Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/Pa.Bks.)

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

MOH ANAS MAULANA IBROOHIM NIM : 1110044100078

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

iv

Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak pada Perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. Pada penelitian ini penulis memilih objek penelitian di Pengadilan Agam Bekasi. Penulis ingin mengetahui hal-hal yang menyebabkan pelimpahan hak anak kepada bapak kandungnya sebagai akibat perceraian. Selain itu juga, penulis ingin mengidentifikasi pertimbangan hukum hakim yang memberikan hak asuh anak kepada bapak kandungnya akibat terjadinya perceraian, yang seharusnya hak asuh itu berada di tangan ibu kandungnya.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menekankan kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang berkenaan dengan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak kandungnya, yang terjadi di Pengadilan Agama Bekasi. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, studi pustaka, dan studi dokumenter.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pelimpahan hak asuh anak kepada bapak kandungnya dikarenakan ibu anask tersebut tidak amanah, keadaan ekonomi minim, dan tidak mempunyai kemauan dalam mendidik anak.

Kata Kunci : Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Kandung, Perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.

Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, MA. Daftar Pustaka : 1989-2009.


(5)

(6)

vi

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Suhanahu wa ta’ala yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis, sehingga berkat pertolongan-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayahanda Sudarman dan ibunda Sriyati (Almh), serta ibu Musyarafah, beserta kakak penulis Anisatul Mufadhalah, kakak ipar penulis Aswan Burhanudin, dan adik Penulis Anik Rif’atul Uluwwiyah, serta bidadari penyelamat Sena Siti Arafiah beserta keluarganya yang tidak pernah berhenti memberikan motifasi, bimbingan, kasih sayang dan doa. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan kasih sayang kepada mereka.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak akan dapat menyelesaikanya jika tanpa dukungan, bantuan dan saran dari berbagai pihak, terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan dengan tulus kepada Bapak:

1. Dr. Phil. JM Muslimin, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Ibu Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. M. Nurul Irfan., MA., Dosen Pembimbing skripsi yang tidak pernah lelah membimbing, mengarahkan dan memotifasi dalam penyelesaian skripsi ini.


(7)

vii

dari awal hingga akhir.

6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi ini dan staf-staf karyawan yang membantu proses administrasi penulis

7. Seluruh staf Pengadilan Agama Bekasi, dan Panitera Muda Hukum Enjang Zenal Hasan, SH., serta Hakim Pengadilan Agama Bekasi Drs. Mansyur., yang merelakan waktunya untuk penulis.

8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan dalam mengumpulkan refrensi kepada penulis.

9. Seluruh keluarga besar KMF yang selalu memberikan support, Do’a dan motifasi khususnya kang Hanif, kang Sakir, Roni, Salahudin. Fauzi, Tomi, Adrian, Kholis, Agung dan lainya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10.Seluruh keluarga Ibu Kos Hanum, temen-temen kos Wildan al-Farabi, dan Imam Furqani yang memberikan semangat tiada lelah.

11.Teman-teman keluarga Besar Peradilan Agama anggkatan 2010 kelas A dan B yang menjadi temen seperjuangan. Khusus kepada Ibrahim, Husnul Abrar, Rahmad Yudistiawan, Soraya, dan Sainah serta temen-temen yang tidak bisa disebutin semua namanya. Terima kasih atas pinjaman buku dan motifasinya. Kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama kalian semuanya.


(8)

viii

Ciputat, 29 April 2014


(9)

ix

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

ABSTRAK... iii

KATA PENGANTAR... iv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembahasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dn Manfaat Penelitian... 8

D. Review Study Terdahulu... 9

E. Metodologi Penelitian... 10

F. Sistematika Penulisan... 13

BAB II HADHANAH DALAM ISLAM... 14

A. Pengertian Hadhanah... 14

B. Dasar Hukum Hadhanah... 16

C. Syarat-syarat Hadhinah dan Hadhin... 19

D. Pihak-pihak yang berhak dalam Hadhanah... 28


(10)

x

A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan... 35

B. Kompilasi Hukum Islam... 38

C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak... 41

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK... 44

A. Duduk Perkara Putusan Pengadilan Agama... 44

B. Pertimbangan Hukum Hakim... 45

C. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Bekasi... 47

BAB V PENUTUP... 54

A. Kesimpulan... 54

B. Saran-Saran... 55

DAFTAR PUSTAKA... I LAMPIRAN-LAMPIRAN... II


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah lepas dari hubunganya dengan manusia lain. Manusia memiliki kepentingan yang berbeda antara satu dengan yang lainya. Dengan perbedaan kepentingan ini hubungan yang dibangun antara manusia yang satu dengan manusia yang lain bisa mengarah jadi terbentuknya pertentangan, perselisihan, sengketa, bahkan permusuhan. Untuk menghindari terjadinya hal ini, diperlukan norma atau rambu-rambu kehidupan. Selain norma agama, norma etika, dikenal juga norma hukum yang sangat penting peranannya dalam mengatur perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat.1 Perkawinan harus dipahami sebagai ikatan manusia untuk menjelaskan hasrat seksualnya secara sah dan bertanggung jawab, dari sini akan terjalin hubungan kasih sayang cinta dan tanggung jawab untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan meneruskan perjalanan peradaban manusia.2

Islam memandang perkawinan mempunyai nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah. Mengikuti sunnah Nabi, dan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan untuk memenuhi naluri hidup dan menumbuhkan rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat.3

1

Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2003), cet.2, hal. 1 2

Muhammad Husein, Perempuan, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hal 105 3


(12)

Muderis Zaini berpendapat bahwa keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak.4

Dalam Islam, perkawinan tidak terikat dalam ikatan mati dan tidak pula mempermudah terjadi perceraian. Perceraian baru boleh dilakukan jika benar-benar dalam kondisi yang sangat darurat dan terpaksa, sebagai solusi akhir dalam menyelesaikan masalah rumah tangga. Perceraian diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik dari pada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi tidak tercapai kebahagiaan dan selalu ada dalam penderitaan, sebagaimana di tulis oleh Sayyid Sabiq bahwa lepasnya ikatan perkawinan sangat dilarang kecuali terdapat alasan yang dibenarkan terjadi hal yang sangat darurat.5 Perceraian bukan hanya merupakan bencana bagi pasangan suami isteri, namun juga merupakan malapetaka bagi fisik dan psikis anak-anak mereka. Peristiwa perceraian, apapun alasanya merupakan sesuatu yang sangat berdampak negatif bagi anak dimana pada saat itu, anak tidak dapat lagi merasakan kasih sayang sekaligus dari kedua orang tuanya. Padahal kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan mental seorang anak.

Menurut para fuqaha, hadhanah adalah hak untuk memelihara anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang sehat akalnya, jadi tidak

4

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga System Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 7

5


(13)

termasuk disini pemeliharaan terhadap anak yang telah dewasa yang sehat akalnya.6

Ketentuan tentang hak hadhanah akibat terjadi perceraian orang tuanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 105 yaitu:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Namun dalam Hadhanah. Agama Islam memberikan syarat-syarat kepada seorang pengasuh yaitu: berakal, baligh, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mendidik anak yang diasuh, dapat dipercaya, dan juga harus beragama Islam atau seakidah dengan sang anak.

