Draft Paper Bandung.pdf

Draft Paper (untuk Diskusi ver Juli 2013)
Urban Flood, Urban Development and Disaster Risk Reduction:
Case Study of Bandung City

Saut Sagala1), Jonatan Lassa2), Irene Simbolon3)
1) Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut
Teknologi Bandung
3) Colliers Indonesia, Jakarta
Abstrak
Perkotaan yang sedang berkembang diindikasikan dengan tingginya pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kebutuhan fasilitas/utilitas.
Hal ini berdampak pada kebutuhan system drainase sebagai komponen perkotaan
yang penting dan kunci untuk menangani masalah banjir perkotaan. Pertumbuhan
Kota Bandung yang tinggi menyebabkan semakin sedikitnya area untuk resapan
air dan juga rusaknya sistem drainase yang ada, sepertinya mengecilnya saluran,
terputusnya saluran sekunder dan primer. Di sisi lain, terjadi peningkatan limpasan
air permukaan (run-off) yang signifikan dan berdampak pada terjadinya genangan
di titik-titik jalan strategis di Kota Bandung. Hal ini dipengaruhi oleh kelemahan
dalam manajemen draianse Kota Bandung. Studi ini menemukan bahwa, tidak
terkoneksi dan terkoordinasinya antara pembangunan dengan dampak lingkungan
yang ditimbulkan. Karena itu, studi ini merekomendasikan perlunya untuk

melakukan kajian terintegrasi antara pembangunan dengan dampak yang
ditimbulkan, sehingga persoalan-persoalan lingkungan dapat terinternalisasi
dengan baik.
Kata-kunci : Banjir perkotaan, manajemen drainase, pertumbuhan perkotaan.

1

1. PENDAHULUAN
Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan
penduduk yang diiringi meningkatnya kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup (Widjaya, 1998).
Dampak dari peningkatan kualitas dan kuantitas hidup tersebut yaitu terjadinya perubahan tata guna
lahan menjadi sulit dikendalikan. Kondisi sumber daya alam terganggu karena infiltrasi menjadi
kecil, aliran air permukaan menjadi cepat dan banyak.
IFRC (2010) menerbitkan World Disaster Report yang memfokuskan pada bencana-bencana di
perkotaan. Fokus pada bencana-bencana diperkotaan pada dasarnya karena terdapat konsentrasi
yang masif dari penduduk, permukiman, infrastruktur, industri dan ekonomi. Pada tahun 2008,
setengah dari penduduk dunia tinggal di daerah perkotaan, yang dua-pertiganya berada di negaranegara berpendapatan rendah dan menengah (World Bank, 2012). Hal ini diperkirakan akan
meningkat ke 60 persen pada tahun 2030, dan 70 persen pada tahun 2050 dengan jumlah 6.2 milyar,
atau dua kali lipat dari proyeksi populasi pedesaan pada saat itu. Mengingat bahwa populasi
perkotaan menunjukan porsi terbesar penduduk dunia, banjir perkotaan akan mencakup kenaikan

terbesar dari dampak banjir secara keseluruhan. Banjir perkotaan dengan demikian menjadi semakin
bahaya dan semakin merugikan. IFRC menyebutkan bahwa kota-kota metropolitan yang mengalami
pertumbuhan yang pesat, mengalami persoalan di dalam menyesuaikan kemampuan pelayanan
(service quality) dengan permintaan sebagai dampak dari pembangunan tersebut. Kota-kota yang
sedang mengalami perkembangan yang tinggi tersebut, umumnya mengalirkan dana investasi yang
besar dengan jumlah yang meningkat secara signifikan dalam waktu yang relatif singkat.
Banjir perkotaan berawal dari kombinasi penyebab-penyebab yang merupakan hasil dari kombinasi
kejadian meteorologis dan hidrologis, seperti pengendapan dan aliran yang ekstrim. Akan tetapi
juga dapat sering terjadi karena kegiatan-kegiatan manusia, termasuk pertumbuhan dan
perkembangan kota yang tidak terencana untuk dataran banjir, atau dari kerusakan bendungan atau
tanggul yang gagal dalam melindungi pembangunan yang telah direncanakan (Jha, 2012).
Dampak dari banjir perkotaan juga sangat khusus karena konsentrasi penduduk dan aset-aset yang
lebih besar berada pada lingkungan perkotaan (Jha, 2012; Price, 2008). Hal ini tentu membuat
kerusakan-kerusakan semakin banyak dan mahal. Tempat tinggal perkotaan juga mengandung
mayoritas atribut-atribut ekonomi dan sosial dan aset-aset yang berbasis populasi nasional, sehingga
banjir perkotaan yang menyebabkan kerusakan dan gangguan dari cakupan air banjir yang
sebenarnya sering kali menyebabkan konsekuensi sosial untuk masyarakat. Banjir perkotaan dengan
demikian menjadi semakin bahaya dan semakin merugikan untuk dikelola karena begitu besarnya
populasi yang terpapar dalam wilayah tinggal perkotaan (Cesar, 2000). Ini akan memengaruhi
semua ukuran tempat tinggal yang diperkirakan pada tahun 2030 adalah 75 aglomerasi dari lima

juta penduduk, populasi kota pada setiap kelas sosial juga akan meningkat (World Bank, 2012).
Pada tahun 2030 mayoritas penghuni perkotaan akan tinggal di kota-kota dengan populasi kurang
dari satu juta orang yang memiliki infrastruktur dan insititusi yang tidak dapat mengatasi banjir.
Kota Bandung merupakan bagian dari Bandung Metropolitan Area (BMA) yang mengalami
perkembangan cukup signifikan dalam 10 tahun terakhir (Firman, 2008). Kota Bandung mengalami
perkembangan pertumbuhan ekonomi yang pesat antara tahun 2000-2009 (Tabel 1) dengan nilai
PDRB mencapai Rp 70.281. 163,- pada tahun 2009 (Profil Kota Bandung, 2011).
2

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung
Tabel Pertumbuhan Ekonomi
Tahun

