BAB II PELAKSANAAN PENYERAHAN ANAK ASUH PADA PANTI ASUHAN ANAK YATIM MUHAMMADIYAH CABANG GANDAPURA BIREUEN A. Pengertian Anak dan Anak Asuh - Analisis Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Penyerahan Anak Asuh Kepada Panti Asuhan (Suatu Penelit
BAB II PELAKSANAAN PENYERAHAN ANAK ASUH PADA PANTI ASUHAN ANAK YATIM MUHAMMADIYAH CABANG GANDAPURA BIREUEN A. Pengertian Anak dan Anak Asuh Masalah anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian dari
berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Dengan kata lain anak adalah seorang laki-laki atau perempuan yang belum atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua dimana kata “anak’’ merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa.
Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan
29
kedua setelah ayah dan ibu Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dalam kaca mata hukum. Ia tetap dinamakan anak, 29 WJS. Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), hlm.
38-39.
25 sehingga pada definisi ini tidak dibatasi dengan usia. Hassan juga mengartikan anak sebagai muda-mudi/remaja yang masih dianggap anak-anak, yang masih memerlukan bimbingan dari orang tua/keluarga serta masih harus belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua maupun menimba pengalaman-pengalaman dalam kehidupan
30 bermasyarakat.
Haditono mengutip pendapat Sumadi Suryabrata, menyatakan bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk
31 perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.
Pengertian di atas menjelaskan bahwa anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian baik dalam bidang ilmu pengetahuan, agama, hukum, dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin aktual dalam lingkungan sosial.
Kedudukan anak dalam lingkungan hukum sebagai subjek hukum, ditentukan dari bentuk sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Maksud tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang 30 Hassan, Kumpulan Soal Tanya Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. (Bandung : Diponegoro), 1983, hlm. 518. 31 Sumadi Suryabrata, Pengembangan Alat Ukur Psikologis. (Yogyakarta : Andi), 2000, hlm. 3.
dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subjek hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum secara substansial meliputi peristiwa hukum pidana maupun hubungan kontrak yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat
32 dipisahkan.
Anak merupakan generasi penerus bangsa dan sumber insan bagi pembangunan nasional, maka harus diperhatikan dan dibina sedini mungkin agar menjadi insan yang berkualitas dan berguna bagi bangsa. Walaupun anak dilahirkan oleh orang tua, namun pada hakekatnya anak merupakan individu yang berbeda dengan siapapun, termasuk dengan kedua orang tuanya. Bahkan anak
33
memiliki takdirnya sendiri yang belum tentu sama dengan orang tuanya. Dengan demikian maka jelaslah anak merupakan mahluk independen. Hal ini perlu disadari sehingga orang tua tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya pada anak, biarkan anak tumbuh dewasa dengan suara hati nuraninya. Orang tua hanya
34
memantau dan mengarahkan agar jangan sampai menyusuri jalan yang sesat. Orang tua hanya berkewajiban berusaha, yaitu agar anak tumbuh dewasa menjadi kepribadian yang shaleh dengan merawat, mengasuh, dan mendidiknya dengan pendidikan yag benar.
32 Maulana Hasan Wadong, Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Grasindo), 2000,hlm. 3. 33 M. Nipan Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta : Mitra Pustaka), 2001, hlm. 21. 34 Ibid., hlm. 23.
Apabila ditelaah ketentuan Pasal
1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
35
masih dalam kandungan. Ketentuan dalam Undang-undang di atas menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan anak berusia 18 tahun.
Pengertian anak dalam konteks hukum perdata erat kaitannya dengan pengertian mengenai kedewasaan. Hukum Indonesia mengenai anak masih digolongkan sebagai anak terdapat perbedaan penentuan. Menurut ketentuan hukum
36
terdapat perbedaan tolok ukur dimaksud antara lain:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Pasal 330 Ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa batas antara belum dewasa (minderjerigheid) dengan telah dewasa (Meerderjarigheid), yaitu 21 tahun kecuali Anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan
37
Pendewasaan (venia aetetis Pasal 419).b. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat (1) 35 Undang-undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , (Surabaya : Media Centre), 2006, hlm. 119. 36 37 Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Bumi Aksara), 1990, hlm. 17.
Ibid., hlm 17. menentukan bahwa “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Dari ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di muka dapat disimpulkan bahwa dalam Undang- undang tersebut menentukan batas belum dewasa atau sudah dewasa adalah 16 tahun ada 19 tahun.
c. Hukum kebiasaan (hukum adat) Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa dan wewenang bertindak. Hasil penelitian Mr. R. Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi: (1) Dapat bekerja sendiri (mandiri), (2) Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan
38 bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat ukuran
39 kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata.
Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku bagi seseorang yang berusia di bawah 21 tahun.
Masa kanak-kanak dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu masa bayi umur 0 menjelang dua tahun, masa kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun dan masa kanak- 38 39 Ibid, hlm. 18.
Ibid, hlm. 19.
40
kanak terakhir antara umur 5-12 tahun. Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang dapat digolongkan atau berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak.
Penggolongan tersebut dibagi ke dalam tiga fase, yaitu: 1) Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, perkembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan emosional, bahaya bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (tro zalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak;
2) Fase kedua adalah dimulainya pada usia 7 sampai dengan 14 tahun disebut
41
sebagai masa kanak-kanak; 3) Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai dengan 21 tahun yang dinamakan masa remaja, dalam arti yang sebenarnya, yaitu fase fubertas dan adolescant, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak
42 menjadi dewasa.
