Analisis yuridis terhadap putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr tentang pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto.

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN NO.

0042/Pdt.G/201`6/PA.Mr TENTANG PEMBAGIAN HARTA

BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA MOJOKERTO

SKRIPSI Oleh

Arina Qodliyah Novita NIM. C01213022

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga Surabaya


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Putusan No. 0042/Pdt.G/2016/Pa. Mr tentang Pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan yaitu: Bagaimana Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim dalam menetapkan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto dan Bagaimana Relevensi Pertimbangan dan Dasar hukum hakim dalam menetapkan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr dengan pasal 35, pasal 41 dan Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 149, pasal 156, dan 229 Kompilasi Hukum Islam.

Data penelitian dihimpun melalui pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam perkara No. 0042/Pdt.G/2016/Pa.Mr dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.

Hasil penelitian meyimpulkan bahwa Dasar Hukum Hakim yang digunakan adalah pasal 35 UU No.1 Tahun 1974, 97 Kompilasi Hukum islam dan rasa keadilan dengan mempertimbangkan kesusahan yang ditanggung dalam pemeliharaan dan pembiayaan anak-anak sejak proses perceraian yang sampai sekarang ditanggung oleh Tergugat baik keperluan harian maupun pendidikan, sehingga potensi beban kebutuhan hidup yang ditanggung oleh Tergugat adalah lebih besar dari Penggugat. Pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam menetapkan putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA. Mr terdapat relevansi dengan pasal 35, pasal 41, dan pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 149, pasal 156 dan pasal 229 Kompilasi Hukum Islam, tetapi tidak ada relevansi dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Ketidakrelevanan putusan hakim dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dikarenakan Hakim lebih mengindahkan pasal 229 Kompilasi Hukum Islam, “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa

keadilan”. Dalam putusannya hakim, istri diberi 2/3 dari harta bersama,

sedangkan suami hanya diberi 1/3 dari harta bersama. Karena ada fakta hukum suami (penggugat) tidak menanggung biaya dua anaknya sejak perceraian sampai gugatan harta bersama ini diajukan. Padahal menurut pasal 41 dan 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 149, pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, suami harus menanggung biaya pemeliharaan anak sampai usia 21 Tahun. Apa yang diputuskan oleh hakim tidaklah ultra Petita karena hakim dalam memutuskan perkara masuk pada petitum subsidernya, yaitu apabila majelis hakim berpendapat lain, agar diputus dengan seadil-adilnya.

Para hakim di harapkan selangkah lebih pogresif untuk memutusakan perkara walaupun itu bertentangan/ tidak selaras dengan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, demi mengutamakan keadilan apalagi dalam perkara pembagian harta bersama, anak harus diperhatikan sebagai akibat korban “perceraian” sehingga anak tidak terlantar.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Kajian Pustaka ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 18

F. Kegunaan Penelitian ... 18

G. Definisi Operasional ... 19

H. Metode Penelitian ... 20

I. Sistematika Pembahasan ... 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA, PEMELIHARAAN ANAK (HAD{ONAH), DAN ASAS ULTRA PETITA PARTIUM A. Pengertian Harta Bersama ... 25

B. Dasar Hukum Harta Bersama ... 28

C. Konsepsi Harta Bersama ... 31

1. Menurut Hukum Adat ... 31

2. Menurut Hukum Islam ... 42


(8)

D. Pemeliharaan Anak (Had{onah ) ... 49 E. Asas Ultra Petita Partium ... 51

BAB III PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM DALAM PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA MOJOKERTO NO. 0042/Pdt. G/2016/Pa. Mr TENTANG PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

A. Kedudukan Peradilan Agama/Makamah Syar’iyah ... 54

B. Wewenang Pengadilan Agama Mojokerto ... 55

C. Duduk Perkara No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr Tentang Pembagian

Harta Bersama ... 57

D. Pembuktian Perkara No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr Tentang

Pembagian Harta Bersama ... 65

E. Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan No.

0042/Pdt.G/2016/PA.Mr Tentang Pembagian Harta Bersama ... 69 BAB IV ANALISIS PUTUSAN NO. 0042/PDT.G/2016/PA.MR TENTANG

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

A. Analisis Terhadap Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim dalam Putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr Tentang Pembagian Harta Bersama ... 75

B. Analisis Yuridis Terhadap Putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr

Tentang Pembagian Harta Bersama

... 84 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 92 DAFTAR PUSTAKA ... 93 LAMPIRAN


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan betina begitu pula tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainaya. Sudah kodrat manusia antara satu sama lain selalu saling membutuhkan. Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang-orang lain mengakibatkan hasrat yang kuat dan teratur.1

Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, hidup dua sejoli, hidup suami istri, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Agama islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga yang damai dan teratur itu haruslah dengan perkawinan dan akad nikah yang sah, serta diketahui sekurang-kurangnya dua saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan kepada tetangga dan karib kerabat dengan mengadakan pesta perkawinan (walimah).2

Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhahanan Yang Maha Esa. Demikianlah

1 M. Idris Ramulyo, Huk um Perk awinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 31.

2 Soemiyati, Huk um Perk awinan Islam dan Undang-undang Perk awinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997),


(10)

2

perumusan perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.3

Tujuannya memiliki pengertian yang jauh lebih dalam daripada realitas yang bersifat fisik. Hal itu sesuai dengan Qur’an Surat Ar-rum: 21.

ِل اًجاَوْزَأ ْمُكِسُفْ نَأ ْنِم ْمُكَل َقَلَخ ْنَأ ِهِتاَيآ ْنِمَو

ْسَت

اوُنُك

َو اَهْ يَلِإ

ّدَوَم ْمُكَنْ يَ ب َلَعَج

َكِلَذ ِي ّنِإ ًةََْْرَو ًة

َنوُرّكَفَ تَ ي ٍمْوَقِل ٍتاَيآ

“Diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untukmu istri-isri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenang supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir.4

Dengan demikian, perkawinan dalam islam bukan sekedar untuk mendapatkan kepuasan seksual secara sah, tetapi perkawinan adalah lembaga yang sangat penting dalam mengamankan hak-hak pria, wanita, dan anak-anak. Sebagai konsekuensinya, Islam telah memberikan penekanan terhadap lembaga perkawinan yang ditetapkan oleh Allah dalam rangka melindungi masyarakat.5

Dalam melaksanakan kehidupan suami-istri tentu saja tidak selamanya berada dalam situasi yang damai dan tenteram tetapi kadang-kadang terjadi juga salah paham antara suami-istri atau salah satu pihak melalaikan kewajibannya. Dalam keadaan timbul ketegangan ini, kadang-kadang dapat diatasi adakalanya tidak dapat didamaikan dan terus-menerus terjadi pertengkaran. Maka dari itu untuk menghindari perpecahan keluarga yang makin meluas maka agama islam

3 M. Idris Ramulya, Huk um Perk awinan, Huk um Kewarisan, Huk um Acara Peradilan Agama dan

Zak at (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 43.

4 DEPAG RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Gema Risalah Pers, t.t), 644.

5 Jamilah Jones & Abu Aminah BIlal Philips, Monogami Dan Poligami Dalam Islam (Jakarta: PT


(11)

3

mensyaratkan perceraian sebagai jalan keluar yang terakhir bagi suami-istri yang sudah gagal untuk membina rumah tangganya lagi.6

Meskipun dalam islam mensyariatkan perceraian tetapi bukan berarti agama islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu pernikahan. Putusnya hubungan perkawinan suami istri tersebut, menimbulkan juga akibat hukum diantaranya adalah tentang harta bersama antara suami istri tersebut.7

Sebagaimana tertuang dalam pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal tersebut dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh suami-istri selama dalam perkawinan.8 Namun tidak

berarti kehidupan yang dilalui selama perkawinan merupakan harta bersama saja, ada harta bawaan dan harta perolehan. Hal ini berdasarkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 85 disitu menyatakan bahwa: “adanya harta bersama

dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-istri.9 Harta bersama tersebut dapat meliputi benda tidak bergerak,

benda bergerak dan surat-surat berharga. Sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak tidak diperbolehkan menjual atua memindahkan harta bersama tersebut. dalm hal ini,

6 Soemiyati, Huk um Perk awinan Islam dan Undang-undang Perk awinan , 103-104. 7 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam , 227-228.

8 Arso Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Huk um Perk awinan Di Indonesia (Jakarta: Bulan

Bintang, 1975), 86.


(12)

4

baik suami maupun istri mempunyai pertanggungjawaban untuk menjaga harta bersama.10

Mengenai penggunaan (tasharruf) harta bersama suami istri, diatur dalam pasal 36 ayat (1) UU perkawinan sebagai berikut: “Mengenai Harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Adapaun ayat (2) menjelaskan tentang hak suami atau istri untuk membelanjakan harta bawaan masing- masing seperti pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.

