Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat
BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 High Performance Work Environment
High performance work environment merupakan faktor lingkungan yang potensial mempengaruhi employee engagement. Definisi high performance work environment menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) merupakan lingkungan yang dapat menciptakan karyawan engage (terikat) adalah lingkungan yang dapat menyediakan lahan informasi, kesempatan belajar, dan mampu menciptakan keseimbangan kehidupan karyawannya, yaitu dengan menciptakan suatu basis untuk menampung energi dan inisiatif karyawan.
Sedangkan pengertian lingkungan kerja secara umum Menurut Mangkunegara (2005), menyatakan bahwa “Lingkungan kerja adalah semua aspek fisik kerja, psikologis kerja dan peraturan kerja yang dapat mempengaruhi kepuasan kerj a dan pencapaian produktivitas.”
Kehidupan manusia tidak terlepas dari berbagai keadaan lingkungan sekitarnya, antara manusia dan lingkungan terdapat hubungan yang sangat erat. Dalam hal ini, manusia akan selalu berusaha untuk beradaptasi dengan berbagai keadaan lingkungan sekitarnya. Demikian pula halnya ketika melakukan pekerjaan, karyawan sebagai manusia tidak dapat dipisahkan dari berbagai keadaan disekitar tempat mereka bekerja, yaitu lingkungan kerja. Selama
melakukan pekerjaan, setiap karyawan akan berinteraksi dengan berbagai kondisi yang terdapat dalam lingkungan kerja (Komarudin;1983). Kehidupan sosial yang dimaksud berkenaan dengan keyakinan nilai-nilai, sikap, pandangan, pola atau gaya hidup di lingkungan sekitar serta interaksi antara orang-orang yang bekerja dalam suatu perusahaan baik itu interaksi antara atasan dengan bawahan maupun dengan rekan kerja (Komarudin;1983). Kehidupan psikologis adalah interaksi perilaku-perilaku karyawan dalam suatu perusahaan dimana mereka bekerja. Setiap orang dalam suatu perusahaan membawa suatu harapan akan pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Adanya kebutuhan dan keinginan itu mendorong mereka berperilaku untuk memuaskan kebutuhan dan keinginannya ( Komarudin 1983).
Dalam employee engagement menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009), seorang karyawan akan menampilkan kinerja yang sangat baik jika di dukung dengan lingkungan yang memfasilitasi karyawan untuk engage. Terdapat 4 (empat) prinsip utama yang menjadi syarat bagi seorang karyawan untuk menciptakan seorang karyawan memiliki potensi menjadi engage, yaitu : the capacity to engage, the motivation to engage, the freedom to engage dan the focus of strategic engagement.
Gambar 2. 1 Employee Engagement Value Chain
Tangible Performance outcomes including
High
enhanced
Performance Employee
productivity Engagement
Employee
Shareholder Work
Engagement
value Environment
Feelings
Behaviors
Intangible Asset
Brand equity Customer
satisfaction & Loyalty Innovation Lowe risk
Sumber : Macey,Schneider,Barbera and Young, 2009
Teori menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young:2009) mengenai high work performance enviroment memiliki persamaan dengan pendekatan klasik tentang desain pekerjaan yang diajukan Hackman dan Oldham (1980) dikenal dengan istilah teori karakteristik pekerjaan (job characteristics theory). Menurut Munandar (2001 : 359) teori karakteristik pekerjaan ini, sebuah pekerjaan dapat melahirkan tiga keadaan psikologis dalam diri seorang karyawan yakni mengalami makna kerja, memikul tanggung jawab akan hasil kerja, dan pengetahuan akan hasil kerja. Akhirnya, ketiga kondisi psikologis ini akan mempengaruhi motivasi kerja secara internal, kualitas kinerja, kepuasan kerja, ketidakhadiran dan perputaran karyawan. Keadaan psikologis kritis ini dipengaruhi oleh dimensi inti dari sebuah pekerjaan yang terdiri dari keragaman keahlian, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi tugas dan umpan balik.
Menurut Robbins (2008), teori karakteristik pekerjaan adalah upaya mengidentifikasikan karakteristik tugas dari pekerjaan, bagaimana karakteristik itu digabung untuk membentuk pekerjaan yang berbeda dan hubungannya dengan motivasi, kepuasan kerja dan kinerja karyawan.
Menurut Hackman dan Oldham dalam Luthan (2006:484): Terdapat 5 (lima) dimensi karakteristik pekerjaan yaitu :
1) Task identity;
2) Task Significance;
3) Skill Variety;
4) Autonomy;
5) Feed back.
Kelima dimensi dari karakteristik kerja tersebut menciptakan tingkat reaksi psikologis seseorang tentang makna, tanggung jawab serta pengetahuan yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut yang pada akhirnya berdampak pada motivasi, kinerja, dan kepuasan kerja pegawai serta tingkat kemangkiran dan tingkat keluar masuknya pegawai. Karakteristik pekerjaan akan mempengaruhi keadaan psikologis bagi seorang karyawan yaitu karyawan akan merasakan keberartian mengenai aspek pekerjaan yang dihadapinya kemudian karyawan tersebut akan merasa bertanggung jawab terhadap hasil dari suatu pekerjaan yang dibuatnya, dan dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh untuk menghadapi pekerjaannya, serta peningkatan mutu karyawan yang selanjutnya akan memperoleh hasil ahir yaitu motivasi keja internal yang tinggi, kinerja yang berkualitas tinggi, kepuasan karyawan serta rendahnya absensi dan rotasi karyawan.