Fase-fase yang disebutkan di atas masing-masing menjelaskan, fase pertama antara 0-7 tahun disebut sebagai masa anak kecil, perkembangan kemampuan mental dan lain sebagainya, lebih dari 7 tahun maka anak tersebut digolongkan dalam fase kedua yaitu masa kanak-kanak dengan ketentuan batas usianya adalah 14 tahun.
Sementara untuk fase terakhir adalah 14 sampai dengan 21 tahun dikategorikan remaja dan ketentuan pada usia 21 inilah akhir fase disebut anak.
Pada pengertian anak di atas, meskipun dikutip dari beberapa sumber akan tetapi yang menjadi acuan utama di sini adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang spesifik menjelaskan tentang perlindungan 40 41 Gatot Supramono, Hukum Acara Peradilan Anak, (Jakarta : Djambatan), 2005, hlm. 1. 42 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Jakarta : Refika Adiatama), 2006, hlm. 7.
Ibid., hlm 8. anak. Jadi dengan demikian dari semua pengertian anak di atas hanya sebagai komparasi dari undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang ada, baik dari Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun hukum adat.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah anak merupakan “buah hati sibiran tulang”, sebagaimana diungkapkan masyarakat melayu dalam mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi kelangsungan hidup mereka. Anak seyogyanya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anaklah kemajuan suatu bangsa tersebut akan
43
ditentukan. Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatiannya dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan keamanan maupun aspek hukum.
Dalam kehidupan bermasyarakat juga dikenal adanya macam-macam anak beberapa sarjanamenggolongkan anak kedalam beberapa bagian, diantaranya adalah :
1. Anak Angkat
43 Rumilawati Windari, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang di Indonesia dan
Beijing Rule, http://rusmilawati.wordpress.com/2010, Diakses 25 Mei 2013 Pukul 23.10 Wib
Dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anakangkat adalah anak
44
orang lain yang diambil dandisamakan dengan anaknya sendiri. Mahmud Syaltut, mengemukakan bahwa setidaknya adadua pengertian anak angkat.“Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dandididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpadiberikan status “anak kandung” kepadanya, Cuma iadiperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anaksendiri.
Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anaksendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”,sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab)orang tua angkatnya dan saling mewarisi hartapeninggalan, serta hak-hak
45 lain sebagai akibat hukumantara anak angkat dan orang tua angkatnya itu”.
2. Anak Tiri, adalah anak kepada isteri atau suami seseorangdaripada perkawinan
46 yang terdahulu.
3. Anak Susuan, adalah anak yang disusui dengan cara masuknya airsusu seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarattertentu.
4. Anak Laqith, adalah anak yang dipungut di jalanan, sama dengananak yatim, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam
47 dianjurkan untukmemeliharanya.
5. Anak Asuh
44 45 W.J.S. Poerwadarminta, Op.Cit., hlm 120.
A. Aziz Dahlan, Ensiklopedi hukum Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), 1996, hlm 29-30 46 47 Ibid.
Ibid. Anak asuh erat kaitannya dengan program wajib belajaryang dicanangkan Presiden RI pada tanggal 2 Mei 1984bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Hubunganantara orang tua asuh dengan anak asuh sebatasberkaitan dengan bantuan biaya pendidikan agar anakasuh dapat mengikuti pendidikan pada lembagapendidikan tingkat dasar sampai selesai. Oleh sebab itu,lembaga
48 anak asuh berbeda dengan lembaga anakangkat.
6. Anak Piara Di dalam hukum adat mengenal suatu lembaga yang dinamakanlembaga anak piara, yaitu seseorang menitipkan seoranganak kepada orang lain untuk dipelihara. Lembaga iniberbeda dengan lembaga pengangkatan anak, karenaorang tua yang dititipi tersebut hanya melakukan tugassebagai pemelihara.
49 Demikian pula akibat hukumnyaberbeda dengan pengangkatan anak.
7. Anak Pungut Selain itu, ada pula yang membedakan antara anak pungut dengananak angkat.
Kedudukan anak angkat telah bernilaibahkan seperti mengambil kedudukan anak kandung,sedangkan anak pungut tidak mendapat kedudukanistimewa tetapi hanya mendapat pemeliharaan dari orangyang memungutnya. Pada anak angkat terdapat cinta, sedangkan pada anak pungut hanya terdapat belaskasihan. Kata
48 Huzaemah T Yanggo, Pengangkatan Anak Dalam hukum Islam, (Jakarta : Dalam Suara Uldilag, Vol 3, No. X, Mahkamah Agung RI), 2007, hlm 25-27 . 49 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita), 2006, hlm 32.
“dipungut” menunjukkan makna mengambilsesuatu yang tidak atau kurang
50 berarti, sedangkan“diangkat” bermakna meninggikan dari keadaansemula.
Kenyataan yang terjadinya pemeliharaan terhadapseorang anak oleh orang tua atau pihak lainnya yang bukan orang tuakandungnya sendiri tidak serta merta dapat disimpulkanbahwa telah terjadi pengangkatan anak tetapi dapat saja hanya sebatas pemeliharaan dan pengasuhan (anak asuh) sebatas memenuhi kebutuhan untuk pendidikan.
