BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR BERDASARKAN KONTRAK - Perlindungan Terhadap Investor dari Penerapan Ketentuan Pidana pada Perbuatan Wanprestasi Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract (Studi Kasus Pada PT Chevron Pacific Indonesia)

     

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR BERDASARKAN KONTRAK PRODUCTION SHARING A. Kontrak Production Sharing Kontrak Production Sharing merupakan model yang dikembangkan dari konsep

  perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat Indonesia. Konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat tersebut telah dikodifikaskan dalam Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian bagi hasil. Menurut undang-undang tersebut pengertian perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemiliki pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam hal ini disebut “penggarap” berdasarkan perjanjian mana diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak

  30 .

  Secara umum kontrak Production Sharing digambarkan oleh Howard R. William dan Charles J.Meyers sebagai berikut:

  “A contract for development of mineral resources under which the contracto r’s costs are

  recoverable each year out of the production but there is a maximum amount of production which can be applied to this cost recovery in any year. In many such contractors, the maximum is 40%. This share of oil produced is referred to as “cost oil”. The balance of the oil (initially 60%) is regarded as “profit oil” and is divided in the net profit royalty ratio-for instance, 55% to the government. After the contactor has recovered its investment, the amount of the “cost oil” ill drop to cover operating expenses only and profit oil increases by a corresponding amount

  31 .

1. Latar Belakang Timbulnya Kontrak Production Sharing a.

  Indische Mijn Wet (IMW)

                                                               30 Rudi M.Simamora, Hukum Minyak Dan Gas Bumi.( Jakarta: Djambatan, 2000), hlm 59. 31 Ibid hlm 60.

     

  Kontrak dibidang minyak dan gas bumi telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan saat ini. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang minyak dan gas bumi pada zaman Belanda adalah Indische Mijn Wet (IMW). Undang-undang ini diundangkan

  32

  pada tahun 1989 . Sejak diundangkannya Indische Mijn Wet (IMW), Pemerintah Hindia Belanda menyatakan penguasaan mereka atas mineral dan logam di Indonesia. Perbaikan kebijakan di bidang pertambangan dilakukan antara lain pada tahun 1910 dan 1918. Pada tahun 1906 telah ditetapkannya Mijnordonnantie (Ordonansi Pertambangan). Pada tahun 1910 Pemerintah Hindia

  33 Belanda menambahkan Pasal 5A pada Indische Mijn Wet (IMW) yang berbunyi sebagai berikut

  : 1.

  Pemerintah berwenang untuk melakukan sendiri penyelidikan dan eksploitasi selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik atau pemegang konsesi.

  2. Untuk hal tersebut, Pemerintah dapat melakukan sendiri penyelidikan dan eksploitasi atau mengadakan perjanjian dengan perorangan atau perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 undang-undang ini dan sesuai perjanjian itu mereka wajib melakukan eksploitasi, ataupun penyelidikan dan ekspolitasi yang dimaksud.

3. Perjanjian yang dimaksud itu tidak akan dilaksanakan, kecuali telah disahkan dengan undang- undang.

  34 Inti ketentuan Pasal 5A ini adalah : 1.

  Pemerintah Hindia Belanda mempunyai kewenangan untuk melakukan peneyelidikan dan eksploitasi.

                                                               32 33 Salim HS, Op.cit. hlm 17. 34 Abrar Saleng, Op.cit.hlm 65 Salim HS, Op.cit., hlm 263.

     

  2. penyelidikan dan eksploitasi itu dapat dilakukan sendiri dan mengadakan kontrak dengan perusahaan minyak dalam bentuk kontrak 5A atau lazim disebut dengan sistem konsesi.

  Ketentuan ini dialihkan oleh Pemerintah pada era pasca kemerdekaan dengan menerbitkan UU No.14 tahun 1960, tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b.

  Undang-Undang Nomor 44 prp tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Ketentuan utama Undang-undang ini ialah: “Segala bahan galian migas yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Pertambangan migas hanya diusahakan oleh negara dan pengusahaannya hanya dilaksanakan oleh Perusahaan Negara. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor Perusahaan Negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan. kuasa pertambangan tidak meliputi hak tanah atas permukaan bumi. demikian pula pekerjaan kuasa

  35

  pertambangan tidak boleh dilakukan di wilayah yang ditutup untuk kepentingan umum ” UU Nomor 44 Tahun 1960 ini merupakan penjabaran prinsip dasar UUD 1945, yang tercermin dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yaitu: ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” serta dalam ayat 3: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Undang-undang ini menjadi penegasan penghapusan sistem konsesi lama serta penegasan prinsip kedaulatan nasional atas sumber daya minyak dan gas. Menyadari bahwa pengembangan sumber daya minyak dan gas memerlukan investasi modal yang besar, pengalaman menggunakan teknologi canggih serta ketrampilan, maka undang-undang ini memungkinkan partisipasi perusahaan minyak asing.