Gambar 2.2 Job Characteristic Models
Core Job
Critical
Outcomes
Characteristic Psychological States
Skill Variety
Meaningfulness
Work
Task Indentity
Task significance motivation Growth
Feedback from job
Knowledge of
results
Work effectiveness
Individual difference a) Knowledge and
skill b) Context
satisfaction
c) Growth need
strength
Sumber : J.Richard Hackman dan Greg R. Oldham 1980
a) The Capacity To Engage
Prinsip pertama menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) yang menjadi syarat seorang karyawan menjadi engage adalah kapasitasnya. Kapasitas dalam hal ini berarti apakah karyawan memiliki energi yang mengarah ke tujuan dan ketahanan untuk mempertahankan energi tersebut ketika Prinsip pertama menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) yang menjadi syarat seorang karyawan menjadi engage adalah kapasitasnya. Kapasitas dalam hal ini berarti apakah karyawan memiliki energi yang mengarah ke tujuan dan ketahanan untuk mempertahankan energi tersebut ketika
Menurut Munandar (2001:357) Keragaman ketrampilan (skill variety) Banyaknya ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam ketrampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan. Jati diri tugas (task identity) merupakan tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja seseorang. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri menimbulkan rasa tidak puas.
Organisasi memberikan kontribusi dan fasilitas terhadap energi ini agar muncul dengan cara memberikan karyawan informasi-informasi yang mereka butuhkan dalam menyelesaikan pekerjaannya, memberikan kesempatan untuk belajar beserta umpan baliknya, sehingga karyawan mampu mengembangkan kepercayaan dirinya, dan dengan mendukung karyawan dalam usaha mereka untuk memperbaharui tingkat energi personal mereka melalui keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009)
b) The Motivation To Engage
Prinsip kedua menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) dalam menciptakan karyawan yang engage adalah motivasi. Motivasi di sini diartikan sebagai dorongan untuk bekerja. Dorongan untuk bekerja dapat muncul Prinsip kedua menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) dalam menciptakan karyawan yang engage adalah motivasi. Motivasi di sini diartikan sebagai dorongan untuk bekerja. Dorongan untuk bekerja dapat muncul
Suatu pekerjaan akan dirasakan lebih menarik ketika pekerjaan tersebut menantang, penting, dan menciptakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan kemandirian tidak hanya pada apa yang harus diselesaikan tetapi juga bagaimana cara menyelesaikannya. Tujuan yang spesifik dan sulit juga akan menciptakan energi dalam diri karyawan yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi kerja (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009). Hal ini memiliki persamaan dengan tugas yang penting (task significance) menurut Hackman dan Oldham (1980) Tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan sekerja dalam suatu perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan sekitar. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja
Dorongan untuk engage juga muncul dari memperlakukan orang lain dengan rasa hormat, sehingga menunjukkan bahwa mereka berharga, yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu dasar pada mereka untuk membalasnya melalui engagement . Dorongan ini juga muncul ketika nilai-nilai antara karyawan dan organisasi itu selaras (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) Menurut Hackman dan Oldham (1980) Umpan balik adalah Tingkat kinerja kegiatan kerja dalam memperoleh informasi tentang keefektifan kegiatannya. Pemberian balikan pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan.
Jadi, dalam prinsip kedua ini, engagement muncul ketika karyawan memiliki ketertarikan terhadap pekerjaan mereka dan sesuai dengan nilai pribadi mereka, dan karyawan diperlakukan dengan cara yang secara alami menimbulkan rasa ingin membalas dalam bentuk kebaikan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009)
c) The Freedom To Engage
Prinsip yang ketiga menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) adalah kebebasan. Maksudnya adalah ketika karyawan merasa bahwa mereka memiliki kebebasan untuk bertindak dan tidak akan dihukum karena hal tersebut, sehingga inisiatif dan sikap proaktif mereka menjadi lebih mungkin muncul. Sebaliknya, tanpa kebebasan tersebut, tidak akan ada hubungan antara strategi dari organisasi dengan tindakan individual, karena perasaan aman untuk bertindak itu tidak ada secara psikologis
(1980) Otonomi adalah Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang akan digunakan untuk menyelesaikannya. Pekerjaan yang memberi kebebasan, ketidaktergantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja
M enurut
Namun, adakalanya kebebasan itu dapat menimbulkan situasi genting pada organisasi, yaitu ketika karyawan mengambil keputusan berbeda yang mendatangkan resiko baik untuk organisasi maupun karyawan itu sendiri. Bukan suatu hal yang logis untuk mengharapkan perilaku adaptif dan proaktif ketika Namun, adakalanya kebebasan itu dapat menimbulkan situasi genting pada organisasi, yaitu ketika karyawan mengambil keputusan berbeda yang mendatangkan resiko baik untuk organisasi maupun karyawan itu sendiri. Bukan suatu hal yang logis untuk mengharapkan perilaku adaptif dan proaktif ketika
Perceived supervisor support menurut Maertz et al. (dalam Newman dan Thanacoody, 2010) merupakan pandangan umum yang dikembangkan oleh karyawan mengenai tingkat dimana supervisor peduli dengan kesejahteraan dan menilai kontribusi mereka kepada perusahaan. Perceived supervisor supoort diukur dengan pernyataan yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Alan M. Saks (2006) yang merupakan 4 instrumen yang diadaptasi dari survey perceived organizational support yang dikembangkan Eisenberger, Huntington, Hutchison, dan Soa (1986). Dukungan supervisor (atasan langsung) yang dirasakan karyawan ketika supervisor :
1. Peduli dengan pendapat;
2. Peduli dengan kesejahteraan;
3. Mempertimbangkan tujuan dan nilai;
4. Perhatian dengan bawahan. Jadi, dalam prinsip ketiga ini, engagement terjadi ketika karyawan merasa aman untuk bertindak berdasarkan inisiatif mereka. Oleh karena itu, kepercayaan menjadi hal yang paling penting dibawah kondisi sulit, tidak pasti, dan kebutuhan untuk berubah – terutama ketika employee engagement itu dianggap penting (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
d) The Focus of Strategic Engagement
Menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) bentuk dari engagement yang ingin dikendalikan secara spesifik adalah mengenai strategi dan sumber dari keunggulan kompetitif yang dipilih oleh suatu perusahaan. Terdapat perbedaan antara strategi umum dan posisi yang strategis, juga antara level engagement secara umum dan perilaku engagement yang spesifik yang menjadi esensi dalam menampung keunggulan kompetitif dari suatu perusahaan. Strategi mampu mengarahkan jenis engagement spesifik yang dibutuhkan. Caranya adalah dengan memusatkan penyusunan strategi terhadap lingkungan pekerjaan yang diciptakan untuk para karyawan.
