FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA SEBAGAI ASPEK PENGUBAH HUKUM DITINJAU DARI UU NO 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKARASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Nursolihi Insani Dosen Fakultas Hukum dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pamulang Catata
FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA SEBAGAI ASPEK
PENGUBAH HUKUM DITINJAU DARI UU NO 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHAPUSAN KEKARASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh:
Nursolihi Insani
Dosen Fakultas Hukum dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pamulang
Catatan: Tulisan ini dimuat di jurnal Surya Kencana Satu
(Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan) Volume 3 Nomor 2 Maret 2013
ABSTRAK
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Karena dengan
pendidikan, manusia dapat mengetahui segala sesuatu yang sudah, sedang dan akan terjadi
di dunia ini serta bagaimana cara untuk mengatasi segala sesuatu yang terjadi tersebut.
Dewasa ini banyak sekali terjadi kekerasan yang sebagian besar korbannya banyak menimpa
kaum perempuan baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam bermasyarakat.
Kebanyakan kekerasan terjadi dalam lingkup rumah tangga, yang disebabkan oleh beberapa
faktor yang bisa memicu kekerasan itu dapat terjadi.Kata Kunci: Kekerasan, Rumah Tangga, Aspek Pengubah Hukum
1. PENDAHULUAN
Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga bermula dari adanya relasi kekuasaan yang
timpang antara suami dengan istri. Kondisi ini tidak jarang dilakukan sebagai bagiaan dari
penggunaan otoritas yang dimilikinya, sebagai kepala rumah tangga. Justifikasi atas otoritas
itu bisa lahir didukung olenh perangkat undang-undang negara atau persepsi-persepsi sosial
dalam bentuk mitos-mitos superioritas seorang laki-laki yang dipercayai masyarakat tertentu.
Dengan menggunakan alur fikir semacam ini, maka kekerasan yang terjadi dalam lingkup
Kekerasan dalam rumah tangga menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengasaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tanggga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.Kebanyakan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (disingkat KDRT) adalah kaum
perempuan (Istri) dan dilakukan oleh suami, walaupun terkadang korban KDRT justru
sebaliknya. Karena KDRT terjadi didalam lingkup keluarga, maka pelakunya adalah orang
yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan
suami, dan anak, bahkan pembantu rumah tangga yang tinggal di dalam lingkup kelaurga
tersebut.Kebanyakan kasus KDRT sering di tutup –tutupi oleh si korban, dengan berbagai macam
alasan, diantaranya, karena terpaut struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum
dipahami. Padahal dibuatnya undang-undang oleh negara bertujuan untuk memberikan
perlindungan dan memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.2. PEMBAHASAN
A. Pembentukan UU PKDRT
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disahkan pada sidang DPR tahun 2004-2005 pada tanggal 14 September 2004 ini merupakan hasil pembahasan panjang antara Badan Legislatif-DPR dan Menteri Pemberdayaan Perempuan sebagai leading sektor yang ditunjuk dan pihak pemerintah. Awal perumusannya di fasilitasi Komisi nasional Anti kekerasan terhadap perempuan dan Forum parlemen Indonesia untuk kependudukan dan pembangunan PKTP (Jaringan advokasi kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan) sejak tahun 1997-2003 yang lalu yang terbagi kedalam tiga tahap pembahasan dan tahun 1997-1998, 1999-2000, dan 2001-2003.
UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdiri dan 10 bab dan 56 pasal yang meliputi :
1. Bab I : Ketentuan Umum = Pasal 1-2
2. Bab II : Asas dan Tujuan = Pasal 3-4
3. Bab III : Larangan KDRT = Pasal 5-9
4. Bab IV : Hak-hak Korban = Pasal 10
5. Bab V : Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat = Pasal 11-15
6. Bab VI : Perlindungan = Pasal 16-38
(1). Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang ini meliputi:
3. Pasal 5 UU Penghapusan KDRT
(2). Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
c. Orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga orang dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
dimaksudkan pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
a. Suami, isteri dan anak;
2. Pasal 2 UU Penghapusan KDRT
7. Bab VII : Pemulihan Korban = Pasal 39-43
b. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam rumah tangga.
perempuan, yang berakibat timbul kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
a. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
1. Pasal 1 UU Penghapusan KDRT
10. Bab X : Ketentuan Penutup = Pasal 56 Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah:
9. Bab IX : Ketentuan Lain-lain = Pasal 54-55
8. Bab VIII : Ketentuan Pidana = Pasal 44-53
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
4. Pasal 8 UU Penghapusan KDRT
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 huruf c meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.