                                                               35 Benny Lubiantara, Op.cit., hlm 40.

     

  Namun demikian, perusahaan minyak asing tidak sebagai pemegang konsesi, melainkan hanya sebagai kontraktor bagi pemegang hak penambangan (mining right), yaitu: negara atau

36 Perusahaan Negara . Perjanjian final ditandatangani pada kontrak yang pada akhirnya rincian

  dari perjanjian dimasukkan dalam kontrak yang kemudian dikenal sebagai :”Perjanjian Karya atau Kontrak Karya”.

  37 Butir-butir kontrak karya antara lain memuat : 1.

  Caltex, Stanvac dan Shell melepaskan hak konsesi “kontrak 5A” dan beroperasi selaku kontraktor terhadap Perusahaan Negara.

  2. resiko usaha serta manajemen kegiatan di tangan kontraktor.

  3. dana dan tenaga ahli untuk melaksanakan operasi disediakan oleh Kontraktor.

  4. jangka waktu berlakunya perjanjian karya adalah 20 tahun 5. fasilitas pemasaran dan distribusi akan diserahkan dalam waktu 10-15 tahun.

  6. pembagian adalah berdasarkan pembagian keuntungan antara Pemerintah dan Kontraktor sebesar 60%/40%. pemerintah akan menerima paling sedikit 20% dari minyak yang dihasilkan pertahun.

  7. kontraktor menyerahkan 25% dari bagiannya kepada Pemerintah sebagai Domestic Market Obligation (DMO) dan memperoleh 0,2$/barel sebagai fee.

  Perjalanan Perjanjian Karya ini didapati bahwa perusahaan asing tidak lagi menikmati status sebagai pemegang konsesi, namun pada praktiknya tidak ada perubahan yang signifikan, perusahaan minyak asing seperti biasa melakukan operasionalnya sementara pemerintah terbatas

  38 dalam hal pengawasan .

  c.

  Penghapusan Perjanjian Karya

                                                               36 37 Ibid hlm 41. hlm 42 38 Ibid

  Ibid hlm 42

     

  Perjanjian Karya ini ternyata ditentang sehingga mendorong lahirnya Konsep kontrak Production Sharing.

  Kontrak Production Sharing ini pertama kali dimunculkan pada tahun 1960 di Venezuela oleh Ibnu Sutowo. Ibnu Sutowo adalah seseorang yang menentang sistem kontrak karya karena tidak yakin bahwa sistem ini akan membawa perubahan dibanding sistem Konsesi sebelumnya. Ketidakpuasan terhadap sistem kontrak karya mendorong lahirnya sistem bagi hasil dimana dua pihak yang terlibat (pemerintah sebagai tuan rumah dan perusahaan minyak asing) berbagi hasil produksi minyak dan gas yang dihasilkan, bukan berbagi hasil penjualan minyak dan gas bumi sebagaimana dilakukan pada sistem kontrak karya. Pemerintah selaku tuan rumah

  39 juga mempunyai kewenangan manajemen .

  Perusahaan minyak besar tidak siap menerima konsep bagi hasil yang dicetuskan Ibnu Sutowo ini, mereka juga tidak bersedia untuk melepaskan kewenangan manajemen sebagai

  40

  ketentuan dan persyaratan PSC . Dalam situasi seperti ini, masuklah perusahaan minyak kecil independen yang cenderumg lebih fleksibel terhadap ketentuan dan persyaratan pemerintah dibanding perusahaan minyak besar. Perusahaan minyak yang pertama masuk tersebut ialah

  Independence Indonesian American Oil Company

  (IIAPCO). IIAPCO sebelumnya pernah menjaj4rfgaki investasi migas untuk kontrak di lepas pantai Jawa pada tahun 1964 namun tidak berhasil. mereka kembali awal tahun 1966, setelah dua bulan negosiasi, IIAPCO menandatangani Kontrak Bagi Hasil dengan PERMINA, sekaligus tercatat sebagai kesepakatan PSC pertama

  41 dalam sejarah industri migas dunia .

                                                               39 40 Ibid Tim Penulis Manajemen Pembangunan, Dinamika Kepemimpinan dalam Pertamina, ( Jakarta: Lembaga Administrasi RI, 1996), hlm 43 41 Benny Lubiantara, Op.cit., hlm. 43

     

  Pada tahun 1966, Ibnu Sutowo telah menawarkan substansi (isi) kontrak Production Sharing

  42

  kepada para kontraktor asing. Isinya adalah sebagai berikut : 1.

  Kendali manajemen di pegang oleh Perusahaan Negara.

  2. Kontrak akan didasarkan oleh pembagian keuntungan 3.

  Kontraktor akan menanggung resiko praproduksi, dan bila minyak ditemukan, penggantian biaya dibatasi sampai maksimum 40% dari minyak yang dihasilkan.