Dalam upaya pemberian perlindungan terhadap anak saat ini dikenal pula adanya calon anak asuh, yaituanak usia sekolah dari keluarga tidak mampu yang membutuhkan bantuan dari orang lain agar dapat menyelesaikan Pendidikan Dasar 9
51 Tahun secara berkesinambunga. Kemudian setelah ada pihak lain yang memberikan
bantuan untuk biaya pendidikannya, maka disebut sebagai anak asuh yaitu calon anak asuh yang telah mendapatkan bantuan dari orang tua asuh untuk
52 mengikuti Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa anak asuh adalah anak yang berasal dari keluarga kurang mampu atau keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk membiayaan kehidupan anak khususnya di bidang pendidikan yang kemudian diserahkan kepada pihak lain baik secara perorangan maupun
50 Mohd Fuad dan Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya), 1991, hlm 47. 51 Yayasan Satu Benih, Definisi Anak Asuh, http://satubenih.blogspot.com.html., Diakses 20 Agustus 2013 Pukul 20.30 Wib. 52 Ibid. lembaga atau yayasan untuk mengikuti pendidikan wajib bagi seorang anak seperti halnya Pendidikan Dasar 9 Tahun yang diprogramkan pemerintah.
Anak dalam pertumbuhan dan perkembangan memerlukan perhatian dan perlindungan khusus baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, maka tidaklah cukup hanya diberikan hak-hak dan kebebasan asasi yang sama dengan orang dewasa. Sesuai dengan Konvensi tentang Hak Anak yang telah diterima secara bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989, yang mengakui perlunya jaminan dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat bagi anak sebelum dan sesudah kelahirannya. Demikian juga dengan anak-anak terlantar yang membutuhkan perlindungan dalam hal pemenuhan hak di bidang pendidikan, kesehatan, sehingga apabila orang tua kandung merasa tidak mampu untuk mencukupinya, anak dapat diasuh oleh orang lain yang lebih mampun baik secara perorangan atau melalui yayasan atau panti asuhan yang mampu dalam hal pembiayaan/material.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak
Secara etimologi, pengertian perlindungan hak anak dapat dilihat dari pengertian kata “perlindungan” dan kata “hak anak”. Perlindungan memiliki
53
pengertian tempat berlindung atau bersembunyi. Kata “hak anak” memilikibagian
53 Peter Salim dan Yenny Salim. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Modern English Presh), 2000. hlm 876.
dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi olehorang tua,
54 keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Perlindungan terhadap anak adalah suatu hasil interaksi karena adanyainterrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Oleh sebab itu,perlindungan anak yang baiki dan buruk, tepat atau tidak tepat, maka harusdiperhatikan fenomena mana yang relevan, yang mempunyai peran penting
55 dalamterjadinya kegiatan perlindungan anak.
Dalam rangka mengembangkan usaha kegiatan perlindungan anak, paraorang tua harus lebih waspada dan juga harus sadar adanya akibat yang samasekali tidak diinginkan, yaitu yang dapat menimbulkan korban. Kerugian karenapelaksanaan perlindungan anak yang tidak rasional positif, tidak bertanggungjawab, dan tidak bermanfaat. Oleh karena itu, hendaknya dapat diusahakanadanya sesuatu yang mengatur dan menjamin pelaksanaan perlindungan anak,serta harus dicegah pengaturan usaha perlindungan anak yang beraneka ragam itusendiri tidak menjamin perlindungan hak anak dan bahkan menimbulkanberbagai penyimpangan negatif yang lain.
Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam statussosial anak dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadapkepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. 54 55 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Shanty Dellyana. Wanita Dan Anak Di Mata Hukum. (Yogyakarta : Liberty), 2004, hlm.13
56 Perlindungandapat diberikan pada hak-hak dengan berbagai cara. Perlindungan hak
asasi anak dapat diberikan dalam berbagai cara yangsistematis, melalui serangkaian program, stimulasi, latihan, pendidikan,bimbingan, permainan dan juga dapat diberikan melalui bantuan hukum yangdinamakan advokasi dan hukum perlindungan
57 anak.
Kemudian apabila ditelaah mengenai hak anak dan anak asuh dapat dikemukakan bahwa anak-anak yang karena ketidakmampuan, ketergantungan dan ketidakmatangan, baik fisik, mental maupun intelektualnya perlu mendapat perlindungan, perawatan dan bimbingan dari orang tua (dewasa). Perawatan, pengasuhan serta pendidikan anak merupakan kewajiban orang tua sesuai dengan perintah agama dan kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002, disebutkan, setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan, dan 56 Maulana Hasan Wadong. Advokasi dan Hukum Pelindungan Anak. (Jakarta : Grasindo),
2000, hlm 36 57 Ibid.
f. Perlakuan salah lainnya.
Pasal 11 UU No. 23 Tahun 2002 disebutkan pula, bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri karena anak adalah pemimpin masa depan. Siapapun yang berbicara tentang masa yang akan datang, harus berbicara tentang anak-anak.
