PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK MELALUI PENYELENGGARAAN KANTIN KEJUJURAN DI SD NEGERI 3 PURWODADI KECAMATAN TAMBAK KABUPATEN BANYUMAS.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“Jika Anda bertanya apa manfaat pendidikan, maka jawabannya sederhana: Pendidikan membuat orang menjadi lebih baik dan orang baik tentu berperilaku mulia”. Begitulah kutipan filsuf Yunani, Plato, 428-347 SM (dalam Fatchul Mu’in., 2011: 21) yang menggambarkan bahwa pendidikan dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian seorang anak menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan secara terus-menerus dibangun dan dikembangkan agar dari proses pelaksanaanya menghasilkan generasi yang diharapkan. Demikian pula pendidikan di Negeri Indonesia ini yang tidak ingin menjadi bangsa yang terbelakang terutama dalam menghadapi zaman yang terus berkembang di era kecanggihan teknologi dan komunikasi. Maka, perbaikan sumber daya manusia yang cerdas, terampil, mandiri, dan berakhlak mulia terus diupayakan melalui proses pendidikan.

Pemerintah juga menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan termasuk anak yang mengalami kesulitan belajar tanpa adanya diskriminasi, seperti yang tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Bab IV Pasal 11 yang berbunyi:

1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi;


(2)

2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Pendidikan itu sendiri merupakan suatu rangkaian yang sangat kompleks, dan merupakan kebutuhan setiap manusia untuk menunjang hidupnya. Pendidikan dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Proses pendidikan di Indonesia senantiasa dievaluasi dan diperbaiki, dalam rangka menghasilkan peserta didik yang unggul dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Salah satu upaya perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia adalah mulai berkembangnya pendidikan dan pengajaran yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan aspek keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk membentuk peserta didik yang berkarakter. Terbukti dengan adanya sekolah-sekolah yang berusaha menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya kesadaran nilai, moral, dan keagamaan bagi peserta didiknya.

Pengembangan nilai, moral, dan keagamaan semakin disadari sebagai kebutuhan yang mendesak mengingat kecerdasan kognitif saja tidak menjamin


(3)

keberhasilan seseorang dalam kehidupannya. Oleh karena itu, membangun keseimbangan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara berkesinambungan merupakan nilai pendidikan yang paling tinggi.

Proses pendidikan yang selama ini dilakukan dinilai belum sepenuhnya berhasil dalam membangun peserta didik yang berkarakter. Penilaian ini didasarkan pada banyaknya peserta didik yang cerdas secara intelektual, namun tidak bermental tangguh dan berperilaku tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan, seperti suka berkelahi, mencuri, berbohong bahkan tindakan asusila yang dilakukan oleh peserta didik di bawah umur.

Refleksi perjalanan pendidikan kita hingga saat ini terkesan melebihkan unsur keilmuan secara duniawi dan melemahkan kadar spiritual sebagai pembentuk nilai atau moral dalam kepribadian para generasi muda. Seorang siswa dianggap berprestasi dan mendapat predikat pelajar teladan berdasarkan nilai yang bagus mata pelajaran tertentu. Moralitas kemudian menjadi terabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang usang. Generasi bangsa menjadi pribadi yang meletakan segala sesuatu tanpa berlandaskan nilai moral dan etika sosial kesantunan. Oleh karena itu upaya perbaikan harus segera dilakukan. Salah satu upaya untuk membentuk karekter peserta didik adalah melalui pendidikan karakter. Upaya ini selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, juga diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam menyukseskan Indonesia di masa mendatang.


(4)

Pendidikan karakter sesungguhnya sudah tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Upaya untuk membangun karakter yang baik dalam diri peserta didik, lembaga pendidikan atau setiap sekolah semestinya menerapkan semacam “budaya sekolah” dalam rangka membiasakan karakter yang akan dibentuk. Budaya sekolah dalam pembentukan karakter ini harus terus-menerus dibangun dan dilakukan oleh semua yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah. Lebih penting lagi, dalam hal ini adalah agar para pendidik hendaknya dapat menjadi suri tauladan dalam mengembangkan karakter tersebut. Sebagus apa pun karakter yang dibangun dalam lembaga pendidikan apabila tidak ada suri tauladan dari para pendidiknya, maka akan sulit dapat tercapai apa yang telah diharapkan.

Upaya pembentukan karakter peserta didik sewajarnya dimulai sejak dini, yaitu pada masa anak-anak. Pada saat itu, anak membutuhkan bimbingan, arahan, nasihat, serta teladan dari orang-orang terdekat termasuk saat berada di lingkungan sekolah. Akan tetapi upaya membangun karakter baik, akhlak mulia, belum dapat mengubah karakter itu jika tidak disertai dengan memberikan


(5)

pendidikan nyata tentang hal itu. Salah satunya adalah pembentukan karakter peserta didik melalui penanaman nilai kejujuran pada program “kantin kejujuran” yang diselenggarakan pada lembaga pendidikan seperti di sekolah-sekolah.

Mengingat bahwa kejujuran merupakan sebuah barang langka yang sangat sulit untuk ditemukan di belantara kehidupan kita sekarang ini. Kejujuran menjadi lenyap seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Merebaknya korupsi, mark up proyek dan aksi mencontek antarpelajar merupakan klimaks dari ketiadaan kejujuran di dalam diri individu. Kejujuran menghidangkan pesona kehidupan dan ketenangan bagi pelakunya. Sedangkan kebohongan membuat jiwa bimbang dan goncang. Hidup tidak berarti jika tidak dihiasi dengan kejujuran.

Sudrajat (2011: 11) mengemukakan bahwa dengan aroma kejujuran yang kental maka dimungkinkan adanya modal sosial (social capital) yang kuat di dalam diri masyarakat. Menyadari akan hal itu maka kantin kejujuran merupakan salah satu terobosan dalam pendidikan nilai dan pembentukan karakter yang baik untuk diterapkan pada anak agar kelak menjadi seorang yang jujur.

Mekanisme kantin kejujuran adalah para pengunjung atau pembelanja warung ini untuk melayani sendiri (self-service), mengambil barang yang diinginkan, membayar sendiri harga yang ditentukan, dan mengambil sendiri pengembalian uang apabila pembayarannya berlebih. Harapannya, dari


(6)

mekanisme itu akan lahir istilah “kejujuran” karena para pembelanja dituntut mengaktualisasi kejujuran diri.

Sisi lain, keberadaan kantin kejujuran yang beroperasi tanpa ada penjaga itu untuk mencerminkan suatu ikhtiar pendidikan kejujuran bagi anak. Jadi, anak tidak hanya berkutat dalam tataran pemahaman normatif saja, tetapi juga dalam bentuk praktik. Hanya saja, apakah sudah memastikan kejujuran itu bisa diaktualisasi atau tidak? Sebab, jika pembelanjaannya tidak jujur kemungkinan anak dapat berubah menjadi “koruptor” atau maling dalam waktu sekejap. Tentu, kejujuran peserta didik di sini benar-benar diuji.

Keberadaan kantin kejujuran di sekolah-sekolah atau di lembaga pendidikan lainnya tidak selalu berjalan dengan baik sesuai dengan mekanisme dari kantin kejujuran itu sendiri. Banyak sekolah atau lembaga pendidikan menyelenggarakan kantin kejujuran untuk melatih siswa berbuat jujur tetapi pada kenyataannya kantin tersebut sering ditunggui dan diawasi oleh guru atau pun petugas yang memang sengaja ditunjuk sebagai penjaga kantin kejujuran. Jadi, siswa yang seharusnya belajar berbuat jujur dengan cara bertransaksi sendiri menjadi pembeli sekaligus penjual di kantin kejujuran tanpa ada yang mengawasi, justru tidak demikian karena ada guru atau pun petugas yang menunggui dan mengawasi siswa saat bertransaksi di kantin kejujuran.

Selain itu, kantin kejujuran sering di salah gunakan oleh pihak tertentu menjadi ladang bisnis. Kantin yang seharusnya menjadi tempat pelatihan siswa berbuat jujur justru dipergunakan oleh pihak tertentu untuk mencari keuntungan material saja tanpa memperdulikan makna yang tersirat dalam kantin kejujuran.


(7)

Sehingga yang terlihat hanyalah sebuah kantin dengan nama “Kantin Kejujuran” tetapi mekanismenya tidak sesuai dengan mekanisme dari kantin kejujuran yang sebenarnya. Akhirnya pembentukan karakter jujur dan penanaman nilai kejujuran pada peserta didik melalui penyelenggaraan kantin kejujuran pun menjadi terabaikan.

Berdasarkan masalah-masalah yang ada, banyak instansi pendidikan yang enggan mendirikan kantin kejujuran sebagai program penanaman nilai pada siswa. Mereka lebih memilih cara lain yang mereka anggap lebih efektif daripada harus mendirikan kantin kejujuran. Hal tersebut, justru membuat peneliti tertarik untuk melakukan pengkajian dan penelitian mengenai “Pembentukan Karakter Peserta Didik melalui Penyelenggaraan Kantin Kejujuran di SD Negeri 3 Purwodadi Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditentukan identifikasi masalah sebagai berikut.