Sedangkan di dalam hukum Islam (Fiqh), Mazhab Syi‟ah Imamiyah dan

Syafiiyah berpendapat bahwa seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama Islam, sedangkan Mazhab lainnya tidak mensyaratkannya. Bagi Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa kemurtadan wanita atau laki-laki yang mengasuh, secara otomatis menggugurkan hak asuhnya.7

Dalam proses pemeliharaan anak dari kecil sampai baligh ada istilah yang berdekatan yaitu kata hadhin atau hadhinah yang berarti istilah yang dipakai bagi

6

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Penerjemah Anshori Umar Sitanggal, dkk,

7

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah: Masykur A.B. dkk,, Al-fiqh Ala Al-Madzahib Al-Khomsah, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2006) h. 416-417


(14)

seorang yang melakukan tugas hadhanah yaitu tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai bisa secara sederhana makan sendiri dan berpakaian sendiri dan bisa membedakan berbahaya baginya. Bila diukur dengan umur, sampai umur 7 atau 8 tahun. Pada masa sebelum umur tersebut, pada umumnya seorang anak belum bisa mengatur dirinya dan belum bisa secara sederhana membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.8

Orang yang akan menjadi pengasuh anak disyaratkan mempunyai Kafa’ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan si anak, mampu melaksanakan tugas sebagai pengasuh anak. Karena, dengan adanya kemampuan dan kafa’ah, maka mencakup beberapa syarat tertentu, dan apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anak.9

Kemudian masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-syarat yang menjadi Hadhin, karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhanya, keberhasilan seorang anak dalam perkembangan, kedewasaan, dan pendidikanya. Sebab ciri dasar manusia adalah bersifat dinamis, merdeka, dan sosial. Maka pada saat inilah seorang anak diberikan pendidikan yang paling besar sifatnya seperti diajarinya seorang anak mengenal Tuhan sebagai bekal tauhid dan jiwanya.

Bilamana terjadi perceraian, maka orang yang paling berhak mengasuh dan memelihara anak-anaknya adalah ibunya karena anak di masa kecil

8

Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempoler, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 220.

9


(15)

membutuhkan kasih sayang lebih, pemeliharaan yang optimal agar tumbuh kembang terpelihara anak tersebut. Yang dimungkinkan bapak sibuk untuk mencari nafkah, maka ibulah yang berkewajiban untuk memeliharanya.10 Peran ibu dalam mendidik anak sangatlah penting. Meskipun secara fisik seorang laki-laki jauh lebih kuat bila dibandingkan perempuan, namun pada beberapa hal ibu jauh memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh seorang suami. Jadi, peran ibu mendidik anaknya tidak bisa digantikan oleh orang lain dan bahkan oleh suaminya sendiri.

Peran seorang ibu dalam mendidik anak tidak bisa disejajarkan dengan bapak. Oleh karena itu, ibu memiliki naluri yang lebih kuat terhadap anaknya dibandingkan bapaknya. untuk itu, ibu memiliki keutamaan-keutamaan dibandingkan bapak. Keutamaan-keutamaan tersebut adalah sebagai berikut:

 Ibu lebih sabar dibandingkan bapak dalam hal mendiidk anak.  Ibu memiliki insting alami yang tidak dimiliki oleh bapak.  Ibu lebih tahu karakter dan moral anak dibandingkan bapak.  Ibu yang mengandung anak, sehingga lebih sayang pada anaknya.

Begitu besarnya peran ibu dalam mendidik anak sangat perlu diapresiasi. Mengingat ibu mempunyai peran yang ganda, peran sebagai isteri dan peran sebagai seorang ibu. Sebagai isteri ia harus senantiasa taat kepada suaminya selagi suaminya tidak menyuruh ke arah kejahatan dan kemaksiatan dan sebagai ibu ialah menyelamatkan generasi masa depan dengan mendidik anak-anak kearah yang lebih baik.

10

Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002). H. 318


(16)

Pengadilan Agama Bekasi adalah Pengadilan Agama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam. Sudah semestinya dalam memutuskan perkara bersikap hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan dan hukum, wajib memberikan putusan yang seadil-adilnya, sehingga berbagai kepentingan dari berbagai para pihak yang berperkara dapat terpenuhi. Termasuk perkara pelimpahan hak hadhanah. Terhadap anak yang belum mumayyiz hak hadhanah semestinya ikut ibunya. Namun demikian, dalam perkara ini Pengadilan Agama Bekasi telah melimpahkan hak asuh seorang anak yang belum mumayyiz kepada ayahnya.

Penyusun memilih mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Bekasi karena Pengadilan Agama ini telah menerima dan memproses perkara bagi anak yang belum mumayyiz dan melimpahkan hak asuhnya kepada bapak. Terlepas dari beberapa kaidah normatif yang mengatakan bahwa anak yang belum mumayyiz hak asuhnya jatuh pada ibunya.

Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.)

B. Batasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan spesifik, maka penulis memberikan batasan sesuai dengan judul yang diangkat pada penelitian ini sebagai berikut:


(17)

a. Anak dalam skripsi ini dibatasi pada anak kandung yang dilahirkan dari perkawinan yang sah kedua orang tuanya.

b. Bapak dalam skripsi ini dibatasi pada wali nasab dalam hal ini adalah bapak kandung.

c. Putusan pengadilan dibatasi pada dasar pertimbangan yurisprudensi yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara hak hadhanah yang dilimpahkan kepada bapak dengan putusan perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. di Pengadilan Agama Bekasi tentang gugatan pemeliharaan anak.

2. Perumusan Masalah

Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa pemeliharaan anak yang di bawah umur ketika terjadi perceraian maka hak asuhnya adalah jatuh pada ibu. Namun pada kenyataanya putusan di Pengadilan Agama Bekasi hak asuh jatuh dan dilimpahkan kepada bapak. Dari perumusan tersebut dapat dirinci dalam pernyataan sebagai berikut:

a. Mengapa hak asuh anak dalam perkara Putusan Perkara Pengadilan Agama Bekasi Perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. dilimpahkan kepada bapak?

b. Bagaimana kewajiban bapak setelah putusan hak asuh anak yang dilimpahkan kepadanya?

c. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam perkara Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui hak asuh anak dalam Putusan Pengadilan Agama Bekasi pada putusan Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.

b. Mengetahui kewajiban bapak setelah putusan hak asuh anak yang dilimpahkan kepadanya.

c. Mengetagui dasar hukum yang digunakan dalam perkara Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.

2. Manfaat Penelitian

a. Memberi masukan dalam bidang munakahat serta mampu menambah wawasan bagi penulis khususnya dan masyarakat umumnya terutama terkait penentuan hak hadhanah setelah terjadi perceraian antara suami istri.

b. Memberikan informasi tentang tinjauan Yurisprudensi hak asuh anak yang dilimpahkan kepada bapak.

c. Memberikan informasi tentang pertimbangan hukum, hakim yang memberikan pemeliharaan anak kepada bapak akibat terjadinya perceraian.

d. Sebagai dokumentasi ilmiah di dalam maupun di luar kampus. D. Review Study Terdahulu

Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan penulis.

1. Penetapan hak asuh anak kepada ibu non muslim (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat). Oleh: fauzan Kuswara (1044101430). Prodi Ahwal Al-Syakhsiyah. Tahun: 2007.


(19)

Skripsi ini membahas tentang masalah penetapan hak asuh anak oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang hak asuh anak yang diberikan kepada ibu, meskipun si ibu diketahui beragama non-Muslm.

b. Perbedaan

Perkara perceraian antara pasangan beda agama dengan menetapkan hak asuh anak yang jatuh kepada ibu non muslim. Dalam putusan Perkara Nomor: 433/Pdt.G/2007/PAJP. Yang menetapkan hak asuh anak kepada ibu non muslim dan hal apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menetapkan hak asuh anak dalam perkara cerai gugat.

2. Pencabutan hak asuh anak dari ibu (Studi Analisisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor: 430/Pdt.G/2006/PA.Dpk). oleh : Aditya Nur Pratma (105044101395). Prodi Ahwal Al-Syakhsiyah. Tahun: 2008.

a. Isi

Skripsi ini membahas tentang masalah mengenai pencabutan hak asuh anak dengan membahas analisis putusan dari Majlis hakim pada perkara Nomor:430/Pdt.G/2006/PA.Dpk.

b. Perbedaan

Analisa Putusan Perkara Nomor: 430/Pdt.G/2006/PA.Dpk. dilakukan di Pengadilan Agama Depok. Karena akibat kelalaian ibu terhadap anak yang mengakibatkan pencabutan hak asuh anak. Gugatan


(20)

pencabutan hak asuh anak terjadi setelah adanya keputusan cerai dari pengadilan.