Kemudian apabila ditinjau dari hukum Islam hak anak dalam Islam memiliki aspek universal terhadap kepentingananak. Meletakkan hak anak dalam pandangan Islam, memberikan gambaranbahwa dasar tujuan kehidupan umat Islam adalah membangun umat manusia yangmemegang teguh ajaran Islam. Dengan demikian, hak anak dalam pandanganIslam ini meliputi aspek hukum dalam lingkungan seseorang. Cara pandang yangdimaksud tidak saja memposisikan umat Islam yang harus tunduk pada hukumIslam sebagai formalitas-formalitas wajib yang harus ditaati dan apabila dilanggarmaka perbuatan tersebut akan mendapatkan laknat baik di dunia maupun diakhirat.
Dimensi Islam dalam meletakkan hak asasi manusia sangatlah luas danmulia. Dari ajaran kehidupan moral, hak asasi anak juga dipandang sebagai benihdalam sebuah masyarakat. Dalam pandangan ini Abdur Rozak Huseinmenyatakan “jika benih anak dalam masyarakat itu baik, maka sudah pastimasyarakat akan terbentuk menjadi masyarakat yang baik pula”, lebih lanjut dikatakan, Islam menyatakan bahwa anak-anak merupakan benih yang akan tumbuh untuk membentuk masyarakat di
58 masa yang akan datang.
Dalam daur kehidupan, manusia mengalami 4 (empat) fase yang pastidilalui yaitu: pertama, dari awal kelahirannya, kedua, dari awal kelahiran sampai anak menjelang dewasa (mumayyiz), ketiga, dari awal mumayyiz sampai dewasa(baligh),
59
dan keempat, dari awal baligh sampai menjelang meninggal dunia. Selama daur yang dilalui manusia itu dibarengi dengan hak dan kewajiban, baikdalam garis vertikal maupun horizontal.
Hak dan kewajiban vertikal adalah hubungan manusia dengan Tuhannyasebagai sang Khaliq (penciptanya). Sedangkan hubungan horizontal adalah hakdan kewajiban terhadap sesama manusia yang terjadi secara alami maupun yang dibuat dan direncanakan untuk dan oleh manusia sendiri. Diantara hak dan kewajiban horizontal adalah kewajiban memperhatikan hak keluarganya, hak suami isteri, dan hak anak-anaknya. Subhi Mahmasani berpendapat bahwa orang tua memperhatikan hak anak untuk masa depan mereka, yaitu hak menyusui, hak untuk mendapatkan asuhan, hak untuk mendapatkan nama baik dan kewarganegaraan, hak nafkah atau
60 harta, hak pengajaran, serta hakpendidikan, akhlak dan agama.
Secara garis besar, hak anak menurut Islam dapat dikelompokkanmenjadi 7 (tujuh) macam, yaitu: 58 Abdur Rozak Husein, Hak dan Pendidikan Dalam Islam, alih bahsa H. Azwir Butun (Bandung: Fikahati Aneska), 1992, hlm. 19. 59 60 Ibid., hlm 20.
Subhi Mamasani, Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia (Studi Pebandingan Syari’at Islam dan Perundang-undangan Modern), Alih bahasa Hasanuddun, (Jakarta: Tintamas Indonesia),1987, hlm. 204. a. Hak anak sebelum dan sesudah lahir Allah berfirman dalam surat Surah at-Talaq (65): 6 bahwa kewajiban seorang suami untuk menjaga isterinya yang sedang hamil Islam mengajarkan agar selalu menjaga kehidupan keluarga dari api neraka (jalan kesesatan) bahkan demi hak asasi manusia diperintahkan saling menjaga antar sesame manusia.
Islam juga melarang membunuh perempuan dan anak-anak dalam keadaan perang. Maksud ayat ini, supaya anak memperoleh penjagaan dan pemeliharaanakan keselamatan dan kesehatannya.
Dalam Islam ada beberapa hal yang dianjurkan untuk dilakukan padasaat kelahiran anak, yaitu: 1). Disunnahkan menggembirakan bagi yangmelahirkan. 2). Disunnahkan mengiqamati anak yang baru lahir. 3). Disunnahkanmentahnik anak yang baru lahir, dan 4). Disunnahkan mencukur rambut anakyang lahir.
b. Hak anak dalam kesucian keturunan (nasab).
Hak nasab (hak atas hubungan kekerabatan atau keturunan) merupakansesuatu yang penting bagi anak. Kejelasan nasab akan sangat pentingmempengaruhi perkembangan anak pada masa beriutnya. Hal ini dimaksudkan demi ketenangan jiwa sang anak. Adanya kejelasannasab bagi anak merupakan kebanggaan batin dan agar tidak terjadi kerancuandan kebimbangan dalam masyarakat.
c. Hak anak untuk menerima pemberian nama yang baik.
Diantara tradisi masyarakat yang berlaku ialah ketika seorang anakdilahirkan, dipilihlah untuk sebuah nama. Dengan nama tersebut, ia bisa dikenaloleh orang- orang disekelilingnya. Dengan syari’atnya yang sempurna Islammemperhatikan dan mementingkan masalah ini.Sehingga nama-nama jelek yang mempengaruhi kemuliaan dan akanmenjadi bahan ejekan serta cemooh hendaknya dihindari. Nama-nama yang palingutama adalah nama-nama para nabi atau nama Abd yang dirangkaikan dengannama-nama Allah SWT.
d. Hak anak untuk menerima susuan (rada’ah)
e. Hak anak untuk mendapatkan asuhan,
f. Hak anak untuk mendapatkan perlindungan, dan
61 g. Hak anak untuk mendapatkan pemeliharaan.