1. Pendidikan di Indonesia masih mengutamakan kecerdasan secara kognitif saja tanpa memperdulikan pembentukan karakter yang baik pada peserrta didik;

2. Pendidikan di Indonesia hingga saat ini terkesan melebihkan unsur keilmuan secara duniawi dan melemahkan kadar spiritual sebagai pembentuk nilai atau moral dalam kepribadian peserta didik;


(8)

3. Pendidikan di Indonesia dinilai belum sepenuhnya berhasil dalam membangun peserta didik yang berkarakter;

4. Pada saat ini ikhtiar mengenai kejujuran sudah jarang ditemukan baik dikalangan anak-anak, remaja, ataupun dewasa;

5. Penanaman nilai kejujuran sudah mulai pudar dalam proses pendidikan di Indonesia padahal kejujuran dapat menjadi fondasi untuk menghasilkan peserta didik yang berkarakter terutama pada sekolah dasar karena pembentukan karakter harus ditanamkan pada anak sedini mungkin.

6. Keberadaan kantin kejujuran di sekolah-sekolah atau di lembaga pendidikan lainnya sebagai bentuk nyata penanaman nilai kejujuran tidak selalu berjalan dengan baik sesuai dengan mekanisme dari kantin kejujuran itu sendiri. 7. Kantin kejujuran sering di salah gunakan oleh pihak tertentu menjadi ladang

bisnis sehingga pembentukan karakter jujur dan penanaman nilai kejujuran pada peserta didik menjadi terabaikan.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini akan membatasi pada penanaman nilai kejujuran dalam pembentukan karakter peserta didik di SD Negeri 3 Purwodadi Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas yang ditanamkan melalui penyelenggaraan kantin kejujuran.

D. Perumusan Masalah

Berpedoman pada pembatasan masalah tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana proses pembentukan karakter peserta


(9)

didik melalui penyelenggaraan kantin kejujuran di SD Negeri 3 Purwodadi Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas?”.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses pembentukan karakter peserta didik melalui penyelenggaraan kantin kejujuran di SD Negeri 3 Purwodadi Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan di SD Negeri 3 Purwodadi ini memiliki beberapa manfaat, antara lain:

1. Secara Teoritis a. Bagi Peneliti

Penelitian ini memberi masukan sekaligus menambah pengetahuan serta wawasan untuk mengetahui proses pembentukan karakter peserta didik melalui kantin kejujuran.

b. Bagi Anggota Lembaga Pendidikan

Penelitian ini dapat menjadi referensi untuk mengupayakan peningkatan mutu pendidikan yang tidak hanya mementingkan kecerdasan kognitif saja tetapi juga pembentukan karakter peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak mulia.

c. Bagi Pembaca


(10)

2. Secara Praktis

a. Bagi Kepala Sekolah

Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu contoh dalam program pembentukan karakter jujur pada peserta didik.

b. Bagi Guru

Penelitian ini dapat digunakan untuk memaksimalkan kinerja guru agar dalam mengajar tidak hanya mementingkan kecerdasan kognitif peserta didik saja, tetapi juga harus bisa membentuk peserta didik yang berkarakter.


(11)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Tinjauan tentang Pembentukan Karakter Peserta Didik a. Pengertian Karakter

Karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti to mark atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Maka, orang yang tidak jujur, kejam, rakus, dan berperilaku jelek maka dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 623), karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Di sini, karakter juga bisa dipahami sebagai tabiat atau watak. Dengan demikian, orang yang berkarakter adalah orang yang memiliki karakter, mempunyai kepribadian, atau berwatak.

Menurut Simon Philips (dalam Fatchul Mu’min., 2011: 160), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Karakter baik dimanifestasikan dalam kebiasaan baik di kehidupan sehari-hari, seperti pikiran baik, hati baik, dan tingkah laku yang baik. Berkarakter baik berarti mengetahui yang baik dan melakukan yang


(12)

baik. Sebaliknya, orang yang mempunyai kebiasaan buruk dan sering berperilaku menyimpang maka orang tersebut dikatakan orang dengan karakter buruk.

Peterson dan Seligman (dalam Gedhe Raka, dkk., 2011: 37) mengkaitkan secara langsung character strength dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama character strength adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya.

Fatchul mu’in (2011: 161-162) mempertegas pengertian karakter dengan memberi ciri-ciri karakter, antara lain sebagai berikut:

1) Karakter adalah “siapakah dan apakah kamu pada saat orang lain sedang melihat kamu” (character is what you are when nobody is looking);

2) Karakter merupakan hasil nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan (character is the result of values and beliefs);

3) Karakter adalah sebuah kebiasaan yang menjadi sifat alamiah kedua (character is a habit that becomes second nature);

4) Karakter bukanlah reputasi atau apa yang dipikirkan oleh orang lain terhadapmu (character is not reputation or what others think about you);

5) Karakter bukanlah seberapa baik kamu daripada orang lain (character is not how much better you are than others);

6) Karakter tidak relative (character is not relative).

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa karakter bersifat memancar dari dalam ke luar (inside-out). Artinya, kebiasaan baik tersebut dilakukan bukan atas permintaan atau tekanan dari orang


(13)

lain melainkan atas kesadaran dan kemauan sendiri. Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan karakter adalah kualitas moral seseorang dalam bertindak dan berperilaku sehingga menjadi ciri khas individu dan dapat membedakan dirinya dengan individu lainnya.

b. Unsur-unsur Karakter

Fatchul Mu’in (2011: 167-182) mengungkapkan bahwa ada beberapa unsur dimensi manusia secara psikologis dan sosiologis yang berkaitan dengan terbentuknya karakter pada diri manusia tersebut. Unsur-unsur ini menunjukan bagaimana karakter seseorang. Unsur-unsur tersebut antara lain:

1) Sikap

Sikap seseorang merupakan bagian dari karakter, bahkan dianggap cerminan karakter seseorang tersebut. Dalam hal ini, sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada dihadapannya, biasanya menunjukan bagaimana karakter orang tersebut. Jadi, semakin baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter baik. Dan sebaliknya, semakin tidak baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter yang tidak baik. 2) Emosi

Emosi merupakan gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis. Tanpa emosi,


(14)

kehidupan manusia akan terasa hambar karena manusia selalu hidup dengan berfikir dan merasa. Dan emosi identik dengan perasaan yang kuat.

3) Kepercayaan

Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting dalam membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang lain.

4) Kebiasaan dan Kemauan

Kebiasaan merupakan aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis pada waktu yang lama, tidak direncanakan dan diulangi berkali-kali. Sedangkan kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang karena kemauan berkaitan erat dengan tindakan yang mencerminkan perilaku orang tersebut.

5) Konsepsi diri (Self-Conception)

Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar tentang bagaimana karakter dan diri seseorang sdibentuk. Jadi konsepsi diri adalah bagaimana “saya” harus membangun diri, apa yang “saya” inginkan dari, dan bagaimana “saya” menempatkan diri dalam kehidupan.


(15)

Unsur-unsur tersebut menyatu dalam diri setiap orang sebagai bentuk kepribadian orang tersebut. Jadi, unsur-unsur ini menunjukan bagaimana karakter seseorang. Selain itu, unsur-unsur tersebut juga dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan dan membentuk karakter seseorang.

c. Nilai-nilai Karakter

Mohamad Mustari (2011: 1-257) mengatakan bahwa ada beberapa nilai-nilai karakter yang terkandung dalam diri setiap orang. Nilai-nilai karakter tersebut antara lain:

1) Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan

Yaitu religius, yang menunjukan bahwa pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.

2) Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri (Personal) a) Jujur

Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain.

b) Bertanggung jawab

Bertanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri


(16)

sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara dan Tuhan.

c) Bergaya hidup sehat

Bergaya hidup sehat dapat diartikan sebagai segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. d) Disiplin

Disiplin merupakan tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

e) Kerja keras

Kerja keras dapat diartikan sebagai perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.

f) Berjiwa wirausaha

Berjiwa wirausaha adalah sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk mengadakan produk baru, memasarkannya, serta mengatur pemodalan operasinya.


(17)

g) Percaya diri

Percaya diri merupakan sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapan.

h) Berfikir logis, kritis, dan inovatif

Berfikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logis untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.

i) Mandiri

Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

j) Ingin tahu

Ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

k) Cinta ilmu

Cinta ilmu dapat diartikan sebagai cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.


(18)

l) Cerdas

Cerdas merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat. m) Tangguh

Tangguh dapat diartikan sebagai sikap dan Perilaku pantang menyerah atau tidak pernah putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan.

n) Berani mengambil resiko

Berani mengambil resiko dapat diartikan sebagai kesiapan menerima resiko/akibat yang mungkin timbul dari tindakan nyata.

o) Berorientasi tindakan

Berorientasi tindakan adalah sikap yang membuat hidup lebih bersifat praktis, nyata, dan tidak terjebak ke dalam lamunan dan pemikiran yang tidak-tidak.

3) Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama a) Sadar diri

Sadar diri adalah sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.


