Implementasi Program Pemeliharaan Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat Oleh Polresta Medan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1.Implementasi
Implementasi menurut Ripley dan Frankin yang dikutip Winarno (2014)
mengemukakan implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang
ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit)
atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah
implementasi
menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang
tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan
oleh
para pejabat
pemerintah.
Menurut Setiawan (2004) dalam bukunya yang berjudul Implementasi
dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut
implementasi adalah perluasan aktivitas yang
saling menyesuaikan proses
interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan
jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif.
Hanifah (Harsono, 2002) dalam bukunya yang berjudul Implementasi
Kebijakan dan Politik mengemukakan pendapatnya yakni implementasi adalah
suatu proses untuk melaksanakan kegiatan menjadi
tindakan kebijakan dari
politik kedalam administrasi.
Dari
pengertian – pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata
implementasi bermuara pada mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme
mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu
12
13
kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh sungguh berdasarkan
acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.
2.2.Model Implementasi Kebijakan
Model pendekatan mempengaruhi efektifitas keberhasilan implementasi
suatu kebijakan. van Meter dan van Horn menawarkan satu model dasar yang
mempunyai
enam variabel
yang membentuk hubungan (linkage)
antara
kebijakan dan kinerja (performance). Model ini seperti yang diungkapkan oleh
van Meter dan van Horn tidak hanya menentukan hubungan-hubungan antara
variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan,
tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antara
variabel-variabel bebas
(Winarno, 2014).
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan van Meter
dan van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975).
Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu
pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk
meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam
hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi
kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja
kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi
oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:
1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumber daya
3. Karakteristik organisasi pelaksana
14
4. Sikap para pelaksana
5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn
dijelaskan sebagai berikut:
1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari
ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada
di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran kebijakan terlalu ideal
(utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van
Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja
implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang
harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya
merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.
Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor
yang menentukan kinerja kebijakan. Menurut
van Meter dan van Horn,
identifikasi indikator–indikator kinerja merupakan tahap yang krusial
dalam
analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator kinerja ini menilai sejauh
mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan
kebijakan telah
direalisasikan.
Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna dalam menguraikan tujuantujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran-ukuran
dasar
dan tujuan-tujuan merupakan bukti dan dapat diukur dengan mudah
dalam beberapa kasus (Winarno, 2014).
15
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan
kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal
(frustated) ketika para pelaksana (officials) tidak sepenuhnya menyadari terhadap
standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan
erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para
pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan
hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan
kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi
tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).
2. Sumber –sumber Kebijakan
Disamping ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, yang perlu
mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumbersumber yang tersedia.
menunjang keberhasilan
Sumber-sumber layak
mendapat perhatian karena
implementasi kebijakan.
Sumber-sumber yang
dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan
memperlancar implementasi yang efektif (Winarno, 2014).
Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang
terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap
tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas
sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan
secara politik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu
menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan.
16
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn,
1974) bahwa: ”New town study suggest that the limited supply of federal
incentives was a major contributor to the failure of the program”.
Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:”sumber
daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi.
Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar
administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau
insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu
kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi
kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi
kebijakan.”
3. Karakteristik organisasi pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal
ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh
ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan
dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan
sehingga dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain
diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu, cakupan
atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen
pelaksana kebijakan.
17
Menurut Edward III, 2 (dua) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah
prosedur-prosedur kerja standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan
fragmentasi.
1. Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai
respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari
pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasiorganisasi yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin
didesain untuk situasi tipikal di masa lalu mungkin menghambat
perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi atau
program baru. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakankebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe
personil baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar
kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu
organisasi, semakin besar probabilitas SOP menghambat implementasi
(Edward III, 1980).
2. Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar
unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok
kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat
kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik. Fragmentasi
adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di
antara beberapa unit organisasi. “fragmentation is the dispersion of
responsibility for a policy area among several organizational units.”
(Edward III, 1980). Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan yang
terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan
18
keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan
implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin
koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan,
semakin kecil peluang untuk berhasil (Edward III, 1980).
Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasiorganisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka. Van Meter
dan van Horn
yang dikutip Winarno (2014) mengetengahkan beberapa
unsur yang mungkin berpengaruh
terhadap suatu organisasi
dalam
mengimplementasikan kebijakan.
1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan.
2. Tingkat pengawasan
hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit
dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana.
3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (Misalnya dukungan di antara
anggota-anggota legislatif dan ekskutif).
4. Vitalitas suatu organisasi.
5. Tingkat komunikasi-komunikasi terbuka
jaringan kerja
yang didefenisikan sebagai
komunikasi horisontal dan vertikal secara bebas serta
tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan
individu-individu diluar organisasi.
6. Kaitan formal
dan informal suatu badan
keputusan atau pelaksana keputusan.
dengan
badan
pembuat
19
4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van
Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan
harus dipahami oleh para individu (implementors) yang bertanggung jawab atas
pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus
dikomunikasikan
kepada
para
pelaksana.
Komunikasi
dalam
kerangka
penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi
standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari
berbagai sumber informasi.
Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu
standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan
sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat
mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering
merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah
di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke
komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja
maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang
tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi
sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting),
maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang
lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.
Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat
ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan
20
konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo
1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam
implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihakpihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin
kecil dan demikian sebaliknya.
5. Disposisi atau sikap para pelaksana
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006)
”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal
ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil
formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang
mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat
mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu
menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.
Sikap mereka dipengaruhi oleh pandangannya terhadap suatu kebijakan
dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan
organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn
(1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan
(befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam
batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang
dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu
kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman
dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua,
21
arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance,
neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan
kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan
yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak
sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para
pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan
hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan
kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan
(Van Mater dan Van Horn, 1974).
Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar
dan tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar
terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan
Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana (implementors)
dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau
terbatasnya intensitas disposisi ini, bisa menyebabkan gagalnya implementasi
kebijakan.
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi
kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan
kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan.
22
Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan
eksternal yang kondusif.
Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan
Horn dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:
Ukuran-ukuran
__________________________________________________________________
Dasar dan tujuan
Tujuan
Komunikasi antar
Organisasi dan
Kegiatan-kegiatan
Pelaksanaan
Kebijaksanaan
Karakteristik –karak
teristik dari badanBadan pelaksana
Kecendrungan
pelaksanapelaksana
Kinerja
Sumbersumber
Kondisi-kondisi
Ekonomi, sosial
dan politik
__________________________________________________________________
Sumber: (Winarno, 2014)
Gambar 2.1. Model A Policy Implementation Process
Winarno (2014) menjelaskan
implementasi merupakan
proses yang
dinamis. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijaksanaan
dalam tahap-tahap awal mungkin akan mempunyai konsekuensi
yang kecil
dalam tahap selanjutnya. Dengan demikian, studi implementasi yang dilakukan
secara longitudinal menjadi sangat
penting dimana
hubungan-hubungan
23
diidentifikasi pada suatu waktu tidak harus diperpanjang secara kasual pada
periode waktu lainnya.
2.3.Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Keamanan yang asal katanya aman adalah suatu kondisi yang bebas dari
segala macam bentuk gangguan dan hambatan. Sedangkan pengertian ketertiban
adalah suatu keadaan dimana segala kegiatan dapat berfungsi dan berperan sesuai
ketentuan yang ada. Pengertian Kamtibmas menurut Pasal 1 Undang-undang
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa
pengertian Kamtibmas adalah keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu
kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses
pembangunan nasional dalam rangka tercapainnya tujuan nasional yang ditandai
oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya
ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan
potensi
dan
kekuatan
masyarakat
dalam
menangkal,
mencegah,
dan
menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan
lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Perkataan aman dalam pemahaman tersebut mengandung 4 (empat) pengertian
dasar, yaitu:
1. Security yaitu perasaan bebas dari gangguan fisik dan psikis;
2. Surety yaitu perasaan bebas dari kekhawatiran;
3. Safety yaitu perasaan terlindung dari segala bahaya; dan
4. Peace yaitu perasaan damai lahiriah dan batiniah.
24
Masalah ketertiban menjadi penting jika suatu bangsa sedang berusaha
membangun
guna mencapai
suatu kesejahteraan.
Keseimbangan
dalam
masyarakat dapat terjadi antara lain karena adanya ketertiban. Ketertiban
mengandung unsur
suatu keadaan
antar pribadi-pribadi
berjalan serta teratur dan keadaan itu menurut
dalam masyarakat
ukuran yang
seharusnya
(Sitompul, 2004). Menurut Soerjono yang dikutip Sitompul (2004), dalam suatu
masyarakat
ketertiban yang efektif
dapat terjadi jika secara umum warga
masyarakat bertingkah laku sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan
menghindari
perbuatan-perbuatan
yang
diancam
hukuman,
dan
tanpa
memperhatikan motif-motif mengapa ia harus berlaku tertib.
2.4 Tinjauan Tentang Masyarakat
Masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah
sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah
antara
individu-individu
yang
berada
dalam
kelompok
tersebut.
Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih
abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar
entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang
teratur.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah
ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai
prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain,
25
masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu
rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat
yang
memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga - warganya, 2) Adat istiadat,
3 ) Kontinuitas waktu, 4 ) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga
(Koentjaraningrat, 2009)
Menurut Adam Smith yang dikutip Soekanto (2013) sebuah masyarakat
dapat terdiri dari berbagai jenis manusia yang berbeda, yang memiliki fungsi yang
berbeda (as among different merchants), yang terbentuk dan dilihat hanya dari
segi fungsi bukan dari rasa suka maupun cinta dan sejenisnya, dan hanya rasa
untuk saling menjaga agar tidak saling menyakiti "may subsist among different
men, as among different merchants, from a sense of its utility without any mutual
love or affection, if only they refrain from doing injury to each other."
