Epistemologi immanuel kant

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh:

Abdul Holik

NIM:

PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v

Epistemologi Immanuel Kant dinilai berhasil menemukan suatu sintesis atas sistem-sistem sebelumnya dalam tradisi filsafat Barat. Melalui pengujian sejumlah persoalan yang sudah dianggap taken for granted, Kant merumuskan ulang validitas kebenaran pengetahuan secara lebih radikal. Sampai saat ini, pemikiran Kant tetap menarik untuk dikaji.

Melalui proyek filosofis yang digagasnya, Kant telah merintis sesuatu yang berharga bagi pengembangan dan penyelidikan selanjutnya. Dengan cukup berani, Kant mendorong suatu kemajuan besar dalam tataran teoritis yang lebih ketat, dan rasional.

Kant sendiri tidak menilai bahwa dirinya adalah seorang pioneer. Dalam

karyanya, Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik, Kant dengan rendah

hati mengaku bahwa dirinya dibangunkan dari tidur dogmatis oleh kritisisme David Hume. Bahkan, dalam karya besarnya, Kritik der reinen Vernunft, Kant tanpa malu-malu menyatakan bahwa pemikirannya mendapat stimulus dari para tokoh-tokoh sebelumnya.

Dalam beberapa rumusan, semisal konsep kategori, pengertian substansi dan ide, Kant justru meminjamnya dari pemikir Yunani Kuno, yakni Aristoteles, dan Plato. Apa yang dilakukan Kant adalah berupaya mempertajam dan menjelaskan secara lebih proporsional masalah-masalah tersebut.

Sayangnya, beberapa komentator akhirnya dengan “gegabah” menganggap pemikiran Kant tidak asli dan sekedar kutipan. Umumnya pandangan semacam ini dikarenakan mereka tidak melihat secara utuh apa yang coba dibangun Kant. Dengan sistem yang disebutnya seperti revolusi Copernicus dalam ilmu alam, Kant mengubah sebuah konsepsi yang selama ini diterima begitu saja dalam tradisi filsafat Barat.

Para filsuf sebelum Kant, tidak ada yang mempersoalkan problem akut dalam diri subjek ketika menerima sejumlah informasi. Alih-alih menyelidiki substansi pengetahuan dalam pikiran manusia, Kant terlebih dahulu menelusuri problem mendasar pada diri subjek, untuk ditempatkan pada kedudukan yang sepantasnya.

Dengan usahanya itu, Kant mencari dasar-dasar yang lebih ketat, mengenai proses hadirnya pengetahuan, untuk dapat diuji secara rasional dan terhindar dari kesesatan. Pada kesimpulan akhirnya, Kant menganggap bahwa pengetahuan selalu berkenaan dengan pengalaman, dan pengetahuan manusia hanya bisa meluas berkenaan dengan pengalaman yang diraihnya. Bahkan, kebenaran metematika yang diperoleh dengan dasar-dasar a priori, selalu dapat dijelaskan dalam tatanan empiris. Meskipun demikian, pengalaman tetap harus diuji secara rasional agar bisa mencapai kebenaran pengetahuan universal.

Dengan demikian, Kant menanggap bahwa segala sesuatu yang tidak memiliki pijakan dalam tataran empiris adalah sesuatu yang tidak bisa dijadikan pengetahuan—kendatipun “dinilai” memiliki kegunaan. Konsepsi tentang Tuhan, jiwa, kebebasan, kehidupan setelah kematian, dan sebagainya, mungkin berharga dan sangat penting bagi sebagian orang. Tapi, bagi Kant, hal-hal semacam itu sama sekali bukan pengetahuan, karena berada di luar jangkauan pengalaman manusia secara umum, alias tidak memiliki pijakan dalam tataran empiris.


(7)

vi

Skripsi yang ada di tangan pembaca, “Epistemologi Immanuel Kant”, adalah penelitian saya guna mendapat gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) di Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah.

Perkenalan pertama dengan Kant, dimulai saat saya menjadi santri di

MTM Cirebon, tahun . Waktu itu, bagi saya tulisan Kant agak sulit dipahami.

Bahasanya “bertele-tele”, susunan kalimatnya panjang-panjang, padat, rigorous, dst. Susah memahami filsafat Kant. Yang paling mudah diingat adalah kisah hidupnya; seorang penyendiri yang pandai bergaul dan berwawasan luas, tapi tak

pernah keluar melebihi jarak km., dari rumahnya. Banyak hal yang membuat

saya penasaran untuk menekuni pemikiran tokoh yang sangat disiplin dalam kehidupannya ini. Bahkan karena sangat disiplinnya, ia sampai lupa berkeluarga.

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Yang Kuddus, akhirnya penelitian ini bisa selesai dengan mudah, meski tak luput dari berbagai kendala yang harus saya hadapi. Ucapan terima kasih saya haturkan kepada H. Musthofa dan Hj. Rofiah, atas kesabaran dan keikhlasannya, mendukung dan mendoakan saya sehingga bisa menyelesaikan kuliah di UIN. Juga terima kasih kepada Ade Nurhadi, S.Ag., dan Nurlaela S.Ag., atas segenap dukungannya yang tak ternilai.

Di samping itu, saya merasa berhutang budi kepada banyak pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini. Saya ingin menyampaikan penghargaan khusus kepada Dr. Fariz Pari, yang telah mengorbankan waktu untuk memberikan bimbingan dan bantuan moralnya, serta referensi berharga kepada saya. Terima kasih saya ucapkan kepada Drs. Agus Darmadji, M.Fils., selaku Ketua Jurusan


(8)

vii

saya ucapkan terima kasih kepada Drs. Fakhruddin, MA., atas saran-saran, dan pinjaman bukunya yang sangat berarti bagi saya.

Yang tak kalah pentingnya, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pengelola Perpustakaan UIN, Perpustakaan Freedom-Institute, Perpustakaan STF. Driyarkara, atas kemudahan memperoleh sumber bacaan; kepada kawan-kawan mahasiswi di FK Gigi Unisyah, terima kasih atas dukungan, dan motivasi selama penelitian, serta informasi seputar kesehatan; kepada mahasiswa dan mahasiswi UIN Syahida—yang tak mungkin disebutkan namanya satu persatu—terima kasih atas segala informasi, dan “kritik”—kendati cenderung dekstruktif—kepada saya; terima kasih kepada kawan-kawan di “Amateur Astronomical Society of Jakarta”, atas dorongan semangat mempelajari fenomena alam semesta; kepada para aktivis di PSU (Pos Solidaritas Umat), terima kasih telah melibatkan saya dalam upaya

penyediaan pendidikan agama bagi kaum subaltern di Ciputat; serta terima kasih

saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dengan caranya masing-masing, selama saya berada di Ciputat dan Jakarta. Jazakumullâh ahsan al-jazâ`.

Semoga hasil penelitian ini bisa berkontribusi secara positif dalam panorama diskursus filsafat di tanah air, khususnya tentang pemikiran Immanuel Kant. The Last but not least, saya sangat mengapresiasi segala masukan, kritik dan saran dari para pembaca sekalian atas hasil penelitian ini.

Jakarta, Oktober


(9)

viii DAFTAR ISI

LEMBAR PERYATAAN . . . i

PERNYATAAN PERSETUJUAN . . . ii

LEMBAR PENGESAHAN . . . .iii

TABEL TRANSLITERASI . . . iv

ABSTRAKSI . . . .v

KATA PENGANTAR . . . vi

DAFTAR ISI . . . viii BAB I PENDAHULUAN . . .

A. Latar Belakang Masalah . . . Perumusan Masalah . . . B. Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . a). Tujuan Penelitian . . . b). Manfaat Penelitian . . . C. Metode Penelitian . . . . . . . . . D. Sistematika Penulisan . . . . BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL IMMANUEL KANT . . . A. Latar Belakang Sosial . . . . B. Periodisasi Perkembangan Intelektual dan Karya-Karyanya . . . BAB III EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN FILSAFAT BARAT . . . A. Sejarah Epistemologi . . . B. Rasionalisme . . . C. Empirisme . . . BAB IV KONSEP TRANSENDENTALISME. . .


(10)

ix

A. Kritik atas Rasionalisme dan Empirisme . . . B. Konsep Ruang dan Waktu . . . C. Konsep Dua Belas Kategori sebagai Turunan (Derivation) Dua

Belas Jenis Putusan . . . . C. . Kuantitas . . . C. . Kualitas . . . C. . Relasi . . . C. . Modalitas . . . D. Deduksi Transendental . . . . E. Konsep Transendental Akal . . . F. Tiga Kecenderungan Akal . . . F. . Paralogisme . . . F. . Antinomi . . . . F. . Ideal Akal Murni . . . G. Tinjauan Pengetahuan Menurut al-Imâm al-Ghazâlî . . . BAB V PENUTUP . . .

A. Kesimpulan . . . B. Saran-Saran . . . . DAFTAR PUSTAKA . . .


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 2009, publik Indonesia sempat digemparkan oleh sosok Ponari,

seorang bocah yang secara tiba-tiba mampu mengobati orang sakit. Kiprahnya menuai kontroversi, karena metode penyembuhannya hanya bermodalkan sebuah batu yang ditemukannya di saat hujan. Sejumlah umat Islam bahkan mengutuk prakteknya, dengan alasan “menggelikan”: menuhankan batu. Kisah ini sempat membuat resah dunia kedokteran. Pasalnya, Ponari menyalahi metode yang sah dalam praktek pengobatan. Tapi, meskipun menuai protes dari banyak pihak, sebagian masyarakat tetap percaya dan yakin pada keampuhan batu Ponari: sebuah batu bertuah yang dapat menyembuhkan.

Kisah kehebohan dukun cilik dari Jombang di atas merupakan pelajaran bahwa di saat ilmu pengetahuan dan teknologi sudah semakin maju, sebagian masyarakat Indonesia masih larut ke dalam mitos-mitos. Penemuan penting di bidang medis, tidak mampu membebaskan mentalitas bangsa ini dari perkara

klenik. Dalam hal ini, peristiwa di atas tidaklah terlalu mengherankan, karena pada

dasarnya setiap bangsa memiliki semangat filosofis tertentu. Nilai-nilai filosofis ini mempengaruhi kehidupan suatu masyarakat. Setiap bangsa memiliki semangat filosofis yang berbeda-beda pada masanya. Bertrand Russel menulis:

“To understand an age or nation, we must understand its philosophy, and to understand its philosophy we must ourselves be in some degree philosophers. There is here a reciprocal causation: the circumstances of men’s lives do much to determine their philosophy, but, it conversely

their philosophy does much to determine their circumstances”.1

1

“Untuk memahami sebuah zaman atau bangsa, kita harus memahami filsafatnya, dan untuk memahami filsafatnya, kita harus berada pada batas-batas tertentu menjadi filsuf. Di sini ada sebuah hubungan kausal timbal balik: lingkungan kehidupan manusia banyak menentukan


(12)

Paparan Russel bahwa kehidupan sebuah zaman dipengaruhi oleh suatu sistem filsafat, agaknya cukup beralasan. Zaman yang berubah menciptakan fase baru dalam kehidupan. Perubahan itu hanya bisa terjadi di suatu masyarakat yang mampu menerima kemajuan, sehingga ilmu pengetahuan bisa berkembang dan menghasilkan banyak kemudahan. Jika ditelusuri ke belakang, gerakan revolusi saintifik yang memuncak di Eropa abad ke-17,2 dan diikuti terjadinya pencerahan

(Aufklärung) abad ke-18, merupakan imbas dari ketekunan dan kerja keras

orang-orang Eropa pada beberapa abad sebelumnya. Sejak masa Renaissance abad ke-14

di Italia, telah dimulai kegiatan yang cukup serius dalam mengkaji kemegahan warisan peradaban Yunani kuno.3 Dari hasil pembacaan serius dan kritis atas tradisi klasik, para ahli mampu menghasilkan suatu kemajuan yang cukup signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini dapat diperoleh lewat peran para sarjana, kalangan terdidik dan peran para pemikir pada umumnya.

