Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Daya Saing Usahatani Padi Organik terhadap Padi Konvensional di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah = Competitiveness Analysis of Organic Rice Far
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori
2.1.1 Daya Saing
Daya saing merupakan salah satu kriteria untuk menentukan keberhasilan
dan pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik oleh suatu negara dalam
peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Daya saing didentifikasikan
dengan masalah produktifitas, yakni dengan melihat tingkat output yang
dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktifitas ini
disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal dan tenaga kerja,
peningkatan kualitas input yang digunakan dan peningkatan teknologi (Porter,
1990 dalam Abdullah, 2002).
Pendekatan yang sering digunakan untuk megukur daya saing dilihat dari
beberapa indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif,
Menurut Tarigan (2005). Keunggulan komparatif adalah suatu kegiatan ekonomi
yang menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi pengembangan daerah.
istilah comparative adventage (keunggulan komparatif) mula-mula dikemukakan
oleh David Ricardo (1917) sewaktu membahas perdagangan antara dua negara.
Dalam teori tersebut, Ricardo membuktikan bahwa apabila ada dua negara saling
berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor
barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan yang komperatif maka
kedua negara tersebut akan beruntung. Ternyata ide tersebut bukan saja
bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting di
perhatikan dalam ekonomi regional.
Keunggulan kompetitif adalah suatu keunggulan yang dapat diciptakan dan
dikembangkan. Ini merupakan ukuran daya saing suatu aktifitas kemampuan suatu
negara atau suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau luar
negeri. Maka dari itu, menurut Tarigan (2005) seorang perencana wilayah harus
memiliki kemampuan untuk menganalisa potensi ekonomi wilayahnya. Dalam hal
ini kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang memiliki
keunggulan/kelemahan di wilayahnya menjadi semakin penting. Sektor ini
memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan
4
diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang.
2.1.2. Konsep Daya Saing
Konsep daya saing daerah berkembang dari konsep daya saing yang
digunakan untuk perusahaan dan negara. Selanjutnya konsep tersebut di
kembangkan untuk tingkat negara sebagai daya saing global, khususnya melalui
lembaga World Economic Forum (Global Comvetitiveness Report) dan
International Institute for management Development (World Competitiveness
Yearbook). Daya saing ekonomi suatu negara seringkali merupakan cerminan dari
daya siang ekonomi daerah secara keseluruhan. Disamping itu, dengan adanya
tren desentralisasi, maka makin kuat kebutuhan untuk mengetahui daya saing pada
tingkat daerah (PPSK BI, 2008).
Michael Porter (1990) menyatakan bahwa konsep daya saing yang dapat
diterapkan pada level nasional adalah “produktifitas” yang didefinisikannya
sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank dunia
menyatakan hal yang relatif sama di mana “daya saing mengacu kepada besaran
serta laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan”.
Akan tetapi, baik Bank Dunia, Porter, serta literatur-literatur lain mengenai daya
saing nasional memandang bahwa daya saing tidak secara sempit mencakup
hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan. Daya saing mencakup aspek
yang lebih luas, tidak berkutat hanya pada level mikro perusahaan, tetapi juga
mencakup aspek diluar perusahaan seperti iklim berusaha yang jelas diluar
kendali perusahaan (Abdullahdkk,2002). Secara lebih rinci, Porter mendefinisikan
daya saing nasional sebagai : “luaran dari kemampuan suatu negara untuk
berinovasi dalam rangka mencapai, atau mempertahankan posisi yang
menguntungkan dibandingkan dengan negara lain dalam sejumlah sektor-sektor
kuncinya”.
Menurut Cho (2003), definisi daya saing yang paling populer pada tingkat
nasional juga dapat ditemukan dalam Laporan Komisi Kemampuan Bersaing
Presiden yang ditulis untuk pemerintahan Reagan pada tahun 1984 yaitu sebagai
berikut : “Kemampuan bersaing sebuah negara adalah derajat di mana negara itu
dapat, di bawah keadaan pasar yang bebas dan adil, menghasilkan barang dan jasa
5
yang memenuhi uji pasar internasional sementara secara simultan melakukan
perluasan pendapatan riel dari para warga negaranya. Kemampuan bersaing pada
tingkat nasional didasarkan pada kinerja produktifitas superior” (Cho, 2003 dalam
Millah, 2013).