3. Hak hadhanah terhadap ibu wanita karir (analisa putusan perkara nomor: 458/pdt.g./2006/PA.Dpk Pengadilan Agama Depok). Oleh Mohammad Anshory (106046920698). Prodi Akhwal Al-Syakhsiyah. Tahun: 2010.

a. Isi

Skripsi ini menjelaskan tentang hak seorang ibu sebagai wanita karir tetapi tidak mampu mengasuh anaknya sehingga diserahkan kepada neneknya yang beragama Protestan.

b. Perbedaan

Yang menjadi perbedaan dalam skripsi ini seorang anak yang masih di bawah umur yang seharusnya dilimpahkan kepada ibu, diasuh dan didik dengan baik melainkan di Pengadilan Agama Depok memutuskan untuk dilimpahkan kepada bapak.

E.Metodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian di mana akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus, yaitu mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus lalu dipelajari untuk


(21)

memperoleh gambaran terhadap dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum.11

Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatife yang memiliki persamaan dengan penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.12 Kepustakaan dilakukan dengan menggunakan buku-buku, kitab-kitab fiqih, perundang-undangan, dan yurisprudensi yang berhubungan dengan skripsi ini. Sedangkan jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data kualitatif.

Sedangkan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menekankan kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif, penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang berkenaan dengan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak yang terjadi di Pengadilan Agama Bekasi. Menurut Moleong penelitian kualitaif merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas subyektif, mencakup penelaahan dan mengungkap berdasarkan persepsi untuk memperoleh pemahaman terhadap fenomena dan kemanusiaan.13

2. Kriteria dan Sumber Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder.

11

Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Cet. II, (Jawa Timur: Baymedia Publising, 2006), h. 321

12

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-8, (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2004), hlm-13

13

Lexi j. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. III, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 2005), h. 6


(22)

a. Adapun data primer yang didapat untuk penulisan ini berasal dari studi dokumentasi yaitu penelitian yang dilakukan di perpustakaan, arsip, dan lain-lain.14 Penulis menjadikan putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. sebagai data primer, untuk kemudian penulis melakukan analisis hukum terhadap pertimbangan hakim tentang putusan hak pemeliharaan anak kepada bapak.

b. Sedangkan data sekunder untuk melengkapi data primer diperoleh dari studi kepustakaan dengan mengkaji dan menelusuri literatur yang releven baik berasal dari buku-buku, kitab fiqh, majalah, jurnal-jurnal, dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan yang dikaji.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Wawancara mendalam yaitu teknik pengumpulan data untuk mendapat informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada hakim yang memutus perkara tersebut. Wawancara ini untuk mendapatkan data tentang pelimpahan hak asuh anak kepada bapak. b. Studi Kepustakaan untuk mendapatkan teori-teori dan konsep yang

berkenaan dengan metode keputusan hakim melalui berbagai buku dan literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan obyek penelitian.

14

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 50.


(23)

c. Studi dokumentar yaitu menelaah bahan-bahan yang diambil dari dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan putusan hadhanah serta putusan hakim yang menyangkut hadhanah.

4. Teknik Analisis Data

Bahan yang diperoleh, lalu dianalisis secara kualitatif yang dilakukan terhadap data yang diolah dengan menggunakan uraian-uraian untuk memberi gambaran, sehingga menjadi sistematis dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang ada dianalisis sehingga dapat membantu sebagai dasar aturan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam pengambilan putusan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak.

F.Sistematika Penulisan

Sistem penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

Bab Pertama, berisi pembahasan tentang latar belakang masalah, batasan masalah, dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, berisi tentang hadhanah dalam Islam, yang meliputi tentang pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat hadhinah dan hadhin, pihak-pihak yang berhak dalam hadhanah, masa hadhanah.

Bab Ketiga, berisi mengenai hadhanah dalam perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Bab Keempat, berisi dalam bab ini yaitu menganalisi Putusan Pengadilan Agama Bekasi tentang perkara pelimpahan hak asuh anak kepada bapak yang


(24)

berisi tentang duduk perkara, pertimbangan hukum hakim, dan analisis penulis terhadap Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.

Bab Kelima, berisi dalam bab ini membahas tentang kesimpulan dan saran-saran dari penelitian ini agar permasalahan hadhanah dapat dijelaskan dengan baik.


(25)

BAB II

HADHANAH DALAM ISLAM A. Pengertian Hadhanah

Hadhanah diambil dari kata al-hidhnu yang artinya samping atau merengkuh ke samping. Adapun secara syara‟ hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau, bisa juga diartikan memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhanya sendiri karena tidak mumayyiz seperti anak-anak, orang dewasa tetapi gila. Pemeliharaan di sini mencakup urusan makanan, pakaian, urusan tidur, membersihkan, memandikan, mencuci pakaian, dan sejenisnya.15

Hadhanah adalah salah satu bentuk dari kekuasaan dan kepemimpinan. Namun demikian, dalam hal ini perempuan lebih layak untuk menempatinya karena kaum hawa bisa lebih lembut, penuh kasih sayang, dan sabar dalam mendidik. Menurut Sayyid Sabiq, hadhanah adalah suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan dan menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakan, mendidik serta mengasuhnya baik fisik, mental maupun akal, agar mampu menegakkan kehidupan yang sempurna dan tanggung jawab.16

15

Al-badaa‟i, Vol.4, hlm. 40: asy-syarhush Shagir, Vol.2, hlm. 756: Mughni Muhtaaj,

Vol.3, hlm. 456: Kasysyaaful Qina‟, Vol.5, hlm. 576.

16


(26)

Menurut Al-Hamdani, hadhanah artinya pemeliharaan anak baik laki-laki maupun perempuan yang masih kecil atau anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan anak, melindunginya dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik jasmani dan rohani serta akalnya, supaya anak dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.17

Dalam buku hukum Perdata Islam di Indonesia, dikatakan bahwa hadhanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukanya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.18

Sedangkan menurut KHI yang terdapat dalam Pasal 1 huruf G dikatakan bahwa: hadhanah atau memelihara anak adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau berdiri sendiri. Para ulama Fikih mendefinisikan hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.

Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi keluarga berada dipundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup

17

Said bin Abdullah bin Thalib Al-hamdani, diterjemahkan oleh Agus Salim, Risalan Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Ed.2, h. 318.

18


(27)

kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada isteri untuk membantu suaminya bila suaminya tidak mampu melaksanakan kewajibanya. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan kerjasama dan saling membantu antara suami isteri dalam memelihara anak sampai ia dewasa. Hal ini yang dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung jawab suami isteri kepada anak-anaknya.19

Pemeliharaan anak itu juga adalah tugas dan tanggung jawab untuk memelihara, mengasuh, dan mendidik anak suami isteri atau ayah dan ibu mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya dalam melaksanakan pemeliharaan anak yang dilahirkan. Pemeliharaan anak tersebut meliputi pemberian makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan juga perlindungan diri berbagai segala macam bahaya dan hal-hal yang lain yang diperlukan.