Immanuel Kant adalah salah satu pemikir yang muncul di abad ke-18 dan

memiliki kiprah dalam kemajuan zamannya, terutama lewat karya-karya yang

dihasilkannya. Salah satu karyanya, Kritik der Reinen Vernunft—sebuah paparan

argumentatif tentang epistemologi—menjadi sebuah mahakarya brilian pada masanya. Kendati telah lama dibicarakan, upaya merumuskan kembali pemikirannya tetap menjadi isu yang cukup menarik. Hal ini tidak berlebihan,

filsafatnya, tetapi sebaliknya filsafat mereka juga dapat menentukan lingkungan kehidupannya”. Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: George Allen and Unwin Ltd., 1961), h. 14

2

Robin Briggs, The Scientific Revolution of theSeventeenth Century (San Francisco: Harper & Row Publishers, Inc., 1973), h. 3

3

F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 9


(13)

karena Kant telah mempengaruhi, sekaligus menginspirasi banyak tokoh yang muncul setelahnya. Bahkan Kant dianggap sebagai filsuf yang paling berpengaruh dalam lima ratus tahun terakhir.4 Sampai saat ini, pemikiran Kant tetap menjadi isu perdebatan yang tak kunjung habis dibahas. Apa yang dilakukan Kant adalah menghadirkan suatu formula baru dalam perumusan sistem filsafat. Filsafat Kant menjadi tonggak sejarah pencerahan Eropa, dan pembahasan epistemologinya menjadi salah satu tema yang banyak diminati hingga sekarang.

Meskipun masalah epistemologi sudah lama dibicarakan sejak zaman kuno, tetapi perumusannya masih dibutuhkan hingga saat ini. Pasalnya, perumusan masalah epistemologi menjadi acuan kerangka berpikir dalam pengkajian ilmu pengetahuan. Kedinamisan ilmu pengetahuan merupakan pengaruh yang dibentuk dalam suatu struktur nalar tertentu. Struktur nalar dimaksudkan sebagai cara kerja akal dalam bingkai suatu kerangka berpikir, yang

berkembang dalam suatu masyarakat.5 Tidak dapat dipungkiri bahwa

perkembangan ilmu pengetahuan berhubungan sangat erat dengan alam pikiran manusia, dalam sebuah komunitas masyarakat di zaman tertentu. Dalam suasana kehidupan yang menganut kebebasan misalnya, kemajuan ilmu pengetahuan dapat tercapai dengan mudah. Tapi sebaliknya, dalam masyarakat yang terkungkung oleh misalnya tradisi, agama, atau kelompok, kemajuan ilmu pengetahuan akan

sedikit terhambat.6 Pengkajian epistemologi kiranya akan tetap memiliki dampak

4

Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 4

5

Di abad ke-20, Michel Foucault menyebut struktur berpikir yang berada dalam suatu masa dan lingkungan tertentu sebagai epistemé. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 174

6

Kita bisa merasakan misalnya, perbedaan yang amat jelas antara masa kegelapan dengan peralihan menuju zaman modern. Pada abad kegelapan orang-orang cenderung mengikat diri mereka dan berpikir menurut selera kelompok, ras, agama. Pada masa ini pula kegiatan intelektual seolah mati, karena segala sesuatu harus disesuaikan dengan tuntutan gereja. Tapi hal itu sangat


(14)

siginifikan, terutama dalam arus kemajuan ilmu pengetahuan hingga dewasa ini. Karena dengan pengkajian kembali epistemologi, kita akan menemukan beragam corak pemikiran yang dihasilkan umat manusia sebagai ekspresi kehidupan zamannya. Sistem epistemologi Kant sampai saat ini hadir sebagai salah satu kemajuan dalam wacana filsafat, tanpa memungkiri kritik-kritik yang dialamatkan pada beberapa kelemahannya. Berkat usahanyalah, sejumlah terobosan baru mulai bermunculan.

Jika dipetakan, proyek filosofis Kant akan berpusat pada tiga persoalan

mendasar: 1) Menjelaskan batas-batas pengetahuan manusia; 2) Memberikan

ketentuan asas-asas moralitas; 3) Memberi kejelasan tentang batas-batas penilaian

estetis. Bagian pertama dijabarkan Kant dalam buku, Kritik der Reinen Vernunft

(terjemahan Inggris: Critique of Pure Reason). Bagian kedua dijelaskan dalam karya, Kritik der Praktischen Vernunft (terjemahan Inggris: Critique of Practical

Reason). Bagian ketiga dijelaskan dalam karya, Kritik der Urteilkraft (terjemahan

Inggris: Critique of Judgment). Lewat ketiga karya tersebut, Kant bertujuan untuk menguji kesahihan pengetahuan manusia. Pengujian kesahihan dilakukan dengan mengupayakan pencarian struktur-struktur a priori dalam diri subjek.

Kant dikenal sebagai orang yang mampu membalik sudut pandang dalam tradisi pemikiran. Hal-hal yang dulu selalu diterima begitu saja, ternyata dijungkirbalikkan oleh Kant. Sistem epistemologi Kant berusaha merumuskan masalah, yang lebih menitikberatkan pada kondisi subjek. Subjek yang dimaksud adalah manusia sebagai individu yang sadar diri dalam kehidupannya di dunia saat ini. Kant mempertanyakan peran dan fungsi a priori dalam diri subjek, terkait

berbeda ketika memasuki zaman renaissance berikut masa-masa setelahnya. F. Budi Hardiman,


(15)

proses terciptanya pengetahuan. Alih-alih mempersoalkan isi pengetahuan, Kant terlebih dahulu memeriksa fungsi dan mekanisme dalam diri subjek agar dapat terciptanya pengetahuan. Dengan kata lain, validitas pengetahuan menjadi permasalahan kemampuan manusia dalam mengolah informasi yang diterimanya. Pencarian asas-asas a priori ini merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi filsafat Barat.

Sebelum Kant, para filsuf cenderung tidak mempersoalkan permasalahan peranan subjek. Mereka menerima kemampuan subjek apa adanya. Mereka tidak memeriksa terkait peranan subjek ini. Ini dilema bagi Kant. Pada suatu titik tertentu, para filsuf menegaskan nilai-nilai keobjektifan. Namun, mereka tidak menjelaskan bagaimana kinerja struktur dalam diri tiap-tiap individu bisa menghasilkan pengetahuan objektif. Secara keseluruhan, Kant menelusuri jejak-jejak subjektifitas ini untuk ditempatkan pada kedudukan yang sepantasnya. Di samping tentunya, klaim universalitas masih layak untuk dipertahankan. Jika dulu para filsuf menggeluti masalah tentang isi pengetahuan, maka proyek filosofis Kant lebih dicurahkan untuk menguji seberapa jauh data dalam pikiran manusia itu mungkin disebut sebagai pengetahuan. Pengujian-pengujian ini dilakukan Kant dengan suatu perangkat yang berasal dari dalam diri manusia.

Dengan acuan pada kemampuan subjek, Kant menerima suatu kepastian adanya dua hal a priori: ruang dan waktu. Dua hal ini menggiring pada pemahaman bahwa data maupun informasi dari luar, yang diterima kemampuan manusia, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifitas tiap-tiap individu. Kant pada beberapa hal setuju dengan pandangan kaum empiris bahwa pengetahuan diperoleh dari luar diri manusia, lewat kemampuan inderanya.


(16)

Manusia bisa mempelajari sesuatu dari pengalamannya, yang tentunya melibatkan kemampuan indera. Tapi, dia berbeda dari beberapa pemikir sebelumnya yang meyakini keotentikan dan objektifitas data maupun informasi yang menjadi objek pemikiran. Kant justru menganggap bahwa itu semua tidaklah netral. Kedua

fungsi a priori dalam diri subjek mengatur mekanisme penerimaan informasi dari

luar. Oleh karena itu, beragam informasi yang diterima akan ditentukan batas-batasnya menurut kedua fungsi tersebut. Data yang diperoleh indera adalah sesuatu yang sudah terpengaruhi oleh unsur subjek, sehingga bukan penampakan utuh. Dengan begitu, benda-benda dalam dirinya sendiri, menurut Kant berada di luar jangkauan manusia. Wilayah ini masih bersifat rahasia, dan tidak dapat diketahui siapapun.

Data yang sudah diperoleh indera lewat intuisi, akan disampaikan kepada fungsi a priori lain dalam diri subjek, yakni kemampuan untuk membentuk beragam putusan. Putusan ini berupaya menentukan variabel-variabel tertentu, serta menggolongkan data dalam beragam bentuk kategori dalam diri subjek. Dengan adanya kemampuan untuk membuat putusan, informasi yang diperoleh subjek dari kemampuan indera akan diteruskan ke dalam kategori yang menurut Kant berjumlah dua belas. Konsep dua belas kategori ini merupakan fungsi a

priori, yang bekerja dalam tataran skema yang lebih luas dan rasional.

Selanjutnya, data yang sudah melewati tahap pengolongan kategori, kemudian diangkat dan dilekatkan pada struktur lain. Struktur yang dimaksud adalah fungsi a priori yang terakhir dalam diri subjek. Fungsi ini adalah kemampuan intelek dalam menghasilkan proposisi-proposisi yang menyusun sebuah kesimpulan. Peran intelek ini berbeda dari fungsi-fungsi a priori lainnya,


(17)

yang masih berkutat dengan data maupun informasi yang diperoleh dari

kemampuan indera. Peran intelek sama sekali lepas dari unsur-unsur a posteriori

dan benar-benar a priori, karena fungsinya sekedar bersifat regulatif: mengatur proposisi-proposisi untuk menghasilkan argumentasi. Fungsi ini hanya akan menentukan batas-batas validitas tentang penyusunan kesimpulan. Inilah mengapa sistem Kant disebut transendental, karena dia melakukan penelitian atas kaidah murni a priori dalam diri subjek, sebagai batas penetapan validitas pengetahuan.7 Secara garis besar, peneguhan struktur subjek merupakan hal yang tidak terdapat pada pandangan kaum empiris, dan dalam detailnya begitu berbeda dari kalangan rasionalis.