World Economic Forum (WEF), suatu lembaga yang menerbitkan “Global
Competitiveness Report” mendefenisikan daya saing nasional secara lebih luas
maknaya dengan kalimat yang sangat sederhana. WEF mendefenisikan daya saing
nasional
sebagai
“kemampuan
perekonomian
nasional
untuk
mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan”. Fokusnya adalah pada
kebijakan-kebijakan yang tepat, institusi-institusi yang sesuai, serta karakteristikkarakteristik ekonomi lain yang mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan berkelanjutan (Abdullah, 2002).
Lembaga lain seperti yang dikenal luas seperti Institute of Management
Development (IMD) dalam buku “Daya Saing Daerah” Abdullah (2002) dengan
publikasinya “World Competitiveness Yearbook”, secara lengkap mendefenisikan
daya saing nasional sebagai “ kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai
tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset
dan proses, daya tarik dan agresivitas, globality dan proximity, serta dengan
mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut kedakam suatu model ekonomi
dan sosial”. Dengan arti bahwa daya saing nasional adalah suatu konsep yang
mengukur dan membandingkan seberapa baik suatu negara dalam menyediakan
suatu iklim tertentu yang kondusif untuk mempertahankan daya saing domestik
maupun global kepada perusahaan-perusahaan yang berada di wilayahnya.
Martin (2003) menyatakan konsep dan definisi daya saing suatu negara atau
daerah mencakup beberapa elemen utama sebagai berikut : (1) Meningkatkan
taraf hidup masyarakat, (2) Mampu berkompetisi dengan daerah maupun negara
lain, (3) Mampu memenuhi kewajibannya baik domestik maupun internasional,
(4)
Dapat
menyediakan
lapangan
kerja,
dan
(5)
Pembangunan
yang
berkesinambungan dan tidak membebani generasi yang akan datang (Martin,
2003, dalam PPSK-BI, 2008).
6
2.1.3. Kelayakan Usahatani
Umar, (2005) menyatakansebelum melakukan pengembangan usaha
hendaknya dilakukan suatu kajian untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan
itu layak atau tidak layak. Apek yang perlu dikaji adalah aspek financial
(keuangan ) dan pasar (bagaimana permintaan dan harga atas produksi yang
dihasilkan). Jika aspek ini jelas, maka prospek ke depan untuk usaha juga jelas,
demikian juga sebaliknya.Usahatani dikatakan menguntungkan atau layak
diusahakan apabila analisis ekonomi menunjukkanhasil layak.
Menurut
Sunarjono,
(2000)
usahatani
menguntungkan
atau
layak
diusahakan bila analisis ekonomi menunjukkan hasil layak. Adapun analisis
kelayakan yang digunakan untuk menilai kelayakan usaha adalah :
2.1.3.1. Rasio Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio)
Return Cost Ratio (R/C Rasio) merupakan perbandingan antara penerimaan
dan biaya (Soekartawi, 1995 dalam Wulandari, 2011). Analisis R/C rasio
digunakan untuk menunjukkan jumlah penerimaan usahatani yang akan diperoleh
petani dari setiap biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani tersebut,
semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang
akan diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan atau usahatani tersebut
layak untuk diusahakan.
Usahatani dikatakan layak atau menguntungkan apabila nilai R/C lebih dari
satu, artinya setiap tambahan satu rupiah biaya yang dikeluarkan menghasilkan
tambahan penerimaan yang lebih besar dibandingkan tambahan biaya tersebut.
Usahatani dikatakan tidak menguntungkan apabila nilai R/C kurang dari satu yang
artinya setiap satu rupiah tambahan biaya yang dikeluarkan menghasilkan
tambahan penerimaan yang lebih kecil dibandingkan tambahan biaya. Usahatani
dikatakan berada pada keuntungan normal apabila nilai R/C sama dengan satu,
artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan
penerimaan yang nilainya sama dengan tambahan biaya.
7
2.1.3.2. Break Even Point (BEP)/ Titik Impas
1.
Pengertian Break Even Point (BEP) / Titik Impas
Break Even Point (BEP) adalah suatu tehnik atau cara yang digunakan oleh
pihak manajemen perusahaan dalam mencari volume penjualan yang harus
dicapai agar tidak mengalami rugi dan tidak berlaba. Ada beberapa pengertian
yang telah dikemukakan oleh para ahli mengenai arti sebenarnya dari break even
point tersebut diantaranya adalah :
a.
Break Even Point adalah titik dimana total pendapatan sama dengan total
pengeluaran atau biaya, titik dimana laba sama dengan nol “Mowen (2006).
b.