Pengaturan lebih rinci diatur dalam pasal 88, 89, dan 90 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) sebagai berikut:

Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) berbunyi:

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselelisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) berbunyi:

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri.

Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam ( KHI )

Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami ada padanya.

Isi pasal- pasal diatas merupakan penjabaran firman allah Q.S. An-Nisa’: 32:

…”

ِِّ ٌبيِصَن ِءاَسّنلِلَو اوُبَسَتْكا اِِّ ٌبيِصَن ِلاَجّرلِل

ا ا

َْبَسَتْك

”…

“… (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan …”11

10Slamet abiding dan Aminuddin, Fiqh Munak ahat, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 183 11Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Sahifa, t.t), 83.


(13)

5

Apabila karena suatu hal, suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya sementara suami sesungguhnya mampu, maka si istri dibenarkan mengambil harta suaminya itu, untuk memenuhi kebutuhun diri dan anak-anknya secara ma’ruf . Seperti penegesan Rasulullah S.AW. sehubungan laporan Hindun binti ‘Utbah istri Abu Sufyan dalam hadis berikut:

ْتُع َتْنِب َدْنِ ّنَأ ,اَهْ نَع ها َيِضَر َةَشِئ اَع ُثْيِدَح

َةَب

ْتَلاَق

ْوُسَراَي :

اَبَا ّنِا ,ِها َل

ُس

ٌلُجَر َناَيْف

َوَو ِِْْيِفْكَياَم ْىِنْيِطْعُ ي َا ,ٌحْيِحَش

َااَم ّاِا ىِدِل

ْذَخ

ْنِم ُت

َا ِوُ َو ه

يِذُخ : َلاَقَ ف ,ُمَلْعَ ي

ِكَدلَوَو ِكْيِفْكَي اَم

( :ي يراخبلا هجرخأ( . ِفوُرْعَمْلاِب

69

( :تاقفنلاباتك )

9

م اذأ باب )

ذخأت نأ ةأرمللف لجرلا قفني

)فورعماب ا دلوو اهيفكي ام هملع رغب

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu’anhu, bahwa hindun binti ‘Utbah berkata, “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang kikir, ia tidak memberi apa yang dapat mencukupiku dan anak-anakku, kecuali apa yang aku ambil dari dirinya sedangkan ia tidak mengetahuinya.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Ambillah apa yang dapat mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik (sesuai dengan kebutuhan, tidak lebih). (Disebutkan oleh Al-Bukhari pada Kitab Ke-69 Kitab Nafkah, bab ke-9 Bab Apabila seseorang Laki-laki Tidak Memberi Nafkah, Maka Istri Boleh Mengambil Tanpa Sepengetahuannya Apa yang Dapat Mencukupi Kebutuhannya dan Anaknya dengan Cara yang Baik)12

Jalan keluar atau alternatif yang diberikan Rasulullah Saw, kepada Hindun tersebut, apabila tidak ditempuh, maka bunyi Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam merupakan pilihan terakhir, yaitu istri mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama. Pengadilan Agamalah yang nantinya, melalui persidangan yang dipimpin hakim, yang akan menentukan dan menyelesaikan perselisihan diantara mereka. Alasan hakim dalam menyelesaikan masalah tersebut untuk melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan rumah tangga, istri, dan

12Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Kumpulan Hadits Shahih Buk hari Muslim, hadist ke-1115 ( Solo:


(14)

6

anaknya. Selain itu, juga untuk mengendalikan atau setidaknya mengurangi kebiasaan suami atau istri, agar tidak melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh ajaran islam. Maka secara teknis, selama dalam masa penyitaan, untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga bersama, salah satu pihak dapat menjual harta bersama tersebut, dengan izin Pengadilan Agama. Tentu saja, penggunaan untuk kepentingan keluarga tersebut dilakukan secara ma’ru>f.

Jika suami istri terputus hubungannya karena perceraian, maka pembagian harta bersama diatur berdasarkan hukumnya masing-masing. Ketentuan ini diatur dalam Undang-undang perkawinan pasal 37, “Jika perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.13 Yang

dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah mencakup hukum agama, hukum adat dan sebagainya.

Dalam hukum adat, ada perbedaan pendapat pembagian dalam harta, diantaranya :14

1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usahanya masing-masing. Harta ini adalah hak dan dikuasai oleh masing-masing pihak, bila terjadi putusnya perkawinan kembali kepada masing pihak suami istri 2. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai,

mungkin berupa usaha modal, atau berbentuk perabot rumah tangga atau

13 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian (Jakarta: Visimedia,

2003), hal. 39.


(15)

7

rumah tempat tinggal pasangan suami istri. Apabila putus perkawinanya maka kembali kepada keluarga (orang tua) yang memberikan semula

3. harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tetapi bukan karena usahanya, misalnya karena hibah, wasiat atau kewarisan dari orang tua, kelurga dekat maka pembagiannya kembali kepada keluarga asal apabila perkawina terputus.

4. Sedangkan harta yag diperoleh sesudah berada dalam hubungan perkawinan berlangsung, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka disebut Harta Pencaharian. Maka pembagiannya secara berimbang segendong sepikul (jawa barat), dua berbanding satu (Jawa Timur), atau mungkin sama banyaknya, dilihat dari sudut banyak sedikitnya atau besar kecilnya usaha mereka suami istri masing- masing.

Dalam Hukum islam tidak membicarakan secara rinci tentang harta bersama. Dalam hukum islam dijelaskan bahwa dalam perkawinan laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada wanita dan keluarganya. Dan wanita wajib menjaga apa yang telah diberikan laki-laki (suami) kepadanya dengan sebaik mungkin. Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak. Demikian pula halnya bilamana suami saja yang bekerja, berusaha dan mendapat harta, tidak dapat dikatakan bahwa harta itu hanya harta suami melainkan harta suami istri, hal ini sebagaimana termaktub dalam firman allah Q.S. An-Nisa’: 32


(16)

8

…”

ِِّ ٌبيِصَن ِءاَسّنلِلَو اوُبَسَتْكا اِِّ ٌبيِصَن ِلاَجّرلِل

ا ا

َْبَسَتْك

“…

“… (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan …” 15

Tidak perlu diringi dengan adanya perkongsian antara suami istri (syirkah{), sebab perkawinan dengan ijab qabul serta memenuhi persyaratan lain-lainnya seperti adanya wali, saksi, mahar, walimah dan I’llanun Nikah (Pemberitahuan Perkawinan) sudah dianggap syirkah antara suami istri itu.16

Berdasarkan KHI pasal 97 dinyatakan bahwa, “ Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan

lain dalam perjanjian perkawinan”. Artinya dalam kasus perceraian jika ada perjanjian perkawinan, penyelesaian pembagian harta bersama ditempuh berdasarkan ketentuan di dalamnya. Jika tidak ada perjanjian perkawinan, penyelesaiaanya berdasarkan pada ketentuan dalam pasal 97.

Mereka yang berpendirian bahwa harta bersama harus dibagi dua, tentulah dengan dasar pemikiran yang wajar kalau saham suami istri itu dianggap sama besarnya dalam proses pengumpulan harta bersama. Kompilasi Hukum islam menetapkan setengah dari harta bersama adalah milik istri, manakala terjadi cerai mati atau hidup.

Dasar Pemikirannya adalah kurang tepat mengukur bagian istri dalam hal-hal tersebut dengan nilai saham istri dalam mengumpulkan harta bersama itu dengan

15Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 83.


(17)

9

keharusan hasil usaha nyata seperti halnya suami. padahal fungsi dan kedudukan suami-istri adalah seimbang. Kenyataan yang sulit dipungkiri adalah sekulum senyum istri yang menyambut sang suami pulang dari pekerjaan mencari nafkah telah merupakan modal yang tidak ternilai dalam menumbuhkan semangat kerja sang suami. Hal itu merupakan saham sang istri yang tidak dapat dinilai dengan uang dan harta. Maka, aneh kalau pembagian harta bersama diukur dengan ukuran kongsi dalam perdangangan karena perkawinan dalam islam adalah Mi>s|a>qan Gali>z}han, perjanjian hukum yang kokoh.17

Kenyataan lain terjadi di Pengadilan Agama Mojokerto dalam menyelesaikan harta bersama antara Supriyono (Penggugat) melawan Titik wijayati (Tergugat). Dalam putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr, hakim memutuskan bagian Titik wijiati (Tergugat) 2/3 dan bagian Supriyono (Penggugat) 1/3. Dengan pertimbangan kesusahan yang ditanggung oleh Tergugat yaitu memelihara dan membiayai 2 orang anak-anak masing-masing berumur 17 tahun dan 13 tahun tersebut yang sudah semestinya ditanggung oleh Penggugat. Sedangkan mengenai tanggung jawab terhadap anak pasca perceraian dengan harta bersama adalah dua hal yang berbeda. Apabila yang dimaksud pertanggungjawaban utang oleh suami adalah ketika si mantan suami tidak bisa memenuhi kewajibannya berupa nafkah anak pasca sudah diputusnya dalam perceraian dan diambilkan dari harta bersama maka hal tersebut akan bertentangan dengan pasal 35 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Mengingat nafkah anak merupakan kewajiban ayah dan ibu.