Kant menyetujui gagasan bahwa kemampuan indera dapat menambah pengetahuan. Akan tetapi, data yang didapatkan oleh indera akan bisa menjadi pengetahuan setelah melewati semacam pengujian dari dalam diri subjek. Kant sendiri tidak mengakui semua pengetahuan berasal dari indera. Ada pengetahuan tertentu yang berasal dari kemampuan a priori subjek an sich. Secara keseluruhan dalam sistem filsafatnya, Kant mengupayakan sintesis atas dua arus kecenderungan pemikiran yang berkembang pada masanya. Dua kecenderungan pemikiran yang dimaksud adalah rasionalisme dan empirisme. Kant berusaha menyajikan sisi kelebihan dari tiap aliran dan membuktikan klaim validitas keunggulan keduanya. Namun, dengan tanpa malu-malu Kant juga menunjukkan pelbagai kelemahan akut yang menyelimuti bentuk penalaran kedua sistem tersebut.

7


(18)

Dengan demikian, skripsi ini bertujuan untuk mengulas pemikiran Immanuel Kant dalam masalah epistemologi. Sebagai pemikir garda depan dalam bidang filsafat, khususnya di masa pencerahan, Kant sangat layak untuk kembali dibicarakan. Kiprah Kant cukup penting, mengingat dampak pemikirannya yang masih dapat dirasakan sampai saat ini.

B. Perumusan Masalah

Dengan paparan di atas, maka pokok masalah yang akan digali dalam penelitian ini adalah tentang persoalan paradigma pemikiran filosofis, yakni sistem epistemologi Immanuel Kant.

Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut: Bagaimana Konsep Epistemologi Immanuel Kant?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a) Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman atas sistem epistemologi Immanuel Kant, yang cukup berpengaruh dalam diskursus filsafat. Dengan penelitian ini diharapkan akan didapat kejelasan pemikiran Immanuel Kant, yang mampu menyintesakan dua arus kecenderungan epistemologi dalam sejarah filsafat Barat.

b) Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini, akan didapat suatu gambaran umum bagaimana sebenarnya struktur nalar yang berkembang pada masa pencerahan, khususnya dengan melihat pemikiran Immanuel Kant.


(19)

D. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dengan

menggunakan metode deskriptif dan analisis-kritis. karya filosofis Immanuel Kant

dalam epistemologi—Critique of Pure Reason—menjadi referensi utama, disertai

tulisan para komentator dan karya para filsuf sebelum Kant yang berbicara tentang epistemologi. Refensi tersebut digunakan untuk menemukan suatu gambaran umum tentang diskursus epistemologi dalam tradisi filsafat Barat.

Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan kerangka acuan pemikiran Kant, dengan pemaparan ide dan gagasannya sesuai dengan tulisannya secara verbatim atau literer. Langkah ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana landasan awal, kerangka pikir Kant terkait sistem epistemologinya. Selain

itu, metode ini akan dengan mudah menemukan gambaran setting sosial dan

masyarakat tempat di mana Kant hidup, mengingat suatu pemikiran tidak bisa lepas begitu saja dari kontek historis masyarakatnya.

Metode analisis-kritis digunakan untuk menempatkan posisi Kant dalam khazanah pemikiran Barat. Berkat pengaruhnya yang cukup besar, Kant justru menjadi sasaran kritik tiada habisnya. Tapi, di sisi lain dia pun dikagumi dan dikutip pendapatnya oleh para pemikir sepanjang masa. Dengan metode ini, diharapkan dapat seobjektif mungkin menempatkan Immanuel Kant secara proporsional, yang telah memberikan kontribusi berharga dalam diskursus filsafat pada umumnya.

Teknik penulisan dalam penelitian ini mengikuti standar yang ditetapkan dalam buku, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(20)

E. Sistematika Penulisan

Mengacu pada metode penelitian di atas, pembahasan dalam penelitian ini disistematisasi sebagai berikut. Pembahasan bab satu diawali dengan menguraikan latar belakang seputar studi ini. Dijelaskan pula beberapa hal terkait perubahan zaman yang dipengaruhi oleh gerak pemikiran filsafat. Namun, begitu pula filsafat dipengaruhi oleh kondisi zamannya. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan masalah berkenaan dengan epistemologi Kant, menguraikan metode dilakukannya pengkajian dan memaparkan tujuan dilakukannya pengkajian ini.

Bab dua menjelaskan latar belakang intelektual Immanuel Kant. Hal ini menyangkut kondisi masyarakat di mana Kant hidup, periodisasi pemikirannya, serta perkembangan dan karya-karyanya yang mempengaruhi banyak tokoh hingga saat ini.

Bab tiga menjelaskan sejarah Epistemologi, yang tentunya tidak terlepas dari konteks filsafat Barat sejak masa Yunani kuno, kemudian langsung menjelaskan periode di masa modern di mana Kant hidup. Selanjutnya dipaparkan pula penjelasan tentang aliran rasionalisme dan empirisme yang berpengaruh pada suatu masa tertentu.

Bab empat menjelaskan sistem epistemologi Immanuel Kant. Dimulai dari kritik yang dilancarkannya atas sistem-sistem yang ada, dalam upaya mengatasi rasionalisme maupun empirisme. Kemudian penjelasan akan diteruskan dengan paparan istilah-istilah teknis yang dibangun Kant. Di sini Kant memiliki rumusan khas prinsip-prinsip a priori semisal konsep ruang dan waktu sebagai tahap


(21)

pembahasan tahap a priori lainnya, yakni tahap pemahaman (Verstand), dalam bentuk analitik transendental. Dalam tahap ini, Kant mengajukan konsep dua belas putusan, dua belas bentuk kategori, dan deduksi transendental. Kemudian pembahasan dilanjutkan mengenai tahap terakhir, yakni tahap akal budi (Vernunft), sebagai bentuk dialektika transendental. Tidak lupa juga diajukan paparan Kant, tentang sikapnya dalam menghadapi kesalahan berpikir yang ia rumuskan menjadi tiga: paralogisme, antinomi, dan ideal akal murni. Keseluruhan gagasan ini (secara radikal) tidak lebih dari upaya mempermasalahkan batas-batas validitas data, untuk bisa menjadi pengetahuan. Setelah itu, sebuah perbandingan kritis tentang hakekat pengetahuan dalam Islam—yang diwakili oleh Imâm al-Ghazâlî—dihadirkan sebagai penutup bab. Pembandingan antara al-Ghazâlî dan Kant dinilai penting, karena kedua tokoh ini memiliki kiprah yang cukup signifikan dalam sejarah dua peradaban yang berbeda: Islam dan Barat. Meskipun antara keduanya lebih banyak perbedaan, namun posisi mereka dalam hal kritik terhadap sistem-sistem epistemologi sama-sama penting. Dengan menelisik pandangan mereka terkait pengetahuan, akan didapat suatu struktur perbandingan alam pikiran keduanya yang mempengaruhi zamannya.

Bab lima diisi dengan penutup, sekaligus saran-saran bagi penelitian selanjutnya terhadap pemikiran Kant. Dalam penelitian ini memang diakui, pemikiran Kant sebagai sumber wacana filsafat, belum seutuhnya dapat dibahas oleh penulis. Dengan begitu, pengkajian dan pembahasannya masih perlu dilakukan.


(22)

BAB II

BIOGRAFI INTELEKTUAL IMMANUEL KANT A. Latar Belakang Sosial

Satu abad setelah terjadinya revolusi saintifik di abad ke-17, berupa ditemukannya penemuan-penemuan penting dalam ilmu dan teknologi, muncul suatu gelombang baru dalam babak sejarah Eropa, yakni periode pencerahan.8 Fase ini merupakan arus yang berpengaruh cukup signifikan dalam gerak sejarah Eropa pada masa-masa berikutnya. Immanuel Kant merupakan figur yang cukup diperhitungkan pada masa ini. Dalam majalah Berlinische Monatsschrift, terbit

Desember 1784, Kant sempat menuliskan maksud pencerahan yang terjadi di

masanya sebagai berikut:

Enlightenment is man’s emergence from his self-imposed immaturity.

Immaturity is the inability to use one’s understanding without guidance from another. This immaturity is self-imposed when its cause lies not in lack of understanding, but in lack of resolve and courage to use it without guidance from another. Sapere Aude! “have courage to use your own

understanding!”—that is the motto of enlightenment. ”9

Pencerahan telah menjadi gejala sosial yang melanda masyarakat Eropa waktu itu. Mereka tersadar untuk mengejar kebahagiaan hidup, dengan keberanian bertindak menurut pertimbangan rasionya sendiri. Sapere Aude! adalah slogan bagi pencerahan. Pengejaran kepentingan diri sudah menjadi maklum bagi semua

8

Kata “pencerahan” dalam bahasa Jerman Aufklärung, Les Lumieres (bahasa Prancis),

Enlightenment (bahasa Inggris), Ilustracion (bahasa Spanyol), Iluminismo (bahasa Itali),

Enlightenment (bahasa Inggris). F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007),h. 94

9

“Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan akibat kesalahannya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahamannya sendiri tanpa petunjuk dari pihak lain. Ketidakdewasaan ini adalah kesalahannya sendiri, ketika sebabnya bukan karena kurangnya pemahaman, melainkan karena kurangnya ketetapan hati dan keberanian untuk menggunakan akal tanpa petunjuk dari pihak lain. Sapere Aude! “beranilah menggunakan pemahamanmu sendiri!”—adalah motto bagi pencerahan.” Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays on Politics, History, and Morals, trans., Ted Humphrey (Indiana Polis: Hackett Publishing Company Inc., 1983), h. 41


(23)

orang, demi terwujudnya kebahagiaan. Kebahagiaan dapat diperoleh di dunia, tanpa perlu mempertimbangkan kehidupan setelah kematian, maupun ketakutan terhadap takhayul dan klaim keselamatan agama. Pandangan demikian mempertajam gagasan yang pernah dilontarkan di masa Renaissance, sekaligus mempertegas penolakan terhadap segala tatanan sosial abad pertengahan. Semakin lama, tanggungjawab pribadi dalam menggunakan rasio memainkan peranan cukup penting dalam kehidupan. Kesadaran ini menjadi arah baru yang menentukan sikap dan mentalitas zaman itu. Pada awalnya, gerakan pencerahan tidak berkembang begitu massif di beberapa wilayah. Gerakan pencerahan mulai lebih dahulu di Inggris dan Prancis. Kedua negara ini memainkan peranan penting, dibandingkan negara-negara lain, seperti Jerman. Hal itu tidaklah mengherankan, terutama berkat dukungan yang begitu intens dari pemerintah di dua negara tersebut dalam menggalakkan pengembangan ilmu pengetahuan.