Engagement menjadi berfungsi karena karyawan melihat adanya hubungan langsung antara apa yang harus mereka lakukan terhadap keunggulan perusahaan mereka. Dalam bentuk yang lebih ekstrim, engagement muncul ketika ada penyetaraan antara tujuan individu dengan perusahaan. Penyetaraan ini menjadi hal yang penting karena hal ini memastikan apakah mekanisme dorongan itu ada atau tidak (baik itu secara intrinsik atau berdasarkan prinsip timbal-balik) pada perilaku karyawan yang konsisten dengan strategi perusahaan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009). Suatu organisasi memberikan imbalan kepada karyawan sebagai bentuk timbal balik yang diberikan atas kinerja yang diberikan oleh karyawan. Imbalan yang diberikan oleh organisasi merupakan hak dari setiap karyawan dalam organisasi yang telah memberikan kinerja mereka. Hak itu harus diberikan oleh organisasi sebagai bentuk apresiasi atas kinerja karyawan. Selain itu, organisasi memberi imbalan Engagement menjadi berfungsi karena karyawan melihat adanya hubungan langsung antara apa yang harus mereka lakukan terhadap keunggulan perusahaan mereka. Dalam bentuk yang lebih ekstrim, engagement muncul ketika ada penyetaraan antara tujuan individu dengan perusahaan. Penyetaraan ini menjadi hal yang penting karena hal ini memastikan apakah mekanisme dorongan itu ada atau tidak (baik itu secara intrinsik atau berdasarkan prinsip timbal-balik) pada perilaku karyawan yang konsisten dengan strategi perusahaan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009). Suatu organisasi memberikan imbalan kepada karyawan sebagai bentuk timbal balik yang diberikan atas kinerja yang diberikan oleh karyawan. Imbalan yang diberikan oleh organisasi merupakan hak dari setiap karyawan dalam organisasi yang telah memberikan kinerja mereka. Hak itu harus diberikan oleh organisasi sebagai bentuk apresiasi atas kinerja karyawan. Selain itu, organisasi memberi imbalan
a) Ekstrinsik
1) Penghargaan Finansial : Gaji dan Upah Uang merupakan penghargaan ekstrensik yang utama
2) Penghargaan Finansial : Tunjangan Tunjangan tidak sepenuhnya finansial, seperti pusat penitipan anak, pusat kebugaran, dan perawatan medis.
3) Penghargaan Interpersonal Penghargaan yang didistribusikan kepada karyawan seperti status dan pengakuan.
b) Intrinsik
1) Penyelesaian (Completion) Kemampuan memulai dan menyelesaikan suatu pekerjaan atau proyek merupakan hal yang penting bagi sebgian orang. Bagi mereka itu merupakan penghargaan pada diri mereka sendiri.
2) Pencapaian (Achievement) Pencapaian merupakan penghargaan yang muncul dalam diri sendiri, yang diperoleh ketika seseorang meraih suatu tujuan yang menantang.
3) Otonomi (Autonomy)
Perasaan otonomi dapat dihasilkan dari kebebasan melakukan apa yang dianggap terbaik oleh karyawan dalam suatu situasi tertentu.
4) Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Penghargaan ini berupa kesempatan dan dorongan yang diberikan kepada perusahaan kepada karyawan untuk berkembang dan bertumbuh.
Penyetaraan itu akan muncul searah dengan terwujudnya budaya organisasi yang tepat, yang secara kontinu memantau dan menguatkan hal tersebut dalam setiap sudut dan setiap celah di seluruh level dalam perusahaan. Dan dalam menciptakan budaya tersebut tidaklah mudah karena dibutuhkan perhatian lebih terhadap isu individu itu sendiri, dimulai dari siapa dan bagaimana seseorang dipekerjakan, sampai
bagaimana mereka mendapatkan promosi dan pelatihan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009). Jadi, engagement akan muncul ketika orang-orang mengetahui prioritas dari strategi perusahaan itu apa dan mengapa, dan ketika perusahaan menyetarakan proses dan praktisnya, budayanya, terkait dengan tujuan perusahaan itu sendiri (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
2.1.2 Employee Engagement
Employee engagement pertama kali dikemukakan oleh kelompok peneliti Gallup (Endres & Smoak, 2008). Mereka mengklaim bahwa employee engagement dapat memprediksi peningkatan kinerja pada karyawan, profitabilitas, mempertahankan karyawan, kepuasan konsumen, serta keberhasilan untuk organisasi (Bates, 2004; Baumruk, 2004; Richman, dalam Saks :2006).