(18)

10

Pemeliharaan anak akibat terjadi perceraian dalam bahasa fikih disebut dengan (had}a>nah ). Al-Shan’ani mengatakan bahwa had}a>nah adalah memelihara seseorang anak yang tidak bisa mandiri, mendidik, dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan madlarat kepadanya. Dalam Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinayatakan:18

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak\ bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan member keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesutau kewajiban bagi bekas istri.

Disini terdapat perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material dan bertanggung jawab pengasuhan. Jika ketentuan Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bersifat material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika mampu.19

Pengadilan Agama sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 jo to No. 50 Tahun 2009, bahwa pengadilan Agama sebagai tempat para pencari keadilan harus bisa memberikan rasa keadilan, dalam

18Ahmad Rofiq, Huk um Perdata Islam di Indonesia, Cet. I …, 197-198 19Ibid., 198


(19)

11

hal ini adalah mantan suami maupun mantan istri pada kasus harta bersama. Ini tertuang dalam pasal 229 Kompilasi Hukum Islam bahwa “ Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.

Orang dapat menganggap bahwa keadilan adalah suatu hasrat naluri yang diharapkan bermanfaat bagi dirinya. Mengadopsi pendapat dari Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, mengemukakan bahwa keadilan yaitu “ memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”. Berbeda dengan John Rawls, keadilan adalah Kejujuran (Fairness).

Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis perlu mengkaji kembali putusan hakim yang membagi harta bersama dengan pembagian 2/3 untuk istri dan 1/3 untuk suami dengan alasan kelalaian tanggung jawab suami. Oleh karena itu, penulis dalam skripsi ini akan menganalisa yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/ PA.Mr Tentang Pembagian Harta Bersama Di Pengadilan Agama Mojokerto”.

B. Identikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:


(20)

12

2. Ijtihad hakim dalam menangani kasus ini yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

3. Pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam menyelesaikan pembagian harta bersama dalam putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr.

4. Relevansi pertimbangan dan dasar hukum hakim pembagian harta bersama dalam putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr dengan pasal 35, pasal 41, dan Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 149, pasal 156, dan 229 Kompilasi Hukum Islam.

Berangkat dari identifikasi masalah tersebut, penulis perlu membatasi masalah yang akan diteliti dengan tujuan agar penulis dapat mencapai sasaran penelitian dan tidak terjadi kesimpang siuran dalam menginterprestasi masalah yang ada. Adapun masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu :

1. Pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam menetapkan putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr.

2. Relevansi pertimbangan dan dasar hukum dalam menetapkan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr dengan pasal 35, pasal 41, dan pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 149, pasal 156, dan 229 Kompilasi Hukum Islam.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu:


(21)

13

1. Bagaimana pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam menetapkan putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/ PA. Mr tentang pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto?

2. Bagaimana Relevansi pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam menetapkan putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/ PA. Mr dengan pasal 35, pasal 41, dan Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 149, pasal 156, dan 229 Kompilasi Hukum Islam ?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini pada dasarnya untuk mengetahui perbedaan dari penelitian sebelumnya.

Permasalahan tentang pembagian harta bersama sesunggunhnya telah banyak di bahas, diantaranya :

1. Skripsi yang disusun oleh Nanang Ahmadi (2002) yang berjudul studi “analisis atas kasus No. 283/Pdt.g/1992/PA. Pas Tentang Ketidakadilan Hakim dalam Proses Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Hukum Islam dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989”. Dalam skripsi ini pokok kajiannya tentang tata cara pembagian harta bersama dalam perkawinan, hendaknya ditaksir terebih dahulu berapa harga harta yang ada dan ditanyakan dulu mana harta bawaan masing-masing untuk memudahkan hakim dalam menentukan bagian masing-masing agar tidak ada pihak yang dirugikan, lebih-lebih pihak yang lebih besar penghasilannya. Dan sikap hakim yang


(22)

14

tidak adil ini yang disebabkan kurang cermatnya dalam memeriksa kasus menghasilkan keputusan yang merugikan salah satu pihak, lebih-lebih pihak yang lebih besar penghasilannya. Dan ini merupakan suatu sikap yang menyalahi perundang-undangan yang ada.20

2. Skripsi yang disusun oleh Nur Salamah (2000) yang berjudul, “ Eksekusi

Putusan Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama Gresik”. Dalam skripsi ini pokok kajiannya tentang ekseskusi putusan pembagian harta bersama ketika terjadi perceraian telah sesuai dengan hukum acara peradilan agama, hanya saja pada pemanggilan peringatan yang tidak dihadiri oleh termohon eksekusi tanpa alasan yang patut, masih dilakukan pemanggilan ulang dengan alasan prikemanusiaan.21

3. Skripsi yang disusun oleh lilik Nafisah (2013), yang berjudul, “Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan Pengadilan Agama No: 238/ Pdt. G/ 2009/ PA. Lmg oleh PTA No. 124/ Pdt. G/ 2011/ PTA. SBY tentang Pembuktian dalam Perkara Harta Bersama”. Dalam skripsi ini pokok

kajiannya tentang sengketa harta bersama yang berupa tuntutan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan baik berupa barang bergerak atau tidak bergerak. Disamping itu juga mempunyai tanggungan berupa hutang kepada pihak ketiga. Berdasarkan kesepkatan Majelis Hakim maka PTA Surabaya

20 Nanang Ahmadi, Analisis atas Kasus No. 283/Pdt.g/1992/PA. Pas Tentang Ketidak adilan Hak im

dalam Proses Pembagian Harta Bersama Berdasark an Huk um Islam dan Undang -Undang No. 7 Tahun 1989, (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002).

21Nur salamah, Ek sek usi Putusan Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama Gresik , ( Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2000).


(23)

15

telah memisahan sengketa harta bersama dengan tanggungan yang berupa hutang bersama tersebut. Tanggungan yang telah didalihkan oleh tergugat itu juga merupakan tanggungan penggugat dan tergugat. Jadi bukan hanya harta bersama saja yang dipersengketakan tetapi tanggungan hutang juga merupakan sengkera harta bersama. Majelis Hakim PTA mengabulkan gugatn penggugat tentang sengketa harta harta bersama karena menurut pasal 89-90 dan pasal 92 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jadi sengketa harta bersama disini bukan hanya harta benda saja, akan tetapi jika memiliki hutang selama perkawinannya juga merupakan harta bersama dan harus diselesaikan bersama pula. Tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu sebagaimana pada pasal 165 HIR dan Pasal 1865 BW. 22

4. Skirpsi yang disusun oleh Zulfa Aminatuz Zahro’ (2014), yang berjudul, “Analisis Yuridis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Harta Bersama tanpa adanya Perceraian di PA Malang (studi kasus Perkara No. 2198/ Pdt. G/ 2012/ Pa. Mlg). Dalam skirpsi ini pokok kajiannya tentang pembagian harta bersama itu hanya bisa ditetapkan ketika terjadi perceraian sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Pasal 66 ayat 5 dan pasal 86 ayat (1) dan berdasarkan buku pedoman pelaksanaan tugas dan adiministrasi Peradilan Agama yang dikeluarkan oleh MA RI dan dirjen Peradilan Agama yang menyatakan “ pembagian harta

22 Lilik Nafisah, Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan PA No. 2368/ Pdt.G/ 2009/ PA. Lmg

oleh PTA No. 124/ Pdt. G/2011/ PTA. Sby Tentang Pembuk tian dalam Perk ara Harta Bersama, ( Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013).