Sejak abad ke-17, di Prancis kalangan terpelajar mendapat hak istimewa lewat dukungan pemerintah, dengan didirikannya Académie des Sciences: sebuah komunitas yang memiliki perhatian pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan.

Jumlah peserta dalam forum ini terbatas sebanyak 16 orang. Lembaga ini

menerbitkan jurnal Journal des Sçavans, sebagai media mempublikasikan

penelitiannya. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di Inggris. Dengan dukungan para bangsawan, didirikanlah Royal Society: sebuah komunitas yang aktif dalam pengembangan sains. Lembaga ini memiliki anggota yang tak terbatas,10 sehingga sedikit berbeda dengan lembaga di Prancis. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua penguasa, raja dan pangeran di Eropa pada

10

Robin Briggs, The Scientific Revolution Revolution of theSeventeenth Century (San Francisco: Harper & Row Publishers, Inc., 1973), h. 67


(24)

saat itu memiliki perhatian sama terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua wilayah tersebut hanya mewakili arus utama kemajuan ilmu yang

berlangsung pada abad ke-17, dan berpengaruh terciptanya fase pencerahan pada

abad ke-18. Berdasarkan letak geografisnya, terdapat sejumlah kecenderungan tertentu dan sedikit berbeda, yang menandai terjadinya pencerahan di beberapa wilayah.

Pencerahan yang terjadi di Inggris ditandai dengan menyebarnya faham

Deisme.11 Istilah ini mengacu pada suatu pandangan bahwa alam semesta berjalan

dengan sendirinya, sesuai dengan kaidah hukum mekanis yang bisa diselidiki secara ketat dan objektif. Kedudukan Tuhan sebagai pencipta, tidak memiliki andil apapun dalam segala hal yang terjadi di alam semesta. Dunia terlepas dari campur tangan Tuhan setelah diciptakan. Pandangan deisme sama sekali tidak menghilangkan Tuhan, hanya pemahaman mereka tentang Tuhan diupayakan lebih rasional. Pemahaman ini merupakan imbas dari penemuan besar filsafat alam Newton tentang hukum-hukum fisika, serta terobosan baru filsafat empiris John Locke. Namun, beberapa tokoh pencerahan kemudian, melangkah lebih jauh dengan mengritik lembaga gereja, karena sikap agamawan tidak sejalan dengan penemuan-penemuan ilmiah.

Gereja yang berfungsi sebagai sebuah pranata sosial, dalam pandangan pemikir pencerahan sama sekali tidak memberikan andil pada kebahagiaan manusia. Justru gereja yang selama ini melegitimasi kesengsaraan, karena tidak memberi kebebasan mempergunakan akal. Manusia akhirnya harus tunduk di bawah naungan iman dan otoritas keagamaan. Padahal manusia sebenarnya

11


(25)

memiliki kemampuan untuk bertindak bebas, termasuk menjelajahi alam. Alam beserta isinya, termasuk manusia, memiliki suatu kaidah hukum mekanis yang dapat diselidiki dan dipelajari. Prasangka akan kemisterian alam yang menakutkan, dipenuhi mitos-mitos dan takhayul, sebenarnya dapat disingkirkan. Alam beserta dengan segala yang dikandungnya, dapat ditaklukkan dengan seperangkat kaidah ilmiah. Gagasan kaum deisme, pada perkembangan selanjutnya tidak saja mengkritik gereja, tetapi kekristenan itu sendiri. Agama Kristen dipandang sebagai sumber malapetaka. Hal ini merupakan titik balik pemberontakan atas hegemoni kaum agamawan di era sebelumnya, yakni abad pertengahan. Para sarjana kemudian mulai meninggalkan adat-istiadat lama yang sering disuarakan kaum agamawan. Puncak titik balik ini bisa diartikan sebagai ucapan selamat tinggal pada agama, serta segala hal yang berhubungan dengannya. Otoritas iman agama diganti dengan pertimbangan rasional.

Selain penentangan terhadap agama, pencerahan di Inggris juga ditandai dengan munculnya semangat individualisme. Dalam kehidupan bermasyarakat, jelas kelihatan adanya perubahan-perubahan ruang lingkup hubungan sosial. Hal ini bisa dilihat, misalnya pada pembagian pekerjaan berdasarkan pertimbangan rasional, pengakuan kepemilikan pribadi, kedaulatan hukum, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Gagasan kemandirian individualisme dalam bidang

ekonomi menyebar dan berpengaruh cukup signifikan.12 Upaya pengejaran

kepentingan pribadi dan meninggalkan semangat kolektif, ras, golongan, dan

12

Adam Smith (1723-1790) memiliki diktum ekonomi yang sampai saat ini masih sering dikutip, “invisible hand”: tangan yang tidak kelihatan. Maksudnya bahwa setiap manusia dikendalikan oleh dorongan nafsu egoistis, yang berusaha mengejar kepentingannya sendiri. Tapi, pemenuhan kepentingan pribadi itu turut serta memainkan peranan pemenuhan kesejahteraan umum. Elmer Sprague, “Adam Smith,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, Vol. 7 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 463


(26)

agama, sebenarnya sudah muncul di masa Renaissance. Akan tetapi peneguhan yang lebih tegas, baru kelihatan di masa pencerahan. Sikap individualisme ini menjadi gejala umum di kalangan masyarakat saat itu.

Apa yang terjadi di Inggris, nampaknya terjadi pula di Prancis. Dalam beberapa hal, pencerahan di Prancis nampaknya sedikit berbeda dan lebih ekstrem daripada di Inggris. Gagasan para pemikir pencerahan Prancis dipengaruhi oleh

pandangan filsafat empiris Inggris, John Locke, dan hukum fisika Isaac Newton.13

Sepakat dengan gagasan kedua tokoh tersebut, para pemikir Prancis lebih yakin menggunakan metode dalam pengembangan ilmu pengetahuan lewat observasi atas fenomena alam. Fakta-fakta yang berserakan menjadi sumber berharga untuk merumuskan kaidah-kaidah ilmiah. Hukum fisika Newton menjadi landasan utama bagi pandangan materialisme dan penolakan terhadap segala pemikiran metafisika atas alam dan manusia. Kejadian-kejadian alamiah, yang diyakini memuat seperangkat hukum kausalitas, dijadikan objek pengamatan dan penelitian. Dengan begitu, penalaran spekulatif-deduktif lewat ide-ide bawaan sama sekali ditinggalkan. Sikap demikian tentunya tidak bermaksud meminggirkan metode deduktif-matematis, dan hanya mengupayakan analisis pelbagai peristiwa. Dengan penelitian yang ketat atas pelbagai fakta-fakta partikular, selanjutnya akan dilakukan sintesis, guna didapat suatu kaidah umum berupa hukum atas fenomena alamiah. Sintesis yang diperoleh lewat observasi tersebut, kemudian dijadikan ketetapan standar sebagai kebenaran universal. Ide-ide pencerahan, pada gilirannya telah turut membantu menyiapkan pondasi terjadinya gerakan positivisme di Prancis satu abad kemudian.

13

Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn & Oates, 1999), h. 3


(27)

Selain itu, para pemikir pencerahan Prancis kelihatan lebih berpikiran dekstruktif daripada konstruktif terkait masalah agama. Mereka sama sekali tidak mencoba menawarkan pandangan baru yang lebih rasional tentang permasalahan ini. Sejak semula, para pemikir pencerahan Prancis berupaya menolak agama dan segala “bualan” metafisika tradisional.14 Gereja menurut mereka tidak lebih merupakan perwujudan penindasan atas nilai-nilai kemanusiaan, dan musuh bagi kebebasan berpikir. Segala bentuk agama, baik Kristen, Yahudi, maupun agama-agama lainnya, merupakan produk dari kebodohan, ketakutan, dan sangat tidak sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika agama ditinggalkan, karena tidak membawa manfaat sama sekali. Puncak kebencian terhadap agama dapat disaksikan, misalnya peristiwa pelucutan gereja Notre Dame dari simbol-simbol keagamaan pada waktu terjadinya revolusi. Di samping itu, para pemikir pencerahan Prancis kerap menujukkan sikap bermusuhan terhadap sistem-sistem politik. Dalam tulisan-tulisannya, mereka menyerang habis-habisan bentuk penindasan atas nama negara. Bahkan raja Louis XVI, pemimpin negeri mereka sendiri, tak urung menjadi sasaran kritik. Pemerintahan Louis XVI di Prancis, menurut mereka adalah rezim otoriter yang kurang berpihak kepada rakyat. Kendati tidak semua tokoh sepakat tentang bentuk sistem politik ideal, tapi kritik-kritik mereka jelas menampakkan sikap bermusuhan dengan pemerintah Prancis. Gerakan pencerahan menunjukkan sikap ofensif terhadap segala bentuk tirani, dan menemukan momentumnya yang riil

14

Tokoh yang dikenal menjadi pelopor terjadinya pencerahan di Prancis adalah Pierre Bayle (1647-1706). Dia memiliki sebuah karya yang cukup terkenal, Dictionaire Historique et Critique, yang berisi berbagai rumusan ilmu pengetahuan pada masanya, serta penyerangan yang luar biasa terhadap agama. Dia juga berpendapat bahwa keyakinan terhadap Tuhan berada di luar batas akal, dan bahwa persoalan etika sudah selayaknya dipisahkan dari masalah agama dan sistem metafisika tradisional. Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 7-8


(28)

dalam terjadinya revolusi Prancis di tahun 1789.15 Revolusi Prancis yang mengusung slogan liberté, égalité, dan fraternité, merupakan sebuah perjuangan berdarah oleh rakyat dalam melawan ketidakadilan yang mereka alami. Karena sikapnya yang kritis terhadap negaranya sendiri, beberapa tokoh pencerahan mencari suaka di luar Prancis, misalnya ke Jerman.

Gelombang pencerahan di Jerman tidak seperti yang terjadi di Prancis atau di Inggris. Di Jerman pencerahan berjalan lebih tenang dan damai. Pencerahan di Jerman ditandai dengan minat yang besar terhadap studi kemanusiaan dan kebudayaan. Banyak sastrawan besar yang bermunculan pada zaman ini, misalnya J.W. von Goethe, Johann Gottfried von Herder, dan Gotthold Ephraim Lessing. Begitu juga muncul tokoh pembaru estetika, Alexander Gottlieb Baumgarten. Di kawasan ini tidak ditemukan adanya peristiwa-peristiwa dramatis, misalnya penyerangan terhadap agama. Fenomena keagamaan di Prussia, tidak mendapat serangan begitu tajam dari para filsuf. Kendati demikian, mereka tetap menjaga jarak dari unsur-unsur relijius mainstream yang dikenal kaku dan membelenggu kebebasan akal. Selain itu, para pemikir pencerahan Jerman pada umumnya adalah guru besar di universitas. Hal ini merupakan kondisi yang sangat berbeda dengan status tokoh-tokoh pencerahan Inggris maupun Prancis.