2.5. Kepolisian
Pemahaman
terhadap pengertian polisi
dilakukan dengan mengacu
kepada asal mula kata tersebut. Polisi pada mulanya berasal dari bahasa Yunani,
"politea" yang berarti pemerintahan negara Yunani terdiri dari kota-kota yang
disebut dengan "polis". Pada waktu itu pengertian polisi menyangkut segala
urusan pemerintahan termasuk urusan agama atau dengan kata lain pengertian
polisi adalah urusan pemerintahan. Pengertian polisi pada waktu tersebut terkait
dengan urusan pemerintahan yang masih sederhana dan belum seperti sekarang
ini. Dari istilah politea dan polis kemudian timbul istilah lapoli, police (Inggris),
polzei (Jerman), dan polisi (Indonesia). Charles Reith dalam bukunya yang
26
berjudul The Blind Eye of History yang dikutip Utomo (2005) mengemukakan
pengertian polisi “came to mean of planning for improving ordering communal
existence”yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau susunan
kehidupan masyarakat. Pengertian ini berpangkal dari pemikiran, bahwa manusia
adalah mahluk sosial, hidup berkelompok, membuat aturan-aturan yang disepakati
bersama.
Polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan
kepada masyarakat (Raharjo,2009). Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan
bahwa kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah kepolisian
dalam Undang-undang ini mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi dan
lembaga polisi. Dalam Pasal 2 Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi
pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat.
Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai
suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan
peraturan perundang–undangan(Sadjijono, 2008)
Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa:
1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
27
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri.
2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
2.6. Polisi dan Profesionalisme
Keberadaan dan fungsi polisi dalam masyarakat adalah sesuai dengan
tuntutan kebutuhan dalam masyarakat yang bersangkutan untuk adanya pelayanan
polisi. Dalam sebuah masyarakat lokal yang hidup di daerah terpencil dengan
pranata adatnya, mereka mampu mengatur keteraturan sosial sendiri, dan tidak
memerlukan polisi. Tetapi pada masyarakat yang kompleks (pedesaan maupun
kota)
dimana pranata adat tidak
fungsional lagi, maka untuk mengatur
keteraturan sosial diperlukan institusi kepolisian untuk menangani dan mengatasi
berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masalah
keamanan (Suparlan 1999).
Fungsi polisi dalam struktural kehidupan masyarakat sebagai pengayom
masyarakat dan penegak hukum, mempunyai tanggung jawab khusus untuk
memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk
tindakan kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota
masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram. Dengan
kata lain kegiatan-kegiatan polisi adalah berkenaan dengan sesuatu gejala yang
ada dalam kehidupan sosial dari sesuatu masyarakat yang dirasakan sebagai
28
beban/gangguan yang merugikan para anggota masyarakat tersebut (Suparlan :
1999).
Untuk mewujudkan rasa aman itu, mustahil dapat dilakukan oleh polisi
saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara pemolisian yang konvensional
dengan melibatkan birokrasi yang rumit, dan mustahil terwujud melalui perintahperintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat
berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain. Untuk mencapai hasil
yang efektif diperlukan petugas kepolisian yang profesional. Profesionalisme
Polri dapat dijelaskan dari kata profesi: bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian tertentu, yaitu ketrampilan, kejujuran, dan sebagainya.
Profesionalisme merupakan kualitas dan tindak tanduk yang merupakan
ciri mutu dari orang yang profesional. Profesionalisme Polri adalah sikap, cara
berpikir, tindakan, dan perilku pelaksanaan pemolisiannya dilandasi ilmu
kepolisian, yang diabdikan pada kemanusiaan atau melindungi harkat dan
martabat manusia sebagai aset utama bangsa dalam wujud terpeliharanya
keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum. Tujuannya adalah untuk memperbaiki
dan meningkatkan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat, dan keberhasilannya
adalah manakala tidak terjadi gangguan kemanan dan ketertiban serta tercipta atau
terpeliharanya keteraturan sosial.
Peran dan tugas pokok Polisi Republik Indonesia (Polri) sebagaimana yang
diatur dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia (UUKNRI) meliputi: (1) Memelihara Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), (2) Menegakkan Hukum, dan (3) Memberikan
Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan Masyarakat.Secara universal, tugas pokok
29
lembaga kepolisian mencakup dua hal yaitu Pemeliharaan
Ketertiban (Peace and order maintenance)
enforcement).
Dalam
perkembangannya,
Keamanan
dan
dan Penegakan Hukum (law
tanggung-jawab
“Pemeliharaan”
dipandang pasif sehingga tidak mampu menanggulangi kejahatan.Polisi kemudian
dituntut untuk secara proaktif melakukan “pembinaan”, sehingga tidak hanya
“menjaga” agar keamanan dan ketertiban terpelihara tetapi juga menumbuhkan
kesadaran masyarakat, menggugah dan mengajak
peran serta masyarakat
dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban dan bahkan ikut memecahkan
masalah-masalah sosial yang menjadi sumber kejahatan. Tugas-tugas ini
dipersembahkan oleh polisi untuk membantu
(to support) masyarakat dalam
memenuhi kebutuhannya akan rasa aman sehingga memungkinkan kebutuhannya
akan rasa aman sehingga memungkinkan tercapainya kesejahteraan, disamping
perannya sebagai penegak hukum (to control).
2.7. Program Pengembangan Pemeliharaan Keamanan Dan Ketertiban
Masyarakat
a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan
Tujuan program ini adalah mewujudkan penyelenggaraan sistem
keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga mampu melindungi seluruh
warga masyarakat Indonesia dari gangguan ketertiban dan keamanan
masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sasaran program ini adalah terwujudnya Polri yang profesional sebagai
penanggungjawab dan pelaksana inti pemelihara Kamtibmas, penegak hukum,
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, fungsi keamanan dan
30
ketertiban masyarakat
yang mampu mendukung segenap komitmen/
kesepakatan nasional serta mampu menyesuaikan diri terhadap tuntutan yang
berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan strategis.
Arah kebijakan program ini adalah menindaklanjuti validasi organisasi
Polri, meningkatkan profesionalitas dan kesiapan Polri dalam mengungkap
perkara serta pencegahan terjadinya pelanggaran dan kejahatan, memelihara
dan membangun sarana dan prasarana, serta mengembangkan kekuatan dan
kemampuan Polri sesuai ratio kebutuhan personil dengan jumlah penduduk.
b. Pelaksanaan
1. Hasil yang Dicapai
Pengembangan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
dilakukan melalui pembangunan kekuatan, pembinaan kekuatan, dan
operasional kepolisian. Dalam rangka pembangunan kekuatan maka telah
dilaksanakan pengembangan organisasi satuan kewilayahan sesuai dengan
administrasi pemerintah daerah dan pengembangan organisasi Kepolisian
di tingkat pusat sesuai dengan Keppres Nomor 70 Tahun 2002 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disertai
dengan upaya pengadaan materiil utamanya sarana transportasi dan
komunikasi serta pembangunan fasilitas meliputi pembangunan Markas/
gedung (Polda, Polres, Polsek, dan Brimob), SPN/ Fasdik, Rumah Dinas,
Barak dan fasilitas penunjang lainnya. Untuk memperlancar tugas-tugas
satuan kewilayahan telah dilaksanakan penggelaran kekuatan yang
diprioritaskan pada penambahan personil pada satuan kewilayahan dan
fungsi operasional. Disamping itu, upaya pembangunan kekuatan
31
dilakukan melalui peningkatan intake personil baru dan perpanjangan usia
pensiun bagi personil Polri, serta meningkatkan fungsi PNS Polri sebagai
komplemen yang mampu melaksanakan tugas-tugas di bidang staf.
Sasaran jumlah personil Polri yaitu perbandingan jumlah personil Polri
terhadap jumlah penduduk Indonesia adalah 1 : 750 belum dapat
terpenuhi. Sampai dengan triwulan kedua tahun 2004 perbandingan
tersebut baru mencapai sekitar 1 : 900.
Pembangunan materil Polri dilakukan melalui pengadaan peralatan
komunikasi, peralatan khusus dan sarana transportasi. Sementara itu,
peningkatan kesiapan Polri khususnya berkaitan dengan gangguan
kriminalitas, kerusuhan massal, kegiatan pembangunan yang dilaksanakan
baru mencukupi sebagian peralatan kepolisian seperti alat utama dan alat
khusus, sarana mobilitas satuan berupa kendaraan bermotor dan
kendaraan air (kapal/perahu kecil) Pesawat udara/ helicopter, berbagai
ukuran untuk satuan Polisi Air, berbagai peralatan komunikasi, serta
peralatan Dalmas/ PHH.
Dalam upaya pembinaan kekuatan, maka telah disusun 7 konsep
dasar dalam rangka menyiapkan kemandirian Polri yang meliputi: (1)
Bidang Doktrin dan Etika Kepolisian; (2) Bidang Logistik Polri; (3)
Bidang Personil Polri termasuk Sisdik Polri; (4) Bidang Operasional
Polri; (5) Bidang Manajemen Polri; (6) Bidang Anggaran/Keuangan; (7)
Bidang Hukum dan Perundang-undangan serta penyempurnaan berbagai
juklak dan juknis yang ada. Sementara itu peningkatan profesionalitas
Polri dilaksanakan melalui pendidikan pengembangan kejuruan baik di
32
dalam negeri maupun pengiriman personil Polri ke luar negeri,
memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan tugas serta memberikan
penghargaan dan sanksi (reward and punishment). Pembinaan kekuatan
dilakukan pula melalui perbaikan/rehabilitasi beberapa fasilitas yang
meliputi perbaikan rumah-rumah dinas, barak dan asrama. Guna
mendukung tugas Polri, maka pengoptimalan terhadap sarana dan
prasarana Polri dilakukan dengan meningkatkan upaya pemeliharaan
beberapa peralatan maupun fasilitas yang relatif tua.
Dalam rangka operasional kepolisian telah dibentuk Baharkam. Baharkam
Polri bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi pemeliharaan
keamanan yang mencakup upaya peningkatan kondisi keamanan dan
ketertiban masyarakat, guna mewujudkan keamanan dalam negeri. Dalam
melaksanakan tugas, Baharkam Polri menyelenggarakan fungsi:
a)
perumusan dan atau pengembangan sistem dan metode termasuk peraturan
yang terkait dengan pemeliharaan keamanan;
b)
pemantauan dan supervisi staf serta pemberian arahan guna menjamin
terlaksananya fungsi pemeliharaan keamanan;
c)
pemberian dukungan operasional terpadu terhadap pelaksanaan tugas
kewilayahan;
d)
pelaksanaan kerja sama baik dalam bentuk pelatihan maupun kegiatanyang
berkaitan dengan lingkup tugas Baharkam;
e)
penyiapan kebijakan dan rencana strategik yang meliputi manajemen
kegiatan dan manajemen latihan operasi kepolisian baik Satker yang berada
di dalam maupun di luar lingkungan Baharkam;
33
f)
perencanaan kebutuhan materil, logistik dan anggaran, pembinaan dan
perawatan personel di dalam lingkungan Baharkam;
g)
pengumpulan, pengolahan dan penyajian data yang berkaitan dengan
sumber daya dan hasil kegiatan satuan fungsi pelaksana pemeliharaan
keamanan;
h)
pengkoordinasian dan pengendalian penyelenggaraan pembinaan fungsi
kepolisian di bidang pemeliharaan keamanan.