(19)

b) Patuh pada aturan sosial

Patuh pada Aturan dapat diartikan sebagai sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepantingan umum.

c) Santun

Santun adalah sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.

d) Respek

Respek merupakan sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagimasyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.

e) Demokratis

Demokratis merupakan cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajibandirinya dan orang lain.

f) Suka menolong

Suka menolong dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan yang selalu berupaya membantu orang lain.


(20)

4) Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan a) Ekologis

Ekologis yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

b) Nasionalis

Nasionalis merupakan cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, social, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. c) Pluralis

Pluralis adalah sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai perbedaan yang ada di masyarakat baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama. Dari uraian di atas, nilai-nilai karakter berperan penting dalam kehidupan seseorang untuk bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini dikarenakan nilai-nilai karakter semuanya tercakup dalam diri orang itu sendiri yang dapat menunjukan jati dirinya. Sehingga dapat dikatakan nilai-nilai karakter yang muncul dari seseorang merupakan cerminan atas jati dirinya.


(21)

d. Karakteristik Peserta Didik

Pendidikan Sekolah Dasar merupakan pendidikan yang biasanya diikuti oleh anak-anak yang berusia 7 sampai 12 tahun. Murid Sekolah Dasar adalah mereka yang sedang menjalani tahap perkembangan dari masa kanak-kanak memasuki masa remaja awal. Setelah selesai dari pendidikan Sekolah Dasar, artinya mereka telah memasuki masa awal remaja dan akan memasuki masa remaja dan menuju jenjang pendidikan selanjutnya yang lebih tinggi.

Masa usia sekolah dasar disebut juga masa intelektual, hal ini karena keterbukaan dan keinginan anak untuk mendapat pengetahuan dan pengalaman yang ada. Pada masa ini anak diharapkan memperoleh pengetahuan dasar yang dipandang sangat penting bagi perkembangan mentalnya untuk persiapan dan penyesuaian diri terhadap kehidupan di masa dewasa.

Menurut Piaget (John W. Santrock., 2007: 245) ada empat tahap perkembangan kognitif manusia dari lahir sampai dewasa. Setiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan intelektul baru dimana manusia mulai mengerti dunia yang bertambah kompleks. Tahap-tahap tersebut antara lain sebagai berikut:

1) Tahap sensorimotor (sejak lahir hingga usia 2 tahun)

Dalam tahapan ini, bayi membentuk pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan fisik,


(22)

motorik. Oleh karena itu, disebut sensori motor. Pada awal tahapan ini, bayi yang baru lahir hanya memiliki pola perilaku refleks. Pada akhir tahapan sensori motor, anak berusia 2 tahun mampu menghasilkan pola-pola sensorimotor yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol primitif.

2) Tahap praoperasional (usia 2-7 tahun)

Dalam tahapan ini, anak mulai mempresentasikan dunia mereka dengan kata-kata, bayangan dan gambar-gambar. Pemikiran-pemikiran simbolik berjalan melampaui koneksi-koneksi sederhana dari informasi sensorik dan tindakan fisik. Konsep stabil mulai terbentuk, pemikiran-pemikiran mental muncul, egosentrisme tumbuh, dan keyakinan-keyakinan magis mulai terkonstruksi.

3) Tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun)

Pada tahapan ini, pemikiran logis menggantikan pemikiran intuitif asalkan pemikiran tersebut dapat diaplikasikan menjadi contoh-contoh yang konkret atau spesifik. Contohnya, para pemikir operasional konkret tidak dapat membayangkan langkah-langkah penting untuk melengkapi persamaan aljabar, yang terlalu abstrak bagi perkembangan pemikiran tahapan ini.

4) Tahap operasional formal (Usia 11 dan seterusnya)

Dalam tahapan ini, individu-individu bergerak melalui pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir dalam cara-cara


(23)

yang abstrak dan lebih logis. Sebagai bagian dari berpikir abstrak, mereka mengembangkan gambaran-gambaran tentang situasi-situasi ideal.

Karakteristik peserta didik menurut Degeng, 1991 (dalam Asri Budiningsih., 2010: 16-18) adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Sedangkan karakteristik anak Sekolah Dasar menurut Syaiful Bahri Djamarah (2002: 91) sebagai berikut:

a) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis.

b) Amat realistik, ingin tahu, dan ingin belajar.

c) Menjelang akhir masa ini ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor.

d) Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang-orang dewasa lainnya.

e) Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya utnuk dapat bermain bersama. Di dalam permainan ini biasanya anak tidak terikat pada aturan permainan yang tradisional, mereka membuat peraturan sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional konkrit. Pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek konkret, dan mampu melakukan konservasi. Jadi, anak akan lebih memahami segala sesuatu jika anak tersebut mengalami atau pun mempraktekannya secara langsung. Selain itu, anak pada tahap ini juga perlu contoh nyata dari apa yang harus dilakukan.


(24)

e. Pembentukan Karakter Peserta Didik

Tindakan, perilaku, dan sikap anak saat ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul atau terbentuk atau bahkan “given” dari Yang Maha Kuasa. Ada sebuah proses panjang sebelumnya yang kemudian membuat sikap dan perilaku tersebut melekat pada dirinya. Bahkan, sedikit atau banyak karakter anak sudah mulai terbentuk sejak dia masih berwujud janin dalam kandungan.

Sri Narwanti (2011: 5) mengungkapkan bahwa membentuk karakter merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Ada tiga pihak yang memiliki peran penting terhadap pembentukan karakter anak, yaitu: keluarga, sekolah, dan lingkungan. Ketiga pihak tersebut harus ada hubungan yang sinergis.

Kunci pembentukan karakter dan fondasi pendidikan sejatinya adalah keluarga. Keluarga merupakan pendidik yang pertama dan utama dalam kehidupan anak karena dari keluargalah anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya serta menjadi dasar perkembangan dan kehidupan anak dikemjudian hari. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, dan moral anak. Orang tua bertugas sebagai pengasuh, pembimbing, pemelihara, dan sebagai pendidik terhadap anak-anaknya.


(25)

Akan tetapi, kecenderungan saat ini, pendidikan yang semula menjadi tanggung jawab keluarga sebagian besar diambil alih oleh sekolah dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Pada tingkat permulaan fungsi ibu sebagian sudah diambil alih oleh pendidikan prasekolah. Begitu pula masyarakat juga mengambil peran yang besar dalam pembentukan karakter.

Menurut Sri Narwanti (2011: 27), ada beberapa nilai pembentuk karakter yang utuh yaitu menghargai, berkreasi, memiliki keimanan, memiliki dasar keilmuan, melakukan sintesa dan melakukan sesuai etika. Selain itu, juga ada nilai-nilai pembentuk karakter yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab. Semua nilai pembentuk karakter tersebut saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya membentuk suatu keterpaduan yang baik.

Sekolah adalah lembaga pendidikan yang paling depan dalam mengembangkan pendidikan karakter. Melalui sekolah proses-proses pembentukan dan pengembangan karakter siswa mudah dilihat dan diukur. Peran sekolah adalah memperkuat proses otonomi siswa. Di


(26)

sini, karakter dibangun secara konseptual dan pembiasaan dengan menggunakan pilar moral, dan hendaknya memenuhi kaidah-kaidah tertentu. Anis Matta (dalam Sri Narwanti., 2011: 6) menyebutkan ada beberapa kaidah pembentukan karakter, yaitu:

1. Kaidah kebertahapan

Proses pembentukan dan pengembangan karakter harus dilakukan secara bertahap. Orang tidak bisa dituntut untuk berubah sesuai yang diinginkan secara tiba-tiba dan instant. Namun, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dengan sabar dan tidak terburu-buru. Orientasi kegiatan ini adalah pada proses bukan pada hasil. Proses pendidikan adalah lama namun hasilnya paten.

2. Kaidah kesinambungan

Seberapa pun kecilnya porsi latihan yang terpenting adalah kesinambungannya. Proses yang berkesinambungan inilah yang nantinya membentuk rasa dan warna berfikir seseorang yang lama-lama akan menjadi kebiasaan dan seterusnya menjadi karakter pribadinya yang khas.

3. Kaidah momentum

Pergunakan berbagai momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan dan latihan. Misalnya, bulan Ramadhan untuk mengembangkan sifat sabar, kemauan yang kuat, kedermawanan, dan sebagainya.


(27)

4. Kaidah motivasi instrinsik

Karakter yang kuat akan terbentuk sempurna jika dorongan yang menyertainya benar-benar lahir dari dalam diri sendiri. Jadi, proses “merasakan sendiri”, “melakukan sendiri” adalah penting. Hal ini sesuai dengan kaidah umum bahwa mencoba sesuatu akan berbeda hasilnya antara yang dilakukan sendiri dengan yang hanya dilihat atau diperdengarkan saja. Pendidikan harus menanamkan motivasi/keinginan yang kuat dan “lurus” serta melibatkan aksi fisik yang nyata.

