Teks Hukum dari Perspektif Hermeneutika
Teks Hukum dari Perspektif Hermeneutika Paul Ricoeur (Bagian Kedua)
Penjelasan & Penafsiran Teks Hukum
Yakub Adi Krisanto
Perbedaan penjelasan dan penafsiran yang Dilthey lakukan berpijak dari cara pandang dg
menggunakan metode yang sama antara ilmuwan (ilmu) alam dengan sejarawan. Ilmuwan alam
menjelaskan alam, sedangkan sejarawan menafsirkan sejarah (masa lalu). Sedangkan Ricouer
menegaskan bahwa antara penjelasan dan interpretasi saling melengkapi dan hubungan timbal
balik (2009;202).
Dilthey tidak mengoposisikan penjelasan dengan penafsiran, melainkan penjelasan dengan
pemahaman (Paul Ricoeur, 2009; 202). Pemahaman menurut Dilthey adalah pertama,
pemindahan kehidupan mental seseorang ke dalam kehidupan mental orang lain. Kedua, proses
yang membuat kita mengetahui sesuatu mengenai kehidupan mental melalui tandatanda yang
bisa dipahami yang merepresentasikan kehidupan mental itu.
Bertolak dari gagasan Dilthey mengenai pemahaman, Ricoeur membuat pernyataan bahwa
penafsiran merupakan bagian dari pemahaman. Interpretasi adalah seni memahami yang
diterapkan pada manifestasi, kesaksian, monumen yang memiliki karakter khusus yaitu berupa
tulisan (Ricoeur, 2009;203).
"Pemahaman sebagai pengetahuan yang diperantai tandatanda kehidupan mental orang lain
menyediakan landasan bagi pasangan pemahamaninterprestasi: interpretasi memasok derajat
objektivikasi, melalui pembakuan dan pengawetan tandatanda itu oleh tulisan."
Selanjutnya Ricoeur menyatakan, "hermeneutika memenuhi tujuan pemahaman dengan cara
berkelit dari proses memahami orang lain secara langsung katakanlah dari nilainilai dialogis.
Pemahaman berusaha berdampingan dengan kehidupan batin sang pengarang, menyamakan
diri dengannya (sich gleichsetzen), mereproduksi (nachbilden) prosesproses kreatif yang
melahirkan karyanya." Dari pendapat Ricoeur ini diketahui bahwa hermeneutika tidak berdialog
dengan pengarang, melakukan 'dialog' melalui teks yang dihasilkan pengarang. Ketika hendak
membaca dengan mencoba melihat dari perspektif pengarang (apa yang dimaksud pengarang)
maka yang sedang dilakukan adalah memahami hasil karya pengarang dalam bentuk tanda
sebagai manifestasi kehidupan mental pengarangnya (Paul Ricoeur, 2009; 204).
Bagaimana hermeneutika bekerja? Paul Ricoeur memberikan penjelasan sebagai berikut
hermeneutika dimulai dari objektivikasi energi kreatif kehidupan dalam karya, dimana energi itu
hadir diantara pengarang dan kita; kehidupan mental serta dinamika kreatif itulah yang
menghendaki adanya mediasi dengan, 'makna', 'nilai', atau ' tujuan' (Paul Ricoeur, 2009; 204).
Objektivikasi energi kreatif menjadi konsekuensi dari karya merupakan subyektivikasi pengarang
yang berkreasi (mencipta atau memproduksi) dengan menggunakan media tanda dalam bentuk
teks atau tulisan. Subyektivikasi muncul karena ada pelibatan aspek mentalitas pengarang
dalam menghasilkan karya.
Dalam teks hukum, jarak dalam pengertian adanya rentang waktu menjadi keniscayaan. Bahwa
antara pembuatan hukum (baca: peraturan perundangundangan) oleh legislatif dengan
penegakan hukum terdapat selisih waktu. Selisih waktu ini memuat kompleksitas aspek antara
keduanya yaitu latar belakang pembentukan hukum dan peristiwa hukum yang mengharuskan
hukum ditegakkan mengelilingi kedua tindakan tersebut.
Kompleksitas pertimbangan antara pembentukan dan penegakan hukum membutuhkan
hermeneutika hukum, dalam hal pertama, menjelaskan teks hukum yang akan digunakan dalam
penegakan hukum. Penjelasan ini bisa tidak tersurat dalam peraturan perundangundangan,
namun tetap harus bisa dijelaskan oleh pengemban hukum. Kedua, penafsiran sebagai bagian
dari pemahaman merupakan tindakan memahami bunyi teks baik mengacu pada sumber teks
yang terdapat dalam peraturan perundangundangan atau dengan menggunakan teori atau
konsep hukum dari bahan hukum sekunder atau tersier.