  4. Sisa 60% dari produksi (lebih dari biaya perlunasan adalah dibawah maksimum 40%) akan dibagi dengan komposisi 65% untuk Perusahaan Negara dan 35% untuk kontraktor.

  5. Hak atas semua peralatan yang dibeli kontraktor akan dipindahkan kepada Perusahaan Negara begitu peralatan itu masuk ke Indonesia, dan biaya ditutup dengan formula 40%.

  Perdebatan mengenai legalitas juga muncul saat PSC diperkenalkan mengingat UU Nomor 44 tahun 1960 tidak mengenal PSC melainkan Perjanjian Karya. Tetapi karena belum adanya landasan hukum, banyak investor kemudian menanyakan keabsahan PSC. Sementara UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) mengatur investasi asing untuk sektor pertambangan, sedangkan untuk sektor migas tidak mengikuti peraturan dan prosedur UU PMA

  43

  tetapi mengacu kepada UU 44 tahun 1960 .

  d.

  Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 dan Undang Nomor 22 Tahun 2001 Konsep kontrak Production Sharing yang ditawarkan oleh Ibnu Sutowo kemudian dituangkan dalam UU Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina, sebagai dasar hukum PSC yang dimuat dalam Pasal 12 ayat 1, yang berbunyi: ”Perusahaan dalam hal ini Pertamina, dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Production Sharing”. Dan ayat 2 yang berbunyi: “ Syarat-syarat kerja sama sebagaimana terdapat dalam ayat 1 Pasal ini akan

                                                               42 43 Salim HS, Op.cit., hlm 266-267 Benny Lubiantara, Op.cit.

     

  diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)”. Ternyata dalam perjalanannya, perlu waktu yang panjang (23 tahun) untuk mengeluarkan PP yang dimaksud. PP No 35 tentang “Syarat-syarat dan

  44 pedoman kerja sama Kontrak Bagi Hasil minyak dan gas bumi” baru diterbitkan tahun 1994 .

  Konsep kontrak Production Sharing ternyata mendapat sambutan yang hangat dari para kontraktor asing sehingga 59 perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia berdasarkan prinsip kontrak Production Sharing. Prinsip kontrak Production Sharing kini telah dikuatkan telah

  45 dikuatkan oleh Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi .

  Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 menentukan bahwa para pihak yang terkait dalam kontrak Production Sharing adalah Badan Pelaksana dengan badan usaha usaha atau bentuk usaha tetap, bukan lagi Pertamina. Sementara itu, status Pertamina saat ini adalah sebagai

  46 Perusahaan Perseroan (PERSERO) .

  2. Konsep Teoritis Kontrak Bagi Hasil/ Production Sharing Contract Kontrak Bagi Hasil merupakan terjemahan dari istilah Production Sharing Contract

  (PSC). Dalam Russia’s law on Production Sharing Agreement tahun 1995 dan The Petroleum

  

Tax Code tahun 1997, istilah yang digunakan adalah Production Sharing Agreement (PSA),

  sedangkan di Suriname, istilah yang lazim digunakan adalah Production Sharing Service

47 Contract .

  (PSSC) Di Indonesia istilah Production Sharing ditemukan dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina Jo Undang-Undang Nomor 10 tahun 1974 tentang Perubahan Undang-Undang No 8 tahun 1971 Pertamina. Sementara itu dalam

                                                               44 Hoesein Wiriadinata, Praktik Perjanjian Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dalam Perspektif Hukum Indonesia,Jurnal hukum Bisnis, Vol.2 No.2,2007,h.16-21 45 46 Salim, Op.cit., hlm 267.

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk PERTAMINA menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) 47 Salim HS, Op.cit.

     

  Pasal 1 angka 19 Undang-Undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, istilah yang digunakan adalah dalam bentuk Kontrak Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama ini dapat dilakukan dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kerja sama lainnya. Dalam PSA ini dimungkinkan kontrak itu dibuat antara Negara dengan Investor. Negara berkedududkan sebagai pemilik sumber daya alam, sementara investor merupakan lembaga atau badan hukum yang menanamkan investasinya di dalam bidang minyak dan gas bumi. PSA ini bertujuan untuk melindungi

  48 investasi yang ditanamkan oleh Investor .

  Kontrak Production Sharing ditemukan dalam Pasal 1 angka 19 Undang-Undang No 22 tahun 2001. Dalam Pasal ini berbunyi bahwa Kontrak Kerja Sama ialah: “ Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.”

  Pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak Production Sharing, tetapi difokuskan pada konsep teoritis kerja sama di bidang minyak dan gas bumi. Kerja sama dalam bidang minyak dan gas bumi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kontrak Production Sharing dan kontrak-kontrak lainnya. pengertian kontrak Production Sharing dapat kita baca dalam Pasal 1 angka (1) PP Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak

  49 Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. Kontrak Production Sharing adalah :

  “Kerja sama antara Pertamina dan Kontrakto untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkanpembagian hasil produksi” Sebagai perjanjian bagi hasil, dalam kontrak Production Sharing para pihaknya adalah

  Pertamina dan Kontraktor. Tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 para

                                                               48 49 Ibid Ibid hlm 128.