(24)

16

bersama sedapat mungkin diajukan setelah terjadi perceraian”. Jadi hanya dapat dilakuakan penyitaan saja dalam hal perkara permohonan izin poligami yang fungsinya untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab tanpa dilakukan pembagian harta bersama. Dan dari ke tiga hakim yang diwawancarai memberikan pendapat hampir sama bahwa penetapan harta bersama merupakan keharusan dalam perkara izin poligami karena telah menjadi hukum acara sejak berlakunya buku II Pedoman Administrasi Peradilan Agama Revisi 2010. 23

5. Skripsi yang disusun oleh M. Sapuan ( 2009 ), yang berjudul, “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sengketa Harta Bersama ( Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor160/Pdt. G/ 2005/ PA. Yk). Dalam skripsi ini pokok kajiannya tentang pertimbangan hakim yang membagi harta bersama yang sesuai dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Bukti-bukti yang diajukan penggugat dan berdasarkan pengakuan tergugat dipersidangan menguatkan gugatan penggugat. Selain itu juga, dalam penyelesaian pembagian harta bersama ini hakim juga langsung melihat obyek sengketa. Dalam

23Zulfa Aminatuz Zahro’, Analisis Yuridis Terhadap Dasar Pertimbangan Hak im dalam Menetapk an

Harta Bersama Tanpa adanya Perceraian di PA Malang ( Studi Kasus Perkara No. 2198/ pdt. G/ 2012. PA. Mlg), (Skripsi -- UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013).


(25)

17

peninjauannya hakim menemukan fakta-fakta yang menguatkan gugatan penggugat.24

Secara umum, pembahasan dalam skripsi yang telah disebutkan di atas membahas masalah harta bersama. Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti lebih lanjut mengenai harta bersama dari segi Yuridis tentang asas keadilannya. penelitian ini juga memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya, antara lain:

1. Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Mojokerto yang sebelumnya belum pernah di bahas.

2. Dalam penelitian ini mengkaji dengan menggunakan “Analisis Yuridis Putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/ PA.Mr Tentang Pembagian Harta Bersama Di Pengadilan Agama Mojokerto.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang dirumuskan diatas, pembahasan ini bertujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam menetapkan putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr tentang pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto.

24M. Sapuan, Tinjauan Huk um Islam Terhadap Sengk eta Harta Bersama ( Studi Putusan Terhadap

Pengadilan Agama Yogyak arta Nomor: 160/ Pdt. G/2005/PA. Yk ), ( Skripsi --UIN Sunan Kali Jaga, 2009)


(26)

18

2. Mengetahui Relevansi pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam menetapkan putusan No. 0042/Pdt. G/ 2016/PA.Mr dengan pasal 35, pasal 41, dan Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 149, pasal 156, dan 229 Kompilasi Hukum Islam.

F. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini, diharapkan mempunyai nilai guna dan dapat bermanfaat, sekurang-kurangnya dalam dua hal di bawah ini:

1. Kegunaan teoretis : untuk mengembangkan khazanah intelektual pada umumnya dalam rangka menambah wawasan tentang pembagian harta bersama terutama yang mempunyai relevansi dengan skripsi ini.

2. Kegunaan praktis : untuk bahan pertimbangan dan Menambah wawasan dengan menerapkan teori dan praktek dalam lingkungan Pengadilan Agama dan juga sebagai sumbangan informasi kepada masyarakat yang memerlukan.

G. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap skripsi ini, maka penulis menganggap perlu untuk menjelaskan maksud dan istilah dalam penelitian ini, diantaranya :

Yuridis : peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.


(27)

19

Harta Bersama : harta yang diperoleh oleh suami-istri selama

perkawinan. Tanpa mempersoalkan atas nama siapapun kecuali hibah atau warisan.

Putusan Pengadilan Agama Mojokerto No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr

: putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Mojokerto untuk memutuskan perkara pembagian harta bersama ( harta gono-gini) antara Supriyono (penggugat) melawan Titik Wijayanti (Tergugat) bahwasanya selama proses perceraian sampai sekarang sudah menanggung beban pengusahan dan biaya hidup anak yang mestinya ditanggung oleh penggugat sehingga hakim memutuskan istri mendapatkan bagian lebih besar dari pada suami dengan dasar yang digunakan adalah asas keadilan.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis suatu yang diteliti sampai menyusun laporan. Dalam metode penelitian ini penulis mencantumkan antara lain :25

1. Data yang dikumpulkan


(28)

20

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam putusan harta bersama PA Mojokerto Nomor: 0042/Pdt. G/2016/PA. Mr.

2. Sumber data

Sumber data yang diambil dalam penelitian ini terdiri atas : a. Sumber Data primer

Sumber data primer adalah sumber yang bersifat utama dan penting yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian.26 Dalam hal ini adalah data

yang diperoleh dari berkas putusan hakim mengenai harta bersama nomor perkara 0042/ Pdt. G/ 2016/ PA. Mr.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer.27 Penulis menggunakan wawancara sebagai data

sekunder karena wawancara dapat menunjang dan mendukung data primer. Wawancara dalam penelitian ini adalah majelis hakim yang menangani perkara harta bersama nomor 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr. Majelis hakim dalam hal ini adalah Bapak H. Ali Hamdi, S.Ag, M.H sebagai ketua Majelis. Drs. H. Ah. Thoha, S.H, M.H dan H. Sofyan Zefri, S.HI, M.Si sebagai Hakim Anggota.

26 Ibid., 85 27Ibid.


(29)

21

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:28

a. Metode interview, yaitu termasuk bentuk komunikasi langsung antara peneliti dengan Ketua Pengadilan Agama atau Hakim Pengadilan Agama Mojokerto dan Sekretaris Pengadilan Agama Mojokerto.

b. Studi dokumentasi, yaitu dengan cara mempelajari berkas perkara dan mengambil data yang diperoleh melalui dokumen atau data tertulis tersebut. dalam hal ini dokumen terkait putusan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor: 0042/Pdt.G/2016/PA. Mr.

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang terkumpul baik dari lapangan maupun dari pustaka, diolah dengan menggunakan teknik :29

1) Editing, yaitu memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yaitu, kesusuian, kelengkapan, kejelasan, relevansi dan keseragaman dengan permasalahan.

2) Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sehingga menghasilkan bahan untuk menyususun laporan skirpsi ini.

5. Teknik Analisis Data

28Sugiono, Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif, Cet VI (Bandung: Alfabeta , 2008), 231. 29Ibid.,


(30)

22

Sesuai dengan arah studi yang dipilih maka teknik analisis data yang digunakan dalam Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif, yaitu menggambarkan secara sistematis mengenai penetapan gugaatan harta bersama di Pengadilan Agama Mojokerto No. 0042/Pdt, G/2016/PA. Mr, sehingga menghasilkan pemahaman yang konkrit, kemudian dikemukakan teori-teori yang bersifat umum tentang harta bersama dan undang-undang yang berlaku untuk selanjutnya di terapkan di pola khusus berupa data yang diperoleh dari penetapan putusan Hakim terhadap gugatan bersama di Pengadilan Agama Mojokerto Nomor: 0042/Pdt.G/2016/PA. Mr. yang menetapkan bagian istri mendapatkan lebih besar karena kelalaian tanggung jawab suami dalam pembagian harta bersama tersebut.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam pembahasan dan penyusunan skripsi ini maka penulis akan menguraikan pembahasan ini kedalam beberapa bab yang sistematika pembahasannya sebagai berikut:

Bab pertama merupakan penduhuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan landasan teori yang membahas tentang harta bersama yang meliputi pengertian harta bersama, klasifikasi harta dalam perkawinan,


(31)

23

macam-macam harta dalam lembaga hukum, pembagian harta bersama. Serta tanggung jawab terhadap anak akibat perceraian.

Bab ketiga merupakan data hasil penelitian yang menjelaskan tentang struktur organisasi Pengadilan Agama Mojokerto, wilayah kekuasaan Pengadilan Agama Mojokerto, duduk perkara dan landasan hukum yang dipakai Hakim Pengadilan Agama Mojokerto dalam putusan No. 0042/Pdt. G/2016/PA.Mr.

Bab Keempat merupakan kajian analisis atau jawaban dari rumusan permasalahan dalam penelitian ini meliputi, analisis terhadap pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan Agama Mojokerto dalam putusan No. 0042/Pdt. G/2016/PA.Mr dan relevansinya dengan pasal 35, pasal 45, pasal 47 dan pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 97, pasal 98, pasal 105, pasal 106 dan 226 Kompilasi Hukum Islam.

Bab lima merupakan penutup yang memuat kesimpulan dari jawaban rumusan masalah dan saran.


(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA, PEMELIHARAAN ANAK (HAD{ONAH) DAN ASAS ULTRA PETITA PARTIUM A. Pengertian Harta Bersama

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian, kematian atau putusan pengadilan.

