Agama Dalam Konteks Perubahan Budaya Pen (1)

Agama Dalam Konteks Perubahan Budaya
A. Pendahuluan
Agama adalah suatu kata yang tidak dapat dimaknai secara tunggal.
Islam memiliki banyak penapsiran yang beda-beda, tergantung masingmasing individu memaknainya seperti apa. Memandang Agama tidak selsai
hanya dengan satu kaca mata saja. Agama harus dipandang oleh beberapa
sudut pandang yang komprehensif agar dapat memberikan gambaran yang
seutuhnya.
Memahami arti dari Agama adalah salahsatu keharusan bagi setiap
Individu agar tidak terjadi salah penapsiran yang akan menyebabkan pada
radikalisme fundamentalisme. Istilah “Radikalisme” dan “Fundamentalisme”
terjadi ketiak seseorang tidak menemukan jawaban dari apa yang
dibutuhkannya dalam menjawab tantangan hidup. Para radikalis dan
fundamentalis akan kembali pada teks asli suatu Agama dan menutup mata
atas kebudayaan lokal yang berkembang disekitarnya. Ini adalah salahsatu hal
yang membuat Agama tetap tergendang dalam satu wadah dan tidak mau
mengalir dan berkembang ke sisi-sisinya yang lain.
Membuka wawasan tentang Agama adalah salahsatu modal utama untuk
dapat menjawab permaslahan-permasalahan yang mendesak ini. Telebih lagi
dunia sekarang sedang sibuk membicarakan arus gelobalisasi yang semakin
deras. Agama dalam hal ini sangat berperan penting dalam meminimalisir
arus gelobalisasi yang sifatnya negatif dan mencegah masyarakat lokal yang

semakin konsumtif dan westernilis.
Agama yang dalam hal ini dipersempit menjadi paham keagamaan,
haruslah fleksibel bukan malah menjadi kaku dan seakan-akan acuh terhadap
perubahan dan dinamika masyarakat yang semakin berkembang. Bambang
pranomo menjelaskan lebih jauh tentang Agama dan perubahan budaya.

1

B. Sekilas Tentang Pemikiran Bambang Pranomo
Menurut Bambang. Agama terutama Agama Islam di Indonesia sangatlah
beragam. Masing-masing wilayah memiliki faham dan tingkahlaku
keagamaan yang beda-beda. Perbedaan ini terjadi karena adanya kebudayaan
yang berbeda-beda. Bukan hanya itu. Kebutuhan yang beda-beda disetiap
daerah juga akan membuat pemahaman tentang Agama yang beda-beda pula.
Hal ini sudah menggambarkan bahwa Agama adalah suatu hal yang fleksibel
yang keberadaanya terus berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
yang memeluknya.
Bambang Pranomo menjelaskan ada tiga dampak respon masyarakat jika
suatu faham keagamaan tidak dapat berkembang dan tidak dapat menjawab
kebutuhan masyarakat. Diantaranya adalah suatu paham yang tidak dapat

menjawab persoalan yang dihadapi suatu masyarakat, maka masyarakat
tersebut akan beralih pada paham lain yang menurutnya mampu menjawab
persoalan yang sedang diharapinya. Reaksi masyarakat yang kedua adalah,
masyarakat yang tidak menemukan jawaban atas maslah yang dihadapinya,
maka dia akan cenderung pasif terhadap agamnya. Dia menganggap bahwa
agamanya sudah tidak berfungsi lagi dalam kehidupannya. Masyarakat seperti
ini merasa dia bisa hidup walau tanpa Agama. Yang terakhir adalah respon
yang sangat ekstrim. Dimana dia bukan hanya berpindah paham keagamaan,
namun lebih jauh dari itu. Dia berpindah Agama (Murtad). Murtad adalah
dampak terbutuk dari ketidak mampuanya suatu paham keagamaan/ Agama
dalam menjawab permasalahan seseorang.