5. Kaidah pembimbingan

Pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa seorang guru/pembimbing. Kedudukan seorang guru/pembimbing ini adalah untuk memantau atau mengevaluasi perkembangan seseorang. Guru/pembimbing juga berfungsi sebagai unsure perekat, tempat “curhat” dan sarana tukar pikiran bagi muridnya. Disadari atau tidak, masih banyak pihak yang memandang atau memperlakukan sekolah sebagai sebuah pabrik. Para murid dipandang sebagai bahan baku atau input yang diolah dalam sebuah proses yang dilakukan oleh mesin-mesin bernama guru yang bekerja menurut program produksi bernama kurikulum. Output pabrik ini adalah lulusan yang kualitasnya adalah nilai Ujian Nasional. Cara pandang seperti inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa di sekolah-sekolah berkembang suasana belajar yang sangat mekanistik, formal,


(28)

birokratik, dan hanya berorientasi pada hasil. Pemikiran seperti itu harus ditinggalkan apabila hendak menjadikan sekolah sebagai lingkungan belajar yang memudahkan dan mendorong para peserta didik mengembangkan karakter dan membentuk karakternya menjadi lebih baik.

Menurut Facthul Mu’in (2011: 184) menyatakan bahwa konsep pembentukan karakter yang dicerminkan oleh tingkah laku dan ucapan memang tak dapat dilihat tanpa mengkaitkan manusia sebagai suatu bentuk tubuh (dengan kekuatan pikiran, hati, dan jiwanya) dengan lingkungannya (situasi material dan kondisi sosio-ekonomi yang berkembang). Situasi tubuh menyediakan bahan untuk membentuk karakter dan kejiwaan, demikian juga faktor luar yang tak kalah pentingnya, seperti lingkungan, situasi dan kondisi serta orang-orang yang ada disekelilingnya.

Gede Raka, dkk (2011: 59-60) mengemukakan bahwa proses terbentuknya karakter bisa berawal dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya kebajikan. Kesadaran ini kemudian menguat menjadi keyakinan dan keyakinan ini mempengaruhi perilaku orang yang bersangkutan dalam kehidupan sehari-hari. Terbentuknya kesadaran ini boleh dikatakan merupakan semacam proses pencerahan pada seseorang. Pencerahan ini bisa terjadi atau dipicu oleh berbagai peristiwa atau media, seperti mendengar cerita, membaca buku, berkenalan dengan seseorang, menonton pertunjukan, atau mengalami


(29)

sebuah peristiwa. Semua ini merupakan proses belajar dari dalam ke luar (inside-out). Sebaliknya, karakter terbentuk dari mendorong atau menganjurkan seseorang melakukan tindakan baik, memupuk tindakan baik ini menjadi kebiasaan baik, dan selanjutnya mengembangkan pemahaman dan keyakinan tentang pentingnya tindakan tersebut dalam membangun kehidupan yang baik. Inilah yang disebut proses dari luar ke dalam (outinside in) dalam pembentukan karakter.

2. Tinjauan tentang Kantin Kejujuran a. Pengertian Kejujuran

Merujuk pada sebuah pepatah yang menyatakan “Kejujuran bagaikan emas permata bagi kehidupan”. Maka, menanamkan sikap jujur pada setiap anak atau individu adalah mutlak diperlukan. Baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun dalam lingkungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Supaya kelak anak tersebut menjadi seseorang yang jujur dalam segala hal.

Menurut Mohamad Mustari (2011: 13), jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain. Jadi apa yang dilakukan dan yang dibicarakan sesuai dengan apa yang terjadi. Artinya tidak dilebihkan atau pun dikurangkan dan kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan.


(30)

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 591), jujur berarti lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Sedangkan Kejujuran itu sendiri merupakan Suatu sikap yang berfikir jujur, berkata jujur, dan bersikap jujur. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Akhmad Muhaimin Azzet (2011: 89) mengemukakan bahwa kejujuran adalah hal paling mendasar dalam kepribadian seorang anak manusia. Perilaku kejujuran ini didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya, baik itu dalam perkataan maupun perbuatan; baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Tanpa adanya kejujuran, manusia sudah tidak mempunyai nilai kebaikan di hadapan orang lain. Oleh karena itu, karakter kejujuran ini harus dibangun sejak anak usia dini melalui proses pendidikan.

Menurut Azizah Munawaroh (2012: 15) jujur termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Maka dari sifat jujur, tercabang beberapa sifat, seperti: sabar, qana’ah, zuhud, dan ridha. Selain itu, jujur juga terdiri dari tiga bagian, yaitu: kejujuran hati dengan iman secara benar, niat yang benar dalam perbuatan, kata-kata yang benar dalam ucapan.

Sri Narwanti (2011: 29) mempertegas bahwa jujur merupakan perilaku yang dilaksanakan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan


(31)

pekerjaan. Jadi apa pun tindakan seseorang mengenai suatu hal akan benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada. Biasanya masyarakat akan menerima dengan terbuka orang yang berperilaku jujur.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejujuran memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Karena kejujuran membawa seseorang bersikap berani, kokoh, dan tidak ragu-ragu. Selain itu kejujuran juga membawa pengaruh teguhnya pendirian seseorang, kuatnya hati seseorang, dan jelasnya persoalan yang dihadapi seseorang.

b. Kantin Kejujuran

Korupsi telah menjadi suatu social epidemic yang menjangkiti mekanisme kerja birokrat dan kehidupan politik serta sosial masyarakat Indonesia, namun demikian tidak berarti pemerintah membiarkan korupsi merajalela. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas bahkan menghentikan social epidemic tersebut. Kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah dalam memberantas korupsi karena korupsi merupakan fenomena multi dimensi yang melibatkan faktor individual dan sistem.

Pendidikan formal merupakan salah satu jalur untuk menanamkan pendidikan anti korupsi. Jalur ini akan lebih efektif, karena pendidikan merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada diri seseorang. Dengan perubahan tersebut diharapkan generasi muda secara sadar mampu membangun sistem nilai yang


(32)

baru yaitu anti korupsi. Dalam hal ini peserta didik dijadikan sebagai target sekaligus diberdayakan sebagai penekan lingkungan agar tidak ”permissive to corruption” dan bersama-sama bangkit melawan korupsi. Peserta didik adalah mereka yang dalam waktu relatif singkat akan segera bersentuhan dengan beberapa aspek pelayanan publik, mereka adalah “student of today and leader tomorrow”. mereka merupakan generasi yang akan mengganti generasi sekarang menduduki berbagai jabatan baik di birokrasi maupun perusahaan dan sebagian diantara mereka akan menjadi pengambil kebijakan.

Proses pembinaan pendidikan anti korupsi yang berkelanjutan dimulai dari transfer pengetahuan dan pemahaman, pengembangan sikap dan keteladanan, sampai pada penanaman perilaku atau tindakan anti korupsi. Oleh karena itu, implementasi pembinaannya perlu ditindaklanjuti dengan membangun “kantin kejujuran” di sekolah sebagai praktik moral action yang harus dirancang sesuai dengan muatan sifat edukasi. Hasil yang diharapkan dari intervensi di jalur pendidikan adalah kaum muda, khususnya peserta didik agar dapat lebih memahami tindak pidana korupsi, dan mulai berkata “TIDAK” untuk korupsi, dan pada gilirannya dapat mewarnai, mendorong masyarakat dan lingkungan sekitarnya untuk bersama-sama bangkit melawan korupsi.

Kantin kejujuran tak ubahnya seperti kebanyakan kantin lainnya. Perbedaanya terdapat pada pengelolaan dan pola pembayaran yang


(33)

menitikberatkan pada kesadaran pembeli. Kantin ini dimaksudkan sebagai ajang pembelajaran bagi generasi muda tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri dan lingkungannya, sehingga mereka akan menjadi penerus bangsa yang jujur untuk memajukan bangsa dan negara.

Kantin kejujuran dapat mereflesikan perilaku atau tabiat peserta didik yang ada di suatu sekolah. Jika kantin tidak bertahan lama karena bangkrut, maka hampir dipastikan peserta didik di sekolah itu tidak berperilaku jujur. Sebaliknya, kantin akan semakin maju ketika peserta didik memegang tinggi asas kejujuran dalam kesehariaanya. Penerimaan masyarakat terhadap kantin kejujuran menandakan mulai berseminya kesadaran untuk menyelamatkan anak didik dan generasi muda dari jeratan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Lebih dari itu, sekolah dan institusi pendidikan pada umumnya percaya masyarakat sebagai sarana efektif dalam memberantas budaya buruk tersebut. Hal tersebut dikarenakan peserta didik setiap hari berbaur di dalam masyarakat sehingga masyarakat itu sendiri dapat membawa pengaruh yang cukup besar pada peserta didik.

Pada kantin kejujuran, moral kejujuran diharapkan dapat terbangun melalui sistem kantin kejujuran itu sendiri. Maksud dari sistem kantin kejujuran di sini adalah suatu sistem kantin tanpa penjaga. Artinya, Setiap konsumen yang ingin membeli suatu produk,


(34)

mereka bisa mengambil barang yang ada secara langsung dan bisa membayar di tempat yang telah disediakan. Apabila memerlukan kembalian, konsumen dipersilahkan mencari sendiri di kotak uang yang ada. Sistem kejujuran seperti ini membuat masyarakat di sekitar kantin kejujuran yang menjadi konsumen di latih untuk bertindak jujur. Jujur dalam menghitung jumlah pembelanjaan dan juga jujur dalam membayar serta mengambil kembalian. Dalam hal ini, peserta didik dituntut untuk jujur pada dirinya sendiri.