Keadaan di Jerman pada masa pencerahan, dapat dilihat dari kebijakan

politik pada masa itu. Paruh pertama abad ke-18, di kawasan Jerman penyebaran

kaum Puritan—sebuah gerakan keagamaan yang berasal dari gereja Kristen Protestan Jerman—menuai kesuksesan. Kesuksesan itu berkaitan dengan reformasi pemerintahan yang diterapkan Friedrich William I (1688-1740). Ia

15

Para filsuf Prancis sebenarnya tidak menghendaki terjadinya revolusi berdarah. Mereka hanya menghendaki penyebaran pengetahuan, agar terjadi reformasi sosial yang dapat merubah kondisi menjadi lebih baik. Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 58


(29)

meningkatkan kekuatan angkatan perang, kinerja birokrasi pemerintahan, perbaikan perekonomian dan pendidikan bagi masyarakat miskin. Reformasi yang dilakukannya banyak bermanfaat bagi kaum puritan, yang kebanyakan tergolong kelas bawah. Keluarga Immanuel Kant termasuk dalam kelompok ini.

Kaum Puritan adalah sekelompok umat Kristen yang percaya pada independensi pembacaan Bible, dengan penekanan pada penghayatan pribadi. Kebanyakan dari mereka bukan termasuk kelas menengah ke atas. Puritanisme adalah gerakan evangelis. Kelompok ini lebih menekankan peranan hati daripada rasio, cenderung kepada nuansa mistik daripada intelektual dalam menjalani kehidupan beragama. Sumber penting ajaran mereka dapat dilacak dalam karya Philipp Jakob Spener, Pia Desideria (1675).16

Pada masa pemerintahan Friedrich William I, August Hermann Francke (1663-1727)—seorang tokoh puritan Jerman—mendirikan sejumlah sekolah dan tempat tinggal untuk para yatim piatu. Francke memiliki proyek pendidikan yang awalnya hanya berkisar di kota Halle, tapi kemudian menyebar ke wilayah lain. Raja mendukung apa yang dilakukan Francke. Di Königsberg, kota kelahiran Immanuel Kant, tokoh Puritan yang cukup populer adalah Theodor Gehr dan Johann Heinrich Lysius. Gehr mendirikan Collegium Pietatis di Königsberg, dan belakangan menjadi sekolah untuk kaum miskin. Beberapa tahun kemudian, sekolah itu mendapat perlindungan raja dan diresmikan menjadi Collegium Friedericianum di tahun 1703.17 Pada usia delapan sampai enam belas tahun,

antara tahun 1732 sampai 1740, Kant melanjutkan sekolahnya di situ.

Kecondongan raja kepada kaum Puritan sebenarnya tidak lebih dari sekedar

16

Manfred Kuehn, Kant: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), h. 35

17


(30)

tujuan politik, agar membantunya mendorong terjadinya reformasi. Raja berupaya membentuk pemerintahan yang absolut: sebuah sistem sentralistik di Berlin.18

Untuk memuluskan usahanya, raja memangkas kekuatan bangsawan pemilik tanah. Ia memudahkan akses pendidikan bagi anak-anak miskin, yang mengakibatkan mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Dengan begitu, tenaga kerja yang diperlukan untuk menggarap tanah para bangsawan semakin berkurang. Pada akhirnya, keuntungan kalangan feodal pun menurun. Situasi ini sangat tidak menguntungkan para tuan tanah, yang kebetulan lebih dekat dengan Kristen Protestan non-Puritan. Perbaikan perekonomian dan pendidikan, membuat anak-anak dari keluarga miskin dapat mengenyam pendidikan dan memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih baik dari orang tua mereka. Posisi pemilik tanah mulai merosot di mata publik. Mereka tidak hanya berhadapan dengan penguasa dan raja, tapi kelas masyarakat terdidik lainnya. Situasi demikian ternyata tidak sampai menimbulkan kejadian yang memilukan. Di Jerman tidak terjadi pemberontakan, pengusiran maupun peristiwa berdarah lainnya. Reformasi yang dilakukan oleh raja berjalan tenang dan damai, karena dukungan mayoritas masyarakat sipil.

Kehidupan intelektual di Jerman abad ke-18 mendapat sokongan penuh pada masa pemerintahan Friedrich II atau Friedrich Agung (1712-1786). Ia menjadi raja Prussia menggantikan ayahnya, Friedrich William I, yang wafat di

tahun 1740. Pada tahun yang sama, Kant mulai memasuki universitas Königsberg.

Friedrich II adalah penguasa yang pro-pencerahan, dan menjadi pelindung bagi para pemikir Prancis yang dinilai subversif dan lari dari negerinya.19

18

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 35 19


(31)

Gelombang pencerahan di Jerman dipengaruhi pemikiran Inggris dan Prancis. Tokoh yang pertama berjasa dalam menggerakkan pencerahan Jerman adalah Christian Thomasius (1655-1728). Ia adalah filsuf yang lebih menyukai sistem filsafat Prancis daripada Jerman. Baginya, filsafat tidak akan berarti apapun selama tidak berhubungan dengan dunia riil. Sistem metafisika yang dibangun para filsuf, sama sekali tidak berguna jika tidak memiliki kontribusi berharga bagi kehidupan manusia. Nilai guna filsafat terletak pada perannya

sebagai instrumen kemajuan.20 Ia juga menyerang pandangan filsafat yang hanya

menekankan pencarian kebenaran lewat jalur kontemplatif. Upaya yang benar dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah melalui observasi fenomena dan pengalaman yang didapat lewat kemampuan indera. Dari sini dapat dilihat bahwa Thomasius menyetujui empirisme.

Tokoh kedua yang berperan cukup penting adalah Christian Wolff (1679

-1754). Dukungan Wolff terhadap konsep, keselarasan yang ditetapkan sebelum terjadinya sesuatu (pre-establish harmony), tidak sejalan dengan Puritanisme tentang kehendak bebas.21 Sistem filsafat Wolff sangat berbeda dari Thomasius, karena penekanan pada metafisika. Perhatian utama Wolff dalam hal ini adalah filsafat praktis, dan dukungan penyebaran kebijaksanaan di antara manusia.22 Dengan sistem yang dibangunnya, Wolff tetap mempercayai Tuhan. Dia yakin, dengan kemampuan rasionya, manusia dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Wolff berupaya menemukan asas yang sah tentang Tuhan, berdasarkan rasio. Pengaruh Wolff cukup luas beredar di Jerman. Hal itu dirasakan saat Kant kuliah. Bahkan ketika Kant menjadi dosen di Universitas Königsberg, di antara buku

20

Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 101 21

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 76 22


(32)

yang menjadi acuan mengajarnya adalah karya Wolff.23 Situasi ini memberikan dampak tersendiri bagi pemikiran dan perjalanan karir Immanuel Kant.

B. Periodisasi Perkembangan Intelektual dan Karya-Karyanya

Immanuel Kant lahir pada 22 April 1724 di Königsberg, sebuah kota tempat berlabuhnya perdagangan internasional Prussia. Terletak di sebelah timur kerajaan Prussia, dekat dengan perbatasan Rusia, dan lebih dekat dengan Polandia daripada dengan Prussia Barat. Banyak bangunan institusi-institusi resmi didirikan di kota ini. Kota Königsberg24 berpenduduk sekitar 40.000 jiwa di tahun

1706, meningkat menjadi 50.000 jiwa di tahun 1770, dan terus meningkat menjadi

56.000 jiwa di tahun 1786.25 Kant terlahir dengan nama baptis “Emanuel”, dari pasangan Johann Georg Kant (1683-1746) dan Anna Regina Kant (1697-1737). Ia

menjadi anak ke-4 dari sembilan bersaudara. Sebagai anak pembuat pelana kuda,

kehidupan Kant sangat jauh dari kemewahan. Kant dibesarkan dalam suasana kehidupan yang dipenuhi dengan ketaatan Puritanisme. Kelak ia merasa sangat berhutang budi atas didikan ibunya, yang selalu mengajarkannya nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Ini bisa dilihat dalam cara berfilsafat Kant, khususnya dalam wacana etika yang sangat menekankan kesadaran terhadap kewajiban. Bagi Kant, dogma-dogma keagamaan sama sekali tidak bernilai, selama tidak

memberikan pelayanan moral.26

23

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 109 24

Kota Königsberg telah berubah nama menjadi Kaliningrad. Sekarang kota itu termasuk dalam wilayah Polandia. Paul Strathern, 90 Menit Bersama Kant, terj., Franz Kowa (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), h. 3

25

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 56 26


(33)

Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, Kant melanjutkan studi ke universitas kota Königsberg pada tahun 1740. Selama kuliah, Kant menjadi

anggota masyarakat akademis (Akademischer Bürger), yang memungkinkannya

terbebas dari beban biaya menggunakan inventaris kampus dan beberapa keuntungan lainnya.27 Minat awalnya selama kuliah adalah studi klasik, tapi Kant ternyata lebih terobsesi menggeluti filsafat berkat pengaruh Martin Knutzen (1713-1751) dan Johann Gottfried Teske (1704-1772). Meskipun demikian, mereka berdua hanyalah dosen biasa dan tidak ada hubungan khusus dengan Kant. Dalam catatan biografinya, Kant mengoreksi beberapa kesalahan penulisan yang sempat ia baca.

Namun, tidak seluruh tulisan Ludwig Ernst Borowski (1740-1832)—salah

satu murid pertama dan penulis biografi Kant—sempat dikoreksinya. Borrowski membuat kesalahan dengan menyebut Kant murid terbaik dan kebanggaan Knutzen. Martin Knutzen bukanlah dosen yang mempunyai kedekatan dengannya, bahkan tidak benar bahwa Kant diperkenankan meminjam buku-buku di perpustakaan pribadi sang dosen. Hal ini bisa disaksikan bahwa dalam catatan Martin Knutzen, Kant bukanlah salah seorang mahasiswa terbaiknya. Bahkan Kant tidak pernah disebut sebagai mahasiswanya. Murid favorit Knutzen adalah Friedrich Johann Buck (1722-1786). Kelak sepeninggal Knutzen, Buck menjadi dosen menduduki posisi yang ditinggalkannya. Mahasiswa lain yang lebih penting dari Kant adalah Johann Friedrich Weitenkampf (1726-1758). Bukti lain bahwa Kant bukan mahasiswa favorit Knutzen, yakni tidak disebutnya nama Kant

sewaktu Knutzen berkirim surat dengan Euler.28

27

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 61 28


(34)

Selama kuliah, Kant bukanlah seorang mahasiswa yang menjadi idola bagi gadis-gadis Jerman.29 Secara fisik, penampilan Kant kurang menarik. Kulit pucat,

dengan tinggi badannya 157 cm., sepanjang hayat menderita hypochondria,

dadanya tipis, dan sering kesulitan pernafasan.30 Ia terbiasa berangkat kuliah mengenakan sebuah jaket kusam yang harganya kira-kira kurang dari satu pfennig—satuan terkecil mata uang Jerman. Namun, Kant sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Baginya, belajar adalah lebih penting. Belajar adalah segalanya. Hal-hal yang dapat menghambat belajarnya, ia tinggalkan. Kant merasa bahwa selama kuliah, ia baru bisa bebas mempelajari banyak hal yang ia kehendaki, dibandingkan selama di sekolah lanjutan. Ketika duduk di tingkat akhir, Kant terbiasa menjadi tutor bagi beberapa orang mahasiswa yunior yang kesulitan dengan materi kuliah. Dengan bimbingan itu, ia biasa mendapatkan secangkir kopi dan roti putih gratis untuk makan siang.

