INDEKS BUDAYA LITERASI MAHASISWA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN AKADEMIK 2017 Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail Program Studi Pendidikan Agama Islam - Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta e-mail:

INDEKS BUDAYA LITERASI MAHASISWA PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM (PAI) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2017
Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail
Program Studi Pendidikan Agama Islam - Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta
e-mail: za219@ums.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat budaya literasi
mahasiswa Pendidikan Agama Islam UMS dan faktor-faktor yang
mempengaruhi naik dan turunnya budaya litersi tersebut. Dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan diskriptif kuantitatif agar
terpapar data yang akurat dan jelas. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa Pertama, tingkat budaya literasi membaca, menulis dan
berdiskusi antara lain ; tingkat membaca sebesar 7%, menulis sebesar
6%, berdiskusi sebesar 13%. Hal ini menunjukkan rendahnya budaya
literasi mahasiswa PAI dari 92% mahasiswa murni (tidak bekerja )
waktu yang digunakan untuk aktivitas akademik minim. Kedua, faktor
pendukung dari tingkat budaya literasi antara lain tugas dari dosen
menempati tingkatan tertinggi sebesar 41% untuk membaca, dan

46% untuk menulis, dan faktor pendukung yang selanjutnya adalah
tingkat diskusi menyampaikan informasi sebesar 26%, menambah
informasi sebesar 33%. Sedangkan faktor penurun anatara lain, rasa
ingin tahu yang rendah mengenai sebuah keilmuan, untuk mencari
informasi dan menambah pengetahuan sebesar 29%, motivasi untuk
membaca masih didominasi rasa paksaan dari dosen sebesar 41%.
Dan mahasiswa yang senang dengan aktivitas menulis dalam kategori
menyalurkan minat sebesar 20%. Serta faktor lingkungan yang masih
kurang mendukung dalam menumbuhkan budaya literasi. Mahasiswa
dalam aktivitas di tempat umum lebih suka berbincang-bincang 33%,
bermain gadget, game 33%, browsing 25%. Membaca hanya 7%.
Kata Kunci: Budaya Literasi, Pembelajaran, faktor pendukung,
Mahasiswa PAI

Indeks Budaya Literasi...(Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail) 150

Pendahuluan
Kini budaya literasi di Indonesia
menjadi persoalan yang sangat menarik
untuk diperbincangkan. Mengingat

budaya literasi di Indonesia masih
rendah dan belum mendarah daging
dikalangan masyarakat. Ditengah
melesatnya budaya populer, buku
tidak pernah lagi menjadi prioritas
utama. Bahkan masyarakat lebih
mudah menyerap budaya berbicara
dan mendengar, dari membaca
kemudian menuangkannya dalam
bentuk tulisan. Masyarakat Indonesia
masih lebih banyak didominasi oleh
budaya komunikasi lisan atau budaya
tutur. Masyarakat cenderung lebih
senang menonton dan mengikuti
siaran televisi ketimbang membaca.
Literasi
sendiri
secara
sederhana
diartikan

sebagai
kemampuan membaca dan menulis.
Dalam
konteks
pemberdayaan
masyarakat, literasi mempunyai
arti
kemampuan
memperoleh
informasi dan menggunakannya
untuk
mengembangkan
ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi
masyarakat. Budaya membaca dan
menulis pada masyarakat Indonesia
sampai
menghadapi
milenium
baru ini sebenarnya masih sangat

memprihatinkan.
Buku-buku
pelajaran tak lagi menjadi teman
setia pelajar masa kini. Budaya
membaca, menulis dan berdiskusi tak
lagi menjadi ciri khas pelajar yang
konon sering disebut sebagai generasi
penerus bangsa ini. Padahal ada

pepatah yang mengungkapkan bahwa
buku adalah “gudang”nya ilmu dan
membaca adalah “kunci”nya.
Tokoh Proklamator Kemerdekaan
Republik Indonesia, Soekarno dan
Muhammad Hatta, mengatakan ,
“membangun negara awali dengan
memulai dari membaca,…” serta
para tokoh-tokoh besar pendiri
bangsa ini juga mencontohkan hal
yang demikian, mereka mempunyai

jiwa akademis dan budaya literasi
yang tinggi seperti Soekarno, Hatta,
Syahrir, Muhammad Yamin mereka
tidak hanya membaca dan rajin
berdiskusi tapi juga sampai kepada
menuliskan buah pemikirannya
sehingga berbentuk buku. Tidak hanya
jiwa akademis dan budaya literasi,
tapi juga jiwa aktivis yang tinggi,
sehingga bisa mengaktualisasikan
pengetahuan
mereka
dalam
tindakan yang nyata hingga mampu
memerdekakan Repulik Indonesia.
Hal ini juga pernah terjadi di
dalam Islam pada masa khalifah
Harun Ar-Rasyid. Ia dan anaknya
membangun budaya literasi dengan
membangun perpustakaan dengan

jutaan buku yaitu baitul hikmah,
membaca dibudayakan, berdiskusi
di fasilitasi dalam baitul hikmah,
menulis terus digemakan sehingga
Islam pada masa itu menjadi puncak
kegemilangan. Banyak orang Eropa
berguru pada orang Islam, kemudian
orang Eropa kembali dan membangun
peradabannya.

151 SUHUF, Vol. 29, No. 2, November 2017 : 150-167

Berdasarkan survei UNESCO
minat baca masyarakat Indonesia
baru 0,001 persen. Artinya, dalam
seribu masyarakat hanya ada satu
masyarakat yang memiliki minat baca.
Kepala Biro Komunikasi Layanan
Masyarakat (BKLM) Kemendikbud
Asianto Sinambela menegaskan,

minat baca literasi masyarakat
Indonesia masih sangat tertinggal dari
negara lain. Dari 61 negara, Indonesia
menempati peringkat 60.1
Hal ini tidak bisa dilepaskan
dari dampak era globalisasi dimana
jarak dan waktu seperti sudah tidak
menjadi masalah yang berarti, hal
ini tentu memberikan dampak positif
bagi perkembangan keilmuan dan
teknologi. Dimana setiap manusia
bisa mengakses informasi dari
belahan dunia hanya dengan berdiam
ditempat tanpa harus berlari kesana
kesini, tentu ini adalah kemudahan
dan keuntungan besar bagi manusia.
Tapi dengan adanya fasilitas seperti
diatas, manusia dihadapkan dengan
dua kemungkinan yaitu semakin
berkembang maju kedepan atau

