Perlindungan Terhadap Investor dari Penerapan Ketentuan Pidana pada Perbuatan Wanprestasi Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract (Studi Kasus Pada PT Chevron Pacific Indonesia)

(1)

PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR DARI PENERAPAN KETENTUAN PIDANA PADA PERBUATAN WANPRESTASI KONTRAK BAGI

HASIL/PRODUCTION SHARING CONTRACT (STUDI KASUS PADA PT CHEVRON PACIFIC INDONESIA)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JELITA WATI PANJAITAN NIM:100200083

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR DARI PENERAPAN KETENTUAN PIDANA PADA PERBUATAN WANPRESTASI KONTRAK BAGI

HASIL/PRODUCTION SHARINGCONTRACT

(STUDI KASUS PADA PT CHEVRON PACIFIC INDONESIA) SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

JELITA WATI PANJAITAN NIM:100200083

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, S.H., M.Hum. NIP.197501122005012002

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Prof.Dr.Budiman Ginting,SH.,M.Hum Dr.Mahmul Siregar,SH.,M.Hum NIP.195905111986011001 NIP.197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR DARI PENERAPAN KETENTUAN PIDANA PADA PERBUATAN WANPRESTASI KONTRAK BAGI

HASIL/PRODUCTION SHARINGCONTRACT (STUDI KASUS PADA PT CHEVRON

PACIFIC INDONESIA)

Jelita Wati Panjaitan* Budiman Ginting **

Mahmul Siregar***

Pertambangan merupakan salah satu bidang ekonomi dengan manfaat yang besar bagi masyarakat luas. Pertambangan identik dengan modal yang besar, teknologi yang canggih bahkan resiko yang besar sehingga sangat membutuhkan kerjasama dengan investor Asing. Kontrak pertambangan Minyak dan gas bumi yang saat ini dipakai ialah Kontrak production sharing dengan para pihak yaitu SKK Migas dan Kontraktor. Keberadaan Investor Asing memerlukan kepastian hukum dan perlindungan. Adapun permasalahan yang akan diteliti dalam penulisan ini adalah bagaimana perlindungan investor berdasarkan Kontrak production sharing, apakah Investor yang wanprestasi berdasarkan KPS dapat dipidana, bagaimana penyelesaian kasus PT CPI berdasarkan KPS.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder dan bahan dari internet.

Perlindungan terhadap invetor diberikan pemerintah melalui peraturan perundang-perundangan khususnya tentang penanaman modal dalam bentuk kepastian hukum, fasilitas investasi. Di dalam Kontrak production sharing juga diatur mengenai perlindungan tersebut khususnya dalam hal bila terjadi sengketa. Terhadap penyelesaian sengketa khususnya mengenai Wanprestasi dalam kontrak, kontrak merupakan hukum perdata yang mengutamakan penyelesaian hukum secara perdata. Demikian pula kasus P T CPI, hendaknya penyelesaian kasus tersebut berdasarkan apa yang telah disepakati dalam KPS yaitu secara Konsultasi dan arbitrase, bahwa hukum pidana merupakan asas Ultimatum remedium dalam penyelesaian sengketa kontrak. PT CPI melaksanakan program pemeliharaan lingkungan bahkan secara Internasional dan nasional sudah mendapat pengakuan.

Kata kunci: Perlindungan Hukum, Investor, Kontrak Production Sharing, Wanprestasi, Hukum Pidana.

*Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I ***Dosen Pembimbing II


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadapan Tuhan yang Maha Esa bahwa pada akhirnya skripsi yang berjudul “Perlindungan Terhadap Investor dari Penerapan Ketentuan Pidana pada Perbuatan

Wanprestasi Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract (Studi Kasus Pada PT Chevron Pacific Indonesia)” dapat ditulis dengan lancar dan diselesaikan dengan baik. Dengan

menyadari kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang ada dalam penulisan skripsi ini, ucapan terima kasih juga ingin disampaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu penulisan skripsi ini, yang dengan tulus telah memberikan dukungan, bimbingan, dan doa sehingga tulisan ini dapat ditulis. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini juga, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua penulis, yaitu Bapak Parlindungan Panjaitan dan Ibu kandung Nurmaya Simarmata(+) dan Ibu saat ini Rugun Sianturi, serta kakak kandung penulis, yaitu Lena Fitri Panjaitan dan Calli Marcelina Panjaitan serta adik-adik Penulis yaitu Tri Winda Pratiwi Panjaitan dan Erika Paulina Panjaitan. Mereka yang telah menjadi sumber motivasi terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seta selaku Dosen Penasehat Akademik selama penulis mengenyam bangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M. H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin, S.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(5)

5. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Windha, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Ramli Siregar, S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M. H., selaku Pembimbing I penulis dalam pengerjaan Skripsi ini;

9. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum., selaku Pembimbing II penulis dalam pengerjaan skripsi ini;

10.Seluruh Dosen pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang mash mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun,;

11.Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12.Keluarga besar UKM KMK UP FH USU terkhusus Koordinasi dan Tim tahun pelayanan 2012 dan 2013, Tim Panitia Rumah Persekutuan (PRP) B’Togi Sihite, Kak Peronnika Simanjuntak, Tody Valery Marpaung;

13.Kelompok kecil di UKM KMK UP FH USU, KK ONE WAY : B’Bona Manihuruk & B’ Erwin Silaban, Deffid Ivani Siahaan, Eko Wiranda Simbolon, Evi Lestari Situmorang, dan Rahmaeni Zebua.

14.Adik-adik kelompok kecil ONE HEART : Elgina Anatasia Tarigan, Indah Triviana Saragih, Irayata Gurusinga, Raphita Ivonne Claudia Lumbantoruan, dan Rohana Yohana Damanik. 15.Adik-adik kelompok kecil ELIEZER : Dora Viergo Olin Tambunan, Lamhot Dedi Sagala,


(6)

16.Teman-teman Beasiswa Bidik Misi 2010-2012 : Rahmad Ramadan, Solatiah Nasution, Yuni Damanik, Bety Teresya, Rumondang Siagian.

17.Teman-teman program internship (magang) kerjasama dengan E2J : Bu Rafiqoh, Rahmad Ramadan, Mentari Hagayna, B’Chipo, Mifta Holis Nasution.

18.Teman-teman Punguan Tuandibangarna Fakultas Hukum: Nia Suhartati Silitonga, Saidiboat Panjaitan, Yeremia Siagian, Sarah Siagian.

19.Teman-teman NHKBP : Kak Musita, Kak Nova, Kak Laura, B’Boy, B’Rio, B’Juve, B’ Ampuan, dan semua adik-adik Parguru Malua tahun 2012-2013.

20.Para Pedagang di Simpang Jodoh : Kak Eka, Kak Ida, Kak Fitri, Wak Giso. Para Pedagang buah di jalan bulan: Kak Juliana Kapoor Ginting dan Kak Era, Nanguda Feni, Mak Kornelius, Uda dan Nanguda Olo, Amangboru dan Namboru Rajes, Kak Iyus, Wak Bunga. 21.Seluruh Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu. Hidup Mahasiwa!.

22.Seluruh orang yang penulis kenal dan mengenal penulis;

Penulis berharap kiranya skripsi ini tidak hanya berakhir sebagai setumpuk kertas yang tidakk bermanfaat, tapi dapat dipakai oleh setiap orang yang membutuhkan pengembangan pengetahuan mengenai Reksa Dana. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun terhadap skripsi ini. Atas segala perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 18 Juli 2014

Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...

KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... ...1

B. Rumusan Masalah ...8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...8

D. Keaslian Penelitian...10

E. Tinjauan Pustaka...11

F. Metode Penelitian ...22

G. Sistematika Penulisan...24

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR BERDASARKAN KONTRAK PRODUCTION SHARING A. Kontrak Bagi Hasil/ Production Sharing Contract 1. Latar Belakang Timbulnya Kontrak Production Sharing a. Indische Mijn Wet (IMW)...28

b. Undang-Undang Nomor 44 tahun 1960...29

c. Penghapusan Perjanjian Karya...31

d. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 dan Undang Nomor 22 Tahun 2001...34


(8)

2. Konsep Teoritis Kontrak Bagi Hasil/ Production Sharing Contract...35

a. Landasan Hukum Kontrak Production Sharing...37

b. Ciri-ciri utama Kontrak Production Sharing...40

c. Klasifikasi Kontrak Production Sharing...45

d. Karakter Kontrak Production Sharing...45

e. Bentuk Dan Substansi/Hal Yang Diatur Dalam Kontrak Production Sharing...52

3. Pembahasan Kontrak Production Sharing Menurut PP 35 Tahun 1994...54

B. Perlindungan Investor Dalam Kontrak Production Sharing Berdasarkan UU No 25 tahun 2007 dan PP No 35 tahun 1994...51

1. Tujuan Perlindungan Investor...70

2. Perlindungan Investor Berdasarkan Perjanjian...71

3. Perlindungan Investor Berdasarkan UU No 25 Tahun 2007...72

BAB III WANPRESTASI DALAM KONTRAK PRODUCTION SHARING A. Wanprestasi Menurut KUHPerdata...75

1. Kontrak...75

2. Prestasi dan Wanprestasi...81

a. Wanprestasi dan Perbuatan yang Melawan Hukum...82

b. Wanprestasi dan Pernyataan Lalai ...84

B. Wanprestasi Dan Penyelesaiannya Menurut Kontrak Production Sharing 1. Perikatan Dalam Kontrak...87


(9)

C. Pekerjaan Kontrak Secara Melawan Hukum

1. Perjanjian Baku Kontrak Production Sharing...95

2. Prosedur Kegiatan Pertambangan dalam Lingkungan Hidup...97

3. Pengaturan Pelestarian Lingkungan dalam KepMen Nomor 128 tahun 2003...100

D. Kriminalisasi/Pemidanaan Perjanjian Production Sharing 1. Karakterisitik Hukum Pidana sebagai ultimatum remedium...102

2. Sanksi dalam hukum pidana dan hukum Pertambangan...105

3. Pemidanaan dalam Kontrak Production Sharing...106

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI PT CHEVRON PACIFIC INDONESIA A. Proyek Korporasi Untuk Program Bioremediasi Chevron 1. Bioremediasi...110