Pada masa Kant, kuliah filsafat di Universitas Königsberg cenderung mengikuti arah pemikiran Christian Wolff. Hal ini tanpa mengingkari beberapa dosen yang menyukai sistem Aristotelian, seperti Johann Adam Gregorovious (1681-1749). Pemikir seperti Descartes dan Locke adalah tokoh-tokoh yang lebih banyak diserang.31 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kant pada awalnya lebih diarahkan kepada sistem Wolffian, berkat dosen-dosennya. Tapi, terlalu gegabah kiranya menganggap Kant adalah tokoh Wolffian semasa muda. Sejak

29

Pada zaman Kant, kehidupan antara laki-laki dan perempuan Jerman terpisahkan secara gender. Itulah mengapa, ia seperti orang-orang di masanya, jarang bergaul dengan lawan jenis mereka. Kehidupan perempuan Jerman saat itu, diarahkan pada tiga hal: Kinder, Küche, und Kirche (anak-anak, dapur, dan gereja). Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 55

30

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 151 31


(35)

muda, Kant selalu menjaga jarak dari sistem manapun, dan berusaha independen dengan pemikirannya sendiri.

Kant meninggalkan kuliahnya setelah Agustus 1748, karena ayahnya

meninggal dunia tanpa meninggalkan banyak dukungan finansial. Sebelas tahun sebelumnya, ia telah kehilangan ibu yang dikasihinya. Kant terpaksa bekerja sebagai guru privat (Hofmeister) bagi ketiga putra pastor Andersch, di kota Judtschen.32 Kemudian ia menjadi guru bagi ketiga putra tertua von Hülsen, seorang ksatria Prussia. Selama menjadi guru, Kant menghaluskan sikap dan perilakunya ketika bergaul dengan keluarga kaya, serta tak lupa meningkatkan kemampuan akademisnya. Ia masih berkeinginan meneruskan kembali kuliahnya.

Setelah enam tahun absen untuk menjadi guru, Kant kembali ke universitas dengan mengajukan disertasinya berjudul, “Succinct Meditations on

Fire”, (Meditasi-meditasi Ringkas tentang Api).33 Pamannya, Richter, membayar

biaya promosi doktornya. Untuk mengajar di universitas, Kant harus menerima

“venia legendi”, dengan mempertahankan disertasi lain berjudul, “Principiorum

Primorum Cognitionis Metaphysicae Nove Diludatio”, (Penjelasan Baru tentang

Prisnsip-Prinsip Pertama Pengetahuan Metafisik). Kant akhirnya diperbolehkan mengajar materi-materi kuliah di universitas. Sebagai Privatdozent, ia tak dibayar dari kampus. Gajinya didapat dari mahasiswa yang menghadiri kuliahnya. Besarnya pendapatan, tergantung pada banyaknya peserta yang ikut kuliah.

Pengaruh Kant cukup populer dalam atmosfer akademik Königsberg.

Selama menjadi Privatdozent, kuliah-kuliahnya selalu dipenuhi mahasiswa,

sehingga memicu kecemburuan sosial bagi dosen-dosen lainnya. Beberapa dari

32

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 96 33


(36)

mereka tidak menyukai Kant.34 Untuk bisa bertahan hidup, Kant harus banyak

mengajar. Selama semester musim dingin 1755-1756, ia mengajar logika,

metafisika, matematika, dan fisika. Di semester musim panas, ia menambahkan dengan kuliah geografi, dan berikutnya ditambahkan dengan etika. Kant mengajar sebanyak enam belas sampai dua puluh empat jam seminggu. Buku acuan mengajarnya semisal, Metaphisica, Ethica, karya Baumgarten, Auszug aus der

Vernunftlehre, karya Georg Friedrich Meier, keduanya merupakan pengikut

Wolff. Ia juga menggunakan, Erste Gründe der Naturlehre, karya Johann Peter Eberhard. Dalam bidang matematika, Kant menggunakan karya-karya Wolff,

Auszug aus den Anfangsgründen aller Mathematischen Wissenschaften,

Ansfangsgründe aller Mathematischen Wissenschaften.

Meskipun diharuskan mengajar berdasarkan buku-buku acuan, tapi ia tidak mengekor pada uraian yang diberikan buku tersebut. Kant hanya mengikuti urutan materi di dalamnya. Ia bahkan memberi tambahan terhadap beberapa hal dalam penjelasan yang tidak disebutkan di dalam buku, dan juga mengoreksi isinya.35 Jika tidak setuju dengan isi buku tersebut, ia segera beralih pada pemahamannya sendiri. Ketika mengajar, Kant selalu menekankan bahwa apa yang ia ajarkan bukanlah filsafat, tapi bagaimana berfilsafat. Kant berkata:

The true method of instruction in philosophy is zetetic, as it was called by

some of the ancients (derived from zetetin). It is searching, and it can become dogmatic, that is decided through a more developed reason only in some parts.”36

34

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 107 35

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 106; Lihat juga, Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 181

36

“Metode instruksi yang benar dalam filsafat adalah zetetic, sebagaimana disebut oleh tokoh-tokoh klasik (diturunkan dari kata zetetin). Hal itu adalah pencarian, dan bisa menjadi dogmatis, yang diputuskan melalui sebuah pengembangan penalaran hanya di dalam beberapa bagian-bagiannya.” Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 160


(37)

Periode pra-kritis Kant berakhir sejak 1769, memasuki tahun 1770. Dalam masa pra-kritis itu, pemikiran Kant terbagi menjadi dua: pertama, berlangsung sejak 1755-1762, dikenal sebagai periode rasionalis; kedua, antara tahun 1762

-1769, dikategorikan sebagai periode empiris. Pembagian periode pra-kritis ini tidak dimaksudkan sebagai pemetaan secara radikal. Tapi, sebagai sebuah kecenderungan untuk lebih mudah memahami, meskipun sebenarnya tidak ada kesepakatan dari pada pengkaji dalam masalah ini.37 Jika orang berbicara tentang tiga kritik Kant, maka yang dituju adalah periode setelah tahun tersebut, yang disebut periode kritis.

Sejak tahun 1770, Kant berusaha keras menghasilkan suatu pemikiran orisinilnya. Ia mencari sistem filsafat, yang terbebas dan mengatasi, baik rasionalisme maupun empirisme. Tapi, Kant bukan penganut eklektisisme. Selama sebelas tahun, Kant berupaya merumuskan pemikirannya. Ia menggugat pandangan Leibniz-Wolffian, dan semua sistem-sistem yang ada saat itu. Edisi pertama Kritik der reinen Vernunft, terbit tahun 1781. Sejak saat itu, karya-karya brilian Kant mulai bermunculan. Dengan tanpa malu-malu dalam karyanya,

Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik, terbit 1783, Kant mengakui dirinya dibangunkan dari tidur filsafat dogmatik oleh David Hume:

I openly confess, the suggestion of David Hume was the very thing, which

many years ago first interrupted my dogmatic slumber, and gave my investigation in the field of speculative philosophy quite a new direction. I was far from following him in the conclusion at which he arrived by regarding, not the whole of his problem, but a part, which by itself can give us no information. If we start from well-founded, but undeveloped, thought, which another has bequeathed to us, we may well hope by continued reflection to advance farther than acute man, to whom we owe the first spark of light.”38

37

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 176-179 38

“Saya secara terus terang mengakui anjuran David Hume, yang selama beberapa tahun mengganggu tidur dogmatis saya dan memberi arah baru bagi penyelidikan saya dalam filsafat


(38)

Secara garis besar, karya-karya Kant adalah sebagai berikut:

a. Kritik der Reinen Vernunft, merupakan karya filsafat yang membahas

masalah epistemologi. Dalam karya ini Kant berupaya membongkar masalah-masalah yang tidak selesai seputar pengetahuan. Ia merumuskan sistem baru, dengan terlebih dahulu mengritik aliran rasionalisme dan empirisme. Karya ini terbit tahun 1781.

b. Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik. Karya ini terbit 1783. Dengan tulisan ini, Kant bermaksud menjadikannya sebagai sebuah

catatan singkat untuk bisa memahami pembahasan dalam Kritik der

Reinen Vernunft. Karena penjelasan yang sulit, dengan gaya bahasa yang

bertele-tele, karya tersebut dapat memudahkan para pembaca dalam

memahami isi Kritik der Reinen Vernunft, yang kerap mengundang banyak

keluhan.

c. Was ist Aufklärung?. Esai ini diterbitkan Berlinische Monatschrift, tahun

1784, ditulis untuk menjawab seputar pertanyaan tentang pencerahan yang

terjadi pada abad ke-18, di Eropa.

d. Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, sebuah paparan argumentatif

tentang dasar-dasar hukum moral, yang terbit tahun 1785.

e. Metaphysik Anfangsgründe der Naturwissenschaften. Sebagai pengajar

fisika, Kant merasa perlu menjelaskan prinsip-prinsip kaidah ilmu

spekulatif. Saya sama sekali tidak mengikutinya pada kesimpulan yang ia dapatkan berkenaan dengan keseluruhan masalahnya, tapi sebagian, yang tidak memberikan kita informasi. Jika kita memulai dari penemuan-berharga, tapi pemikiran yang tidak dikembangkan, yang satu lagi telah mewariskan kepada kita, kita mungkin berharap dengan baik berdasarkan refleksi berkelanjutan untuk mengembangkan lebih jauh dari seorang yang teliti, kepadanya kita berhutang percikan cahaya pertama.” Beryl Logan (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics in Focus


(39)

pengetahuan alam yang ia pegang. Lewat karya inilah, ia menjelaskan hal itu. Tulisan ini terbit pada tahun 1786.

f. Was heisst: Sich im Denken orientiren? Ulasan dalam karya ini berisi kontibusi Kant terkait persoalan paham panteisme yang melanda kalangan sarjana abad ke-18, diterbitkan dalam Berlinische Monatschrift, terbit bulan Oktober 1786.

g. Kritik der Practischen Vernunft. Lewat karya ini Kant berusaha

merumuskan bahwa kaidah moral tidak semata masalah agama dan hati, melainkan termasuk bagian urusan pemahaman rasional. Karya ini terbit tahun 1788.

h. Kritik der Urteilkraft. Karya ini adalah kritik ketiga Kant, terbit tahun

1790, yang berisi pembahasan seputar penilaian nilai estetika.

i. Über das Mißlingen aller philosophischen Versuche in der Theodicee,

sebuah esai yang berisi paparan tentang masalah agama dalam batas-batas rasional, diterbitkan dalam Berlinische Monatschrift, September 1791. j. Das Ende aller Dinge, berisi kritik filsafat politik Kant terhadap situasi

saat itu. Karya ini diterbitkan Berlinische Monatschrift, Juni 1794.

k. Zum ewigen Frieden, sebuah esai yang menjelaskan tentang basis moral, melukiskan perkembangan sejarah dan politik, terbit 1795.

l. Der Streit der Fakultäten. Esai ini ditulis Kant berkenaan dengan

pengekangan pemerintah terhadap kebebasan menyuarakan pendapat tentang masalah agama. Esai ini terbit pada musim gugur 1798.

m. Metaphysische Anfangsgründe der Rechtslehre dan Metaphysische


(40)

Metaphysik der Sitten, berisi penjelasan Kant tentang metafisika moral. Yang pertama berbicara tentang elemen-elemen dalam pembahasan metefisika moral yang seharusnya, sedangkan yang kedua menjelaskan tentang kebijaksanaan dalam moral. Keduanya terbit di tahun 1797.