termanjakan, kemudian tertelan
perubahan zaman. Perkembangan
zaman yang begitu cepat harus
direspon dengan cepat pula oleh
manusia, bila tidak manusia akan
ketinggalan zaman.
Internet salah satunya, dapat
digunakan
dalam
mengakses
informasi tertulis maupun sarana

meningkatkan kemampuan menulis.
Seperti website dan blog mudah
ditemukan dan dibuat, e-paper dan
e-book gampang diakses. Namun, jika
tidak disikapi dengan bijak internet
malah menjadi tempat membuang
waktu, karena tidak digunakan secara
efektif dan produktif. Padahal jika

internet dipakai untuk membaca
atau mencari bahan untuk menulis,
akan menjadi hal yang sangat
berguna. Selain itu ketidaktegasan
pemerintah untuk menindak media
yang belakangan ini menampilkan
tayangan-tayangan
yang
tidak
mendidik, bahkan bertentangan
dengan norma semakin membuat
media berani untuk menampilkan
tayangan-tayangan
yang
tidak
bermanfaat dan tak bermartabat.
Begitu banyak tayangan-tayangan
hiburan di media yang tidak mendidik
bahkan berbahaya.
Karena perkembangan zaman

yang begitu cepat, maka pendidikan
dan lembaganya yang bertugas
merubah akhlak manusia dari yang
tidak terdidik menjadi terdidik dan
berakhlak mulia harus merespon
perkembangan yang begitu cepat.
Lembaga pendidikan sekarang ini
harus mampu mewujudkan iklim ilmu
pengetahuan, karena mewujudkan
iklim ilmu pengetahuan jauh lebih
penting daripada menemukan teori
ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim
ilmu pengetahuan, para ahli yang

1
Survey Unisco dilansir dari Laman, Solopos, 10 Oktober 2016 (http://www.solopos.
com/2016/10/10/hasil-survei-unesco-minat-baca-orang-indonesia-terendah-kedua-didunia-759534) (diakses tanggal 11 Mei 2017 pukul 22.54 WIB)

Indeks Budaya Literasi...(Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail) 152


menemukan teori itu akan mengalami
nasib seperti Galileo, yang menjadi
korban hasil penemuannya.2
Maka berkaca dari analisis
diatas, untuk bisa memajukan
bangsa ini perlu di gerakkan budaya
literasi yaitu membaca menulis dan
berdiskusi. Demikianlah, perintah
membaca merupakan perintah yang
paling berharga yang dapat diberikan
kepada umat manusia. Karena,
membaca merupakan jalan yang
mengantar manusia mencapai derajat
kemanusiaannya yang sempurna.
Sehingga tidak berlebihan bila
dikatakan bahwa “membaca” adalah
syarat utama guna membangun
perdaban. Dan bila diakui bahwa
semakin luas pembacaan semakin
tinggi peradaban demikian pula
sebaliknya. Maka, tidak mustahil
jika pada suatu ketika “manusia”
akan didefinisikan sebagai “makhluk
membaca”, suatu definisi yang tidak
kurang nilai kebenarannya dari
definisi-definisi lainnya semacam
“makhluk sosial” atau “makhluk
berpikir”.3
Dari pemaparan diatas, perlu
diteliti tentang budaya literasi yang
ada di Program Studi Pendidikan
Agama Islam (PAI) Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Karena penilitian dibidang ini
tergolong sedikit. Padahal hal ini
sangat penting untuk melihat tingkat
belajar dan hasil dari belajar. Karena
salah satu dari Tri Darma Perguruan

Tinggi adalah penelitian,. Jika hal
ini tidak diteliti dan tidak diketahui
oleh Perguruan Tinggi maka proses
pengembangan Perguruan Tinggi
tidak akan terpetakan dengan
maksimal.
Dengan diadakannya penelitian
diharapkan
bisa
memberikan
sumbangsih kepada lembaga atau
program studi tersebut untuk lebih
mengetahui tingkat bacaan, kapasitas
menulis, dan minat untuk berdiskusi
dari hal ini bisa memberikan
data dan bisa menjadi acuan
untuk perkembangan kedepannya
memperbaiki hal-hal yang kurang
baik dan meningkakan hal-hal yang
baik dalam proses penyampain
materi, tugas kuliah ataupun dalam
desain program studi.
Budaya
Menurut E.B. Tylor dalam
bukunya yang berjudul “primitive
culture”
bahwa
kebudayaan
adalah
keseluruhan
kompleks
yang didalamnya terkandung ilmu
pengetahuan lain, serta kebiasaan
yang didapat manusia sebagai
anggota masyarakat. Pada sisi
yang agak berbeda, Koentjaningrat
mendefinisikan kebudayaan sebagai
keseluruhan manusia dari kelakuan
dan hasil kelakuan yang teratur
oleh tata kelakuan yang harus
didapatnya dengan belajar dan
yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat. Dari beberapa

2

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran,(Bandung ; Mizan, 2014), hlm 63.
Ibid, hlm 266.

3

153 SUHUF, Vol. 29, No. 2, November 2017 : 150-167

pengertian tersebut dapat ditarik
kesimpulan
bahwa
kebudayaan
adalah keseluruhan sistem, gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia
untuk memenuhi kehidupanya dengan
cara belajar yang semuanya tersusun
dalam kehidupan masyarakat. Jadi,
kebudayaan adalah kebudayaan
manusia. Hampir semua tindakan
manusia adalah kebudayaan.4
Dalam penelitian ini mencoba
menganalisis
budaya
literasi
merupakan suatu pola kebiasaan yang
bersangkutan dengan akal dalam
sebuah kelompok atau lembaga
tertentu.
Kebudayaan
mempunyai
dua bagian secara umum yaitu
dapat diamati dan tidak dapat
diamati.
Berdasarkan
bagian
tersebut, kebudayaan secara umum
didefinisikan kedalam dua aliran, yaitu
definisi dari aliran ideasional dan dari
aliran behaviorisme (materialisme).
Definisi kebudayaan berdasarkan
pembagian tersebut adalah :
Pertama, definisi kebudayaan
ideasional dijelaskan oleh Edward
B.Taylor,
kebudayaan
sebagai
keseluruhan
yang
kompleks,
yang
didalamnya
terkandung
ilmu pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum adat, adat
istiadat dan kemampuan yang lain,
serta kebiasaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan menurut Ralp Lipton