2. Pelaksanaan Bioremdiasi oleh PT CPI...120

B. Perikatan Kontrak Dengan Perusahaan Rekanan PT CPI: PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ)...122

C. Dimensi Kerugian Negara Dalam Perkara Bioremediasi 1. Analisis Pengertian Kerugian Negara...125

2. Mengenai Cost Recovery dalam Industri Hulu Migas...128

D. Perjanjian Keperdataan/PSC antara SKK Migas dan PT CPI...132

E. Putusan Peradilan Kasus Chevron...135

1. Kronologis singkat...135

2. Pertimbangan Hukum Hakim...134


(10)

4. Analisis Putusan...143 F. Penyelesaian Wanprestasi Berdasarkan Production Sharing Contract...149

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...153 B. Saran...155 Daftar Pustaka...157


(11)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR DARI PENERAPAN KETENTUAN PIDANA PADA PERBUATAN WANPRESTASI KONTRAK BAGI

HASIL/PRODUCTION SHARINGCONTRACT (STUDI KASUS PADA PT CHEVRON

PACIFIC INDONESIA)

Jelita Wati Panjaitan* Budiman Ginting **

Mahmul Siregar***

Pertambangan merupakan salah satu bidang ekonomi dengan manfaat yang besar bagi masyarakat luas. Pertambangan identik dengan modal yang besar, teknologi yang canggih bahkan resiko yang besar sehingga sangat membutuhkan kerjasama dengan investor Asing. Kontrak pertambangan Minyak dan gas bumi yang saat ini dipakai ialah Kontrak production sharing dengan para pihak yaitu SKK Migas dan Kontraktor. Keberadaan Investor Asing memerlukan kepastian hukum dan perlindungan. Adapun permasalahan yang akan diteliti dalam penulisan ini adalah bagaimana perlindungan investor berdasarkan Kontrak production sharing, apakah Investor yang wanprestasi berdasarkan KPS dapat dipidana, bagaimana penyelesaian kasus PT CPI berdasarkan KPS.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder dan bahan dari internet.

Perlindungan terhadap invetor diberikan pemerintah melalui peraturan perundang-perundangan khususnya tentang penanaman modal dalam bentuk kepastian hukum, fasilitas investasi. Di dalam Kontrak production sharing juga diatur mengenai perlindungan tersebut khususnya dalam hal bila terjadi sengketa. Terhadap penyelesaian sengketa khususnya mengenai Wanprestasi dalam kontrak, kontrak merupakan hukum perdata yang mengutamakan penyelesaian hukum secara perdata. Demikian pula kasus P T CPI, hendaknya penyelesaian kasus tersebut berdasarkan apa yang telah disepakati dalam KPS yaitu secara Konsultasi dan arbitrase, bahwa hukum pidana merupakan asas Ultimatum remedium dalam penyelesaian sengketa kontrak. PT CPI melaksanakan program pemeliharaan lingkungan bahkan secara Internasional dan nasional sudah mendapat pengakuan.

Kata kunci: Perlindungan Hukum, Investor, Kontrak Production Sharing, Wanprestasi, Hukum Pidana.

*Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I ***Dosen Pembimbing II


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Minyak bumi dan gas bumi telah membawa kemajuan yang pesat kepada dunia ini, sehingga jika seandainya minyak bumi itu tidak ada, maka dunia tidak akan semaju seperti sekarang ini. Dimana-mana dalam kehidupan sehari-hari, hampir selalu dijumpai produk-produk yang berasal dari minyak bumi, baik produk yang berasal dari kilang minyak atau produk petrokimia1. Minyak dan gas bumi (migas) merupakan komoditas penting, tidak saja pada masa lalu dan saat ini, tetapi juga masih akan berperan sebagai penyumbang terbesar energi dunia beberapa dekade kedepan2. Minyak dan gas bumi dapat ditemukan atau dihasilkan dengan proses pertambangan, inilah yang disebut industri pertambangan minyak dan gas bumi.

Industri Migas merupakan satu industri yang memiliki resiko yang tinggi (high risk), penggunaan teknologi canggih (high technology), dan sumber daya yang terlatih serta besarnya capital yang diperlukan (high capital). Paling tidak ada empat faktor yang membuat industri hulu migas berbeda dengan industri lainnya, antara lain: pertama, lamanya waktu antara saat terjadinya pengeluaran (expenditure) dengan pendapatan (revenue). Kedua, keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih. Ketiga, sektor ini memerlukan investasi biaya capital yang relatif besar. Keempat, dibalik semua resiko tersebut, industri migas juga menjanjikan keuntungan yang sangat besar3. Industri pertambangan       

1

Sukanto Reksohadiprodjo. Industri minyak dan gas Bumi. (Yogyakarta: BPFE, 1986), hlm 1

2 Benny Lubiantara, Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. (Jakarta: Gramedia

Widiasarana Indonesia, 2012), hlm xiii

3


(13)

minyak dan gas bumi meliputi: Kegiatan eksplorasi dan produksi, pengolahan sampai kepada pemasaran.

Hal ini menjadi alasan bagi negara merasa perlu mengundang investor untuk melakukan aktifitas eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi tersebut. Sejak awal, sesudah tercapainya kemerdekaan Indonesia, industri migas dikembangkan dengan melibatkan modal asing4. Dengan pengusahaan bahan galian (tambang), pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan/atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah5.

Minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara. tujuan penguasaan oleh negara adalah agar kekayaan nasional tersebut dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat6.

Selain itu karena pengusahaan bahan galian menyangkut kepentingan umum dan Negara, maka dapat dilakukan bersama-sama dengan badan hukum perdata dalam bentuk kontrak kerja sama. Kontrak kerjasama merupakan kesepakatan dari para pihak yang dituangkan dalam setiap klausul.

Untuk mendesain kontrak migas, terlebih dahulu harus dipahami apa saja objektif Negara tuan rumah dan bagaimana pula dengan objektif investor. Sebagian objektif tentunya ada kemiripan, namun demikian tidak menutup kemingkinan ada objektif yang bertolak belakang satu sama lain. Adanya kemiripan dan perbedaan objektif ini perlu diselaraskan agar ketentuan dan persyaratan kontrak migas menjadi optimal. Objektif dari Negara tuan rumah beberapa diantaranya antara lain7 :

a. menggalakkan aktifitas eksplorasi untuk meningkatkan cadangan,       

4

Pertamina, Berbakti Pada Bangsa: Refleksi 50 Tahun Pembangunan Minyak Dan Gas Bumi Di Indonesia. (Jakarta: Pertamina, 1996) hlm. 52.

5Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. 6

Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 236

7


(14)

b. mengawasi supaya terjadi eksploitasi yang optimal, c. keamanan pasokan energi,

d. memaksimalkan bagian pemerintah,

e. mendorong pengembangan industri domestik, f. transfer teknologi dan penyerapan tenaga kerja, g. pengembangan masyarakat sekitar dan lain-lain.

Sementara objektif investor diantaranya ialah : a. memperoleh imbal-hasil yang tertinggi, b. mengoptimalkan portofolio bisnis, c. akses migas jangka panjang dan lain-lain.

Ada beberapa jenis kontrak Migas yang telah dipakai oleh berbagai Negara dalam industri Hulu Migas, yaitu8:

1. Kontak Karya/Konsesi

2. Kontrak TAC (Technical Assistance Contract) 3. Kontrak Production Sharing

4. Kontrak Enhanced Oil Recovery ( EOR) 5. Kontrak Operasi Bersama (KOB) 6. Kontrak Service Contract

Salah satu perbedaan penting dari pelbagai jenis kontrak migas tersebut adalah bagaimana mekanisme transfer kepemilikan (transfer of ownership) cadangan migas yang merupakan asset Negara kepada perusahaan migas. Pada sistem konsesi, transfer kepemilikan berlangsung ketika sumur diproduksi dan terjadi di kepala sumur (wellhead). Sementara untuk sistem PSC, transfer kepemilikan tidak terjadi di kepala sumur, namun pada titik ekspor. Sedangkan pada sistem Service Contract, sama sekali tidak terjadi transfer kepemilikan9.

Akses terhadap sumber daya migas dalam bentuk pengaturan kegiatan dan kerjasama antara investor dengan pemerintah telah dimulai sejak pertengahan abad 18. Sistem kerjasama       

8

Salim HS, Op.cit., hlm 316

9


(15)

untuk kegiatan hulu migas pada awalnya hanya sistem konsesi10. Bagi Negara produsen minyak, mengingat pendapatan dari sektor ini sangat signifikan dalam menopang pembangunan, tidak mengherankan apabila muncul tuntutan agar Negara tidak saja memperoleh bagian penerimaan yang meningkat tetapi juga mempunyai peran yang lebih besar11. Negara Indonesia sebagai negara yang sangat kaya akan potensi pertambangan.

Dorongan agar keterlibatan pemerintah lebih besar lagi, melatarbelakangi lahirnya sistem Production Sharing Contract (PSC). Pada sistem PSC, kepemilikan (ownership) dan pengawasan ada di tangan pemerintah. Dan juga pembagian atau Sharing dalam kontrak tersebut ialah pembagian hasil pertambangan yaitu minyak dan gas bumi sesuai persen yang telah ditentukan bukan berbagi hasil penjualan. Posisi perusahaan “diturunkan” menjadi kontraktor yang menanggung resiko dan memperoleh pemulihan biaya (cost recovery) setelah tahap komersial dicapai. Kontraktor juga memperoleh bagian dari keuntungan (profit share)12.

Kelahiran PSC dalam dunia migas internasional merupakan terobosan luar biasa karena sebelumnya dengan sistem konsesi, peran Negara masih minimal, dimana Negara hanya menerima pembayaran berupa royalty dan pajak. Adanya klausul partisipasi pada sistem konsesi sebenarnya juga meningkatkan peran Negara, namun masih relatif pasif. Munculnya sistem PSC mengubah aturan main (rule of the game). Indonesia dicatat sebagai pelopor PSC13.

