Aspirasi Perempuan dalam Parpol Islam

Aspirasi Perempuan dalam Parpol Islam
Oleh: Subkhi Ridho
(Ketua Lembaga Studi Islam dan Politik [LSIP] Yogyakarta)

Perjuangan perempuan untuk terlibat aktif dalam politik-kekuasan masih
membutuhkan nafas panjang. Demikian salah satu pesan yang tertangkap dalam
tulisan yang berjudul “masa depan perempuan dalam parpol islam”. Ruang
kebebasan dan keberpihakan bagi perempuan masih enggan diberikan oleh mereka
yang masih berjiwa patriarki, baik berasal dari laki-laki maupun perempuan.
Hal ini terlihat dari masih bercokolnya 192 kebijakan dari tingkat pusat hingga
daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. Dalam pelbagai kebijakan tersebut,
perempuan diletakkan sebagai pelaku kriminal, yakni mendudukkan perempuan
selaiknya pencuri, garong, koruptor. Hal inilah yang menimpa perempuan saat ini.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Jadi lengkapp sudah penderitaan yang dialami
perempuan Indonesia masa kini. Khususnya didaerah-daerah yang menerapkan
kebijakan dengan mencoba berlindung berdalih moralitas dan agama, lebih khusus
lagi berlagak dengan mengatasnamakan syariat Islam.
Islam dipolitisasi sedemikian rupa oleh para politikus untuk mengelabui masyarakat
konstituennya. Konstituen hanya dijadikan obyek ketika mereka hendak meraih kursi
kekuasaan, akan tetapi nasibnya dilupakan ketika para politkus tersebut sudah
menduduki kursi yang dituju. Ironisnya menggunakan agama untuk mendiskreditkan

kelompok perempuan yang sudah marjinal di negeri. Perbaikan nyata bagi
perempuan nyaris amat jarang dilakukan melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat.
Kehadiran kebijakan justru hanya ingin membatasi ruang gerak politik para
perempuan. padahal konstitusi bangsa ini dibuat tidak membeda-bedakan kelompok
satu dengan lainnya. Setiap warga negara tanpa terkecuali memiliki ruang yang
setara di alam demokrasi yang sedang berproses ini.
Dalam buah pikirannya, Ika telah menjabarkan tentang besarnya peran perempuan
dalam mendongkrak suara parpol, baik yang berasaskan sekuler maupun agama.
Lebih khusus lagi parpol Islam, akan tetapi justru nasib perempuan di parpol Islam
makin terjepit. Tidak sebaliknya, mestinya posisi perempuan dalam parpol Islam
mengalami progresifitas yang nyata.
Islam yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraaan
bagi siapa saja justru agak kurang terlihat di parpol Islam, demikian pula di partai
sekuler lainnya. Di sini yang saya soroti terkati dengan parpol Islam. Mengapa?
Karena semestinya parpol Islam bisa bersikap berbeda dan memiliki karakter lain
terhadap perempuan. Karakter dimaksud adalah dengan membuat kebijakan yang
pro perempuan, jangan sebaliknya.
Kebijakan yang semestinya tidak dilakukan oleh parpol Islam adalah dengan

mendomestifikasi peran-peran politik perempuan ke masa jahiliyah. Kelahiran parpol

sebagai sebuah alat berorganisasi mestinya dilahirkan dengan semangat
pembebasan bagi kaum termarjinalkan. Saat ini yang paling marjinal adalah
kelompok perempuan; termasuk perempuan miskin dan minoritas, baik minoritas
agama, budaya dan minoritas secara seksual.
Di level struktur pun, masih sangat sedikit --untuk tidak mengatakan tidak ada sama
sekali--, perempuan yang dijadikan pengambil kebijakan yang strategis. Senada
dengan Ika Ayu, semestinya terwujud kemauan untuk memberi ruang bagi
perempuan dalam level-level strategis mulai dilakukan sesuai amanat konstitusi
bangsa ini. Tidak sekadar menjadikan organisasi sayap lalu kemudian tidak
melibatkan perempuan dalam keputusan-keputusan strategis di parpol.
Di masa transisi ini, sangat penting kiranya melibatkan sumbang-saran, pikiran, ide,
gagasan dari perempuan yang progresif. Di negara-negara maju seperti Jepang,
Inggris, Perancis, Norwegia, Amerika, bahkan di India, sudah lebih dari satu dekade
yang lalu menunjukkan pengalaman yang sangat baik dengan keterlibatan
perempuan dipolitik-kekuasaan. Keberimbangan kedudukan perempuan di
parlemen, eksekutif makin mampu menelurkan kebijakan-kebijakan yang sangat
memerhatikan kepentingan rakyat kecil.
Keterwakilan perempuan di parlemen telah berdampak pada meningkatnya isu-isu
sebagai berikut; pendidikan, pelayanan kesehatan (Posyandu, aborsi, kesehatan
reproduksi), kesetaraan gender, child care (terkait dengan gizi buruk), perdagangan

manusia (dimana korban paling banyak adalah perempuan), inilah yang terjadi
dinegara-negara maju. Untuk Indonesia maka akan bertambah makin terpikirkannya
persoalan buruh migran, yang lagi-lagi perempuan jumlahnya paling banyak. Isu-isu
tersebut sangat penting, karena sangat terkait dengan meningkatnya kesejahteraan
keluarga, yang tentu saja berdampak pada kesejahteraan sebuah negara.
Aspirasi perempuan merupakan urat nadi kehidupan berbangsa dan bernegara, di
dunia manapun. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika mengekang kehidupan
perempuan dalam dunia politik. Apalagi jika menggunakan dalih agama dan
moralitas, untuk menutupi kekurangan dalam politik yang masih maskulin seperti
saat ini. jika ini yang terjadi maka, tinggal tunggu waktu saja parpol Islam makin
tenggelam dengan terpinggirkannya perempuan dari arena politik.
Oleh karena itu yang paling urgen saat ini adalah saling melakukan kerjasama
antara perempuan dan laki-laki. Jangan saling mendominasi antar satu dengan
lainnya. Yang laki-laki menjadikan perempuan sebagai mitra sejajar dalam
perjuangan politiknya, begitu pula sebaliknya, yang perempuan ketika ‘menjadi’
maka jadikanlah laki-laki sebagai mitra sejajar pula. Dengan seperti ini maka tidak
ada lagi-lagi politisasi agama, apalagi politisasi Islam untuk tujuan meraih polilikkekuasaan semata. Wallahu a’lam bisshawab.