mengartikan kebudayaan sebagai
sejumlah total sikap dan pola tingkah
laku yang dibiasakan, dibagikan
dan ditrasmisikan oleh anggota dari
masyarakat tertentu.
Kedua, definisi kebudayaan dari
aliran behaviorisme (matearilialisme),
kebudayaan
merupakan
suatu
fenomena yang dapat diamati
yaitu pola pola kehidupan didalam
komunitas, aktivitas yang berulang
ulang secara reguler serta pengaturan
material dan sosial. Eguen A.Nida
yang
mengartikan
kebudayaan
sebagai perilaku manusia yang
diajarkan terus menerus dari generasi
kegenerasi, sedangkan J.Verkuyl
mendefinisikan kebudayaan sebagai
suatu yang diajarkan manusia, segala
sesuatu yang dibuat oleh manusia.
Maka dalam usaha peneliti untuk
mengetahui tingkat budaya literasi
dibutuhkan teori budaya populer.
Untuk menggemakan perubahan serta
membawa massa, karena budaya
populer sangat dekat dengan budaya
massa.
Budaya Populer
Kata populer yang sering
disingkat ”pop” diambil dari kata
”populer”. Terhadap istilah ini
Williams memberikan empat makna
yakni: (1) banyak disukai orang; (2)
jenis kerja rendahan; (3) karya yang
dilakukan untuk menyenangkan
orang; (4) budaya yang memang

4

Sukidin. Basrowi. Agus wiyaka. Pengantar Ilmu Budaya. (Surabaya: Insan Cendekia,
2003). hlm 4-5.
Indeks Budaya Literasi...(Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail) 154

dibuat oleh orang untuk dirinya
sendiri5.
Kemudian
untuk
mendefinisikan budaya pop kita perlu
mengkombinasikan dua istilah yaitu
”budaya” dan ”populer”.
Menurut Dominic Strinati dalam
buku popular culture ada tiga tema
yang dipandang dalam budaya
populer. Tema pertama adalah apa
atau siapa yang menentukan budaya
populer. Dari mana datangnya
budaya populer? Apakah ia lahir dari
orang awam sendiri sebagai salah
satu bentuk ekspresi mandiri atas
kepentingan mereka dan berbagai
bentuk pengalaman mereka, ataukah
budaya populer itu dipaksakan
dari atas oleh mereka yang sedang
berkuasa sebagai salah satu bentuk
kontrol sosial? Apakah budaya
populer muncul dari orang awam
“kalangan bawah”, atau turun dari
para elite “kalangan atas”, ataukah itu
semata merupakan suatu persoalan
interaksi di antara keduanya? Tema
kedua berkenaan dengan pengaruh
komersialisasi dan industrialisasi
terhadap budaya populer. Apakah
lahirnya budaya dalam berbagai
bentuk komoditas berarti bahwa
kriteria nilai keuntungan dan nilai jual
lebih penting dari kualitas, keindahan,
integritas, dan tantangan intelektual?
Ataukah semakin banyaknya pasar
universal bagi budaya populer
menjamin bahwa budaya itu benarbenar populer karena budaya ini

menyediakan komoditas yang benarbenar dibutuhkan orang kebanyakan?
Siapa yang menang jika budaya
populer dibuat secara industri dan
dijual sesuai dengan kriteria nilai jual
dan nilai keuntungan perdagangan
atau
kualitas?
Tema
ketiga
menyangkut peran ideologis budaya
populer. Apakah budaya populer
memang
diperuntukkan
untuk
mengindoktrinasi orang kebanyakan,
memaksa mereka menerima dan
mengikuti gagasan maupun nilainilai yang memastikan dominasi
terus-menerus mereka yang memiliki
kedudukan istimewa yang menguasai
mereka? Ataukah itu merupakan
pemberontakan dan pembangkangan
terhadap aturan sosial umum? Apakah
budaya populer ini mengekspresikan
perlawanan terhadap mereka yang
berkuasa, dengan cara yang betapa
pun tak terasa, halus dan belum
berkembang, dan merupakan subversi
cara-cara berpikir dan bertindak yang
dominan?6
Menurut
Dominic
Strinati,
budaya
popular
atau
budaya
massa berkembang, terutama sejak
dasawarsa 1920-an dan 1930-an,
bisa dipandang sebagai salah satu
sumber historis dari tema-tema
maupun perspektif-perspektif yang
berkenaan dengan budaya populer.
Perkembangan ini ditandai dengan
munculnya sinema dan radio, produksi
massal dan konsumsi kebudayaan,

5

(Williams, 1983: hlm 237)
Dominic Strinati, Popular Culture, (Jakarta : Pustaka Promethea, 2016), hlm 5.

6

155 SUHUF, Vol. 29, No. 2, November 2017 : 150-167

bangkit nya fasisme dan kematangan
demokrasi liberal di sejumlah negara
Barat. Budaya popular pertama kali
dipersoalkan oleh Mazhab Frankfurt.
Mazhab ini didirikan pada tahun
1923. Para pendirinya pada umumnya
merupakan para intelektual Yahudi,
bangsa Jerman sayap kiri yang
berasal dari kelas atas dan menengah
masyarakat Jerman. Fungsi mazhab
ini adalah untuk pengembangan
teori dan penelitian kritis. Kegiatan
ini melibatkan karya intelektual
yang bertujuan mengungkapkan
kontradiksi-kontradiksi
sosial
yang melatar belakangi lahirnya
masyarakat kapitalis pada masa itu
maupun kerangka-kerangka ideologis
umum untuk membangun sebuah
kritik teoritis terhadap kapitalisme
modern. Dari sekian banyak kaum
intelektual menonjol yang kadangkadang dikaitkan dengan mazhab
tersebut, di antaranya yang paling
penting adalah Adorno (19031970), Horkheimer (1895-1973) dan
Marcuse. Budaya popular diangkat
menjadi persoalan dalam mazhab ini,
karena budaya popular bertentangan
dengan
semangat
pencerahan,
misalnya:
individualisme
lebur
dalam massa, dan rasionalitas dalam
kenikmatan. Mazhab ini melihat
massa sebagai yang dibuat bodoh
oleh “industry budaya” kapitalis.
Maka dalam mengetahui tingkat
kebiasaan membaca mahasiswa PAI
UMS diperlukan teori budaya dan
teori populer culture. Teori budaya