Aspek perlindungan terhadap Korban KDRT adalah seperti yang terdapat pada Pasal 16 sampai dengan Pasal 38. Ada kewajiban yang di tujukan kepada setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dengan melakukan upaya-upaya yang sesuai dengan batas kemampuan seperti: a.Mencegah berlangsungnya tindak pidana. b.Memberikan perlindungan terhadap korban
c. Memberikan pertolongan darurat d.Membantu proses pengajuan permohonan perlindungan.
Ketentuan pidana yang dibuat dalam UU ini adalah pada pasal-pasal: 1.
Pasal 46 UU Penghapusan KDRT Setiap orang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksudkan path
pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua betas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)
2. Pasal 47 UU Penghapusan KDRT
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksudkan pada pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan
3. Pasal 48 UU Penghapusan KDRT
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada pasal 46 dan pasal 47, mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua pulu limajuta rupiah) dan denda denda banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4. Pasal 50 UU Penghapusan KDRT
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dan korban
dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dai, pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu.
5. Pasal 53 UU Penghapusan KDRT
Tindak pidana kekerasan sekual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan. Terhadap UU KDRT ini dapat disampaikan kriteria sebagai berikut :
a. Formulasi perumusan perbuatan yang dilarang (Pasal 1 UU KDRT) tidak memiliki …
suatu perundang-undangan pidana yang mengharapkan perumusan secara jelas (lex
esita) bunyi kalimat…..penelantaran rumah tangga, mempunyai perumusan yang sangat luas dan multi tafsir.
b. Kekerasan seksual, terhadap orang lain walaupun berada pada lingkup rumah
tangga bersinggungan dengan rumusan yang terdapat dalam ….dengan Pasal 285 dan Pasal-pasal liannya tentang perbuatan cabul terhadap orang lain.
c. Perumusan sanksi yang bersifat kumulatif akan menyebabkan undang-undang ini tidak dapat ditegakan (gooundless) apabila pelanggar orang yang tidak mampu.
Perumusan bahwa dalam kekerasan yang terjadi dilingkungan sebuah rumah tangga merupakan delik aduan masih bisa terjadi kerawanan yaitu siapa saja yang berhak menjadi, apakah hanya korban seorang, atau bisa juga orang lai
B. Faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dapat berupa
kekerasan psikis seperti perkataan-perkataan yang merendahkan, membanding-bandingkan
anggota keluarga dengan orang lain yang menurutnya lebih baik, sehingga menimbulkan rasa
sakit hati anggota keluarga yang bersangkuta3 Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena soaial yang akhir-
akhir ini mulai bermuncylan kepermukaan dari waktu ke waktu semakin meningkat
jumlahnya. Berikut ada beberapa faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga :
1. Budaya patriarki yang mendukung laki-laki sebagai makhluk superior dan perempuan
sebagai makhluk inferior;
2. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menempatkan laki-laki boleh
menguasai perempuan;
3. Peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayahnya yang suka melakukan kekerasan
terhadap ibunya baik itu kekerasan fisik, psikis maupun seksual menjadi faktor turunan dimana anak laki-laki sejak kecil terbiasa melihat dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga;4. Kondisi kehidupan suami atau keluarga yang hidup dalam kemiskinan; 5. Suami pemabuk, frustasi atau mempunyai kelainan jiwa.
C. Lingkup Rumah Tangga
Menurut Pasal 2 Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang termasuk cakupan rumah tangga adalah sebagai berikut
1. suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); 2. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu,
2 Artikel Hukum, Fenomena Sosial Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di unggah pada--------, tersedia di unduh pada 09 Oktober 2013, 13:30
3Artikel,oleh Ismaya Indri Astuti,”Faktor-faktor mendasar penyebab KDRT”,diunggah pada 07 Oktober 2013, 20:21,tersedia di m.vemale.com,diunduh pada 18 Oktober 2013,17:49
4 Catatan Hukum,Oleh Afandi,”Resume Makalah Tentang Aspek-Aspek Pengubah Hukum”,diunggah
ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
3. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Pasal 2 ayat 2).
D. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Terdapat 4 faktor yang merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yakni :
1) Kekerasan Fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat (Ps 5 jo 6);
2) Kekerasan Psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Ps 5 jo 7);
3) Kekerasan Seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Ps 5 jo 8), yang meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 4) Penelantaran Rumah Tangga, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
E. Bentuk Perlindungan
Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status sosoknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu d a p a t memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku.
Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi.
Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang
F. Perlindungan dan Pelayanan
Berikut ini adalah penjelasan tentang bentuk perlindungan dan pelayanan yang diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing, serta perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan :
1. Kepolisian
a) Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan
dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban (ps 16 (1)).
b) Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepo- lisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan (ps 16 (3)). c) Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (ps 18).
d) Kepolisian wajib segera melakukan pe-nyelidikan setelah mengetahui atau me-nerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (ps 19).
e) Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang: 1) identitas p e t u g a s untuk pengenalan kepada korban; 2) kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan; dan 3) kewajiban kepolisian untuk melindungi korban (Ps 20).