Break Even Point adalah volume penjualan dimana pendapatan dan jumlah
bebannya sama, tidak terdapat laba maupun rugi bersih “Horngren (2005).
c.
Break Even Point adalah tingkat penjualan dimana laba sama dengan nol,
atau total penjualan sama dengan total beban atau titik dimana total margin
kontribusi sama dengan total beban tetap “Garrison (2006).
d.
Break Even Point adalah suatu keadaan dimana perusahaan yang pendapatan
penjualannya sama dengan total jumlah biayanya atau besarnya kontribusi
margin, sama dengan total biaya tetap, dengan kata lain perusahaan ini tidak
untung dan tidak rugi (Bustam, 2006).
Dari definisi – definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa analisa break even
mempelajari hubungan antara, biaya keuntungan dan volume kegiatan, dan dapat
digunakan untuk mengetahui pada volume penjualan berapakah perusahaan akan
impas menutupi biaya-biaya. Suatu perusahaan dikatakan Break Even Point yaitu
apabila setelah disusun perhitungan laba-rugi untuk suatu periode tertentu,
perusahaan tersebut tidak mendapatkan keuntungan dan menderita kerugian.
analisa Break Even Point dapat diketahui hubungan antara volume produksi,
volume penjualan, harga jual, biaya produksi, biaya variabel, biaya tetap serta laba
dan rugi. Analisa ini juga mempelajari seberapa besar biaya dan volume penjualan
akan berpengaruh jika ada kenaikan atau perubahan laba. Pencapaian laba yang
semaksimal dapat dilakukan dengan tiga langkah sebagai berikut, yaitu : (1)
menekan biaya produksi maupun biaya operasional serendah-rendahnya dengan
mempertahankan tingkat harga, kualitas dan kuantitas, (2) menentukan harga
8
dengan sedemikian rupa sesuai dengan laba yang dikehendaki, (3) meningkatkan
volume kegiatan semaksimal mungkin.
2.
Kegunaan Analisis Break Even Point
Break Even Point sebelumnya telah dikemukakan bahwa analisa Break Even
Point adalah suatu cara atau tehnik untuk mengetahui hubungan antara penjualan,
produksi, harga jual, biaya yang terjadi dan laba perusahaan, dengan adanya
informasi diatas maka teknik titik impas dapat digunakan untuk menetapkan
sasaran dan tujuan perusahaan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam prosesn
perencanaan anggaran. Hal tersebut sangat penting bagi pimpinan perusahaan
untuk mengetahui pada tingkat produksi berapa jumlah biaya akan sama dengan
jumlah penjualan, sehingga memudahkan bagi pimpinan untuk mengambil
kebijaksanaan.
Adapun manfaat Break Even Point menurut Carter (2006) adalah sebagai
berikut : (1) Membantu memberikan informasi maupun pedoman kepada
manajemen dalam memecahkan masalah-masalah lain yang dihadapinya,
misalnya masalah penambahan atau penggantian fasilitas pabrik atau investasi
dalam aktiva tetap lainnya, (2) membantu manajemen dalam mengambil
keputusana menutup usaha atau tidak serta memberikan informasi kapan
sebaiknya usaha tersebut diberhentikan/ditutup.
Menurut Bustam, (2006) manfaat atau kegunaan dari Break Even Point
adalah : (1) untuk mengetahui jumlah penjualan minimum yang harus
dipertahankan perusahaan agar tidak mengalami kerugian, (2) mengetahui jumlah
penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh tingkat keuntungan tertentu,(3)
mengetahui seberapa jauh berkurangnya penjualan agar perusahaan tidak
menderita kerugian, (4) mengetahui bagaimana efek perubahan harga jual, biaya
dan volume penjualan, (5) menetukan bauran produk yang diperlukan untuk
mencapai jumlah laba yang ditargetkan.
9
3.
Asumsi Break Event Point (BEP)
Kesulitan atau kemudahan didalam menggunakan break even poin
bergantung pada konsep-konsep yang mendasari atau asumsi yang digunakan.
Oleh sebab itu banyak asumsi yang apabila digunakan tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan maka akan menimubulkan banyak kelemahan dalam penerapan break
even pointnya. Konsep atau asumsi dasar yang digunakan pada umumnya dalam
analisa break even point adalah sebagai berikut :
Menurut Carter (2006) penerapan break even point didasarkan pada asumsiasumsi berikut :
1.
Biaya dikelompokkan berdsarkan perilaku biaya dalam kaitannya dari volume
produksi, yaitu biaya tetap dan biaya variabel.