Ada beberapa definisi dari employee engagement itu sendiri. Menurut
Paradise (2008), employee engagement adalah hasil dari kondisi pekerjaan yang mendukung. Harter, Schmidt dan Hayes (2002) mendefinisikan employee engagement sebagai bentuk keterlibatan individual dan kepuasannya serta sebagai bentuk antusiasme dalam melakukan pekerjaan. William Kahn (1990) menyatakan employee engagement adalah mengenai perhatian karyawan dan penyerapan mereka terhadap perannya. Macey (2008) menyatakan bahwa karyawan yang engage akan memiliki keinginan untuk terikat yang menimbulkan gairah akan pekerjaannya, terikat dengan pekerjaannya, bersedia untuk mengorbankan lebih banyak tenaga dan waktu demi pekerjaannya, dan menjadi lebih proaktif dalam mencapai tujuan pekerjaannya. Dalam literatur akademis, dikatakan bahwa engagement berhubungan dengan gagasan lain dalam perilaku organisasi (Saks, 2006). Gagasan dalam perilaku organisasi ini sama-sama berbicara tentang hubungan karyawan dengan perusahaan. Sebagai salah satu gagasan dalam perilaku organisasi, employee engagement berbeda dengan gagasan lain seperti komitmen organisasi. Komitmen organisasi merupakan sikap dan keterkaitan terhadap organisasi. Sementara employee engagement bukan merupakan sikap, melainkan tingkat seorang individu penuh perhatian dan senang dalam melakukan tugas yang diberikan.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa employee engagement adalah penghayatan seorang karyawan terhadap tujuan dan pemusatan energi, yang muncul dalam bentuk inisiatif, adaptibilitas, usaha, dan kegigihan yang mengarah kepada tujuan organisasi (Macey,Schneider,Barbera Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa employee engagement adalah penghayatan seorang karyawan terhadap tujuan dan pemusatan energi, yang muncul dalam bentuk inisiatif, adaptibilitas, usaha, dan kegigihan yang mengarah kepada tujuan organisasi (Macey,Schneider,Barbera
2.1.2.1 Engagement and Discretionary Effort
Menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young ;2009) berdasarkan dari empat prinsip dasar yang dijelaskan sebelumnya, timbul satu pertanyaan mengenai kebebasan untuk memilih/bertindak (discretionary) – “Mengapa karyawan rela untuk meluangkan lebih banyak waktu dan mengeluarkan lebih banyak usaha?” Jawabannya adalah karena adanya kontrak psikologis antara karyawan dan perusahaan. Merujuk pada luasnya nilai-nilai proposisi yang bertemu dengan kebutuhan karyawan, ada alasan dasar yang menjadi asumsi bahwa seorang karyawan akan bekerja dalam level konsistensi yang lebih tinggi sesuai dengan pemahaman mereka terhadap kontrak psikologis tersebut. Engagement, dalam hal ini menjadi suatu pembalasan atau timbal balik atas apa yang telah disediakan oleh perusahaan. Selain itu, lingkungan pekerjaan juga memainkan peranan penting dalam menentukan engagement, meskipun mungkin tidak terpusat pada kepuasan individu, melainkan lebih kepada menciptakan lingkungan kerja yang menjadi elemen pendukung agar perasaan engage dan perilaku engagement itu muncul.
Jadi, ketika perusahaan menyediakan kesempatan untuk berkembang, jenis pekerjaan yang sesuai, pengawasan yang adil dan bijaksana, upah yang sesuai, jaminan keamanan, dan seterusnya, engagement akan muncul dengan sendirinya karena rasa percaya akan prinsip timbal balik (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, engagement adalah penghayatan seorang karyawan terhadap tujuan dan pemusatan energi, yang muncul dalam bentuk inisiatif, adaptibilitas, usaha, dan kegigihan yang mengarah kepada tujuan organisasi. Pada dasarnya, engagement itu dibagi menjadi dua jenis, yaitu perasaan untuk engage dan perilaku engagement itu sendiri. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut.
2.1.2.2 The Feel of Engagement
Menurut (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009) ada 4 (empat) komponen penting dalam diri karyawan agar merasa engage, yaitu :
a. Urgency
b. Focus
c. Intensity, dan
d. Enthusiasm Kombinasi dari empat elemen diatas adalah yang membuat engagement menjadi baik berbeda dari konsep lain yang berkaitan dan secara simultan menjadi sumber energi dari pencapaian karyawan dan keuntungan persaingan bagi perusahaan.
a. Urgency
Urgensi adalah suatu determinasi dan energi yang mengarah kepada satu tujuan. Engagement tidak bisa muncul hanya karena suatu energi biasa, tetapi energi yang sudah mengarah ke satu tujuan. Urgensi juga diartikan sebagai suatu dorongan yang memaksa munculnya suatu perilaku untuk mencapai tujuan. Urgensi memiliki kesamaan dengan vigor (kekuatan psikis, energi emosional, dan
aktivitas kognisi) tetapi ditambahkan dengan pencapaian terhadap satu tujuan. Vigor biasanya dikenali sebagai konteks kerja dengan anggapan bahwa segalanya ada di dalam kekuatan pikiran, yang digambarkan sebagai suatu ketahanan mental dan kegigihan dalam menghadapai rintangan dalam pekerjaan. Jadi, vigor yang ditambahkan dengan pencapaian satu tujuan diartikan sebagai urgensi, sesuatu yang menjadi sangat mendasar dan menjadi inti dari engagement. Dan perasaan untuk engage tidak dapat muncul tanpa tujuan yang spesifik. Dalam hal ini, engagement lebih terdengar seperti motivasi (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
Konsep dari urgensi menjadi inti dari bagian psikologi lain yang relevan dengan jenis perilaku yang muncul sesuai dengan pengertian dari engagement. Secara konseptual, urgensi memiliki kaitan dengan resiliensi, atau kapasitas untuk bangkit setelah mengalami kegagalan. Urgensi juga memiliki kaitan dengan kepercayaan diri, yang mencakup kepercayaan bahwa seseorang itu pasti bisa mencapai satu tujuan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
b. Focus
Karyawan yang engage akan merasa fokus ketika bekerja. Di bawah kondisi yang normal, mereka akan merasa tepat sasaran dalam menjalankan pekerjaan dan tidak mudah terdistraksi oleh gangguan dari luar, seperti mengobrol dengan rekan kerja, berdiskusi mengenai tempat makan siang, cuaca yang buruk, dan sebagainya.
Kebanyakan dari kita pernah mengalami suatu kondisi ketika kita dikuasai oleh pekerjaan dan terbenam jauh ke dalam pekerjaan kita. Menjadi fokus berarti mencurahkan segenap perhatian dan kapasitas berpikir kita dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. Bukan pelaksanaannya yang menjadi penting, tetapi perasaan menjadi fokus terhadap pelaksanaannya yang lebih penting. Ketika perhatian kita tertuju pada satu pekerjaan atau beberapa pekerjaan, fokus ini mirip dengan apa
yang digambarkan dengan “mengalir”. Maksudnya adalah pekerjaan yang banyak membutuhkan perhatian karyawan yang bisa berganti dari satu pekerjaan ke
pekerjaan yang lain berdasarkan skala prioritasnya. Yang menjadi karakteristik dari karyawan yang engage adalah mereka secara konsisten fokus terhadap pekerjaannya, dan sebagian terhadap tugas lain yang mendesak.
