Prevalensi Trichuriasis pada Anak di Sekolah Dasar Negeri Harapan Maju: Studi Kasus di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

Prevalensi Trichuriasis pada Anak.................... (Budi Hairani dan Liestiana Indriyati)

Prevalensi Trichuriasis pada Anak di Sekolah Dasar Negeri Harapan
Maju: Studi Kasus di Kabupaten Tanah Bumbu
Provinsi Kalimantan Selatan
Prevalence of Trichuriasis in Children in Harapan Maju Public
Elementary School: A Case Study in Tanah Bumbu Regency
South Kalimantan Province
Budi Hairani*, Liestiana Indriyati

Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI
Jl. Loka Litbang Kawasan Perkantoran Pemda Tanah Bumbu, Kelurahan Gunung Tinggi,
Kecamatan Batulicin, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan

INFO ARTIKEL
Article History:
Received: 29 Jan. 2016
Revised: 31 May 2016
Accepted: 8 June 2016
Keywords:
Trichuriasis,

school children
prevalence

Kata Kunci:
Trichuriasis,
anak sekolah
prevalensi

A B S T R A C T / A B S T R A K
Trichuriasis is an infectious disease due to nematode Trichuris trichiura. Trichuriasis
prevalence is the highest among infectious diseases due to other parasitic worms in
Indonesia. Elementary school-age children at high risk of this disease. This study aimed to
determine the prevalence of trichuriasis in children of elementary school age in Tanah
Bumbu regency. This research was conducted in 2015 with cross sectional design, using
purposive sampling method. A total of 250 children from Harapan Maju Elementary
School was selected as samples, their stools were examined with native method (direct).
The results showed the parasitic worms were T. trichiura, Ascaris lumbricoides,
hookworm and Enterobius vermicularis. The prevalence of T. trichiura was the highest,
as many as 32 children (12.8%) were infected from a total of 250 samples. T. trichiura
infection was found in the form of a single and mixed infection with other parasitic worms.

Trichuriasis more commonly found in girls and boys aged 10-12 years. Helminthic
treatment needs to be done selectively for infected children using the broad-spectrum
drugs. Behavioral and environmental factors of patients with intestinal helminths need to
be identified spesificly. Furthermore it would be analyzed to determine the factors
involved in the transmission of parasitic diseases. In order to prevent the transmission
within the school need the improvements of school infrastructure such as the provision of
public hand washing, covered trash bin, paving or cemented for the school yard.
Trichuriasis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing Trichuris
trichiura. Prevalensi trichuriasis termasuk yang tertinggi di Indonesia dibandingkan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh jenis cacing lainnya. Anak- anak usia sekolah
dasar berisiko tinggi terinfeksi penyakit ini. Studi ini bertujuan untuk mengetahui
prevalensi trichuriasis pada anak-anak usia sekolah dasar di Kabupaten Tanah Bumbu.
Penelitian dengan desain cross sectional dilakukan pada tahun 2015, metode sampling
menggunakan purposive sampling. Sebanyak 250 anak-anak dari SDN Harapan Maju
yang terpilih sebagai sampel diperiksa fesesnya dengan metode natif (langsung). Jenis
cacing yang ditemukan pada pemeriksaan adalah T. trichiura, Ascaris lumbricoides,
Hookworm dan Enterobius vermicularis. Prevalensi infeksi T. trichiura merupakan yang
tertinggi yaitu sebanyak 32 anak (12,8%) yang terinfeksi dari total 250 sampel. Infeksi
T. trichiura ditemukan dalam bentuk infeksi tunggal dan infeksi campuran dengan
cacing jenis lain. Trichuriasis lebih banyak ditemukan pada anak perempuan dan anak

umur 10-12 tahun. Perlu dilakukan pengobatan kecacingan secara selektif bagi anakanak yang menderita kecacingan dengan obat cacing yang berspektrum luas. Faktor
perilaku dan lingkungan dari penderita kecacingan perlu diketahui secara spesifik dan
dianalisa untuk menentukan faktor yang lebih berperan dalam penularan kecacingan.
Untuk mencegah terjadinya penularan di lingkungan sekolah perlu adanya perbaikan
infrastruktur sekolah seperti penyediaan tempat cuci tangan umum, penampungan
sampah tertutup, halaman sekolah yang masih berupa tanah sebaiknya
disemen/paving.
© 2016 Jurnal Vektor Penyakit. All rights reserved