     

  pihaknya adalah Badan Pelaksana dan Badan Pelaksana dengan badan usaha tetap atau bentuk usaha tetap. Dengan demikian, defenisi ini perlu dilengkapi dan disempurnakan menjadi : “Perjanjian atau kontrak yang dibuat antara badan usaha tetap atau bentuk usaha tetap untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan pembagian

  50 hasil produksi” .

  Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. Fungsi Badan Pelaksana ini adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik Negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi Negara

  51 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat .

  Badan usaha adalah Perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus didirikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta

  52 bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan RI .

  Badan usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara kesatuan RI yang melakukan kegiatan di wilayah Negara kesatuan RI dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di RI.

  a.

  Landasan Hukum Kontrak Production Sharing Dasar hukum kontrak Production Sharing ialah Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Nomor 44 prp. Tahun 1960 jo Pasal 10 ayat 1 UU PP 1967. Meskipun kedua undang-undang yang disebut pertama diatas disebut sebagai dasar hukum kontrak Production Sharing, namun di dalamnya

                                                               50 51 Ibid

  Pasal 44 UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 10 PP Nomor 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas bumi 52 PP Nomor 42 tahun 2002 tentang Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap bidang Kegiatan Hulu Usaha Minyak dan gas bumi.

     

  tidak disebutkan kontrak Production Sharing, melainkan istilah perjanjian karya, sedangkan istilah kontrak Production Sharing terdapat dalam ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 8 tahun 1971

  53 .

  Adapun Peraturan Perundang-undangan Kontrak Production Sharing, yaitu

  54

  : 1. UU 14 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 2. UU 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Perpu 2/1962 tentang Kewajiban Perusahaan

  Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri 3. UU 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan gas Bumi 4.

  PP 41 Tahun 1982 tentang Kewajiban dan Tata Cara penyetoran Pendapatan Pemerintah dari Hasil Operasi Pertamina Sendiri, dan Kontrak Production Sharing.

  5. PP 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi 6. Kepperes 42 Tahun 1989 tentang Kerja Sama Pertamina dengan Badan Usaha Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi

  7. Keppres 169 Tahun 2000 tentang Pokok Pokok Organisasi Pertamina 8.

  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.010/2005, tanggal 3 Maret 2005, tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor Tidak Dipungut Atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Minyak dan Gas Bumi.

  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 79/PMK.02/2012, Tanggal 24 Mei 2012, tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara Dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Perhitungan Pajak Penghasilan Untuk Keperluan

                                                               53 Abrar Saleng, Op.cit. hlm 85 54 Salim HS, Op.cit, hlm 269.

     

  Pembayaran Pajak Penghasilan Minya Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.

  10. Peraturan Dirjen Bea dan Cukai – PER – 04/BC/2005, tanggal 31 Maret 2005, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 20/PMK.010/2005, tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam Rangka Impor Tidak Dipungut Atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing ContractI) Minyak dan Gas Bumi. Telah diubah dengan, Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. 04/BC/2005, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 20/PMK.010/2005, tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam Rangka Impor Tidak Dipungut Atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing ContractI) Minyak dan Gas Bumi.

  11. Kepmenkeu No, 457/KMK.012/1984, tanggal 21 Mei 1984, tentang Petunjuk Jenis-Jenis Harta Dalam Masing Masing Golongan Harta Untuk Keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor yang Melakukan Kontrak Production Sharing Dalam Explorasi dan Exploitasi Minyak dan Gas Bumi Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) yang Ditandatangani Setelah UU No. 7 Tahun 1985. Telah diubah dengan, Kepmenkeu No. 120/KMK/0.12/1986, tanggal 5 Maret 1986, tentang Perubahan Ketentuan Pasal 3 Kepmenkeu No. 457/KMK.012/1984 tanggal 21 Mei 1984. Kemudian telah dicabut dengan, Kepmenkeu No. 521/KMK.04/2000, tanggal 14 Desember 2000, tentang Jenis-jenisHarta yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Untuk Keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor yang Melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi Dalam Rangka Kontrak Bagi Hasil Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA).

     

  12. Permenkeu No. 39/PMK.011/2013, tanggal 27 Februati 2013, tentang Kewajiban Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan yang Terutang Kepada Pihak Lain Oleh Perusahaan yang Terikat Dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan.

  13. Kepmenkeu No. 83/KMK.04/1999, tanggal 25 Februati 1999, tentang Penyusutan Atas Harta berwujud yang Dimiliki dan Digunakan Kontraktor yang Melakukan Kontrak Bagi Hasil di Bidang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerjasama Zona A Celah Timor.

  b.

  Ciri-ciri utama kontrak Production Sharing Jika diteliti dari berbagai variasi kontrak Production Sharing ada beberapa ciri-ciri utama yang terlihat yaitu

  55

  : 1) Manajemen ada di tangan Negara (Perusahaan/Lembaga Negara).