Sri Narwanti (2011: 40) mengemukakan bahwa kantin kejujuran merupakan contoh nyata dari penerapan nilai-nilai karakter yang termasuk dalam kegiatan ekstrakurikuler di satuan pendidikan. Jadi, melalui kegiatan ekstrakurikuler, siswa dapat belajar memahami nilai yang nantinya dapat mempengaruhi bahkan membentuk karakter siswa itu sendiri sesuai dengan nilai yang tersirat pada kegiatan ekstrakurikuler yang diikutinya. Sehingga ekstrakurikuler yang diadakan oleh satuan pendidikan terkesan tidak hanya sebatas ekstrakurikuler biasa tetapi juga ekstrakurikuler yang memiliki makna untuk menerapkan nilai-nilai karakter pada peserta didik.

Berdasarkan buku panduan penyelenggaraan kantin kejujuran (2009: 7), ada mekanisme pembayaran pada kantin kejujuran yang dapat melatih siswa untuk berbuat jujur. Mekanismenya adalah sebagai berikut:


(35)

2) Pembeli meletakan sendiri uang pembayaran di kotak uang yangtelah disediakan;

3) Pembeli mengambil sendiri uang kembalian (bila ada);

4) Bila uang yang terdapat dalam kotak uang kembalian tidak mencukupi maka peserta didik menukar di tempat yang telah tersedia;

5) Bila terdapat peserta didik belum/lupa/tidak membayar berdasarkan selisih jumlah barang yang terjual dibandingkan dengan uang yang diterima, maka esoknya pengelola mencantumkan pengumuman yang berbunyi “Ada peserta didik yang lupa membayar”.

Selain itu, dalam buku panduan penyelenggaraan kantin kejujuran (2009: 3) ada beberapa tujuan dan manfaat kantin kejujuran, antara lain sebagai berikut:

1) Tujuan kantin kejujuran

a) Melatih peserta didik untuk berperilaku jujur;

b) Menanamkan nilai kemandirian kepada peserta didik;

c) Melatih peserta didik untuk taat dan patuh terhadap norma, tata tertib dan ketentuan yang berlaku baik di sekolah maupun di masyarakat;

d) Melatih peserta didik untuk lebih bertanggung jawab dalam setiap tindakan.


(36)

2) Manfaat kantin kejujuran a) Bagi peserta

Dapat melatih kejujuran dan sikap tanggung jawab yang diberikan, serta sikap kemandirian.

b) Bagi guru

Sebagai sarana mengaplikasikan nilai-nilai kejujuran yang telah diajarkan di dalam kelas.

c) Bagi sekolah

Terbentuknya perilaku dan lingkungan yang jujur di sekolah. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kantin kejujuran merupakan suatu kantin tanpa penjaga, artinya setiap konsumen yang ingin membeli suatu produk, mereka bisa mengambil barang yang ada secara langsung dan bisa membayar di tempat yang telah disediakan. Apabila memerlukan kembalian, konsumen dipersilahkan mencari sendiri di kotak uang yang ada. Selain itu kantin kejujuran juga merupakan terobosan baru dalam penanaman nilai kejujuran pada peserta didik. Terutama anak pada usia Sekolah Dasar yang dalam pembelajarannya memasuki tahap operasional konkrit. Jadi dengan adanya contoh nyata dari prilaku jujur maka anak akan dengan mudah memahami kejujuran itu sendiri.

B. Hasil penelitian yang relevan

Hasil penelitian yang relevan dan dapat dijadikan sebagai acuan adalah hasil penelitian Suko Triyanto (2010) yang berjudul “Peningkatan Pendidikan


(37)

Kejujuran dan Pembelajaran Anti Korupsi melalui Program Kantin Kejujuran Di SD Negeri 3 Purwodadi Tambak Tahun Pelajaran 2009/2010” dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kantin kejujuran merupakan sarana yang baik dalam melatih siswa untuk berbuat jujur. Selain itu, kantin kejujuran juga dapat diterapkan sebagai ladang pembelajaran anti korupsi karena sistematika dari kantin kejujuran ini menuntut setiap pembelinya untuk berbuat jujur. Sekalipun tidak ada yang menjadi penjual, maka pembeli lama-lama akan merasa malu pada dirinya sendiri jika tidak jujur dalam bertransaksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pendidikan kejujuran dan pembelajaran anti korupsi melalui program kantin kejujuran Di SD Negeri 3 Purwodadi Tambak Tahun Pelajaran 2009/2010. C. Kerangka Berfikir

Karakter adalah kualitas moral seseorang dalam bertindak dan berperilaku sehingga menjadi ciri khas seseorang yang dapat membedakan diri orang tersebut dengan orang lain. Jadi, karakter setiap orang tentu berbeda-beda sesuai dengan sikap dan sifat yang menjadi ciri khas orang tersebut. Jika seseorang memiliki sikap dan sifat baik yang dapat diterima dalam masyarakat maka orang tersebut tentu dapat dikatakan memiliki karakter yang baik dengan ciri khas yang dimiliki orang itu sendiri. Dan sebaliknya, jika orang tersebut berperilaku buruk dan menyimpang yang tidak dapat diterima oleh masyarakat maka orang tersebut dapat dikatakan orang dengan karakter buruk sesuai dengan ciri dari sifat dan sikap yang dimilikinya.


(38)

Karakter muncul pada diri seseorang tidak terlepas dari unsur-unsur karakter yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Unsur-unsur karakter meliputi sikap, emosi, kepercayaan, kebiasaan dan kemauan, serta konsepsi diri. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya yang dapat membentuk ciri khas karakter seseorang. Sehingga unsur-unsur karakter yang ada pada diri seseorang dapat mencerminkan seperti apa karakter orang itu sendiri.

Karakter yang ada pada diri seseorang juga mengandung nilai-nilai karakter yang dapat digunakan seseorang untuk bersosialisasi. Hal tersebut karena nilai-nilai karakter semuanya tercakup dalam diri orang itu sendiri yang dapat menunjukan jati dirinya. Nilai-nilai karakter yang dimaksud meliputi nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan, nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri, nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama, dan nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan. Jika nilai karakter yang ada pada diri seseorang dapat diaktualisasi dengan baik maka orang tersebut dapat bersosialisasi dengan baik pula.

Karakter yang tercermin pada seseorang sebenarnya sudah ada sejak orang itu baru dilahirkan hanya saja dengan berbagai hal yang terjadi pada kehidupannya, karakter yang ada pada diri seseorang kian berubah dan berkembang. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pengaruh dari kehidupannya yang dapat mengubah dan membentuk karakter orang tersebut. Seperti pada jenjang pendidikan yang ditempuh oleh seseorang. Di sini,


(39)

seseorang mendapat pendidikan dan pengajaran yang dapat mempengaruhi karakter yang sudah ada pada diri seseorang.

Pengalaman yang dialami seseorang pada masa kecilnya akan berdampak ketika ia dewasa nanti. Untuk itu, pendidikan mengenai karakter harus ditanamkan sedini mungkin. Terutama pada jenjang pendidikan sekolah dasar. Pada masa ini peserta didik berada pada tahap operasional konkret. Artinya, anak mampu berfikir logis tetapi terbatas pada objek-objek konkret. Jadi, anak akan lebih memahami segala sesuatu jika anak tersebut mengalami atau mempraktekannya secara langsung.

Peserta didik yang berkualitas adalah peserta didik yang tidak hanya berprestasi dalam hal kecerdasan saja tetapi juga mempunyai karekter yang baik. Berbagai cara telah dilakukan guna membentuk karakter peserta didik agar menjadi lebih baik. Pembentukan karakter ini hendaknya dilakukan pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena setiap hari anak bersosialisasi dengan ketiga hal tersebut. Dan sebaiknya, antara lingkungan yang satu dengan yang lainnya saling mendukung untuk menghasilkan karakter yang diharapkan.