*Alamat Korespondensi : email : budihaira@gmail.com

25

Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 10 No. 1, 2016 : 25–32

PENDAHULUAN
Kecacingan tergolong neglected diseases
yaitu infeksi yang kurang diperhatikan dan
penyakitnya bersifat kronis tanpa
menimbulkan gejala klinis yang jelas dan

dampak yang ditimbulkannya baru terlihat
1
dalam jangka panjang. Trichuriasis
merupakan salah satu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh cacing jenis Trichuris
trichiura atau yang dikenal dengan cacing
cambuk.2 Penyakit ini tersebar luas pada
daerah tropis maupun sub-tropis, tetapi lebih
sering ditemukan di daerah beriklim hangat
dan lembab.3 Diperkirakan tingkat prevalensi
trichuriasis sekitar 17% pada populasi dunia.4
Beberapa survei yang dilakukan di Indonesia
pada umumnya menunjukkan prevalensi
kecacingan yang tertinggi disebabkan oleh T.
trichiura atau Ascaris lumbricoides.5 Infeksi
cacing sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi
sanitasi lingkungan, prevalensi yang tinggi
sangat mungkin terjadi terutama di daerah
yang berisiko seperti perkampungan kumuh
dan perdesaan.6

Infeksi cacing secara kumulatif dapat
menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori
dan protein serta kehilangan darah. Selain
dapat menghambat perkembangan fisik,
anemia, kecerdasan dan produktifitas kerja,
juga berpengaruh besar dapat menurunkan
ketahanan tubuh sehingga mudah terserang
penyakit lainnya.1 Umumnya penyakit ini lebih
banyak diderita oleh anak-anak.7,8 Infeksi T.
trichiura secara tipikal diderita pada anakanak berusia 5-10 tahun, semakin bertambah
usia akan menurun dan menetap pada usia
dewasa.9
Tingginya prevalensi infeksi cacing
trichuris dan anak-anak usia sekolah yang
merupakan kelompok berisiko tinggi
menderita trichuriasis perlu mendapat
prioritas dalam program eliminasi penyakit
kecacingan, sehingga data mengenai
prevalensi trichuriasis pada anak usia sekolah
sangat penting untuk diketahui. Pada

umumnya tingkat prevalensi kecacingan akan
berbeda dalam rentang waktu yang cukup
lama sehingga perlu adanya data terbaru
sebelum diadakan program eliminasi
k e c a c i n g a n . S a l a h s a t u
permasalahan/kendala dalam eliminasi
26

penyakit kecacingan di Kabupaten Tanah
Bumbu adalah terbatasnya data mengenai
prevalensi infeksi,10 terutama dalam hal
kebaruan data. Data terakhir dari hasil
penelitian Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu
pada tahun 2008 dan 2009 di 13 kabupaten
kota Provinsi Kalimantan Selatan didapatkan
bahwa Kabupaten Tanah Bumbu merupakan
kabupaten tertinggi dengan angka kecacingan
anak sekolah sebesar 56,63% dengan spesies
tertinggi T. trichiura sebesar 81%.11 Saat ini
belum ada data terbaru mengenai prevalensi

infeksi T. trichiura di wilayah tertentu di
Kabupaten Tanah Bumbu. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan data terbaru
mengenai tingkat prevalensi infeksi cacing T.
trichiura pada anak-anak sekolah dasar di
wilayah Kabupaten Tanah Bumbu. Hasil
penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai
acuan dalam menerapkan program eliminasi
penyakit kecacingan pada wilayah
tersebut.