2. Tenaga Kesehatan (Pasal 21 ayat 1)
a) Memeriksa kesehatan korban sesuai de-ngan standar profesi;
b) Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum
atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana ke-sehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Ps 21 (2)).
3. Pekerja Sosial (Pasal 22 ayat 1)
a) Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
b) Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan
dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
c) Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
d) Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Ps 22 (2)).
4. Relawan Pendamping(Pasal 23)
Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan. a) Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau
beberapa orang pendamping;
b) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan
pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
c) Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman
didampingi oleh pendamping; dan d) Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
5. Pembimbing Rohani (Pasal 24)
Memberikan penjelasan mengenai hak, kewa-jiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
6. Advokat (Pasal 25)
a) Memberikan konsultasi hukum yang men-cakup informasi mengenai hak-hak korban
dan proses peradilan;
b) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam
sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c) Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses p e r a d i l a n berjalan sebagaimana mestinya.
7. Pengadilan
a) Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan wajib
mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (Ps 28).
b) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan un-tuk
(Ps 31 (1)):
1) menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan
memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, me-ngawasi, atau mengintimidasi korban.
2) mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan. Pertimbangan pengadilan dimaksud dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga (Ps 31 (2)).
c) Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan
(Ps 33 (1)). Dalam pemberian tambahan p e r i n t a h perlindungan, p e n g a d i l a n w a j i b mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Ps 33 (2)).
d) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat
menya-takan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, d e n g a n k e w a j i b a n mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan,
G. Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai Salah Satu Aspek Pengubah Hukum Adapun kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian besar menimpa kaum wanita
tersebut di atas menjadi salah satu aspek pengubah hukum yang melahirkan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang- undang
ini telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 22 September 2004.Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sesuatu yang serius, yang kebanyakan menimpa
kaum perempuan yang selama ini diagungkan sekaligus didiskriminasi, sehingga akhirnya
dilakukan langkah untuk melindungi kaum perempuan dalam segala bidang kehidupan,
termasuk bidang hukum dan juga berguna untuk menjerat pelaku-pelakunya.H. Ketentuan Pidana
Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang, yang merugikan orang lain atau orang disekitarnya, baik kerugian materil dan non materil pasti mempunyai sanksi berupa pidana penjara maupun denda atau kurungan. Sama halnya dengan tema yang diangkat oleh penulis kali ini, yaitu KDRT. Juga mempunyai sanksi bagi pelakunya, antara lain akan dijelaskan di bawah ini :
Kekerasan Fisik Delik Ancaman Sanksi
1) Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
➢ penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 15 juta
2) Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat
➢ penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; atau ➢ denda paling banyak Rp 30 juta
3) Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban
➢ penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; atau ➢ denda paling banyak Rp 45 juta
4) Kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari ➢ penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau ➢ denda paling banyak Rp 5 juta
Kekerasan Psikis Delik Ancaman Sanksi 1) Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
➢ penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau ➢ denda paling banyak Rp 9 juta
2) Kekerasan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari ➢ penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau ➢ denda paling banyak Rp 3 juta
Kekerasan Seksual Delik Ancaman Sanksi 1) Kekerasan seksual
➢ penjara paling lama 12 tahun; atau ➢ denda paling banyak Rp 36 juta
2) Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual
➢ penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun; atau ➢ denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta
3) Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi ➢ penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun; atau ➢ denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta
Penelantaran Rumah Tangga Delik Ancaman Sanksi
1) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atauMenelantarkan
orang lain yang berada di bawah kendali ➢ penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau ➢ denda paling banyak Rp 15 juta
Pidana Tambahan
Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut di atas, hakim dapat men- jatuhkan pidana tambahan berupa:
a) Pembatasan Gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban
dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b) Penetapan pelaku mengikuti program Konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu .
Delik Aduan
Tindak pidana kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual yang dilakukan
3. KESIMPULAN
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Marsidin Nawawi. Perlindungan Korban KDRT . Penulis, advokat, Direktur Lembaga Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (LPK2RT)
Peri Umar Farouk. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. tanpa tahun Artikel Hukum, Fenomena Sosial Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di unggah
pada--------, tersedia di
di unduh pada 09 Oktober 2013, 13:30Artikel,oleh Ismaya Indri Astuti,”Faktor-faktor mendasar penyebab KDRT”,diunggah
pada 07 Oktober 2013, 20:21,tersedia di m.vemale.com,diunduh pada 18 Oktober 2013,17:49
Catatan Hukum,Oleh Afandi,”Resume Makalah Tentang Aspek-Aspek Pengubah
Hukum”,diunggah pada 20 Mei 2009,tersedia di aafandia.wordpress.com,diunduh pada 15
Oktober 2013