Rasio Pertumbuhan

PDRB

Ekonomi

2001


17.435.720

0,163

2002

20.690.499

0,157

2003

23.420.126

0,134

2004

27.422.417


0,146

2005

34.792.184

0,196

2006

43.491.380

0,200

2007

50.552.182

0,140


2008

60.441.487

0,164

2009

70.281.163

0,140

Sumber : Bandung Dalam Angka, 2001-2009

Dibukanya akses jalan bebas hambatan Cikampek-Purbaleunyi berkontribusi pada peningkatan
pembangunan di Kota Bandung khususnya untuk kebutuhan permukiman dan komersil (Firman
2008; Dorodjatoen 2011). Trend pembangunan fisik Kota Bandung didominasi oleh permukiman,
dimana 2010-2012 terdapat perkembangan pesat pembangunan rusunami (apartemen), hotel, dan
perumahan yang juga diimbangi dengan pembangunan factory outlet maupun retail (Kepala Bidang

Perencanaan Distarcip, 2013). Konversi lahan pada dasarnya adalah hasil yang normal dari proses
pembangunan perkotaan, namun di Indonesia hal ini snagat mencerminkan operasi pengembang
swasta yang mencoba untuk menegsktrak harga sewa tertinggi. Konversi lahan yang terjadi di
wilayah Bandung Metropolitan sangat tidak terkendali karena kelemahan sistem perijinan terutama
dalam upaya penegakannya (Firman, 2008).
Table 2 Guna Lahan Kota Bandung Tahun 1990, 2004 dan 2008
1990
Guna Lahan

2004

2008

Luas (Ha)

Persentase

Guna Lahan

Luas (Ha)


Persentase

Perumahan
Fasilitas
Sosial
Perdagangan
Industri
Tegalan

8.774,63

52,11%

9.445,72

56,46%

Perumahan


9.290,28

55,53%

539,58
430,07
592,73
1.313,96

3,30%
2,66%
3,62%
7,89%

Perumahan
Pemeritahan/
sosial
Perdagangan
Industri
Sawah


1.234,88
448,07
635,28
3.649,29

7,38%
2,68%
3,80%
21,81%

1.668,54
647,83
3.354,49
318,7

9,97%
3,87%
20,05%
1,90%


Sawah

3.925,38

23,37%

Tegalan

876,37

5,24%

215,57

1,29%

330,52
823,14
16.730

2,07%
4,99%
100%

Militer
Lain-lain
Total

348,52
91,87
16.730,00

2,08%
0,55%
100,00%

Jasa
Industri
Sawah
Tegalan
Kebun
Campuran
Tanah
Kosong
Kolam
Lainnya
Jumlah

545,47
39,9
649,22
16.730,00

3,26%
0,24%
3,88%
100,00%

Militer
Lain- Lain
Total

Guna Lahan

Luas (Ha)

Persentase

3

Tercatat sejak tahun 1990 hingga 2008, lahan terbangun di Kota Bandung lebih dari 50% dengan
pertumbuhan guna lahan perumahan dan perdagangan yang terus meningkat (Tabel 2). Proporsi
guna lahan antara yang terbangun dan non terbangun dapat dilihat pada Grafik 1.
3%
2%

0%

1%
4%

Perumahan
Jasa
Industri

20%

Sawah
56%
Tegalan

4%
10%

Kebun
Campuran
Tanah Kosong

Grafik 1. Proporsi Guna Lahan Kota Bandung

Kondisi tersebut berpengaruh pada kebutuhan sistem drainase perkotaan yang harus melayani
dalam cakupan yang lebih sistemik sesuai dengan kebutuhan dari berbagai aktivitas perkotaan.
Permasalahan sistem drainase di Kota Bandung menjadi salah satu permasalahan penting yang
belum dapat ditangani terkait dengan masalah banjir perkotaan yang dialami Kota Bandung.
Kondisi jalan dan drainase di Kota Bandung saat ini akan selalu tergenang saat kota ini diguyur
hujan. Hal ini terjadi khususnya di jalan-jalan strategis Kota Bandung seperti Jalan Cihampelas,
Jalan Dr Djundjunan, hingga Jalan Ir H Djuanda (Dago). Ketinggian genangan air bisa mencapai
40-50 cm. (Kompas, Januari 2013).
Genangan dan banjir di titik-titik strategis di kota Bandung menjadi salah satu permasalahan yang
ditangani serius oleh Pemerintah kota Bandung sejak 2008 (Renja DBMP, 2009). Setiap kali Kota
Bandung diguyur hujan seringkali terjadi „banjir genangan‟ (Banjir Cileuncang) di beberapa tempat,
baik di jalanan kota maupun di permukiman penduduk. Banjir Cileuncang adalah istilah bahasa
Sunda untuk menggambarkan terjadinya genangan air di di suatu tempat akibat tidak lancarnya
pembuangan atau aliran air tersebut (Laporan Perencanaan Drainase DBMP, 2012). Salah satu
dampak Banjir Cileuncang adalah kemacetan lalu lintas dan berdampak pada kendaraan yang tidak
dapat menembus genangan air. Sementara, banjir Cileuncang yang terjadi di permukiman
menyebabkan rumah-rumah penduduk terendam. Penyebab banjir Cileuncang yang terjadi di kota
Bandung terdiri atas kombinasi berbagai faktor, di antaranya:
- Curah hujan yang tinggi
- Berkurangnya daya tampung aliran air
- Kapasitas saluran air yang tidak memadai
- Penyumbatan aliran air oleh sampah
Sistem drainase perkotaan yang buruk.
4