BAHAN DAN METODE

Studi kasus menggunakan desain cross
sectional, data disajikan secara deskriptif.
Studi ini menggunakan total populasi sebagai
subjek yaitu seluruh anak yang bersekolah di
SDN Harapan Maju, Kecamatan Karang
Bintang, Kabupaten Tanah Bumbu. Penentuan
subjek penelitian dengan metode purposive

berdasarkan rekomendasi dari Dinas
Kesehatan setempat. Seluruh siswa yang hadir
diberikan pot feses dengan terlebih dahulu
dilakukan penyuluhan singkat mengenai
kecacingan dan petunjuk cara pengisian pot
feses. Pembagian pot feses disertai dengan
lembar inform consent untuk disetujui oleh
orang tua siswa. Pengambilan pot feses
dilakukan satu hari setelah pembagian pot.
Pemeriksaan feses dilakukan di laboratorium
parasitologi Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu
dengan metode natif (langsung), metode ini
cocok digunakan untuk jumlah sampel yang
banyak.12 Kelemahan metode pemeriksaan
langsung adalah feses yang digunakan sangat
sedikit (hanya sekitar 2 mg) sehingga untuk
infeksi yang ringan kemungkinan ada yang
tidak terdeteksi, sehingga pemeriksaan harus
diulang (kros cek) dengan membuat sediaan
baru dari sampel feses yang sama.12 Hasil


Prevalensi Trichuriasis pada Anak.................... (Budi Hairani dan Liestiana Indriyati)

akhir pemeriksaan dianggap positif jika pada
salah satu pemeriksaan sampel ada yang
positif, atau keduanya positif. Hasil akhir
dianggap negatif jika dari kedua pemeriksaan
te r s e b u t s e m u a nya n e ga t i f . M e to d e
pemeriksaan langsung dilakukan sebagai
berikut: larutan pewarna lugol diteteskan
dengan pipet tetes sebanyak +2-3 tetes pada
kaca benda; sampel feses diambil dengan
tusuk gigi sebanyak + 1-2 mg kemudian
diratakan pada tetesan lugol; sediaan ditutup
dengan cover glass kemudian diperiksa
dengan mikroskop.
Prevalensi kecacingan ditentukan
berdasarkan rumus berikut:13

Prevalensi infeksi cacing =


Jumlah spesimen positif telur cacing
x 100%
Jumlah spesimen yang diperiksa

HASIL

Total sebanyak 250 sampel didapatkan
dari siswa kelas I – VI SDN Harapan Maju,
Kecamatan Karang Bintang, Kabupaten Tanah
Bumbu. Data pada Tabel 1 merupakan hasil
akhir pemeriksaan mikroskopis dengan
pengulangan (kros cek), tidak ada perbedaan
hasil antara pemeriksaan pertama dan kedua.
Hasil pemeriksaan mikroskopis didapatkan
sebanyak 40 sampel (16%) yang positif
mengandung telur cacing. Infeksi T. trichiura
ditemukan dalam bentuk tunggal maupun
campuran dengan cacing jenis lain. Jenis
cacing lain yang ditemukan adalah A.

lumbricoides, Hookworm dan Enterobius
vermicularis. Infeksi T. trichiura merupakan
yang tertinggi, secara keseluruhan prevalensi
kecacingan yang disebabkan oleh T. trichiura
baik tunggal maupun campuran dengan

Tabel 1. Infeksi Kecacingan pada Siswa SDN Harapan Maju Kecamatan
Karang Bintang, Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2015

No
Kejadian Kecacingan
1 Negatif
2 Positif :
Trichuris trichiura

Ascaris lumbricoides
Enterobius vermicularis
Hookworm
Trichuris ½ Ascaris
Trichuris ½ Hookworm

Total

Jumlah
210

22
4
2
2
6
4
250

Persentase (%)
84

8,8
1,6
0,8
0,8
2,4
1,6
100

Tabel 2. Penderita Trichuriasis Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur pada
Siswa SDN Harapan Maju Kec. Karang Bintang, Kab. Tanah Bumbu Tahun 2015