C. Gambaran Umum Desa Cigarukgak
Desa Cigarukgak adalah suatu wilayah pedesaan yang wilahnya 60%
masih berupa pesawahan dan ladang. Desa ini terletak di Kecamatan

2

Ciawigebang, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Desa Cigarukgak
adalah suatu desa yang terletak 14 Km dari pusat kota Kuningan. Cukup

terpencil dan jauh dari keramayan. Mayoritas penduduknya adalah petani, dan
sebagian lainya adalah perantau. Ibu Kota Negara adalah salah satu rantawan
utama masyarakat Desa Cigarukgak. Pekerjaan mereka beragam, di muali
dari yang berpropesi sebagai pedagang, buruh bangunan, hingga pembantu
rumah tangga, montir, hingga buruh di suatu perusahaan. Para perantau ini
didominasi oleh kaum muda yang berusia 15 hingga 30 tahun untuk
pedagang, montir, buruh perusahaan, dan pembantu rumah tangga, dan yang
berusia 30 ke atas rata-rata bekerja sebagai buruh bangunan di Jakarta dalam
proyek-proyek besar milik negara hingga pembangunan rumah milik pribadi.
Mereka yang merantau rata-rata adalah mereka yang putus sekolah
Dasar, SMP ataupun SMA. Adapun yang lulus SMK nasibnya agak lebih
beruntung. Mereka bisa bekarja di sebuah perusahaan atau sebagai montir
motor atau mobil. Namun ada juga lulsan SMK yang bekerja sebagai buruh,
misal di pabrik ban atau baud.
Sedangkan yang tetap tinggal di desa mayoritas berprofesi sebagai
petani, adapun para peternak kambing dan unggas hanyalah sampingan ketika
mereka tidak dapat membajal sawah atau ketika tidak ada pekerjaan di sawah/
ladang. Sebagain lainya berprofesi sebagai guru dan tukang bangunan.

D. Prilaku Keagamaan di Desa Cigarukgak

Mengambil istilah Clifford Geertz yang pengkalisifikasian masyarakat
berdasarkan prilakukeagamaan orang jawa yang dibagi menjadi tiga bagian,
diantaranya adalah masyarakat Abangan, Santri dan Priyayi. Penulis jiga
akan mengkalisifikasikan pola tingkahlaku keagamaan di Desa cigarukgak ke
dalam tiga kelompok yakni masyarakat petani, masyarakat terpelajar dan
masyarakat santri:

3

1. Petani.
Masyarakat petani adalah masyarakat mayoritas di Desa
Cigarukgak. Kehidupan masyarakat petani ini lebih berorientasi pada
kebutuhan biologis masing-masing. Mereka berusaha survive
bertahan hiup dengan memanfaatkan alam sekitar dengan bercocok
tanam. Pada prinsipnya bagaimana caranya agar mereka bisa
bertahan hidup dan besok bisa makan dan minum.
Upah atau keuntungan yang mereka dapat setiap harinya hanya
cukup untuk makan hingga besok sore. Sekalinya bisa meabung,
uang tabungan itupun akan habis untuk makan danminum ketika
mereka tidak memiliki pekerjaan di sawah atau ladang lagi. Hal

inilah yang menjadi kendala utama mengapa masyarakat petani
cenderung statis dan tidak dapat berkembang.
Petani yang sudah tidak memiliki lahan di desanya akan terusterusan menjadi buruh tani dan ada juga yang merantau ke jakarta
untuk menjadi buruh bangunan, buruh pabrik atau menjadi ibu
rumah tangga.
Kebutuhan ekonomi yang mendesak kaum taniini membuat
mereka terus berinovasi dan melakukan dinamika. Banyak anakanak petani yang selsai lulus SMP (Sekolah Menengah Pertama)
langsung merentau ke Jakarta. Terutama kaum perempuan. Mereka
merantau ke Jakarta untuk menjadi ibu rumah tangga. Anak-anak
petani ini membawa kontribusi yang cukup baik bagi orang tuanya di
kampung. Keuangan orang tua di kampung jadi sedikit teratasi.
Namun demikian, tetap saja tidak membawa dampak positif bagi
tingkah laku keagamaan mereka. justru sebaliknya. Sepulangnya dari
kota. Anak-anak petani ini jadi hidup gelamor, minum-minuman
keras hingga menggunakan obat-obatan terlarang, berpakain mini
dan sederet gaya lainnya yang tidak mencerminkan masyarakat desa.