Harta bersama meliputi:

a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;

b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian, atau warisan apabila tidak ditentukan demikian;

c. Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yag merupakan harta pribadi masing-masing suami-isteri.1

Secara etimologis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harta bersama terdiri dari dua kata yaitu, harta dan bersama.2 Harta adalah barang-barang,

uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan. Sedangkan bersama adalah seharta, semilik. Jadi, pengertian harta bersama menurut terminologis adalah

1 Rosnidar Sembiring, Huk um Keluarga (harta-harta benda dalam Perk awinan), ( Jakarta: Rajawali

Pers, 2016), 91


(33)

26

barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan yang diperoleh suami-isteri secara bersama-sama dalam perkawinan.

Menurut pasal 35 ayat (1) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa harta bersama suami isteri hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami-isteri sepanjang perkawinan sehingga yang termasuk harta bersama adalah hasil dan pendapatan suami, hasil dan pendapatan isteri.3

Dalam istilah Fikh muamalat, harta bersama dapat dikategorikan dengan

Syirkah atau join antara suami isteri. Syirkah menurut bahasa adalah al-ikhtilat (percampuran), sedangkan menurut istilah adalah akad anatara 2 orang arab yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. 4Secara umum,

beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian, sedangkan istri sebagai rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian yang lebih luas, sejalan dengan tuntutan perkembangan, istri juga dapat melakukan pekerjaan yang mendatangkan kekayaan. Jika yang pertama, digolongkan ke dalam syirkah al-abdan, modal dari suami, istri andil jasa dan tenaganya. Yang kedua, dimana masing-masing mendatangkan modal, dikelola bersama, disebut dengan syirkah ‘inan.

Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan

3 Rosnidar Sembiring, Huk um Keluarga (harta-harta benda dalam perk awinan), Op. cit., 92. 4 Sayid Sabiq, Terjemah Fiqh Sunnah, juz 13 ( Bandung: al maarif, 1987),193.


(34)

27

perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta peninggalan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami isteri, dan barang-barang hadiah. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami isteri bersangkutan.5

Sesungguhnya harta perkawinan ini merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami isteri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami isteri dan anak-anaknya didalam satu “somah” (serumah).6

Dalam hukum adat yang berlaku di beberapa lingkungan hukum daerah tertentu, meski secara materiil dikenal harta masing-masing suami atau isteri dan harta bersama, istilah yang digunakan berbeda-beda. Di jawa misalnya harta benda yang diperoleh sebagai warisan atau turun-temurun, disebut dengan harta gono-gini atau gawan, di sumatera disebut pusaka, dan di Sulawesi disebut sisila. Harta tersebut tidak dapat dibagi secara perseorangan.7

Jadi, tentang harta bersama ini, suami atau isteri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut

5 Hilman Hadikusumo, Huk um Perk awinan adat, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), 156. 6 Ibid.


(35)

28

diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah mejadi harta bersama, tidak menjadi masalah juga apakah istri maupun suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.

B. Dasar Hukum Harta Bersama

Perkawinan yang dilangsungkan antara suami isteri memiliki 3 (tiga) akibat hukum, yaitu: pertama, akibat dari hubungan suami isteri. Kedua,

akibat terhadap harta perkawinan; dan ketiga, akibat terhadap anak yang dilahirkan. Persoalan harta benda dalam perkawinan sangat penting karena salah satu faktor yang cukup signifikan tentang bahagia dan sejahtera atau tidaknya kehidupan rumah tangga terletak pada harta benda. Walaupun kenyataan sosialnya menunjukkan masih adanya keretakan hidup berumah tangga bukan disebabkan harta benda, melainkan faktor lain. Harta benda merupakan penopang dari kesejahteraan tersebut.8 Hukum harta bersama

sering kali kurang mendapat perhatian yang saksama dari para ahli hukum, terutama para praktisi hukum yang semestinya harus memperhatikan hal ini secara serius, karena masalah harta bersama merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami isteri apabila ia telah terjadi perceraian. Hal ini mungkin disebabkan karena munculnya harta bersama ini


(36)

29

biasanya apabila sudah terjadi perceraian antara suami isteri, atau pada saat proses perceraian sedang berlangsung di Pengadilan Agama, sehingga timbul berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku.9

Pada dasarnya tidak ada pencampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami isteri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indoensia.10 Yang kemudian konsep

ini didukung oleh Hukum Islam dan Hukum Positif yang berlaku di Negara Indonesia.

Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-Undang dan peraturan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimasksud dengan harta bersama adalah “harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama.

2. Kompilasi Hukum Islam pasal 85 disebutkan bahwa, “adanya harta bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”. Di dalam pasal ini disebutkan

9 Abdul Manan, Anek a Masalah Huk um Perdata, (Jakarta: Kencana, 2006), 103.


(37)

30

adanya harta bersama dalam perkawina, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-istri.

Sedangkan dalam Hukum islam tidak membicarakan secara rinci tentang harta bersama. Dalam Al-Quran dan Sunnah serta berbagai kitab-kitab hukum fiqh, harta bersama tidak diatur dan tidak ada pembahasannya seolah-olah harta bersama kosong dan vakum dalam hukum islam. Namun dalam hukum islam dijelaskan bahwa dalam perkawinan laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada wanita dan keluarganya. Dan wanita wajib menjaga apa yang telah diberikan laki-laki (suami) kepadanya dengan sebaik mungkin. Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak. Demikian pula halnya bilamana suami saja yang bekerja, berusaha dan mendapat harta, tidak dapat dikatakan bahwa harta itu hanya harta suami melainkan harta suami istri, hal ini sebagaimana termaktub dalam firman allah Q.S. An-Nisa’: 32

… “

َْبَسَتْكا اِِّ ٌبيِصَن ِءاَسّنلِلَو اوُبَسَتْكا اِِّ ٌبيِصَن ِلاَجّرلِل

“…

“… (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan …”

C. Konsepsi Harta Bersama 1. Berdasarkan hukum adat

Dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami isteri, maka harta perkawina


(38)

31

dapat digolongkan ke dalam beberapa macam, sebagaimana di bawah ini:11

a. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan, yaitu “harta bawaan”.

Dalam hal ini harta bawaan ini dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan isteri, yang masing-masing masih dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat. Dan harta pemberian/hadiah.

a) Harta peninggalan adalah harta harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris bersama, dikarenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli waris. Para ahli waris hanya mempunyai hak memakai, seperti haknya “ganggam bauntui” terhadap harta pusaka di Minangkabau atau juga di Ambon.

Di daerah Lampung beradat pepaduan didalam perkawinan anak tertua lelaki (“anak punyimbang”) akan selalu diikut sertakan dengann harta peninggalan orang tua untuk mengurus dan membiayai kehidupan adik-adiknya. Demikian pula dengan kedudukan seorang isteri sebagai “tunggu tubing” di daerah


(39)

32

Semendo. Apabila harta peninggalan itu karena sesuatu kebutuhan hidup yang mendesak akan dijual, maka yang menguasai harta harus meminta pendapat dan persetujuan dari ahli waris yang lain.12

b) Harta warisan yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan rumah tangga (“pimbit”, Daya Ngaju; “sisila”, Ujungpandang; “babaktan”, Bali; “gawan”, “gana”, Jawa; dll.).

Barang-barang bawaan isteri berasal dari pemberian barang-barang warisan orang tuanya seperti “sesan” di Lampung, didalam bentuk perkawinan jujur, setelah terjadi perkawinan dikuasai oleh suami untuk dimanfaatkan guna kepentingan kehidupan rumah tangga keluarga.13

Di daerah Pasemah harta asal warisan yang diikutsertakan orangtua pada mempelai wanita ke dalam perkawinan nampaknya tetap menjadi hak penguasaan dan pemilikan isteri untuk diwariskan pada anak-anaknya. Jika ia meninggal sebelum mempunyai keturunan maka barang bawaan ini dapat diwarisi oleh

12 Ibid., 158. 13 Ibid.


(40)

33

suaminya, tetapi jika bercerai maka barang-barang itu dibawanya kembali ke tempat asalnya. Di daerah lampung dan Batak yang melarang terjadinya perkawinan perceraian dari suatu perkawinan jujur, amak isteri tidak berhak membawa kembali barang-barang pemberian orang tua dan erabatnya yang telah masuk daam perkawinan. Apabila kerabat isteri meminta kembali barang-barang bawaan itu, berarti menghendaki pecahnya hubungan kekerabatan antar besan, maka uangjujur harus juga dikembalikan lagi. Apabila hal ini sampai terjadi maka pertentangan akan terjadi berlarut-larut, dan kerabat bersangkutan dapat didenda oleh masyarakat adat dikarenakan merusak adat.14

c) Harta hibah/wasiat yang dimaksud disini adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari hibah/wasiat anggota kerabat, misalnya hibah/wasiat dari saudara-saudara ayah yang keturunanya putus. Harta bawaan hibah/wasiat ini dikuasai oleh suami atau isteri yang menerimanya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan keluarga rumah tangga dan lainnya sesuai dengan “amanah”, Lampung, “weling”, Jawa) yang mempunyai harta itu. Harta hibah/wasiat ini kemudian