Karakteristik

Jumlah

Jenis kelamin
Laki-laki

Perempuan

Kelompok Umur
7-9

10-12
12>






Persentase (%)



14

5,6%



10

4%

18
19
3

7,2%
7,6%
1,2%
27

Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 10 No. 1, 2016 : 25–32

cacing jenis lain adalah sebesar 12,8% (32
orang). Hasil pemeriksaan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Infeksi cacing T. trichiura terjadi pada semua
jenis kelamin dan hampir tersebar pada
semua tingkatan umur anak-anak dari umur 7
tahun sampai dengan 12 tahun keatas.
Berdasarkan jenis kelamin, trichuriasis lebih
banyak terjadi pada anak perempuan (7,2%)
dibandingkan anak laki-laki (5,6%)
sedangkan berdasarkan kelompok umur
anak-anak penderita Trichuriasis lebih
banyak ditemukan pada kelompok 10-12
tahun (7,6%) seperti pada Tabel 2.

PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan feses pada anak SD di
Kabupaten Tanah Bumbu menunjukkan
masih adanya anak-anak yang menderita
kecacingan walaupun dari prevalensinya
tergolong rendah yaitu sebesar 16%.
Walaupun statusnya rendah, masih adanya
anak yang menderita kecacingan berpotensi
akan meningkatkan prevalensi jika tidak
dilakukan perbaikan pada kondisi lingkungan
serta faktor perilaku anak yang meningkatkan
risiko kecacingan, anak yang menderita
penyakit ini akan menularkan ke anak yang
lain. Hasil studi lainnya di Kabupaten Tanah
Bumbu antara lain di SDN Manurung
Kecamatan Kusan Hilir prevalensi kecacingan
sebesar 31,63%,1 di SDN Sungai Lembu
prevalensi sebesar 24,44% dan tertinggi di
SDN Juku Eja dengan prevalensi sebesar
82,93%.14 Jenis cacing yang ditemukan pada
studi ini diketahui merupakan golongan soil
transmitted helminth (kecuali, E. vermicularis)
yang sudah umum menginfeksi anak-anak di
daerah lain di Indonesia. Adanya infeksi
cacing baik dalam bentuk tunggal maupun
campuran menunjukkan buruknya kondisi
hygiene dan sanitasi lingkungan dari individu
tersebut.15
Infeksi T. trichiura merupakan yang
tertinggi dibandingkan jenis yang lainnya.
Penelitian yang dilakukan Lalando, J.L (2008)
juga menunjukkan hasil yang sama. 1 6
Beberapa hasil penelitian lain yang dilakukan
di Indonesia menunjukkan hasil yang
berbeda, pada umumnya A. lumbricoides
merupakan infeksi yang tertinggi, kemudian
17-19
diikuti T. trichiura. Perbedaan hasil dapat