B. Dasar Hukum Hadhanah

Hukum hadhanah adalah hukumnya wajib karena anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatanya. Karena itu, hadhanah hukumnya wajib sebagaimana juga wajibnya memberi nafkah kepadanya. Adapun dasar hukumnya tentang kewajiban orang tua dalam memelihara seorang anak dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 233:

                                                               19


(28)

                                  

“Para Ibu hendaklah menyusuhkan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi

makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak

dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang anak karena ayahnya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dari permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan orang lain , maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut, bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa hadhanah adalah salah satu kewajiban bagi kedua orang tua atau yang mendapatkan hal tersebut, pengabaian terhadap anak adalah suatu penganiayaan terhadap anak tersebut. Pendidikan anak juga merupakan salah satu faktor yang amat penting dalam kehidupan keluarga. Orang tua berkewajiban untuk mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi orang-orang yang beriman dan berakhlak mulia, serta patuh dalam melaksanakan ajaran agama dengan baik agar terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat.20

Allah berfirman dalam surat at-tahrim ayat 6:

                             

“Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

20

Tihami, dan Sohari sahroni, Fikih Munakahat kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009). Hlm. 217.


(29)

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah swt untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.21 Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikan berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusanya, dan orang yang mendidiknya. Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pengakuan ibu bapaknya, karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupanya di masa yang akan datang.22

Suatu ketika datang sepasang suami isteri kepada Rasullah Saw. untuk meminta penetapan siapa yang lebih berhak untuk mengasuh anak, sedangkan mereka sudah bercerai. Dalam hadits nabi Muhammad munyatakan:

“ Dari Abdullah bin Amr R.a. sesungguhnya seorang perempuan datang dan

mengadu kepada rasullah, ya Rasul sesungguhnya anak ini perut saya yang mengandungnya dan dari susu saya ia mendapat minuman, dan pengakuan sayalah ia yang menjadi penjaganya sedangkan ayahnya menceraikan saya, dan ia bermaksud memisahkan diri dari saya, maka Rasul bersabda kepadanya:

21

Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta Kencana, 2006), hlm. 177. 22


(30)

engkau lebih berhak terhadap anakmu selama engkau belum kawin dengan orang

lain. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah).23

Hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk memelihara anaknya selama ia belum menikah dengan orang lain, dengan kata lain jika ibunya menikah maka praktis hak hadhanahnya itu gugur lalu berpindah kepada ayahnya karena jika ibunya menikah dengan orang lain, besar kemungkinan perhatianya akan beralih kepada suaminya yang baru, dan mengalahkan bahkan bukan tidak mungkin ia akan mengorbankan anaknya sendiri.

C. Syarat-Syarat Hadhanah dan Hadhin

Masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-syarat orang yang menjadi Hadhin. Karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhanya, seorang hadhinah (ibu asuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.24

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya diperlukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah, sebagai berikut:25

23

Tihami dan Sohari Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 218.

24

Satria Effendi M. Zein, Problrmatika Hukum Keluarga Islam Kontempoler, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 172.

25

Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempoler, Prenada Media, Jakarta, September 2004, h. 172-173.


(31)

1. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baligh, berakal, tidak terganggu ingatanya, sebab hadhanah ini merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah. Ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak menghidap penyakit menular.

2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik

mahdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang

bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.

3. Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melakukan tugas ini.

4. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain. Dasarnya adalah penjelasan Rasullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki lain (HR. Abu Daud). Adanya persyaratan tersebut disebabkan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami pertama. Oleh karena itu, seperti disimpulkan ahli-ahli fiqh, hak hadhanahnya tidak menjadi gugur jika ia menikah dengan kerabat dekat sianak, yang memperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.

Demikian pula hak hadhanah, hak hadhanah tidak gugur jika ia menikah dengan lelaki lain yang rela menerima kenyataan. Hal itu terjadi pada diri


(32)

Ummu Salamah, ketika ia menikah dengan Rasullah, anaknya dengan suami pertama selanjutnya tetap dalam asuhanya (HR. Ahmad). Berdasarkan kenyataan ini Ibnu Hazmin berpendapat tidak gugur hak hadhanah seorang ibu dengan menikahnya dia dengan lelaki lain, kecuali jika suami kedua itu jelas menolaknya.

5. Seorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam. Orang kafir tidak boleh menjadi pengasuh anak yang beragama Islam. Sebab pemeliharaan anak merupakan perwalian, sedangkan Allah tidak membolehkan orang

mu‟min berada dalam penguasaan orang kafir. Firman Allah dalam surat An -Nisa ayat 144, menyatakan:

                        

Artinya: Hai orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu).

Golongan Hanafiah, Ibnu Qasim, Maliki serta Abi Saur berpendapat bahwa hadhanah tetap dapat dilakukan oleh pengasuh yang kafir, sekalipun si anak kecil.26 Persamaan agama tidaklah menjadi syarat bagi hadhinah kecuali jika dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama Islam. Sebab, hal yang paling penting dalam hadhanah ialah hadhinah mempunyai rasa cinta dan kasih sayang kepada anak serta bersedia memlihara anak dengan sebaik-baiknya.27

26

Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung Pustaka Setia, 1999), hal. 177-179. 27

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 222.


(33)

Para ahli Fikih berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya anak diasuh

oleh non muslim, Ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hambali mensyaratkan

bahwa pengasuh seorang muslimah atau muslim, karena orang non-Islam tidak punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, disampingkan itu juga dikhawatirkan pengasuh akan menyeret anak masuk kedalam agamanya. Jika orang Islam tidak ada maka (menurut Hambali) diperbolehkan kepada kafir

zimmi karena kafir zimmi lebih dapat dipercaya dibandingkan kafir harbi. Namun,

ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki tidak mensyaratkan pengasuh seorang muslimah, jika anak tersebut juga wanita.28

Kriteria Islam di sini juga termasuk sifat adil yang harus terdapat pada seorang pengasuh. Adil dalam arti mampu menjalankan agama secara benar, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini adalah fasik yaitu tidak konsisten dalam beragama.29

Maka dari itu dari kesamaan agama antara si anak dengan pengasuhnya menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena tugas dari hadhin adalah tidak hanya memberikan pelayanan lahiriyah kepada si anak, tetapi juga bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kebaikan akidah dan akhlaknya.

6. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan dengan tuanya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.

28

Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah, (Bairut: Dar al-Fikr), Jilid IV, hal. 596-598.

29

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 329.


(34)

Ibnu Qayyim berkata: tentang syarat merdeka ini, tidaklah ada dalilnya yang menyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga mazhablah yang menetapkanya. Dan Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka yang punya anak dari budak perempuanya: sesungguhnya ibunya lebih berhak selama ibunya tidak dijual, maka hadhanahnya berpindah, dan ayahnyalah yang lebih berhak atas anaknya.30

Imam mazhab yang empat berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat yang menjadi pengasuh, perbedaan tersebut adalah:31

Imam Hanafi berpendapat bahwa, syarat-syarat pengasuh adalah:

1. Tidak murtad, sedang Islam tidak menjadikan syarat-syarat bagi seorang pengasuh.

2. Tidak fasik, seperti pencuri atau pemabuk, orang seperti ini tidak layak diberi tugas mengasuh anak kecil.

3. Tidak kawin selain kepada bapaknya, kecuali kawin kepada orang yang sayang kepada anak.

4. Senantiasa memperhatikan anak asuhnya, (orang yang tidak suka meninggalkan anak).

5. Bapaknya tidak dalam keadaan susah yang akan memperlambat biaya pemeliharaan anak.

6. Merdeka.

Menurut pendapat Imam Syafi‟i syarat-syarat seorang pengasuh adalah:

30

Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 2, (Darul Fattah: Kairo, tth), hal. 355.

31

Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah, (Bairut: Dar al-Fikr), Jilid IV, hal. 596.


(35)

1. Berakal, tidak gila kecuali gilanya itu kadang-kadang, seperti satu hari dalam satu tahun.

2. Merdeka, tidak ada hak memelihara bagi hamba sahaya. 3. Islam, tidak ada hak memelihara bagi orang kafir.

4. „Iffah (dapat menjaga kesucian diri), tidak ada hak pemeliharaan bagi orang yang fasik, walaupun hanya meninggalkan shalat.