(41)

34

dapat diteruskan pada ahli waris yang ditentukan menurut hukum adat setempat.15

d) Harta pemberian/hadiah adalah harta/barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian/hadiah para anggota kerabat dan mungkin juga orang lain karena hubungan baik. Misalnya ketika akan melangsungkan perkawinan anggota kerabat member mempelai pria ternak untuk dipelihara guna bekal kehidupan rumah tangganya, atau anggota kerabat wanita memberi mempelai wanita barang-barang perabot rumah tangga untuk dibawa kedalam perkawinan sebagai barang bawaan (“sesan”, Lampung).16

Ada yang berpendapat bahwa antara barang-barang yang dikuasai atau dimiliki suami istrei yang berasal dari warisan terpisah kedudukannya dari yang berasal dari hibah, sampai barang-barang tersebut dapat diteruskan pada anak-anak mereka. Oleh karena kedudukan barang warisan itu adalah hak penguasaan dan pemilikan suami atau istrei bersangkutan dalam hubungan dengan pewarisnya. Jadi jika suami dan isteri putus perkawinan karena salah satu wafat atau karena cerai hidup tanpa meninggalkan anak, maka harta bawaan asal warisan itu harus

15 Ibid. 16 Ibid.


(42)

35

kembali keluarga asal, sedangkan harta bawaan asal hibah akan dikuasai oleh ahli waris dari yang wafat.17

Pendapat demikian tentunya tidak sesuai dengan kedudukan harta perkawinan dalam susunan masyarakat adat yang patrinial yang menganut adat perkawinan jujur seperti yang berlaku dikalangan masyarakat adat lampung pepadun, oleh karena disini pada dasarnya baik isteri maupun harta bawaannya setelah masuk dalam ikatan perkawinan manejadi milik bersama yang dikuasai oleh suami dan diatur serta dimanfaatkan bersama dengan isteri. Tegasnya dikalangan masyarakat lampung beradat pepadun tidak dibolehkan adanya cerai isteri dan cerai harta perkawinan. Begitu pula sebaliknya dalam susunan kekarabatan matrinial dengan bentuk perkawinan semenda pada dasarnya semua harta perkawinan itu dikuasai isteri dan dimanfaatkan bersama-sama dengan suami.18

Ada kemungkinan isteri dalam perkawinan jujur dengan suami mendapat pemberian barang tetap dari orang tua atau kerabatnya (“Tanoh sesan”, Lampung; ‘Tano atau Saba Bangunan”, “Tano Pauseang” atau “indahan arian”, Batak). Barang tetap seperti ini walaupun sudah menjadi barang bawaan, namun oleh karena

17 Ibid., 160. 18 Ibid.


(43)

36

letaknya masih ditempat kerabat isteri, maka pengawasannya masih dipengaruhi oleh kekuasaan kerabat isteri. Dengan demikian penguasaan suami atas tanah tersebut masih dibatasi oleh kekuasaan kerabat isteri.19

b. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istrei secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “harta penghasilan”.

Adakalanya suami atau isteri sebelum melangsungkan perkawinan telah menguasai dan memiliki harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun barang bergerak, yang didapat mereka dari hasil usaha dan tenaga fikiran sendiri, termasuk juga hutang piutang perseorangannya. Adanya harta atau barang hasil usaha sendiri ini tidak saja terdapat di kota-kota dikalangan anggota masyarakat yang telah maju, tetapi juga terdapat dikalangan masyarakat tani di daerah pedesaan. Harta peninggalan pribadi ini terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, pemiliknya dapat saja melakukan transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa bermusyawarah denga para anggota kerabat yang lain.20

Setelah terjadinya perkawinan harta kekayaan pribadi isteri akan bertambah dengan adanya pemberian barang-barang dari suami sebagai “pemberian perkawinan”, seperti “jiname” di Aceh, “hook” di

19 Ibid., 161. 20 Ibid.


(44)

37

Minahasa atau “sunrang” di Sulawesi Selatan, serta “mas kawin” pada umumnya berlaku dikalangan masyarakat beragama islam; termasuk pemberian-pemberian yang bersifat peibadi lainnya dan juga mungkin “barang-magis” atau “denda adat” yang harus dibayar suami kepada isteri, seperti terdapat di Kalimantan.21

Di daerah Sumatera selatan harta kekayaan penghasilan suami sebelum perkawinan disebut “harta pembujangan”, sedangkan harta isteri sebelum perkawinan disebut “harta penantian”. Di bali agaknya tidak dibedakan apakah hasil isteri atau suami sebelum perkawinan, kesemuanya disebut “guna kaya”. Di Aceh setelah perkawinan adakalanya suami mendapat penghasilan sendiri dari hasil usahanya sendiri, terpisah dari harta pencaharian, apabila dalam ia berusaha itu isteri tidak memberikan dasar modal-kebendaan, misalnya hasil yang didapat dari pergi merantau berdagang, yang ketika kepergiannya itu tanpa dibekali modal dari istreinya.22

Di jawa Tengah dalam bentuk perkawinan “manggih kaya” semua hasil pencaharian suami yang diperoleh dalam ikatan perkawinan milik suami itu sendiri, oleh karena suami seorang kaya sedangkan istrei miskin. Walau[un istrei ikut membantu suami dalam

21 Ibid. 22 Ibid.


(45)

38

melaksanakan uasaha itu, tetapi ia tidak berhak atas penghasilannya, ia hanya kan mendapat pemberian dari suami atas dasar belas kasih.23

c. Harta yang diperoleh/dikuasai suami dan isteri bersama-sama selama perkawinan, yaitu “harta pencaharian”.

Setelah perkawinan dalam usaha suami isteri membentuk dan membangun rumah tangga keluarga yang bahagia dan kekal, mereka berusaha dan mencari rezeki bersama-sama, sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan dapat terwujud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama, yang dalam hal ini kita sebut dengan “harta pencaharian”. Tidak merupakan persoalan apakah dalam mencari harta kekayaan itu, suami aktif bekerja sedangkan isteri mengurus rumah dan anak-anak, kesemua harta kekayaan yang didapat suami isteri itu adalah hasil pencaharian mereka yang berbentuk, “harta bersama suami isteri” (“harta suarang”, Minangkabau; “harta perpantangan”, Kalimantan Selatan; “Cakkara”, Bugis Ujungpandang, “druwe gabro”, Bali; “barang gini”, “gana-gini”, Jawa; “guna kaya”, sunda;).24

Adakalanya dalam melaksanakan usaha bersama suami isteri mencari hasil pencaharian mereka bersifat saling bantu mebantu, misalnya suami mencangkul, isteri menanam bibit; suami berbelanja mencari barang dagangan, isteri menunggu di took dll. Atau bukan

23 Ibid, 162. 24 Ibid., 163.


(46)

39

saja bantu membantu tenaga melainkan saling memasukkan modal kerja yang mungkin berasal dari harta bawaan mereka masing-masing, guna mendapatkan keuntungan dari usaha bersama itu. Di dalam melaksanakan usaha dan memanfaatkan harta pencaharian selanjutnya suami isteri bermufakat dan mengambil keputusan serta persetujuan bersama. Keputusan yang diambil oleh suami tisak semua harus dianggap telah disepakati isteri, oleh karena keputusan suami dapat ditolak oleh isteri dengan nyata dikarenakan ia tidak setuju.25

Jadi, menurut hukum adat ada kemungkinan isteri ikut bertanggung jawab atas hutang suami, bahkan adakalanya anggota kerabat yang lain ikut pula menanggung hutang itu, tetapi kebanyakan juga berlaku isteri tidak dapat diikut sertakan bertanggung jawab atas hutang suami yang tidak diketahui dan disetujuinya. Di lingkungan masyarakat adat kekerabatan yang kuat pengaruhnya hutang suami atau hutang isteri merupakan hutang bersama, sedangkan di lingkungan masyarakat adat yang tidak bersendikan kekerabatan hal itu perlu ada pemisahan. d. Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan

sebagai hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan”.