28

saja terjadi karena tingginya prevalensi di
suatu daerah tergantung beberapa hal seperti
: tahun dilakukannya survei, lokasi survei,
umur penduduk yang disurvei, kondisi iklim
di daerah survei dan sanitasi lingkungannya.5
Tingginya infeksi T. trichiura didukung oleh
beberapa hal antara lain iklim tropis dan
kondisi lingkungan yang sangat sesuai bagi
perkembangan cacing, siklus hidup T.
trichiura yang tidak memerlukan hospes
perantara menjadikannya lebih mudah
menginfeksi manusia, selain itu cacing ini juga
dapat menghasilkan telur dalam jumlah yang
sangat banyak (+ 3000-10.000 telur per hari)
dan telur yang infektif dapat bertahan di
tanah selama beberapa tahun.5,20
Infeksi cacing pada dasarnya dapat
terjadi pada setiap orang tanpa dipengaruhi
21
oleh jenis kelamin. Hasil penelitian ini
menunjukkan infeksi Trichuris lebih banyak
terjadi pada anak perempuan. Penelitian yang
dilakukan oleh Faridan K, dkk (2013),
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara jenis kelamin dengan
kejadian kecacingan, namun jenis kelamin
perempuan berisiko 1,1 kali lebih tinggi
menderita kecacingan dibandingkan lakilaki.22 Pada kasus dimana anak perempuan
memiliki risiko kecacingan yang lebih tinggi
dibandingkan anak laki-laki kemungkinan
dapat disebabkan aktivitas anak perempuan
yang lebih banyak kontak dengan tanah
sesuai dengan jenis permainan yang sering
mereka lakukan di halaman sekolah maupun
di lingkungan rumah. Keterbatasan dari
penelitian ini yaitu tidak melakukan
pengumpulan data mengenai faktor risiko
kecacingan pada anak sekolah melalui
kuisioner, akan tetapi berdasarkan hasil
pengamatan aktivitas di lingkungan sekolah
permainan yang dilakukan anak-anak, adalah
permainan tali dan kelereng (anak
perempuan juga melakukan permainan ini)
yang sebagian besar mengalami kontak
langsung dengan tanah.
Tingginya insidensi kecacingan pada
anak-anak lebih dikarenakan adanya
perbedaan dalam hal kebiasaan, aktivitas dan
perkembangan imunitas yang didapat serta
pengawasan terhadap siswa oleh orangtua
dalam hal kebersihan, terutama yang
berkaitan dengan kecacingan yaitu mencuci

Prevalensi Trichuriasis pada Anak.................... (Budi Hairani dan Liestiana Indriyati)

tangan sebelum makan, menggunakan alas
kaki setiap bermain di luar rumah, dan
perhatian akan kebersihan kuku siswa.22
Pe n d e r i t a t r i c h u r i a s i s te r b a nya k
ditemukan pada kelompok umur 10-12 tahun,
dan paling sedikit ditemukan pada umur 12
tahun keatas. Hasil ini dapat dihubungkan
dengan meningkatnya aktifitas bermain dan
mobilitas siswa pada kelompok umur 10-12
tahun sehingga risiko tertular cacing lebih
besar. Secara epidemiologi, puncak terjadinya
infestasi kecacingan adalah pada usia 5-10
tahun.23,24 Semakin meningkatnya aktifitas
anak di luar rumah, kurangnya kesadaran
dalam hal kebersihan diri serta mulai
berkurangnya pengawasan orang tua
kemungkinan menyebabkan tingginya tingkat
infeksi cacing pada anak umur 10-12 tahun.25
Peningkatan umur menjelang remaja (12
tahun keatas) biasanya diiringi dengan
kesadaran diri yang lebih baik dalam menjaga
kebersihan, aktifitas semasa anak-anak
seperti bermain di tanah perlahan-lahan
mulai ditinggalkan. 2 6 , 2 7 Hal ini akan
mengurangi risiko terinfeksi cacing sehingga
umumnya tingkat infeksi cacing pada umur 12
tahun keatas tergolong rendah.27

KESIMPULAN
Terdapat infeksi kecacingan pada anakanak SDN Harapan Maju, Kecamatan Karang
Bintang, Kabupaten Tanah Bumbu dengan
prevalensi rendah. Prevalensi trichuriasis
merupakan yang tertinggi dibandingkan jenis
cacing lainnya. Infeksi T. trichiura ditemukan
dalam bentuk infeksi tunggal dan infeksi
campuran dengan cacing jenis lain. Infeksi T.
trichiura tersebar pada semua jenis kelamin
dan semua tingkatan umur anak namun lebih
banyak ditemukan pada anak dengan jenis
kelamin perempuan dan anak usia 10-12
tahun.