Contoh nyata dari pembentukan karakter itu sendiri salah satunya dengan diselenggarakannya kantin kejujuran pada lembaga pendidikan seperti di sekolah dasar. Adanya kantin kejujuran ini bertujuan untuk membentuk karakter jujur pada peserta didik. Mengingat bahwa kejujuran kian disadari menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan seeorang. Jadi, melalui kantin kejujuran anak belajar mempraktekkan secara langsung


(40)

berbuat jujur ketika ia bertransaksi di kantin kejujuran karena pada pengoprasiannya kantin kejujuran adalah kantin tanpa penjaga atau pun penjual. Setiap pembeli dapat melayani dirinya sendiri, menjadi pembeli sekaligus penjual.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, peneliti menyimpulkan bahwa ada beberapa unsur-unsur nilai kejujuran yang dapat dikembangkan dari kantin kejujuran dalam pembentukan karakter peserta didik, yaitu:

1. Kejujuran yang mandiri 2. Kejujuran yang terbiasa 3. Kejujuran yang “dipaksa”

Unsur-unsur nilai tersebut tersirat dalam kantin kejujuran yang dapat membentuk karakter peserta didik menjadi seseorang yang berkarakter jujur. Hal ini dikarenakan setiap hari siswa melakukan transaksi jual beli di kantin kejujuran tanpa ada pengawasan. Mereka dapat mengambil barang yang ada secara langsung dan dapat membayar di tempat yang telah disediakan. Apabila memerlukan kembalian, siswa dipersilahkan mencari sendiri di kotak uang tanpa ada pengawasan. Maka dengan sendirinya siswa dituntut untuk berbuat jujur dalam melakukan transaksi jual beli tanpa ada pengawasan. Inilah yang menimbulkan kejujuran pada diri siswa secara mandiri. Dan apabila hal tersebut dilakukan setiap hari, maka lama-kelamaan siswa akan terbiasa dengan sistematika dari kantin kejujuran. Akan tetapi, di sisi lain kejujuran siswa ini termasuk kejujuran yang “dipaksa”, maksudnya siswa disuruh dan diajari untuk berbuat jujur melalui kantin kejujuran. Hal ini


(41)

dilakukan guna membentuk karakter jujur pada siswa melalui penyelenggaraan kantin kejujuran.

D. Pertanyaan Peneliti

1. Bagaimana karakter peserta didik di SD Negeri 3 Purwodadi sebelum diselenggarakan kantin kejujuran?

2. Bagaimana proses pembentukan karakter peserta didik melalui penyelenggaraan kantin kejujuran di SD Negeri 3 Purwodadi?

a. Bagaimana upaya yang dilakukan pihak sekolah untuk membentuk karakter peserta didik?

b. Bagaimana kantin kejujuran di SD Negeri 3 Purwodadi?

c. Apa kegiatan siswa ketika berlangsungnya proses pembentukan karakter pada siswa itu sendiri melalui penyelenggaraan kantin kejujuran?

d. Bagaimana peran guru dalam membentuk karakter peserta didik? 3. Bagaimana karakter peserta didik di SD Negeri 3 Purwodadi setelah


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Djam’an Satori (2011: 23) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena-fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif seperti proses suatu langkah kerja, formula suatu resep, pengertian-pengertian tentang suatu konsep yang beragam, karakteristik suatu barang dan jasa, gambar-gambar, gaya-gaya, tata cara suatu budaya, model fisik suatu artifak dan lain sebagainya.

Selain itu, Sugiono (2012: 9) juga mengemukakan penelitian kualitatif sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dengan triangulasi, analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2011: 73), penelitian deskriptif kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia, yang lebih memperhatikan mengenai karakteristik, kualitas, keterkaitan antar kegiatan. Selain itu, Penelitian deskriptif tidak memberikan perlakuan, manipulasi atau pengubahan pada


(43)

variabel-variabel yang diteliti, melainkan menggambarkan suatu kondisi yang apa adanya. Satu-satunya perlakuan yang diberikan hanyalah penelitian itu sendiri, yang dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Berdasarkan keterangan dari beberapa ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian deskriptif kualitatif yaitu rangkaian kegiatan untuk memperoleh data yang bersifat apa adanya tanpa ada dalam kondisi tertentu yang hasilnya lebih menekankan makna. Di sini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif karena penelitian ini mengeksplor fenomena proses pembentukan karakter peserta didik melalui penyelenggaraan kantin kejujuran di SD Negeri 3 Purwodadi Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas. Selain itu penelitian ini juga bersifat induktif dan hasilnya lebih menekankan makna.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SD N 3 Purwodadi Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas, berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:

1. Peneliti sudah melakukan observasi dan tertarik untuk meneliti di SD Negeri 3 Purwodadi;

2. SD Negeri 3 Purwodadi menyelenggarakan kantin kejujuran yang menjadi topik dalam penelitian ini;

3. Peneliti mempertimbangkan waktu, biaya dan tenaga karena lokasi tersebut terjngkau oleh peneliti.


(44)

C. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2013.

D. Subjek Penelitian

Pada penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari. Spradley (dalam Sugiyono., 2009: 215) mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi dinamakan social situation atau situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis.

Sugiono (2009: 216) mengemukakan bahwa sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai nara sumber, atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. Selain itu, sampel juga bukan disebut sampel statistik, tetapi sampel teoritis, karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori. Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung.

Subjek penelitian ini adalah siswa SD Negeri 3 Purwodadi Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas yang merupakan informan


(45)

utama. Sebagai triangulasi, peneliti memanfaatkan Kepala Sekolah SD Negeri 3 Purwodadi, guru pengelola kantin kejujuran, dan guru kelas. Penelitian tersebut berdasarkan alasan bahwa SD Negeri 3 Purwodadi sudah menyelenggarakan kantin kejujuran. Pemilihan subjek dilakukan dengan cara memilih sampel dari beberapa siswa, beberapa guru kelas, guru pengelola kantin kejujuran, dan kepala sekolah sehingga hasil penelitian lebih representatif.

E. Teknik Pengumpulan Data

Data adalah bagian terpenting dari suatu penelitian, karena dengan data peneliti dapat mengetahui hasil dari penelitian tersebut. Pada penelitian ini, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Sesuai dengan karakteristik data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah:

1. Observasi

Observasi merupakan teknik yang mendasar dalam penelitian non tes. Observasi dilakukan dengan pengamatan yang jelas, rinci, lengkap, dan sadar tentang perilaku individu sebenarnya di dalam keadaana tertentu. Pentingnya onbservasi adalah kemampuan dalam menentukan faktor-faktor awal mula perilaku dan kemampuan untuk melukiskan akurat reaksi individu yang diamati dalam kondisi tertentu. Observasi dalam penelitian kualitataif dilakukana terhadap situasi


(46)

sebenarnya yang wajar, tanpa dipersiapkan, dirubah atau bukan diadakan khusus untuk keperluan penelitian. Observasi dilakukan pada obyek penelitian sebagai sumber data dalam keadaan asli atau sebagaimana keadaan sehari-hari.

Marshall dalam Sugiono (2010: 310) menyatakan bahwa “through observation, the researcher learn about behavior and he meaning attached to those behavior”. Jadi melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut. Berkaitan dengan observasi yang dilakukan dalam penelitian kualitatif maka observasi yang digunakan yaitu observasi langsung. Observasi langsung dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap data mengenai proses pembentukan karakter peserta didik melalui kantin kejujuran. Observasi ini bertujuan untuk mendapatkan data yang lebih lengkap mengenai pembentukan karakter peserta didik melalui kantin kejujuran.

2. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil menatap muka antara penanya atau pewawancara dengan penjawab atau responden dengan menggunakan panduan wawancara. Dalam penelitian ini, peneliti mencatat semua jawaban dari responden sebagaimana adanya. Pewawancara sesekali menyelingi jawaban responden, baik untuk meminta penjelasan maupun untuk meluruskan bilamana ada jawaban


(47)

yang menyimpang dari pertanyaan. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur. Maksudnya, dalam melakukan wawancara peneliti sudah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Di sini, peneliti melakukan wawancara terhadap Kepala Sekolah, guru pengelola kantin kejujuran, guru kelas dan beberapa siswa SD Negeri 3 Purwodadi yang dianggap dapat memberikan informasi yang dibutuhkan.

3. Dokumentasi

Menurut Djam’an Satori (2011: 149), studi dokumentasi yaitu mengumpulkan dokumen dan data-data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian suatu kejadian. Dokumen yang digunakan pada penelitian ini berupa daftar responden penelitian, foto perilaku siswa dalam proses jual beli di kantin kejujuran, foto barang-barang yang terdapat di kantin kejujuran SD Negeri 3 Purwodadi, foto salah seorang guru yang ikut berpartisipasi dalam berbelanja di kantin kejujuran, data hasil transaksi siswa pada tahun 2005, data hasil transaksi siswa pada tahun 2006, data hasil transaksi siswa pada tahun 2012, data contoh laporan penjualan barang kantin kejujuran, data contoh laporan belanja pengadaan barang, data contoh laporan transaksi siswa.


(48)

F. Instrumen Penelitian

Bogdan dan Biklen (dalam Djam’an Satori., 2011: 62) menyatakan bahwa Qualitative research has the natural setting as the direct source of data and the researcher is the key instrument. Artinya, penelitian kualitatif mempunyai setting yang alami sebagai sumber langsung dari data dan peneliti itu adalah instrumen kunci. Maksudnya adalah peneliti sebagai alat pengumpul data utama. Dalam penelitian kualitatif yang diuji adalah datanya. Selain itu, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti (Sugiyono, 2009: 365). Instrumen dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam penelitian ini dibutuhkan manusia sebagai peneliti karena manusia dapat menyesuaikan sesuai dengan keadaan lingkungan. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yanag diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik mauapun logistiknya. Dan yang melakukan validasi adalah peneliti itu sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal


(49)

memasuki lapangan. Selain itu, peneliti juga dibantu dengan panduan observasi dan panduan wawancara.