Dalam PSC dikenal sistem cost recovery (pengembalian biaya) yakni terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Perusahaan Pertambangan tersebut selama proses pertambangan. Biaya-biaya ini nantinya akan diklaim kepada BP Migas ( sekarang SKK Migas) dan setelah

       10

Konsesi adalah sitem dimana di dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, kepada perusahaan pertambangan tidak hanya diberikan kuasa pertambangan, tetapi diberikan hak menguasai tanah.

11 Benny Lubiantara, Ibid., hlm 1 12

Ibid. hlm 2


(16)

dilakukan proses audit dan persetujuan maka Perusahaan Pertambangan tersebut akan menerima kembali pembayaran itu dari uang negara.

Adapun beberapa Investor asing yang saat ini mengadakan kegiatan pertambangan di Indonesia yang mengikuti Production Sharing Contract ialah: Shell, Exxon mobil, PT Chevron Pacific Indonesia.

PT Chevron Pacific Indonesia merupakan cabang perusahaan pertambangan dari PT Chevron milik Amerika Serikat. PT CPI bergerak di bidang pertambangan minyak dan gas bumi yang sudah mulai berada di Indonesia selama kurang lebih 80 tahun. PT Chevron memiliki lokasi penambangan di beberapa daerah di Indonesia seperti Minas, Duri. PT CPI adalah salah satu kontraktor negara dalam industri pertambangan Minyak dan gas bumi. PT CPI juga adalah pihak dalam sebuah kontrak dengan pemerintah yakni dalam kontrak Production Sharing. PT CPI menyumbang sekitar 40% minyak dan gas bumi yang tersedia untuk kebutuhan domestik dalam negeri sejak melakukan penambangan di Indonesia14.

Pertambangan Minyak dan gas bumi memiliki banyak resiko salah satunya dalam hal lingkungan hidup15. Pengaturan kewajiban pemeliharaan Lingkungan Hidup untuk daerah pertambangan juga telah diatur dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Adapun Limbah Minyak Bumi merupakan salah satu limbah jenis B3 (berbahaya, beracun dan berbau) sehingga perlu proses pemulihan terhadap tanah yang terkena limbah tersebut. Proses yang biasa dipakai adalah proses secara kimia dan fisika. Tetapi proses ini cukup

       14

PT Chevron Pacific Indonesia diakses tanggal 25 Juni 2014

15


(17)

rumit dan berbiaya besar. Untuk itu mulailah dilakukan proses pemulihan limbah secara biologis yang dikenal dengan Bioremediasi16.

Sesuai KepMen LH No 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara biologis, maka PT CPI sebagai perusahaan pertambangan migas harus mengerjakan tanggung jawab lingkungan. Inilah yang dilakukan PT CPI dengan program Bioremediasi tanah yang terkena minyak bumi. Program ini sepenuhnya berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tersebut, yang dikerjakan sejak tahun 2003.

Adapun pengerjakan proyek ini dilakukan PT CPI dengan mengundang kontraktor/perusahaan lain dalam bentuk tender. Perusahaan yang memenangkan tender ialah PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet Indonesia serta PT GTL untuk proses bioremdiasi ini PT CPI telah mendapat beberapa penghargaan baik dalam skala nasional maupun internasional.

Masalah muncul di tahun 2012 ketika Kejaksaan Agung mulai melakukan suatu penelitian terhadap proyek Bioremediasi yang dikerjakan oleh PT CPI ini. Berdasarkan penelitian mereka bahwa proyek bioremediasi PT CPI adalah fiktif. Kejagung pun menetapkan surat penahanan terhadap beberapa orang yang terkait dengan proses bioremediasi ini yaitu Manajer SLN dan SLS Endah Rumbiyanti, Team Leader SLN Kabupaten Duri Widodo, Team Leader SLS Migas Kukuh Kertasafari, General Manager SLN Operation CPI Alexiat Tirtawidjaja, Direktur Utama PT Sumigita Jaya Herlan, dan Direktur PT Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri. Proses berlanjut hingga pada akhirnya Kejagung membuat Surat dakwaan yang menyatakan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi dalam proyek Bioremediasi ini.

       16


(18)

Kasus ini ternyata berdampak bagi eksplorasi dan penambangan migas sampai beberapa waktu sehingga proyek penambangan minyak bumi berhenti. Kontrak kerjasama antara PT CPI dan Negara dalam Production Sharing ini seperti diabaikan oleh Kejagung mengingat bahwa Kejagung membawa kasus ini kepada hukum pidana.

Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan diatas, penulis mengangkat judul: “Perlindungan Terhadap Investor dari Penerapan Ketentuan Pidana pada Perbuatan Wanprestasi Kontrak Bagi Hasil/Production SharingContract (Studi Kasus Pada PT Chevron Pacific Indonesia)”’

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan diatas, pada bahasan pendahuluan, yang menjadi rumusan masalah ialah :

1. Bagaimanakah perlindungan terhadap investor berdasarkan kontrak bagi hasil/Production SharingContract?

2. Apakah investor yang wanprestasi dalam kontrak bagi hasil/Production Sharing Contract dapat dipidana?

3. Bagaimanakah seharusnya penyelesaian atas peristiwa wanprestasi investor pada perkara PT Chevron Pacific Indonesia (CPI)?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama dalam penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan


(19)

sebagai tambahan pengetahuan. Namun berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam penulisan ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan menganalisis lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap investor berdasarkan kontrak bagi hasil/Production SharingContract

b. Untuk mengetahui dan menganalisis lebih lanjut mengenai penggunaan hukum pidana dalam wanprestasi yang dilakukan investor menurut kontrak bagi hasil (Production SharingContract).

c. Untuk mengetahui dan menganalisis lebih lanjut mengenai penyelesaian atas peristiwa wanprestasi investor pada perkara PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).

2. Manfaat Penelitian

a. Secara Teoritis, penulisan skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan di bidang Hukum Pertambangan Minyak dan gas bumi khususnya mengenai Kontrak pertambangan Minyak dan gas bumi serta para pihak yang terkait di dalamnya sehingga pelaksanaan pertambangan migas dapat dikerjakan lebih maksimal.

b. Secara Praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran secara yuridis kepada praktisi hukum yakni kepada para penegak hukum, pihak perusahaan pertambangan, konsultan hukum, lembaga peradilan serta pihak yang lainnya mengenai pertambangan di Indonesia sehingga kedepannya pertambangan di Indonesia semakin menyejahterakan rakyat.


(20)

D. Keaslian Penelitian

Bahwa skripsi ini yang berjudul “Perlindungan Terhadap Investor Dari Penerapan Ketentuan Pidana Pada Perbuatan Wanprestasi Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract (Studi Kasus Pada PT Chevron Pacific Indonesia)” yang diangkat dalam skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini diperkuat dengan surat keterangan tertanggal 17 Februari 2014 dari perpustakaan yang menyatakan bahwa judul skripsi yang telah ada di perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara adalah: Penyelesaian Wanprestasi di Pasar Modal dalam sistem Jakarta Automatic Trading Sistem menurut UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang ditulis oleh Nicky Catherine (080200409) dan Aspek Hukum Kontrak Karya dalam Investasi Pertambangan Umum yang ditulis oleh Dewi (070200001). Sehingga Sangat jelas bahwa judul skripsi yang saya tulis berbeda dengan judul-judul sebelumnya. Perbedaan pembahasan terletak pada: Penerapan Perlindungan Invetor dalam Kontrak Production Sharing bidang Pertambangan Minyak dan gas bumi.

Penulisan Skripsi ini dimulai dari mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan Penelusuran terhadap kasus PT Chevron Pacific Indonesia, Pertambangan Minyak dan Gas bumi, peraturan perundang-undangan yang berkaitan, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan, media cetak maupun media elektronik. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, penulis membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Pustaka

Penulisan skripsi ini berkisar tentang Perlindungan Hukum Terhadap Investor dalam kontrak bagi hasil. Adapun Tinjauan Kepustakaan tentang skripsi ini, adalah sebagai berikut:


(21)

1. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan, kedamaian, ketentraman bagi segala kepentingan manusia yang ada di dalam masyarakat17. Dalam hukum pertambangan ini, bentuk perlindungan itu selain adanya kepastian hukum melalui UU atau peraturan-peraturan yang ada, juga berupa perlindungan secara kontrak yang ada undang-undang bagi orang yang membuatnya yakni kontrak Production Sharing yang sudah mengatur secara jelas menyangkut kebutuhan para pihak.

2. Industri Minyak dan Gas Bumi

Dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) diatur bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagai salah satu sumber daya mineral yang tidak terbarui (unrenewable) minyak dan gas bumi menempati posisi yang penting dalam pembangunan Negara dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan menentukan kebijakan dan melakukan pengusahaan terhadap minyak dan gas bumi untuk mencapai tujuan yg terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Minyak dan Gas Bumi adalah sektor usaha yang sifatnya international business. Industri Minyak dan Gas Bumi ialah bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan seperti :

      

17 Eko August Sihombing, Skripsi: Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Pengangkutan

Orang dan Barang dalam Pengangkutan Udara Ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 9, diambil dari http://repository.usu.ac.id, yang dipostkan tanggal 1 November 2010, dan diakses tanggal 23 Maret 2014.


(22)

a. Kegiatan Eksplorasi dan Produksi

Disini titik berat kegiatan diarahkan pada usaha pencarian minyak dan gas bumi dan kemudian memproduksi minyak dan gas bumi yang telah ditemukan tersebut. kegiatan eksplorasi dan produksi merupakan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan usaha hulu memakai rezim kontrak. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama yang merupakan kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kegiatan usaha hulu migas dilakukan pengendalian oleh Badan pelaksana18.

Dikaitkan dengan teknis produksi, masa produksi dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu19 :

1) Periode produksi awal atau alamiah

Pada produksi awal atau alamiah minyak dan gas bumi diproduksi atau dikeluarkan dari perut bumi secara alamiah. Tekanan yang ada di dalam jebakan di dalam jebakan secara alamiah mendorong minyak dan gas bumi keluar dari perut bumi untuk ditampung pada fasilitas produksi yang ada di permukaan.