5. Amanah dan dapat dipercaya dalam segala urusan.

6. Ibunya tidak kawin kepada selain mahram anak yang menjadi asuhanya itu. Sedangkan pendapat Imam Hanbali adalah sebagai berikut:

1. Berakal, tidak ada hak hadhanah bagi orang gila. 2. Merdeka, bukan hamba sahaya.

3. Tidak lemah, seperti buta yang dapat menghalangi maksud hadhanah. 4. Tidak mempunyai penyakit menular, seperti lepra.

5. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan kerabat mahram, seperti paman.

Adapun Imam Malik syarat-syarat pengasuh itu meliputi: 1. Berakal.

2. Mampu menjaga anak yang menjadi asuhanya, sampai anak asuhanya dewasa.

3. Dapat dipercaya, tidak ada hadhanah bagi orang fasik, seperti pemabuk pencuri dan pezina.

4. Tidak terkena penyakit menular, yang dapat menular kepada anak asuhanya seperti kusta.


(36)

5. Hemat, tidak ada hak hadhanah bagi orang boros.

6. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan mahramnya, seperti paman. Selain syarat-syarat di atas, untuk perempuan masih ada syarat khusus sebagai berikut:

1. Perempuan yang sudah cerai, namun masih punya anak kecil boleh memelihara anaknya dengan syarat ia belum menikah lagi dengan leleaki lain, atau lelaki yang terhitung kerabat, namun bukan mahram. Pendapat ini telah disepakati para ulama karena ada hadits yang berbunyi, “Engkau lebih berhak

atas hadhanah anak itu selama engkau belum menikah lagi”. Syarat ini

ditetapkan karena terkadang seorang ayah memperlakukan anak tirinya dengan kasar, sedangkan ibu kandung anak tersebut sibuk dengan tugasnya sebagai isteri. Jika perempuan tadi menikah lagi dengan kerabat dekat yang terhitung mahramnya si anak, seperti pamanya si anak, anak pamanya, dan anak saudaranya maka hak hadhanah perempuan tadi tidak gugur karena orang yang menikahinya masih tergolong keluarga yang berhak mengurus hadhanah anak tersebut sehingga keduanya bisa saling bantu untuk menanggung hidup anak itu.

2. Perempuan yang jadi hadhinah itu syaratnya harus memiliki hubungan mahram dengan anak yang dipeliharanya, seperti ibu si anak, saudara perempuan si anak, dan nenek si anak. Hak hadhanah tidak diberikan kepada anak perempuanya paman atau bibi. Tidak juga pada anak perempuanya paman dari jalur ibu, atau anak perempuanya bibi dari jalur ibu. Alasanya


(37)

karena tidak ada hubungan mahram kepada si anak, namun mereka menurut Hanafiyah tetap berhak mengurus hadhanah anak perempuan.

3. Perempuan yang jadi hadhinah tidak pernah berhenti meskipun tidak diberi upah hadhanah karena memang ekonomi ayah si anak sedang kesulitan sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah. Jika ekonomi ayah si anak sedang sulit sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah anaknya, lantas perempuan yang jadi hadhinah itu berhenti dari tugasnya dan digantikan kerabat dekat lainya maka haknya sebagai hadhinah gugur. Syarat ini ditetapkan oleh Ulama Hanafiyah.

4. Hadhinah tidak tinggal bersama orang yang dibenci oleh anak asuhnya, meskipun orang itu kerabat dekat si anak sendiri karena hal ini akan menimbulkan dampak negatif pada diri anak asuh. Jadi, seorang nenek tidak berhak mengasuh hadhanah anak jika ia tinggal bersama puterinya jika ia sudah menikah, kecuali jika sudah ia pisah rumah. Syarat ini di tetapkan oleh Ulama Malikiyyah. Mereka juga menysyaratkan agar wali si anak atau hadhinah tidak pergi meninggalkan si anak sejauh lebih dari enam pos32. Jika salah seorang dari keduanya hendak pergi jauh maka anak asihnya harus diambil darinya, kecuali ia membawa si anak itu. Ulama Syafiiyah dan Hanabillah mensyaratkan, jika anak yang dipelihara itu sedang dalam masa menyusui maka hadhinah harus menyusuinya, dan jika ASI-nya tidak keluar, atau ia menolak untuk menyusui maka haknya mengasuh gugur.

32


(38)

Kemudian syarat-syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdun) adalah sebagai berikut:33

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapapun.

Tetapi di dalam Peraturan Perundang-Undang Perkawinan di Indonesia baik itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun Impres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tidak ada satupun pasal yang membehas masalah mengenai syarat-syarat atau persyaratan bagi seseorang yang berhak mendapatkan hak asuh anak. Di dalam Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur bahwa apabila si pemegang hak asuh anak tidak mampu menjaga keselamatan jasmani dan rohani si anak, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanahnya kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanahnya pula.

D. Pihak-Pihak yang Berhak dalam Hadhanah

Seseorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupanya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Oleh karena itu, orang yang menanganinya perlu mempunyai rasa kasih sayang,

33

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta, Prenada Media, 2006), hal. 329


(39)

kesabaran dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (shaleh) di kemudian hari. Di samping itu juga, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu.34

Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memeiliki hak hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah milik wanita (ibu atau yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh.35 Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka sesuai ijma ibu kandung si anak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan isterinya), baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.

Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat

ini disebabkan adanya dalil qath‟i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja keempat imam madhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).

Maka dari itu para Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak mengasuh anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut.

34

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Hal. 217-218.

35

Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 116.


(40)

Menurut mereka, naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki.

Urut-urutan prioritas orang yang berhak mengasuh anak, menurut ulama fikih adalah sebagai berikut:

a. Kalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang paling berhak mengasuh anak adalah:

1. Ibu kandungnya sendiri 2. Nenek dari pihak ibu 3. Nenek dari pihak ayah

4. Saudara perempuan (kakak perempuan) 5. Bibi dari pihak ibu

6. Anak perempuan saudara perempuan 7. Anak perempuan saudara laki-laki 8. Bibi dari pihak ayah.

b. Kalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari yaitu:

1. Ibu kandung

2. Nenek dari pihak ibu 3. Bibi dari pihak ibu 4. Nenek dari pihak ayah 5. Saudara perempuan 6. Bibi dari pihak ayah


(41)

7. Anak perempuan dari saudara laki-laki 8. Penerima wasiat

9. Dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama.

c. Kalangan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa urutan hak asuh anak dimulai pada:36

1. Ibu kandung

2. Nenek dari pihak ibu 3. Nenek dari pihak ayah 4. Saudara perempuan 5. Bibi dari pihak ibu

6. Anak perempuan dari saudara laki-laki 7. Anak perempuan dari saudara perempuan 8. Bibi dari pihak ayah

9. Dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si anak yang mendapat bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan.

Pendapat Mazhab Syafi‟i sama dengan pendapat mazhab Hanafi.

d. Kalangan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari: 1. Ibu kandung

2. Nenek dari pihak ibu 3. Kakek dan ibu kakek 4. Bibi dari kedua orang tua 5. Saudara perempuan seibu

36

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah: Masykur A.B. dkk. Al-Fiqh Ala Al-Madhahib Al-Khamsah, (Jakarta: Lentra, 2006), hal. 415-416.


(42)

6. Saudara perempuan seayah 7. Bibi dari ibu kedua orangtua 8. Bibinya ibu

9. Bibinya ayah

10.Bibinya ibu dari jalur ibu 11.Bibinya ayah dari jalur ibu 12.Bibinya ayah dari pihak ayah

13.Anak perempuan dari saudara laki-laki

14.Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah

15.Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.

Apabila saudara perempuanya pun dianggap tidak layak maka hak hadhanahnya pindah ke pihak laki-laki dengan urutan prioritas sebagai berikut:

a. Ayah

b. Kakek yang terdekat c. Saudara seayah dan seibu

d. Saudara lelaki ataupun kerabat lainya dari pihak ayah dimulai dari jarak yang paling dekat.