  Dalam bentuk Kontrak Production Sharing, Negara umumnya diwakili oleh Perusahaan Negara misalnya di Indonesia Pertamina dan Petronas di Malaysia dan diubah kembali dengan membentuk perwakilan negara dalam lembaga SKK Migas. Pembentukan Perusahaan Negara untuk mewakili Negara dalam bentuk kontrak Production Sharing adalah dilatarbelakangi oleh pertimbangan hukum bisnis, maksudnya dengan membentuk Perusahaan Negara keterlibatan Negara dalam manajemen operasional, yang tentunya beresiko bisnis yang relative unpredictable dan unlimited, dapat dialihkan kepada Perusahaan Negara. Selain itu Negara sebagai institusi kedaulatan memiliki keterbatasan alamiah untuk dapat terlibat langsung dalam operasional bisnis.

  2) Manajemen di tangan Negara

                                                               55 Rudi M. Simamora, Op.cit, hlm 60.

     

  Artinya Negara ikut serta mengawasi jalannya operasi secara aktif dengan tetap memberikan kewenangan kepada kontraktor untuk bertindak sebagai operator dan menjalankan operasi di bawah pengawasannya. Negara terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan operasional yang biasanya dijalankan dengan mekanisme persetujuan (approval). Inti persoalan dalam masalah ini adalah batasan sejauh mana persetujuan Negara atau Perusahaan Negara diperlukan dalam proses pengambilan keputusan. Ketentuan ini lekat dengan nuansa juridis-

  56

  politis . Dengan kuasa pertambangan minyak dan gas bumi tidak melepaskan kontrolnya atas pelaksanaan hak pengusahaan pertambangan. Yang terjadi adalah pendelegasian dan derivasi kewenangan, sedangkan hak asal tidak berubah dan tidak dialihkan sama sekali. Khusus untuk Indonesia, ketentuan ini merupakan tuntutan konstituonal dari Pasal 33 UUD 1945.

  3) Penggantian biaya operasi (operating cost recovery)

  Konsep penggantian biaya ini juga pertama kali diterapkan oleh Indonesia. Sebagai contoh, dalam standard Kontrak Production Sharing PERTAMINA hal ini diatur dalam klausula yang berbunyi sebagai berikut: “ Contractor will recover all operating cost out of the sales

  

proceeds or other disposition of the required quantity of crude oil equal in value to such

operating costs which is produced and saved hereunder and not used in Petroleum

Operations….”.

  4) Adanya penggantian biaya operasi

  Yaitu yang telah dikeluarkan oleh kontraktor dalam Kontrak Production Sharing mengandung makna bahwa kontraktor mempunyai kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu biaya operasi yang diperlukan, yang kemudian diganti kembali dari hasil penjualan atau dengan

                                                               56 Yakni peran negara sebagai pemegang kuasa pertambangan tetapi juga mengontrol pelaksanaan

pertambangan, kepada pengusaha pertambangan ialah sebagai penyerahan kewenangan untuk melaksanakan

pertambangan melalui peraturan perundang-undangan juga kontrak yang telah disepakati.

     

  mengambil bagian dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Jika dalam satu tahun kalender tertentu, kontraktor tidak mendapatkan penggantian biaya operasi secara penuh karena ternyata hasil produksi atau hasil penjualan dibawah biaya operasi, maka kekurangan akan diperhitungkan pada tahun berikutnya. Besaran penggantian biaya operasi ini tidak harus selalu penggantian penuh (full recovery), bisa saja hanya sebagian tergantung dari hasil negosiasi, sebagai contoh kontrak Production Sharing Myanmar hanya memberikan penggantian biaya maksimum 40% dari keseluruhan minyak dan gas bumi yang dihasilkan.

  5) Pembagian Hasil Produksi (production split)

  Pembagian hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi dan kewajiban lainnya merupakan keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor dan pemasukan dari sisi Negara. Besaran pembagian hasil produksi ini berbeda-beda antara Negara satu dengan Negara lainnya, dan juga berbeda dari satu kontrak Production Sharing satu dengan lainnya di dalam satu Negara tergantung dari berbagai faktor yang terkait misalnya faktor keterpencilan (remoteness), semakin terpencil tentu akan semakin tidak menarik bagi investor, sehingga harus diberikan berbagai insentif yang mungkin berupa pengurangan beban pajak, bonus produksi yang lebih kecil dan sebagainya.

6) Pajak (Tax).

  Yang dimaksud dengan pajak ini adalah semua pajak oleh ketentuan hukum dikenakan atas kegiatan operasi kontraktor disuatu Negara tertentu terutama pajak penghasilan perusahaan.