Pelaksanaan Renstra Polri 2010-2014 sejak tahun 2010 sampai dengan
tahun 2014 berjalan cukup baik. Hal ini ditandai dengan kondisi kamtibmas yang
cenderung stabil dan terkendali serta dapat memberikan suasana kondusif dalam
kehidupan masyarakat dan aktivitas pemerintahan. Meskipun dalam kurun waktu
tersebut masih terjadi berbagai gangguan kamtibmas, khususnya konflik sosial
yang terjadi di beberapa wilayah tertentu, yang memerlukan penanganan secara
khusus dan penyelesaian secara komprehensif dengan instansi terkait, Polri secara
umum telah dapat mencapai sasaran-sasaran stretegis yang telah direncanakan
dalam Renstra Polri 2010-2014.
Beberapa keberhasilan yang telah digelar dalam mendukung pelaksanaan
tugas Polri diantaranya di bidang Organisasi sebagai bagian dari reformasi
birokrasi dengan ditetapkannya Perkap Nomor 21, 22, dan 23 Tahun 2010 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi di lingkungan Polri. Selain
itu, Polri telah berusaha untuk mendorong sebaran pelayanan kamtibmas dan
meningkatkan pelaksanaan tupoksinya melalui pengembangan organisasi dengan
penambahan satuan tugas baru.
34
Polri ke depan akan menghadapi berbagai perkembangan gangguan
Kamtibmas yang semakin komplek dan mengarah pada transnational crime
(kartel,
bioterorism,
narcoterorism,
cyber
crime).
Perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi,
sangat berpengaruh terhadap kondisi kamtibmas yang tentunya berdampak pada
operasionalisasi tupoksi Polri di lapangan, sedangkan untuk menghadapi hal
tersebut, kondisi peralatan Polri yang ada saat ini dirasakan belum mampu
mengimbangi perkembangan tersebut. Masih adanya permasalahan-permasalahan
sosial ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang berimbas kepada beberapa
sektor kebijakan yang menimbulkan berpotensi konflik, yang pada akhirnya
berdampak pada meningkatnya gangguan kamtibmas di masyarakat. Selain itu,
seiring perkembangan jaman, pergeseran nilai-nilai sosial di masyarakat yang
begitu cepat ternyata juga berdampak terhadap berkembangnya gangguan
kamtibmas.
Upaya penanggulangan permasalahan penyalahgunaan dan pengedaran
gelap narkoba, pada tahun 2002 telah dibentuk Badan Narkotika Nasional (BNN)
dengan kewenangan menyusun kebijakan, strategi, dan melaksanakan program
yang meliputi pencegahan, terapi rehabilitasi, penegakan hukum. Perlu diakui
bahwa dalam dua tahun ini kinerja BNN belum bisa menunjukkan hasil seperti
yang diharapkan dalam bentuk menurunnya jumlah penyalahguna, jumlah kasus
dan tersangka tindak pidana narkoba. Melalui operasi yang dilakukan pada tahun
2004, sampai dengan Triwulan I tahun 2004 terdapat 795 kasus yang melibatkan
sejumlah 1.077 orang tersangka yang terdiri dari 1.063 orang WNI dan 14 orang
WNA, serta dapat disita barang bukti narkoba sebanyak 2.293.460 gram, 488
35
batang, dan 862.671,5 tablet. Namun demikian keberhasilan penanggulangan
penyalahgunaann dan pengedaran gelap narkoba bukan hanya ditentukan oleh
kebijakan dan programnya, tetapi juga oleh kesadaran, komitmen, dan partisipasi
semua pihak yang saat ini telah menampakkan kepeduliannya terhadap masalah
narkoba.
2.8.Visi dan Misi Polda
Polri dalam melaksanakan tugas tidak lagi mendahulukan upaya-upaya
represif tetapi preventif dan pre-emptif. Ini berarti polri harus
mendahulukan
upaya-upaya pengayom, pelindung, pelayan dan penegak hukum walaupun
dalam UU
dijelaskan bahwa
polri
bertugas sebagai penegak
hukum,
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat (Tabah, 2012).
1) Pengayom adalah upaya pre-emptif untuk penyadaran masyarakat
dalam membentu law abiding citizen (masyarakat patuh hukum).
2) Pelindung dijabarkan dari tugas polri secara fisik manakala bahaya
dan
ancaman yang akan menganggu masyarakat sudah mulai nyata
(fisik). Hal ini disebut dengan upaya preventif.
3) Pelayan dikonotasikan
masalah HAM
pada fungsi kepolisian
yaitu melayani
dalam masalah-
hak-hak masyarakat
agar semua
berjalan dengan tertib dan aman.
4) Penegak hukum merupakan upaya represif polri manakala upayaupaya lainnya
masyarakat.
sudah dilakukan
tetapi tidak diindahkan
oleh
36
Visi Polri adalah “terwujudnya pelayanan kamtibmas yang unggul,
terjalinnya kemitraan
Polri dengan masyarakat,
penegakan
hukum
efektif serta sinergi polisional yang proaktif dalam rangka memantapkan
Kamdagri”.
Visi dan Misi Polresta Medan
1)Visi Polresta Medan
Terwujudnya
stabilitas keamanan dan ketertiban
di wilayah hukum
Polresta Medan dengan melaksanakan kemitraan dan kerjasama dengan instansi
terkait masyarakat kota Medan.
2)Misi Polresta Medan
a)
Memberikan
perlindungan,
pengayoman
dan pelayanan secara mudah,
tanggap dan tidak diskriminatif demi mewujudkan
rasa aman melalui
kerjasama dengan seluruh elemen masyarakat kota Medan.
b) Memelihara keamanan kepada masyarakat sepanjang waktu
di seluruh
wilayah hukum Polresta Medan serta mengefektifkan fungsi
Perpolisian
masyarakat dan memelihara Kamtibmas di lingkungan masing-masing.
c) Memelihara keamanan dan ketertiban Lantas di wilayah hukum Polresta
Medan untuk menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran
arus orang dan barang.
d) Meningkatkan kerjasama
internal Polri
dan kerjasama
hukum pada instansi terkait serta komponen masyarakat.
aparat penegak
37
e) Mengembangkan Perpolisian masyarakat (Polmas) di
wilayah hukum
Polresta Medan yang berbasis kepada masyarakat patuh hukum (Law
Abiding Citizen).
f)
Menegakkan
hukum
profesional, objektif,
di wilayah
proporsional,
hukum Polresta
transparan,
Medan secara
dan akuntabel untuk
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan.
g) Mengelola
sumber daya Polresta Medan secara profesional,
transparan,
akuntabel dan modern guna mendukung operasional Polresta Medan.
h) Membangun kemitraan dan kebersamaan (Partnership building) dengan
seluruh potensi masyarakat dan instansi pemerintah
keamanan dan ketertiban
di wilayah
dalam memelihara
hukum Polresta Medan dengan
meningkatkan koordinasi antar instansi di wilayah hukum Polresta Medan.
2.9. Polri Dalam Mewujudkan Good Governance
Reformasi Polri dalam bidang struktur, prosedur dan kultur dilakukan
sejalan dengan reformasi administrasi negara untuk mewujudkan sebuah
pemerintahan yang baik ( good governance). Menurut Sadjijono (2005) hal yang
mendasar keterkaitan Polri dengan good governance, pertama, melekatnya fungsi
kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, menganyomi dan melayani masyarakat serta menegakkan
hukum, kedua,
pemeliharaan
sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
penegakan
hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat yang diperoleh
secara atributif melalui pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 2 UU No 2 Tahun
38
2002. Kedua instrumen hukum tersebut meletakkan kepolisian sebagai lembaga
yang mengemban tugas untuk menjaga, memelihara, dan menciptakan keamanan,
ketentraman dan ketertiban umum bagi warga negara.
Implikasi good governance sebagai landasan moral atau etika dalam
penyelenggaran kepolisian sebenarnya telah dirumuskan dalam Kode Etik Profesi
Kepolisian dan telah diberlakukan bagi setiap anggota kepolisian melalui
Peraturan Kapolri No.Pol: 7 tahun 2006 tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik
Profesi Polri yang mencakup tentang etika kepribadian, etika kelembagaan, etika
kenegaraan dan etika dalam hubungan dengan masyarakat.
Etika kepribadian berisi tentang kewajiban bagi setiap anggota Polri untuk
bertakwa kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri
dan melaksanakan tugas kenegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni. Etika
kenegaraan berisi tentang kewajiban untuk menjunjung tinggi kepentingan bangsa
dan negara, menjaga, memelihara, meningkatkan rasa aman dan tentram , menjaga
keselamatan umum dan hak milik setiap warga negara serta menjaga keutuhan
wilayah hukum RI yang berdasarkan UUD 1945. Etika kelembagaan berisi
kewajiban untuk menjaga citra Polri, menjalankan tugas sesuai dengan visi dan
misi lembaga Polri, mengembangkan semangat untuk meningkatkan kinerja dalam
pelayanan kepentingan umum dan meningkatkan profesionalisme. Etika hubungan
dengan masyarakat berisi tentang kewajiban untuk menghormati harkat dan
martabat manusia melalui perlindungan terhadap HAM, menghindarkan diri dari
perbuatan tercela, menegakkan hukum dan meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat.
39
Kode Etik Kepolisian tersebut untuk dipedomani bagi setiap anggota Polri
dalam menjalankan tugas dan wewenang kepolisian, Kode Etik ini merupakan
landasan etika moral yang bersumber dan berpijak pada good governance dalam
menjalankan pemerintahan. Secara filosofis pemberlakuan Kode Etik Kepolisian
merupakan suatu cita-cita dan keinginan untuk mewujudkan kepolisian yang
bersih dan baik dalam rangka mewujudkan good governance. Permasalahannya
mengapa Kode Etik Kepolisian telah diberlakukan tetapi masih banyak ditemukan
penyalahgunaan wewenang, kekerasan dalam penyelenggaraan tugas kepolisian?.