Kemudian menurut Wahbah as-Zuhaili dalam karyanya al-fiqh al Islami wa
adilatuhu, yang dikutip Husain Ansarian ada lima macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu hak nasab, hak radla, hak hadhanah, hak walayah dan hak nafkah.
62 Hak-hak tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : 61 62 Abdur Rozak Husein, Op.Cit., hlm. 11-34.
Husain Ansarian, Struktur Keluarga Islam, (Jakarta : Intermasa), 2000, hlm 178
1. Hak Nasab Hak Nasab adalah sebuah pengakuan sya’ra bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari garis mendasar.
2. Hak Radla’ Hak Radla’ adalah hak anak untuk mendapatkan pelayanan makan pokok dengan jalan menyusu pada ibunya. Ibu bertanggung jawab dihadapan Allah tentang hal, baik masih dalam tari perkawinan dengan anak si bayi,atau sudah di talak dan sudah habis masa iddahnya.
3. Hak Hadhanah Hak Hadhanah menurut bahasa adalah meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Menurut
Fiqh, hadhanah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau
anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga atau mengatur dirinya sendiri. Anak yang sah nasabnya berarti tugas Hadhanah akan dipikul oleh kedua orang tuanya sekaligus.
4. Hak Walayah (perwalian) Untuk menyambung dan menyempurnakan pendidikan anak sampai baligh, pemeliharaan harta dan mengatur pembelanjaan harta anak kecil dan perwalian dalam pernikahan bagi anak perempuan.
5. Hak Nafkah Menurut para ahli fiqh, orang pertama yang bertanggung jawab atas nafkah anak adalah kerabat terdekat dalam garis nasab, yaitu ayah kandungnya.
Anak juga harus berbakti kepada orang tua dan harus pula menjalankan kewajibannya-kewajibannya dengan baik. Kewajiban-kewajiban anak pada orang tua menurut hukum Islam yaitu sebagai berikut : a. Taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya.
b. Berkata lemah lembut kepada orang tua.
c. Memelihara orang tua sewaktu telah lanjut usia.
Ada pula kewajiban anak terhadap orang tua berdasar pada peraturan perundang-undangan, yaitu pada Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), yang berbunyi “Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.” Pada saat anak telah dewasa, anak berkewajiban memelihara orang tua menurut kemampuannya, seperti dulu pada saat anak masih kecil dipelihara oleh orang tua. Berbagai tanggung jawab yang paling menonjol yangdiperhatikan Islam adalah mengajar, membimbing, dan mendidik anak yangberada dibawah tanggung jawabnya. Semua ini merupakan tanggung jawab yangbesar, berat dan penting karena hal ini dimulai sejak anak dilahirkan sampai padamasa taklif (dewasa).
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan diantarafitrah manusia itu adalah ia dianugerahi akal dan kemampuan untuk berpikir,sehingga selalu memiliki rasa ingin tahu (curiously). Oleh karena itu, dalam Islammanusia tidak saja berhak untuk mendapatkan pendidikan, bahkan mencaripengetahuan adalah suatu kewajiban. Begitu pula dengan anak-anak, dalam Islam,orang tua memiliki kewajiban memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.
Pendidikan anak ini dilaksanakan sebagai upaya mempersiapkan dirianak untuk menjalani kehidupannya, karena setiap anak yang dilahirkan ini tidakmengetahui apa-apa. Oleh karena itu, orang tua bertanggung jawab penuh untukmemberikan tanggung jawab pendidikan kepada anak-anaknya.
Pendidikantanggung jawab ini meliputi; pertama, pendidikan iman, kedua, pendidikan moral,ketiga, pendidikan fisik, keempat, pendidikan intelektual, kelima, pendidikan psikologis, keenam, pendidikan sosial, dan ketujuh, pendidikan seks.
Oleh karena itu, diperlukan adanya bimbingan, pengarahan danpengawasan agar anak dapat berkembang menuju kedewasaan sebagaimanamestinya. Selain itu, pendidikan dalam Islam juga bertujuan untuk memeliharadan menjaga fitrah yang
63 dimliki anak itu sendiri, yaitu bersih dan suci, terutamafittrah manusia atas agama.
Rincian hak anak diatas adalah kebutuhan anak yang harus diperhatikan.Kesemuanya itu merupakan pemenuhan kebutuhan anak sejak ia di dalamkandungan sampai ia akan menginjak dewasa, baik dari pemenuhan
64
kebutuhanfisik maupun nilai-nilai kerohanian (jiwa anak) , Karena bagaimanpun,mempersiapkan anak agar menjadi generasi yang berkualitas sudah diamanatkandalam al-Qur’an maupun al-Hadist.Dengan kata lain, perhatian untuk memberi nafkah secara laya dan baikkepada anak adalah aspek yang diperhatikan dalam Islam. Pemenuhan kebutuhanfisik ini meliputi sandang, pangan, dan papan yang merupakan kebutuhan anakuntuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya.
Sedangkan aspek non fisik (kebutuhan jiwa) seperti yang sudah dirincidiatas, Rasulullah pernah mengingatkan untuk membaguskan nama dan memberipengasuhan dengan penuh kasih sayang serta pengajaran yang baik.