2) Periode produksi sekunder

Pada produksi sekunder untuk mengeluarkan minyak dan/atau gas bumi dilakukan dengan menyuntikkan kembali gas atau air ke dalam formasi untuk menghasilkan tekanan tertentu atau mengarahkan minyak dan gas bumi bergerak ke arah tertentu dalm reservoir sehingga

      

18Penjelasan Pasal 41 UU No.22 tahun 2001 yang menyatakan bahwa pengawasan atas pelaksanaan

kegiatan hulu berdasarkan kontrak kerja sama dilaksanakan oleh Badan pelaksana.

19


(23)

minyak dan/atau gas bumi dapat keluar dari perut bumi dengan tingkat aliran yang diharapkan.

3) Periode produksi tersier

Pada produksi ini minyak dan gas bumi hanya dapat dikeluarkan dari perut bumi dengan memasukkan bahan kimia tertentu ke dalam formasi yang tujuannya sama seperti pada produksi sekunder yaitu mendorong minyak dan/atau gas bumi bumi ke luar. Karena diperlukan teknologi dan upaya tambahan, tentunya dalam produksi sekunder dan tertier biaya produksi akan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikeluarkan pada produksi awal. Pengertan produksi awal, sekunder, dan tertier tidak dikaitkan dengan batasan waktu, tetapi pada metode atau teknik produksi yang digunakan. Salah satu isu penting lainnya dalam fase pengembangan dan produksi ini adalah pembagian hasil produksi. b. Pengolahan

Kegiatan ini ditujukan untuk mengolah produk hydrocarbon menjadi berbagai produk olahan sehingga dapat dipakai langsung oleh konsumen atau diolah kembal menjadi produk lainnya. Kegiatan pengolahan hydrocarbon dapat menghasilkan berbagai produk antara lain butane, propane, pentana dan seterusnya. Gas bumi dapat diolah menjadi LNG dan LPG dan berbagai produk yang dibutuhkan oleh industri petrokimia. Disamping itu masih ada produk ikutan lainnya berupa aspal dan lilin.

c. Penyimpanan

Setelah minyak dan gas bumi dikeluarkan dari perut bumi atau setelah mereka selesai diolah menjadi berbagai produk hydrocarbon, dibutuhkan tempat dan usaha penyimpanan sementara sebelum diserahkan kepada konsumen. Media penyimpanan masing-masing produk umumnya terpisah satu sama lain.


(24)

d. Pengangkutan

Fungsi ini bertujuan untuk menghantarkan hasil produksi ke konsumen. Pengangkutan hasil produksi dapat dilakukan dengan moda pengangkutan dapat berupa mobil tangki atau kereta api atau dengan jaringan pipa, di samping itu juga memungkinkan untuk dilakukan dengan angkutan laut, berupa kapal tanker dan mungkin juga jaringan pipa bawah laut. Dalam beberapa kasus tertentu dapat juga terjadi pengangkutan dengan angkutan udara, misalnya untuk menjangkau daerah yang sangat terpencil yang tidak mungkin dilalui dengan angkutan darat atau laut. Yang jelas pilihan akan jatuh pada modal angkutan yang paling murah dan efisien serta aman.

e. Pemasaran

Kegiatan yang terakhir adalah memasarkan hasil produsi, mencari konsumen dan mengikat perjanjian jual beli dengan pembeli dan mengelola pasar yang ada maupun pasar potensial. Kegiatan pemasaran dewasa ini memegang peran yang cukup penting mengingat perkembangan pola perdagangan minyak dan gas bumi yang sudah sedemikian kompetitif. Pasar sekarang sudah merupakan pasar yang demand driven, bukan yang supply driven lagi20.

Kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran merupakan bagian dari kegiatan usaha hilir Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan usaha hilir ini menggunakan rezim perizinan yaitu izin kepada badan usaha untuk melaksanakan kegiatan hilir dengan tujuan memperoleh keuntungan.

Tiap-tiap kegiatan diatas memerlukan teknologi dan pola manajemen sendiri dan relatif berbeda. Jika tidak ada aturan yang memaksakan integrasi dan monopoli industri migas, sering kegiatan-kegiatan tersebut diusahakan secara terpisah dan berdiri sendiri. Pada suatu saat setelah       

20 Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia. (Yogyakarta: Universitas Trisakti,


(25)

melewati jangka waktu tertentu produksi pasti akan terhenti karena minyak dan gas bumi tersedot dan tidak mugkin lagi dikeluakan dari perut bumi. Pada saat itu ladang minyak dan fasilitas-fasilitas produksi akan ditinggalkan.

3. Asas ultimatum remedium

Kalimat ultimatum remedium pertama kali diucapkan oleh Menteri Kehakiman Belanda pada tahun 1988. Maksudnya, hanya perbuatan-perbuatan beratlah yang harus ditanggulangi oleh hukum pidana. Ultimatum remedium didasarkan pada: (a) Hukum Pidana bersifat atributif (b) pelanggaran Hukum Lingkungan pada hakikatnya tidak penting secara etis. Sebenarnya tidak dapat dipisahkan secara tajam antara sanksi administratif dan sanksi hukum pidana kecuali terhadap perbuatan yang mencolok melanggar hukum (onrecht)21.

Hukum Pidana merupakan hukum publik. Dengan kedudukan demikian kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum pidana adalah kepentingan umum, sehingga kedudukan negara dengan alat penegak hukumnya menjadi dominan. Hukum pidana memiliki sanksi istimewa karena sifatnya yang keras yang melebihi sanksi di bidang hukum lain, berdiri sendiri, dan kadangkala menciptakan kaidah baru yang sifat dan tujuannya berbeda dengan kaidah hukum yang telah ada. sesuai dengan sifat sanksi pidana sebagai sanksi terberat atau paling keras dibandingkan dengan jenis-jenis sanksi dalam berbagai bidang hukum yang lain, idealnya fungsionalisasi hukum pidana haruslah ditempatkan sebagai upaya akhir (ultimatum remedium). penggunaan hukum pidana dalam praktik penegakan hukum seharusnya dilakukan setelah berbagai bidang hukum yang lain itu untuk mengkondisikan masyarakat agar kembali kepada sikap tunduk dan patuh terhadap hukum, dinilai tidak efektif lagi.

       21


(26)

Fungsi hukum pidana yang demikian dalam teori seringkali disebut sebagai fungsi subsidaritas. artinya, penggunaan hukum pidana itu haruslah dilakukan secara hati-hati dan penuh dengan berbagai pertimbangan secara kompherensif. Sebab selain sanksi hukum pidana yang bersifat keras, juga karena dampak penggunaan hukum pidana yang dapat melahirkan penalisasi maupun stigmatisasi yang cenderung negatif dan berkepanjangan22.

Secara kompherensif Muladi dan Barda Nawawi menguraikan makna penggunaan hukum pidana sebagai senjata pamungkas, yaitu sebagai berikut23 :

a. Jangan menggunakan hukum pidana dengan secara emosional untuk melakukan pembalasan semata.

b. Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana perbautan yang tidak jelas korban dan kerugiannya.

c. Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuk satu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana tersebut.

d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hasil sampingan (by product) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dkriminalisasi.

e. Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak efektif (unforceable).

f. Penggunaan hukum pidana juga hendaknya harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta memperhatikan pula korban kejahatan.

       22

Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm 22.

23Ibid


(27)

g. Dalam hal-hal tertentu, hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan peraturan.

h. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarang pencegahan yang bersifat non penal (prevention without punishment).

Berdasarkan penjelasan tersebut, sesungguhnya penggunaan hukum pidana bukan merupakan satu-satunya cara menanggulangi kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, lebih-lebih penggunaan hukum pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remidium) di dalam menanggulangi kejahatan24. namun apabila hukum pidana dipilih sebagai sarana penanggulangan kejahatan, maka harus dibuat secara terencana dan sistematis. ini berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan harus memperhitungkan faktor yang dapat mendukung berfungsi dan bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya25. 4. Minyak dan gas bumi

Minyak bumi dan Gas bumi (Migas) : Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidro karbon yang dalam kondisi tekanan dan temperature atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi.

5. Wanprestasi

       24Ibid

25

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996) hlm 37. `


(28)

Berdasarkan KUHPerdata, Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, dimana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya. Maksud “unsur salah” diatas adalah adanya unsur salah pada dibitur atas tidak dipenui kewajiban itu sebagaimana mestinya26. Perlu diingat bahwa pembicaraan tentang wanprestasi berangkat dari prinsip bahwa “kewajiban” harus/wajib dipenuhi debitur dengan baik.

Wanprestasi (default atau non fulfilment, ataupun yang disebut juga dengan istilah breach of contract) yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh Kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam Kontrak yang bersangkutan. tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena27 :

1. kesengajaan 2. kelalaian

3. tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)

6. Production Sharing Contract

Di dalam Article 1 huruf L The Petroleum Tax Code, 1997 diberikan defenisi dari Production Sharing Contract, yaitu:

Production Sharing Contract means an agreement entered into on or after… by the Government of indis with any person of the association or participation of the Government

      

26 Munir Fuady. Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001),

hal 88.

27Ibid


(29)

of india with any person authorized by it in business consisting of the prospecting for or extraction or production of petroleum and natural gas”28

Kontrak Production Sharing merupakan persetujuan antara Pemerintah dengan berbagai asosiasi bisnis untuk melakukan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi.

Secara umum kontrak Production Sharing digambarkan oleh Howard R. William dan Charles J.Meyers sebagai berikut:

A contract for development of mineral resources under which the contracto r’s costs are recoverable each year out of the production but there is a maximum amount of production which can be applied to this cost recovery in any year. In many such contractors, the maximum is 40%. This share of oil produced is referred to as “cost oil”. The balance of the oil (initially 60%) is regarded as “profit oil” and is divided in the net profit royalty ratio-for instance, 55% to the government. After the contactor has recovered its investment, the amount of the “cost oil” ill drop to cover operating expenses only and profit oil increases by a corresponding amount29.

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi penelitian

Menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pertimbangan titik tolak penelitian analisis terhadap Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract yang memperjanjikan kegiatan pertambangan antara Pemerintah yang diwakilkan oleh SKK Migas dengan Investor Asing sebagai Kontraktor ditinjau dari beberapa perundang-undangan yang terkait serta dari pandangan hukum asing. maka jenis penelitian yang digunakan ialah Yuridis Normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai Kontrak Bagi Hasil/ Production Sharing Contract.

Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan walaupun penelitian tidak ini tidak lepas pula dari sumber lain selain kepustakaan yakni penelitian terhadap media massa       

28

Salim HS, Op.cit hlm 304.


(30)

ataupun dari internet. oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif maka pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan. pendekatan tersebut dilakukan dengan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kontrak bagi hasil/Production Sharing Contract serta perlindungan terhadap investor.

a. Bahan Penelitian

1) Bahan Hukum Primer

Berbagai bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum ekonomi antara lain UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, PP Nomor 35 tahun 1994 tentang Ketentuan dan syarat-syarat Kontrak Bagi Hasil, PP No 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas bumi.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang bekaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi mengenai perlakuan dan pemberian fasilitas kepada penanam modal, seperti hasil seminar atau makalah dari pakar hukum, koran, majalah, kasus-kasus yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini, dan juga sumber-sumber lain yaitu internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.

3) Bahan Hukum Tersier

Mencakup kamus bahasa untuk pembenahan tata Bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa istilah asing.


(31)

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan studi kepustakaan. penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku yakni dengan menggunakan bahan-bahan bacaan atau referensi yang berupa buku-buku dan perundang-undangan yang berlaku perundang-perundang-undangan : UUD 1945, Undang-undang Minyak dan Gas Bumi No 22 tahun 2001, Undang-undang No 25 tahun 2007 dan lain-lain.

c. Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain untuk menganalisis data yang diperoleh. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif jauh lebih subyektif daripada penelitian atau survei kuantitatif dan menggunakan metode sangat berbeda. Salah satunya metodenya ialah metode Case study (studi kasus) dengan tujuan untuk mempelajari sedalam-dalamnya salah satu gejala yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat.

G. Sistematika Penulisan

Gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum adalah terdiri dari 4 (empat) Bab yang tiap Bab terbagi dalam Sub Bagian dan Daftar Pustaka serta lampiran, untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini yaitu :


(32)

BAB I : PENDAHULUAN

Yakni berisikan pendahuluan yang terdiri dari Latar belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan

BAB II : PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR BERDASARKAN KONTRAK PRODUCTION SHARING

berisikan penjelasan mengenai Kontrak Production Sharing/KPS mulai dari sejarah lahirnya KPS, landasan hukum KPS, Karakter KPS, Substansi/ Hal-hal yang diatur dalam KPS, Serta pembahasan KPS menurut beberapa Undang-Undang. selain itu juga membahas perlindungan investor mulai dari Tujuan Perlindungan Investor, Perlindungan Investor berdasarkan Perundang-undangan dan Perjanjian.

Bab III : WANPRESTASI DALAM KONTRAK PRODUCTION SHARING

berisikan tentang Wanprestasi dari sebuah kontrak/perjanjian yaitu pengertian Wanprestasi menurut KUHPerdata, serta penyelesaian perselisihan berdasarkan Kontrak Production Sharing, pekerjaan kontrak secara melawan hukum, dan pemidanaan/kriminalisasi perjanjian KPS.

Bab IV :PENYELESAIAN WANPRESTASI PT CHEVRON PACIFIC INDONESIA (CPI)

berisikan tentang analisis terhadap kasus PT Chevron Pacific Indonesia dimulai dari Program Bioremediasi Chevron untuk pemulihan tanah terkontaminasi minyak bumi, perikatan kontrak dengan perusahaan rekanan Chevron berdasarkan tender yaitu PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ), Dimensi Kerugian Negara Dalam Perkara Bioremediasi, Perjanjian


(33)

Keperdataan/PSC antara SKK Migas dan PT CPI, Putusan Peradilan Kasus Chevron, Penyelesaian Wanprestasi Berdasarkan Production SharingContract.


(34)

BAB II

PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR BERDASARKAN KONTRAK

PRODUCTION SHARING

A. Kontrak Production Sharing

Kontrak Production Sharing merupakan model yang dikembangkan dari konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat Indonesia. Konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat tersebut telah dikodifikaskan dalam Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian bagi hasil. Menurut undang-undang tersebut pengertian perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemiliki pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam hal ini disebut “penggarap” berdasarkan perjanjian mana diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak30.

Secara umum kontrak Production Sharing digambarkan oleh Howard R. William dan Charles J.Meyers sebagai berikut:

A contract for development of mineral resources under which the contracto r’s costs are recoverable each year out of the production but there is a maximum amount of production which can be applied to this cost recovery in any year. In many such contractors, the maximum is 40%. This share of oil produced is referred to as “cost oil”. The balance of the oil (initially 60%) is regarded as “profit oil” and is divided in the net profit royalty ratio-for instance, 55% to the government. After the contactor has recovered its investment, the amount of the “cost oil” ill drop to cover operating expenses only and profit oil increases by a corresponding amount31.

1. Latar Belakang Timbulnya Kontrak Production Sharing a. Indische Mijn Wet (IMW)

       30

Rudi M.Simamora, Hukum Minyak Dan Gas Bumi.( Jakarta: Djambatan, 2000), hlm 59.

31Ibid


(35)

Kontrak dibidang minyak dan gas bumi telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan saat ini. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang minyak dan gas bumi pada zaman Belanda adalah Indische Mijn Wet (IMW). Undang-undang ini diundangkan pada tahun 198932. Sejak diundangkannya Indische Mijn Wet (IMW), Pemerintah Hindia Belanda menyatakan penguasaan mereka atas mineral dan logam di Indonesia. Perbaikan kebijakan di bidang pertambangan dilakukan antara lain pada tahun 1910 dan 1918. Pada tahun 1906 telah ditetapkannya Mijnordonnantie (Ordonansi Pertambangan). Pada tahun 1910 Pemerintah Hindia Belanda menambahkan Pasal 5A pada Indische Mijn Wet (IMW) yang berbunyi sebagai berikut33 :

1. Pemerintah berwenang untuk melakukan sendiri penyelidikan dan eksploitasi selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik atau pemegang konsesi.

2. Untuk hal tersebut, Pemerintah dapat melakukan sendiri penyelidikan dan eksploitasi atau mengadakan perjanjian dengan perorangan atau perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 undang-undang ini dan sesuai perjanjian itu mereka wajib melakukan eksploitasi, ataupun penyelidikan dan ekspolitasi yang dimaksud. 3. Perjanjian yang dimaksud itu tidak akan dilaksanakan, kecuali telah disahkan dengan

undang-undang.

Inti ketentuan Pasal 5A ini adalah34 :

1. Pemerintah Hindia Belanda mempunyai kewenangan untuk melakukan peneyelidikan dan eksploitasi.

       32 Salim HS, Op.cit. hlm 17. 33

Abrar Saleng, Op.cit.hlm 65

34


(36)

2. penyelidikan dan eksploitasi itu dapat dilakukan sendiri dan mengadakan kontrak dengan perusahaan minyak dalam bentuk kontrak 5A atau lazim disebut dengan sistem konsesi. Ketentuan ini dialihkan oleh Pemerintah pada era pasca kemerdekaan dengan menerbitkan

UU No.14 tahun 1960, tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b. Undang-Undang Nomor 44 prp tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Ketentuan utama Undang-undang ini ialah:

“Segala bahan galian migas yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Pertambangan migas hanya diusahakan oleh negara dan pengusahaannya hanya dilaksanakan oleh Perusahaan Negara. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor Perusahaan Negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan. kuasa pertambangan tidak meliputi hak tanah atas permukaan bumi. demikian pula pekerjaan kuasa pertambangan tidak boleh dilakukan di wilayah yang ditutup untuk kepentingan umum35”

UU Nomor 44 Tahun 1960 ini merupakan penjabaran prinsip dasar UUD 1945, yang tercermin dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yaitu: ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” serta dalam ayat 3: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Undang-undang ini menjadi penegasan penghapusan sistem konsesi lama serta penegasan prinsip kedaulatan nasional atas sumber daya minyak dan gas. Menyadari bahwa pengembangan sumber daya minyak dan gas memerlukan investasi modal yang besar, pengalaman menggunakan teknologi canggih serta ketrampilan, maka undang-undang ini memungkinkan partisipasi perusahaan minyak asing.       

35


(37)

Namun demikian, perusahaan minyak asing tidak sebagai pemegang konsesi, melainkan hanya sebagai kontraktor bagi pemegang hak penambangan (mining right), yaitu: negara atau Perusahaan Negara36. Perjanjian final ditandatangani pada kontrak yang pada akhirnya rincian dari perjanjian dimasukkan dalam kontrak yang kemudian dikenal sebagai :”Perjanjian Karya atau Kontrak Karya”.

Butir-butir kontrak karya antara lain memuat37 :

1. Caltex, Stanvac dan Shell melepaskan hak konsesi “kontrak 5A” dan beroperasi selaku kontraktor terhadap Perusahaan Negara.

2. resiko usaha serta manajemen kegiatan di tangan kontraktor.

3. dana dan tenaga ahli untuk melaksanakan operasi disediakan oleh Kontraktor. 4. jangka waktu berlakunya perjanjian karya adalah 20 tahun

5. fasilitas pemasaran dan distribusi akan diserahkan dalam waktu 10-15 tahun.

6. pembagian adalah berdasarkan pembagian keuntungan antara Pemerintah dan Kontraktor sebesar 60%/40%. pemerintah akan menerima paling sedikit 20% dari minyak yang dihasilkan pertahun.

7. kontraktor menyerahkan 25% dari bagiannya kepada Pemerintah sebagai Domestic Market Obligation (DMO) dan memperoleh 0,2$/barel sebagai fee.