SARAN

Berdasarkan hasil studi ini disarankan
untuk melakukan pengobatan kecacingan
secara selektif hanya bagi anak-anak yang
menderita kecacingan. Obat cacing yang
diberikan sebaiknya yang berspektrum luas
karena adanya anak yang terinfeksi cacing
campuran. Faktor perilaku dan lingkungan

dari anak penderita kecacingan (terutama
yang berjenis kelamin perempuan) perlu
diketahui secara spesifik dan dianalisa lebih
lanjut untuk menentukan faktor mana yang
lebih berperan dalam penularan kecacingan.
Anak usia di bawah 12 tahun perlu mendapat
perhatian lebih dalam hal pemahaman dan
kesadaran berperilaku hidup bersih dan
sehat . Sebagai tindakan pencegahan
terjadinya penularan di lingkungan sekolah
perlu adanya perbaikan infrastruktur sekolah
seperti penyediaan tempat cuci tangan umum,
penampungan sampah tertutup, halaman
sekolah yang masih berupa tanah sebaiknya
disemen/paving. Perlu dilakukan studi
dengan cakupan wilayah yang lebih luas,
terutama di wilayah perdesaan dan jumlah
sampel yang lebih besar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Tanah Bumbu yang telah memberikan izin
u n t u k p e l a k s a n a a n ke g i a t a n s u r ve i
kecacingan. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepada Kepala Sekolah beserta
para Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Tanah
Bumbu, serta rekan-rekan analis
Laboratorium Parasitologi yang telah
berpartisipasi dan membantu kelancaran
pada pelaksanaan kegiatan survei kecacingan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Indriyati L. Kehilangan nutrisi dan darah
serta kerugian biaya akibat kecacingan
pada anak sekolah di SDN Manurung 1
Pagatan. J Buski. 2015;5(3):107–14.
2. Ghedin E. Panning for molecular gold in
whipworm genomes. Nat Genet. Nature
Publishing Group; 2014;46(7):661–3.
3. Lustigman S, Prichard RK, Gazzinelli A,
Grant WN, Boatin BA, McCarthy JS, et al. A
research agenda for helminth diseases of
humans: The problem of helminthiases.
PLoS Negl Trop Dis. 2012;6(4).
4. Gyorkos TW, Gilbert NL, Larocque R,
Casap??a M, Montresor A. Re-Visiting
Trichuris trichiura Intensity Thresholds
Based on Anemia during Pregnancy. PLoS
Negl Trop Dis. 2012;6(9).
29

Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 10 No. 1, 2016 : 25–32

5. Fa ku l t a s Ke d o k te ra n U n ive r s i t a s
Indonesia. Parasitologi Kedokteran. 3rd
ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. 1719 p.
6. Park MJ, Laksono B, Sadler R, Clements A,
Stewart DE. Household Latrines to Control
Environmental Contamination and
Helminthiasis: An Exploratory Study in
Indonesia. Int J Soc Sci Humanit.
2015;5(5):429–35.
7. Moser W, Ali SM, Ame SM, Speich B,
Puchkov M, Huwyler J, et al. Effi cacy and
safety of oxantel pamoate in school-aged
children infected with Trichuris trichiura
on Pemba Island , Tanzania : a parallel ,
randomised , controlled , dose-ranging
study. Lancet Infect Dis. Elsevier Ltd;
2015;16(1):53–60.
8. Tee MH, Lee YY, Majid NA, Noori NM,
Mahendra Raj S. Growth reduction among
primary schoolchildren with light
trichuriasis in Malaysia treated with
albendazole. Southeast Asian J Trop Med
Public Health. 2013;44(1):19–24.
9. Suriptiastuti. Infeksi soil-transmitted
helminth : ascariasis , trichiuriasis dan
cacing tambang. Universa Med.
2006;25(2):84–93.
10. Ridha MR. The policy control of
h e l m i n t h i a s i s i n Ta p i n Re g e n c y
Kalimantan Selatan. J Buski.
2014;5(2):67–74.
11. Waris. L. Distribusi Parasitik Instestinal di
Kalimantan Selatan (Laporan Penelitian).
Tanah Bumbu; 2009.
12. Bagian Parasitologi FK UGM. Panduan
Pemeriksaan Protozoa dan Nematoda.
Jogjakarta; 2008. 15-18 p.
13. Kemenkes RI. Pedoman pengendalian
cacingan. 424/MENKES/SK.VI/2006
Indonesia: Lampiran Keputusan Menteri
Kesehatan; 2006 p. 1–35.
14. Tim Laboratorium Parasitologi. Laporan
Kegiatan Laboratorium Parasitologi Balai
Litbang P2B2 Tanah Bumbu (Survei
Kecacingan). Tanah Bumbu; 2016.
15. Freeman MC, Chard AN, Nikolay B, Garn J V,
Okoyo C, Kihara J, et al. Associations
between school- and household-level
water, sanitation and hygiene conditions
30