Bahasa lain untuk mengekspresikan fokus yang konsisten ini adalah karyawan yang terlihat “menyatu”, “melebur”, dan “terlarut” kedalam pekerjaannya yang menyebabkan waktu terasa cepat berlalu. Karyawan yang demikian akan lebih mungkin mengalami kesulitan untuk melepaskan diri mereka dari pekerjaan yang sedang dikerjakan.
Pada beberapa pekerjaan, adakalanya karyawan memiliki sedikit atau tidak sama sekali pilihan kecuali untuk fokus secara konsisten terhadap pekerjaan, terutama yang membutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi, contohnya adalah seorang peneliti reaktor nuklir. Kewaspadaan menjadi hal yang melekat erat dalam pekerjaan tersebut, dan kebebasan untuk bertindak atau memilih menjadi hal yang sangat langka. Pengertian fokus menjadi sangat berbeda di lingkungan kerja yang menawarkan kebebasan pada karyawan untuk memilih apa yang harus Pada beberapa pekerjaan, adakalanya karyawan memiliki sedikit atau tidak sama sekali pilihan kecuali untuk fokus secara konsisten terhadap pekerjaan, terutama yang membutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi, contohnya adalah seorang peneliti reaktor nuklir. Kewaspadaan menjadi hal yang melekat erat dalam pekerjaan tersebut, dan kebebasan untuk bertindak atau memilih menjadi hal yang sangat langka. Pengertian fokus menjadi sangat berbeda di lingkungan kerja yang menawarkan kebebasan pada karyawan untuk memilih apa yang harus
c. Intensity
Fokus saja tidak dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan perasaan untuk menjadi engage. Misalnya, alasan kita merasa takut terganggu ketika sedang berkonsentrasi adalah karena intensitas dari fokus kita. Intesitas di sini diartikan sebagai kedalaman dari konsentrasi. Hal ini diarahkan dalam bagian alami dari tuntutan pekerjaan dan tingkat kemampuan karyawan yang bersangkutan. Ketika tingkat kemampuan cocok dengan tuntutan pekerjaan, karyawan harus menggabungkan perhatian dan energi ke dalam pekerjaan tersebut agar dapat diselesaikan. Sebaliknya, ketika tingkat kemampuan karyawan jauh melebihi tuntutan pekerjaan, maka karyawan tersebut akan merasa bosan, sehingga perhatian dan energi mereka dapat pindah ke hal lain. Intensitas mengarahkan karyawan untuk membuka diri mendekati semua sumber energi yang tersedia (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
Masih dalam tautan yang sama, Kahn (1990), tokoh yang memperkenalkan konsep dari personal engagement dalam bekerja, menjelaskan bahwa karyawan itu bisa kurang atau lebih hadir secara psikologis dalam waktu yang berbeda selama hari kerja. Maksudnya adalah terdapat variasi yang luas Masih dalam tautan yang sama, Kahn (1990), tokoh yang memperkenalkan konsep dari personal engagement dalam bekerja, menjelaskan bahwa karyawan itu bisa kurang atau lebih hadir secara psikologis dalam waktu yang berbeda selama hari kerja. Maksudnya adalah terdapat variasi yang luas
d. Enthusiasm
Antusiasme merupakan kondisi psikologis yang secara simultan mencakup energi dan kebahagiaan. Hal ini merupakan kondisi emosi yang mengacu kepada perasaan positif, dan dikonotasikan sebagai positive well-being yang kuat. Ketika kita membayangkan tentang antusiasme karyawan, kita akan mendapatkan gambaran seorang karyawan yang terlibat secara aktif dalam pekerjaannya. Jika diselidiki, karyawan yang antusias dalam bekerja akan merasa lebih “hidup” dan bergairah dalam bekerja.
Antusiasme menjadi pusat dari perasaan engage di dalam pekerjaan. Gairah ini bukan merupakan suatu hasil dari energi dan fokus saja, melainkan suatu elemen dari keunikan engagement itu sendiri. Antusiasme menjadi alasan mengapa engagement dikategorikan sebagai suatu emosi. Komponen emosi yang positif itulah yang disebut dengan antusiasme.
Lebih penting lagi, ketika gairah dan antusiasme menjadi satu kondisi untuk menggambarkan pengalaman dari karyawan yang engage, tidak berarti bahwa gairah dan antusiasme itu menjadi suatu kondisi yang harus diperlihatkan oleh seluruh karyawan yang engage. Penting untuk diketahui bahwa perbedaan Lebih penting lagi, ketika gairah dan antusiasme menjadi satu kondisi untuk menggambarkan pengalaman dari karyawan yang engage, tidak berarti bahwa gairah dan antusiasme itu menjadi suatu kondisi yang harus diperlihatkan oleh seluruh karyawan yang engage. Penting untuk diketahui bahwa perbedaan
Dari penjelasan mengenai empat komponen perasaan untuk engage di atas, dapat disimpulkan bahwa engagement adalah suatu kumpulan energi perasaan seseorang terhadap suatu pekerjaan, yang kemudian muncul sebagai suatu hasil dari perasaan urgensi, fokus, intensitas, dan antusiasme. Terlebih lagi, karyawan yang engage tidak hanya merasa berenergi tetapi juga merasa kompeten, dan hal tersebut yang memunculkan baik dari pengalaman pribadi karyawan tersebut dan dari kondisi pekerjaan yang disediakan oleh perusahannya. Dapat diprediksi bahwa perasaan untuk engage akan muncul dalam suatu bentuk perilaku yang dapat dikarakterisikkan sebagai suatu kondisi engage itu sendiri (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
2.1.2.3 The Look of Engagement
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perasaan engage akan mengarahkan seorang karyawan untuk memperlihatkan perilaku engagement. Ada beberapa faktor dari perilaku engagement dari karyawan terkait dengan perasaan engage karyawan tersebut. Hal ini mencakup kepribadian, level kemampuan, tipe kepemimpinan atasan, budaya perusahaan, dan lain-lain. Namun, terlepas dari faktor-faktor tersebut, semakin seorang karyawan merasakan engage, semakin mungkin
perilaku engagement (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
dia
akan
memperlihatkan
Ada 4 (empat) aspek perilaku utama yang diperlihatkan oleh karyawan yang memiliki perasaan engage, yaitu :
a. Persistence;
b. Proactivity;
c. Role expansion;
d. Adaptability. Perilaku karyawan yang engage dapat terlihat berbeda dari apa yang
diamati dan diharapkan. Perbedaan tersebut dapat dilihat tidak hanya secara individual saja tetapi secara keseluruhan dari lingkungan kerja.