Hal ini dapat dijawab dengan menggali sejauh mana tingkat kesadaran dan
moralitas anggota Polri dalam menjalankan wewenang yang diamanatkan oleh
masyarakat melalui Undang-undang. Hal yang mendasar dapat dicermati karena
belum adanya pemahaman yang dalam bagi Polri tentang fungsi yang diembannya
yakni harus berorientasi kepada masyarakat (public oriented) yang dilayani.
Dikaitkan dengan sistem negara demokrasi di Indonesia yang meletakkan
pemerintahan ada di tangan rakyat dan rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi atau rakyat yang berdaulat, maka dalam mewujudkan pemerintahan yang
baik (good governance) rakyat memegang fungsi pengawasan (control). Oleh
karena itu tugas- tugas kepolisian yang sangat dekat dengan rakyat dan obyeknya
adalah rakyat atau masyarakat akan mudah dikontrol dan dinilai oleh masyarakat.
Apabila konsep tugas dan wewenang yang diemban kepolisian diselenggarakan
sesuai konsep asas-asas umum penyelenggaraan negara, asas-asas umum
pemerintahan yang baik dan asas-asas penegakan hukum, maka penyelenggaraan
tugas dan wewenangnya akan mendapat simpati masyarakat dan dapat
mendukung terwujudnya pemerintahan yang baik, sebaliknya jika tidak sesuai
40
dengan asas- asas tersebut maka polisi akan menerima cercaan dan celaan dari
masyarakat sehingga berpengaruh menjadikan pemerintahan yang buruk, yang
secara kelembagaan akan memperburuk citra kepolisian dan hilangnya
kepercayaan masyarakat kepada polisi.
Penyelenggaraan tugas dan wewenang kepolisian pada era reformasi
bertitik tolak pada tujuan dibentuknya kepolisian untuk mewujudkan keamanan
dan ketertiban dalam negeri sebagai tuntutan dan harapan dari masyarakat, hal ini
merupakan wujud adanya reformasi prosedur birokrasi dalam tubuh Polri.
Bagaimana mengukur kinerja Polri tentunya ukuran yang paling mudah dipahami
adalah terwujudnya rasa aman masyarakat, orang-orang boleh merumuskan
dengan berbagai macam pertanyaan- pertanyaan namun rasa aman ini bersifat
universal yang harus diwujudkan dan dipelihara oleh Polri. Bibit S Rianto (2005)
mengatakan bahwa rasa aman masyarakat memiliki 4 (empat) unsur atau
komponen pendukungnya yaitu : terwujudnya kedamaian (peace), terwujudnya
keamanan (secure), terwujudnya keselamatan (safety), terwujudnya kepastian
hukum didalam kehidupan masyarakat.
2.10.Faktor
Pendukung
dan
Penghambat
Implementasi
Program
Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban oleh Polri
Dalam menjalankan tugasnya,
polisi senantiasa
memperhatikan
keamanan dan ketertiban masyarakat, serta sistem norma berlaku dalam
masyarakat. Sitompul (2004) menyebutkan
pelaksanaan
diskresi
faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam tugas polisi adalah sebagai berikut 1)faktor
pendidikan si petugas, 2)faktor pengalaman
si petugas, 3)faktor mental si
41
petugas, 4)faktor kelelahan fisik si petugas, dan 5)faktor sikap perilaku dan si
pelanggar hukum.
Berkaitan dengan faktor pendidikan, hal ini mencakup mata pelajaran
yang diperoleh dari pendidikan (sekolah) kepolisian yang merupakan bekal
dasar
dari pelaksanaan tugas polisi.
Bekal dasar tersebut
selanjutnya
dikembangkan dan diwarnai dengan pengalaman-pengalaman praktek petugas.
Selanjutnya, tentang pengalaman polisi disebutkan bahwa
pengalaman bertugas
di lapangan yang cukup lama
pengalaman-
akan mempengaruhi
keluwesan pengambilan kebijakan polisi dalam menghadapi pelanggaran –
pelanggaran
yang dilakukan oleh warga tertentu.
Karena pada dasarnya,
pengalaman dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seorang petugas
polisi di lapangan.
Faktor mental juga memiliki peranan penting terhadap tindakan yang
dilakukan polisi.
Kesulitan-kesulitan hidup yang dialami seorang polisi yang
bertugas terutama di kota besar dapat mempengaruhi keseimbangan kepribadian
seseorang yang tidak kuat mentalnya. Pola hidup konsumtif di kota besar dapat
mempengaruhi
kehidupan seseorang yang mempunyai mental
kuat, misalnya,
menerima uang suap (melakukan pungli)
yang kurang
untuk mengatasi
masalah ekonomi keluarga.
Faktor lainnya dalam pelaksanaan tugas polisi adalah
kelelahan yang
dialami petugas. Kekurangan jumlah tenaga SDM kepolisian antara lain dapat
menyebabkan seorang petugas lapangan bekerja terus menerus melebihi beban
dan melebihi kemampuan kondisi fisiknya. Kelelahan fisik sebagai akibat kerja
yang panjang dapat mempengaruhi kestabilan
dalam mengambil kebijakan.
42
Disisi lain, hal ini juga dapat mempengaruhi emosi (kurang sabar) dalam
melaksanakan tugas.
Sikap perilaku pelanggar hukum juga tidak terlepas dari masalah yang
dihadapi polisi.
Seseorang yang telah
melakukan pelanggaran
(misalnya,
ketentuan rambu-rambu lalu lintas) dan tertangkap petugas, apabila menampilkan
sikap perilaku sopan
dan mengaku bersalah
serta mengemukakan alasan-
alasannya mengapa dia melanggar rambu lalu lintas, dan selanjutnya minta maaf
dapat dimungkinkan oleh petugas memberi kebijaksanaan diskresi. Seandainya
pelanggaran itu bersifat ringan, tentunya petugas dapat memberikan nasehatnasehat terhadap si pelanggar.
Program-program pembaharuan di tubuh polri merupakan bagian dari
reformasi birokrasi polri agar ke depannya polri menjadi sebuah institusi yang
baik, bersih, transparan, akuntabel
menyebutkan faktor
pendukung
dan berwibawa. Yanuarsasi dkk (2013)
kinerja
polri dalam menjalankan tugasnya
adalah sebagai berikut :
a. Kekuatan.
Postur kekuatan polri di Sumut telah terstruktur sesuai dengan pola
kebutuhan dan keseimbangan organisasi dalam kompetensi utama yang
profesional,
bermoral dan modern guna
mewujudkan
polri yang
dipercaya (trust building).
b. Sarana dan prasarana
Polri Sumut mempunyai berbagai sarana dan prasarana guna mendukung
kegiatan operasional
telah digelar ke seluruh jajaran polres (sampai
dengan tingkat polsek dan pos polisi).
43
c. Sambutan masyarakat.
Dalam pelaksanaan revitalisasi polri menuju pelayanan prima, sambutan
masyarakat sangat baik. Masyarakat sangat mendukung
adanya
perubahan polri menuju lembaga kepolisian sipil, profesional, bermoral
dan modern
serta meningkatkan
kerjasama
dengan semua
lapisan
masyarakat yang lebih kondusif.
Selain dari faktor pendukung program implementasi pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat oleh polri, juga ditemukan beberapa faktor penghambat
dalam melaksanakan tugas, diantaranya.
a. Belum idealnya jumlah sumber daya manusia.
Jumlah anggota polri yang bertugas di Sumut dirasa masih kurang dari
jumlah ideal. Pemberian pelayanan
keamanan yang prima kepada
masyarakat sulit dilakukan mengingat jumlah anggota yang masih terbatas.
Penggelaran kekuatan polres yang telah terstruktur belum sesuai dengan
postur polres
besar dan polsek kuat,
hal ini
disebabkan
belum
terpenuhinya kekuatan personil terutama kesatuan kewilayahan tingkat
polsek sehingga belum mampu memberikan pelayanan secara optimal.
Tentu, apabila
dengan memadainya jumlah anggota
yang ada akan
membantu pekerjaan menjadi lebih ringan.
b. Kurangnya dukungan anggaran.
Polres saat ini belum mampu menerapkan teknologi informasi yang
terintegrasi dari satuan operasional tingkat bawah karena keterbatasan
peralatan operator.
Selain itu,
juga kurangnya
dukungan anggaran
belanja modal dan anggaran operasional serta pemeliharaannya pada
44
program pengembangan
sarana dan prasarana polri
khususnya
pembangunan gedung dan kendaraan dinas untuk melayani masyarakat.
c. Kurangnya kesadaran masyarakat.
Pemahaman
masyarakat
tentang pentingnya himbauan polri dalam
segala hal masih kurang. Hal ini wajar mengingat tingkat perbedaan
pendidikan masyarakat yang dimiliki masyarakat.
Tabel 2.1 Sasaran Strategis, Indikator Kinerja Utama Polri
No
1
Sasaran Strategis
Terbangunnya
standar
pelayanan publik yang prima
dalam
rangka
menyelenggarakan
fungsi
kepolisian
yang
goog
governance dan
Clean
Government
2
Terbangunnya
Almatsus
Polri
berbasis
teknologi
yang menjunjung
tinggi
HAM
dalam menghadapi
berbagai trend
kejahatan
modern dan konflik sosial.
Terbangunnya budaya kerja
yang efektif
dan efisien
dengan pengawasan internal
yang
transparan
dan
akuntable.
3.
4.
5
6
Tergelarnya personel Polri
yang profesional
sesuai
dengan kompetensi
dan
jenjang pendidikan serta
pengembangan.
Terwujudnya personel Polri
yang profesional dan modern.
Meningkatkan peran intelijen
Indikator Kinerja Utama
a.Prosentase kepuasan publik terhadap
pelayanan Polri.
b.Prosentase
implementasi
standar
Operasional Prosedur (SOP) untuk setiap
bidang pelayanan kepolisian.
c.Prosentase meningkatnya pelayanan
internal bagi anggota Polri dan HTCK
di lingkungan Polri.
a.Prosentase pemenuhan
kebutuhan
almatsus Polri berbasis teknologi untuk
mendukung tugas-tugas kepolisian.
b.Prosentase kebutuhan almatsus Polri
berbasis teknologi untuk mendukung
tugas-tugas Kepolisian.
a.Prosentase penyelesaian tindak lanjut
hasil temuan wastrik rutin.
b.Prosentase penyelesaian tindak lanjut
temuan pem
TINJAUAN TEORITIS
2.1.Implementasi
Implementasi menurut Ripley dan Frankin yang dikutip Winarno (2014)
mengemukakan implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang
ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit)
atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah
implementasi
menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang
tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan
oleh
para pejabat
pemerintah.