Manajemen drainase pada dasarnya menjadi salah satu kunci untuk mengatasi jenis banjir
perkotaan yang terjadi di Kota Bandung. Namun, manajemen drainase memiliki komponen yang
kompleks baik diantaranya desain structural, pemeliharaan sistem, dan pembagian kewenangan
institusi yang menangani drainase perkotaan. Komponen-komponen ini menjadi bagian penting
sebagai studi untuk memberikan alternatif mengatasi masalah banjir perkotaan di Kota Bandung.
2. TEORI
Salah satu elemen kunci untuk mengurangi risiko bencana adalah untuk lebih memahami
bagaimana daerah perkotaan beresiko dan bagaimana pola-pola risiko berbeda dari daerah pedesaan
(WDR, 2010). Kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi risiko dan kerentanan
dipengaruhi oleh ketersediaan dari informasi yang akurat tentang risiko terhadap kota mereka dan,
saat ini kelemahan yang cukup besar berkaitan dengan pemantauan yang akurat dan pelaporan tren
bencana perkotaan. Sebagai langkah awal dalam pengelolaan risiko banjir , para pembuat keputusan
perlu memahami bahwa ancaman banjir dapat memengaruhi lingkungan perkotaan (Jha, 2012).
Memahami ancaman
membutuhkan pengertian tentang jenis-jenis dan penyebab banjir,
kemungkinan-kemungkinan kejadian, dan tampilan dari sudut tingkat, durasi, kedalaman dan
kecepatan. Pemahaman ini sangat penting dalam mendesain tindakan-tindakan dan solusi-solusi
yang dapat mencegah atau mengurangi kerusakan yang timbul dari jeni banjir tertentu. Hal lain
yang sama pentingnya adalah mengerti di mana dan seberapa sering kejadian-kejadian banjir akan
terjadi, populasi mana dan aset-aset apa saja yang berada pada kawasan yang terkena dampak,
bagaimana tingkat kerentanan dari penduduk dan lokasi tempat tinggal mereka, dan bagaimana
perencanaan dan pengembangannya dijalankan, dan apa saja yang telah dilkaukan untuk
menurunkan risiko banjir. Hal ini penting untuk mengetahui kebutuhan serta urgensi dan prioritas
dalam menerapkan tindakan-tindakan pengelolaan risiko banjir.
Pengelolaan Banjir
Jha (2012) mendeskripsikan penanganan teknis mengatasi permasalahan sistem drainase perkotaan
sebagai tindakan pengelolaan banjir. Tindakan-tindakan pengelolaan banjir biasanya dideskripsikan
sebagai struktural dan non-struktral. Tindakan-tindakan struktural bertujuan untuk mengurangi
risiko banjr dengan mengendalikan aliran air dari luar maupun dari dalam tempat tinggal perkotaan.
Tindakan ini merupakan pelengkap dari tindakan-tindakan non-struktural yang berusaha menjamin
bahwa masyarakat aman terhadap banjir dengan memimiliki perencanaan dan pengelolaan
pengembangan perkotaan.
Strategi terintegrasi yang komprehensif seharusnya dikaitkan dengan perencanaan perkotaan dan
kebijakan dan serta berbagai implementasi sebelumnya. Tindakan-tidakan struktural dan nonstruktural tidak mendahului kepentingan satu sama lain, dan strategi-strategi yang berhasil biasanya
mengkombinasikan kedua hal tersebut. Salah satu hal yang penting adalah mengakui tingkat dan
karakterisik dari risiko saat ini dan perubahan ke depan agar dapat mencapai keseimbangan
investasi jangka pendek dan panjang dalam pengelolaan risiko banjir. Namun dengan akselerasi
urbanisasi dan perubahan iklim secara bersamaan, kemungkinan perlu untuk menjauh dari
ketergantungan yang berlebih terhadap perlindungan-perlindungan rekayasa fisik ke arah solusisolusi non-struktural yang lebih adaptif dan bertahap. Rangkaian tindakan-tindakan dapat bersifat
struktural seperti perlindungan banjir dan kanal-kanal drainase, ke arah tindakan-tindakan alternatif
5

yang lebih alamiah dan berkelanjutan seperti lahan banjir dan pencegah-pencegah alami.
Kebanyakan tindakan-tindakan struktural dapat menimbulkan risiko banjir di tempat lain dengan
mengurangi risiko banjir pada satu tempat. Pengalihan aliran air juga dapat berdampak pada
lingkungan. Pada suatu peristiwa mungkin dapat diterima dan merupakan tindakan tepat, namun di
tempat lain tidak.
Tindakan-tindakan non-struktural dapat dikategorisasikan dalam empat kegunaan:
 Perencanaan dan pengelolaan keadaan gawat darurat, termasuk peringatan dini dan evakuasi,
(Mis. sistem pemberitahuan banjir di Filipina dan Lai Nullah Basin, Pakistan)
 Meningkatnya kesiagaan melalui kampanye kesadaran kesiapsiagaan termasuk prosedur
pengelolaan penurunan risiko banjir perkotaan seperti usaha untuk memelihara drainase
tetap lancar melalui pengelolaan limbah yang lebih baik (didemonstrasikan di Mozambik
dan Afghanistan).
 Menghindari banjir dengan perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan tata guna lahan
memberi kontribusi dalam mengatasi dan mengadaptasi terhadap banjir perkotaan (Mis.
German Flood Act dan regulasi-regulasi perencanaandi Inggris dan Wales)
 Mempercepat pemulihan dan menggunakan proses pemulihan untuk meningkatkan
ketahanan melalui perbaikan disain bangunan dan konstruksi. (Mis. perencanaan ketahanan
rekonstruksi desa yang terkena dampak tsunami di Xaafuun, Somali).
 Pembiayaan risiko yang sepadan bila tersedia, atau menggunakan sumber-sumber donor dan
pemerintah, dapat membantu pemulihan yang lebih cepat.
Tantangan yang dihadapi dengan banyaknya tindakan-tindakan non-struktural adalah perlunya
untuk melibatkan dan mendapatkan persetujuan para pemangku kepentingan dan institusi mereka.
Hal ini termasuk memelihara sumber daya danmembangun kesadaran dan kesiapan men. Tantangan
ini semakin besar dengan kenyataan bahwa tindakan-tindakan non-struktural bertujuan untuk
mengurangi kerusakan dan bukan mencegah, sehingga kebanyakan masyarakat secara naluri lebih
memilih tindakan struktural.
Manajemen Sistem Drainase
Sistem drainase menjadi salah satu komponen penting yang terdapat di wilayah perkotaan yang
sedang berkembang untuk menangani dampak berbagai interaksi antara aktivitas manusia dan siklus
air secara alami (Price, 2008). Ada 2 bentuk utama dari interaksi ini yaitu abstraksi air dari siklus
alam untuk menyediakan pasokan air bagi kehidupan manusia dan banyaknya tutupan lahan yang
tidak lagi mengarahkan air hujan pada suatu saluran dari sistem drianase. Kedua bentuk ini
menghasilkan dua jenis air yang berbeda dimana keduanya memerlukan drainase. Sistem drainase
perkotaan menangani kedua jenis air tersebut dengan tujuan untuk meminimalkan masalah yang
timbul bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Dengan demikian, drainase perkotaan memiliki
dua sisi utama yaitu dengan masyarakat dan dengan lingkungan.
Sama halnya dengan bidang lain yang menjadi perhatian lingkungan, tantangan dari sistem drainase
ini tidak dianggap sebgai tanggung jawab satu profesi saja. Pembuat kebijakan, engineer, ahli
lingkungan beserta masyarakat memiliki peran dan peran inilah yang dimainkan dalam kemitraan.
yang menjelaskan kurangnya kesadaran masyarakat dan apresiasi terhadap layanan kota yang vital
(Cesar, 2000). Kecenderungan yang terjadi di masyarakat saat ini adalah ketidakpedulian mengenai
6