Jika para wali berdasarkan hukum ini tidak ada juga, maka hakim atau pengadilan menunjuk orang yang akan melakukan hadhanah sekaligus menjadi walinya.

Dengan demikian jelas bahwa anak yang belum dewasa tidak dapat mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum karena itu segala


(43)

perbuatan yang menyangkut kepentingan anak tetap menjadi tanggung jawab orang tua.

E. Masa Hadhanah

Dalam literatur Fikih dua periode bagi anak dalam kaitanya dengan hadhanah, yaitu masa sebelum mumayyiz, dan masa sesudah mumayyiz. Periode sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai usia menjelang tujuh tahun atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada umumnya seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.

Periode yang kedua yaitu periode mumayyiz, yaitu masa dimana usia anak tujuh tahun sampai menjelang balik berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan masa yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya.

Beberapa ulama mazhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak, karena didalam alquran tidak terdapat ayat-ayat dan hadis yang menerangkan tentang masa hadhanah dan juga kapan berakhirnya masa hadhanah seorang anak akibat perceraian, perbedaan tersebut diantara seperti:37

Imam Syafi‟i berpendapat, tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibunya atau ayahnya. Jika si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia disuruh memilih apakah bersama ibu atau ayahnya.

37


(44)

Imam Hanafi berpendapat, bahwa masa asuhan tujuh tahun untuk laki-laki, dan sembilan tahun untuk perempuan. Mereka menganggap bagi perempuan lebih lama, sebab agar dia dapat menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaan dari perempuan (ibu) yang mengasuhnya.38

Imam Maliki berpendapat, bahwa masa asuhan, anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga ia menikah.

Imam Hambali berpendapat, bahwa masa asuhan anak laki-laki dua tahun, sedang anak perempuan tujuh tahun, sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya, lalu si anak tinggal bersama orang yang dipilihnya itu.39

Berdasarkan pendapat-pendapat para ulama di atas, tampak bahwa tidak ada ketentuan-ketentuan yang jelas mengenai masa pengasuhan anak (hadhanah). Pada umumnya para fukaha sepakat usia pengasuhan anak, dibatasi sampai anak tersebut sudah mencapai usia mumayyiz.

38

Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung Pustaka Setia, 1999), hal. 185. 39


(45)

BAB III

HADHANAH DALAM PERSPEKTIF PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA

A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah hadhanah ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada kehakiman di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih merujuk pada hukum hadhanah dalam kitab-kitab fikih.

Baru setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1980 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebar Luasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikanya.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat beberapa pasal yang menjelaskan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak seperti pada Pasal 45 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:

1) Kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.


(46)

2) Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlaku terus meskipun pernikahan antara kedua orang tua putus.40

Mengenai batas kewajiban pemeliharaan dan pendidikan ini berlaku sampai anak tersebut berumah tangga atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlangsung terus-menerus meskipun pernikahan orang tuanya bercerai.

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur mengenai kekuasaan orang tua terhadap kekuasaan anak di bawah umur, di mana disebutkan bahwa:

Pasal 46:

2) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.

3) Jika anak yang telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuanya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuanya.

Pasal 47:

1) Anak yang belum mencapai umur 18 (depan belas) tahun atau yang belum pernah melangsungkan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.

2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.41

40

Lihat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45. 41


(47)

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49

1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya b. Ia berkelakuan buruk sekali.

c. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Ketentuan tersebut pun tetap berlaku meskipun pernikahan orang tuanya putus. Jadi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, kekuasan orang tua itu dapat dicabut jika orang tuanya sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan salah satu orang tuanya berkelakuan buruk sekali. Tetapi meskipun kekuasaannya dicabut mereka masih berkewajiban memberi pemeliharaan dan mengasuh anaknya tersebut


(48)

B. Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) masalah pemeliharaan anak atau yang dalam Islam disebut Hadhanah diatur dalam beberapa pasal di dalamnya, seperti yang terdapat dalam pasal:

Pasal 105:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, mengenai hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikanya. Hadhanah sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara panjang lebar oleh KHI dan materinya hampir keseluruhan mengambil dari Fikih menurut jumhur Ulama,

khususnya Syafi‟iyah. Kompilasi Hukum Islam kaitannya dengan masalah ini dibagi menjadi dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan yaitu:

Periode Sebelum Mumayyiz

Apabila terjadi perceraian di mana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu dan pada masa tersebut seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, maka anak tersebut dikatakan belum mumayyiz. KHI menyebutkan pada bab 14 masalah pemeliharaan anak Pasal 98 menjelaskan bahwa “Batas usia anak


(49)

dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan”. Pada Pasal 105 huruf (a) bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian KHI lebih memperjelas lagi dalam Pasal 156, dirumuskan sebagai berikut:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya digantikan oleh:

1. Wanita-wanita garis lurus keatas dari ibu 2. Ayah

3. Wanita-wanita garis lurus keatas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ibu 6. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah

7. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau dari ibunya

8. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah juga;


(50)

9. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurusi diri sendiri sampai 21 tahun;

10.Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama yang memberikan putusan yaitu berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d);

11.Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya.42

Periode Mumayyiz

Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pihaknya sendiri apakah ikut ibunya atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Hal ini telah

diatur dalam KHI Pasal 105 ayat (b) bahwa: “Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya

sebagai pemegang hak pemeliharaanya”, dan juga terdapat dalam Pasal 156 ayat

(b) yang menyebutkan bahwa anak diberi pilihan untuk ikut dalam asuhan ibu atau ayahnya.

Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan (Pasal 98

42


(51)

KHI). Jika anak tersebut memilih ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu. Jika anak itu memilih ikut ayahnya maka hak pengasuh pindah pada ayah.

Sebagaimana Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah:

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan pernikahan.

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

3) Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.43

C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Kewajiban dan tanggung jawab orang tua diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 26 yang berbunyi:

Pasal 26:

1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak

b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya c. Dan mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak.

2) Dalam hal orang tua tidak ada atau karena suatu kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam

43


(52)

ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.44

Di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ditegaskan: “Bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindungnya dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik mental, spiritual,

maupun sosial”.45

Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memeiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Dalam melakukan pembinaan pengembangan dan perlindungan anak perlu peran masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Setiap anak berhak untuk berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tuanya. Karena anak memerlukan kebebasan dalam rangka mengembangkan kreatifitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia anak. Dan pengembangan anak yang belum cukup umur masih harus dalam bimbingan orang tuanya.

44

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 45


(53)

Melihat peranan hukum Islam dan pembangunan hukum nasional, ada beberpa fenomena yang bisa dijumpai dalam praktik. Pertama, hukum Islam berperan dalam mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif. Dalam hal ini hukum Islam diberlakukan oleh negara sebagai hukum positif bagi umat Islam. Kedua, hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi terhadap aturan hukum yang dibuat. Oleh karena itu, aturan hukum tersebut bersifat umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku pula bagi seluruh warga negara dan wajib ditaati oleh masyarakat.

Dengan demikian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dapat dikatakan pengejewantahan dan Fikih Hadhanah yang memililiki cakupan yang lebih luas bukan dalam keluarga saja, tetapi masyarakat dan pemerintah mempunyai peran yang besar dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan implementasi dari pengembangan Fikih Hadhanah. Dalam hal ini dapat diketahui juga transformasi Fikih Hadhanah dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Maka selayaknya sebagai masyarakat wajib menaatinya karena tujuanya tidak lain untuk mencapai kemaslahatan bersama.


(54)

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK

A. Duduk Perkara Putusan Pengadilan Agama

Duduk perkara ini sesuai yang didaftarkan pada kepaniteraan yang tertera pada Nomor 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. adalah pada saat Teuku Elwin Hamzah bin H. Teuku Allie sebagai penggugat mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Bekasi dengan Imas Hilatunnisyah binti H. Hasanudin Sidi sebagai tergugat. Menikah pada tanggal 05 Februari 1993 di hadapan Kantor Urusan Agama Kecamatan Tangerang Nomor 961/12/11/1993, tertanggal 05 Februari 1993.