Menurut Setiawan (2004) dalam bukunya yang berjudul Implementasi
dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut
implementasi adalah perluasan aktivitas yang
saling menyesuaikan proses
interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan
jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif.
Hanifah (Harsono, 2002) dalam bukunya yang berjudul Implementasi
Kebijakan dan Politik mengemukakan pendapatnya yakni implementasi adalah
suatu proses untuk melaksanakan kegiatan menjadi
tindakan kebijakan dari
politik kedalam administrasi.
Dari
pengertian – pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata
implementasi bermuara pada mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme
mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu
12
13
kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh sungguh berdasarkan
acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.
2.2.Model Implementasi Kebijakan
Model pendekatan mempengaruhi efektifitas keberhasilan implementasi
suatu kebijakan. van Meter dan van Horn menawarkan satu model dasar yang
mempunyai
enam variabel
yang membentuk hubungan (linkage)
antara
kebijakan dan kinerja (performance). Model ini seperti yang diungkapkan oleh
van Meter dan van Horn tidak hanya menentukan hubungan-hubungan antara
variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan,
tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antara
variabel-variabel bebas
(Winarno, 2014).
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan van Meter
dan van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975).
Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu
pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk
meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam
hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi
kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja
kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi
oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:
1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumber daya
3. Karakteristik organisasi pelaksana
14
4. Sikap para pelaksana
5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn
dijelaskan sebagai berikut:
1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari
ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada
di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran kebijakan terlalu ideal
(utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van
Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja
implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang
harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya
merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.
Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor
yang menentukan kinerja kebijakan. Menurut
van Meter dan van Horn,
identifikasi indikator–indikator kinerja merupakan tahap yang krusial
dalam
analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator kinerja ini menilai sejauh
mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan
kebijakan telah
direalisasikan.
Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna dalam menguraikan tujuantujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran-ukuran
dasar
dan tujuan-tujuan merupakan bukti dan dapat diukur dengan mudah
dalam beberapa kasus (Winarno, 2014).
15
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan
kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal
(frustated) ketika para pelaksana (officials) tidak sepenuhnya menyadari terhadap
standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan
erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para
pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan
hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan
kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi
tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).
2. Sumber –sumber Kebijakan
Disamping ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, yang perlu
mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumbersumber yang tersedia.
menunjang keberhasilan
Sumber-sumber layak
mendapat perhatian karena
implementasi kebijakan.
Sumber-sumber yang
dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan
memperlancar implementasi yang efektif (Winarno, 2014).
Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang
terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap
tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas
sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan
secara politik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu
menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan.
16
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn,
1974) bahwa: ”New town study suggest that the limited supply of federal
incentives was a major contributor to the failure of the program”.
Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:”sumber
daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi.
Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar
administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau
insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu
kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi
kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi
kebijakan.”
3. Karakteristik organisasi pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal
ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh
ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan
dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan
sehingga dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain
diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu, cakupan
atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen
pelaksana kebijakan.
17
Menurut Edward III, 2 (dua) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah
prosedur-prosedur kerja standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan
fragmentasi.
1. Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai
respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari
pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasiorganisasi yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin
didesain untuk situasi tipikal di masa lalu mungkin menghambat
perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi atau
program baru. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakankebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe
personil baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar
kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu
organisasi, semakin besar probabilitas SOP menghambat implementasi
(Edward III, 1980).
2. Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar
unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok
kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat
kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik. Fragmentasi
adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di
antara beberapa unit organisasi. “fragmentation is the dispersion of
responsibility for a policy area among several organizational units.”
(Edward III, 1980). Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan yang
terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan
18
keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan
implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin
koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan,
semakin kecil peluang untuk berhasil (Edward III, 1980).
Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasiorganisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka. Van Meter
dan van Horn
yang dikutip Winarno (2014) mengetengahkan beberapa
unsur yang mungkin berpengaruh
terhadap suatu organisasi
dalam
mengimplementasikan kebijakan.
1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan.
2. Tingkat pengawasan
hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit
dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana.
3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (Misalnya dukungan di antara
anggota-anggota legislatif dan ekskutif).
4. Vitalitas suatu organisasi.
5. Tingkat komunikasi-komunikasi terbuka
jaringan kerja
yang didefenisikan sebagai
komunikasi horisontal dan vertikal secara bebas serta
tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan
individu-individu diluar organisasi.
6. Kaitan formal
dan informal suatu badan
keputusan atau pelaksana keputusan.
dengan
badan
pembuat
19
4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van
Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan
harus dipahami oleh para individu (implementors) yang bertanggung jawab atas
pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus
dikomunikasikan
kepada
para
pelaksana.
Komunikasi
dalam
kerangka
penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi
standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari
berbagai sumber informasi.
Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu
standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan
sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat
mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering
merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah
di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke
komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja
maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang
tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi
sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting),
maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang
lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.
Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat
ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan
20
konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo
1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam
implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihakpihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin
kecil dan demikian sebaliknya.
5. Disposisi atau sikap para pelaksana
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006)
”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal
ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil
formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang
mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat
mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu
menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.
Sikap mereka dipengaruhi oleh pandangannya terhadap suatu kebijakan
dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan
organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn
(1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan
(befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam
batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang
dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu
kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman
dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua,
21
arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance,
neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan
kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan
yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak
sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para
pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan
hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan
kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan
(Van Mater dan Van Horn, 1974).
Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar
dan tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar
terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan
Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana (implementors)
dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau
terbatasnya intensitas disposisi ini, bisa menyebabkan gagalnya implementasi
kebijakan.
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi
kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan
kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan.
22
Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan
eksternal yang kondusif.
Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan
Horn dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:
Ukuran-ukuran
__________________________________________________________________
Dasar dan tujuan
Tujuan
Komunikasi antar
Organisasi dan
Kegiatan-kegiatan
Pelaksanaan
Kebijaksanaan
Karakteristik –karak
teristik dari badanBadan pelaksana
Kecendrungan
pelaksanapelaksana
Kinerja
Sumbersumber
Kondisi-kondisi
Ekonomi, sosial
dan politik
__________________________________________________________________
Sumber: (Winarno, 2014)
Gambar 2.1. Model A Policy Implementation Process
Winarno (2014) menjelaskan
implementasi merupakan
proses yang
dinamis. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijaksanaan
dalam tahap-tahap awal mungkin akan mempunyai konsekuensi
yang kecil
dalam tahap selanjutnya. Dengan demikian, studi implementasi yang dilakukan
secara longitudinal menjadi sangat
penting dimana
hubungan-hubungan
23
diidentifikasi pada suatu waktu tidak harus diperpanjang secara kasual pada
periode waktu lainnya.
2.3.Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Keamanan yang asal katanya aman adalah suatu kondisi yang bebas dari
segala macam bentuk gangguan dan hambatan. Sedangkan pengertian ketertiban
adalah suatu keadaan dimana segala kegiatan dapat berfungsi dan berperan sesuai
ketentuan yang ada. Pengertian Kamtibmas menurut Pasal 1 Undang-undang
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa
pengertian Kamtibmas adalah keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu
kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses
pembangunan nasional dalam rangka tercapainnya tujuan nasional yang ditandai
oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya
ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan
potensi
dan
kekuatan
masyarakat
dalam
menangkal,
mencegah,
dan
menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan
lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Perkataan aman dalam pemahaman tersebut mengandung 4 (empat) pengertian
dasar, yaitu:
1. Security yaitu perasaan bebas dari gangguan fisik dan psikis;
2. Surety yaitu perasaan bebas dari kekhawatiran;
3. Safety yaitu perasaan terlindung dari segala bahaya; dan
4. Peace yaitu perasaan damai lahiriah dan batiniah.
24
Masalah ketertiban menjadi penting jika suatu bangsa sedang berusaha
membangun
guna mencapai
suatu kesejahteraan.
Keseimbangan
dalam
masyarakat dapat terjadi antara lain karena adanya ketertiban. Ketertiban
mengandung unsur
suatu keadaan
antar pribadi-pribadi
berjalan serta teratur dan keadaan itu menurut
dalam masyarakat
ukuran yang
seharusnya
(Sitompul, 2004). Menurut Soerjono yang dikutip Sitompul (2004), dalam suatu
masyarakat
ketertiban yang efektif
dapat terjadi jika secara umum warga
masyarakat bertingkah laku sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan
menghindari
perbuatan-perbuatan
yang
diancam
hukuman,
dan
tanpa
memperhatikan motif-motif mengapa ia harus berlaku tertib.
2.4 Tinjauan Tentang Masyarakat
Masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah
sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah
antara
individu-individu
yang
berada
dalam
kelompok
tersebut.
Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih
abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar
entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang
teratur.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah
ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai
prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain,
25
masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu
rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat
yang
memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga - warganya, 2) Adat istiadat,
3 ) Kontinuitas waktu, 4 ) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga
(Koentjaraningrat, 2009)
Menurut Adam Smith yang dikutip Soekanto (2013) sebuah masyarakat
dapat terdiri dari berbagai jenis manusia yang berbeda, yang memiliki fungsi yang
berbeda (as among different merchants), yang terbentuk dan dilihat hanya dari
segi fungsi bukan dari rasa suka maupun cinta dan sejenisnya, dan hanya rasa
untuk saling menjaga agar tidak saling menyakiti "may subsist among different
men, as among different merchants, from a sense of its utility without any mutual
love or affection, if only they refrain from doing injury to each other."