  Pengenaan pajak penghasilan perusahaan ini dikaitkan erat dengan besarnya pembagian dimaksud hasil produksi antara Negara dengan kontraktor. Umumnya dalam Kontrak Production

  

Sharing kontraktor tidak dikenakan pajak tanah (surface tax) sebagaimana biasanya dalam

  konsesi. Prinsipnya adalah semakin besar bagian Negara maka pajak penghasilan yang

     

  dikenakan atas kontraktor akan semakin kecil sehingga pilihannya adalah apakah bagian Negara diperbesar dengan sebaran kewajiban fiscal lainnya diperkecil atau sebaliknya bagian Negara diperkecil dengan sebaran kewajiban fiskal lainnya diperbesar. Pendekatan yang terakhir cocok untuk kondisi dimana tingkat kepastian cadangan rendah sehingga penerimaan negara lebih dijamin oeh kewajiban fiskal daripada bertumpu pada pengambilan bagian yang menjadi hak Negara, dan logika sebaliknya berlaku untuk pendekatan yang pertama.

7) Kepemilikan asset ada pada Negara (Perusahaan Negara).

  Umumnya semua peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan operasi menjadi milik Perusahaan Negara segera setelah dibeli atau setelah depresiasi. Defenisi setelah dibeli berbeda dari satu Negara ke Negara lainnya demikian juga dengan metode penghitungan depresiasi yang digunakan berbeda dari satu Negara ke Negara lainnya. Dalam kontrak Production Sharing Pertamina klausula yang mengatur hal ini berbunyi sebagai berikut :” Equipment purchased by

  

Contractor pursuant to the work program becomes the property of Pertamina (in case of import,

whwn landed at the

  Indonesian ports of import) and will be used in Petroleum operations

  hereunder”

  . Ketentuan ini mengecualikan peralatan yang disewa karena kepemilikannya memang tidak pernah beralih kepada kontraktor.

  a.

  Klasifikasi Kontrak Production Sharing Salah satu pakar fiskal perminyakan, Daniel Johnston membuat klasifikasi kontrak di industri hulu migas yang ditunjukkan pada gambar 1.1. pada prinsipnya, pengaturan sistem kontrak migas antara Negara tuan rumah dan investor dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem konsesi dan sistem kontrak. Sistem kontrak dapat digolongkan menjadi Production Sharing

      Contract

  (PSC) dan Service Contract. Selanjutnya Service Contract dapat dibagi lagi menjadi

  57 dua yaitu Pure Service Contract dan Risk Service Contract .

  58 Gambar 1: Klasifikasi Kontrak di Industri Hulu Migas

  Petroleum Fiscal Arrangement Contractual system

  Consessionary System

  Production Sharing

  Service Contract Contract Risk Service Contract

  Pure Service Contract

    b.

  Karakter Kontrak Production Sharing

  59 Substansi Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas bumi yaitu : a.

  Jangka waktu Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun dengan masa eksplorasi 6 tahun dan perpanjangan masa eksplorasi selama 4 tahun. Adapun kontrak yang telah habis jangka waktunya dapat diperpanjang kembali 20 tahun.

  b.

  Penyisihan Wilayah Kerja Ditujukan untuk mempercepat kegiatan eksplorasi, dengan persentase 25% pada tiga tahun pertama, 25% pada 6 tahun pertama dan 30% pada saat atau sebelum akhir tahun kesepuluh.

  Kontaktor hanya diperbolehkan mempertahankan wilayah kerja yang diusahakan dengan

                                                               57 58 Benny Lubiantara, Op.cit., hlm 6 59 Ibid Adrian Sutedi,

     

  pesentase 20% (termasuk wilayah yang dikembangkan), penyisihan secara keseluruhan pada saat pengakhiran kontrak.

  c.

  Program kerja dan anggaran Disiapkan dan diajukan untuk mendapatkan persetujuan Badan Pelaksana terdiri dari komitmen pasti selama 3 tahun (tercantum dalam dokumen penawaran lelang) dan komitmen 6 tahun dengan penekanan pada program kerja berdasarkan ketentuan kontrak.

  d.

  Manajemen kontrak Manajemen operasi (termasuk persetujuan program kerja dan anggaran) menjadi tanggung jawab Badan Pelaksana, sedangkan pelaksanaan program kerja dan anggaran menjadi tanggung jawab kontraktor.

  e.

  Pengalihan Pengalihan interest ekonomi kepada perusahaan afiliasi cukup dengan sepengetahuan

  Badan Pelaksana, sedangkan pengalihan terhadap perusahaan non afiliasi harus dengan persetujuan Badan Pelaksana dan Pemerintah batasan terhadap pengalihan ini terdapat pada 3 tahun pertama, terhadap kontraktor berlaku kebijakan Ring Fence dimana kontraktor hanya boleh menangani 1 wilayah kerja.

  f.

  Kredit investasi dan biaya operasi Kredit investasi (dapat diterapkan pada lapangan baru dan pengembangan yang langsung berhubungan dengan fasilitas produksi minyak mentah) dan biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor akan diperoleh kembali melalui hasil penjualan atau pembagian minyak mentah setiap tahun kelender.

  g.