untuk mengukur tingkat kebiasaan
dan budaya populer untuk analisis
penyebab pendukung budaya literasi
dan penurunnya.
Pengertian Literasi
Literasi yang dalam bahasa
Inggrisnya literacy berasal dari
bahasa
Latin
littera
(huruf)
yang pengertiannya melibatkan
penguasaan sistem-sistem tulisan
dan
konvensi-konvensi
yang
menyertainya. Namun demikian,
literasi
utamanya
berhubungan
dengan bahasa, dan bagaimana
bahasa itu digunakan. Adapun sistem
bahasa tulis itu sifatnya sekunder.
Manakala berbicara mengenai bahasa,
tentunya tidak lepas dari pembicaraan
mengenai budaya karena bahasa
itu sendiri merupakan bagian dari
budaya. Sehingga, pendefinisian
istilah literasi tentunya harus
mencakup unsur yang melingkupi
bahasa itu sendiri, yakni situasi sosial
budayanya. Berkenaan dengan ini
Kern (2000) mendefinisikan istilah
literasi secara komprehensif sebagai
berikut:
Literacy is the use of socially-, and
historically-, and culturallysituated
practices of creating and interpreting
meaning through texts. It entails at least
a tacit awareness of the relationships
between textual conventions and
their context of use and, ideally, the
ability to reflect critically on those
relationships. Because it is purposesensitive, literacy is dynamic – not

Indeks Budaya Literasi...(Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail) 156

static – and variable across and within
discourse communities and cultures.
It draws on a wide range of cognitive
abilities, on knowledge of written and
spoken language, on knowledge of
genres, and on cultural knowledge.
(Literasi adalah penggunaan praktikpraktik situasi sosial, historis, serta
kultural dalam menciptakan dan
menginterpretasikan makna melalui
teks. Literasi memerlukan setidaknya
sebuah kepekaan yang tak terucap
tentang hubungan-hubungan antara
konvensi-konvensi tekstual dan
konteks penggunaanya, serta idealnya
kemampuan untuk berefleksi secara
kritis tentang hubungan-hubungan
itu. Karena peka dengan maksud/
tujuan, literasi itu bersifat dinamis –
tidak statis – dan dapat bervariasi di
antara dan di dalam komunitas dan
kultur diskursus/ wacana. Literasi
memerlukan serangkaian kemampuan
kognitif, pengetahuan bahasa tulis
dan lisan, pengetahuan tentang genre,
dan pengetahuan kultural).
Dari pernyataan di atas dapat
diketahui bahwa literasi memerlukan
kemampuan
yang
kompleks.
Adapun pengetahuan tentang genre
adalah pengetahuan tentang jenisjenis teks yang berlaku/ digunakan
dalam komunitas wacana misalnya,
teks naratif, eksposisi, deskripsi
dan lain-lain. Terdapat tujuh unsur
yang membentuk definisi tersebut,
yaitu berkenaan dengan interpretasi,
kolaborasi, konvensi, pengetahuan

kultural, pemecahan masalah, refleksi,
dan penggunaan bahasa. Ketujuh hal
tersebut merupakan prinsip-prinsip
dari literasi.
1. Prinsip Pendidikan Literasi
Menurut Kern7 terdapat tujuh
prinsip pendidikan literasi, yaitu:
1. Literasi melibatkan interpretasi
Penulis/ pembicara dan pembaca/
pendengar berpartisipasi dalam
tindak interpretasi, yakni: penulis/
pembicara menginterpretasikan
dunia (peristiwa, pengalaman,
gagasan, perasaan, dan lainlain), dan pembaca/ pendengar
kemudian
mengiterpretasikan
interpretasi penulis/ pembicara
dalam bentuk konsepsinya sendiri
tentang dunia.
2. Literasi melibatkan kolaborasi
Terdapat kerjasama antara dua
pihak yakni penulis/ pembicara
dan
membaca/
pendengar.
Kerjasama yang dimaksud itu
dalam upaya mencapai suatu
pemahaman bersama. Penulis/
pembicara memutuskan apa yang
harus ditulis/ dikatakan atau yang
tidak perlu ditulis/ dikatakan
berdasarkan pemahaman mereka
terhadap pembaca/ pendengarnya.
Sementara pembaca/ pendengar
mencurahkan
motivasi,
pengetahuan, dan pengalaman
mereka agar dapat membuat teks
penulis bermakna.

7

Ricart Kern, Literacy and language Teacing, Oxport: Oxport University, hlm 16-17.

157 SUHUF, Vol. 29, No. 2, November 2017 : 150-167

3. Literasi melibatkan konvensi
Orang-orang membaca dan
menulis
atau
menyimak
dan berbicara itu ditentukan
oleh konvensi/ kesepakatan
kultural (tidak universal) yang
berkembang melalui penggunaan
dan dimodifikasi untuk tujuantujuan individual. Konvensi disini
mencakup aturan-aturan bahasa
baik lisan maupun tertulis.
4. Literasi melibatkan pengetahuan
kultural.
Membaca dan menulis atau
menyimak
dan
berbicara
berfungsi dalam sistem-sistem
sikap, keyakinan, kebiasaan, citacita, dan nilai tertentu. Sehingga
orang-orang yang berada di luar
suatu sistem budaya itu rentan/
beresiko salah dipahami oleh
orang-orang yang berada dalam
sistem budaya tersebut.
5. Literasi melibatkan pemecahan
masalah.
Karena kata-kata selalu melekat
pada konteks linguistik dan situasi
yang melingkupinya, maka tindak
menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis itu melibatkan
upaya
membayangkan
hubungan-hubungan di antara
kata-kata, frase-frase, kalimatkalimat, unit-unit makna, teksteks, dan dunia-dunia. Upaya
membayangkan/
memikirkan/
mempertimbangkan,
ini