a. Persistence
Persistence diartikan sebagai suatu kegigihan. Bentuk perilaku mengenai kegigihan paling jelas yang dapat diperlihatkan oleh seorang karyawan adalah penyelesaian tugasnya. Contohnya adalah karyawan yang bekerja keras, dalam jangka waktu yang lama tanpa beristirahat, dan dalam jam kerja yang lebih banyak selama hari kerja. Contoh yang lebih spesifik adalah, ketika seorang agen asuransi memilih untuk melewatkan waktu makan siangnya untuk melayanai keluhan dari pelanggannya.
Tetapi, melakukan pekerjaan melebihi tanggung jawab dan rentang waktu yang diwajibkan hanya sedikit contoh saja dari keseluruhan perilaku engagement itu sendiri. Persistence juga dapat merupakan suatu bentuk kegigihan ketika mengalami kegagalan dan suatu bentuk resiliensi. Sebagai contoh, seorang apoteker yang gagal mendapatkan formula yang tepat untuk suatu formula resep baru. Jika apoteker tersebut memiliki level engagement yang tinggi, menjadi Tetapi, melakukan pekerjaan melebihi tanggung jawab dan rentang waktu yang diwajibkan hanya sedikit contoh saja dari keseluruhan perilaku engagement itu sendiri. Persistence juga dapat merupakan suatu bentuk kegigihan ketika mengalami kegagalan dan suatu bentuk resiliensi. Sebagai contoh, seorang apoteker yang gagal mendapatkan formula yang tepat untuk suatu formula resep baru. Jika apoteker tersebut memiliki level engagement yang tinggi, menjadi
Persistence ini mengikuti faktor energi yang mengarah ke tujuan yang sebelumnya dijelaskan sebagai urgensi. Kita dapat mengharapkan perilaku gigih ketika karyawan merasa antusias dikarenakan mereka percaya bahwa mereka mampu memberikan kontribusi terhadap keberhasilan perusahaan. Persistence juga akan muncul ketika karyawan secara intens fokus sehingga mereka memperoleh jalur alternatif untuk mencapai tujuan ketika menemui rintangan. Keuntungan dari persistence itu sendiri cukup jelas, mencakup kualitas kerja yang lebih tinggi, menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dan tanggap, lebih sedikit kebutuhan/tuntutan
lebih rendah (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
b. Proactivity
Satu karakteristik penting dari karyawan yang engage adalah mereka menjadi proaktif, tidak hanya reaktif, atau bahkan lebih parah, pasif. Menjadi proaktif berarti mengambil tindakan ketika kebutuhan untuk bertindak muncul pada diri karyawan, seperti memperbaiki performa kerja suatu mesin yang mulai memperlihatkan penurunan, daripada hanya diam dan menunggu perintah dari atasan. Atau inisiatif untuk mengerjakan pekerjaan kelompok selagi anggota kelompok yang lain masih berleha-leha (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
Karyawan yang engage tidak hanya akan bertindak ketika kebutuhan itu muncul, mereka akan lebih mampu untuk mengenali dan mengantisipasi kebutuhan tersebut atau kesempatan untuk bertindak lebih cepat. Kemampuan mengenali kesempatan bertindak tersebut menjadi sebuah contoh dari bagaimana seorang karyawan yang engage mendekati pekerjaan mereka secara penting dan berkualitas. Dalam kata lain, karyawan yang engage telah meningkatkan kewaspadaan mereka. Mereka secara konsisten ada dalam keadaan siap dan secara proaktif mencari dan melakukan sesatu yang terbaik untuk kelompok, perusahaan, dan konsumen mereka. Dengan demikian, proaktif di sini menunjukkan perubahan inisiatif karyawan dari reaktif menjadi bertanggung jawab.
Dugaan mengenai perubahan inisiatif dari karyawan ini mirip dengan pandangan dari Frese and Fay (2008) dalam konsep mereka mengenai personal intiative. Mereka berpendapat bahwa inisiatif merupakan konsep yang diperhatikan dalam perilaku organisasi, dan juga diamati dalam pandangan tradisional dari performa kerja dalam psikologi organisasi yang mencakup tugas- tugasnya, prosesnya, dan lingkungan kerja yang ditujukan kepada karyawan. Contohnya, dalam pandangan tradisional, karyawan itu diseleksi dan ditempatkan pada suatu pekerjaan yang membutuhkan penjelasan dari pekerjaan dan proses kerjanya, kemudian diberikan pelatihan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dalam cara-cara tertentu, dan secara lebih umum, disosialisasikan ke dalam budaya perusahaannya.