  Peralatan

     

  Kontraktor berkewajiban menyediakan semua dana untuk membeli dan menyewa peralatan, peralatan yang dibeli tersebut status hukumnya menjadi milik pemerintah ketika peralatan tersebut memasuki wilayah Indonesia tetapi penguasaannya diserahkan pada kontraktor.

  h.

  FTP-I dan FTP-II

  First Tranche Petroleum-I adalah hak para pihak untuk mengambil dan menerima sebagian

  minyaknya (20 atau 15%) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP tersebut akan dibagi antara Badan Pelaksana dan kontraktor sesuai dengan bagian masing-masing dalam Kontrak Kerja Sama. First Tranche Petroleum-II adalah hak Badan Pelaksana untuk mengambil dan menerima sebgaian minyaknya (10%) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP ini tidak akan dibagi antara Badan Pelaksana dan kontraktor. i.

  Kompensasi, Bantuan dan Bonus Terdiri dari kompensasi informasi, bonus peralatan, dan bonus produksi wajib diserahkan kontraktor kepada pemerintah tanpa membebankan pada biaya operasi. j.

  Tenaga kerja Kontraktor harus menyediakan semua teknologi yang diperlukan dan tenaga kerja asing

  (ekspatriat). Kontraktor setuju untuk memperkerjakan tenga kerja Indonesia yang bermutu dan memperhatikan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia, selain itu kontraktor berkewajiban membantu pelatihan tenaga kerja Badan Pelaksana. k.

  Arbitrase

     

  Perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara damai akan diserahkan pada Putusan Badan Arbitrase dengan sebelumnya melalui usaha Alternative Dispute Resolution, arbitrase akan menggunakan aturan ICC (International Chamber of Commerce.) l.

  Pembukuan, Akuntansi, dan pemeriksaan Badan Pelaksana berkewajiban untuk memebuat pembukuan dan akuntansi yang lengkap, pada masa eksplorasi kewajiban membuat pembukuan dan akuntansi tersebut berada pada kontraktor. Badan Pelaksana dan Pemerintah berwenang untuk memeriksa pembukuan yang dibuat oleh kontraktor. m.

  Partisipasi Badan Pelaksana mempunyai hak untuk meminta kepada kontaktor sebesar 10% interest penuh dari keseluruhan hak dan kewajiban dalam kontrak untuk ditawarkan kepada “Partisipan

  Indonesia” (Pemda, BUMD atau perusahaan berbadan hukum Indonesia dan sahamnya dimiliki Indonesia) n.

  Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri Kontraktor berkewajiban menyediakan hasil produksinya untuk kebutuhan dalam negeri (minyak mentah dan gas dengan perhitungan: 25% x produksi x persentase bagian kontraktor.

  Kontrak Migas di beberapa Negara mewajibkan kontraktor mengalokasikan bagian produksinya untuk keperluan pasokan domestic sejumlah volume tertentu. Untuk lima tahun pertama (lebih tepatnya 60 bulan pertama) pada saat produksi dimulai, volume untuk DMO ini dihargai dengan

  60

  “harga pasar” minyak mentah tersebut, yang dikenal dengan DMO Holiday. Setelah periode

  DMO Holiday

  , harga minyak akan di diskon sesuai dengan yang tertera pada kontrak, 10%, 15% atau 25% dari harga pasar minyak mentah tersebut.

                                                               60 Rata-rata tertimbang (weighted average) harga minyak mentah dari Wilayah kerja tersebut

     

  Kewajiban DMO juga diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2001 Pasal 22 ayat 1 tentang Minyak dan Gas Bumi yakni: “Badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi Minyak dan Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri”. Namun, Pasal ini tidak bertahan lama karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.002/PUU-1/2003, tanggal 21 Desember 2004 mengenai Minyak dan Gas Bumi membatalkan Pasal 22 ayat 1 di atas sehubungan dengan adanya kata “paling banyak” 25% dan seterusnya, karena ini dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam draft

  61 RUU pengganti UU 22 tahun 2001 diusulkan kata “paling sedikit” 25% dan seterusnya .

                                                               61 Benny Lubiantara, Op.cit., hlm 69

     

  62 Gambar 2 : Skema Pembagian Hasil Produksi

  Gross Production

  FTP  20 %   Cost Recovery  Equity

   To Be Split 

  INDONESIA CONTRACTOR SHARE SHARE

  DMO   25% 

DMO

 FEE 

  Taxable  Income  Tax

  40%

  

 

Indonesia  Take  Contractor  Take 

                                                               62 Directorate of Upstream business development Oil and Gas Investment Center, Indonesia Petroleum , (Jakarta: Ministry of Energy and Mineral Resources Directorate General of Oil and Gas, 2012),

  First Round 2012 hlm 3.