Pada awalnya perkawinan antara penggugat dan tergugat berjalan dengan baik, hidup rukun dan bahagia akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu terjadi percekcokan dan perbedaan prinsip yang mendalam sehingga sering terjadi pertengkaran, perselisihan mana semakin hari semakin besar dan sudah tidak dapat didamaikan lagi yang akhirnya penggugat mengajukan permohonan cerai talak di Pengadilan Agama Bekasi.

Dari perkawinan antara penggugat dengan tergugat telah dikaruniai tiga orang anak; Cut Shahnaz Jihan yang lahir pada tanggal 04 Nopember 1993, Teuku Zulfikar Ali Fahrezi yang lahir pada tanggal 24 Agustus 1998, dan Cut Adila Hana Faiza yang lahir pada tanggal 17 Mei 2003.

B. Pertimbangan Hukum Hakim

Acuan utama dalam membuat pertimbangan hukum adalah apa yang terjadi dalam proses persidangan serta ketentuan hukum yang berlaku di


(55)

lingkungan peradilan. Putusan-putusan hakim pada dasarnya tidak boleh melewati apa yang dimohon atau digugat.

Salah satu celah yang dapat memanfaatkan untuk memaksimalkan tuntutan, misalnya melalui permintaan menetapkan putusan berdasarkan pada prinsip ex aequo et bono, yang memberikan kelonggaran bagi hakim untuk menggali hukum seluas-luasnya demi menegakkan keadilan.

Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu keadilan dan untuk itu hakim melakukan penilaian terhadap peristiwa dan fakta-fakta yang ada apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya bisa dilihat dari pembuktian, mengklasifikasikan antara yang penting dan tidak penting (mengkualifikasi), dan menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta yang ada.

Adapun pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. adalah bahwa: Majelis Hakim telah berupaya mendamaikan pemohon agar bersabar dahulu akan tetapi tidak berhasil.

Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal lainya yaitu, bahwa gugatan penggugat dapat dibuktikan dengan mengajukan alat bukti berupa fotocopy salinan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama dengan Nomor: 961/12/11/1993. Dan fotocopy akta kelahiran ketiga anaknya. Selain bukti surat, penggugat juga menghadirkan dua orang saksi yang menerangkan mengenai dalil gugatan pemohon yang pada intinya menguatkan dalil-dalil permohonan Pemohon dan telah berusaha merukunkan akan tetapi tidak berhasil kini rumah tangga Pemohon pisah tempat tinggal sejak bulan agustus 2006.


(56)

Berdasarkan hasil penelitian dai gugatan penggugat, Putusan Nomor:345/Pdt.G/2007/PA.Bks. maka pertimbangan hukum majelis hakim yang mencakup hal-hal pokok tersebut, yang salah satunya:

1. Menimbang, bahwa berdasarkan pernyataan pemohon yang dikuatkan dengan adanya bukti P.1 kepada Pengadilan Agama Bekasi yaitu bahwa pemohon dan termohon terikat dalam perkawinan yang sah. 2. Menimbang, bahwa yang menjadi permasalahan pemohon

mengajukan permohonanya adalah karena rumah tangga pemohon dan termohon tidak harmonis, sering berselisih dan tidak menghargai satu sama lain. Antara pemohon dan termohon sudah bermusyawarah akan tetapi tidak berhasil untuk itu pemohon mengajukan dan mengikrarkan talak terhadap pemohon.

3. Menimbang, bahwa saksi-saksi keluarga dari pemohon di dalam persidangan telah menerangkan yang pada intinya menguatkan dalil-dalil permohonan pemohon. Hal ini diperkuat oleh saksi dari pihak pemohon bahwa rumah tangga pemohon telah pisah tempat tinggal sejak bulan agustus 2006.

4. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal namun yang terjadi dalam rumah tangga pemohon adalah sebaliknya yaitu suatu rumah tangga yang dibarengi dengan perselisihan dan pertengkaran dan pihak pemohon telah menghadirkan


(57)

saksi keluarga yang keterangannya menguatkan dalil-dalil pemohon sementara termohon meskipun telah dikaruniai tiga orang anak, dipanggil dengan patut tidak hadir dipersidangan, untuk itu Majelis Hakim berkesimpulan bahwa termohon mengetahui adanya persidangan dan demikian alasan pemohon patut untuk dinyatakan terbukti.

5. Menimbang, bahwa selama perkawinan antara pemohon dan termohon telah dikaruniai tiga orang anak yaitu: Cut Shahnaz Jihan, Zulfikar Ali Fahrezi, dan Cut Adila Hana Faiza. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 huruf (a) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa akibat putusnya perkawinan baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak maka berdasarkan tuntutan pemohon tersebut. Majelis Hakim mengabulkan permohonan dengan menetapkan bahwa anak pemohon dan termohon ditetapkan pengasuhan dan pemeliharaanya kepada pemohon yaitu bapaknya.

C. Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Bekasi

Dalam hal ini penulis melihat pertimbangan hukum yang diberikan Majlis Hakim dapat dilihat untuk kepentingan anak atau kemaslahatan anak, dalam perkara tersebut yang telah diputuskan hak pemeliharaan dan pengasuhan anak


(58)

Dalam kasus ini Majlis Hakim memberikan keputusan mengenai hak pemeliharaan dan pengasuhan anak yang dilimpahkan kepada penggugat dengan berdasarkan Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:46

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusanya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dari Pasal 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 anak berhak diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali ada hal yang menentukan yang lain. Kemudian berdasarkan Pasal 105 huruf (a) KHI Impres No. 1 tahun 1991 yang berbunyi apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

Pemeliharaan anak pasca cerai atau hadhanah, pelaksanaanya tidak sebatas pada kegiataan formalitas yang begitu saja tanpa dibarengi dengan

46


(59)

mendidik yang bertujuan untuk menjadikan anak sehat baik fisik maupun psikisnya.

Salah satu hal penting yang mungkin kurang dipertimbangkan oleh kedua orang tua ketika terjadi perceraian adalah tanggungjawab kedua orang tua, baik ketika orang tuanya masih hidup atau hilang tidak diketahui keberadaanya atau juga karena terjadi perceraian. Pemeliharaan ini meliputi berbagai hal, di antaranya masalah ekonomi, pendidikan dan masalah-masalah lain yang menjadi kebutuhan pokok anak.

Menurut Syaikh Hasan Ayyub bahwa pemeliharaan dan pendidikan yang baik adalah menjaga memimpin dan mengatur segala hal yang anak-anak itu belum mampu dan sanggup mengaturnya sendiri, maka dalam pemeliharaan dan pengasuhan oleh kedua orang tuanya yakni bapak dan ibunya, sehingga anak akan dapat tumbuh sehat jasmani dan rohaninya. Akan tetapi seandainya kedua orang tua terpaksa bercerai, sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum

mumayyiz, maka ibulah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu

hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.

Hak pemeliharaan di dalam Pasal 41 undang-undang Nomor 41 Undang-undang No.1 Tahun 1974, sekalipun kedua orang tua anak tersebut sudah tidak bersama lagi dalam hal ini adalah bercerai, baik ibu ataupun ayah dari anak tersebut tetap berkewajiban mendidik dan memelihara anak tersebut, semata-mata demi kepentingan sianak. Jika terjadi sengketa mengenai hak pemeliharaan anak sudah jelas hakim Pengadilan Agama yang akan memberi putusannya, sesuai dengan bukti-bukti dan keterangan dari saksi-saksi yang diajukan ke Pengadilan


(60)

Agama dalam persidangan. Karena dalam masalah hak asuh anak adalah persoalan yang menyangkut masa depan lahir dan batin, perkembangan moral dan akhlak, pendidikan agama seorang anak.