Pada penelitian ini, setelah fokus penelitian menjadi jelas barulah instrumen penelitian sederhana dikembangkan. Hal tersebut dilakuakan untuk mempertajam serta melengkapi hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Terdapat dua instrumen yang dibuat yaitu untuk melihat proses pembentukan karakter peserta didik melalui kantin kejujuran, dan hal-hal yang terjadi ketika proses pembentukan karakter berlangsung. G. Teknik Analisis Data

Menurut Sugiyono (2009: 335-336), analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan di pelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan.

Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2009: 337-338) mengemukakan bahwa analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang


(50)

diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan lagi sampai tahap tertentu hingga diperoleh data yang dianggap kredibel. Selain itu, aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Langkah-langkah analisis data ditunjukan pada gambar berikut ini:

Periode pengumpulan

Reduksi data

Antisipasi Selama Setelah Display data

ANALISIS

Selama Setelah

Kesimpulan/verifikasi

Selama Setelah

Gambar 1. Komponen dalam analisis data (flow model)

Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa, setelah peneliti melakukan pengumpulan data, maka peneliti melakukan antisipatori sebelum melakukan reduksi data. Selain itu, dapat disimpulkan juga bahwa langkah-langkah analisis data antara yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan satu sama lain. Langkah-langkah tersebut tidak dapat dipisahkan atau pun kerjakan secara tidak urut. Agar dapat menghasilkan data yang baik maka peneliti dalam menganalisis data harus sesuai dengan langkah-langkah yang ada.


(51)

Selanjutnya, model interaktif dalam analisis data ditunjukkan pada gambar di bawah ini:

Gambar 2. Komponen dalam analisis data (interactive model)

Gambar 2 menunjukkan langkah-langkah yang ditempuh dalam analisis data menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (2009: 16-21), yaitu sebagai berikut:

1. Data Reduction (Reduksi data) sebagai suatu proses pemilihan, pemusatan, perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan, sehingga data itu memberi gambaran yang lebih jelas tentang hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi;

2. Data Display (Penyajian data), yaitu sekumpulan informasi tersusun memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penelitian kualitatif penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, tabel, grafik, pictogram, dan sejenisnya. Melaui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan sehingga akan semakin mudah dipahami;

Data collection

Data reduction

Data display

Conclusions: drawing/verifying


(52)

3. Conclusion Drawing atau Verification (Simpulan atau verifikasi), peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data yang telah diproses melalui reduksi dan display data. Penarikan kesimpulan yang dikemukakan bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data maka kesimpulan yang di kemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Adapun langkah-langkah yang ditempuh oleh peneliti dengan menggunakan analisis kualitatif model interaktif adalah sebagai berikut: 1. Mengobservasi perilaku siswa pada saat proses jual beli di kantin

kejujuran dalam membentuk karakter jujur pada siswa itu sendiri; 2. Melakukan wawancara dengan Kepala Sekolah, guru pengelola kantin

kejujuran, dan guru kelas di SD Negeri 3 Purwodadi berkaitan dengan kantin kejujuran dan perilaku siswa sesuai pedoman wawancara yang telah dibuat;

3. Melakukan wawancara dengan siswa berkaitan dengan perilaku siswa saat berbelanja di kantin kejujuran sesuai dengan pedoman wawancara yang telah dibuat;

4. Membaca dan menjabarkan pernyataan dari guru dan siswa, mencari definisi dan postulat yang cocok, dengan mencatat hal-hal penting


(53)

yang berkaitan dengan konsep-konsep kunci yang telah ditetapkan baik berupa pernyataan, definisi, unsur-unsur dan sebagainya;

5. Mengkategorikan catatan-catatan yang diambil dari sumber data lalu mengklasifikasikannya ke dalam kategori yang sama;

6. Mengkategorikan kategori yang telah disusun dan dihubungkan dengan kategori lainnya sehingga hasilnya akan diperoleh susunan yang sistematis dan berhubungan satu sama lain;

7. Menelaah relevansi data dengan cara mengkaji susunan pembicaraan yang sitematik dan relevansinya serta tujuan penelitian;

8. Melengkapi data dengan cara mengkaji isi data baik berupa hasil observasi dan hasil wawancara serta hasil dokumentasi dilapangan; 9. Menjadikan jawaban, maksudnya adalah hasil kajian data kemudian

dijadikan jawaban setelah dianalisis;

10. Menyusun laporan, setelah menjabarkan jawaban secara terperinci, kemudian menyusunnya dalam bentuk laporan.

H. Pemeriksaan Keabsahan Data

Pelaksanaan teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini didasarkan pada kriterium tertentu. Menurut Lexy J. Moleong (2009: 324), untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan yang didasarakan pada sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu kredibilitas (derajat kepercayaan), keteralihan (tranferbility), kebergantungan (dependenbility), kepastian (conformability).


(54)

Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua jenis triangulasi yaitu triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Triangulasi sumber yaitu untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi sumber ini digunakan oleh peneliti untuk mengecek data yang diperoleh dari siswa SD Negeri 3 Purwodadi, guru pengelola kantin kejujuran, guru kelas, dan Kepala Sekolah. Sedangkan triangulasi teknik yaitu untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Triangulasi teknik ini digunakan oleh peneliti setelah mendapatkan hasil wawancara yang kemudian dicek dengan hasil observasi dan dokumentasi. Dari ketiga teknik tersebut tentunya akan menghasilkan sebuah kesimpulan terkait penerapan pembentukan karakter peserta didik melalui penyelenggaraan kantin kejujuran.


(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

SD Negeri 3 Purwodadi terletak di Jalan Brajageni km 2 Purwodadi, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas. Lokasi SD tersebut merupakan kawasan pedesaan yang letaknya jauh dari kawasan padat penduduk karena terletak di lereng Pegunungan Serayu. Walaupun demikian, sekolah ini terbuat dari tembok dan sudah berkeramik dengan dikelilingi pepohonan yang rindang serta mempunyai luas ±2500 m2. Adapun batas wilayah SD Negeri 3 Purwodadi yaitu:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Watuagung yang berbentuk jurang di belakang SD;

b. Sebelah selatan adalah jalan menuju jalan raya provinsi dan beberapa rumah penduduk;

c. Sebelah barat adalah jalan menuju Dusun Brajageni dan berbatasan pula dengan jurang yang berada tepat di samping halaman sekolah; d. Sebelah timur berbatasan dengan rumah penduduk.

Dari tinjauan edukatif, lokasi ini cukup kondusif untuk proses pembelajaran karena letaknya jauh dari jalan raya yaitu sekitar 1 km, sehingga cukup tenang untuk proses pembelajaran. Selain itu, letaknya yang berada di lereng pegunungan dengan dikelilingi pepohonan besar membuat udara di sekitar SD Negeri 3 Purwodadi terasa sejuk dan segar.


(56)

Lingkungannya pun bersih, jauh dari limbah pabrik dan TPS (Tempat Pembuangan Sampah).

SD Negeri 3 purwodadi memiliki 15 orang guru, 6 berprofesi PNS dan yang lainnya berprofesi sebagai wiyata bakti. Guru dengan jabatan PNS adalah bapak kepala sekolah, guru yang mengajar di kelas 1, kelas 4, kelas 5, kelas 6 dan seorang guru olahraga. Selainnya yang berprofesi sebagai wiyata bakti adalah penjaga sekolah, 3 orang guru pengampu pendidikan agama, petugas perpustakaan, 2 orang guru olahraga, guru kelas 2 dan guru kelas 3. Guru-guru di sana sangat baik dan ramah terutama pada peserta didik.

Di SD Negeri 3 Purwodadi ini, terdapat 8 ruangan yang terdiri dari 5 ruang kelas, kantor, perpustakaan dan dapur. Meskipun tidak memiliki banyak ruangan, tetapi sekolah ini cukup maju dalam proses pembelajaran baik itu pembelajaran secara kognitif maupun afektif. Hal ini terbukti SD Negeri 3 Purwodadi selalu mendapat rangking 3 besar dalam hal kognitif siswa sejak tahun 2000 dan terpilih menjadi SD teladan pada tahun 2012. Selain itu, pada bidang afektif SD Negeri 3 Purwodadi merupakan SD pelopor di Kecamatan Tambak yang mendirikan sebuah program penanaman nilai kejujuran untuk membentuk karakter jujur pada peserta didik melalui program “Kantin Kejujuran”. Kantin kejujuran ini adalah salah satu program dari SD Negeri 3 Purwodadi yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas peserta didik yang tidak hanya berprestasi pada bidang kognitif saja tetapi juga mempunyai “nilai” afektif yang baik.