2.5. Kepolisian
Pemahaman
terhadap pengertian polisi
dilakukan dengan mengacu
kepada asal mula kata tersebut. Polisi pada mulanya berasal dari bahasa Yunani,
"politea" yang berarti pemerintahan negara Yunani terdiri dari kota-kota yang
disebut dengan "polis". Pada waktu itu pengertian polisi menyangkut segala
urusan pemerintahan termasuk urusan agama atau dengan kata lain pengertian
polisi adalah urusan pemerintahan. Pengertian polisi pada waktu tersebut terkait
dengan urusan pemerintahan yang masih sederhana dan belum seperti sekarang
ini. Dari istilah politea dan polis kemudian timbul istilah lapoli, police (Inggris),
polzei (Jerman), dan polisi (Indonesia). Charles Reith dalam bukunya yang
26
berjudul The Blind Eye of History yang dikutip Utomo (2005) mengemukakan
pengertian polisi “came to mean of planning for improving ordering communal
existence”yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau susunan
kehidupan masyarakat. Pengertian ini berpangkal dari pemikiran, bahwa manusia
adalah mahluk sosial, hidup berkelompok, membuat aturan-aturan yang disepakati
bersama.
Polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan
kepada masyarakat (Raharjo,2009). Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan
bahwa kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah kepolisian
dalam Undang-undang ini mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi dan
lembaga polisi. Dalam Pasal 2 Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi
pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat.
Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai
suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan
peraturan perundang–undangan(Sadjijono, 2008)
Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa:
1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
27
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri.
2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
2.6. Polisi dan Profesionalisme
Keberadaan dan fungsi polisi dalam masyarakat adalah sesuai dengan
tuntutan kebutuhan dalam masyarakat yang bersangkutan untuk adanya pelayanan
polisi. Dalam sebuah masyarakat lokal yang hidup di daerah terpencil dengan
pranata adatnya, mereka mampu mengatur keteraturan sosial sendiri, dan tidak
memerlukan polisi. Tetapi pada masyarakat yang kompleks (pedesaan maupun
kota)
dimana pranata adat tidak
fungsional lagi, maka untuk mengatur
keteraturan sosial diperlukan institusi kepolisian untuk menangani dan mengatasi
berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masalah
keamanan (Suparlan 1999).
Fungsi polisi dalam struktural kehidupan masyarakat sebagai pengayom
masyarakat dan penegak hukum, mempunyai tanggung jawab khusus untuk
memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk
tindakan kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota
masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram. Dengan
kata lain kegiatan-kegiatan polisi adalah berkenaan dengan sesuatu gejala yang
ada dalam kehidupan sosial dari sesuatu masyarakat yang dirasakan sebagai
28
beban/gangguan yang merugikan para anggota masyarakat tersebut (Suparlan :
1999).
Untuk mewujudkan rasa aman itu, mustahil dapat dilakukan oleh polisi
saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara pemolisian yang konvensional
dengan melibatkan birokrasi yang rumit, dan mustahil terwujud melalui perintahperintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat
berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain. Untuk mencapai hasil
yang efektif diperlukan petugas kepolisian yang profesional. Profesionalisme
Polri dapat dijelaskan dari kata profesi: bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian tertentu, yaitu ketrampilan, kejujuran, dan sebagainya.
Profesionalisme merupakan kualitas dan tindak tanduk yang merupakan
ciri mutu dari orang yang profesional. Profesionalisme Polri adalah sikap, cara
berpikir, tindakan, dan perilku pelaksanaan pemolisiannya dilandasi ilmu
kepolisian, yang diabdikan pada kemanusiaan atau melindungi harkat dan
martabat manusia sebagai aset utama bangsa dalam wujud terpeliharanya
keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum. Tujuannya adalah untuk memperbaiki
dan meningkatkan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat, dan keberhasilannya
adalah manakala tidak terjadi gangguan kemanan dan ketertiban serta tercipta atau
terpeliharanya keteraturan sosial.
Peran dan tugas pokok Polisi Republik Indonesia (Polri) sebagaimana yang
diatur dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia (UUKNRI) meliputi: (1) Memelihara Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), (2) Menegakkan Hukum, dan (3) Memberikan
Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan Masyarakat.Secara universal, tugas pokok
29
lembaga kepolisian mencakup dua hal yaitu Pemeliharaan
Ketertiban (Peace and order maintenance)
enforcement).
Dalam
perkembangannya,
Keamanan
dan
dan Penegakan Hukum (law
tanggung-jawab
“Pemeliharaan”
dipandang pasif sehingga tidak mampu menanggulangi kejahatan.Polisi kemudian
dituntut untuk secara proaktif melakukan “pembinaan”, sehingga tidak hanya
“menjaga” agar keamanan dan ketertiban terpelihara tetapi juga menumbuhkan
kesadaran masyarakat, menggugah dan mengajak
peran serta masyarakat
dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban dan bahkan ikut memecahkan
masalah-masalah sosial yang menjadi sumber kejahatan. Tugas-tugas ini
dipersembahkan oleh polisi untuk membantu
(to support) masyarakat dalam
memenuhi kebutuhannya akan rasa aman sehingga memungkinkan kebutuhannya
akan rasa aman sehingga memungkinkan tercapainya kesejahteraan, disamping
perannya sebagai penegak hukum (to control).
2.7. Program Pengembangan Pemeliharaan Keamanan Dan Ketertiban
Masyarakat
a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan
Tujuan program ini adalah mewujudkan penyelenggaraan sistem
keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga mampu melindungi seluruh
warga masyarakat Indonesia dari gangguan ketertiban dan keamanan
masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sasaran program ini adalah terwujudnya Polri yang profesional sebagai
penanggungjawab dan pelaksana inti pemelihara Kamtibmas, penegak hukum,
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, fungsi keamanan dan
30
ketertiban masyarakat
yang mampu mendukung segenap komitmen/
kesepakatan nasional serta mampu menyesuaikan diri terhadap tuntutan yang
berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan strategis.
Arah kebijakan program ini adalah menindaklanjuti validasi organisasi
Polri, meningkatkan profesionalitas dan kesiapan Polri dalam mengungkap
perkara serta pencegahan terjadinya pelanggaran dan kejahatan, memelihara
dan membangun sarana dan prasarana, serta mengembangkan kekuatan dan
kemampuan Polri sesuai ratio kebutuhan personil dengan jumlah penduduk.
b. Pelaksanaan
1. Hasil yang Dicapai
Pengembangan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
dilakukan melalui pembangunan kekuatan, pembinaan kekuatan, dan
operasional kepolisian. Dalam rangka pembangunan kekuatan maka telah
dilaksanakan pengembangan organisasi satuan kewilayahan sesuai dengan
administrasi pemerintah daerah dan pengembangan organisasi Kepolisian
di tingkat pusat sesuai dengan Keppres Nomor 70 Tahun 2002 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disertai
dengan upaya pengadaan materiil utamanya sarana transportasi dan
komunikasi serta pembangunan fasilitas meliputi pembangunan Markas/
gedung (Polda, Polres, Polsek, dan Brimob), SPN/ Fasdik, Rumah Dinas,
Barak dan fasilitas penunjang lainnya. Untuk memperlancar tugas-tugas
satuan kewilayahan telah dilaksanakan penggelaran kekuatan yang
diprioritaskan pada penambahan personil pada satuan kewilayahan dan
fungsi operasional. Disamping itu, upaya pembangunan kekuatan
31
dilakukan melalui peningkatan intake personil baru dan perpanjangan usia
pensiun bagi personil Polri, serta meningkatkan fungsi PNS Polri sebagai
komplemen yang mampu melaksanakan tugas-tugas di bidang staf.
Sasaran jumlah personil Polri yaitu perbandingan jumlah personil Polri
terhadap jumlah penduduk Indonesia adalah 1 : 750 belum dapat
terpenuhi. Sampai dengan triwulan kedua tahun 2004 perbandingan
tersebut baru mencapai sekitar 1 : 900.
Pembangunan materil Polri dilakukan melalui pengadaan peralatan
komunikasi, peralatan khusus dan sarana transportasi. Sementara itu,
peningkatan kesiapan Polri khususnya berkaitan dengan gangguan
kriminalitas, kerusuhan massal, kegiatan pembangunan yang dilaksanakan
baru mencukupi sebagian peralatan kepolisian seperti alat utama dan alat
khusus, sarana mobilitas satuan berupa kendaraan bermotor dan
kendaraan air (kapal/perahu kecil) Pesawat udara/ helicopter, berbagai
ukuran untuk satuan Polisi Air, berbagai peralatan komunikasi, serta
peralatan Dalmas/ PHH.
Dalam upaya pembinaan kekuatan, maka telah disusun 7 konsep
dasar dalam rangka menyiapkan kemandirian Polri yang meliputi: (1)
Bidang Doktrin dan Etika Kepolisian; (2) Bidang Logistik Polri; (3)
Bidang Personil Polri termasuk Sisdik Polri; (4) Bidang Operasional
Polri; (5) Bidang Manajemen Polri; (6) Bidang Anggaran/Keuangan; (7)
Bidang Hukum dan Perundang-undangan serta penyempurnaan berbagai
juklak dan juknis yang ada. Sementara itu peningkatan profesionalitas
Polri dilaksanakan melalui pendidikan pengembangan kejuruan baik di
32
dalam negeri maupun pengiriman personil Polri ke luar negeri,
memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan tugas serta memberikan
penghargaan dan sanksi (reward and punishment). Pembinaan kekuatan
dilakukan pula melalui perbaikan/rehabilitasi beberapa fasilitas yang
meliputi perbaikan rumah-rumah dinas, barak dan asrama. Guna
mendukung tugas Polri, maka pengoptimalan terhadap sarana dan
prasarana Polri dilakukan dengan meningkatkan upaya pemeliharaan
beberapa peralatan maupun fasilitas yang relatif tua.
Dalam rangka operasional kepolisian telah dibentuk Baharkam. Baharkam
Polri bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi pemeliharaan
keamanan yang mencakup upaya peningkatan kondisi keamanan dan
ketertiban masyarakat, guna mewujudkan keamanan dalam negeri. Dalam
melaksanakan tugas, Baharkam Polri menyelenggarakan fungsi:
a)
perumusan dan atau pengembangan sistem dan metode termasuk peraturan
yang terkait dengan pemeliharaan keamanan;
b)
pemantauan dan supervisi staf serta pemberian arahan guna menjamin
terlaksananya fungsi pemeliharaan keamanan;
c)
pemberian dukungan operasional terpadu terhadap pelaksanaan tugas
kewilayahan;
d)
pelaksanaan kerja sama baik dalam bentuk pelatihan maupun kegiatanyang
berkaitan dengan lingkup tugas Baharkam;
e)
penyiapan kebijakan dan rencana strategik yang meliputi manajemen
kegiatan dan manajemen latihan operasi kepolisian baik Satker yang berada
di dalam maupun di luar lingkungan Baharkam;
33
f)
perencanaan kebutuhan materil, logistik dan anggaran, pembinaan dan
perawatan personel di dalam lingkungan Baharkam;
g)
pengumpulan, pengolahan dan penyajian data yang berkaitan dengan
sumber daya dan hasil kegiatan satuan fungsi pelaksana pemeliharaan
keamanan;
h)
pengkoordinasian dan pengendalian penyelenggaraan pembinaan fungsi
kepolisian di bidang pemeliharaan keamanan.