layanan sistem drainase dimana hal ini menjadi salah satu aspek. Sama halnya dengan bidang lain
yang menjadi perhatian lingkungan, tantangan dari sistem drianase ini tidak dianggap sebgai
tanggung jawab satu profesi saja. Pembuat kebijakan, engineer, ahli lingkungna beserta masyarakat
memiliki peran dan peran inilah yang dimainkan dalam kemitraan.
Secara keseluruhan, drainase meghadapi tantangan lingkungan modern yang klasik yaitu:
kebutuhan biaya yang efektif untuk penanganan teknis sistem drainase, kebutuhan untuk
melakukan penilaian dari berbagai dampak yang ada, dan kebutuhan untuk mencari solusi yang
berkelanjutan. Dalam desain, perencanaan dan pembangunan drainase bangunan penting untuk
menyadari komponen utama dan tata letak sistem di dalam dan sekitar bangunan. Ini termasuk,
khususnya, pemahaman tentang bagaimana membangun saluran terhubung dengan sistem saluran
pembuangan utama (Butler;Davies, 2004).
Saat ini upaya para engineers dalam memperbaiki dan menambah saluran drainase untuk mengatur
aliran tidak sepenuhnya efektif, hal ini dikarenakan tidak ada lagi ruang untuk memperbesar
tampungan drainase serta banyaknya drainase yang tertutup oleh bangunan dan pemukiman baru
(Widjaya, 1998). Pada saat ini usaha yang dilakukan untuk menanggulangi kejadian limpasan masih
bersifat konvensional yaitu dengan mengalirkan aliran secepatnya ke badan sungai melalui usaha
teknik seperti sudetan dan normalisasi badan sungai. Sementara usaha yang kedua yaitu dengan
mengupayakan aliran selambat-lambatnya masuk ke badan sungai yaitu dengan upaya memperluas
areal resapan, tapi hal ini mengalami kendala karena kebutuhan akan lahan untuk resapan.

3. METODE PENELITIAN
Dengan keterbatasan data yang ada, penelitian ini menggunakan 3 metode pengumpulan data dan
melakukan triangulasi dari ketersediadaan data tersebut, yaitu: penggunaan sosial media (twitter),
data online web, data instansi dan wawancara.
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian ini dilakukan melalui 2 metode yaitu
metode primer dan sekunder.
 Pengumpulan data sekunder menjadi metode utama pengumpulan data yang dilakukan
melaluipencaria data dari web dan sosial media berupa twitter. Berbagai data dan fakta yang
tertuang di web menjadi data mentah yang kemudia diolah dan menjadi bahan analisis dan
ditriangulasi kemudian melalui survei primer. Pencarian data melalui media sosial berupa
twitter dilakukan melalui tahapan pencarian hashtag mengenai banjir kota Bandung, misalnya
#banjir, #banjirBDG, #banjirbandung dan berbagai kode sejenis dalam berbagai akun
khususnya @infobdg. Hasil pemgumpulan data dan informasi berupa lokasi maupun foto
disesuaikan dengan data sekunder yang tercatat maupun tidak tercatat di instansi pemerintah
terkait. Data-data sekunder berupa data statistik diperoleh melalui dokumen yang diarsipkan
oleh instansi terkait. Hipotesa yang diperoleh melalui hasil pengumpulan data ini diproses
melalui mekanisme triangulasi dengan metode survei primer.
 Survei primer dilakukan dengan metode wawancara kepada instansi terkait, diantaranya :
BAPPEDA Kota Bandung, Dinas Bina Marga dan Pengairan, Dinas Tata Ruang dan Cipta
Karya, BPBD Provinsi Jawa Barat, dan Satlak Kota Bandung.
7

4. TEMUAN
Genangan dan banjir di titik-titik strategis di kota Bandung menjadi salah satu permasalahan yang
ditangani serius oleh Pemerintah kota Bandung sejak 2008 (Renja DBMP, 2009). Setiap kali Kota
Bandung diguyur hujan seringkali terjadi „banjir genangan‟ (Banjir Cileuncang) di beberapa tempat,
baik di jalanan kota maupun di permukiman penduduk, seperti yang terjadi pada Desember 2012 –
januari 2013 (Laporan Perencanaan Drainase DBMP, 2012).

Gambar 1. Kiri: Banjir Cileuncang di Jalan Setiabudi depan UPI; Kanan: banjir di Jalan
Peta-Lewipanjang
Sumber : twitter.com/infobdg