Seperti halnya Frese and Fay (2008), perubahan alami dalam suatu pekerjaan dipercaya dapat meningkatkan kepentingan untuk memiliki karyawan Seperti halnya Frese and Fay (2008), perubahan alami dalam suatu pekerjaan dipercaya dapat meningkatkan kepentingan untuk memiliki karyawan
Hubungan antara merasa engage dan memperlihatkan perilaku proaktif sebenarnya cukup jelas. Pertama, karyawan yang memiliki perasaan urgensi dan tingkat konsentrasi yang tinggi terhadap pekerjaan mereka akan lebih proaktif. Karyawan yang engage akan mengambil inisiatif untuk menghindari atau mencegah suatu masalah. Kedua, karyawan yang engage akan lebih banyak menggunakan sumber energi emosi dan pikiran mereka dalam pekerjaan, sehingga mereka menjadi lebih mungkin untuk mengenali masalah yang potensial, dan kebutuhan atau kesempatan untuk bertindak. Terakhir, karyawan yang merasa antusias terhadap bagaimana performa kerja mereka memengaruhi keberhasilan dari perusahaan dan menginternalisasikan tujuan kelompok dan perusahaan akan lebih mungkin untuk mendeteksi rintangan yang muncul dalam pencapaian tujuan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
c. Role Expansion
Role expansion diartikan sebagai perluasan peran kerja. Karyawan yang engage cenderung akan memperlihatkan peran mereka secara lebih luas dan menyeluruh. Jenis perilaku seperti ini cukup sering terlihat dalam berbagai variasi, Role expansion diartikan sebagai perluasan peran kerja. Karyawan yang engage cenderung akan memperlihatkan peran mereka secara lebih luas dan menyeluruh. Jenis perilaku seperti ini cukup sering terlihat dalam berbagai variasi,
Di sisi lain, role expansion juga mencakup pergantian peran kerja dalam jangka panjang atau bahkan menetap. Adakalanya seorang atasan mendelegasikan tanggung jawab dan pekerjaannya kepada bawahannya sehingga kompetensi karyawan menjadi lebih jelas terlihat, atau sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri. Karakteristik penting dalam role expansion adalah kesediaan untuk menerima suatu jenis pekerjaan yang berbeda dari suatu peran. Hal ini mungkin merupakan suatu hasil inisiatif dari manajemen atau inisiatif dari diri sendiri. Terkadang, suatu tanggung jawab dapat muncul dari yang sebelumnya tidak ada, akibat dari proses perubahan, perkembangan suatu produk baru, atau perubahan lingkungan eksternal. Atau mungkin juga tanggung jawab itu muncul karena karyawan dipindahkan, mendapat promosi, atau tergantikan oleh seseorang yang memiliki keterampilan yang berbeda.
Ada beberapa alasan mengapa karyawan yang engage menjadi lebih berinisiatif untuk memperluas peran kerjanya. Pertama, karyawan yang berinisiatif untuk memperluas peran kerjanya adalah suatu bentuk perilaku proaktif, dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, karyawan yang engage memiliki kecenderungan untuk bertindak, dan lebih kecil kemungkinannya untuk menunggu orang lain mengambil satu pekerjaan yang belum menjadi tanggung jawab siapa pun. Kemudian, karena karyawan yang mengarah ke tujuan lebih memperlihatkan sikap yang mau mencari alternatif dalam mencapai tujuannya, Ada beberapa alasan mengapa karyawan yang engage menjadi lebih berinisiatif untuk memperluas peran kerjanya. Pertama, karyawan yang berinisiatif untuk memperluas peran kerjanya adalah suatu bentuk perilaku proaktif, dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, karyawan yang engage memiliki kecenderungan untuk bertindak, dan lebih kecil kemungkinannya untuk menunggu orang lain mengambil satu pekerjaan yang belum menjadi tanggung jawab siapa pun. Kemudian, karena karyawan yang mengarah ke tujuan lebih memperlihatkan sikap yang mau mencari alternatif dalam mencapai tujuannya,
d. Adaptibility
Seorang karyawan yang adaptif akan membantu perusahaannya mengantisipasi dan merespon terhadap perubahan dalam lingkup persaingan secara lebih cepat, lebih berhasil, dan dengan biaya yang lebih kecil. Karyawan yang adaptif akan mengembangkan keterampilan baru seiring dengan perubahan tuntutan, sehingga mengurangi kebutuhan untuk merekrut karyawan baru. Suatu perubahan dalam skala besar umumnya membutuhkan pelatihan formal untuk memfasilitasi pengembangan keterampilan. Karyawan yang adatif dapat menyesuaikan terhadap perubahan tersebut tanpa membutuhkan suatu pelatihan formal, sehingga menghemat waktu dan biaya. Karyawan yang adaptif juga membantu meminimalisir besarnya investasi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan oleh manajemen untuk meningkatkan usaha, sehingga membuat perusahaan tetap dapat memimpin persaingan (Macey,Schneider,Barbera and Young;2009).
Psikolog Pulakos (2008) beserta koleganya telah meneliti secara mendalam mengenai adaptibilitas dan memperoleh aspek-aspek penting di dalamnya, yaitu bagaimana respon karyawan terhadap perubahan di lingkungan mereka dan bagaimana perubahan membawa hasil yang lebih baik secara menyeluruh. Perilaku yang dimunculkan adalah sebagai berikut :
i. Memecahkan masalah secara kreatif;
ii. Berhadapan secara efektif terhadap perubahan situasi kerja yang tidak dapat diperkirakan;
iii. Mempelajari tugas-tugas pekerjaan, teknologi, dan prosedurnya, dan iv. Memperlihatkan adaptibilitas interpersonal. Fase-fase ini menunjukkan cara-cara dari karyawan atau individu yang
engage untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan atau organisasi.