Pelaksanaan Renstra Polri 2010-2014 sejak tahun 2010 sampai dengan
tahun 2014 berjalan cukup baik. Hal ini ditandai dengan kondisi kamtibmas yang
cenderung stabil dan terkendali serta dapat memberikan suasana kondusif dalam
kehidupan masyarakat dan aktivitas pemerintahan. Meskipun dalam kurun waktu
tersebut masih terjadi berbagai gangguan kamtibmas, khususnya konflik sosial
yang terjadi di beberapa wilayah tertentu, yang memerlukan penanganan secara
khusus dan penyelesaian secara komprehensif dengan instansi terkait, Polri secara
umum telah dapat mencapai sasaran-sasaran stretegis yang telah direncanakan
dalam Renstra Polri 2010-2014.
Beberapa keberhasilan yang telah digelar dalam mendukung pelaksanaan
tugas Polri diantaranya di bidang Organisasi sebagai bagian dari reformasi
birokrasi dengan ditetapkannya Perkap Nomor 21, 22, dan 23 Tahun 2010 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi di lingkungan Polri. Selain
itu, Polri telah berusaha untuk mendorong sebaran pelayanan kamtibmas dan
meningkatkan pelaksanaan tupoksinya melalui pengembangan organisasi dengan
penambahan satuan tugas baru.
34
Polri ke depan akan menghadapi berbagai perkembangan gangguan
Kamtibmas yang semakin komplek dan mengarah pada transnational crime
(kartel,
bioterorism,
narcoterorism,
cyber
crime).
Perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi,
sangat berpengaruh terhadap kondisi kamtibmas yang tentunya berdampak pada
operasionalisasi tupoksi Polri di lapangan, sedangkan untuk menghadapi hal
tersebut, kondisi peralatan Polri yang ada saat ini dirasakan belum mampu
mengimbangi perkembangan tersebut. Masih adanya permasalahan-permasalahan
sosial ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang berimbas kepada beberapa
sektor kebijakan yang menimbulkan berpotensi konflik, yang pada akhirnya
berdampak pada meningkatnya gangguan kamtibmas di masyarakat. Selain itu,
seiring perkembangan jaman, pergeseran nilai-nilai sosial di masyarakat yang
begitu cepat ternyata juga berdampak terhadap berkembangnya gangguan
kamtibmas.
Upaya penanggulangan permasalahan penyalahgunaan dan pengedaran
gelap narkoba, pada tahun 2002 telah dibentuk Badan Narkotika Nasional (BNN)
dengan kewenangan menyusun kebijakan, strategi, dan melaksanakan program
yang meliputi pencegahan, terapi rehabilitasi, penegakan hukum. Perlu diakui
bahwa dalam dua tahun ini kinerja BNN belum bisa menunjukkan hasil seperti
yang diharapkan dalam bentuk menurunnya jumlah penyalahguna, jumlah kasus
dan tersangka tindak pidana narkoba. Melalui operasi yang dilakukan pada tahun
2004, sampai dengan Triwulan I tahun 2004 terdapat 795 kasus yang melibatkan
sejumlah 1.077 orang tersangka yang terdiri dari 1.063 orang WNI dan 14 orang
WNA, serta dapat disita barang bukti narkoba sebanyak 2.293.460 gram, 488
35
batang, dan 862.671,5 tablet. Namun demikian keberhasilan penanggulangan
penyalahgunaann dan pengedaran gelap narkoba bukan hanya ditentukan oleh
kebijakan dan programnya, tetapi juga oleh kesadaran, komitmen, dan partisipasi
semua pihak yang saat ini telah menampakkan kepeduliannya terhadap masalah
narkoba.
2.8.Visi dan Misi Polda
Polri dalam melaksanakan tugas tidak lagi mendahulukan upaya-upaya
represif tetapi preventif dan pre-emptif. Ini berarti polri harus
mendahulukan
upaya-upaya pengayom, pelindung, pelayan dan penegak hukum walaupun
dalam UU
dijelaskan bahwa
polri
bertugas sebagai penegak
hukum,
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat (Tabah, 2012).
1) Pengayom adalah upaya pre-emptif untuk penyadaran masyarakat
dalam membentu law abiding citizen (masyarakat patuh hukum).
2) Pelindung dijabarkan dari tugas polri secara fisik manakala bahaya
dan
ancaman yang akan menganggu masyarakat sudah mulai nyata
(fisik). Hal ini disebut dengan upaya preventif.
3) Pelayan dikonotasikan
masalah HAM
pada fungsi kepolisian
yaitu melayani
dalam masalah-
hak-hak masyarakat
agar semua
berjalan dengan tertib dan aman.
4) Penegak hukum merupakan upaya represif polri manakala upayaupaya lainnya
masyarakat.
sudah dilakukan
tetapi tidak diindahkan
oleh
36
Visi Polri adalah “terwujudnya pelayanan kamtibmas yang unggul,
terjalinnya kemitraan
Polri dengan masyarakat,
penegakan
hukum
efektif serta sinergi polisional yang proaktif dalam rangka memantapkan
Kamdagri”.
Visi dan Misi Polresta Medan
1)Visi Polresta Medan
Terwujudnya
stabilitas keamanan dan ketertiban
di wilayah hukum
Polresta Medan dengan melaksanakan kemitraan dan kerjasama dengan instansi
terkait masyarakat kota Medan.
2)Misi Polresta Medan
a)
Memberikan
perlindungan,
pengayoman
dan pelayanan secara mudah,
tanggap dan tidak diskriminatif demi mewujudkan
rasa aman melalui
kerjasama dengan seluruh elemen masyarakat kota Medan.
b) Memelihara keamanan kepada masyarakat sepanjang waktu
di seluruh
wilayah hukum Polresta Medan serta mengefektifkan fungsi
Perpolisian
masyarakat dan memelihara Kamtibmas di lingkungan masing-masing.
c) Memelihara keamanan dan ketertiban Lantas di wilayah hukum Polresta
Medan untuk menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran
arus orang dan barang.
d) Meningkatkan kerjasama
internal Polri
dan kerjasama
hukum pada instansi terkait serta komponen masyarakat.
aparat penegak
37
e) Mengembangkan Perpolisian masyarakat (Polmas) di
wilayah hukum
Polresta Medan yang berbasis kepada masyarakat patuh hukum (Law
Abiding Citizen).
f)
Menegakkan
hukum
profesional, objektif,
di wilayah
proporsional,
hukum Polresta
transparan,
Medan secara
dan akuntabel untuk
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan.
g) Mengelola
sumber daya Polresta Medan secara profesional,
transparan,
akuntabel dan modern guna mendukung operasional Polresta Medan.
h) Membangun kemitraan dan kebersamaan (Partnership building) dengan
seluruh potensi masyarakat dan instansi pemerintah
keamanan dan ketertiban
di wilayah
dalam memelihara
hukum Polresta Medan dengan
meningkatkan koordinasi antar instansi di wilayah hukum Polresta Medan.
2.9. Polri Dalam Mewujudkan Good Governance
Reformasi Polri dalam bidang struktur, prosedur dan kultur dilakukan
sejalan dengan reformasi administrasi negara untuk mewujudkan sebuah
pemerintahan yang baik ( good governance). Menurut Sadjijono (2005) hal yang
mendasar keterkaitan Polri dengan good governance, pertama, melekatnya fungsi
kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, menganyomi dan melayani masyarakat serta menegakkan
hukum, kedua,
pemeliharaan
sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
penegakan
hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat yang diperoleh
secara atributif melalui pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 2 UU No 2 Tahun
38
2002. Kedua instrumen hukum tersebut meletakkan kepolisian sebagai lembaga
yang mengemban tugas untuk menjaga, memelihara, dan menciptakan keamanan,
ketentraman dan ketertiban umum bagi warga negara.
Implikasi good governance sebagai landasan moral atau etika dalam
penyelenggaran kepolisian sebenarnya telah dirumuskan dalam Kode Etik Profesi
Kepolisian dan telah diberlakukan bagi setiap anggota kepolisian melalui
Peraturan Kapolri No.Pol: 7 tahun 2006 tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik
Profesi Polri yang mencakup tentang etika kepribadian, etika kelembagaan, etika
kenegaraan dan etika dalam hubungan dengan masyarakat.
Etika kepribadian berisi tentang kewajiban bagi setiap anggota Polri untuk
bertakwa kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri
dan melaksanakan tugas kenegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni. Etika
kenegaraan berisi tentang kewajiban untuk menjunjung tinggi kepentingan bangsa
dan negara, menjaga, memelihara, meningkatkan rasa aman dan tentram , menjaga
keselamatan umum dan hak milik setiap warga negara serta menjaga keutuhan
wilayah hukum RI yang berdasarkan UUD 1945. Etika kelembagaan berisi
kewajiban untuk menjaga citra Polri, menjalankan tugas sesuai dengan visi dan
misi lembaga Polri, mengembangkan semangat untuk meningkatkan kinerja dalam
pelayanan kepentingan umum dan meningkatkan profesionalisme. Etika hubungan
dengan masyarakat berisi tentang kewajiban untuk menghormati harkat dan
martabat manusia melalui perlindungan terhadap HAM, menghindarkan diri dari
perbuatan tercela, menegakkan hukum dan meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat.
39
Kode Etik Kepolisian tersebut untuk dipedomani bagi setiap anggota Polri
dalam menjalankan tugas dan wewenang kepolisian, Kode Etik ini merupakan
landasan etika moral yang bersumber dan berpijak pada good governance dalam
menjalankan pemerintahan. Secara filosofis pemberlakuan Kode Etik Kepolisian
merupakan suatu cita-cita dan keinginan untuk mewujudkan kepolisian yang
bersih dan baik dalam rangka mewujudkan good governance. Permasalahannya
mengapa Kode Etik Kepolisian telah diberlakukan tetapi masih banyak ditemukan
penyalahgunaan wewenang, kekerasan dalam penyelenggaraan tugas kepolisian?.