Perjalanan Perjanjian Karya ini didapati bahwa perusahaan asing tidak lagi menikmati status sebagai pemegang konsesi, namun pada praktiknya tidak ada perubahan yang signifikan, perusahaan minyak asing seperti biasa melakukan operasionalnya sementara pemerintah terbatas dalam hal pengawasan38.

c. Penghapusan Perjanjian Karya       

36Ibid hlm 41. 37

Ibid hlm 42

38Ibid


(38)

Perjanjian Karya ini ternyata ditentang sehingga mendorong lahirnya Konsep kontrak Production Sharing. Kontrak Production Sharing ini pertama kali dimunculkan pada tahun 1960 di Venezuela oleh Ibnu Sutowo. Ibnu Sutowo adalah seseorang yang menentang sistem kontrak karya karena tidak yakin bahwa sistem ini akan membawa perubahan dibanding sistem Konsesi sebelumnya. Ketidakpuasan terhadap sistem kontrak karya mendorong lahirnya sistem bagi hasil dimana dua pihak yang terlibat (pemerintah sebagai tuan rumah dan perusahaan minyak asing) berbagi hasil produksi minyak dan gas yang dihasilkan, bukan berbagi hasil penjualan minyak dan gas bumi sebagaimana dilakukan pada sistem kontrak karya. Pemerintah selaku tuan rumah juga mempunyai kewenangan manajemen39.

Perusahaan minyak besar tidak siap menerima konsep bagi hasil yang dicetuskan Ibnu Sutowo ini, mereka juga tidak bersedia untuk melepaskan kewenangan manajemen sebagai ketentuan dan persyaratan PSC40. Dalam situasi seperti ini, masuklah perusahaan minyak kecil independen yang cenderumg lebih fleksibel terhadap ketentuan dan persyaratan pemerintah dibanding perusahaan minyak besar. Perusahaan minyak yang pertama masuk tersebut ialah Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO). IIAPCO sebelumnya pernah menjaj4rfgaki investasi migas untuk kontrak di lepas pantai Jawa pada tahun 1964 namun tidak berhasil. mereka kembali awal tahun 1966, setelah dua bulan negosiasi, IIAPCO menandatangani Kontrak Bagi Hasil dengan PERMINA, sekaligus tercatat sebagai kesepakatan PSC pertama dalam sejarah industri migas dunia41.

       39Ibid

40Tim Penulis Manajemen Pembangunan, Dinamika Kepemimpinan dalam Pertamina, ( Jakarta: Lembaga

Administrasi RI, 1996), hlm 43

41


(39)

Pada tahun 1966, Ibnu Sutowo telah menawarkan substansi (isi) kontrak Production Sharing kepada para kontraktor asing. Isinya adalah sebagai berikut42 :

1. Kendali manajemen di pegang oleh Perusahaan Negara. 2. Kontrak akan didasarkan oleh pembagian keuntungan

3. Kontraktor akan menanggung resiko praproduksi, dan bila minyak ditemukan, penggantian biaya dibatasi sampai maksimum 40% dari minyak yang dihasilkan.

4. Sisa 60% dari produksi (lebih dari biaya perlunasan adalah dibawah maksimum 40%) akan dibagi dengan komposisi 65% untuk Perusahaan Negara dan 35% untuk kontraktor.

5. Hak atas semua peralatan yang dibeli kontraktor akan dipindahkan kepada Perusahaan Negara begitu peralatan itu masuk ke Indonesia, dan biaya ditutup dengan formula 40%. Perdebatan mengenai legalitas juga muncul saat PSC diperkenalkan mengingat UU Nomor 44 tahun 1960 tidak mengenal PSC melainkan Perjanjian Karya. Tetapi karena belum adanya landasan hukum, banyak investor kemudian menanyakan keabsahan PSC. Sementara UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) mengatur investasi asing untuk sektor pertambangan, sedangkan untuk sektor migas tidak mengikuti peraturan dan prosedur UU PMA tetapi mengacu kepada UU 44 tahun 196043.

d. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 dan Undang Nomor 22 Tahun 2001

Konsep kontrak Production Sharing yang ditawarkan oleh Ibnu Sutowo kemudian dituangkan dalam UU Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina, sebagai dasar hukum PSC yang dimuat dalam Pasal 12 ayat 1, yang berbunyi: ”Perusahaan dalam hal ini Pertamina, dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Production Sharing”. Dan ayat 2 yang berbunyi: “ Syarat-syarat kerja sama sebagaimana terdapat dalam ayat 1 Pasal ini akan       

42

Salim HS, Op.cit., hlm 266-267

43


(40)

diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)”. Ternyata dalam perjalanannya, perlu waktu yang panjang (23 tahun) untuk mengeluarkan PP yang dimaksud. PP No 35 tentang “Syarat-syarat dan pedoman kerja sama Kontrak Bagi Hasil minyak dan gas bumi” baru diterbitkan tahun 199444.

Konsep kontrak Production Sharing ternyata mendapat sambutan yang hangat dari para kontraktor asing sehingga 59 perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia berdasarkan prinsip kontrak Production Sharing. Prinsip kontrak Production Sharing kini telah dikuatkan telah dikuatkan oleh Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi45.

Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 menentukan bahwa para pihak yang terkait dalam kontrak Production Sharing adalah Badan Pelaksana dengan badan usaha usaha atau bentuk usaha tetap, bukan lagi Pertamina. Sementara itu, status Pertamina saat ini adalah sebagai Perusahaan Perseroan (PERSERO)46.

2. Konsep Teoritis Kontrak Bagi Hasil/ Production Sharing Contract

Kontrak Bagi Hasil merupakan terjemahan dari istilah Production Sharing Contract (PSC). Dalam Russia’s law on Production Sharing Agreement tahun 1995 dan The Petroleum Tax Code tahun 1997, istilah yang digunakan adalah Production Sharing Agreement (PSA), sedangkan di Suriname, istilah yang lazim digunakan adalah Production Sharing Service Contract (PSSC)47. Di Indonesia istilah Production Sharing ditemukan dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina Jo Undang-Undang Nomor 10 tahun 1974 tentang Perubahan Undang-Undang No 8 tahun 1971 Pertamina. Sementara itu dalam       

44

Hoesein Wiriadinata, Praktik Perjanjian Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dalam Perspektif Hukum Indonesia,Jurnal hukum Bisnis, Vol.2 No.2,2007,h.16-21

45 Salim, Op.cit., hlm 267.

46 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk PERTAMINA

menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)

47


(41)

Pasal 1 angka 19 Undang-Undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, istilah yang digunakan adalah dalam bentuk Kontrak Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama ini dapat dilakukan dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kerja sama lainnya. Dalam PSA ini dimungkinkan kontrak itu dibuat antara Negara dengan Investor. Negara berkedududkan sebagai pemilik sumber daya alam, sementara investor merupakan lembaga atau badan hukum yang menanamkan investasinya di dalam bidang minyak dan gas bumi. PSA ini bertujuan untuk melindungi investasi yang ditanamkan oleh Investor48.

Kontrak Production Sharing ditemukan dalam Pasal 1 angka 19 Undang-Undang No 22 tahun 2001. Dalam Pasal ini berbunyi bahwa Kontrak Kerja Sama ialah: “ Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.”

Pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak Production Sharing, tetapi difokuskan pada konsep teoritis kerja sama di bidang minyak dan gas bumi. Kerja sama dalam bidang minyak dan gas bumi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kontrak Production Sharing dan kontrak-kontrak lainnya. pengertian kontrak Production Sharing dapat kita baca dalam Pasal 1 angka (1) PP Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. Kontrak Production Sharing adalah49 :

“Kerja sama antara Pertamina dan Kontrakto untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkanpembagian hasil produksi”

Sebagai perjanjian bagi hasil, dalam kontrak Production Sharing para pihaknya adalah Pertamina dan Kontraktor. Tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 para       

48

Ibid

49Ibid


(42)

pihaknya adalah Badan Pelaksana dan Badan Pelaksana dengan badan usaha tetap atau bentuk usaha tetap. Dengan demikian, defenisi ini perlu dilengkapi dan disempurnakan menjadi :

“Perjanjian atau kontrak yang dibuat antara badan usaha tetap atau bentuk usaha tetap untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan pembagian hasil produksi”50.

Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. Fungsi Badan Pelaksana ini adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik Negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat51.

Badan usaha adalah Perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus didirikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan RI52 .

Badan usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara kesatuan RI yang melakukan kegiatan di wilayah Negara kesatuan RI dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di RI.

a.Landasan Hukum Kontrak Production Sharing

Dasar hukum kontrak Production Sharing ialah Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Nomor 44 prp. Tahun 1960 jo Pasal 10 ayat 1 UU PP 1967. Meskipun kedua undang-undang yang disebut pertama diatas disebut sebagai dasar hukum kontrak Production Sharing, namun di dalamnya       

50

Ibid

51 Pasal 44 UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 10 PP Nomor 42 tahun 2002

tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas bumi

52

PP Nomor 42 tahun 2002 tentang Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap bidang Kegiatan Hulu Usaha Minyak dan gas bumi.


(43)

tidak disebutkan kontrak Production Sharing, melainkan istilah perjanjian karya, sedangkan istilah kontrak Production Sharing terdapat dalam ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 8 tahun 197153.

Adapun Peraturan Perundang-undangan Kontrak Production Sharing, yaitu54: 1. UU 14 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

2. UU 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Perpu 2/1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri

3. UU 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan gas Bumi

4. PP 41 Tahun 1982 tentang Kewajiban dan Tata Cara penyetoran Pendapatan Pemerintah dari Hasil Operasi Pertamina Sendiri, dan Kontrak Production Sharing.

5. PP 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi

6. Kepperes 42 Tahun 1989 tentang Kerja Sama Pertamina dengan Badan Usaha Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi

7. Keppres 169 Tahun 2000 tentang Pokok Pokok Organisasi Pertamina

8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.010/2005, tanggal 3 Maret 2005, tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor Tidak Dipungut Atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Minyak dan Gas Bumi.

9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 79/PMK.02/2012, Tanggal 24 Mei 2012, tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara Dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Perhitungan Pajak Penghasilan Untuk Keperluan       

53

Abrar Saleng, Op.cit. hlm 85

54


(44)

Pembayaran Pajak Penghasilan Minya Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.

10.Peraturan Dirjen Bea dan Cukai – PER – 04/BC/2005, tanggal 31 Maret 2005, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 20/PMK.010/2005, tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam Rangka Impor Tidak Dipungut Atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing ContractI) Minyak dan Gas Bumi. Telah diubah dengan, Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. 04/BC/2005, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 20/PMK.010/2005, tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam Rangka Impor Tidak Dipungut Atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing ContractI) Minyak dan Gas Bumi.