2.
Harga jual per satuan produk adalah tetap pada berbagai tingkat kegiatan
dalam periode yang bersangkutan hingga grafik total penerimaan (total
revenue) berbentuk garis lurus.
3.
Biaya variabel per unit adalah tetap untuk tiap produk yang diproduksi, dijual
pada periode yang bersangkutan.
4.
Total biaya tetap adalah konstan dalam batas kepastian tertentu dan dalam
periode yang bersangkutan.
5.
Bauran penjualan akan tetap konstan, efisien dan produktifitas tidak berubah.
6.
Kapasitas produksi yang dimiliki perusahaan relatif konstan serta semua
barang yang diproduksi terjual pada periode yang bersangkutan.
Menurut Garrison (2006) asumsi yang mendasari titik impas adalah : (1)
harga jual adalah konstan. Harga produk atau jasa tidak berubah ketika volume
berubah, (2) biaya adalah linier dan dapat dengan mudah dibagi menjadi elemen
variabel dan tetap. Elemen variabel adalah konstan per unit dan elemen tetap
adalah konstan secara total dalam rentang yang relevan, (3) dalam perusahaan
dengan berbagai produk, bauran penjualan adalah konstan, (4) dalam perusahaan
manufaktur, persediaan tidak berubah dalam jumlah unit yang diproduksi sama
dengan unit yang dijual.
10
2.2. Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu diantaranya yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu mengenai Daya Saing
No
Judul dan
Alat Analisis
Hasil Penelitian
Penulis
1
Analisis
Daya Perhitungan
Titik impas produktifitas menunjukkan bahwa
Saing
Kedelai analisis biaya kedelai secara financiallayak untuk diusahakan
Terhadap
usaha
tani dengan prasyaratan apabila bersaing dengan
Tanaman
Padi dan analisis tanaman padi maka produktifitas kedelai minimal
dan
Jagung titik
impas harus mencapai1.792-1.888 kg/ha, sedangkan
(Saraswati dkk, produksi dan dengan tanaman jagung,produktifitas minimal
2011).
harga
mencapai 1.716-1.837 kg/ha.
Tingkat harga kedelai minimal agar dapat
bersaing harus berada pada Rp 4.515,- Rp 4.929,terhadap padi dan Rp4.393,-/kg sampai
Rp4.722,-/kg terhadap jagung.
2
Daya Saing dan Perhitungan 1. Daya saing kedelai di Jawa Tengah tergolong
Faktor
analisis
rendah
dibandingkan
dengan
tanaman
Determinan
usahatani
pesaingnya, tetapi di Jawa Timur kedelai lebih
Usahatani
unggul terhadap kacang tanah.
Kedelai di Lahan
2. Kedelai mempunyai daya saing dengan tanaman
Sawah
pangan lainnya apabila produktifitas atau
(Krisdiana,2012).
harganya lebih tinggi. Apabila harga kedelai
internasional diatas US$500/ton seharusnya
harga kedelai produksi dalam negeri Rp7.400/kg
agar kompetitif terhadap komoditas pesaing.
3. Keunggulan
komparatif
mencerminkan
keunggulan komoditas antar daerah,dimana
usahatani kedelai di Jawa Timur lebih
menguntungkan daripada di Jawa Tengah.Di
JawaTimur biaya perunit lebih rendah dibanding
Jawa Tengah, denganR/C ratio lebih besar.Faktor
determinan penentu dalam memilih usahatani
kedelai dibanding tanaman pangan lainnya
adalah: harga tinggi ,perawatan tanaman mudah,
pemasaran mudah, ketersediaan benih dan
adanya bantuan benih
3
Analisis
Daya Policy
1. Usahatani padi Kabupaten Cilacap serta
Saing
Dan Analysis
usahatani jagung Kabupaten Grobogan memiliki
Kebijakan
Matrix
daya saing keunggulan kompetitif dan
Pemerintah
(PAM)
keunggulan komparatif. Sedangkan usahatani
Terhadap
kedelai KabupatenGrobogan hanya memiliki
Usahatani Padi,
daya saing keunggulan kompetitif.
2. Analisis sensitivitas menunjukkan keuntungan
Jagung,
dan
dan daya saing usahatani sensitif terhadap
Kedelai Provinsi
variabel perdagangan internasional seperti
Jawa
Tengah
perubahan harga internasional komoditas beras,
(Nurayati, 2015)
jagung
dan
kedelai,
perubahan
harga
pupuk,perubahan upah tenaga kerja, perubahan
nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika dan
perubahan kebijakan tarif impor komoditas.