Menjelaskan > memahami > menafsirkan merupakan tri langkah hermeneutika hukum.
Ketiganya terkadang bukan langkah yang bertahap, melainkan dapat dilakukan secara simultan
ketika membaca teks hukum. Simultansi hermeneutika hukum ini bagian dari objektivikasi energi
kreatif pembentuk peraturan perundangundangan. Berdialog dengan teks dalam 'keterbatasan'
normatif dalam jagad kaidah hukum yang tersedia merupakan kerja hermeneutika hukum.
Rentang waktu mengakibatkan keterpisahan dasar pertimbangan pembentukan dengan
penegakan hukum.
Dalam hal teks hukum menjadi hasil produksi kehidupan mental pembentuknya, maka
hermeneutika hukum tidak melihat sejauh mana kondisi kehidupan mental dan pengaruhnya atas
teks hukum. Melainkan 'membaca' sejauh teks hukum sebagai bahan terberi untuk di
kajiterapkan pada kasuskasus hukum. Teks hukum sebagai bahan baku dan mengalami
pengawetan positivisasi norma. Pembakuan teks hukum tertuang pada kaidah hukum yang bisa
dibaca melalui teks an sich maupun dengan teori atau konsep hukum.
Paradoksnya adalah bukankah teori atau konsep hukum sebenarnya merupakan hasil kerja
hermeneutika hukum? Hermeneutika mengalami reproduksi, dimana hasil kerja hermeneutika
juga merupakan teks yang bisa menjadi kajian hermeneutika. Keniscayaan ini terjadi karena teks
mempunyai dunianya sendiri yang terpisah dari pengarangnya. Demikian pula relasi antar teks
juga merupakan dunia hermeneutika. Dalam hal demikian, teks yang dibaca yang berbahan
dirinya juga mengalami pemerkayaan dengan direlasikan dengan teks yang relevan.
Teks (hukum) yang mengalami pemerkayaan menambah cakupan objektivikasi, menciptakan
banyak sisi yang memungkinkan melihat teks dari sisi yang dikehendaki. Ibarat berlian, ketika
teks mempunyai banyak sisi maka semakin berkualitas karena mengalami proses dinamis baik
yang bersifat mendukung atau mengkritisi teks tersebut. Teks dengan banyak sisi merupakan
hasil perbedaan perspektif dalam membaca teks.
Penjelasan & Penafsiran Teks Hukum
Yakub Adi Krisanto
Perbedaan penjelasan dan penafsiran yang Dilthey lakukan berpijak dari cara pandang dg
menggunakan metode yang sama antara ilmuwan (ilmu) alam dengan sejarawan. Ilmuwan alam
menjelaskan alam, sedangkan sejarawan menafsirkan sejarah (masa lalu). Sedangkan Ricouer
menegaskan bahwa antara penjelasan dan interpretasi saling melengkapi dan hubungan timbal
balik (2009;202).
Dilthey tidak mengoposisikan penjelasan dengan penafsiran, melainkan penjelasan dengan
pemahaman (Paul Ricoeur, 2009; 202). Pemahaman menurut Dilthey adalah pertama,
pemindahan kehidupan mental seseorang ke dalam kehidupan mental orang lain. Kedua, proses
yang membuat kita mengetahui sesuatu mengenai kehidupan mental melalui tandatanda yang
bisa dipahami yang merepresentasikan kehidupan mental itu.
Bertolak dari gagasan Dilthey mengenai pemahaman, Ricoeur membuat pernyataan bahwa
penafsiran merupakan bagian dari pemahaman. Interpretasi adalah seni memahami yang
diterapkan pada manifestasi, kesaksian, monumen yang memiliki karakter khusus yaitu berupa
tulisan (Ricoeur, 2009;203).
"Pemahaman sebagai pengetahuan yang diperantai tandatanda kehidupan mental orang lain
menyediakan landasan bagi pasangan pemahamaninterprestasi: interpretasi memasok derajat
objektivikasi, melalui pembakuan dan pengawetan tandatanda itu oleh tulisan."
Selanjutnya Ricoeur menyatakan, "hermeneutika memenuhi tujuan pemahaman dengan cara
berkelit dari proses memahami orang lain secara langsung katakanlah dari nilainilai dialogis.