11.Kepmenkeu No, 457/KMK.012/1984, tanggal 21 Mei 1984, tentang Petunjuk Jenis-Jenis Harta Dalam Masing Masing Golongan Harta Untuk Keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor yang Melakukan Kontrak Production Sharing Dalam Explorasi dan Exploitasi Minyak dan Gas Bumi Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) yang Ditandatangani Setelah UU No. 7 Tahun 1985. Telah diubah dengan, Kepmenkeu No. 120/KMK/0.12/1986, tanggal 5 Maret 1986, tentang Perubahan Ketentuan Pasal 3 Kepmenkeu No. 457/KMK.012/1984 tanggal 21 Mei 1984. Kemudian telah dicabut dengan, Kepmenkeu No. 521/KMK.04/2000, tanggal 14 Desember 2000, tentang Jenis-jenisHarta yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Untuk Keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor yang Melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi Dalam Rangka Kontrak Bagi Hasil Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA).


(45)

12.Permenkeu No. 39/PMK.011/2013, tanggal 27 Februati 2013, tentang Kewajiban Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan yang Terutang Kepada Pihak Lain Oleh Perusahaan yang Terikat Dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan.

13.Kepmenkeu No. 83/KMK.04/1999, tanggal 25 Februati 1999, tentang Penyusutan Atas Harta berwujud yang Dimiliki dan Digunakan Kontraktor yang Melakukan Kontrak Bagi Hasil di Bidang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerjasama Zona A Celah Timor.

b. Ciri-ciri utama kontrak Production Sharing

Jika diteliti dari berbagai variasi kontrak Production Sharing ada beberapa ciri-ciri utama yang terlihat yaitu55 :

1) Manajemen ada di tangan Negara (Perusahaan/Lembaga Negara).

Dalam bentuk Kontrak Production Sharing, Negara umumnya diwakili oleh Perusahaan Negara misalnya di Indonesia Pertamina dan Petronas di Malaysia dan diubah kembali dengan membentuk perwakilan negara dalam lembaga SKK Migas. Pembentukan Perusahaan Negara untuk mewakili Negara dalam bentuk kontrak Production Sharing adalah dilatarbelakangi oleh pertimbangan hukum bisnis, maksudnya dengan membentuk Perusahaan Negara keterlibatan Negara dalam manajemen operasional, yang tentunya beresiko bisnis yang relative unpredictable dan unlimited, dapat dialihkan kepada Perusahaan Negara. Selain itu Negara sebagai institusi kedaulatan memiliki keterbatasan alamiah untuk dapat terlibat langsung dalam operasional bisnis.

2) Manajemen di tangan Negara       

55


(46)

Artinya Negara ikut serta mengawasi jalannya operasi secara aktif dengan tetap memberikan kewenangan kepada kontraktor untuk bertindak sebagai operator dan menjalankan operasi di bawah pengawasannya. Negara terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan operasional yang biasanya dijalankan dengan mekanisme persetujuan (approval). Inti persoalan dalam masalah ini adalah batasan sejauh mana persetujuan Negara atau Perusahaan Negara diperlukan dalam proses pengambilan keputusan. Ketentuan ini lekat dengan nuansa juridis-politis56. Dengan kuasa pertambangan minyak dan gas bumi tidak melepaskan kontrolnya atas pelaksanaan hak pengusahaan pertambangan. Yang terjadi adalah pendelegasian dan derivasi kewenangan, sedangkan hak asal tidak berubah dan tidak dialihkan sama sekali. Khusus untuk Indonesia, ketentuan ini merupakan tuntutan konstituonal dari Pasal 33 UUD 1945.

3) Penggantian biaya operasi (operating cost recovery)

Konsep penggantian biaya ini juga pertama kali diterapkan oleh Indonesia. Sebagai contoh, dalam standard Kontrak Production Sharing PERTAMINA hal ini diatur dalam klausula yang berbunyi sebagai berikut: “ Contractor will recover all operating cost out of the sales proceeds or other disposition of the required quantity of crude oil equal in value to such operating costs which is produced and saved hereunder and not used in Petroleum Operations….”.

4) Adanya penggantian biaya operasi

Yaitu yang telah dikeluarkan oleh kontraktor dalam Kontrak Production Sharing mengandung makna bahwa kontraktor mempunyai kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu biaya operasi yang diperlukan, yang kemudian diganti kembali dari hasil penjualan atau dengan       

56 Yakni peran negara sebagai pemegang kuasa pertambangan tetapi juga mengontrol pelaksanaan

pertambangan, kepada pengusaha pertambangan ialah sebagai penyerahan kewenangan untuk melaksanakan pertambangan melalui peraturan perundang-undangan juga kontrak yang telah disepakati.


(47)

mengambil bagian dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Jika dalam satu tahun kalender tertentu, kontraktor tidak mendapatkan penggantian biaya operasi secara penuh karena ternyata hasil produksi atau hasil penjualan dibawah biaya operasi, maka kekurangan akan diperhitungkan pada tahun berikutnya. Besaran penggantian biaya operasi ini tidak harus selalu penggantian penuh (full recovery), bisa saja hanya sebagian tergantung dari hasil negosiasi, sebagai contoh kontrak Production Sharing Myanmar hanya memberikan penggantian biaya maksimum 40% dari keseluruhan minyak dan gas bumi yang dihasilkan.

5) Pembagian Hasil Produksi (production split)

Pembagian hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi dan kewajiban lainnya merupakan keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor dan pemasukan dari sisi Negara. Besaran pembagian hasil produksi ini berbeda-beda antara Negara satu dengan Negara lainnya, dan juga berbeda dari satu kontrak Production Sharing satu dengan lainnya di dalam satu Negara tergantung dari berbagai faktor yang terkait misalnya faktor keterpencilan (remoteness), semakin terpencil tentu akan semakin tidak menarik bagi investor, sehingga harus diberikan berbagai insentif yang mungkin berupa pengurangan beban pajak, bonus produksi yang lebih kecil dan sebagainya.

6) Pajak (Tax).

Yang dimaksud dengan pajak ini adalah semua pajak oleh ketentuan hukum dikenakan atas kegiatan operasi kontraktor disuatu Negara tertentu terutama pajak penghasilan perusahaan. Pengenaan pajak penghasilan perusahaan ini dikaitkan erat dengan besarnya pembagian dimaksud hasil produksi antara Negara dengan kontraktor. Umumnya dalam Kontrak Production Sharing kontraktor tidak dikenakan pajak tanah (surface tax) sebagaimana biasanya dalam konsesi. Prinsipnya adalah semakin besar bagian Negara maka pajak penghasilan yang


(48)

dikenakan atas kontraktor akan semakin kecil sehingga pilihannya adalah apakah bagian Negara diperbesar dengan sebaran kewajiban fiscal lainnya diperkecil atau sebaliknya bagian Negara diperkecil dengan sebaran kewajiban fiskal lainnya diperbesar. Pendekatan yang terakhir cocok untuk kondisi dimana tingkat kepastian cadangan rendah sehingga penerimaan negara lebih dijamin oeh kewajiban fiskal daripada bertumpu pada pengambilan bagian yang menjadi hak Negara, dan logika sebaliknya berlaku untuk pendekatan yang pertama.

7) Kepemilikan asset ada pada Negara (Perusahaan Negara).

Umumnya semua peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan operasi menjadi milik Perusahaan Negara segera setelah dibeli atau setelah depresiasi. Defenisi setelah dibeli berbeda dari satu Negara ke Negara lainnya demikian juga dengan metode penghitungan depresiasi yang digunakan berbeda dari satu Negara ke Negara lainnya. Dalam kontrak Production Sharing Pertamina klausula yang mengatur hal ini berbunyi sebagai berikut :” Equipment purchased by Contractor pursuant to the work program becomes the property of Pertamina (in case of import, whwn landed at the Indonesian ports of import) and will be used in Petroleum operations hereunder”. Ketentuan ini mengecualikan peralatan yang disewa karena kepemilikannya memang tidak pernah beralih kepada kontraktor.

a. Klasifikasi Kontrak Production Sharing

Salah satu pakar fiskal perminyakan, Daniel Johnston membuat klasifikasi kontrak di industri hulu migas yang ditunjukkan pada gambar 1.1. pada prinsipnya, pengaturan sistem kontrak migas antara Negara tuan rumah dan investor dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem konsesi dan sistem kontrak. Sistem kontrak dapat digolongkan menjadi Production Sharing


(49)

Contract (PSC) dan Service Contract. Selanjutnya Service Contract dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu Pure Service Contract dan Risk Service Contract57.

Gambar 1: Klasifikasi Kontrak di Industri Hulu Migas 58

b. Karakter Kontrak Production Sharing

Substansi Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas bumi yaitu 59 : a. Jangka waktu

Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun dengan masa eksplorasi 6 tahun dan perpanjangan masa eksplorasi selama 4 tahun. Adapun kontrak yang telah habis jangka waktunya dapat diperpanjang kembali 20 tahun.

b. Penyisihan Wilayah Kerja

Ditujukan untuk mempercepat kegiatan eksplorasi, dengan persentase 25% pada tiga tahun pertama, 25% pada 6 tahun pertama dan 30% pada saat atau sebelum akhir tahun kesepuluh. Kontaktor hanya diperbolehkan mempertahankan wilayah kerja yang diusahakan dengan       

57 Benny Lubiantara, Op.cit., hlm 6 58

Ibid

59

Adrian Sutedi,

Petroleum Fiscal Arrangement

Consessionary System Contractual system

Production Sharing Contract Service Contract

Risk Service Contract Pure Service Contract 


(50)

pesentase 20% (termasuk wilayah yang dikembangkan), penyisihan secara keseluruhan pada saat pengakhiran kontrak.

c. Program kerja dan anggaran

Disiapkan dan diajukan untuk mendapatkan persetujuan Badan Pelaksana terdiri dari komitmen pasti selama 3 tahun (tercantum dalam dokumen penawaran lelang) dan komitmen 6 tahun dengan penekanan pada program kerja berdasarkan ketentuan kontrak.

d. Manajemen kontrak

Manajemen operasi (termasuk persetujuan program kerja dan anggaran) menjadi tanggung jawab Badan Pelaksana, sedangkan pelaksanaan program kerja dan anggaran menjadi tanggung jawab kontraktor.

e. Pengalihan

Pengalihan interest ekonomi kepada perusahaan afiliasi cukup dengan sepengetahuan Badan Pelaksana, sedangkan pengalihan terhadap perusahaan non afiliasi harus dengan persetujuan Badan Pelaksana dan Pemerintah batasan terhadap pengalihan ini terdapat pada 3 tahun pertama, terhadap kontraktor berlaku kebijakan Ring Fence dimana kontraktor hanya boleh menangani 1 wilayah kerja.

f. Kredit investasi dan biaya operasi

Kredit investasi (dapat diterapkan pada lapangan baru dan pengembangan yang langsung berhubungan dengan fasilitas produksi minyak mentah) dan biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor akan diperoleh kembali melalui hasil penjualan atau pembagian minyak mentah setiap tahun kelender.


