TRANSFORMASI BUDAYA LOKAL

TRANSFORMASI BUDAYA LOKAL
Mustofa W Hasyim
Budaya lokal Indonesia yang mayoritas telah mengalami ‘sentuhan’ Islam dapat
ditandai dari beberapa hal.
Pertama, busana budaya lokal di kawasan budaya tersebut telah didesain untuk
menutup aurat, baik aurat laki-laki maupun perempuan. Coba simak, dimana sentuhan
Islam di masa silam cukup dominan, antara lain lewat berfungsinya kerajaan-kerajaan
Islam yang membentang dari Aceh sampai Arafuru maka busana tradisional di
tempat-tempat tersebut sudah tidak bertentangan dengan syariat Islam, dalam arti
sudah menutup aurat.
Yang membedakan antara satu daerah dengan daerah lain hanya pernik-pernik,
filosofi di balik busana dan kelengkapannya. Tentang kapan busana tradisional itu
dikenakan, di hampir semua budaya etnik di Indonesia nyaris seragam, Busana
tradisional yang sudah Islami itu dikenakan untuk dua keperluan. Saat menjalani
kehidupan sehari-hari, saat ada upacara dan kegiatan adat yang dikaitkan dengan
siklus kehidupan manusia (mulai dari lahir, inisiasi/khitan, belajar mencari
ilmu/mengaji, menikah, melahirkan, meninggal) maupun kegiatan yang dikaitkan
degan siklus musim tahunan, atau dikaitkan dengan siklus hari-hari besar keagamaan,
dan kegiatan rutin yang diadakan oleh kerajaan.
Kedua, seni pertunjukan lokal di kawasan budaya tersebut juga didesain untuk
mewartakan nilai-nilai Islam. Mulai dari nada-nada instrumen musik tradisional

(dimana antara lain para wali mampu melakukan ‘revolusi’ musik mengubah gamelan
menjadi memiliki karakter spiritual Islam), tema-tema garapan, kostum dan pola
gerak maupun etika main di panggung sebenarnya secara simbolik sudah berdakwah
dengan sendirinya. Seni pertunjukan lokal dari Aceh sampai Maluku (negeri para
raja) ini betul-betul memiliki nilai fungsional dalam kehidupan masyarakat waktu itu.
Yaitu sebagai penanda hari, penanda waktu dan penanda momentum-momentum
kultural yang sengaja diciptakan oleh kerajaan Islam atau oleh masyarakar setempat.
Dengan demikian seni pertunjukan ini dihidupi oleh masyarakat, dan secara ruhani
menghidupi masyarakatnya. Nilai-nilai Islam yang telah dikemas apik dapat mengalir
ke dalam kerongkongan jiwa masyarakat, menyegarkan kehidupan mereka, tanpa
terasa dan tanpa paksaan.
Ketiga, seni membuat makanan tradisional lokal di kawasan budaya tersebut juga
telah didesain sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu mengandung insur halal dan thoyib
sekaligus. Makanan dan penganan, juga minuman lokal yang diolah dengan aneka
rempah-rempah, berasal dari bahan yang halal.
Berbagai jenis makanan yang diolah dengan banyak bumbu dan rempah-rempah itu
ternyata mengandung keseimbangan berbagai kandungan zat yang dibutuhkan tubuh.
Menyehatkan dan sesuai dengan iklim tropis. Berbagai rasa yang khas yang cocok
dengan lidah, yang sebagian terpengaruh oleh masakan dari Arab, India, Pakistan,
Tiongkok, sebagaian lagi merupakan hasil kreativitas local berupa penemuan sendiri

selain lezat memang sungguh menyehatkan. Apalagi waktu itu belum ada bumbu
sintetis macam bumbu masak kimia. Segalanya masih alami dan segar. Oleh karena
itu tidak mengherankan kalau orang dulu relatif lebih sehat dan lebih berumur panjang
karena mereka mampu menjaga kualitas makanannya.
Keempat, seni kerajinan yang semula dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan praktis
rumah tangga dan memenuhi kebutuhan simbolis kerajaan pun banyak yang disentuh
dengan ajaran Islam. Berbagai karya puncak seni ukir, seni anyam, seni tenun, seni

batik, seni melukis kaca misalnya banyak dihasilkan oleh masyarakat yang menjadi
basis pengembangan Islam. Dengan menggunakan metode stilisasi, deformasi,
sublimasi dan simbolisasi yang lembut dan dalam maka pesan-pesan spiritual Islam
dapat dikemas dalam bentuk karya artistik kerajinan ini.
Kelima, seni arsitektur mengalami perubahan yang cukup penting. Setelah agama
Islam datang di Indonesia, maka arsitektur bangunan hunian keluarga, bangunan
publik bahkan pola pengaturan sebuah kota pun mengalami perubahan. Kota-kota
yang disesain oleh para pendiri kerajaan-kerajaan Islam memiliki ciri khas untuk
menyatukan kraton, alun-alun, masjid, pasar atau bandar dalam satu unit yang padu.
Sementara itu secara detail pesan-pesan Islam dapat dibaca pada pengaturan rumah,
yang didesain ada peshalatan atau musholla, tempat berwudlu dan ruang pendapat
atau banguna lain sebagai tempat untuk menjalin silaturahmi dengan tamu dan

tetangga. Pada bangunan publik pun demikian.
Lima unsur pembentuk budaya local itu hari ini mengalami nasib yang berbeda-beda.
Ada yang masih dapat dipertahankan, ada yang sudah nyaris punah, ada yang
mengalami proses pemaksaan deislamisasi, sekularisasi, dan ada pula yang
mengalami transformasi budaya. Terutama ketika kemudian sumber daya budaya ini
lantas dipahami sebagai sumber daya ekonomi. Orang sekarang menyebut sebagai
asset budaya, asset wisata lantas dijadikan obyek wisata dan pelengkap wisata. Ada
beberapa tempat yang mengalami nasib mujur karena transformasi budaya unsur
pembentuk budaya lokal kemudian mampu menyejahterakan penduduk setempat.
Tetapi ada juga di beberapa tempat penduduk yang mayoritas Islam itu hanya
mendapat remah-remah, sementara yang panen keuntungan justru para pemodal dan
orang asing.
Sebenarnya kalau saja Lembaga Seni Budaya atau Majelis Kebndayaan
Muhammadiyah mau dan mampu menjadi pendamping pada pendukung budaya local
itu maka transformasi budaya yang terjadi dapat terarah dan mengarah pada
transformasi yang positif, yang berkarakter rahamatan lil ‘alamin. Tetapi kapan ini
terjadi? Itu masalahnya.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 2 2004