merupakan
suatu
bentuk
pemecahan masalah.
6. Literasi melibatkan refleksi dan
refleksi diri.
Pembaca/ pendengar dan penulis/
pembicara memikirkan bahasa
dan
hubungan-hubungannya
dengan dunia dan diri mereka
sendiri. Setelah mereka berada
dalam situasi komunikasi mereka
memikirkan apa yang telah
mereka katakan, bagaimana
mengatakannya, dan mengapa
mengatakan hal tersebut.
7. Literasi melibatkan penggunaan
bahasa.
Literasi tidaklah sebatas pada
sistem-sistem bahasa (lisan/
tertulis) melainkan mensyaratkan
pengetahuan tentang bagaimana
bahasa itu digunakan baik dalam
konteks lisan maupun tertulis
untuk
menciptakan
sebuah
wacana/ diskursus.
Dari poin diatas maka prinsip
pendidikan literasi adalah literasi
melibatkan interpretasi, kolaborasi,
konversi, pengetahuan kultural,
pemecahan masalah, refleksi diri, dan
melibatkan penggunaan bahasa.
2. Tingkatan Literasi
Literasi tidaklah seragam karena
literasi memiliki tingkatan-tingkatan
yang menanjak. Jika seseorang sudah
menguasai satu tahapan literasi maka

8

Wells B, Appreticeship in Literacy, hlm 111.
Indeks Budaya Literasi...(Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail) 158

ia memiliki pijakan untuk naik ke
tingkatan literasi berikutnya. Wells8
menyebutkan bahwa terdapat e mpat
tingkatan literasi, yaitu: performative,
functional,
informational,
dan
epistemic. Orang yang tingkat
literasinya berada pada tingkat
performatif, ia mampu membaca
dan menulis, serta berbicara dengan
simbol-simbol
yang
digunakan
(bahasa). Pada tingkat functional
orang diharapkan dapat menggunakan
bahasa untuk memenuhi kehidupan
sehari-hari seperti membaca buku
manual. Pada tingkat informational
orang diharapkan dapat mengakses
pengetahuan
dengan
bahasa.
Sementara pada tingkat epistemic
orang dapat mentransformasikan
pengetahuan dalam bahasa. Dengan
demikian tingkatan literasi dimulai
dari
tingkatan
paling
bawah
yaitu
performative,
functional,
informational, dan epistemic.
Maka dari teori literasi di atas
akan menjadi pisau analisis data,
akan masuk ketingkatan atau level
mana budaya literasi mahasiswa PAI
UMS. Serta akan menjadi alat untuk
menyusun saran akhir dari peneliti.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif
kuantitatif
dengan
fokus kajian pada pendidikan atau
pembelajaran yang ditinjau dari
perspektif tingkat budaya literasi.
Oleh karenanya metode untuk
mengetahui tingkat budaya literasi

dengan metode kuantitatif serta
dalam menjabarkan data akan
digunakan analisis deskriptif. Untuk
itu, beberapa teknik pengumpulan
data yang relevan akan digunakan.
Berikut ini akan dijelaskan tentang
subjek penelitian yang akan dipilih
serta teknik-teknik dan instrumeninstrumen yang digunakan dalam
penelitian ini.
1. Subjek Penelitian
Subjek yang diambil dalam
penelitian ini adalah mahasiswa PAI
berjumlah 600 diambil 20% menurut
ketentuan
Suharsini
Arikunto,
maka diambil subjek penelitian
sejumlah 120 orang mahasiswa
PAI UMS. Jumlah tersebut diambil
dari semester genap tahun akademi
2016/17. Diambil random dari 4 kelas
masing-masing semester diambil 30
mahasiswa dari PAI.
2. Teknik dan Alat pengumpulan
Data
Sebagaimana dikatakan bahwa
penelitian adalah penelitian deskriptif
kuantitatif yang mengadopsi caracara atau teknik-teknik yang biasa
digunakan oleh etnografer dalam
mempelajari
kebudayaan
suatu
komunitas. Dalam pemaparan data
akan di tulis dengan angka dan di
konversi dalam bentuk tabel colom
untuk mempermudah dalam melihat
tinggi rendah dan kesenjangan dari
masing-masing bagian, serta akan
dibuat Pie (prosentase) dalam bentuk

159 SUHUF, Vol. 29, No. 2, November 2017 : 150-167

lingkran untuk mengetahui tingkatan
mayoritas dan minoritas data.
Oleh karenanya, data yang akan
diperoleh adalah data kuantitatif
tentang kegiatan literasi mahasiswa di
dalam dan di luar kampus, baik untuk
memenuhi tugas-tugas perkuliahan
maupun untuk kepentingan lainlainnya.
Adapun
teknik-teknik
yang digunakan antara lain adalah
dilakukan
melalui
pemberian
kuesioner kepada semua responden
dari keseluruhan jumlah subjek
penelitian yang dipilih.

3. Analisa Data
Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, analisis data dilakukan
berdasarkan jenis data yang diperoleh
melalui beberapa jenis instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu
pemberian kuesioner. Dalam analisis
data nanti akan dibuat prosentase
tiap data dan tiap kategori, serta akan
disajikan dalam bentuk colom agar
lebih mudah dalam membaca data
tersebut.

Hasil Temuan dan Analisis
1. Tabel Hasil Pengisian Angket
1

Pemanfaatan Waktu Sehari Hari
Selalu

Sering

Kadang

Jarang

Tdk
Pernah

Nihil

Jumlah

a. Menghadiri dan mengerjakan
tugas perkuliahan

47

43

25

4

0

1

120

b. Bekerja mencari uang

15

11

34

27

31

2

120

c. Mengerjakan pekerjaan rumah

38

42

22

13

2

3

120

d. Berdiskusi dengan teman atau
keluarga

24

53

34

5

2

2

120

e. Membaca buku

13

26

52

27

1

1

120

f. Menuliskan pemikiran

11

14

40

47

6

2

120

g. Menonton TV atau Browsing
Internet

23

53

32

10

1

1

120

h. Berjalan-jalan atau
mengunjungi keluarga/teman

14

59

33

10

3

1

120

Kategori

Indeks Budaya Literasi...(Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail) 160

2

Aktivitas Yang Dilakukan Di Tempat Umum
Kategori

3

Jarang

Tdk
Pernah

Nihil

Jumlah

8
19

1
4

1
1

120
120

12

2

1

115

8
12

1
9

1
38

120
120

Kadang

Jarang

Tdk
Pernah

Nihil

Jumlah

49

21

4

1

1

120

55

31

1

0

2

120

38

39

7

1

2

120

Selalu

Sering

Kadang

Jarang

Tdk
Pernah

Nihil

Jumlah

a. Buku literatur
b. Buku karya sastra

8
5

24
25

44
51

30
29

8
6

6
4

120
120

c. Majalah, koran dan bacaan
populer lainnya.