Semua harta asal pemberian ketika upacara perkawinan merupakan hadiah perkawinan, baik yang berasal dari pemberian para anggota kerabat maupun bukan anggota kerabat. Tetapi dilihat dari


(47)

40

tempat, waktu dan tujuan dari pemberian hadiah itu, maka harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai pria, yang diterima oleh mempelai wanita dan yang diterima kedua mempelai bersama-sama ketika upacara resmi pernikahan.26

Hadiah perkawinan yang diterima mempelai pria sebelum upacara perkawinan, misalnya berupa uang, ternak dll., dapat dimasukkan dalam harta bawaan suami, sedangkan yang diterima mempelai wanita sebelum upacara perkawinan masuk dalam harta bawaan isteri. Tetapi semua hadiah yang disampaikan ketika kedua mempelai duduk bersanding dan menerima ucapan selamat dari para hadirin adalah harta bersama kedua suami isteri, yang terlepas dari pengaruh orang tua yang melaksanakan upacara perkawinan itu yang kedudukan hartanya diperuntukkan bagi kedua mempelai bersangkutan.27

Hadiah perkawinan yang berat dan berharga disimpan untuk dimanfaatkan kedua suami isteri dalam pergaulan adat dan atau untuk dimanfaatkan bagi kepentingan membangun rumah tangga. Barang-barang hadiah ini merupakan hak milik bersama yang dapat ditransaksikan atas kehendak dan persetujuan bersama suami isteri. Di

26 Ibid., 165. 27 Ibid.


(48)

41

daerah-daerah lain barang-barang hadiah perkawinan bercampur dengan harta pencaharian.28

Apabila terjadi pemberian hadiah uang atau barang oleh suami kepada isteri pada saat pernikahan yyang dalam hal ini merupakan “pemberian perkawinan suami”, seperti “jinamee” (Aceh), “sunrang” (Sulawesi Selatan) atau “Hoko” (Minahasa) begitu pula pemberian perhiasan dari suami kepada isteri di Tapanuli, maka kedudukan pemberian suami ini sama dengan “mas kawin” yang menjadi milik dari isteri itu sendiri. Suami tidak boleh menggunakan barang-barang tersebut tanpa ada persetujuan dari isteri.

2. Berdasarkan hukum islam dan Kompilasi Hukum Islam

Dalam kitab-kitab fikih tradisional, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka terikat oleh tali perkawinan, atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami isteri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang

lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi.29

Di dalam kitab-kitab fiqih bab khusus tentang pembahasan syarikat yang sah dan yang tidak sah. Di kalangan madzah Syafi’I terdapat empat

28 Ibid., 166.


(49)

42

macam yang disebutkan harta syarikat (disebut juga syarikat, syarkat, dan

syirkat ), yaitu :30

(1) Syarikat ‘inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu, misalnya bersyarikat di dalam membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka.

(2) Syarikat abdan, yaitu dua orang atau lebih bersyarikat masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya (upahnya) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat, seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan di laut, berburu, dan kegiatan seperti menghasilkan lainnya.

(3) Syarikat muwafadhoh, yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya masing-masing di antara mereka mengeluarkan modalnya, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya, masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain;

(4) Syarikat wujuh, yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta, yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka.

30T. Jafizham, Persentuhan Huk um di Indonesia dengan Huk um Perk awinan Islam, ( Medan: Percetakan Mustika, 1997), 119.


(50)

43

Terhadap pembagian harta syarikat sebagaimana tersebut diatas, hanya syarikat ‘inan yang disepakati oleh semua pakar hukum islam, sedangkan tiga syarikat lainnya masih diperselisihkan kabsahannya.31

Meskipun pembagian syarikat seperti yang dikemukakan dibagi menjadi empat macam dilaksanakan oleh para pakar hukum islam di kalangan mazhab syafi’I, tetapi dalam praktik peradilan mereka hanya mengakui syarikat ‘inan saja. Para pakar hukum islam di kalangan madzhab Hanafi dan Maliki dapat menerima syarikat ini karena syarikat

tersebut merupakan muamalah yang harus dilaksanakn oleh setiap orang dalam rangka mempertahankan hidupnya. Syarikat itu dapat dilaksanakan asalkan tidak dengan paksaan, dan dilaksanakan dengan iktikad yang baik. Jika salah satu pihak merasa tidak cocok lagi melaksanakan perkongsian yang disepakati, maka ia dapat membubarkan perkongsian itu secara baik dan terhadap hal ini tidak dapat diwariskan.32

Mengenai sudut pandang Hukum Islam terhadap harta bersama ini adalah sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ismail Muhammad Syah bahwa pencarian harta bersama suami isteri mestinya masuk dalam rub’u mu’amalah, tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fiqih

31Abdul Manan, Anek a Masalah Huk um Perdata, ... , 110. 32Ibid.


(51)

44

adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya adat mengenai pencarian bersama suami isteri itu. Tetapi dibicarakan tentang perkongsian yang dalam bahasa Arab disebutkan syarikat atau syirkah. Oleh karena masalah pencarian bersama suami isteri adalah termasuk perkongsian atau syirkah, maka untuk mengetahui hukumnya perlu dibahas lebih dahulu tentang macam-macam perkongsian sebagaimana telah dibicarakan oleh para ulama dalam kitab fikih.33 Harta bersama dalam perkawinan itu

digolongkan dalam bentuk syarikat abdan dan muwafadhoh sebagimana yang telah dikemukakan diatas. Suatu hal yang penting untuk dicatat bahwa doktrin hukum fikih tidak ada yang membahas secara rinci tentang masalah harta bersama suami isteri dalam perkawinan. Dalam kitab-kitab fikih disebutkan hanya secara garis besar saja sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap suatu masalah yang mereka hadapi dalam kenyataannya. Namun demikian, para pakar hukum islam di Indonesia ketika merumuskan Pasal 85-97 Kompilasi Hukum Islam setuju untuk mengambil syarikat abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami isteri dalam kompilasi. Para perumusan Kompilasi Hukum Islam melakukan pendekatan dari jalur

syarikat abdan dengan hukum adat. Cara pendekatan yang demikian ini

33Abd. Rasyid As’ad, Gono-gini dalam Prespek tif Huk um Islam, Jurnal Pengadilan Agama, (Oktober 2010), 2.


(52)

45

tidak bertentangan dengan kebolehan menjadi ‘Urf34 sebagai sumber

hukum dan sejiwa dengan kaidah yang mengajarkan “al’adatu

muhakkamah”.35

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 91 menyatakan bahwa wujud harta bersama itu antara lain: pertama, Harta bersama sebagai tersebut dalam pasal 85 dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud, kedua, harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda bergerak, tidak bergerakdan surat-surat berharga lainnya, ketiga, harta bersama yang tidak bergerak dapat berupa hak dan kewajiban, keempat, harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh slaah satu pihak atas persetujuan yang lain.36 Sementara Pasal 92 Kompilasi Hukum islam berbunyi, “suami

atau istri tanpa persetujuan para pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama”.

3. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35-37 dikemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing suami isteri terhadap

34Urf seakar dengan kata Ma’ruf adalah sesuatu yang dianggap baik oleh manusia dan dijalankannya, baik berupa ucapan, perbuatan, atau meninggalkan suatu perbuatan. Urf disebut juga adat. Urf ada dua, pertama urf shahih yaitu kebiasaan yang baik, dan harus dipelihara baik oleh hakim maupun mujtahid. Kedua, urf fasid yaitu kebiasaan yang merusak, ini harus dibatalkan. Abd al- wahab Khalaf, ilm Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Maktabah al- Da’wiyah al-islamiyah, 1410 H/1990 M), 89-90.

35Abdul Manan, Anek a Masalah Huk um Perdata, ... ,111.

36Abdul Manan dan M. Fauzan. Pok ok -pokok Huk um Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 75.


(53)

46

harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau isteri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing.37

Menurut Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam bahwa isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menentukan terhadap harta tersebut tanpa ikut campur suami atau isteri untuk menjualnya, dihibahkan, atau menggunakan. Juga tidak diperlukan bantuan hukum dari suami untuk melakukan tindakan hukum atas harta pribadinya. Tidak ada perbedaan kemampuan hukum antara suami isteri dalam menguasai dan melakukan tindakan terhadap harta benda pribadi mereka. Undang-Undang tidak membedakan kemampuan melakukan tindakan hukum terhadap harta pribadi suami isteri msing-masing. Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam,


(54)

47

dimana ditegaskan bahwa tidak ada percampuran antara harta pribadi suami isteri karena perkawinan dan harta isteri tetap mutlak menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya. Begitu juga harta pribadi suami menjadi hak mutlak dan dikuasai penuh olehnya.38

Sebenarnya apa yang disebut dalam Pasal 35-37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagaimana dijelaskan pada sebelumnya, sejalan dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Indonesia. Dalam konsepsi hukum adat tentang harta bersama yang ada di Nusantara ini banyak ditemukan prinsip bahwa masing-masing suami isteri berhak menguasai harta bendanya sendiri dan ini berlaku sebagaimana sebelum mereka menjadi suami isteri. Hanya saja apabila ditinjau dari pendekatan filosofis, dimana perkawinan tidak lain dari ikatan lahir batin diantara suami isteri guna mewujudkan rumah tangga yang kekal dan penuh dalam suasana kerukunan, maka hukum adat yang mengharapkan adanya komunikasi yang terbuka dalam pengelolaan dan penguasaan harta pribadi tersebut, sangat perlu dikembangkan sikap saling menghormati, saling membantu, saling bekerja sama dan saling bergantung. Dengan demikian, keabsahan menguasai harta pribadi

38Ibid., 106.