11
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori
2.1.1 Daya Saing
Daya saing merupakan salah satu kriteria untuk menentukan keberhasilan
dan pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik oleh suatu negara dalam
peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Daya saing didentifikasikan
dengan masalah produktifitas, yakni dengan melihat tingkat output yang
dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktifitas ini
disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal dan tenaga kerja,
peningkatan kualitas input yang digunakan dan peningkatan teknologi (Porter,
1990 dalam Abdullah, 2002).
Pendekatan yang sering digunakan untuk megukur daya saing dilihat dari
beberapa indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif,
Menurut Tarigan (2005). Keunggulan komparatif adalah suatu kegiatan ekonomi
yang menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi pengembangan daerah.
istilah comparative adventage (keunggulan komparatif) mula-mula dikemukakan
oleh David Ricardo (1917) sewaktu membahas perdagangan antara dua negara.
Dalam teori tersebut, Ricardo membuktikan bahwa apabila ada dua negara saling
berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor
barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan yang komperatif maka
kedua negara tersebut akan beruntung. Ternyata ide tersebut bukan saja
bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting di
perhatikan dalam ekonomi regional.
Keunggulan kompetitif adalah suatu keunggulan yang dapat diciptakan dan
dikembangkan. Ini merupakan ukuran daya saing suatu aktifitas kemampuan suatu
negara atau suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau luar
negeri. Maka dari itu, menurut Tarigan (2005) seorang perencana wilayah harus
memiliki kemampuan untuk menganalisa potensi ekonomi wilayahnya. Dalam hal
ini kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang memiliki
keunggulan/kelemahan di wilayahnya menjadi semakin penting. Sektor ini
memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan
4
diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang.
2.1.2. Konsep Daya Saing
Konsep daya saing daerah berkembang dari konsep daya saing yang
digunakan untuk perusahaan dan negara. Selanjutnya konsep tersebut di
kembangkan untuk tingkat negara sebagai daya saing global, khususnya melalui
lembaga World Economic Forum (Global Comvetitiveness Report) dan
International Institute for management Development (World Competitiveness
Yearbook). Daya saing ekonomi suatu negara seringkali merupakan cerminan dari
daya siang ekonomi daerah secara keseluruhan. Disamping itu, dengan adanya
tren desentralisasi, maka makin kuat kebutuhan untuk mengetahui daya saing pada
tingkat daerah (PPSK BI, 2008).
Michael Porter (1990) menyatakan bahwa konsep daya saing yang dapat
diterapkan pada level nasional adalah “produktifitas” yang didefinisikannya
sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank dunia
menyatakan hal yang relatif sama di mana “daya saing mengacu kepada besaran
serta laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan”.
Akan tetapi, baik Bank Dunia, Porter, serta literatur-literatur lain mengenai daya
saing nasional memandang bahwa daya saing tidak secara sempit mencakup
hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan. Daya saing mencakup aspek
yang lebih luas, tidak berkutat hanya pada level mikro perusahaan, tetapi juga
mencakup aspek diluar perusahaan seperti iklim berusaha yang jelas diluar
kendali perusahaan (Abdullahdkk,2002). Secara lebih rinci, Porter mendefinisikan
daya saing nasional sebagai : “luaran dari kemampuan suatu negara untuk
berinovasi dalam rangka mencapai, atau mempertahankan posisi yang
menguntungkan dibandingkan dengan negara lain dalam sejumlah sektor-sektor
kuncinya”.
Menurut Cho (2003), definisi daya saing yang paling populer pada tingkat
nasional juga dapat ditemukan dalam Laporan Komisi Kemampuan Bersaing
Presiden yang ditulis untuk pemerintahan Reagan pada tahun 1984 yaitu sebagai
berikut : “Kemampuan bersaing sebuah negara adalah derajat di mana negara itu
dapat, di bawah keadaan pasar yang bebas dan adil, menghasilkan barang dan jasa
5
yang memenuhi uji pasar internasional sementara secara simultan melakukan
perluasan pendapatan riel dari para warga negaranya. Kemampuan bersaing pada
tingkat nasional didasarkan pada kinerja produktifitas superior” (Cho, 2003 dalam
Millah, 2013).