Selama masa hidupnya, Kant menghabiskan waktu dengan kegiatan yang cukup padat dan disiplin. Kegiatan hariannya dilakukan tetap, termasuk jadwal kunjungannya. Ia terbiasa tidur jam sepuluh malam, dan bangun sebelum jam lima pagi. Kemudian melakukan refleksi filosofis, mengajar, dan setiap jam setengah empat sore pergi berjalan-jalan. Kebiasaan jalan-jalan sore ini dimaksudkan sebagai cara mencari inspirasi baru bagi pengembangan pemikirannya. Baik ketika cuaca panas, maupun hujan, ia terbiasa melakukan itu. Konon karena kedisiplinannya ini, warga Königsberg mencocokkan jam mereka ketika melihat Kant berjalan-jalan. Mungkin sekali karena terlalu konsisten dan fokus pada

pekerjaan, sehingga membuatnya menangguhkan diri untuk menikah.39

Antara tahun 1796-1804 adalah masa-masa terakhir bagi kehidupan Kant.

Sejak 1797 ia sudah tidak bisa mengajar lagi, karena usia tua dan sakit. Pikirannya masih tajam, tapi secara fisik ia sangat lemah. Sejak tahun 1800, Kant mulai melupakan kejadian-kejadian yang baru saja dilakukannya, dan lupa apa yang harus dilakukan. Pada periode ini banyak bermunculan kisah-kisah menggelikan yang berkaitan dengan Kant, misalnya analisisnya tentang kematian kucing-kucing karena sengatan listrik, orang negro Afrika yang sebenarnya berkulit putih, dan sebagainya. Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant menghembuskan nafasnya

39

Kant sebenarnya sama seperti laki-laki pada umumnya, memiliki keinginan untuk berkeluarga. Namun, niat itu tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, ia pernah merencanakan hal itu dengan seorang janda cantik, dan pernah pula berkeinginan menikahi gadis dari pinggiran Westphalin. Namun, keduanya tidak terlaksana, karena Kant terlalu lama mengambil keputusan. Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 117


(41)

yang terakhir, dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-80. Nisannya sekarang ada di kota Kaliningrad. Tapi, nisan itu sudah tidak berisi tulang-belulangnya lagi, akibat rusak dan dicuri ketika perang.40 Di nisan itu tertulis dua hal yang memenuhi pikirannya dengan kekaguman, penghormatan, dengan begitu sering dan terus-menerus orang-orang merefleksikannya. Pengakuan tentang hal yang

paling membuatnya terkesan, seperti disebutkan dalam karyanya, Kritik der

practischen Vernunt: “langit yang bertabur bintang di atas saya, dan hukum moral

dalam diri saya”.41

40

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 132 41

Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans., Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), h. 133


(42)

BAB III

EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN FILSAFAT BARAT A. Sejarah Epistemologi

Epistemologi adalah salah satu kajian filsafat, yang berkaitan dengan pengetahuan. Secara sederhana, epistemologi berarti teori pengetahuan.42 Dilihat dari segi bahasa, epistemologi merupakan istilah yang berasal dari dua bahasa Yunani, έπιστή η (dibaca epistēme), berarti pengetahuan, dan λόγος (dibaca

logos), berarti ilmu.43 Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu yang

membahas tentang pengetahuan. Penekanan epistemologi adalah pengetahuan manusia, sebagai makhluk berakal dan berperadaban. Kajian epistemologi mencakup pembahasan dan penelusuran wilayah pengetahuan secara rasional. Pembahasan dimaksudkan untuk membedah batas-batas pengetahuan, serta bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Sedangkan proses penelusuran pengetahuan diartikan sebagai upaya mencari akar permasalahan terkait ide, dan gagasan yang berhubungan dengannya, seperti indera, memori, persepsi, bukti-bukti, kepercayaan dan kepastian. Dengan demikian, kajian epistemologi berbeda dari kajian psikologi.

Epistemologi merupakan sebuah penelusuran rasional, berkaitan dengan kemungkinan dan kepastian isi pengetahuan, menguji validitas, menentukan batas-batas, dan memberikan kritik berkaitan dengan ciri-ciri umum yang hakiki dari pengetahuan. Epistemologi juga menentukan aspek kesadaran manusia, ketika berinteraksi dengan lingkungan, alam sekitar, dan terlebih dengan diri pribadi manusia itu sendiri. Adapun psikologi adalah suatu cabang ilmu yang

42

Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 174

43


(43)

mengkaji tentang penyelidikan atau teori fenomena mental.44 Kajian psikologi lebih menitikberatkan pada daya-daya kognisi manusia an sich. Titik tekan ini yang membedakan kajian epistemologi dari psikologi. Dalam kajian psikologi, proses kognisi menjadi inti pembahasan. Daya-daya kognitif manusia merupakan tema bahasan utama dalam perolehan dan pengolahan informasi untuk menghasilkan pengetahuan. Hal ini sangat berbeda dari epistemologi, sebagai kerangka kajian yang mendudukkan ilmu dalam batas-batasnya yang ketat dan tidak terbatas unsur kesadaran.

Dalam waktu yang cukup lama, masalah epistemologi menduduki porsi signifikan dalam wacana filsafat Barat. Perdebatan sistem-sistem yang dimajukan para filsuf, sejak zaman klasik ribuan tahun silam, seolah tidak menemukan kepastian. Perdebatan itu kiranya menjadi ajang pertarungan ide dan gagasan yang menandai nuansa zamannya. Kendati menjadi masalah yang cukup menguras energi selama ribuan tahun, namun epistemologi bukanlah hal pertama yang dikaji dalam kajian filsafat Barat. Dalam sejarahnya, epistemologi tidak menjadi persoalan yang pertama kali diperbincangkan oleh bapak filsafat Barat.

Thales (645-545 SM.) sebagai tokoh pertama filsafat dalam tradisi Barat, sama sekali tidak berbicara tentang masalah epistemologi. Fokus pemikiran Thales adalah tentang pokok penyusun alam semesta.45 Ia berusaha menemukan suatu realitas primordial,46 yang disebutnya αρχή (dibaca archē).47 Karena tidak meninggalkan sebuah karya, pemikiran Thales akhirnya hanya dapat dijumpai sebagai cuplikan dalam karya-karya para penulis yang hidup setelahnya. Perhatian

44

Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 458 45

W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest Cushman (New York: Dover Publication Inc., 1956), h. 37

46

Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 37 47


(44)

Thales bukanlah epistemologi, melainkan ontologi. Ontologi diartikan sebagai sebuah penalaran tentang yang ada. Konsep “ada” sebagai sebuah tema menjadi tren dalam perdebatan pemikiran filosofis berikutnya. Rumusan yang terkenal dari Thales yakni, “semua adalah air”.

Perkataan Thales di atas cukup dikenal para sarjana pengkaji filsafat Barat, yang sebenarnya merupakan kutipan yang tidak utuh. Kalimat yang selengkapnya berbunyi, “semua adalah air, dan dunia penuh dengan dewa-dewa”.48 Thales berusaha memecahkan masalah tentang asas penyusun alam semesta, tapi tanpa meninggalkan kepercayaan tentang adanya dzat adikodrati. Thales beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta terbentuk dari air. Air baginya adalah sumber kehidupan, dan sumber terciptanya alam semesta. Bumi menurutnya mengapung di atas air. Partikel-partikel air menjadi asal segala jenis makhluk hidup, serta menjadi unsur yang menyusun segala sesuatu.49 Beberapa muridnya, juga tidak menaruh minat untuk menggeluti masalah epistemologi. Di belakang hari, gagasan Thales tersebut bahkan dikritik dengan pandangan yang berbeda-beda.

Perdebatan dalam ranah epistemologi tidak dimulai sebelum abad ke-5 SM. Meskipun sebelum abad ke-5 SM., telah ada rumusan dari dua tokoh: Parmenides dan Heraklitos, tapi penalaran mendalam terkait masalah ini belum terbentuk secara utuh. Kendati demikian, mereka memainkan peranan yang cukup signifikan dalam wacana filsafat di kemudian hari. Mereka kerap dianggap

mewakili dua kecenderungan yang saling berlawanan. Parmenides (lahir 540 SM.)

dikategorikan sebagai pioneer kelompok rasionalis, sedangkan Herakleitos (540

48

Jerome R. Ravert, Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Pembahasan, terj. Saut Pasaribu. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 7

49


(45)

480 SM.), termasuk kelompok empiris. Dua arus inilah yang nantinya saling bersitegang dalam tradisi filsafat Barat selanjutnya.

Parmenides menganggap pengetahuan manusia diperoleh dari kemampuan akal. Adapun Heraklitos menganggap pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Akan tetapi baik Parmenides ataupun Heraklitos, tidak meragukan apakah

pengetahuan tentang realitas itu mungkin.50 Pengetahuan bagi mereka merupakan

keniscayaan. Siapapun dianggap dapat memperoleh pengetahuan. Tidak ada upaya yang dilakukan oleh mereka untuk membuktikan apakah pengetahuan manusia itu terbatas atas realitas di luar dirinya, atau tidak. Kedua belah pihak tidak melakukan pengujian mendalam atas isi atau pun proses mendapatkan pengetahuan. Selama berabad-abad berikutnya, pemahaman tentang pengetahuan itu tetap terpelihara dan terjamin seutuhnya dalam pola pikir masyarakat Yunani. Sampai akhirnya di abad ke-5 SM., kemapanan pandangan itu diserang oleh kritikan tajam kaum Sofis.