     

  e. Bentuk Dan Substansi/Hal Yang Diatur Dalam Kontrak Production Sharing Kontrak Production Sharing berbentuk tertulis. Kontrak itu dalam bentuk akta di bawah tangan, yaitu dibuat antara Badan Pelaksana dengan badan usaha dan/atau badan usaha tetap.

  Sementara itu, substansi yang harus dimuat dalam kontrak Production Sharing memuat paling

  63

  sedikit : 1.

  Penerimaan Negara 2. Wilayah kerja dan Pengembaliannya 3. Kewajiban pengeluaran dana 4. Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi 5. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak 6. Penyelesaian perselisihan 7. Kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri 8. Berakhirnya kontrak 9. Kewajiban pasca operasi pertambangan 10.

  Keselamatan dan kesehatan kerja 11. Pengelolaan lingkungan hidup 12. Pengalihan dan kewajiban 13. Pelaporan yang diperlukan 14. Rencana pengembangan lapangan 15. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri 16. Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat.

17. Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia

  Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan ini, dituangkan ke dalam model kontrak Production sharing yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan kontraktor. Pemerintah Indonesia, melalui SKK Migas telah melakukan standardisasi terhadap isi Kontrak Production Sharing. Judul kontraknya adalah Production Sharing Contract Between Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas bumi and Kontraktor. Isi kontrak ini telah dibakukan oleh

64 SKK Migas .

  Kontrak ini terdiri atas 17 bagian atau seksi, yaitu:

                                                               63 64 Pasal 11 ayat 3 UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

  Salim HS, Op.cit.

     

1. Ruang lingkup dan defenisi 2.

  Pengertian 3. Di luar area 4. Program kerja dan pembiayaan 5. Hak dan kewajiban para pihak 6. Biaya penemuan, pengembangan, dan pemeliharaan produksi 7. Penilaian/penafsiran tentang minyak dan gas bumi 8. Kompensasi, bantuan dan bonus produksi 9. Pembayaran 10.

  Hak atas perlengkapan 11. Konsultasi dan arbitrase 12. Pekerjaan dan pelatihan dan personel dari Indonesia 13. Penghentian 14. Pembukuan dan perhitungan dari audit 15. Ketentuan lainnya 16. Pengambilan bagian 17. Mulai berlakunya

  65 Adapun garis besar dari isi Kontrak Bagi Hasil seperti berikut ini : 1. Manajemen operasi perminyakan berada di tangan Pemerintah.

  2. Kontraktor bertanggung jawab kepada Pertamina atas pelaksanaan operasi.

  3. Kontraktor menyediakan kebutuhan keuangan dan bantuan teknis yang dibutuhkan untuk operasi.

  4. Resiko biaya operasi ditanggung kontraktor.

  5. Biaya operasi dapat direcover sampai maksimal 40% dari total minyak yang dihasilkan pada suatu tahun kalender.

  6. Produksi minyak mentah dipotong biaya operasi dibagi atas dasar 65% Pertamina, 35% kontraktor untuk produksi di bawah 75 ribu barel per hari :67,5% Pertamina, 32,5% kontraktor untuk produksi antara 75 ribu s/d 200 ribu barel per hari 70% Pertamina, 30% kontraktor untuk produksi di atas 200 ribu barel per hari.

                                                               65 Adrian Sutedi, Op.cit.

     

  7. Peralatan yang dibeli kontraktor untuk melaksanakan program kerja dimasukkan dalam biaya operasi. Setelah dimasukkan ke Indonesia peralatan tersebut akan menjadi milik Pertamina.

  8. Kontraktor setuju mempekerjakan tenaga-tenaga Indonesia yang kualifikasinya dietujui Pertamina maupun kontraktor. Setelah taraf produksi ekonomis dimulai kontraktor diwajibkan mendidik serta melatih tenaga-tenaga Indonesia.

Dokumen yang terkait

Perlindungan Terhadap Investor dari Penerapan Ketentuan Pidana pada Perbuatan Wanprestasi Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract (Studi Kasus Pada PT Chevron Pacific Indonesia)

2 52 145

Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Ketentuan Kontrak Standar Pada Pembiayaan Syariah Bank Syariah Mandiri Dikaitkan Dengan Ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

1 78 148

Penerapan Batas-Batas Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Suatu Perikatan

11 108 97

Akibat Hukum Wanprestasi Reksadana Dikaitkan Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Investor (Studi di BNI 46 Cab. Medan)

1 38 102

Perlindungan Hukum Bagi Investor Terhadap Praktik Insider Trading Dalam Perdagangan Saham

0 34 139

Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)

0 43 139

Perlindungan Hukum Bagi Investor Terhadap Praktik Insider Trading Pada Pasar Modal di Indonesia

5 104 66

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus

0 0 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Pengertian dan Asas Hukum Kontrak - Analisis Hukum Terhadap Kontrak Pengadaan Alat-alat Kesehatan Pada Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai

0 0 19

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN - Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Apabila Terjadi Force Majeure (Studi Pada PT. Daya Prima Indonesia)

0 0 30