atas.

Gambar 2.12 Gambaran Radikal Histerektomi
(sumber : WHO cervical cancer control, 2006)

2. Radioterapi : sering digunakan untuk penatalaksanaan kanker serviks stadium
IB, IIA dan IV.
-

Teletherapy atau radiasi eksterna : sering juga disebut external beam radiation
therapy (EBRT).

Gambar 2.13Teletherapy
(sumber : WHO cervical cancer control, 2006)

-

Brachytherapy atau radiasi interna : penatalaksanaan untuk kanker stadium
lanjut dengan meletakkan alat radiasi berupa biji ke dalam tubuh mendekati
area tumor.

Gambaran 2.14 Brachytherapy
(sumber : WHO cervical cancer control, 2006)
Kemoterapi : penatalaksanaan dengan pemberian obat melalui infus, tablet atau
intramuskular. Kemoterapi tidak termasuk ke dalam terapi primer, tetapi biasa
digunakan sebagai terapi gabungan bersamaan dengan pembedahan dan radioterapi.
Penatalaksanaan Berdasarkan Stadium
Penatalaksanaan kanker serviks dengan stage IA telah menunjukkan hasil
yang efektif dengan simpel histerektomi, dimana 5 years survival rate berkisar 95%.
Tetapi hanya sedikit penderita kanker serviks yang didiagnosis dini sebelum
terjadinya perjalanan penyakit lebih jauh. Maka dari itu penatalaksanaan yang
dilakukan tidak hanya berupa surgical, diperlukan terapi gabungan untuk
pentalaksanaan dari kanker serviks.

Stadium Awal ( IA – IIA )
1. NAC (Neo Adjuvant Cemotherapy) + Radikal histerektomi =

Partial

/

Komplit
2. NAC (Neo Adjuvant Cemotherapy)+ Radiasi = Stable / Progresif
Sejauh ini, adjuvant chemotherapy (kemoterapi yang diberikan setelah terapi
definitif seperti surgical) belum ditemukan berguna dalam penatalaksanaan kanker
serviks. Tetapi, pendekatan lain yang dilakukan berupa neoadjuvant chemotherapy,
pemberian kemoterapi sebelum penatalaksanaan lainnya seperti radioterapi atau
surgical, dikonsiderasi memberi dampak baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Sardi et al (1986) dalam Dunlavey (2009) bahwa pemberian neoadjuvant
sebelum pelaksanaan surgical lebih menjanjikan dibanding pemberian surgical saja.
Walaupun demikian, tidak semua hasil dari penatalaksanaan bersifat komplit
dikarenakan tidak semua tumor bersifat kemosensitif (Dunlavey, 2009).
Stadium Lanjut ( > IIB )
1. Kemoterapi + Radioterapi
2. Radioterapi

Penatalaksanaan berupa surgical dikenal sangat efektif untuk kanker serviks
IA, sedangkan radioterapi merupakan penatalaksanaan yang lebih dikenal untuk
stadium lebih lanjut. Radioterapi bisa digunakan bersamaan dengan pelaksanaan
surgery, tetapi hal ini sering dihindari dikarenakan peningkatan toxicity yang dapat
timbul jika dua pengobatan ini dilakukan secara bersamaan.
Pemberian Radioterapi tunggal dilakukan jika sudah terjadi metastasis sampai
ke ginjal atau pun masalah ginjal lainnya yang dimiliki penderita. Hal ini dapat
membahayakan penderita dengan gangguan ginjal jika diberi penatalaksanan
kemoterapi karna dapat memperberat kerja dari ginjal itu sendiri (Dunlavey, 2009).
2.3.10 Prognosa Kanker Serviks

Dari tumor yang ada di saluran reproduksi, kanker serviks uteri memiliki
prognosis relatif lebih baik, khususnya karsinoma in situ dan karsinoma invasif
stadium dini. Survival 5 tahun karsinoma serviks in situ hampir 100%. Menurut
FIGO dari laporan gabungan hasil terapi di 137 lembaga, 32.052 kasus kanker serviks
uteri berbagai stadium (Petterson, 1991), survival 5 tahun pasien stadium I,II,III,IV
masing-masing adalah 81,6% , 61,3% , 36,7% , 12,1%. Kanker serviks memiliki
beberapa faktor yang mempengaruhi penilaian prognosisnya seperti stadium klinis,
tipe patologi, metastasis kelenjar limfe, manipulasi operasi dll. Setelah terapi masih
harus dilakukan pemeriksaan ulang berkala (Huang, 2013).
Hasil dibawah ini di publiksikan di 7th edition of the AJCC staging manual
pada tahun 2010. Berdasarkan dari data yang dikumpulkan oleh National Cancer
Data Base dari pasien yang didiagnosa tahun 2000 sampai 2002. Data ini merupakan
data statistik terakhir yang ada untuk kasus survival berdasarkan staging.
Tabel 2.2

5 Years Survival Rate

Stage

5-year Observed Survival Rate

0

93 %

IA

93%

IB

80%

IIA

63%

IIB

58%

IIIA

35%

IIIB

32%

IVA

16%

IVB

15%

(Sumber : American Cancer Society, 2014)

2.3.11 Rekurensi Kanker Serviks
Rekuresi kanker serviks merupakan hal yang patut diwaspadai walaupun
pembedahan dan kemoradioterapi telah mampu mengobati 80 – 95 % lesi kanker
derajat rendah (stadium 1 dan 2) dan 60% stadium 3. Resiko rekurensi lebih rendah
pasien denan CIN I, dan lebih tinggi pada pasien dengan CIN II, CIN III atau kanker.
Namun, untuk CIN I dan CIN II rekurensi lebih sering terjadi kurang dari 20 tahun
setelah pengobatan sedangkan CIN III lebih dari 20 tahun (Clarissa, 2009).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
rekurensi kanker serviks dengan persistensi infeksi virus HPV, hal ini dilihat dari
besarnya jumlah virus HPV risiko tinggi sebelum konisasi dan adanya DNA
HPVdalam jaringan serviks setelah diterap (Clarissa, 2009).

2.3.12 Pencegahan Kanker Serviks
Untuk mencegah kanker serviks, yang paling utama adalah menghindari faktor
resiko. Berikut pencegahan terjadinya kanker serviks:
(1) Tunda kontak seksual pertama di umur remaja
(2) Hindari berganti-ganti pasangan seksual
(3) Hindari pasangan seksual yang berganti-ganti pasangan seksual
(4) Hidup sehat dengan cara mengkonsumsi makanan bergizi untuk menjaga
ketahanan imun, serta hindari rokok
(5) Wanita yg sudah menikah dianjurkan untuk melakukan skrining test berupa
papsmear untuk deteksi awal kanker serviks.