2.1.2.4 Perbedaan Employee Engagement dengan Konstruk Lain
Dalam literatur akademisi, engagement dapat dikatakan berkaitan namun tetap berbeda dengan konstruk lainnya dalam perilaku organisasi seperti konstruk komitmen organisasi (organizational commitment) dan keterlibatan kerja (job involvement ). Robinson, Perryman, and Hayday (2004) menjelaskan bahwa engagement terdiri dari banyak elemen didalamnya termasuk elemen komitmen organisasional (OC) serta organizational citizenship behavior (OCB), tetapi ketiganya tetap berbeda, sebab tidak ada satupun elemen dari OCB dan OC yang dapat menjelaskan dari aspek engagement yang ada. Dari wawancara yang dilakukan oleh McBain (2007) terhadap para pemimpin perusahan ditemukan Dalam literatur akademisi, engagement dapat dikatakan berkaitan namun tetap berbeda dengan konstruk lainnya dalam perilaku organisasi seperti konstruk komitmen organisasi (organizational commitment) dan keterlibatan kerja (job involvement ). Robinson, Perryman, and Hayday (2004) menjelaskan bahwa engagement terdiri dari banyak elemen didalamnya termasuk elemen komitmen organisasional (OC) serta organizational citizenship behavior (OCB), tetapi ketiganya tetap berbeda, sebab tidak ada satupun elemen dari OCB dan OC yang dapat menjelaskan dari aspek engagement yang ada. Dari wawancara yang dilakukan oleh McBain (2007) terhadap para pemimpin perusahan ditemukan
Komitmen organisasi (OC) berbeda dengan engagement. OC berkaitan dengan sikap seseorang dan kedekatan dengan organisasi mereka. Di sisi lain, engagement bukan merupakan sikap melainkan suatu tingkatan yang mana individu memiliki perhatian yang lebih dalam menjalankan peran mereka di lingkungan pekerjaan. OCB berbeda dengan engagement, OCB berkaitan dengan perilaku informal dan sukarela yang dapat menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan fokus dari engagement adalah peran formal kinerja individu yang bukan sebagai peran ekstra ataupun tidak secara sukarela (Saks, 2006). Engagement juga berbeda dengan keterlibatan karyawan (Job Involvement/JI). JI adalah hasil dari penilaian kognitif mengenai kemampuan pemenuhan kepuasan kerja serta berkaitan dengan erat dengan citra diri individu (self image). Di lain pihak, engagement berkaitan dengan bagaimana individu mempekerjakan diri mereka sendiri dalam melaksanakan kinerja pekerjaan mereka. Lebih lanjut, engagement melibatkan penggunaan emosi secara aktif serta perilaku secara kognitif (May, Gilson, Harter, 2004; dikutip dalam Saks, 2005).
Menurut Kahn (1990), employee engagement berbeda dari konstruk peran karyawan yang lainnya karena employee engagement lebih berfokus pada bagaimana pengalaman psikologis dalam bekerja dan konteks pekerjaan seseorang sehingga dapat mempertajam proses bekerjanya. Lebih lanjut, employee Menurut Kahn (1990), employee engagement berbeda dari konstruk peran karyawan yang lainnya karena employee engagement lebih berfokus pada bagaimana pengalaman psikologis dalam bekerja dan konteks pekerjaan seseorang sehingga dapat mempertajam proses bekerjanya. Lebih lanjut, employee
Terikat secara emosional artinya ketika individu membangun hubungan yang berarti dengan orang lain dan mengalami empati serta perhatian terhadap perasaan orang lain, misalnya terhadap rekan kerja dan manajer. Di sisi lain, terikat secara kognitif merujuk kepada individu yang menaruh perhatian lebih pada tugas dan peran mereka di lingkungan pekerjaan. Lebih lanjut menurut Kahn (1990 dikutip oleh Luthans dan Peterson, 2002), karyawan dapat diikat pada satu dimensi saja yaitu bisa secara emosional saja ataupun kognitif. Tetapi semakin mereka merasakan keterikatan disetiap dimensi akan mendorong terciptanya keterikatan personal. Keterikatan personal inilah yang mendorong tercipta employee engagement.
Sebagai contoh, karyawan yang mengetahui apa yang diharapkan dari mereka, yang membangun hubungan yang kuat dengan rekan kerja dan pimpinan mereka, atau yang mengalami arti dalam bekerja, inilah yang dikatakan engage. Sedangkan karyawan yang dikatakan non-engage adalah yang tidak mampu menyelesaikan tanggung jawabnya menarik dari dari peran mereka serta tidak memiliki ikatan baik secara emosional maupun kognitif dalam melaksanakan pekerjaannya. Dapat dikatakan, sikap dan perilaku mereka yang tidak terikat cenderung mengurangi upaya mereka dan bersifat automatik maupun dianggap seperti robot (Hochschild, 1983, dikutip oleh Luthans dan Peterson, 2002).
2.1.3 Kepuasan Kerja
2.1.3.1 Definisi Kepuasan Kerja
Kepuasan Kerja merupakan suatu perasaan positif mengenai pekerjaannya dan merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Terdapat beberapa aspek yang dapat mencerminkan kepuasan karyawan ( pekerjaan itu sendiri, gaji, kenaikan jabatan, pengawasan atasan, dan rekan kerja).(Robbins, 2008:110). Kepuasan karyawan adalah kepuasan yang diterima karyawan atas balas jasa hasil kerjanya, kepuasan ini penting bagi organisasi, karena jika karyawan tidak puas maka mereka akan keluar (Hasibuan 2007:202).
Menurut Newstrom mengemukakan bahwa “job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with employes view their work”. Kepuasan kerja berarti perasaan mendukung atau tidak mendukung yang dialami pegawai dalam bekerja
Menurut Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai “the way an employee feels about his or her job ”. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya. dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karier, hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi. Sementara itu, perasaan yang Menurut Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai “the way an employee feels about his or her job ”. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya. dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karier, hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi. Sementara itu, perasaan yang
Menururt Hidayat Keadaan emosional yang menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini dampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
Menurut Angga Leo Kepuasan itu terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan Pegawai; merupakan sikap umum yang dimiliki oleh Pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan. Apabila dilihat dari pendapat (Robbins 2008) tersebut terkandung dua dimensi, pertama, kepuasan yang dirasakan individu yang titik beratnya individu anggota masyarakat, dimensi lain adalah kepuasan yang merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai
Terdapat beberapa teori mengenai kepuasan diantaranya :