World Economic Forum (WEF), suatu lembaga yang menerbitkan “Global
Competitiveness Report” mendefenisikan daya saing nasional secara lebih luas
maknaya dengan kalimat yang sangat sederhana. WEF mendefenisikan daya saing
nasional
sebagai
“kemampuan
perekonomian
nasional
untuk
mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan”. Fokusnya adalah pada
kebijakan-kebijakan yang tepat, institusi-institusi yang sesuai, serta karakteristikkarakteristik ekonomi lain yang mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan berkelanjutan (Abdullah, 2002).
Lembaga lain seperti yang dikenal luas seperti Institute of Management
Development (IMD) dalam buku “Daya Saing Daerah” Abdullah (2002) dengan
publikasinya “World Competitiveness Yearbook”, secara lengkap mendefenisikan
daya saing nasional sebagai “ kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai
tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset
dan proses, daya tarik dan agresivitas, globality dan proximity, serta dengan
mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut kedakam suatu model ekonomi
dan sosial”. Dengan arti bahwa daya saing nasional adalah suatu konsep yang
mengukur dan membandingkan seberapa baik suatu negara dalam menyediakan
suatu iklim tertentu yang kondusif untuk mempertahankan daya saing domestik
maupun global kepada perusahaan-perusahaan yang berada di wilayahnya.
Martin (2003) menyatakan konsep dan definisi daya saing suatu negara atau
daerah mencakup beberapa elemen utama sebagai berikut : (1) Meningkatkan
taraf hidup masyarakat, (2) Mampu berkompetisi dengan daerah maupun negara
lain, (3) Mampu memenuhi kewajibannya baik domestik maupun internasional,
(4)
Dapat
menyediakan
lapangan
kerja,
dan
(5)
Pembangunan
yang
berkesinambungan dan tidak membebani generasi yang akan datang (Martin,
2003, dalam PPSK-BI, 2008).
6
2.1.3. Kelayakan Usahatani
Umar, (2005) menyatakansebelum melakukan pengembangan usaha
hendaknya dilakukan suatu kajian untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan
itu layak atau tidak layak. Apek yang perlu dikaji adalah aspek financial
(keuangan ) dan pasar (bagaimana permintaan dan harga atas produksi yang
dihasilkan). Jika aspek ini jelas, maka prospek ke depan untuk usaha juga jelas,
demikian juga sebaliknya.Usahatani dikatakan menguntungkan atau layak
diusahakan apabila analisis ekonomi menunjukkanhasil layak.
Menurut
Sunarjono,
(2000)
usahatani
menguntungkan
atau
layak
diusahakan bila analisis ekonomi menunjukkan hasil layak. Adapun analisis
kelayakan yang digunakan untuk menilai kelayakan usaha adalah :
2.1.3.1. Rasio Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio)
Return Cost Ratio (R/C Rasio) merupakan perbandingan antara penerimaan
dan biaya (Soekartawi, 1995 dalam Wulandari, 2011). Analisis R/C rasio
digunakan untuk menunjukkan jumlah penerimaan usahatani yang akan diperoleh
petani dari setiap biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani tersebut,
semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang
akan diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan atau usahatani tersebut
layak untuk diusahakan.
Usahatani dikatakan layak atau menguntungkan apabila nilai R/C lebih dari
satu, artinya setiap tambahan satu rupiah biaya yang dikeluarkan menghasilkan
tambahan penerimaan yang lebih besar dibandingkan tambahan biaya tersebut.
Usahatani dikatakan tidak menguntungkan apabila nilai R/C kurang dari satu yang
artinya setiap satu rupiah tambahan biaya yang dikeluarkan menghasilkan
tambahan penerimaan yang lebih kecil dibandingkan tambahan biaya. Usahatani
dikatakan berada pada keuntungan normal apabila nilai R/C sama dengan satu,
artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan
penerimaan yang nilainya sama dengan tambahan biaya.
7
2.1.3.2. Break Even Point (BEP)/ Titik Impas
1.
Pengertian Break Even Point (BEP) / Titik Impas
Break Even Point (BEP) adalah suatu tehnik atau cara yang digunakan oleh
pihak manajemen perusahaan dalam mencari volume penjualan yang harus
dicapai agar tidak mengalami rugi dan tidak berlaba. Ada beberapa pengertian
yang telah dikemukakan oleh para ahli mengenai arti sebenarnya dari break even
point tersebut diantaranya adalah :
a.
Break Even Point adalah titik dimana total pendapatan sama dengan total
pengeluaran atau biaya, titik dimana laba sama dengan nol “Mowen (2006).
b.
Break Even Point adalah volume penjualan dimana pendapatan dan jumlah
bebannya sama, tidak terdapat laba maupun rugi bersih “Horngren (2005).
c.