C. Tanggung Jawab Terhadap Anak
Islam meletakkan tanggung jawab membesarkan anak sepenuhnya diatas bahu kedua orang tuanya, selain merawat secara fisik, juga meliputiakulturasi ke dalam 63 Nurcholis Madjid, “Anak dan Orang tua”, Dalam Masyarakat Religius, (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm. 81-89. lihat juga dalam Abdurrahman Ma’mun, “Anak” Dalam Panji Masyarakat, Nomor 16 Tahun I (4 Agustus 1997), hlm. 98. 64 Ibid.
nilai-nilai Islami dan sosialisasi ke dalam umat. Syariat menegaskan bahwa orang tuanya harus mendidik anaknya tentang ritual Islamserta hukum dan etika Islam dan tentang menjadi bagian dari umat. Bila tidak sanggup atau gagal, maka masyarakatlah yang harus bertanggung jawab. Orangtua membacakan syahadat ketika anaknya baru lahir, menamainya dengan nama baik, menyunatkannya apabila anaknya laki-laki dan mengajarkan membaca Al-Qur’an secara benar. Orang tua mendidik anaknya supaya berbakti kepada keluarga dan masyarakat, membetulkan apabila ia melakukan kesalahan serta menasihati dan memberinya contoh yang baik. Syariat menegaskan supaya anak menghormati dan mematuhi orang tua serta orang yang lebih tua
65 darinya, dan membantu mereka.
Mengasuh dan merawat anak hukumnya wajib, sama seperti wajibnya orang tua memberikan nafkah yang layak kepadanya. Semua ini harus dilaksanakan demi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup anak. Syariat Islam,dalam hubungannya dengan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dan perawatan, menuntut agar setiap orang yang berkewajiban memenuhi tugas ini agar melakukannya dengan ikhlas (sepenuh hati). Makanya hak asuh atas anakkecil (bayi) pada tahap pertama ini hendaknya dilakukan oleh seorang ibu(wanita), karena ia secara umum, dengan fitrah yang ditumbuhkan oleh Allah dalam jiwanya, dipandang lebih mampu dalam memenuhi kebutuhan bayi padausianya yang masih dini tersebut berupa kelembutan,
65 Isma’il R. Al-Faruqi, Altar Budaya Islam, Menjelajah Kazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan), 2003, hlm. 185.
belaian kasih saying, kebutuhan bayi pada usianya yang masih dini tersebut berupa kelembutan, belaian kasih sayang, perhatian, dan perlindungan.
Sebagaimana telah diketahui bahwa menurut Kompilasi Hukum Islam diIndonesia, anak adalah orang yang belum genap berusia 21 (dua puluh satu)
66 tahundan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri.
Ketentuan ini berlaku sepanjang anak tidak mempunyai cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu perbuatan segala hukum yang dilakukan oleh anak diwakili oleh kedua orang tuanya, baik didalam maupun diluar pengadilan. Dalam hal kedua orang tuanya tidak mampu menunaikan kewajiban tersebut, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk seseorang kerabat terdekat untuk melaksanakannya.
Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974, mewajibkan orang tua (ayah dan ibunya) untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.Kewajiban ini berjalan sampai anak ini kawin atau dapat berdiri sendiri. Demikian pula sebaliknya, pada Pasal 46 UU No. 1 Tahun 1974,anak wajib menghormati orang tua dan menuruti kehendak mereka yang baik.Serta apabila anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuan, orangtua dan keluarga dalam garis lurus keatas bila mereka itu memerlukannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa anak adalah buah perkawinan kedua orang tuanya yang telah memainkan perannya dalam penciptaan ini harus berbagi dalam segala suka dan duka untuk membimbing anaknya. Dalam masyarakat 66 Pasal 98, Kompilasi Hukum Islam. muslim seperti halnya masyarakat di Provinsi Aceh, keluarga muslim bertujuan untuk membentuk insan-insan taqwa, sehingga keluarga muslim tersebut mendapatkan berkah Allah SWT, disamping itu ayah dan ibu juga harus membiasakan dan mendidik anak-anaknya dalam segala perilaku yang Islami dalam kehidupan sehari- hari.
Orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengajar dan
67
membimbing anak-anaknya. Namun tanggung jawab orang tua dalam usaha penumbuhan dan peningkatan anak tidak hanya terbatas pada segi fisik semata, tetapi yang lebih penting adalah usaha penumbuhan dan peningkatan potensi positif seorang anak agar menjadi manusia yang berkualitas tinggi. Kewajiban orang tua dalam konteks ini adalah berbuat sesuatu untuk mengembangkan apa yang secara primodial sudah ada pada diri anak, yaitu natur kebaikannya sendiri yang sesuai dengan fitrahnya. Disini orang tua memikul tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara
68
agar anak tidak menyimpang dari natur dan potensi kebaikannya. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial. Dalam keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim. Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya dan sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukkan tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan kepada anak. Pengalaman 67 Aziz Musthoffa, Untaian Mutiara Buat Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka), 2003, hlm. 38. 68 Saifullah, Problematika Anak dan Solusinya Pendekatan Saddudzzara’I, Mimbar Hukum Nomor 42 Tahun ke-10 (mei, 1999), hlm. 48.
interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat.