(55)

48

masing-masing pihak itu jangan sampai merusak tatanan kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.39

Mengenai harta kekayaan yang didapat sepanjang perkawinan inilah yang akan dibagi jika perkawinan itu putus, baik karena perceraian, kematian ataupun putusan pengadilan. Penetapan harta bersama dalam perkawinan sangat penting sebagai penguasaan terhadap harta bersama hal perkawinan masih berlangsung serta pembagian harta bersama dilakukan ketika terjadi putusnya perkawinan. Selain itu ketentuan harta bersama dalam Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa itu berasal, sehingga boleh disimpulkan bahwa yang termasuk dalam harta bersama adalah: 1. Hasil dan pendapatan suami selama perkawinan; 2. Hasil dan pendapatan istri selama masa perkawinan; 3. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal smeuanya diperoleh selama masa perkawinan.40

D. Pemeliharaan Anak (Had{onah)

Pada dasarnya tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban orang tuanya, baik kedua orang tuanya masih hidup rukun atau ketika perkawinan mereka gagal karena per ceraian.

39Ibid., 107.


(1)

89

“perceraian” dan itu harus diperhatikan. Itulah yang menjadi dasar hakim untuk

mencoba berpikir pogresif hukum. Mengenai ayah masih tetap memberikan nafkah itu beda lagi karena itu merupakan kewajiban murni berdasarkan undang-undang. Bapak tetap berkewajiban memberi nafkah untuk anak menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Hal ini berdasarkan menurut pasal 149 huruf d juncto pasal 156 huruf d Kompilasi hukum Islam. Artinya, pemberian nafkah anak tersebut tidak berangkat dari harta bersama melainkan dari penghasilan

nafkah bulanan.

Oleh karena itu, putusan hakim dalam perkara 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr ini sudah memenuhi unsur keadilan sebagaimana pada pasal 229 Kompilasi Hukum

Islam bahwa, “hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan

kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.

Dengan demikian, pembagian harta bersama tidak selamanya di bagi sama rata sebagaimana pada pasal 97 Kompilasi Hukum Islam karena dalam penerapannya hakim akan mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya faktor sosiologis terhadap suatu peristiwa yang terjadi.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dasar Hukum Hakim yang digunakan adalah pasal 35 UU No.1 Tahun 1974, 97 Kompilasi Hukum islam dan rasa keadilan dengan mempertimbangkan kesusahan yang ditanggung dalam pemeliharaan dan pembiayaan anak-anak sejak proses perceraian yang sampai sekarang ditanggung oleh Tergugat baik keperluan harian maupun pendidikan, sehingga potensi beban kebutuhan hidup yang ditanggung oleh Tergugat adalah lebih besar dari Penggugat. Sehingga tidak adil apabila pembagian dibagi sama rata.

2. Pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam menetapkan putusan No. 0042/Pdt.G/2016/PA. Mr terdapat relevansi dengan pasal 35, pasal 41, dan pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 149, pasal 156 dan pasal 229 Kompilasi Hukum Islam, tetapi tidak ada relevansi dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Ketidakrelevanan putusan hakim dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dikarenakan Hakim lebih mengindahkan pasal 229 Kompilasi Hukum Islam, “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai

dengan rasa keadilan”. Dalam putusannya hakim, istri diberi 2/3 dari harta


(3)

92

sesuai dengan dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam: “janda atau duda

cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Hakim lebih memilih menggali nilai keadilan (Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam). Karena ada fakta hukum suami (penggugat) tidak menanggung biaya dua anaknya sejak perceraian sampai gugatan harta bersama ini diajukan. Padahal menurut pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 149, pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, suami harus menanggung biaya pemeliharaan anak sampai usia 21 Tahun. Apa yang diputuskan oleh hakim tidaklah ultra Petita karena hakim dalam memutuskan perkara masuk pada petitum subsidernya, yaitu apabila majelis hakim berpendapat lain, agar diputus dengan seadil-adilnya.

B. Saran

1. Para hakim di harapkan selangkah lebih pogresif untuk memutusakan perkara walaupun itu bertentangan/ tidak selaras dengan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

2. Dalam menyelesaikan perkara hakim wajib menggali nilai-nilai yang ada dimasyarakat demi mengutamakan keadilan apalagi dalam perkara pembagian

harta bersama, anak harus diperhatikan sebagai akibat korban “perceraian”


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abidn, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat. Bandung: CU Pustaka Setia, 1999. Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika Presindo,

2004.

Ahmadi, Nanang. analisis atas kasus No. 283/Pdt.g/1992/PA. Pas Tentang Ketidakadilan Hakim dalam Proses Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Hukum Islam dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2002.

Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

As’ad, Abd. Rasyid. Gono-Gini dalam Prespektif Hukum Islam. Jurnal Pengadilan

Agama. Oktober 2010.

Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul. Kumpulan Hadits Shahih Bukhari Muslim, hadist ke-1115. Solo: Insan Kamil. 2010.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Bandung: Gema Risalah Press. T.t.

Hadikusumo, Hilman. Hukum Perkawinan adat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995.

Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, penyitaan, pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Jafizham,T. Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam. Medan: Percetakan Mustika, 1997

Jefri,Sofyan. wawancara, Mojokerto, 14 Maret 2017

Jones, Jamilah dan Abu Aminah BIlal Philips. Monogami Dan Poligami Dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya,. Jakarta: Sahifa, t.t. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bandung: Citra Umbara, 2008.


(5)

94

Mahkamah Agung RI. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama BUKU II. Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2014 Manan, abdul. penerapan Hukum Acara Perdata Di lingkungan Peradilan Agama.

Jakarta: Kencana, 2008.

---. Aneka Masalah Hukum Perdata. Jakarta: Kencana, 2006.

Manan, Abdul dan M. Fauzan. Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1993.

---. Sudikno. Penemuan Hukum sebuah pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1995. Nafisah, Lilik. Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan PA No. 2368/ Pdt. G/

2009/ PA. Lmg Oleh PTA No. 124/Pdt.G/2011/PTA. Sby Tentang Pembukt ian dalam Perkara Harta Bersama. Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013. Poerwardarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

1993.

Poesponoto, Soebakti. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.

Putusan Pengadilan Agama Mojokerto Kelas I-B No. 0042/Pdt.G/2016/PA.Mr Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

---. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat. Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Ranuhandoko, I.P.M.. Terminologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Perdailan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006

Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2013. Sabiq, Sayid. Terjemah Fiqh Sunnah, juz 13. Bandung: al maarif, 1987.


(6)

95

Salamah, Nur. Eksekusi Putusan Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama Gresik. Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2000.

Sapuan, M. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sengketa Harta Bersama ( Studi Putusan Terhadap Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor: 160/ Pdt. G/2005/PA. Yk. Skripsi --UIN Sunan Kali Jaga, 2009.

Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan. Bandung: Cipta Aditya Bakti, 1990.

Sembiring, Rosnidar. Hukum Keluarga (harta-harta benda dalam Perkawinan). Jakarta: Rajawali Pers. 2016.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 1997.

Sugiono. Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif, Cet VI. Bandung: Alfabeta, 2008. Sosroatmojo, Arso dan Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta:

Bulan Bintang, 1975.

Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian. Jakarta: Visimedia, 2003.

Thalib, sajuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum. Jakarta: Grahamedia press, 2014.

Usman, Muchlis. kaidah-kaidah Ushuliyah dan fiqhiyah (pedoman dasar dalam istinbath Hukum islam, Cet. Ke-4. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Zahro’, Zulfa Aminatuz. Analisis Yuridis Terhadap dasar Pertimbangan Hakim

dalam menetapkan Harta Bersama tanpa adanya Perceraian di PA Malang (Studi Kasus Perkara No: 2198/Pdt. G/ 2012/ PA. Mlg). Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.

Zaidun, Ahmad dan A. Ma’ruf Asrori. Terjemahan Kifayatul Akhyar Jilid II. Surabaya: P T Bina Ilmu, 2011.