15

35

48

16

1

5

120

d. Lain-lain
14
18
35
Tujuan Atau Keperluan Melakukan Aktivitas Menulis

10

5

30

112

Selalu

a. Memenuhi tugas kuliah dari
44
dosen
b. Mencari informasi dan
31
menambah pengetahuan
c. Mengisi waktu luang
33
Jenis Atau Sumber Bacaan Yang Dipilih

Kategori
a. Memenuhi tugas dari dosen
b. Mencatat hal-hal yang penting
c. Menyalurkan minat
6

Kadang

Sering

Kategori

5

Sering

a. Berbincang-bincang/ ngobrol
28
63
19
b. Membaca/ menulis
6
32
58
c. Main game atau otak atik
23
44
33
telepon genggam
d. Browsing internet
21
61
28
e. Lain-lain
6
25
30
Tujuan Atau Keperluan Melakukan Aktivitas Membaca
Kategori

4

Selalu

Selalu

Sering

Kadang

Jarang

Tdk
Pernah

Nihil

Jumlah

40
29
17

53
42
25

14
33
50

5
10
18

1
0
4

7
6
6

120
120
120

Nihil

Jumlah

7
6
7

120
120
120

Media Yang Digunakan Dalam Aktivitas Menulis

a. Kertas atau buku
b. Telepon genggam/gadget
c. Computer dan internet

Selalu

Sering

Kadang

Jarang

40
19
21

52
39
46

15
35
29

5
18
14

161 SUHUF, Vol. 29, No. 2, November 2017 : 150-167

Tdk
Pernah
1
3
3

7

Aktivitas Yang Digunakan Ketika Menggunakan Internet
Kategori

Selalu

Sering

Kadang

Jarang

Tdk
Pernah

Nihil

Jumlah

15

51

26

16

5

7

120

18

55

34

7

0

6

120

3
9

13
16

30
28

32
13

35
14

7
35

120
115

a. Bermain facebook/twitter atau
chatting
b. Browsing materi kuliah dan
bahan-bahan bacaan lain
c. Blogging
d. Lain-lain
8

Tujuan Melakukan Aktivitas Berbincang Bincang/Berdiskusi
Kategori

Selalu

Sering

Kadang

Jarang

Tdk
Pernah

Nihil

Jumlah

15

45

36

13

4

7

120

14

59

32

7

1

7

120

20

49

28

15

1

7

120

6

16

37

35

18

7

119

Selalu

Sering

Kadang

Jarang

Tdk
Pernah

Nihil

Jumlah

46

44

12

10

1

7

120

29

63

18

2

1

7

120

38

58

16

1

0

7

120

a. Berbagi pendapat tentang
masalah pribadi/keluarga
b. Membahas pelajaran/ masalah
kuliah
c. Sekedar bergaul dan kumpulkumpul dengan keluarga/
teman
d. Menggunjing teman/ orang lain
9

Alasan Kelisanan Dari Pada Literasi
Kategori
a. Mempererat hubungan
kekeluargaan/ pertemanan
b. Menyampaikan dan
memperoleh informasi
c. Menambah pengetahuan dan
pengalaman

2. Diskripsi Data
a. Diskripsi Data 1
Dari grafik diatas dapat dilihat
dalam pemanfaatan waktu sehari
hari, mahasiswa PAI mayoritas
melaksanakan
kategori
(a)

menghadiri dan mengerjakan tugas
perkuliahan sebesar 25%. Hal ini
berbanding lurus dengan kategori
(c) mengerjakan pekerjaan rumah
sebesar 21%, maka dari dua kategori
data diatas dapat dikatakan bahwa

Indeks Budaya Literasi...(Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail) 162

mahasiswa PAI UMS rajin dalam
mengikuti perkuliahan dan rajin
mengerjakan tugas dari dosen.
Namun dalam kategori membaca
buku kategori (e) sangat kecil sebesar
7%, hal ini berbanding lurus dengan
kategori
menuliskan
pemikiran
sebesar 6%, karena memang alur
nya orang jika ingin menulis harus
membaca dahulu. Kalau tidak ada
yang dibaca mana ada yang dipikirkan
tidak ada bahan, maka juga tidak ada
yang ditulis.
b. Diskripsi Data 2
Grafik diatas dicantumkan salah
satu tujuannya adalah mengetahui
kebudayaan (kebiasaan) mahasiswa
PAI ketika di tempat umum,
mengetahui seberapa tingkat sosial
interaksi terhadap sesama, tingkatan
budaya lisan dan juga tingkat budaya
literasi mahasiswa PAI.
Dapat dilihat bahwa aktivitas
berbincang bincang kategori (a)
menjadi mayoritas sebesar 33%, hal
ini menunjukan bahwa mahasiswa
PAI tingkat budaya sosial interaksi,
dan budaya lisan cukup tinggi. Namun
sekali lagi tingkat membaca di tempat
umum masih sangat minim sebesar
7%, hal ini memang berbanding lurus
dengan data no 1, namun ini menjadi
hal yang maklum, karena budaya
membaca ditempat umum kadang
kala menjadi hal yang tidak populer
karena terkadang malu jika dianggap
sok pintar ataupun komentar miring

lainnya. Hal ini pun pernah penulis
jumpai ketika berdiskusi dengan duta
baca Indonesia Najwa Shihab.9
Namun
yang
agak
memprihatinkan tingkat main game
dan bermain ponsel di tempat umum
cukup tinggi sebesar 28%. Hal ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan
waktu mahasiswa kurang efektif,
karena mahasiswa adalah orang yang
sedang belajar maka hal yang harus
menjadi prioritas adalah budaya
literasi, bukan budaya bermain
handphone.
Sementara 25% mahasiswa
menghabiskan waktu untuk browsing,
hal ini memang berbanding lurus
dengan kategori (c) bermain game.
Sehingga dapat dikatakan mahasiswa
PAI UMS budaya untuk bermain
handphone cukup tinggi.
c. Diskripsi Data 3
Dapat dilihat grafik diatas dalam
data no 3 Tujuan atau keperluan
melakukan aktivitas membaca dalam
kategori (a) memenuhi tugas kuliah
dari Dosen, mendapat peringkat
tertinggi sebesar 41%, disusul kategori
(c) mengisi waktu luang dan terakhir
kategori (b) mencari informasi dan
menambah pengetahuan.
Maka dapat dikatakan mahasiswa
PAI UMS dalam membaca mayoritas
harus ditugaskan oleh Dosen,
serta masih kurang kesadaran
akan
pentingnya
membaca
bagi memperluas wawasan dan

9

Pada saat launching pojok membaca, sabtu 20 Mei 2017 di Markobar pukul 20:00.