Dengan demikian penamaan aqidah, budi pekerti dan akhlak sejak dini menjadi penting untuk perkembangan jiwa si anak. Karena tentunya sebagai orang tua menginginkan anak hasil perkawinan mereka dapat terpelihara agama, jiwa, harta, serta keturunan, dan kehormatanya. Hal ini tentunya sesuai dengan tujuan dari hukum Islam. Karena pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pengakuan ibu dan bapaknya, dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akhlaknya, membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupanya di masa yang akan datang.

Pertimbangan lain diberikanya hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada bapaknya dikarenakan bahwa tergugat 1 (satu) karena ketidak jelas tempat tinggalnya dan tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk memperhatikan dan mendidik anak.

Bahwa dengan fakta menunjukkan tergugat I tidak banyak waktu dan perhatian, bahkan tergugat I sampai sekarang belum tahu keberadaanya. Sehingga penggugat selaku bapak kandung sangat mengharapkan anak tersebut diasuh kepada ayah kandungnya sendiri. Padahal di dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam Pasal 105 yang berbunyi:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;


(1)

i

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonsesia, Jakarta: Akademindo Pressendo.

Abdurrahman, 2007, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, h. 151.

Abdurrahman, al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Bairut: Dar al-Fikr, hal. 596-598.

Abidin, Slamet, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, Jilid II. Al-Hamdani, H.S, 1989, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani.

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Penerjemah Anshori Umar Sitanggal, dkk.

Basyir, Ahmad Azhar, 2000 Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan. Ghazali, Abdul Rahman, 2006, Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana, hlm. 177.

Fauzan, dan Alam Andi Syamsu, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam, Jakarta: Rajawali Pers, h. 217.

Husein, Muhammad, 2001 Perempuan, Yogyakarta: LKIS.

Ibrahim, Jhony, 2006, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Jawa Timur: Baymedia Publising, Cet. II, h. 321.

Manan, Abdul, 2006, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


(2)

ii

Moleong, Lexy, J, 2005. Metedologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosdakarya..

Mughniyyah, Muhammad Jawad, 1964, Akhwal Syahsiyyah ala al-Madhahib al-Khamsah.Baitul: Dar al-Ilmi.

Mughniyyah, Muhammad Jawad, 2006. Fikih Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B. dkk, Jakarta: Lentra, hlm. 415-416.

Nasir, Muhammad, 2003 Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan. Sabiq, Sayyid, 2006, Fiqh Sunnah (Terjemah), Jakarta: Pena Pundi Aksara, Jilid III, Cet. Ke-I.

Sahroni, dan Tihami, 2009, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, h. 217.

Soekanto, Soerjono, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 13.

Syarifudin, Amir, 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikih dan Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, hal. 329.

R. Tirosundibio, R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pramita, hal. 549.

Rofiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Perkasa, Cet. I.

Thalib Al-Hamdani, Abdullah bin Said, 2002, diterjemahkan Oleh Agus Salim, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, h. 318.

Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika.


(3)

iii

Zaini, Muderis, 1992, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: SinarGrafika.

Zainudin, Ali 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafindo, h. 67.

Zein, M. Satria Efendi, 2004, Problematika Hukum Islam Kontempoler, Jakarta: Kencana.


(4)

HASIL WAWANCARA

Nama Responden : Drs. Mansyur

Jabatan : Hakim Anggota

Di tempat : Kantor Peradilan Agama Bekasi

1. Bagaimana proses pengambilan Keputusan di Pengadilan Agama Bekasi dan masalah pemeliharaan anak atau hadhanah ketika terjadi perceraian?

Jawab : proses pemeliharaan dalam masalah pemeliharaan anak masalah ini prosesnya sama seperti perkara biasa yang mana didahulukan dengan surat gugatan, kemudian upaya mediasi atau perdamaian dari hakim, pembuktian dan terakhir kesimpulan dalam masalah ini.

2. Apa yang menjadi pertimbangan Majlis Hakim dalam Putusan No. 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. sehingga hak asuh anak yang belum mumayyiz limpahkan kepada bapak?

Jawab : yang menjadi pertimbangan Majlis Hakim disini adalah untuk kepentingan anak atau kemaslahatan anak tersebut, karena Majlis Hakim melihat tidak adanya kecakapan ibu dalam mengurus anak, dan tidak adanya kemauan dalam mendidik dan mengasuh anak.

3. Apa landasan hukum yang digunakan hakim dalam melimpahkan hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada bapak dalam perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.? Jawab: dalam hal ini hakim menggunakan Pasal 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 anak berhak diasuh orang tuanya sendiri, kecuali ada hal-hal yang menentukan lain, maksudnya orang tua atau si ibu sudah tidak mampu dan sudah tidak memperdulikan anaknya seperti kasus dalam putusan ini, dan juga berdasarkan Pasal


(5)

41 Undang-undang No. 1 Tahun 1975, dan juga berdasarkan Pasal 105 huruf (a) KHI impres No. 1 Tahun 1974.

4. Bagaimana kebijakan majlis hakim dalam memutuskan perkara hadhanah?

Jawab : kebijakan hakim dalam memutuskan perkara hadhanah sesuai dengan Undang-undang yang berlaku dan sesuai dalam kasus atau perkara ini. Pada perkara hadhanah No. 345 mengambil Undang-undang perlindungan anak karena untuk kepentingan kemaslahatan anak tersebut, selanjutnya mengambil kitab fiqih, salah satunya ialah kitab fiqih sunnah karangan Sayyid Sabiq dan juga kitab fiqih yang lain yang didalamnya membahas mengenai syarat-syarat hadhanah salah satunya adalah amanah, mampu mendidik, beragama Islam, dan juga sesuai dengan keterangan-keterangan saksi.

5. Menurut ibu sebagai Majlis Hakim, dalam hal faktor-faktor apa saja kasus hadhanah yang ghoiru mumayyiz bisa dilimpahkan dan ditetapkan hak pemeliharaan dan pengasuhanya kepada bapak?

Jawab : faktor-faktor yang mana hak asuh anak bisa dilimpahkan dan ditetapkan hak pemeliharaanya kepada bapak disebabkan karena ibu tidak bisa mengurus dengan baik, tidak amanah, tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk memperhatikan anak, dan tidak diketahui keberadaanya.

6. Didalam masalah hadhanah, yang paling dipentingkan adalah kemaslahatan bagi si anak, bagaimana mewujudkan hal tersebut ketika orang tua bercerai, khususnya dalam putusan No. 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.?

Jawab : dalam mewujudkanya si anak dapat dilihat dari kesenangan bathin, kesenangan bathin dalam hal ini dasarnya adalah nafkah lahirnya dari bapak, apabila tidak ada kesenangan bathin nafkah tidak akan dapat mewujudkan kepentingan-kepentingan dalam mengurusi anak tersebut.


(6)

7. Apakakah hadhanah dalam hal ini menguntungkan atau merugikan bagi anak?

Jawab : Jelas hadhanah dalam hal ini menguntungkan si anak, khususnya dalam perkembangan jiwa si anak, pendidikan anak, akhlak anak, apabila diasuh oleh orang yang bertanggung jawab dan selalu memberikan kasih sayang, perhatian, pendidikan yang baik, maka anak tersebut tidak akan merasa kehilangan kasih sayang dan pendidik dari orang tua yang mengasuhnya, kemudian hadhanah dapat juga merugikan bagi anak, apabila orang yang mengasuhnya tidak memberikan kasih sayang bagi si anak, artinya dalam hal ini tidak terlalu peduli dan serius dalam mendidik anak karena tidak ada kemauan dalam mengasuh anaknya dan memikirkan kesibukan dirinya sendiri daripada mengurus anak.

Responden