4

Rasa hormat pada orang tuapun menjadi semakin meniis. Mushola

yang tadinya ramai di isi dengan pengajian akan-anak petani kini
menjadi kosong dan anak-anak petani yang tadinya mengaji kini
mereka nongkrong-nongkrong di depan mushola. Ironis memang.
Dimata mereka, Agama hanyalah Agama. Agama tidak memiliki
peran yang signifikan dalam kehidupan dan memperbaiki kehidupan
mereka. suara adzan dzuhur hanyalah suara yang mengingatkan para
petani yang sedang ada di sawah untuk menandakan bahwa waktu
kerja mereka sudah habis. Bagi anak-anak petani suara adzan
hanyalah suara yang mengingatkan mereka pada waktu “Siang”,
“Sore”, dan “Malam”. Tidak ada waktu pagi untuk mereka.
2. Terpelajar.
Tingkah laku yang tidak wajar ini membuat kaum terpelajar
merasa tergelitik dan trkadang harus mengelus dada dengan apa yang
telah terjadi pada kaum muda petani di desa tercintanya.
Kaum terpelajar ini adalah kaum yang sudah tidak memiliki lagi
masalah yang signifikan dalam masalah ekonomi. Mereka cenderung
memiliki etika dalam bergaul dan berinteraksi dalam masyarakat.
Mereka selalu berusaha untuk memperbaiki Desa mereka yang
semakin terpuruk. Salahsatu cara mereka dalam mengingatkan
masyarakat desa dengan Agamanya adalah dengan mengadakan

slametan, dan merayakan hari-hari besar Islam di rumahnya masingmasing. Kaum terpelajar ini menyediakan dana yang tidak sedikiy
untuk menyiapkan berkat (Istlah untuk makanan yang di bawa
pulang tamu undangan). Denganc ara inilah kaum petani mnyebut
nama Allah dan berdzikir pada Allah. Kaum petani akan mersa
senang jika mereka mendapatkan makanan geratis.
Meskipun cara ini tidak akan mampu membuat perubahan yang
signifkan dalam prilaku kegamaan, setidaknya tradisi ini bisa
5

mengingatkan pada kaum petani bahwa mereka masih memiliki
Tuhan.

3. Santri .
Ada dikotomi geografis antara kaum petani dan kaum santri.
Secara keagamaan Desa cigarukgak bisa di bagi menjadi dua blok
besar. Blok slatan adalah blok yang menganggap Agama tidak
memiliki peran penting dalam kehidupannya. Sedangkan blok utara
adalah blok santri, yakni blok yang sangat taat pada agamanya
disamping mereka juga kebanyakan adalah petani. Jika mereka
sednag menggarap sawah di ladang dan mendengar suara

adzan,mereka akan benar-benar berhenti dan pulang untuk
melaksanakan shalat dzuhur.
Kenapa dikotomo? Karena terjadi pertentangan yang sangat
signifikan dalam tingkahlaku keagamaan dan kebudayaan. Akan
terlihat sangat mencolok perbedaan tersebut jika diamati secara teliti.
Pada tahun 2011, pesantren di desa cigarukgak secara resmi
membuka Madrasah ‘Ibtidaiyah (MI). ini adalah madrasah pertama
yang didirikan di Desa Cigarukgak. Tentu saja ini merupakan
perkembangan kebudayan yang sebelumnya pesantren tersebut
hanya melakukan pembelajaran yang sifatnya tradisional.
Berdirinya madrasah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
mendesak untuk diberdirikannya madrasah ini. Salahsatu diantaranya
adalah semakin berkurangnya santri-santri di pesantren tersebut.
Pimpinan pesantren mencoba verinovasi untuk medirikan madrasah
dengan harapan akan semakin banyak masyarakat yang mempelajari
Agama Islam.