163 SUHUF, Vol. 29, No. 2, November 2017 : 150-167

memperdalam ilmu pengetahuan, hal
ini di tunjukkan oleh kategori (b).
Serta didukung oleh kategori (c) yang
mengatakan hanya untuk mengisi
waktu luang.
d. Diskripsi Data 4
Dari grafik atau data no 4 diatas
menunjukkan jenis bacaan yang
biasa dipilih oleh mahasiswa PAI,
mayoritas lebih memilih majalah,
koran dan bacaan sejenisnya sebesar
36% disusul bacaan lainnya 33%,
buku literatur 19% dan terakhir buku
karya sastra 12%.
Maka dapat dikatakan mahasiswa
PAI lebih menyukai bacaan-bacaan
yang ringan seperti majalah dan koran
untuk dibaca, dari pada bahan bacaan
yang berat seperti literatur, filsafat,
pemikiran dan lain sebagainya. Dan
buku-buku berbau sastra menjadi
minoritas yang sering dibaca dan
diinginkan. Sehingga dari data diatas
mahasiswa PAI kurang memilih
bacaan yang agak berat seperti
literatur dari pada buku-buku berbau
sastra.
e. Diskripsi Data 5
Dari data 5 dapat dilihat
kecenderungan mahasiswa PAI untuk
menulis didominasi karena tugas
dari dosen sebesar 46%, disusul
karena mencatat hal-hal yang penting
sebesar 34% dan yang terakhir 20%
untuk menyalurkan minatnya.
Maka dapat dikatakan bahwa
dominasi kecenderungan menulis

mahasiswa PAI masih berupa paksaan
belum pada kesadaran dan keinginan
untuk menuliskan pemikirannya
dalam bentuk tulisan nyata. Menulis
memang harus diimbangi dengan
membaca, tanpa adanya bacaan yang
luas maka akan kurang berminat
dalam menulis. Serta hal ini
berbanding lurus dengan data 1 yang
mengatakan kebiasaan membaca 7%
menuliskan pemikiran 6%.
f.

Diskripsi Data 6
Data 6 menunjukkan media yang
digunakan dalam menulis, mayoritas
mahasiswa menggunakan kertas atau
buku dalam menulis sebesar 50%,
disusul menggunakkan Computer
dan internet 24% dan terakhir
menggunakkan telepon gengam/
gadget sebesar 26%.
Hal diatas menunjukkan tingkat
literasi media yang minim, padahal
dalam era globalisasi ketika media
sosial dan internet menjadi sebuah
hal yang sangat penting terutama
untuk publikasi. Dari hal ini bisa
dikatakan tingkat kesadaran untuk
mempublikasikan hasil tulisan sendiri
masih kurang atau masih kurang
percaya diri.
g. Diskripsi Data 7
Dari data 7 tentang aktivitas
yang digunakan ketika menggunakan
internet mayoritas melaksanakan
browsing materi perkuliahan dan
bahan bacaan sebesar 40%, kemudian
disusul bermain facebook/twitter atau

Indeks Budaya Literasi...(Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail) 164

chatting sebesar 33%, dan aktivitas
lain-lain sebesar 20% dan terakhir 7%
untuk blogging.
Dari data diatas menunjukkan
mayoritas
mahasiswa
juga
menggunakan internet untuk mencari
bahan perkuliahan, hal ini adalah
sebuah hal yang wajar. Namun harus
diimbangi dengan membaca buku
karena internet terkadang masih
diragukan kebenarannya. Sementara
untuk media sosial seperti facebook
dan lain-lain masih cukup tinggi.
Namun dalam kategori (c) blogging
sangat rendah, hal ini ada dua
kemungkinan ; 1. Mahasiswa tidak
mempunyai/tidak pernah menulis di
blog, atau 2. Mahasiswa jarang /tidak
membaca blog.
h. Diskripsi Data 8
Data 8 menunjukkan tujuan
melakukan aktivitas berbincangbincang atau berdiskusi, mayoritas
melaksanakannya dengan alasan
ingin sekedar bergaul dan kumpulkumpul dengan keluarga atau teman
sebesar 36%, disusul dengan alasan
berbagi pendapat tentang masalah
pribadi/keluarga sebesar 27%, dan
26% untuk membahas pelajaran/
masalah kuliah, yang paling akhir 7%
untuk menggunjing teman/orang lain.
Dari data diatas kecenderungan
untuk berdiskusi atau berbincangbincang masih didominasi untuk
sekedar bergaul dan kumpul-kumpul
belum kepada pemanfaatan bertemu

untuk membahas hal-hal yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
i.