and soil-transmitted helminth infection
among Kenyan school children. Parasit
Vectors. Parasites & Vectors; 2015;8:412.
16. Lalandos Loudwik J, Kareri Rambu Gita D.
Prevalensi Infeksi Cacing Usus yang
Ditularkan Melalui Tanah pada SD GMIM
Lahai Roy Malalayang. J Mkm.
2008;03(02):87–90.
17. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi
Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar
Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu
Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh
Di Wilayah Dki Jakarta. J Ekol Kesehat.
2008;7 No 2:18–22.
18. Sasongko A. Dua belas Tahun Pelaksanaan
Program Pemberantasan Cacingandi
Sekolah-sekolah Dasar DKI Jakarta (1987
-1999). J Epidemiol Indon.
2000;1(1):41–54.
19. Nita R, Muttaqien R. Faktor Risiko
Terjadinya Kecacingan di SDN Tebing
Tinggi di Kabupaten Balangan Provinsi
Kalimatan Selatan. Epidemiol dan
Penyakit Bersumber Binatang.
2013;4(3):150–4.
20. Yang HF, Wang CC, Hu CF, Hsieh CC, Lee HS,
Chen SJ, et al. Importance of considering
Trichuris trichiura infection in infant
presenting with acute and substantial
bloody diarrhea: A case report and
l i t e r a t u r e r e v i e w. J M e d S c i .
2012;32(6):309–12.
21. Huat LB, Mitra AK, Izani N, Jamil N, Dam
PC, Jan HJ, et al. Prevalence and Risk
Factors of Intestinal Helminth Infection
Among Rural Malay Children.
2012;(1):10–5.
22. Faridan K, Marlinae L, Audhah N Al.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian kecacingan pada siswa Sekolah
Dasar Negeri Cempaka 1 Kota Banjarbaru.
Buski. 2013;4(3):121–7.
23. Sadjimin T. Gambaran Epidemiologi
Kejadian Kecacingan pada Siswa Sekolah
Dasar di Kecamatan Ampana Kota
Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. J
Epidemiol Indones. 2000;4(1):1–8.
24. Halwindi H, Magnussen P, Siziya S,
Meyrowitsch DW, Olsen A. SocioDemographic Factors Associated With

Prevalensi Trichuriasis pada Anak.................... (Budi Hairani dan Liestiana Indriyati)

Treatment Against Soil-Transmitted 26. Winita R, Mulyati, Astuty H. Hubungan
Sanitasi Diri dengan Kejadian Kecacingan
Helminth Infections in Children Aged
pada Siswa SDN X Paseban, Jakarta Pusat.
12–59 Months Using the Health Facility
Maj Kedokt FK UKI. 2012;XXVIII(2):60–8.
Approach Alone or Combined With a
Community-Directed Approach in a Rural 27. Salawu SA, Ughele VA. Prevalence of SoilArea of Zambia. J Biosoc Sci.
Transmitted Helminths Among School2013;45(01):95–109.
Age Children in Ife East Local Government
Area , Osun State , Nigeria. FUTA J Res Sci.
25. Fo g h i B O , E z e N C , N z e a k o S O .
2 0 1 5 ; 1 1 ( 1 ) : 1 3 9 – 5 1 . S e m b e l D T.
Helminthiasis in School Aged Children in a
Entomologi Kesehatan. Yogyakarta:
Select Population in the Niger Delta. Int J
Penerbit Andi; 2009.
Trop Dis Heal. 2014;4(7):793–801.

31

Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 10 No. 1, 2016 : 25–32

32