Perlindungan, pemeliharaan, dan pengasuhan anak pada dasarnya merupakan
69
tanggung jawab bersama kedua orang tua. Tanggung jawab keduanya antara pasangan suami isteri sebenarnya dapat dilihat dalam pembagian tanggung jawab dan
70
peran yang diambil masing-masing dalam memelihara anak. Dalam konsep Islam, suami lebih diberi tanggung jawab dalam hal ekonomi atau nafkah untuk keluarga sebagai tanggung jawab sebagai kepala rumah tangganya.
Meskipun dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan bahwa isteri dapat
71
membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Sedangkan dalam perawatan, mengasuh anak hampir seluruh ulama memilih ibu untuk
72
mengasuhnya. Tentu saja hal ini juga merupakan pengaruh budaya yang juga membentuk pembagian peran tersebut. Kedekatan antara ibu dengan anaknya sesuatu yang alamiah yang dimulai dari proses reroproduksi sampai dengan penyusuan dan pemeliharaan bayi maka dalam perawatan sering kali tanggung jawab ini diberikan kepada si ibu. Padahal pembagian peran dengan prinsip kesetaraan pada dasarnya dapat melahirkan potensi-potensi terbaik anak baik itu dari ayah maupun ibu dalam hal mendidik dan mengembangkannya. Dengan kata lain sistem pembagian kerja dan 69 Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reroproduksi Perempuan, (Jakarta : Mizan), 1997, hlm. 144. 70 Fuaduddin, Pengasuhan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Lembaga Bagian Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan dan The Asian Foundation), 1999, hlm. 20-24. 71 72 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers), 1998, hlm. 236.
Zakariya Ahmad Al-Barry, Ahkan Al-Aulat fi Al Islam, Alih bahasa oleh Chadijah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang), 1977, hlm. 51 peran yang diambil secara adil antara ayah dan ibu haruslah melihat kebutuhan dan
73
kenyataan yang dihadapi sebuah keluarga.Orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak karena orang tua merupakan urutan pertama dalam hak untuk mengasuh anak. Menurut Ali Yafie, konsep pemeliharaan anak menuju anak yang waladan salih. Dalam ajaran Islam, meliputi enam bahasan, yaitu:
1. Anak merupakan karunia Tuhan (rezeki) bagi orang tua, keluarga, dan masyarakat tetapi sekaligus merupakan fitnah atau ujian.
2. Pendidikan anak dengan baik terletak secara mutlak pada pundak orang tua sebagai penanggung jawab utama.
3. Pembinaan atas perkembangan dan pertumbuhan anak harus dipersiapkan sejak dini.
4. Pembinaan tingkat awal adalah dalam bentuk rada’ah dan hadanah yang langsung ditangani oleh ibu kandung.
5. Pembinaan anak dalam usia pra sekolah sebagaian besar harus berlangsung dalam rumah tangga yang ditangani oleh orang tua secara bersama-sama.
6. Pembinaan anak selama berada dalam usia sekolah menjelang dewasa ditangani bersama oleh komponen-komponen pendidikan, yaitu rumah tangga (orang tua), sekolah (guru), dan masyarakat (pemerintah atau panutan yang
74 tauladani dalam masyarakat dilingkungannya.
Konsep ajaran tersebut merupakan usaha-usaha dalam upaya penanganan masalah anak yang diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak. A.L.S. Soesilo, mengatakan bahwa :
Perhatian orang tua merupakan barometer dari rasa tanggung jawab yang ada dalam dirinya terhadap anak. Di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Perkembangan jasmani anak tergantung pada pemeliharaan fisik yang layak yang diberikan 73 keluarga. Sedang perkembangan sosial anak akan bergantung pada kesiapan 74 Fuaduddin, Op.Cit., hlm. 23.
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, cet. Ke-2 (Bandung: Mizan), 1994, hlm. 272. keluarga sebagai tempat sosialisasi yang layak. Memang besar harapan peranan dan tanggung jawab yang harus dimainkan oleh orang tua dalam
75 membina anak.
Betapa beruntungnya orang tuanya yang memelihara anak dengan kasihsayang dan kesabaran. Orang tua yang melahirkan anak yang shaleh dan
76
sholehah yang akan mendoakannya sampai meninggal dunia. Diantara bentuk perwujudan tanggung jawab dalam pembinaan anakadalah dengan mensejahterakan kehidupan mereka. Semua narasumbersependapat bahwa kesejahteraan anak meliputi segi fisik (jasmani), rohani(mental), dan sejahtera secara sosial. Kebutuhan mereka terpenuhi dalam halsandang, pangan, dan papan (rumah tempat berlindung). Mereka tumbuh secarasehat, cukup gizi, dapat mengembangkan diri dengan sarana pendidikan yangmerata serta dapat hidup dengan normal sesuai dengan jiwa dan tahapperkembangannya.
Apabila kedua orang tua berhalangan atau tidak mampumemelihara anaknya, tanggung jawab dapat dialihkankepada keluarganya atau kerabatnya yang mampu.
Maksud dari keikutsertaan kerabat untuk turut bertangung jawabterhadap anak ini menunjukan bahwa bagaimanapun hak hadanah memang dapatdilepaskan karena suatu hal namun hak hadanah anak yang masih kecil tetap tidakdapat gugur.
Kemudian dalam memberi perlindungan terhadap anak, tidak semua orang tua mampu memberikan perlindungan maupun nafkah yang selayaknya kepada anaknya.