Permasalahan Drainase
Pola sistem drainase Kota Bandung dapat dikategorikan dalam 2 pola aliran, yaitu untuk kawasan
dengan kemiringan yang curam di sebelah Utara, yang memerlukan penanganan khusus terutama
untuk mengurangi terjadinya penumpukan air di daerah Selatan akibat berubahnya kecepatan aliran.
Sedangkan daerah yang berpotensi terjadi stagnasi air adalah wilayah selatan yang mempunyai
ketinggian kurang dari 662 m dpl. Disamping itu runoff dari arah utara cenderung semakin besar
dari tahun ke tahun karena pengembangan kawasan permukiman dan lainnya yang cenderung
meningkat pula dalam beberapa tahun terakhir (Laporan Perencanaan Drainase DBMP, 2012).
Sistem drainase Kota Bandung secara umum belum terencana dengan baik dimana sebagian masih
mengikuti pola alamiah, sebagian lagi berupa sistem drainase jalan. Dampaknya timbul daerahdaerah rawan banjir di beberapa lokasi, misalnya di Wilayah Gedebage dan Arcamanik. Pada tahun
2001 luas daerah genangan di Kota Bandung sebesar 314,9 Ha. Penyebab terjadinya daerah rawan
banjir ini adalah karena tertutupnya street inlet oleh beberapa aktivitas, sehingga air hujan tidak bisa
masuk ke dalam saluran drainase, adanya pendangkalan di beberapa bagian saluran serta konstruksi
drainase yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Fenomena yang terjadi dimana air hujan
yang turun ke permukaan tanah masih dibuang “secepat-cepatnya” ke saluran primer dengan
mengandalkan saluran tersier dan sekunder yang secara kuantitas serta kualitasnya terbatas. Air
8

hujan yang turun tidak diberi kesempatan untuk meresap sebagai cadangan air tanah karena telah
banyaknya lahan yang tertutup. Akibatnya tanah tidak memiliki cadangan air,muka air tanah turun,
terjadi kekeringan, serta banjir rutin tahunan yang selalu terjadi. Sementara, untuk saluran drainase
di sisi jalan pada dasarnya cukup untuk menampung air limpasan hujan dari jalan, namun karena
sudah menyatu dengan buangan dari permukiman dan yang lainnya sehingga melebihi kapasitas
drainase (Bidang Perencanaan Distarcip, 2013). Runoff bercampur dengan air limbah, baik dalam
skala kecil maupun besar karena tidak adanya pembagian fungsi yang terpisah secara jelas antara
saluran drainase dan saluran sanitasi.
Permasalahan lainnya, dalam perkembangan kota banyak saluran irigasi yang dimanfaatkan
menjadi saluran drainase, terutama dnegan berkembangnya kawasan permukiman. Hal ini
mengakibatkan persoalan mengingat konsep pengaliran saluran drainase bertolak belakang dengan
konsep pengaliran air untuk irigasi. Perbedaan yang paling pokok adalah karena pada sistem irigasi,
saluran berfungsi mendistribusikan air untuk persawahan, sehingga dimensi saluran semakin ke hilir
semakin kecil dan akhirnya hilang di lokasi petak-petak sawah. Sedangkan pada sistem drainase
saluran berfungsi untuk membawa/mengalirkan air hujan, air buangan domestik, dan buangan
industri ke badan air penerima sehingga seharusnya semakin ke hilir dimensinya semakin besar.
Selain itu letak saluran irigasi selalu berada pada elevasi yang lebih tinggi dari kawasan sekitarnya,
sedangkan saluran drainase harus berada pada daerah yang lebih rendah dari sekitarnya agar dapat
menagkap aliran air hujan yang mengalir di permukaan lahan setempat.
Beberapa permasalahan drainase yang teridentifikasi dapat ditinjau dari aspek teknis dan non teknis.
1. Aspek Teknis
a. Kapasitas saluran draianse
35% permasalahan banjir Cileuncang disebabkan karena kapasitas saluran drainase.
Kapasitas saluran drainase yang ada saat ini sudah tidak emmadai/ tidak mampu lagi
menampung debit air maksimum baik dari air hujan maupun dari aliran domestik rumah
tangga. Saluran drainase yang menyempit terdesak oleh adanya bangunan yang memakai
lahan dan menutupi area sempadan untuk drainase. Hal ini menyebabkan penampang
saluran menjadi mengecil sehingga tidak mampu menampung aliran air hujan. Selain itu
adanya saluran drainase yang berada di bawah bangunan sehingga mempersulit
pemeliharaan dan pengawasannya. Kondisi seperti inilebih disebabkan karena amsalah
kelembagaan, dimana hal ini menunjukkan amsuh lemahnya pengawasan dari instansi
terkait dalam pemberian ijin bangunan maupun sertifikasi tanah.
b. Masalah gorong-gorong
8% permasalahan banjir Cileuncang disebabkan karena amsalah gorong-gorong.
Beberapa permasalahn gorong-gorong yang ada saat ini diantaranya kapasitas yang
kurang memadai, peletakan konstruksi yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah
teknis, adanya utilitas umum yang melintas did alam gorong-gorong, serta operasional
dan perawatan yang kurang.
c. Sedimentasi dan sampah
30& masalah banir Cileuncang disebabkan karena masalah sedimentasi dan sampah. Hal
ini membuat air tidak mengalir. Banyaknya sampah yang dibuang/terbuang ke badan air
menyebabkan terjadinya tumpukan sampah di pertemuan saluran, belokan sungai, dan
9

gorong-gorong. Hal ini menjadi penyebab utama terjadinya luapan air yang
menggenangi jalan dan daerah sekitarnya.
d. Menurt Bina Marga, Guna lahan Bandung yang tadinya pertanian berkembang menjadi
perumahan dan lainnya, namun salirannya masih menggunakan saluran irigasi, dimana
strukturnyadan elevasi berbeda dengan drainase yang satu pembawa air yang satu lagi
pembuang. Pembangunan perumahan yang membuat saluran sendiri juga tidak didesain
ke saluran di luar perumahan. Belum lagi masalah sampah dan sedimentasi. Jadi
masalah utamanya terdapat pada perubahan guna lahan dan perilaku. Pertanyaannya
apakah memang tidak ada saluran drainase atau yang ada belum dioptimalkan. Untuk
permasalahn teknis genangan di jalan, jika dibandingkan berdasarkan standar harusnya
terdapat kemiringan tertentu di bawah jalan untuk membuat saluran, sementara yang
terjadi saat ini jalan yang sudah ada dibuat saluran di atas ketinggian jalan. Sehingga
ketika saluran penuh akan tumpah ke jalan.