Break Even Point adalah tingkat penjualan dimana laba sama dengan nol,
atau total penjualan sama dengan total beban atau titik dimana total margin
kontribusi sama dengan total beban tetap “Garrison (2006).
d.
Break Even Point adalah suatu keadaan dimana perusahaan yang pendapatan
penjualannya sama dengan total jumlah biayanya atau besarnya kontribusi
margin, sama dengan total biaya tetap, dengan kata lain perusahaan ini tidak
untung dan tidak rugi (Bustam, 2006).
Dari definisi – definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa analisa break even
mempelajari hubungan antara, biaya keuntungan dan volume kegiatan, dan dapat
digunakan untuk mengetahui pada volume penjualan berapakah perusahaan akan
impas menutupi biaya-biaya. Suatu perusahaan dikatakan Break Even Point yaitu
apabila setelah disusun perhitungan laba-rugi untuk suatu periode tertentu,
perusahaan tersebut tidak mendapatkan keuntungan dan menderita kerugian.
analisa Break Even Point dapat diketahui hubungan antara volume produksi,
volume penjualan, harga jual, biaya produksi, biaya variabel, biaya tetap serta laba
dan rugi. Analisa ini juga mempelajari seberapa besar biaya dan volume penjualan
akan berpengaruh jika ada kenaikan atau perubahan laba. Pencapaian laba yang
semaksimal dapat dilakukan dengan tiga langkah sebagai berikut, yaitu : (1)
menekan biaya produksi maupun biaya operasional serendah-rendahnya dengan
mempertahankan tingkat harga, kualitas dan kuantitas, (2) menentukan harga
8
dengan sedemikian rupa sesuai dengan laba yang dikehendaki, (3) meningkatkan
volume kegiatan semaksimal mungkin.
2.
Kegunaan Analisis Break Even Point
Break Even Point sebelumnya telah dikemukakan bahwa analisa Break Even
Point adalah suatu cara atau tehnik untuk mengetahui hubungan antara penjualan,
produksi, harga jual, biaya yang terjadi dan laba perusahaan, dengan adanya
informasi diatas maka teknik titik impas dapat digunakan untuk menetapkan
sasaran dan tujuan perusahaan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam prosesn
perencanaan anggaran. Hal tersebut sangat penting bagi pimpinan perusahaan
untuk mengetahui pada tingkat produksi berapa jumlah biaya akan sama dengan
jumlah penjualan, sehingga memudahkan bagi pimpinan untuk mengambil
kebijaksanaan.
Adapun manfaat Break Even Point menurut Carter (2006) adalah sebagai
berikut : (1) Membantu memberikan informasi maupun pedoman kepada
manajemen dalam memecahkan masalah-masalah lain yang dihadapinya,
misalnya masalah penambahan atau penggantian fasilitas pabrik atau investasi
dalam aktiva tetap lainnya, (2) membantu manajemen dalam mengambil
keputusana menutup usaha atau tidak serta memberikan informasi kapan
sebaiknya usaha tersebut diberhentikan/ditutup.
Menurut Bustam, (2006) manfaat atau kegunaan dari Break Even Point
adalah : (1) untuk mengetahui jumlah penjualan minimum yang harus
dipertahankan perusahaan agar tidak mengalami kerugian, (2) mengetahui jumlah
penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh tingkat keuntungan tertentu,(3)
mengetahui seberapa jauh berkurangnya penjualan agar perusahaan tidak
menderita kerugian, (4) mengetahui bagaimana efek perubahan harga jual, biaya
dan volume penjualan, (5) menetukan bauran produk yang diperlukan untuk
mencapai jumlah laba yang ditargetkan.
9
3.
Asumsi Break Event Point (BEP)
Kesulitan atau kemudahan didalam menggunakan break even poin
bergantung pada konsep-konsep yang mendasari atau asumsi yang digunakan.
Oleh sebab itu banyak asumsi yang apabila digunakan tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan maka akan menimubulkan banyak kelemahan dalam penerapan break
even pointnya. Konsep atau asumsi dasar yang digunakan pada umumnya dalam
analisa break even point adalah sebagai berikut :
Menurut Carter (2006) penerapan break even point didasarkan pada asumsiasumsi berikut :
1.
Biaya dikelompokkan berdsarkan perilaku biaya dalam kaitannya dari volume
produksi, yaitu biaya tetap dan biaya variabel.
2.