(51)

Kontraktor berkewajiban menyediakan semua dana untuk membeli dan menyewa peralatan, peralatan yang dibeli tersebut status hukumnya menjadi milik pemerintah ketika peralatan tersebut memasuki wilayah Indonesia tetapi penguasaannya diserahkan pada kontraktor.

h. FTP-I dan FTP-II

First Tranche Petroleum-I adalah hak para pihak untuk mengambil dan menerima sebagian minyaknya (20 atau 15%) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP tersebut akan dibagi antara Badan Pelaksana dan kontraktor sesuai dengan bagian masing-masing dalam Kontrak Kerja Sama. First Tranche Petroleum-II adalah hak Badan Pelaksana untuk mengambil dan menerima sebgaian minyaknya (10%) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP ini tidak akan dibagi antara Badan Pelaksana dan kontraktor.

i. Kompensasi, Bantuan dan Bonus

Terdiri dari kompensasi informasi, bonus peralatan, dan bonus produksi wajib diserahkan kontraktor kepada pemerintah tanpa membebankan pada biaya operasi.

j. Tenaga kerja

Kontraktor harus menyediakan semua teknologi yang diperlukan dan tenaga kerja asing (ekspatriat). Kontraktor setuju untuk memperkerjakan tenga kerja Indonesia yang bermutu dan memperhatikan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia, selain itu kontraktor berkewajiban membantu pelatihan tenaga kerja Badan Pelaksana.


(1)

hukum perdata. Hal ini berarti pelanggaran terhadap Kontrak Production Sharing tidak dapat dipidanakan. Jika dipidanakan berarti terdapat kriminalisasi terhadap kontrak dan hal ini sangat bertentangan dengan asas perjanjian dan asas hukum perdata. Kriminalisasi terhadap kontrak hanya akan menimbulkan ketidakpastian dalam hukum khususnya hukum perjanjian, bahkan lebih dari itu akan menimbulkan keraguan dari para investor yang menanamkan modal di Indonesia. Tentu saja bila itu terjadi maka tujuan UU Nomor 25 tahun 2007 meningkatkan penanaman modal di Indonesia menjadi tidak tercapai.

3. Kasus Bioremediasi PT CPI dapat diselesaikan secara perdata dengan tetap juga memperhatikan hukum lingkungan sebab bioremediasi merupakan tanggung jawab dari hukum lingkungan. Bioremediasi diatur dalam Kemenlh No 128 tahun 2003 maka bioremediasi dibuktikan sesuai kepmen tersebut. Bila dilihat secara hukum lingkungan maka PT CPI dilindungi juga melalui UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup yang menyatakan bahwa terhadap pelanggaran tanggung jawab lingkungan maka dapat diberikan teguran tertulis, pencabutan izin usaha, maupun penutupan perusahaan. Ini menegaskan bahwa bila PT CPI (Menurut Kemenlh) tidak mengerjakan tanggung jawab lingkungan maka dapat diberikan sanksi-sanksi tersebut. Ternyata Kemenlh menilai bahwa PT CPI taat terhadap tanggung jawab lingkungan. Penyelesaian kasus PT CPI sangat tepat bila dikembalikan kepada jalur perdata. Para pihak dalam kontrak (SKK Migas dengan PT CPI ) dapat berunding bersama untuk penyelesaian kasus ini. Dan setiap pihak (Kejagung) harus menghormati hasil kesepakatan tersebut sebab Kontrak PSC adalah Undang-undang bagi Para pihak. Perlu pembuktian yang benar untuk menyelesaikan kasus ini.


(2)

Setelah melihat berbagai kondisi yang ada, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. seluruh kekayaan alam negara adalah untuk kemakmuran rakyat maka seharusnya setiap

kegiatan yang dilakukan untuk kekayaan alam itu dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai amanah UUD 1945.

2. Perlunya pengawasan yang efektif untuk setiap kegiatan pertambangan dalam hal ini pertambangan minyak dan gas bumi sebab pertambangan minyak dan gas bumi merupakan kegiatan yang memiliki peran yang besar dalam pembangunan bangsa serta merupakan kegiatan yang memiliki sumber daya terbatas. pengawasan terhadap Para Pelaku pertambangan termasuk Investor Asing yang mengerjakan pertambangan perlu ditingkatkan supaya sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam kontrak.

3. Pentingnya tetap melakukan evaluasi terhadap setiap kontrak pertambangan supaya ada perkembangan yang baik bagi negara. Tujuannya agar negara tidak sekedar melepas kekayaan negara untuk diambil investor asing saja tetapi juga dapat mendapatkan keuntungan yang maksimal dan sesuai dengan nilai pertambangan sesungguhnya yang sudah diambil itu. Ini penting mengingat negara Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam namun rakyatnya masih banyak yang hidup dalam garis kemiskinan.

4. Perlindungan terhadap Investor Asing juga penting dilakukan agar mereka tetap mau berinvestasi di negara ini sehingga menambah pendapatan negara.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001

Harahap, M.Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid 2 (Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika, 1985.

Himawan, Charles. Hukum sebagai Panglima. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.

Lubiantara, Benny. Analisis Kebijakan Fiskal Opec Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2012.

Machmud, Syahrul. Problematika Penerapan Delik Formil dalam perspektif penegakan Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2012.

Nugroho, Astri. Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. Jakarta: Graha ilmu FTI-Universitas Trisakti, 2006.

Pertamina, Berbakti Pada Bangsa: Refleksi 50 Tahun Pembangunan Minyak Dan Gas Bumi Di Indonesia.

Reksohadiprodjo, Sukanto. Industri minyak dan gas Bumi. Yogyakarta: BPFE, 1986. Saleng, Abrar. Hukum Pertambangan Yogjakarta:UII Press, 2004.


(4)

Hukum Pertambangan, Mineral Dan Batu Bara. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Sanusi, Bachrawi. Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Universitas Trisakti, 2002.

.Potensi ekonomi migas Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004.

Satrio, J. Wanprestasi menurut KUHPerdata, Doktrin dan Yurisprudensi. Purwokerto: PT Citra Aditya Bakti, 2012

Sembiring, Sentosa. Hukum Investasi : Pembahasan dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007. Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2010

Simamora, Rudi M. Hukum Minyak Dan Gas Bumi. Jakarta: Djambatan, 2000.

Sudrajat, Nandang. Teori Dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010.

Supriadi. Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar. Jakarta: Sinar Grafika , 2005. Sutedi, Adrian. Hukum Pertambangan. Jakarta: Sinar grafika, 2011

Tim Penulis Manajemen Pembangunan Lembaga Administrasi Negara RI. Dinamika Kepemimpinan dalam Pertamina. Jakarta: Majalah pembangunan Lembaga Administrasi Negara RI, 1996 .

Witanto, D. Y. Dimensi Kerugian Negara dalam hubungan kontraktual Suatu Tinjauan Risiko  Kontrak Dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Bandung: CV Mandar  Madju, 2012 


(5)

B. Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak bumi dan Gas Bumi Undang-undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina

Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

PP Nomor 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas bumi. UU Nomor 15 tahun 1962 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Neg,eri

PP Nomor 41 tahun 1982 tentang Kewajiban dan Tata Cara penyetoran Pendapatan Pemerintah dari Hasil Operasi Pertamina Sendiri, dan Kontrak Production Sharing

PP Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi

Kepperes Nomor 42 tahun 1989 tentang Kerja Sama Pertamina dengan Badan Usaha Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi

Undang-undang No. 44 prp 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi. C. Website

1. www.kppod.or

2. Indra Purnama , “ Meniliki Kasus Chevron”

D. Skripsi Dan Tesis

1. Eko August Sihombing: Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Pengangkutan Orang dan Barang dalam Pengangkutan Udara Ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009.


(6)

2. Hoesein Wiriadinata, Praktik Perjanjian Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dalam Perspektif Hukum Indonesia.


Dokumen yang terkait

Perlindungan Terhadap Investor dari Penerapan Ketentuan Pidana pada Perbuatan Wanprestasi Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract (Studi Kasus Pada PT Chevron Pacific Indonesia)

2 52 145

Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Ketentuan Kontrak Standar Pada Pembiayaan Syariah Bank Syariah Mandiri Dikaitkan Dengan Ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

1 78 148

Hubungan Pelaksanaan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan Terjadinya Kecelakaan Kerja Pada PT Chevron Pacific Indonesia Duri Tahun 2011.

67 288 147

Penerapan Batas-Batas Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Suatu Perikatan

11 108 97

Akibat Hukum Wanprestasi Reksadana Dikaitkan Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Investor (Studi di BNI 46 Cab. Medan)

1 38 102

Perlindungan Hukum Bagi Investor Terhadap Praktik Insider Trading Dalam Perdagangan Saham

0 34 139

Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)

0 43 139

Perlindungan Hukum Bagi Investor Terhadap Praktik Insider Trading Pada Pasar Modal di Indonesia

5 104 66

Analisis Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Tindak Pidana Perkosaan Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak (Studi Kasus Wilayah Hukum Lampung Utara)

1 17 51

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR BERDASARKAN KONTRAK - Perlindungan Terhadap Investor dari Penerapan Ketentuan Pidana pada Perbuatan Wanprestasi Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract (Studi Kasus Pada PT Chevron Pacific Indonesia)

0 0 40