2. Aspek Non Teknis
a. Saat ini pemkot Bandung belum memiliki peta sistem drainase yang dapat
menanggulangi banjir Cileuncang yang terjadi setiap tahun karena sistem drainasenya
tidak sesuai lagi dnegan kondisi saat ini. Volume air huajn yang mencapai 2000 mm3/
tahun tidak mampu ditanpung gorong-gorong yang sejak dulu tidak bertambah dan jauh
dari fungsi hidrolil. Pelanggaran daerah sempadan menyebabkan banjir selalu berulang
Setiap tahun. Penegakan peraturan terhadap pelanggar sempadan saluran belum bejalan
optimal sehingga pemulihan fungsi saluran drainase terhambat.
b. Adanya beberapa utilitas prasarana kota seperti pipa PAM dan kabel telepon yang
melintasi saluran drainase dan peletakannya terlalu rendah sehingga pada saat hujan
menjadi penghalang aliran air dan ampah. Kondisi seperti ii dapat disebabkan oleh
kuangnya koordinasi antar instansi terkait yang pada dasarnya sama yaitu melayani
kepentingan umum.
c. Adanya sistem street inlet yang tidak proporsional dengan arah aliran air yang mengalir
di jalan. Ini dapat dilihat di jalan-jalan hampir seluruh Kota Bandung baik di utara
maupun selatan seperti seanjang Jl.Setiabudi, Cihampelas, dan Pasirkoja. Pada waktu
hujan besar aliran air sama sekali tidak terkendali sehingga air hujan mengalir di jalan.
Hal ini terutama disebabkan karena tidak adanya saluran penangkap air hujan yang
memotong aliran air hujan di lintasan jalan.
d. Kebinamargaan hanya terkait jalan dan gorong-gorong yang akan menentukan mata
anggaran. Kalau berbicara mengenai drainase, faktanya saluran yang ada di kiri kanan
jalan harusnya menjadi cathment water dari jalan namun berfungsi ganda menjadi
drainase lingkungan yang berisi limbah rumah tangga. Saluran di kiri kanan jalan yang
seharusnya menjadi catchmen air hujan di jalan justru menyatu dengan saluran buangan
limbah dimana idealnya ada saluran khusus yang menampung buangan limbah rumah
tangga, sementara di kita menyatu dengan saluran dari perkerasan jalan. Jadi blur
penanganan yang harus dilakukan antara bina marga atau sanitasi daricipta karya, ini
masih terkait saluran tersier.Untuk ke badan air seperti sungai lingkupnya sudah

10

melibatkan pengairan. Fungsi ini yang harus dipertegas lagi antar masing-masing
instansi karena lingkup penanganannya berbeda-beda.
Pelanggaran Tata Ruang
Distarcip Kota Bandung menyatakan untuk masalah perizinan, dari Distarcip tidak pernah
memberikan ijin adanya kegiatan di atas saluran atau brangang yang menutupi saluran tersebut.
Sejak 2012 sudah dilaksanakan pendataan bangunan-bangunan yang dinilai melanggar ijin
bangunan. Ranah Distarcip hanya pada pengadaan ruang, sementara untuk konstruksi teknis terkait
drainase jalan dan sungai ada yang lebih berwenang yaitu Bina Marga dan Pengairan. Sementara
Distarcip menyediakan daerah resapan, menyediakan ruang.
Sementara itu fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pelanggaran ini terbatas oleh jumlah
SDM dimana untuk masing-masing wilayah koordinasi hanya ditanggungjawabi oleh 2 orang.
Kendala Perbaikan dan Perencanaan Drainase
Baik Distarcip maupun Dinas Bina Marga menyatakan kendala utama untuk memperlebar saluran
adalah masalah pembebasan lahan. Hal lainnya yang juga cukup memberatkan adalah lemahnya
dalam pengawasan dan pengendalian yang terintegrasi antar instansi.
Dalam laporan pengukuran Kinerja Satuan kerja Perangkat Daerah Dinas Bina Marga dan
Pengairan (2011), untuk urusan Tidak tercapainya target berkurangnya lokasi banjir di Kota
Bandung dengan target 9 lokasi. Permasalahan pelaksanaan urusan tersebut adalah titik lokasi bajir
belum berkurang namun sudah 10 titik genangannya sudah berkurang. Sementara itu pembangunan
drainase tidak dapat direalisasikan karena terkendala pembebasan lahan. Solusi untuk hal ini
diharapkan nisa dilakukan pembebasan lahan untuk mewujudkan pembangunan drainase.
Sementara itu, dalam laporan tahun 2012, target penanganan jumlah lokasi banjir di Kota Bandung
tidak tercapai dimana dari target 9 lokasi banjir direalisasikan pada 9 lokasi banjir sehingga lama
genangan dan tinggi genangan berkurang namun belum tuntas mengurangi lokasi banjir. Anggaran
yang tersedia belum dapat menuntaskan permasalahan banjir secara menyeluruh. Pemerintah kota
merekomendasika alokasi anggaran agar dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Capaian target lain
yang tidak dapat direalisasikan adalah peningkatan panjang saluran panjang drainase yang
ditargetkan sepanjang 13000m namun hanya dapat direalisasikan sepanjang 4513,1 m. Hal ini
disebabkan anggaran 2012 hanya cukup untuk meningkatkan saluran drainase sepanjang 4513,1 m.
Dengan demikian pemerintah kota merekomenasikan alokasi anggaran untuk meningkatkan saluran
drainase.
Memberikan edukasi kepada msyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan juga tidak
jelas tanggung jawab siapa apakah Diskomifo atau dinas kebersihan kebersihan atau aparat
kecamatan.Apakah ada penegakan hukum untuk yang membuang sampah juga tidak jelas. Jadi jika
bina marga berupaya mengatasai kekurangan-kekurangan yang ada, tapi tidak menuntaskan akar
permasalahannya yaitu sampah, sama saja mengerjakan sesuatu yang tidak akan tuntas. Rata-rata
lokasi TPS berada di dekat sungai. Berapa persen pelayanan sampah yang bisa dilakukan Dinas
Kebersihan, sisanya tentu dibuang masyarakat ke saluran atau sungai.
Perencanaan Anggaran
11