Diskripsi Data 9
Data
9
menunjukkan
kecenderungan aktivitas kelisanan
dari pada literasi, sebenarnya angket
ini dibuat bukan untuk memojokkan
mahasiswa untuk lebih memilih
kelisanan dari pada literasi, itu
hanyalah judul dari angket ini, tapi di
dalam kategori penyataan seimbang
antara keduanya kelisanan dan juga
literasi.
Dai data 9 menunjukkan
mayoritas mahasiswa berhubungan
atau bersdiskusi berbincang-bincang
untuk mempererat hubungan antar
sesama sebesar 41%, disusul
menambah pengetahuan sebesar 33%
dan 26% sisanya untuk menyampaikan
atau memperoleh informasi.
Dari kategori (b) dan (c) yang
diatas 20% semuanya dapat dikatakan
sebenarnya ada kemungkinan rasa
untuk keingintahuan dari mahasiswa
ketika sedang berbincang-bingcang
atau berdiskusi, maka hal ini harus di
tingkatkan.
3. Analisis Data
Berdasarkan hasil perhitungan
frekuensi
kegiatan
mahasiswa
berkenaan dengan budaya literasi,
baik di lingkungan kampus maupun
di luar kampus dapat diterangkan
beberapa hal penting sebagaimana
uraian berikut ini. Pertama, diketahui

165 SUHUF, Vol. 29, No. 2, November 2017 : 150-167

bahwa sebagian besar mahasiswa
PAI UMS sebesar 92% dari jumlah
responden
adalah
mahasiswa
murni yang belum bekerja, dengan
kewajiban menghadiri perkuliahan
dan dalam kategori menghadiri
perkuliahan,
mahasiswa
PAI
mayoritas melaksanakannya sebesar
25% hal ini berbanding lurus dengan
kategori melaksanakan pekerjaan
rumah sebesar 21%. Namun dalam
kategori kebiasaan membaca hanya
sebesar 7% yang melaksanakan
dalam pemanfaatan waktu seharihari, hal ini berbanding lurus dengan
kategori
menuliskan
pemikiran
sebesar 6%. Hal ini memang wajar
jika seseorang ingin menulis maka
harus membaca terlebih dahulu,
tanpa adanya bacaan maka menulis
akan menjadi sulit. Motivasi menulis
diuraikan dalam data 3, menunjukkan
bahwa mahasiswa PAI masih kurang
dalam kesadaran akan pentingnya
membaca 41% mahasiswa harus
ditugaskan oleh dosen untuk mau
membaca, hanya 29% mahasiswa
yang motivasi membacanya untuk
mencari pengetahuan dan informasi
baru.
Kedua,
berkaitan
dengan
tingkat literasi media mahasiswa
PAI, media yang digunakan dalam
aktivitas menulis sebesar 50%
adalah kertas dan buku. Hal ini
menunjukkan rendanya kesadaran
akan media sosial untuk eksplorasi
ide pemikiran dan tulisan. Padahal
dalam pemanfaatan internet sebesar

40% mahasiswa menggunakkannya
untuk pencarian materi perkuliahan,
salah satu sebabnya adalah tingkat
blogging yang begitu rendah sebesar
7% sehingga mahasiswa kurang
memahami akan pentingnya blog
sebagai latihan dalam menulis. Jika
niat dalam membaca dan menulis itu
rendah ditambah dengan berdiskusi
yang rendah pula hanya sebesar 26%
mengatakan untuk menyampaikan
informasi atau pengetahuan maka
yang terjadi adalah budaya literasi
yang rendah baik di dunia nyata
maupun di dunia maya.
Dari dua hal diatas dan
data-datanya
dapat
dikatakan
kecenderungan mahasiswa PAI untuk
melaksanakan budaya literasi masih
belum menjadi sebuah kesadaran
individu sebagai insan yang sedang
dalam proses belajar, aktivitas literasi
masih harus diperintahkan oleh
dosen. Hal ini juga menunjukkan
tingkat keingintahuan mahasiswa
dan kemauan mahasiswa untuk
mendalami keilmuan yang sedang
digeluti masih kurang, hal ini
ditunjukkan dalam pemilihan bacaan
mayoritas memilih bacaan majalah,
koran dan bacaan populer lainnya
sebesar 36%.
Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil data dan
analisisnya, dapat disimpulkan dua
hal sebagai berikut: Pertama, tingkat
budaya literasi membaca, menulis

Indeks Budaya Literasi...(Zaenal Abidin dan M. Taufik Ismail) 166

dan berdiskusi antara lain ; tingkat
membaca sebesar 7%, menulis
sebesar 6%, berdiskusi sebesar 13%.
Hal ini menunjukkan rendahnya
budaya literasi mahasiswa PAI dari
92% mahasiswa murni yang tidak
bekerja, waktu yang digunakan untuk
aktivitas akademik hanyalah minim.
Kedua,
faktor
pendukung
dari tingkat budaya literasi antara
lain tugas dari dosen menempati
tingkatan tertinggi sebesar 41% untuk
membaca dan 46% untuk menulis dan
faktor pendukung yang selanjutnya
adalah tingkat diskusi menyampaikan
informasi sebesar 26%, menambah
informasi sebesar 33%. Sedangkan

faktor penurun antara lain, rasa ingin
tahu yang rendah mengenai sebuah
keilmuan untuk mencari informasi
dan menambah pengetahuan sebesar
29% dalam motivasi untuk membaca
masih didominasi rasa paksaan dari
dosen sebesar 41%. Dan mahasiswa
yang senang dengan aktivitas
menulis cukup rendah dalam kategori
menyalurkan minat sebesar 20%.
Serta faktor lingkungan yang
masih kurang mendukung dalam
menumbuhkan
budaya
literasi.
Mahasiswa dalam aktivitas di tempat
umum lebih suka berbincang-bincang
33% dan bermain gadget, game 33%,
browsing 25%. Membaca hanya 7%.

Daftar Pustaka
Budiwati, Y. (2006). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Universitas Terbuka.
Prasetyo, J. T. (1998). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Shihab, M. Q. (2014). Membumikan Al Quran. Bandung: Mizan.
Soelaeman, M. M. (2005). Ilmu Budaya Dasar Suatu Penganar. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Strinati, D. (2016). Popular Culture. Jakarta: Pustaka Promethea.
Sukidin Basrowi, A. W. (2003). Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Insan
Cendekia.
Kern, R. (2000). Literacy and language Teacing. Oxfort: Oxfort University.
Survey Unisco dilansir dari Laman, Solopos, 10 Oktober 2016 ( HYPERLINK
“http://www.solopos.com/2016/10/10/hasil-survei-unesco-minat-bacaorang-indonesia-terendah-kedua-di-dunia-759534” http://www.solopos.
com/2016/10/10/hasil-survei-unesco-minat-baca-orang-indonesiaterendah-kedua-di-dunia-759534 ) (diakses tanggal 11 Mei 2017 pukul
22.54 WIB)

167 SUHUF, Vol. 29, No. 2, November 2017 : 150-167