Kaum Sofis adalah kalangan terpelajar yang memulai penyebarluasan filsafat ke tengah-tengah masyarakat; keluar dari sekolah menuju pasar.51 Meraka adalah para guru, dan teladan berilmu. Seni berdebat adalah salah satu yang diajarkan Sofis, dan menjadi mata pelajaran favorit. Meskipun tidak memunculkan terobosan baru menyangkut pengembangan ilmu pengetahuan, kaum Sofis berjasa menyebarluaskan dan memelihara ide-ide besar dalam bidang saintifik yang sudah ada di Yunani. Mereka dianggap sebagai pembawa pertama

dan terutama terjadinya pencerahan Yunani.52 Kaum Sofis mempelopori

50

D.W. Hamlyn, “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., III (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 9

51

W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 110 52


(46)

perdebatan dan pengujian sejumlah tradisi yang sudah taken for granted oleh masyarakat. Mereka juga tak luput mempersoalkan hakikat pengetahuan manusia. Di kemudian hari, banyak orang yang merasa tertarik untuk mendapatkan pendidikan dan bimbingan dari mereka. Kaum muda banyak yang tertarik dengan ajaran Sofis. Fokus perhatian kaum Sofis adalah menjadikan masyarakat tersadar akan kegunaan ilmu pengetahuan. Mereka yang mendapat didikan Sofis bisa menjadi orator ulung, serta orang yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan tugas utama mereka yakni, menghadirkan sains dan instruksi retorika dalam kehidupan publik.53 Kata Sofis sendiri dalam bahasa Yunani memiliki arti positif.

Secara etimologis, Sofisme berasal dari kata Yunani σόφισ α (dibaca

sophisma), dari kata σοφίζω (dibaca sophizo), berarti “saya bijaksana.” Kata

σοφιστής(dibaca sophistēs) berarti orang yang melakukan kebijaksanaan, dan kata

σοφός(dibaca sophόs) berarti orang bijak.54 Kaum Sofis di zaman Yunani kuno adalah sekelompok guru filsafat yang dikenal bijak. Kritik kaum Sofis dalam masalah pengetahuan, memainkan peranan cukup penting dalam wacana filsafat setelahnya. Saat ini kata Sofisme telah mengalami perubahan arti menjadi: argumentasi salah yang kelihatan valid,55 sebuah arti yang sangat berbeda dari makna asalnya

Ajaran Sofis di belakang hari mendapat celaan dari masyarakat. Hal ini disebabkan pola pengajaran yang mereka terapkan. Pendekatan pengajaran yang dikembangkan Sofis, dibangun di atas kesadaran akan kebebasan dan demokrasi dalam kehidupan polis. Kekuatan retorika adalah kuncinya. Kecenderungan kebebasan yang mereka suarakan, akhirnya sampai pada titik ekstrem. Meraka

53

W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 113 54

http://en.wikipedia.org/wiki/Sophism, artikel diakses pada 01 Mei 2010 55


(47)

alpa untuk memberikan sebuah batasan yang jelas, terkait dengan kebebasan. Apa yang mereka ajarkan akhirnya hanya berupa kemampuan berdebat tanpa arah dan tanpa tuntunan mencapai kehidupan yang bermartabat, kontras dengan gelar Sofis yang mereka sandang.

Protagoras (481-411 SM.), tokoh Sofis yang paling berpengaruh misalnya,

memiliki diktum yang terkenal: “manusia adalah ukuran segala-galanya”.56

Manusia dijadikan sebagai titik pangkal dan inti segala hal. Kebenaran dan kesalahan, baik dan buruk, dapat didefinisikan menurut kadar ukuran manusia. Namun, ia tidak memberikan kejelasan terkait apa yang dimaksud manusia dalam pemikirannya. Jika yang dikehendaki dari manusia adalah manusia secara umum, maka cakupannya menjadi sangat luas. Setiap orang akan memiliki sudut pandang berbeda dalam memahami arti manusia, sehingga ukuran manusia sebagai patokan segala-galanya akan berbeda satu sama lain. Pandangan semacam ini jelas menggiring pada relativisme.57 Implikasi yang sama berlaku dalam perdebatan tentang pengetahuan.

Kaum Sofis tidak memberikan kaidah baku terkait masalah epistemologi, sehingga apa yang diajukan terjerumus ke dalam relativisme. Inilah batu sandungan kaum Sofis. Persoalan epistemologi yang menjadi perdebatan filosofis berkepanjangan, dipelopori oleh perdebatan ini. Perdebatan antara yang universal dan yang relatif. Salah satu contoh ekstrem terlihat misalnya dari Gorgias (483

-375 SM.), yang tidak mengakui bahwa manusia bisa mendapatkan pengetahuan.

Ia beranggapan tiadanya realitas, dan jika pun ada, manusia sama sekali tidak

56

Plato menjelaskan pandangan Protagoras dalam dialog antara Socrates dan Theatetus. Irwin Edman, (ed.), The Works of Plato, trans., The Jowet Translation (New York: Simon and Schuster Inc., 1928), h. 494

57


(1)

b) Menggunakan referensi berbahasa Jerman, guna menghindari kesalahan istilah. Jika tidak bisa, gunakan teks yang diterjemahkan oleh pihak yang memiliki otoritas di bidangnya. Jadikan keduanya sebagai perbandingan. c) Membaca paparan argumentasi Kant secara menyeluruh. Hal ini sangat

penting, mengingat pembacaan yang serampangan dapat mengaburkan penjelasan poin-poin inti dalam satu masalah. Oleh karena itu, dibutuhkan kesabaran dan ketekunan luar biasa untuk mendapatkan pemahaman yang benar, runtut, jelas, agar tidak menyesatkan.

d) Tidak mengikuti paparan para komentator secara keseluruhan, dan berusaha mengembangkan analisis sendiri atas penjelasan Immanuel Kant.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ackermann, Robert, Theories of Knowledge: A Critical Introduction, New York: McGraw-Hill Company, 1965

Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 3, Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H/ 1994 M

---, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, tahqîq oleh Ahmad Syamsuddîn, Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409 H/ 1988 M

---, Mukhtasar Ihyâ` ‘Ulûmuddîn, Bairût : Dâr al-Fikr, 1993 M / 1414 H

---, Tahâfut al-Falâsifah, Cairo: Dâr al-Ma‘arif, 1972 M/ 1392 H Bakar, Osman, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj.,

Purwanto, Bandung: Mizan, 1997

Briggs, Robin, The Scientific Revolution of the Seventeenth Century, San Francisco: Harper & Row Publishers, Inc., 1973

Cantor, Norman F., dan Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism: Bacon and Descartes, Waltham: Blaisdell Publishing Company, 1969

Copleston, Frederick, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant, Wellwood: Burn & Oates, 1999

Deleuze, Gilles, Kant’s Critical Philosophy, trans., Hugh Tomlinson and Barbara Habberjam, London: The Athlone Press, 1995

Descartes, René, Discourse on Method and Meditations, trans., Laurence J. Lafleur, Indianapolis: Bobbs-Merrill Educational Publishing, 1982

Dicker, Georges, Kant’s Theory of Knowledge: An Analytical Introduction, Oxford: Oxford University Press, 2004

Edman, Irwin (ed.), The Works of Plato, trans., The Jowet Translation, New York: Simon and Schuster Inc., 1928

Ewing, A.C., A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason, Chicago: Chicago University Press, 1984

Gardner, Sebastian, Kant and the Critique of Pure Reason, London: Routledge, 2003


(3)

Guyer, Paul, Kant, New York: Routledge, 2007

---, “The Transcendental Deduction of Categories,” in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant, Cambridge: Cambridge University Press, 2006

Hamlyn, D.W. , “Empiricism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., II, New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972

---, “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., III, New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972

Hardiman, F. Budi, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007

Heuken, SJ., Adolf, Deutsch-Indonesisches Wörterbuch: Kamus Jerman Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006

Hume, David, A Treatise of Human Nature, London: Penguin Books, 1969

Kant, Immanuel, Critique of Judgment, trans., J.H. Bernard, Prometheus Books: New York, 2000

---, Critique of Practical Reason, trans., Mary Gregor, Cambridge: Cambridge University Press, 2001

---, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer and Allen Wood, Cambridge: Cambridge University Press, 2000

---, Kritik der reinen Vernunft, nach der ersten und zweiten Original-Ausgabe herausgegeben von Raymund Schimdt, Felix Meiner Verlag: Hamburg, 1990

---, Perpetual Peace and Other Essays on Politics, History, and Morals, trans., Ted Humphrey, Indiana Polis: Hackett Publishing Company Inc., 1983

---, Religion and Rational Theology, trans., ed., Allen W. Wood and George Di Giovanni, Cambridge: Cambridge University Press, 2005

Kuehn, Manfred, Kant: A Biography, Cambridge: Cambridge University Press, 2002


(4)

Leibniz, The Monadology and Other Philosophical Writings, trans., Robert Latta, Oxford: Oxford University Press, 1968

Locke, John, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, Garry Fuller, etc., (ed.), London: Routledge, 2000

Logan, Beryl (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics, New York: Routledge, 1996

Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia, 2005

---, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997

Mautner, Thomas (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, London: Penguin Books Ltd., 2000

Mayer, Frederick, A History of Modern Philosophy, Redland: American Book Company, 1951

McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, New York: Random House, Inc., 1947 Nasr, Seyyed H. dan O. Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku

Pertama, Bandung: Mizan, 1997

Ravert, Jerome R., Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, terj., Saut Pasaribu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Russel, Bertrand, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, London: George Allen and Unwin Ltd., 1961

Schorr, Veronika, dkk. (eds.), Collins Gem: German Dictionary, Glasgow: HarperCollins Publishers, 2003

Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, vol. I, New Delhi: Low Publication, 1995

Strathern, Paul, 90 Menit Bersama Kant, terj., Franz Kowa, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001

Wartenberg, Thomas W., “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant, Cambridge: Cambridge University Press, 2006

Wildelband, W., History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest Cushman, New York: Dover Publication Inc., 1956


(5)

Williams, Bernard, “Rationalism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., VII, New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972

Wood, Allen W., “Rational Theology, Moral Faithful, and Religion”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant, Cambridge: Cambridge University Press, 2006

http://en.wikipedia.org/wiki/Archē, artikel diakses pada 01 Mei 2010

http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, artikel diakses pada 30 April 2010 http://en.wikipedia.org/wiki/Sophism, artikel diakses pada 01 Mei 2010


(6)

iv

ا tidak dilambangkan

ب b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h h dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

ز z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis di bawah

ض d de dengan garis di bawah

ط t te dengan garis di bawah

ظ z zet dengan garis di bawah

ع ‘ koma terbalik di atas,

menghadap ke atas

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

ك k ka

ل l el

م m em

ن n en

و w we

h ha

ء ` apostrof

ي y ye

Vokal DalamBahasa Arab

َ a fathah

ِ i kasrah

ُ u dammah

ي َ ai a dan i

و َ au a dan u

ا َ â a dengan topi di atas

ْي ِ î i dengan topi di atas