SEJARAH RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT YAN

SEJARAH RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT
YANG DI SEMBUNYIKANPEMERINTAH
Posted on 04/07/2013 by fv4eva

OM Swastiastu,
——————————————–
Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya
membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan,
Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah
kerajaan Majapahit. Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan
oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja beliau
bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat
disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh
Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII, hanya ada dua
Kerajaan besar, Tiongkok dan Majapahit.
Lambang Negara Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan
Putih. Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu.
Lambang nasionalisme sejati. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi.
Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara
adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat
pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur.

Pelabuhan iInternasional-nya waktu itu adalah Gresik.
Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran Shiwa dan Buddha. Dua agama
besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian
muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari

nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva
atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya
memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama
Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah
Emperor di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan
nama Vilvatikta (Wilwatikta. Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga,
selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar
ini dengan nama Wilwatikta (Wilwotikto).
Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu
Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai
jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (13501389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor dipelosok
Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh
rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun
yang terkenal dengan nama Perang Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan

ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat
Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil
ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang
membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam
masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan
Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet
berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka, Umbaran =
Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo
Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak
Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo
Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain adalah Raden
Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri.)
Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit
dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak
melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya.
Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan
pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat
sebagai suami oleh Ratu Suhita. (Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar
Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara,
Wungu = Pucat pasi, ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar

Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan).
Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta
Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan
gelar Prabhu Brawijaya ( Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau
inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari
Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau
Jawa.

Dan kisahnya adalah sebagai berikut :
Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk dalam
wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. ( Sekarang hanya
menjadi perkampungan Champa ). Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan
Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini
diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara.
( Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim AsSamarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh
Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.
Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi
Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim AsSamarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati. Dari hasil pernikahan ini,
lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid ‘Ali Murtadlo, dan
yang bungsu bernama Sayyid ‘Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa

( Indo-china ), Sayyid ‘Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo.
(Nama Champa dari Sayyid ‘Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan
dan Dewi Anarawati, saya belum mengetahuinya : Damar Shashangka).
Kerajaan Champa dibawah kekuasaan Kerajaan Besar Majapahit yang
berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden
Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau
didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada
tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan
sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun
kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga
mengundurkan diri.
Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah
Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan
dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran
diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu
Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.
Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok
mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan
kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali
penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama

Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah
Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan
istri-istrinya yang lain. (Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai
istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar. Pada kesempatan lain, saya akan
menceritakannya : Damar Shashangka).
Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan
Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh

para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati.
Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda takluk. Dan salah satu
upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.
Melihat kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat.
Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China
yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana.
Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati.
Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian
disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian
diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati
Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya
juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja

Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429
Masehi, dengan seorang putri China pula.
Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian
seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan
Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan
etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang
sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang
waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang
bercorak Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian
sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan,
dinikahilah dia oleh Arya Damar.
Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan
Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat.
Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia
terkenal dengan nama Raden Patah!
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga
seorang putra. Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak
di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung
yang terkenal itu!

Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut
hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah
berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta
kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang
banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah

Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita
Shiva dan para Wiku Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa
menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi
jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku
layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati
segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh
Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru
di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya
menyetujuinya.
Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah
melihat gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan
Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah
keputusan penting.

Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan terdekat
Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini
berhati-hati, tidak gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang
mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.
Perekonomian Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis China
semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang
itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi
Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar. Apalagi,
pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi
Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguhsungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang
Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang baru ini.
Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para
pejabat daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda
kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang),
mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru.
Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan
menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari
yang berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu
burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang

pemain, dengan diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti
banci. ( Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang
bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak

menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti
orang gila.
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan
makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker
yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa
Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala
Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah
adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu
Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom
adalah symbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah symbol dari Pejabat
daerah.
Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor
harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak
berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit
sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan banci, sangat
memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat

kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah
terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu
Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang Islam!
Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG
PONOROGO!
Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki
Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit.
Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang dengan Majapahit!
Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk
memimpin pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! (Akan
saya ceritakan pada bagian kedua : Damar Shashangka).
Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah ‘perdikan’. Daerah perdikan adalah
daerah otonom. Beliau menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi
Anarawati meminta daerah Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang )
agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang Islam. Dan disana,
rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi
kaum muslim.
Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas
nama Negara, mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh
Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru dari