Hal ini dapat dijawab dengan menggali sejauh mana tingkat kesadaran dan
moralitas anggota Polri dalam menjalankan wewenang yang diamanatkan oleh
masyarakat melalui Undang-undang. Hal yang mendasar dapat dicermati karena
belum adanya pemahaman yang dalam bagi Polri tentang fungsi yang diembannya
yakni harus berorientasi kepada masyarakat (public oriented) yang dilayani.
Dikaitkan dengan sistem negara demokrasi di Indonesia yang meletakkan
pemerintahan ada di tangan rakyat dan rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi atau rakyat yang berdaulat, maka dalam mewujudkan pemerintahan yang
baik (good governance) rakyat memegang fungsi pengawasan (control). Oleh
karena itu tugas- tugas kepolisian yang sangat dekat dengan rakyat dan obyeknya
adalah rakyat atau masyarakat akan mudah dikontrol dan dinilai oleh masyarakat.
Apabila konsep tugas dan wewenang yang diemban kepolisian diselenggarakan
sesuai konsep asas-asas umum penyelenggaraan negara, asas-asas umum
pemerintahan yang baik dan asas-asas penegakan hukum, maka penyelenggaraan
tugas dan wewenangnya akan mendapat simpati masyarakat dan dapat
mendukung terwujudnya pemerintahan yang baik, sebaliknya jika tidak sesuai
40
dengan asas- asas tersebut maka polisi akan menerima cercaan dan celaan dari
masyarakat sehingga berpengaruh menjadikan pemerintahan yang buruk, yang
secara kelembagaan akan memperburuk citra kepolisian dan hilangnya
kepercayaan masyarakat kepada polisi.
Penyelenggaraan tugas dan wewenang kepolisian pada era reformasi
bertitik tolak pada tujuan dibentuknya kepolisian untuk mewujudkan keamanan
dan ketertiban dalam negeri sebagai tuntutan dan harapan dari masyarakat, hal ini
merupakan wujud adanya reformasi prosedur birokrasi dalam tubuh Polri.
Bagaimana mengukur kinerja Polri tentunya ukuran yang paling mudah dipahami
adalah terwujudnya rasa aman masyarakat, orang-orang boleh merumuskan
dengan berbagai macam pertanyaan- pertanyaan namun rasa aman ini bersifat
universal yang harus diwujudkan dan dipelihara oleh Polri. Bibit S Rianto (2005)
mengatakan bahwa rasa aman masyarakat memiliki 4 (empat) unsur atau
komponen pendukungnya yaitu : terwujudnya kedamaian (peace), terwujudnya
keamanan (secure), terwujudnya keselamatan (safety), terwujudnya kepastian
hukum didalam kehidupan masyarakat.
2.10.Faktor
Pendukung
dan
Penghambat
Implementasi
Program
Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban oleh Polri
Dalam menjalankan tugasnya,
polisi senantiasa
memperhatikan
keamanan dan ketertiban masyarakat, serta sistem norma berlaku dalam
masyarakat. Sitompul (2004) menyebutkan
pelaksanaan
diskresi
faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam tugas polisi adalah sebagai berikut 1)faktor
pendidikan si petugas, 2)faktor pengalaman
si petugas, 3)faktor mental si
41
petugas, 4)faktor kelelahan fisik si petugas, dan 5)faktor sikap perilaku dan si
pelanggar hukum.
Berkaitan dengan faktor pendidikan, hal ini mencakup mata pelajaran
yang diperoleh dari pendidikan (sekolah) kepolisian yang merupakan bekal
dasar
dari pelaksanaan tugas polisi.
Bekal dasar tersebut
selanjutnya
dikembangkan dan diwarnai dengan pengalaman-pengalaman praktek petugas.
Selanjutnya, tentang pengalaman polisi disebutkan bahwa
pengalaman bertugas
di lapangan yang cukup lama
pengalaman-
akan mempengaruhi
keluwesan pengambilan kebijakan polisi dalam menghadapi pelanggaran –
pelanggaran
yang dilakukan oleh warga tertentu.
Karena pada dasarnya,
pengalaman dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seorang petugas
polisi di lapangan.
Faktor mental juga memiliki peranan penting terhadap tindakan yang
dilakukan polisi.
Kesulitan-kesulitan hidup yang dialami seorang polisi yang
bertugas terutama di kota besar dapat mempengaruhi keseimbangan kepribadian
seseorang yang tidak kuat mentalnya. Pola hidup konsumtif di kota besar dapat
mempengaruhi
kehidupan seseorang yang mempunyai mental
kuat, misalnya,
menerima uang suap (melakukan pungli)
yang kurang
untuk mengatasi
masalah ekonomi keluarga.
Faktor lainnya dalam pelaksanaan tugas polisi adalah
kelelahan yang
dialami petugas. Kekurangan jumlah tenaga SDM kepolisian antara lain dapat
menyebabkan seorang petugas lapangan bekerja terus menerus melebihi beban
dan melebihi kemampuan kondisi fisiknya. Kelelahan fisik sebagai akibat kerja
yang panjang dapat mempengaruhi kestabilan
dalam mengambil kebijakan.
42
Disisi lain, hal ini juga dapat mempengaruhi emosi (kurang sabar) dalam
melaksanakan tugas.
Sikap perilaku pelanggar hukum juga tidak terlepas dari masalah yang
dihadapi polisi.
Seseorang yang telah
melakukan pelanggaran
(misalnya,
ketentuan rambu-rambu lalu lintas) dan tertangkap petugas, apabila menampilkan
sikap perilaku sopan
dan mengaku bersalah
serta mengemukakan alasan-
alasannya mengapa dia melanggar rambu lalu lintas, dan selanjutnya minta maaf
dapat dimungkinkan oleh petugas memberi kebijaksanaan diskresi. Seandainya
pelanggaran itu bersifat ringan, tentunya petugas dapat memberikan nasehatnasehat terhadap si pelanggar.
Program-program pembaharuan di tubuh polri merupakan bagian dari
reformasi birokrasi polri agar ke depannya polri menjadi sebuah institusi yang
baik, bersih, transparan, akuntabel
menyebutkan faktor
pendukung
dan berwibawa. Yanuarsasi dkk (2013)
kinerja
polri dalam menjalankan tugasnya
adalah sebagai berikut :
a. Kekuatan.
Postur kekuatan polri di Sumut telah terstruktur sesuai dengan pola
kebutuhan dan keseimbangan organisasi dalam kompetensi utama yang
profesional,
bermoral dan modern guna
mewujudkan
polri yang
dipercaya (trust building).
b. Sarana dan prasarana
Polri Sumut mempunyai berbagai sarana dan prasarana guna mendukung
kegiatan operasional
telah digelar ke seluruh jajaran polres (sampai
dengan tingkat polsek dan pos polisi).
43
c. Sambutan masyarakat.
Dalam pelaksanaan revitalisasi polri menuju pelayanan prima, sambutan
masyarakat sangat baik. Masyarakat sangat mendukung
adanya
perubahan polri menuju lembaga kepolisian sipil, profesional, bermoral
dan modern
serta meningkatkan
kerjasama
dengan semua
lapisan
masyarakat yang lebih kondusif.
Selain dari faktor pendukung program implementasi pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat oleh polri, juga ditemukan beberapa faktor penghambat
dalam melaksanakan tugas, diantaranya.
a. Belum idealnya jumlah sumber daya manusia.
Jumlah anggota polri yang bertugas di Sumut dirasa masih kurang dari
jumlah ideal. Pemberian pelayanan
keamanan yang prima kepada
masyarakat sulit dilakukan mengingat jumlah anggota yang masih terbatas.
Penggelaran kekuatan polres yang telah terstruktur belum sesuai dengan
postur polres
besar dan polsek kuat,
hal ini
disebabkan
belum
terpenuhinya kekuatan personil terutama kesatuan kewilayahan tingkat
polsek sehingga belum mampu memberikan pelayanan secara optimal.
Tentu, apabila
dengan memadainya jumlah anggota
yang ada akan
membantu pekerjaan menjadi lebih ringan.
b. Kurangnya dukungan anggaran.
Polres saat ini belum mampu menerapkan teknologi informasi yang
terintegrasi dari satuan operasional tingkat bawah karena keterbatasan
peralatan operator.
Selain itu,
juga kurangnya
dukungan anggaran
belanja modal dan anggaran operasional serta pemeliharaannya pada
44
program pengembangan
sarana dan prasarana polri
khususnya
pembangunan gedung dan kendaraan dinas untuk melayani masyarakat.
c. Kurangnya kesadaran masyarakat.
Pemahaman
masyarakat
tentang pentingnya himbauan polri dalam
segala hal masih kurang. Hal ini wajar mengingat tingkat perbedaan
pendidikan masyarakat yang dimiliki masyarakat.
Tabel 2.1 Sasaran Strategis, Indikator Kinerja Utama Polri
No
1
Sasaran Strategis
Terbangunnya
standar
pelayanan publik yang prima
dalam
rangka
menyelenggarakan
fungsi
kepolisian
yang
goog
governance dan
Clean
Government
2
Terbangunnya
Almatsus
Polri
berbasis
teknologi
yang menjunjung
tinggi
HAM
dalam menghadapi
berbagai trend
kejahatan
modern dan konflik sosial.
Terbangunnya budaya kerja
yang efektif
dan efisien
dengan pengawasan internal
yang
transparan
dan
akuntable.
3.
4.
5
6
Tergelarnya personel Polri
yang profesional
sesuai
dengan kompetensi
dan
jenjang pendidikan serta
pengembangan.
Terwujudnya personel Polri
yang profesional dan modern.
Meningkatkan peran intelijen
Indikator Kinerja Utama
a.Prosentase kepuasan publik terhadap
pelayanan Polri.
b.Prosentase
implementasi
standar
Operasional Prosedur (SOP) untuk setiap
bidang pelayanan kepolisian.
c.Prosentase meningkatnya pelayanan
internal bagi anggota Polri dan HTCK
di lingkungan Polri.
a.Prosentase pemenuhan
kebutuhan
almatsus Polri berbasis teknologi untuk
mendukung tugas-tugas kepolisian.
b.Prosentase kebutuhan almatsus Polri
berbasis teknologi untuk mendukung
tugas-tugas Kepolisian.
a.Prosentase penyelesaian tindak lanjut
hasil temuan wastrik rutin.
b.Prosentase penyelesaian tindak lanjut
temuan pem