(57)

B. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Karakter peserta didik di SD Negeri 3 Purwodadi sebelum diselenggarakan kantin kejujuran

Peneliti melakukan wawancara sebanyak 2 kali kepada Bapak SN selaku Kepala Sekolah untuk mengetahui karakter peserta didik SD Negeri 3 Purwodadi. Saat ditanya mengenai karakter peserta didik SD Negeri 3 Purwodadi sebelum diselenggarakan kantin kejujuran pada tanggal 14 Mei 2013, Beliau menjawab bahwa tidak tahu pasti karena Beliau baru mengajar di SD Negeri 3 Purwodadi pada tahun 2008 dan kondisinya pada saat itu sudah ada kantin kejujuran yang berdiri sejak tahun 2005 dan didirikan oleh Bapak ST selaku Kepala Sekolah SD Negeri 3 Purwodadi sebelum Bapak SN. Tetapi beliau memberi keterangan:

“Untuk karakter setiap anak tentu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Tetapi pada umumnya, di SD Negeri 3 Purwodadi ini, anak kelas rendah dan anak kelas tinggi memiliki karakter yang cukup baik, mereka masih sangat lugu apalagi untuk anak kelas rendah itu mba. Mereka selalu berusaha mentaati peraturan yang ada dan mudah diatur walaupun kadang-kadang ada yang melanggar aturan tapi masih bisa diatasi. Ya hanya sebatas tingkah laku anak-anak sajalah mba.”

Pada saat itu, Beliau menyarankan peneliti untuk bertanya kepada Bapak SB selaku guru kelas 5 jika ingin bertanya mengenai karakter siswa SD Negeri 3 Purwodadi sebelum diselenggarkannya kantin kejujuran. Menurut Beliau, Bapak SB dapat memberi informasi yang dibutuhkan peneliti karena Bapak SB adalah guru yang paling


(58)

lama menjabat di SD Negeri 3 Purwodadi, yaitu sejak tahun 1998. Saat itu pula, peneliti langsung bertanya kepada Bapak SB mengenai karakter peserta didik di SD Negeri 3 Purwodadi sebelum diselenggarakannya kantin kejujuran.

Saat ditanya, Beliau menjawab bahwa sebelum didirikan kantin kejujuran, sekolah sering kehilangan barang-barang milik sekolah, seperti kapur, penghapus, vas bunga, dan lain sebagainya. Bahkan waktu awal diselenggarakannya kantin kejujuran, sering terjadi ketidaksesuaian antara jumlah barang yang terjual dengan uang pembayarannya. Pernyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Ibu EI selaku guru pengelola kantin kejujuran yang menyatakan:

“Saya masih ingat sekali mba ketika pertama kali diselenggarakannya kantin kejujuran pada tahun 2005. Ketika itu, sebagian besar siswa tidak membayar saat berbelanja di kantin kejujuran. Dan hal itu berlangsung cukup lama, ya sekitar 3 bulanan lebih lah mba. Tapi kan kami itu tidak pernah lelah menasehati siswa dan mengajari siswa supaya jujur kalau bayar di kantin kejujuran supaya kantin kejujuran bisa tetap ada.”

Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan melihat buku laporan keuangan kantin kejujuran di SD Negeri 3 Purwodadi. Pada buku laporan keuangan atau buku laporan hasil penjualan di kantin kejujuran, terlihat bahwa ketika tahun 2005 sering mengalami kerugian hingga puluhan ribu. Misalnya saja, pada tanggal 29 Desember tahun 2005, terlihat bahwa ada beberapa barang yang hilang dari kantin kejujuran dengan nilai rupiah yang cukup besar, yaitu Rp. 142.000,- dengan jumlah barang yang dijual ada 23 jenis alat tulis dan 10 macam


(1)

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Barang yang dibayar (dirupiahkan)

Barang yang hilang (dirupiahkan)

Barang yang belum terjual (dirupiahkan) “Laporan hasil penjualan siswa dari tahun ke tahun juga menunjukan mulai berkurangnya uang hasil penjualan yang hilang atau pun barang di kantin kejujuran mba. Ya semakin hari semakin membaik. Itu dapat dilihat di buku laporan mba kan ada.”

Hal tersebut dapat di lihat pada grafik hasil penjualan Kantin Kejujuran dari tahun 2005 hingga 2012 yang sudah dianalisis dan dikelola oleh peneliti sebelumnya. Berikut adalah grafik yang dimaksud:

Grafik 1. Hasil penjualan di kantin kejujuran SD Negeri 3 Purwodadi dari tahun 2005 sampai 2012


(2)

pada tahun 2011 ada jumlah barang yang hilang sekitar 8 % setelah 3 tahun tidak adanya barang yang hilang tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan baik. Terbukti dengan tidak ditemukannya barang hilang pada tahun 2012.

Berdasarkan data yang ada, jika dilihat dari teori Anis Matta (dalam Sri Narwanti) kantin kejujuran di SD Negeri 3 Purwodadi ini sesuai dengan kaidah pembentukan karakter, yaitu:

1. Kaidah Kebertahapan

Siswa secara bertahap belajar jujur melalui kantin kejujuran. 2. Kaidah Kesinambungan

Siswa belajar jujur melalui kantin kejujuran tidak hanya satu atau dua tahun saja tetapi mulai dari kelas 1 hingga kelas 6.

3. Kaidah Momentum

Melalui kantin kejujuran, setiap hari siswa belajar jujur. 4. Kaidah Motivasi Instrinsik

Melalui kantin kejujuran, siswa benar-benar merasakan sendiri dan melakukan sendiri bagaimana mencoba untuk berbuat jujur ketika bertransaksi di kantin kejujuran.

5. Kaidah Pembimbingan

Guru selalu membimbing siswa dalam belajar berbuat jujur terutama berbuat jujur melalui kantin kejujuran.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab IV, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Karakter peserta didik di SD Negeri 3 Purwodadi sebelum diselenggarakan kantin kejujuran termasuk dalam karakter yang kurang baik karena banyak peserta didik yang tidak jujur.

2. Proses pembentukan karakter peserta didik di SD Negeri 3 Purwodadi meliputi beberapa hal, yaitu:

a. Kantin kejujuran diselenggarakan di SD Negeri 3 Purwodadi sebagai upaya pihak sekolah untuk meningkatkan kualitas peserta didik di SD tersebut agar tidak hanya berprestasi dalam bidang kognitif sata tetapi juga memiliki nilai afektif yang baik.

b. Kantin kejujuran di SD Negeri 3 Purwodadi yang didirikan pada tahun 2005 ini berbentuk 2 buah meja dan 1 etalase sebagai tempat barang yang dijual, buku transaksi penjualan, dan kotak uang tanpa ada penjual yang menunggui.

c. Kegiatan siswa di SD Negeri 3 Purwodadi ketika berlangsungnya proses pembentukan karakter yaitu ketika siswa melakukan transaksi di kantin kejujuran tanpa ada pengawasan dari siapa pun


(4)

d. Peran guru di SD Negeri 3 Purwodadi ketika berlangsungnya proses pembentukan karakter peserta didik yaitu guru menjadi pembimbing bagi siswa dengan cara memberi arahana, nasehat dan keyakinan pada siswa tentang pentingnya berbuat jujur untuk masa yang akan datang.

3. Karakter peserta didik di SD Negeri 3 Purwodadi setelah diselenggarakannya kantin kejujuran sudah ada perubahan ke arah yang posiif karena berkurangnya tingkat ketidakjujuran siswa.

B. Saran

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi Kepala Sekolah

a. Selalu membina guru dan siswa dalam pembentukan karakter peserta didik terutama pembentukan karakter yang melalui kantin kejujuran.

b. Sebaiknya siswa diajak untuk berpartisipasi aktif dalam berwirausaha melalui kantin kejujuran supaya siswa memiliki rasa tanggung jawab dan dapat melatih siswa berwirausaha sejak dini. 2. Bagi Instansi Pendidikan

Dapat mencontoh program pembentukan karakter peserta didik yang sudah diselenggarakaan oleh SD Negeri 3 Purwodadi melalui kantin kejujuran.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Muhaimin Azzet. (2011). Urgensi Pendidikan Karakter Di Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Asri Budiningsih. (2004). Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta.

Azizah Munawaroh. (2012). Menumbuhkan Kejujuran Pada Anak. Yogyakarta: Layar Kata.

Djam’an Satori & Aan Komariah. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Alfabeta.

Doni Koesoema A. (2007). Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo.

Depdiknas. (2003). Undang-undang Republik Indonesia Tentang Sistem

Pendidikan Nasional Bab IV Tahun 2003. Bandung: Citra Umbara.

Fatchul Mu’in. (2011). Pendidikan Karakter. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Gede Raka, et al. (2011). Pendidikan Karakter Di Sekolah. Jakarta: Gramedia. Lexy J. Moleong. (2011). Metodologi Penelitin Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Matthew B. Miles & A. Michael Huberman. (2009). Analisis Data kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mohamad Mustari. (2011). Nilai Karakter. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. Nana Syaodih Sukmadinata. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Nurul Zuriah. (2011). Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Prerspektif

perubahan. Jakarta: PT Bumi aksara.

Santrock, J.W. (2007). Child Development (Perkembangan Anak). Penerjemah:

Mila Rahmawati. Jakarta: Erlangga.

Sri Narwanti. (2011). Pendidikan Karakter: Pengintegrasian 18 nilai pembantuk

karakter dalam mata pelajaran.Yogyakarta: Familia.


(6)

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Jakarta: Alfabeta.

Syaiful Bahri Djamarah. (2002). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Tim Penyusun Kamus. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penyusun Panduan Penyelenggaraan Kantin Kejujuran. (2009). Panduan

Penyelenggaraan Kantin Kejujuran SD/MI. Jakarta: Departemen Pendidikan