Padepokan yang hendak dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja
Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka

berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke Jawa. Diiringi oleh kedua
putranya, Sayyid ‘Ali Murtadlo dan Sayyid ‘Ali Rahmad.
Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu itu, mereka
disambut oleh masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana sejak
jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat muslim ini mulai
mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana Malik
Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu
Hayam Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar ‘pasrah’ memeluk
Islam. Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk
pada waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak
menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan
Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik,
banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit
yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Dan Syeh Maulana Malik
Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang
Jawa muslim dengan nama Sunan Gresik.
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari
sebelum ada yang dinamakan Dewan Wali Sangha (Sangha = Perkumpulan
orang-orang suci. Sangha diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan
dengan doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata
Wali Sangha lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali
Sembilan.: Damar Shashangka).
Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Gresik sebelum
meneruskan perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit. Sayang,
setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan meninggal
dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim
Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.
Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana.
Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand
dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad
diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan
Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali Murtadlo mendapat gelar
kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka
dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak
bisa mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo,
jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun lama
kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya
juga ada di Gresik sekarang.

Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat
pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu.
Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan
lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan
Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian
hari, Raden Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.
Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga
ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah
memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar dimanamana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi
tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga,
Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat
kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabdo
Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu
Brawijaya tetap tidak mendengarkannya.Raja Majapahit yang ditakuti ini,
kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan burung Merak, Dewi
Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.
RUNTUHNYA MAJAPAHIT
Berdirinya Giri Kedhaton
Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450 Masehi terkena
wabah penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang
kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan. Blambangan diperintah oleh
Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul Sengara.
Wabah penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi
Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah seorang
ulama dari Samudera Pasai ( Aceh sekarang ), yang masih berkerabat dekat
dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli
pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara, dia serta
merta mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari
Champa, sang putri berangsur-angsur sembuh.
Adipati Menak Sembuyu menepati janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa
yang mampu menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan jika
perempuan akan diangkat sebagai saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq
dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.

Namun pada perjalanan waktu selanjutnya, ketegangan mulai timbul. Ini
disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak Adipati beserta seluruh keluarga
untuk memeluk agama Islam.
Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari
Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah
hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh
Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat stabilitas
Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi
dua kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang
tetap menolak infltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada
ajaran Islam, sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam
karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi terpecah
belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.
Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu yang
pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang tengah
dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini menjadi laten
bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi ketegangan belum juga bisa
diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan sangat
terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri kepada
saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.
Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu dilarung
ketengah laut (meniru cerita Nabi Musa) dengan menggunakan peti. Konon
ada saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar. Kapal dagangnya tibatiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan peti itu akhirnya
dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar. Isinya ternyata
seorang bayi.
Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan. Yang terjadi, saudagar muslim Gresik
yang tengah berlayar di Blambangan diperintahkan untuk menghadap ke
Kadipaten menjelang mereka hendak balik ke Gresik. Inilah maksudnya
kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar bertanya-tanya, ada kesalahan apa
yang mereka buat sehingga mereka disuruh menghadap ke Kadipaten?
Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan diam-diam telah
mengatur pertemuan itu. Sang Adipati memberikan seorang anak bayi,
cucunya sendiri, yang lahir dari ayah seorang muslim. Anak itu dititipkan
kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi
Ageng Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah
menitipkan cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman
bersama Nyi Ageng Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan dapat
kembali tenang.
Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.

Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada
majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang
sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan bangsawan Blambangan.
Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang disegani oleh
orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah
anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi itu
hadir seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu dinamakan
Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.
Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh
tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.
Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi
Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan
diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.
Sunan Ampel, dari hasil perkawinannya dengan kakak kandung Adipati
Tuban Arya Teja, memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk
diketahui adalah Makdum Ibrahim ( Nama Champa-nya : Bong- Ang : kelak
terkenal dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya
berubah menjadi Sunan Bonang). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal
kemudian dengan nama Sunan Derajat. Yang ketiga Maulana Ahmad, yang
terkenal dengan nama Sunan Lamongan, yang keempat bernama Siti
Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan Jaka Samudera, yang kemudian
terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan Giri), yang kelima putri
bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan Raden Patah ( Tan Eng
Hwat ), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu Brawijaya yang ada di Palembang
itu.
Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka Samudera, diberi
nama lain oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan
nama Sunan Giri Kedhaton. Dia adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan
telah mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak bila
sudah meninggal.
Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat
berguru dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan
komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama
Pesantren Giri.
Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri memaklumatkan lepas dari
kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara kafr. Pesantren Giri berubah
menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal dengan nama Giri Kedhaton
( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat dirinya sebagi khalifah Islam

dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa Bermata Enam. Gelar sindiran
kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).
Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya,
sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan
tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah. Darah mengalir.
Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan Islam bertama itu
tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh serangan
Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487 Masehi. (Sembilan
tahun setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi).
Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan Majapahit.
Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya dengan
melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya ini katanya
berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng
atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa
membuat ‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan
nama ‘Kalamunyeng’. Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri,
melalui tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu
mengadakan pemberontakan yang sempat ‘memusingkan’ Majapahit.
Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu
Brawijaya, Sunan Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu
diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah
kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang
sebenarnya bisa membahayakan.
Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar seorang yang
bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah kewajiban yang
merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu kewajiban menjalankan
janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili siapa saja yang
bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh janji yang lain, yaitu
ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan ruang untuk mendengarkan
suara rakyatnya, VAYU (Angin), Raja harus mampu mewujudkan pemerataan
kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin, AGNI (Api), Raja harus
memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang bersalah tanpa
pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air), Raja harus mampu
menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya bagaikan air
yang mampu menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja harus mampu
memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung semuanya,
tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung semua
manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan
keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti Matahari yang
memberikan kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ), Raja harus
mampu mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari
kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan dimalam
hari, dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu

memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat
demi kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang
yang mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam
menjalang. Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut ASTHAVRATA
(Astobroto ; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu
Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.
Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah
fatwa, Haram hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga
Prabhu Brawijaya adalah Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari
pemimpin Islam se-Jawa, konfik mulai mereda.
Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam
terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu yang mencita-citakan berdirinya
Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak menginginkan berdirinya
Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan Kerajaan
Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan
untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh
dijalankan didaerah-daerah tertentu.
Kubu pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua dipelopori
oleh Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel.
Kubu Sunan Giri mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara
kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan
mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN
(Kaum Merah).
Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul. Hal ini
hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak,
ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militant Islam dan ketika Sunan
Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat pertikaian frontal yang berdarahdarah ( Yang paling parah dan memakan banyak korban, sampai-sampai
para investor dari Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di
Jawa tengah terjadi situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah
pertikaian antara Arya Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang
Panolan dari kubu Putihan dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari
Sunan Kalijaga, penguasa Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya
ceritakan : Damar Shashangka ).
Berdirinya Ponorogo.
Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan
Majapahit. Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran
yang melarikan diri bersama Raden Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil
menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit.
Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi Tribhuwanatunggadewi,
kakak kandung Shri Gitarja.

Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi
inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha
Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang dikenal dengan
nama Ponorogo.
Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.
Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan
harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang
dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng
Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah
pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.
Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan,
banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan
memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden Bathara
Katong kocar-kacir.
Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan
tugas Negara, konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad,
bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah sikap seorang
Ksatria sejati.
Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati gejolak
politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu,
dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang
ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita itu. Dan usahanya
menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden
Bathara Katong.
Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker
karena dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik.
Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an
dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an
Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai
akses langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat
Raden Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan
melupakan jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan
Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki
kedudukan yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker.
Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.

Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong harus
pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong harus
mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus
pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki
Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah
membelot dan kini berada di fhaknya. Manakala rencana itu sudah berhasil,
Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting
Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status
Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu
pasti akan disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..
Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus
mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli
dan teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki
Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.
Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka
Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke
Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan.
Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!
Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng
Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.
Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh
dengan Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan
suaka politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong
mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu
serta merta menyetujuinya.
Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.
Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan
Sura Handaka. (Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang
menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama
Warok Suromenggolo : Damar Shashangka).
Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara
Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.
Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan
Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik

dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai
Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada
Raden Bathara Katong.
Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang (Vertikal) dan
Rawe berarti Tegak (Horisontal). Arti sesungguhnya adalah, kekuatan yang
tegak dan melintang dari seluruh pasukan Wengker, telah berhasil diketahui
secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini.
Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.
Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya
utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas
nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke
Majapahit.
Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya
segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.
Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada
pihak ketiga bermain disana! Ironis sekali.
Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa
kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng
ketaton, bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan
darahnya diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng
Kutu, beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!
Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui
oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama
Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh
pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap
menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan
gagh berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan
Majapahit.
Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus
bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata,
melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan bermandikan darah.
Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker berhasil dihancurkan!
Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para ksatria
sejati yang benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah
mencatatnya! Alam telah merekamnya!

Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya
berkabung mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan
Ki Ageng Kutu. Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya
Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih,
bukannya bersuka cita.
Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara harus saling
menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena
disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria yang
gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan militer
Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan Majapahit
sendiri. Betapa tidak memilukan!
Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat
pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya
menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah
berhasil menjadi Kadipaten Islam.
RUNTUHNYA MAJAPAHIT
Kubu Abangan
Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang
sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga, matimatian membendung gerakan militansi Islam. Beliau seringkali
mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada
mendirikan sebuah Negara Islam.
Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban, Arya Teja. Adipati Arya Teja
adalah keturunan Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati Arya
Ranggalawe yang berhasil memimpin pasukan Majapahit mengalahkan
pasukan Tiongkok Mongolia yang hendak menguasai Jawa ( Adipati Arya
Ranggalawe adalah salah satu tangan kanan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan
Majapahit.)
Adipati Arya Teja berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak
kandung beliau dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan
kakak kandung Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat,
Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain (seperti yang telah saya tulis
pada bagian pertama : Damar Shashangka).
Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut Sunan
Kalijaga, sering terlibat konfik-konfik terselubung. Di pihak Sunan Giri,
banyak ulama yang bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan Lamongan,
Sunan Majagung ( sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung), Sunan
Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.
Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama
Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.

Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau
adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat tidak
menyetujui gerakan kaum Putih yang merencanakan berdirinya Negara
Islam Jawa.
Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan keluar
dari Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah dari Majelis
Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui lagi Sunan Ampel sebagai seorang
Mufti.
Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.
Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan
Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap
sangat membahayakan Islam.
Semua dinamika ini, terus diamati oleh intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan
militansi Islam mulai merebak dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban,
Demak, Cirebon dan Banten. Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan
kepada Prabhu Brawijaya. Tapi Prabhu Brawijaya tetap yakin, semua masih
dibawah kontrol beliau.
Keturunan di Pengging
Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan
dengan diangkatnya putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang
sangat luar biasa ini menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi Anarawati
membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa dilihat jelas disini, bila kelak
Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan menggantikannya sudah pasti
putra dari seorang permaisuri. Dan sang permaisuri beragama Islam. Dapat
dipastikan, Majapahit akan berubah menjadi Negara Islam.
Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi memperkuat barisan militansi
Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati mempersiapkan rencana yang
brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut Majapahit dengan cara
pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa dikuasai oleh
Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih bisa
berjalan.
Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan. Dari
hasil perkawinannya dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang anak.
Yang sulung seorang putri, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV,
penguasa Kadipaten Pengging ( sekitar daerah Solo, Jawa Tengah sekarang),
putra kedua bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura, dan yang
ketiga Raden Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. (Kelak, Raden Gugur

inilah yang terkenal dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya sebagai
penguasa mistik Gunung Lawu, yang terletak didaerah Magetan, hingga
sekarang : Damar Shashangka).
Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri sulungnya tidak tertarik
memeluk Islam, begitu juga dengan Raden Gugur. Hanya Raden Lembu
Peteng yang mau memeluk Islam.
Dari pernikahan putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat
IV, lahirlah dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Keduanya
juga tidak tertarik memeluk Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan
kemewahan Kadipaten dan menjadi seorang pertapa di Gunung Merapi
( didaerah Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas
pertapaan beliau masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang
seringkali diziarahi.
Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai
Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain
adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat
limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah pewaris sah tahta
Majapahit.
Kebo Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang
satu beragama Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama
tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi
tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara
Shiva Buddha dan Islam.
Namun kedekatan mereka ini disalah artikan oleh ulama-ulama radikal yang
masih melihat kulit, masih melihat perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh
mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari dukungan kekuatan. Dan
konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid Syeh Siti Jenar yang
hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng
Pengging tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang
benar bahwa beliau lah yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak
ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden Patah Dan juga, Ki Ageng
Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeh Siti Jenar hanyalah
seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan seperti ini, tidak akan bisa dimengerti
oleh mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti
Jenar adalah seorang spiritualis sejati. Kelak, setalah Majapahit berhasil
dihancurkan para militant Islam, dua orang sahabat ini menjadi target utama
untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging gugur
karena korban kepicikan.

Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat hitam. Sampai
sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi sebagai dua orang yang
sesat dikalangan Islam. Namun bagaimanapun juga, keharuman nama
keduanya tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi masyarakat Jawa,
walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terangterangan. Ironis.
Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir seorang tokoh terkenal di Jawa. Yaitu
Mas Karebat atau Jaka Tngkir. Dan kelak menjadi Sultan Pajang setelah
Demak hancur dengan gelar Sultan Adiwijaya.
Keturunan di Tarub
Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika Prabhu Brawijaya terserang penyakit
Rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras berusaha
menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap membandel.
Atas inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton.
Memohon kepada Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah
beberapa malam beliau memohon, suatu malam, beliau mendapat petunjuk
sangat jelas.
Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara.
“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah
Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”
Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya termangumangu. Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan Istana yang
berasal dari daerah Wandhan (Bandha Niera, didaerah Sulawesi).
Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah
Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari
Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik. Diambillah dia
sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan
nama Dewi Wandhan Kuning.
Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama
beberapa kali, penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh.
Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning
harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah
Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang
Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi
malah mengambil seorang pelayan.

Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang
anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah Istana,
Ki Juru Tani. ( Waktu itu, Istana memiliki areal pesawahan khusus yang
hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana.)
Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen (Bondhan perubahan dari kata
Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa).
Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah
berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen
dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki
Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang.)
Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan,
maka inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi
Nawangwulan dan lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama
menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan
selendang itu adalah Jaka Tarub sendiri. ( Saya tidak akan membedah
simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya
bahas : Damar Shashangka).
Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub.
Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan dengan Dewi
Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden Bondhan
Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.
Dari hasil perkawinan Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih,
lahirlah Raden Getas Pandhawa. Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki
Ageng Sela yang hidup sejaman dengan Sultan Trenggana, Sultan Demak
ketiga. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon bisa memegang petir sehingga
menggegerkan seluruh Kesultanan Demak (simbolisasi lagi, kapan-kapan
saya ulas : Damar Shashangka).
Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di tengah masyarakat Jawa.
Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai beralih memeluk Islam.
Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga. Perpindahan agama ini berjalan
dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng Abdul Rahman.
Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng Mangenis
Sela, lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki Ageng Pamanahan lahirlah
Panembahan Senopati Ing Ngalaga, tokoh terkenal pendiri dinasti Mataram
Islam dikemudian hari. [Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mataram inilah
leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta, Para Sunan Kasunanan Surakarta
(Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang].
Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan
damai.
Raden Patah.

Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di
Palembang?
Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki
seorang putra bernama Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama muslim
Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng Kian dengan Arya Damar sendiri,
lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan nama muslim
Raden Hussein.
Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik secara Islam oleh
ayahnya Arya Damar. Menjelang dewasa, Raden Hassan memohon ijin
kepada ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia berkeinginan untuk bertemu dengan
ayah kandungnya, Prabhu Brawijaya.
Tan Eng Kian tidak bisa menghalangi keinginan putranya. Dari Palembang,
Raden Hassan bertolak ke Jawa. Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang
ramai. Melihat keadaan Gresik yang hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia
bisa membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit. Menilik di
Gresik banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik.
Dan dengar-dengar, ada Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden
Hassan memutuskan untuk bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan
Sunan Giri. Sunan Giri senang melihat kedatangan Raden Hassan setelah
mengetahui dia adalah putra Prabhu Brawijaya yang lahir di Palembang.
Sunan Giri seketika melihat sebuah peluang besar.
Di Giri, Raden Hassan memperdalam ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan
mulai tertarik dengan ide-ide ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi Raden
Hassan mulaiterbentuk.Ada kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan
dengan Sunan Giri.
Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah
otonomi khusus kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila disetujui,
hendaknya Raden Patah memilih daerah di pesisir Jawa bagian tengah. Jika
itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara Jawa bagian
tengah, akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur
dan Jawa Barat di Cirebon.
Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan Islam dibawah pimpinan
Pangeran Cakrabhuwana, putra kandung Prabhu Siliwangi, Raja Pajajaran.
(Sunan Gunung Jati atau