Pemahaman berusaha berdampingan dengan kehidupan batin sang pengarang, menyamakan
diri dengannya (sich gleichsetzen), mereproduksi (nachbilden) prosesproses kreatif yang
melahirkan karyanya." Dari pendapat Ricoeur ini diketahui bahwa hermeneutika tidak berdialog
dengan pengarang, melakukan 'dialog' melalui teks yang dihasilkan pengarang. Ketika hendak
membaca dengan mencoba melihat dari perspektif pengarang (apa yang dimaksud pengarang)
maka yang sedang dilakukan adalah memahami hasil karya pengarang dalam bentuk tanda
sebagai manifestasi kehidupan mental pengarangnya (Paul Ricoeur, 2009; 204).
Bagaimana hermeneutika bekerja? Paul Ricoeur memberikan penjelasan sebagai berikut
hermeneutika dimulai dari objektivikasi energi kreatif kehidupan dalam karya, dimana energi itu
hadir diantara pengarang dan kita; kehidupan mental serta dinamika kreatif itulah yang
menghendaki adanya mediasi dengan, 'makna', 'nilai', atau ' tujuan' (Paul Ricoeur, 2009; 204).
Objektivikasi energi kreatif menjadi konsekuensi dari karya merupakan subyektivikasi pengarang
yang berkreasi (mencipta atau memproduksi) dengan menggunakan media tanda dalam bentuk
teks atau tulisan. Subyektivikasi muncul karena ada pelibatan aspek mentalitas pengarang
dalam menghasilkan karya.
Dalam teks hukum, jarak dalam pengertian adanya rentang waktu menjadi keniscayaan. Bahwa
antara pembuatan hukum (baca: peraturan perundangundangan) oleh legislatif dengan
penegakan hukum terdapat selisih waktu. Selisih waktu ini memuat kompleksitas aspek antara
keduanya yaitu latar belakang pembentukan hukum dan peristiwa hukum yang mengharuskan
hukum ditegakkan mengelilingi kedua tindakan tersebut.
Kompleksitas pertimbangan antara pembentukan dan penegakan hukum membutuhkan
hermeneutika hukum, dalam hal pertama, menjelaskan teks hukum yang akan digunakan dalam
penegakan hukum. Penjelasan ini bisa tidak tersurat dalam peraturan perundangundangan,
namun tetap harus bisa dijelaskan oleh pengemban hukum. Kedua, penafsiran sebagai bagian
dari pemahaman merupakan tindakan memahami bunyi teks baik mengacu pada sumber teks
yang terdapat dalam peraturan perundangundangan atau dengan menggunakan teori atau
konsep hukum dari bahan hukum sekunder atau tersier.
Menjelaskan > memahami > menafsirkan merupakan tri langkah hermeneutika hukum.
Ketiganya terkadang bukan langkah yang bertahap, melainkan dapat dilakukan secara simultan
ketika membaca teks hukum. Simultansi hermeneutika hukum ini bagian dari objektivikasi energi
kreatif pembentuk peraturan perundangundangan. Berdialog dengan teks dalam 'keterbatasan'
normatif dalam jagad kaidah hukum yang tersedia merupakan kerja hermeneutika hukum.
Rentang waktu mengakibatkan keterpisahan dasar pertimbangan pembentukan dengan
penegakan hukum.
Dalam hal teks hukum menjadi hasil produksi kehidupan mental pembentuknya, maka
hermeneutika hukum tidak melihat sejauh mana kondisi kehidupan mental dan pengaruhnya atas
teks hukum. Melainkan 'membaca' sejauh teks hukum sebagai bahan terberi untuk di
kajiterapkan pada kasuskasus hukum. Teks hukum sebagai bahan baku dan mengalami
pengawetan positivisasi norma. Pembakuan teks hukum tertuang pada kaidah hukum yang bisa
dibaca melalui teks an sich maupun dengan teori atau konsep hukum.
Paradoksnya adalah bukankah teori atau konsep hukum sebenarnya merupakan hasil kerja
hermeneutika hukum? Hermeneutika mengalami reproduksi, dimana hasil kerja hermeneutika
juga merupakan teks yang bisa menjadi kajian hermeneutika. Keniscayaan ini terjadi karena teks
mempunyai dunianya sendiri yang terpisah dari pengarangnya. Demikian pula relasi antar teks
juga merupakan dunia hermeneutika. Dalam hal demikian, teks yang dibaca yang berbahan
dirinya juga mengalami pemerkayaan dengan direlasikan dengan teks yang relevan.
Teks (hukum) yang mengalami pemerkayaan menambah cakupan objektivikasi, menciptakan
banyak sisi yang memungkinkan melihat teks dari sisi yang dikehendaki. Ibarat berlian, ketika
teks mempunyai banyak sisi maka semakin berkualitas karena mengalami proses dinamis baik
yang bersifat mendukung atau mengkritisi teks tersebut. Teks dengan banyak sisi merupakan
hasil perbedaan perspektif dalam membaca teks.