Anggaran yang dicanagkan oleh Pemerintah Kota Bandung sekitar 700 M yang besarnya sekitar 3
kali lipat dibandingkan 2012 yang hanya sekitar 200M. Ketua DPRD Kota Bandung menyatakan
anggaran 2013 dapat menjadikan draianse dan jalan serta infrastruktur Kota Bandung menjadi baik
dimana saat ini bukan hanya saat hujan besar namun hujan gerimis di beberapa titik sudah terdapat
genangan Cileuncang (2012). Tahun 2013 diharapkan tidak ada lagi lubang di jalan protokol dan
titik-titik banjir di tempat strategis.
Untuk mengatasi banjir, Iming menuturkan, ada alokasi Rp 108 miliar bagi pembangunan sekaligus
merehabilitasi saluran drainase atau gorong-gorong. Sementara program pengendalian banjir
dialokasikan Rp 31,4 miliar
120,000,000,000
100,000,000,000

Anggaran

80,000,000,000
60,000,000,000
40,000,000,000
20,000,000,000
0
2011
2012
Program pembangunan saluran drainase/ gorong-gorong

2013
Program pengendalian banjir

Grafik 2. Rencana Anggaran Program Drainase dan Pengendalian Banjir

Berdasarkan Rencana Anggaran yang disusun oleh Dinas Bina Marga dan pengairan, kegiatan yang
dilakukan untuk tahun 2013 terkait saluran mikro/ drainase terdiri dari:
- Perencanaan OP
- Perencanaan lansekap trotoar dengan estetika
- Pemeliharaan rutin dengan pengerukan sedimen dan sampah
- Pengadaan preecast mangkuk tangkapan air, tali-tali air/inlet, manhole
- Pembentukan sebaran tim pelaksana OP (dibentuk dengan SK Kepala Dinas)
- Pelaksanaan percontohan penataan trotoar ramah lingkungan (pasteur, cibiru, cibereum)
- Perbaikan ramp trotoar lama dan guidance tuna netra (diutamakan di persimpangan jalan)
- Penggunaan material batu andesit (penggunaan ubin badak di hapus)

12

Pembangunan Drainase/ Goronggorong (meter)
20000

Pemeliharaan Saluran Dan Goronggorong (meter)
35000
30000

15000

25000
20000

10000

15000
10000

5000

5000
0

0
2009
Target

2010
Realisasi

2011

2009
Target

2010
realisasi

2011

Skenario Perencanaan
Perencanaan pemeliharaan drainase akan diintensifkan untuk mengatasi 54 titik banjir di Kota
Bandung. Kegiatan ini dilakukan tidak hanya dengan memperlebar drainase tapi juga memperdalam
drainase. Strategi pengerukan akan dilakukan secara intensif untuk mensiasati materi yang terbawa
air lagi setelah dikeruk.
Berdasarkan Renja 2012, Visi DBMP “terwujudnya tingkat pelayanan infrastruktur jalan dan
drainase yang handal dan ramah lingkungan” diturunkan dalam salah satu misi DBMP terkait
drainase yaitu “Mewujudkan sistem draianse perkotaan yang terintergrasi dan mampu menunjang
keawetan struktur perkerasan jalan serta meminimalkan potensi banjir” melalui:
- Konsep drainas eterpadu (primer, sekunder dan tersier)
- Peminaan draianse primer yang jelas (pusat,propinsi,kota)
- Pengembangan prsarana operasional pemeliharaan
Dalam prioritas program 2012 terdapat program “Perbaikan,penambahan kapaitas dan pemuatan
operasionalsertapemeliharaan saluran dengan memungsikan kembali tali-tali air”.
Target kinerja RPJM 2009-2013 yang berhubungan dengan DBMP : tersedianya Rencana Induk
Sistem Drainase Kota yaitu sebesar 25% sistem drainase terpadu.
Berdasarkan renja 2012 DBMP dirumuskan permasalahan terkait banjir cileuncang diantaranya:
pendangkalan, penyempitan,bangunan di atas saluran drainase, dan kapasitas outlet.
Berdasarkan rekaman anggaran 2009, hasil pembangunan saluran adalah sepanjang 6.835 km dan
pelaksanaan pengangkatan sedimen sepanjang 105.500 km.
Terdapat kriteria penyusunan skala prioritas bedrasarkan Renja 2012, yaitu:
1. Tingkat kerusakan
2. Lama genangan
3. Dampak kepada lalu lintas
4. Keamanan pejalankaki
Konsep penataan drainase jalan yang dirumuskan oleh DBMP adalah “Mewujudkan kelancaran
pengaliran air agar tidak merusak jalan dan tidak mengganggu arus lalu lintas. Pada tataran empiris
13

ada sebuah kenyataan bahwa disiplin/hirarki pengaliran air pada tata guna lahan di sekitar jalan
tidak berjenjang sesuai aturan sehingga infrastruktur drainase jalan terbebani oleh beban yang tidak
seharusnya dipikul. Penerapan Perencanaan Dimensi Lebih Dan Penggunaan Material Jadi
(Precast) menjadi pilihan untuk dapat mengatasi kebutuhan debit pengaliran, percepatan kerja, dan
keawetan struktur. Ditambah dalam beberapa lokasi titik-titik infrastruktur operasional
pemeliharaan (OP) akan mulai diterapkan.