Harga jual per satuan produk adalah tetap pada berbagai tingkat kegiatan
dalam periode yang bersangkutan hingga grafik total penerimaan (total
revenue) berbentuk garis lurus.
3.
Biaya variabel per unit adalah tetap untuk tiap produk yang diproduksi, dijual
pada periode yang bersangkutan.
4.
Total biaya tetap adalah konstan dalam batas kepastian tertentu dan dalam
periode yang bersangkutan.
5.
Bauran penjualan akan tetap konstan, efisien dan produktifitas tidak berubah.
6.
Kapasitas produksi yang dimiliki perusahaan relatif konstan serta semua
barang yang diproduksi terjual pada periode yang bersangkutan.
Menurut Garrison (2006) asumsi yang mendasari titik impas adalah : (1)
harga jual adalah konstan. Harga produk atau jasa tidak berubah ketika volume
berubah, (2) biaya adalah linier dan dapat dengan mudah dibagi menjadi elemen
variabel dan tetap. Elemen variabel adalah konstan per unit dan elemen tetap
adalah konstan secara total dalam rentang yang relevan, (3) dalam perusahaan
dengan berbagai produk, bauran penjualan adalah konstan, (4) dalam perusahaan
manufaktur, persediaan tidak berubah dalam jumlah unit yang diproduksi sama
dengan unit yang dijual.
10
2.2. Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu diantaranya yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu mengenai Daya Saing
No
Judul dan
Alat Analisis
Hasil Penelitian
Penulis
1
Analisis
Daya Perhitungan
Titik impas produktifitas menunjukkan bahwa
Saing
Kedelai analisis biaya kedelai secara financiallayak untuk diusahakan
Terhadap
usaha
tani dengan prasyaratan apabila bersaing dengan
Tanaman
Padi dan analisis tanaman padi maka produktifitas kedelai minimal
dan
Jagung titik
impas harus mencapai1.792-1.888 kg/ha, sedangkan
(Saraswati dkk, produksi dan dengan tanaman jagung,produktifitas minimal
2011).
harga
mencapai 1.716-1.837 kg/ha.
Tingkat harga kedelai minimal agar dapat
bersaing harus berada pada Rp 4.515,- Rp 4.929,terhadap padi dan Rp4.393,-/kg sampai
Rp4.722,-/kg terhadap jagung.
2
Daya Saing dan Perhitungan 1. Daya saing kedelai di Jawa Tengah tergolong
Faktor
analisis
rendah
dibandingkan
dengan
tanaman
Determinan
usahatani
pesaingnya, tetapi di Jawa Timur kedelai lebih
Usahatani
unggul terhadap kacang tanah.
Kedelai di Lahan
2. Kedelai mempunyai daya saing dengan tanaman
Sawah
pangan lainnya apabila produktifitas atau
(Krisdiana,2012).
harganya lebih tinggi. Apabila harga kedelai
internasional diatas US$500/ton seharusnya
harga kedelai produksi dalam negeri Rp7.400/kg
agar kompetitif terhadap komoditas pesaing.
3. Keunggulan
komparatif
mencerminkan
keunggulan komoditas antar daerah,dimana
usahatani kedelai di Jawa Timur lebih
menguntungkan daripada di Jawa Tengah.Di
JawaTimur biaya perunit lebih rendah dibanding
Jawa Tengah, denganR/C ratio lebih besar.Faktor
determinan penentu dalam memilih usahatani
kedelai dibanding tanaman pangan lainnya
adalah: harga tinggi ,perawatan tanaman mudah,
pemasaran mudah, ketersediaan benih dan
adanya bantuan benih
3
Analisis
Daya Policy
1. Usahatani padi Kabupaten Cilacap serta
Saing
Dan Analysis
usahatani jagung Kabupaten Grobogan memiliki
Kebijakan
Matrix
daya saing keunggulan kompetitif dan
Pemerintah
(PAM)
keunggulan komparatif. Sedangkan usahatani
Terhadap
kedelai KabupatenGrobogan hanya memiliki
Usahatani Padi,
daya saing keunggulan kompetitif.
2. Analisis sensitivitas menunjukkan keuntungan
Jagung,
dan
dan daya saing usahatani sensitif terhadap
Kedelai Provinsi
variabel perdagangan internasional seperti
Jawa
Tengah
perubahan harga internasional komoditas beras,
(Nurayati, 2015)
jagung
dan
kedelai,
perubahan
harga
pupuk,perubahan upah tenaga kerja, perubahan
nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika dan
perubahan kebijakan tarif impor komoditas.
11