Orang tua dapat saja terhalang memenuhi kewajiban karena faktor kemiskinan. 75 A.L.S. Soesilo, Pengaruh Sikap Orang Tua Terhadap Anak, Peranan Keluarga Memandu
Anak, (Jakarta: Rajawali), 1985, hlm. 19 76 Ibid.
Anak-anak yang terabaikan lantaran tak mendapatkan perhatian, tak memperoleh kebutuhan dan hak pemeliharaan yang baik, sebagian memang lantaran kemiskinan orang tua mereka. Ada banyak sebab yang menyebabkan orang tua gugur kewajibannya untukmengasuh anaknya, di antara lain seperti tidak mampu atau miskin, meninggal dunia, sakit dan atau gila.
Keluarga yang tak mampu memberikan kesejahteraan terhadap anak inimemang dapat menggugurkan kewajiban orang tua untuk memberikan hak yang selayaknya yang didapatkan anak. Namun sekali lagi hal tersebut tidak dapat menggugurkan hak anak untuk memperoleh pemeliharaan. Maka sempurnakah,bila dalam Islam kewajiban itu dapat beralih pada kerabatnya yang mampu. Dan apabila keluarga atau kerabat tidak ada maka masyarakat dan negaralah yang berkewajiban memelihara dan memberikan perlindungan terhadap anak tersebut.
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa menyantuni anak yatim adalahkewajiban sosial setiap orang Islam, karena problem sosial akan timbul karenaempat sebab, yaitu tidak memuliakan anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, memakan warisan kekayaan alam dengan rakus, dan mencintai hartabenda
77 secara berlebihan.
Kemudian apabila kerabat si anak dan masyarakat dilingkungan tidak dapat memenuhi kewajiban pemeliharaan anak,maka adalah kewajiban negara dalam pengeluaran keuangan atau pajaknya perlu pula memperhatikan pendistribusiannya untuk kesejahteraan masyarakat miskin dan anak terlantar. Sebab Negara adalah 77 Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, Cet. Ke-10, (Jakarta: Mizan), 1999, hlm. 86. pihakyang paling layak mengendalikan dan mewujudkannya tegak keadilan dankesejahteraan masyarakat secara merata. Seperti apa yang dinyatakan juga oleh mayoritas ulama sunni yang berpendapat bahwa negara berkewajiban memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia atau dalam bahasa K.H.Sahal, Negara
78 bertujuan untuk mencari kebahagiaan dunia dan akherat (sa’adatal-dunain).
Berdasarkan terminologi tersebut, maka kekuasaan harus sejalan dengan tujuan syariah, yaitu memelihara agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan atau
79
generasi. Perhatian Islam terhadap pemeliharaan anak yang terlantar dapat pula dibaca dalam semangat perintah zakat. Dimana kewajiban zakat terdapat hak bagi fakir miskin dan anak yatim yang menunjukan perwujudan solidaritas yang lebih mendasar. Hal inilah tentunya berkaitan dengan objek zakat itu sendiri terhadap anak- anak terlantar yang orang tuanya berada dalam kondisi kemiskinan. Anak-anak miskinpun bisa dinisbahkan sebenarnya dalam salah satu objek zakat itu sendiri. Dan itu sekali lagi menjadi tanggung jawab masyarakat untuk turut peduli dan menolong mereka khususnya bagi mereka yang mengaku sebagai orang Islam. Salah satunya melalui lembaga berupa panti asuhan atau yayasan yang diperuntukkan bagi anak yatim atau anak kurang mampu.
D. Pengertian Panti Asuhan dan Tujuannya dalam Pemeliharaan Anak Asuh
Panti asuhan apabila ditelaah secara etimilogi berasal dari dua kata, yaitu
80
“panti” yang berarti rumah atau tempat kediaman. Sedangkan panti asuhan adalah 78 79 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS), 1994, hlm. 237. 80 Ali Yafie, Op.Cit., hlm. 273.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka) 1996, hlm 1093.
81
tempat merawat anak-anak yatim atau yatim piatu, anak-anak terlantar. Panti Asuhan pada hakekatnya adalah lembaga sosial yang memiliki program pelayanan yang disediakan untuk menjawab kebutuhan masyarakat dalam rangka menangani permasalahan sosial terutama permasalahan kemiskinan, kebodohan dan permasalahan anak yatim piatu, anak terlantar yang berkembang di masyarakat.
Arif Gosita menyamakan pantiasuhan dengan panti sosial yang mengartikan bahwa panti sosial, yaitu lembaga atau kesatuan kerja yang merupakan sarana dan prasarana yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan profesi pekerjaan
82
sosial. Kata “asuh” memiliki arti sebagai upaya yang diberikan kepada anak yang mengalami kelakuan, yang bersifat sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga, agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani,
83 jasmani dan maupun sosial.
Panti asuhan adalah suatu lembaga kesejahteraan sosial yang bertanggung jawab memberikan pelayanan pengganti dalam pemenuhan fisik, mental, dan sosial pada anak asuh, sehingga dapat memperoleh kesempatan yang lebih luas tepat dan memadai bagi pengembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan demikian panti asuhan itu tentunya harus mempunyai dasar dan landasan hukum yang kuat, sehingga keberadaan panti asuhan tersebut betul-betul merupakan salah satu wahana untuk mengatasi kendala-kendala sosial. 81 82 Ibid.