6

E. Analisis

Perubahan dalam suatu kebudayaan adalah suatu keniscayaan yang tidak
bisa di elakan lagi, karena pada hakikatnya kehidupan adalah pergerakan dan
perubahan. Perubahan di sini tidk hanya dimaknai perubahan yang positif,
tapi juga bisa mengalami perubahan yang negatif.
Akibat dari kebutuhan hidup yang mendesak banyak kaum petani yang
tidak memiliki waktu untuk hanya sekedar beribadah dan memperdalam
pengetahuan mereka tentang Agama. Ditambah lagi banyak anak-anak
mereka yang pergi merantau dengan hanya membawa pengetahuan agama
yang ninim, dampaknya adalah mereka banyak terpengaruh oleh kebudayaan
yang bertentangan dengan norma-norma sosial dan Agama.
Agama dalam hal ini tidak mampu menjawab tantangan sosial ekonomi
masyarakat petani yang semakin mendesak. Mengutip pemikirannya
Bambang Pranomo, bahwa masyarakat yang pasif seperti ini adalah salah satu
respon masyarakat atas ketidak puasannya terhadap jawaban yang diberikan
oleh paham keagamaan mereka. situasi seperti ini akan sangat rawan terjadi
respon ke arah yang lebih negatif lagi yakni pemurtadan. Terlebih lagi banyak
anak petani yang merantau ke jakarta, dan jakarta adalah kota yang semua
orang dapat bertemu dengan berbagai macam suku ras dan Agama
(Multikultutal). Dengan diembel-embeli harta kekayaan, pemurtadan ini akan
sangat mudah dilakukan oleh kelompok yang melakukan keristenisasi,

budhanisasi dan sederet Agama-agama sempilan lainnya.
Disisi lain kaum terpelajar terus berusaha membangun rasa ketuhanan
masyarakat petani dengan cara-cara yang sederhana yang dirasa kurang
memberikan jawaban yang signifikan. Tugas kaum terpelajar ini sangat berat,
terlebih lagi dengan adanya isu gelobalisasi yang arusnya semakin deras.
Harus ada inovasi dan tawaran paham keagamaan dalam memcahkan masalah
ini. Hingga sekarang masalh ini belum terselsaikan. Masyarakat petani tetap
belum bisa menemukan jawaban dari Agama Islam, dan disisi lain kaum

7

terpelajar mengalami kejenuhan dan seakan-akan tidak ada solusi yang tepat
untuk menghadapi situasi yang semakin hari semakin buruk ini.
Sementara itu ada perubahan yang lebih maju pada kaum santri. Mereka
sudah melakukan inovasi dan mencoba menjawab tantangan zaman yang
semakin menurun. Pemimpin pesantren mencoba mengkonvergensikan antara
paham tradisional pesantren dengan paham nasional yang moderen. Pimpinan
pesantren memahami bahwa kebutuhan masyarakat kini telah berubak.
Mereka tidak hanya membutuhkan ilmu agama, tapi jmereka juga sangat
membutuhkan ilmu umum untuk dapat menjawab tantangan gelobalisasi.

Pondok pesantren semakin sepi, sudah jarang orag tua yang memasukan
anaknya ke pondok pesantren. Hingga saat ini pesantren masih dianggap
lembaga pendidikan yang konservativ. Atas dasar inilah pimpinan pesantren
membangun sebuah madrasah. Dengan harapan dia masih bisa melanjutkan
dakwah keislamanna melalui lembaga yang berbeda. Tentu saja inovasi ini
merupakan suatu respon yang positip. Pompinan pesantrn berusaha untuk
dinamis dan mencoba untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Hal ini membawa angin segar bagi orang tua yang mengharapkan
anaknya memiliki bekal dunia dan sekaligus akherat. Namun hingga sampai
saat ini, sekolah tersebut masih didominasi oleh peserta didik dari kalangan
santri-santri sekitar pesantren, sedangkan anak kaum terpelajar sekolah di
sekolah-sekolah umum yang bonavit. Dan anak kaum petani sekolah di
sekolah-sekolah umum yang ada di desa. Ketidak percayaan orang tua
terhadap lembaga pendidikan Islam menjadi kendala di Desa Cigarukgak, dan
tidak menutup kemungkinan hal ini juga terjadi di daerah-daerah lainnya.

8