5. KESIMPULAN
 Secara keseluruhan, drainase menghadapi tantangan lingkungan modern yang klasik yaitu:
kebutuhan biaya yang efektif untuk penanganan teknis sistem drainase, kebutuhan untuk
melakukan penilaian dari berbagai dampak yang ada, dan kebutuhan untuk mencari solusi
yang berkelanjutan. Sama halnya dengan bidang lain yang menjadi perhatian lingkungan,
tantangan dari sistem drianase ini tidak dianggap sebgai tanggung jawab satu profesi saja.
Pembuat kebijakan, engineer, ahli lingkungna beserta masyarakat memiliki peran dan peran
inilah yang dimainkan dalam kemitraan.
 Tindakan-tindakan struktural dengan rekayasa tinggi dapat menyebabkan transfer risiko di
hilir dan hulu. Tindakan-tindakan struktural berekayasa tinggi dapat efektif bila digunakan
secara tepat. Namun demikian harus dilihat karakteristiknya apakah pada saat mengatasi
risiko banjir di satu lokasi akan meningkatkan risiko di tempat lain. Para pengelola banjir
perkotaan harus mempertimbangkan apakah tindakan-tindakan yang diambil telah mewakili
kawasan tangkapan air yang lebih luas.
 Kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab untuk konstruksi dan pengelolaan
program-program risiko banjir sangat perlu. Pengelolaan risiko bajir perkotaan secara
terintegrasi sering terhambat pada dinamika dan perbedaan insentif dalam mengambil
keputusan di tingkat nasional, resgional, perkotaan dan masyarakat. Pemberdayaan dan
kebersamaan terhadap masalah banjir oleh badan-badan dan individu-individu yang relevan
dapat menghasilkan tindakan yang positf untuk mengurangi risiko.
 Implementasi tindakan-tindakan pengelolaan risiko bajir memerlukan kerjasama dari para
pemangku kepentingan. Hubungan yang erat dengan masyarakat yang berisiko pada setiap
tahap merupakan faktor kunci keberhasilan. Kedekatan hubungan meningkatkan penerapan
standar, menghasilkan peningkatan kapasitas dan menurunkan konflik. Hal ini perlu
dikombinasikan dengan kepemimpinan yang kuat dan berani membuat keputusan, serta
komitmen dari pemerintahan nasional dan lokal.
6. REKOMENDASI
 Mengatasi persoalan banjir dan genangan di titik-titik jalan strategis Kota Bandung perlu
dilakukan tindakan integrasi secata struktural dan non struktural. Tindakan-tindakan
struktural dengan rekayasa tinggi dapat menyebabkan transfer risiko di hilir dan hulu.
Tindakan-tindakan struktural berekayasa tinggi dapat efektif bila digunakan secara tepat.
Namun demikian harus dilihat karakteristiknya apakah pada saat mengatasi risiko banjir di
satu lokasi akan meningkatkan risiko di tempat lain. Para pengelola banjir perkotaan harus
mempertimbangkan apakah tindakan-tindakan yang diambil telah mewakili kawasan
tangkapan air yang lebih luas.
14















Secara teknis, perlu optimalisasi saluran penghubung jalan ke drainase. Jalan-jalan strategis
di Bandung tidak semuanya memiliki saluran penghubung ke drainase, jikapun ada, saluran
ini tersumbat atau memiliki kapasitas yang kecil sehingga tidak dapat berfungsi
menyalurkan air run-off ke drainase.
Kelemahan teknis yang cukup fatal adalah kondisi saluran drainase yang lebih tinggi
daripada jalan sehingga air hujan yang menggenangi jalan tidak memiliki jalur buangan. Hal
ini perlu diperbaiki untuk mengurangi genangan di jalan.
Pemberdayaan dan kebersamaan terhadap masalah banjir oleh badan-badan dan individuindividu yang relevan dapat menghasilkan tindakan yang positf untuk mengurangi risiko.
Implementasi tindakan-tindakan pengelolaan risiko bajir memerlukan kerjasama dari para
pemangku kepentingan.
Hubungan yang erat dengan masyarakat yang berisiko pada setiap tahap merupakan faktor
kunci keberhasilan. Kedekatan hubungan meningkatkan penerapan standar, menghasilkan
peningkatan kapasitas dan menurunkan konflik. Hal ini perlu dikombinasikan dengan
kepemimpinan yang kuat dan berani membuat keputusan, serta komitmen dari pemerintahan
nasional dan lokal.
Secara regulasi, hal yang perlu dilakukan adalah mempertajam isi Perda Kota Bandung
Nomor 11 Tahun 2004 mengatur sanksi denda Rp 5 juta bagi orang yang buang sampah ke
sungai agar Perda ini tidak berlaku seperti macan ompong.
Kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi risiko dan kerentanan
dipengaruhi oleh ketersediaan dari informasi yang akurat tentang risiko terhadap kota
mereka dan, saat ini kelemahan yang cukup besar berkaitan dengan pemantauan yang akurat
dan pelaporan tren bencana perkotaan.
Penggunaan secara efektif dari lahan terbatas di daerah perkotaan yang padat penduduk
adalah konstruksi cekungan penghadang multi fungsi yang dapat menyimpan air banjir
untuk mengendalikan tumpahan air bila diperlukan. Di saat lain cekungan tersebut
dipergunakan untuk kegiatan lain seperti fasilitas olahraga dan rekreasi atau bahkan parkiran.
Memelihara air hujan juga merupakan cara inovatif untuk mencegah banjir. Dalam bentuk
sistem drainase yang berkesinambungan dan dipergunakan sebagai air simpanan (bukan
untuk diminum) atau konservasi. Investasi untuk pengelolaan kota yang lebih baik, seperti
untuk limbah/sampah juga dapat mengurangi risiko banjir, yang memberi manfaat kesehatan
dan lingkungan, dan dapat menciptakan lapangan kerja serta mengentaskan kemiskinan.

Daftar Pustaka
Kelompok Buku dan Jurnal
Butler , D & and Davies, John W. 2004. Urban Drainage. Spon Press, New York.
Dorodjatoen, Agung M. 2011. The Emergence of Jakarta-Bandung Mega-Urban Region and Its
Future Challenges.
Firman, T. 2008. The Continuity and Change in Mega-Urbanization in Indonesia: A Suvey of
Jakarta-Bandung Region (JBR) Development. Habitat International, 327-339
15

Jha, Abhas K., Bloch, R., & Lamond, J. 2012. Kota dan Banjir: Panduan Pengelolaan Terintegrasi
untuk Risiko Banjir Perkotaan di Abad 21. World Bank.
Pompeo, Cesar Agusto. 2000. Development of a State Policy for Sustainable Urban Drainage.
Urban Water, 155-160
Price ,R.K. 2008. Urban Flood Disaster Management. Urban Water Journal, 37 – 41.

World Disster Report: Focus on Urban Risk. 2010. International Federation of Red Cross and Red
Crescent Societies.
Kelompok Dokumen Resmi dan Peraturan Perundang-Undangan
Bandung Dalam Angka 2003- 2011
Profil Kota Bandung, 2011
Rencana Kerja Dinas Bina Marga dan Pengairan 2010 - 2013
Rencana Kerja Dinas Bina Marga dan Pengairan 2012
RTRW Kota Bandung 2011 – 2031
Sumber Lainya
Kompas, Januari 2013.
twitter.com

16

Gambar 1 Peta Genangan 54 Titik Kota Bandung

17

18