Kajian Permasalahan Tata Ruang di Kawasa

ADAM IRWANSYAH FAUZI 25117005

PROGRAM STUDI TEKNIK GEODESI & GEOMATIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

I. Pantai Utara Jawa (Pantura)

Pantai Utara Jawa (Pantura) merupakan suatu kawasan pantai di bagian utara jawa, dimana terdapat jalan utama yang dikenal dengan Jalur Pantura. Rute ini menggabungkan dua pelabuhan penyebrangan yaitu Pelabuhan Merak di ujung barat pulau jawa dan Pelabuhan Ketapang di ujung timur pulau jawa. Jalur melewati 5 provinsi yaitu Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Timur. Beberapa Kota dan Kabupaten yang dilalui oleh Jalur Pantura ini diantaranya :

A. Provinsi Banten

D. Provinsi Jawa Tengah • Kota Cilegon

• Kota Tegal • Kota Serang

• Kota Pekalongan • Kota Tangerang

• Kota Semarang • Kabupaten Serang

• Kota Kudus • Kabupaten Tangerang

• Kabupaten Brebes • Kabupatan Pemalang

B. Provinsi DKI Jakarta • Kabupaten Batang • Kota Jakarta Barat

• Kabupaten Kendal • Kota Jakarta Utara

• Kabupaten Demak • Kota Jakarta Timut

• Kabupaten Pati • Kabupaten Rembang

C. Provinsi Jawa Barat

• Kota Bekasi

E. Provinsi Jawa Timur • Kota Cirebon

• Kota Surabaya • Kabupaten Bekasi

• Kota Pasuruan • Kabupaten Karawang

• Kota Probolinggo • Kabupaten Subang

• Kabupaten Tuban • Kabupaten Indramayu

• Kabupaten Lamongan • Kabupaten Cirebon

• Kabupaten Gresik • Kabupaten Sidoarjo

• Kabupaten Pasuruan • Kabpaten Probolinggo • Kabupaten Situbondo • Kabupaten Banyuwangi

II. Provinsi Banten

A. Bandara Soekarno Hatta dan Batas Wilayah Kota Tangerang - Kabupaten Tangerang Pembagian wilayah antara Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang yang berada di dalam area Bandara Internasional Soekarno-Hatta hingga kini belum selesai. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang dan Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang saat ini secara intensif melakukan pembahasan dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menentukan batas wilayah yang jelas antara kedua wilayah tersebut.

Bandara Soekarno-Hatta masih menyimpan pekerjaan rumah yang melibatkan dua wilayah di dalamnya, yaitu antara kota dan kabupaten Tangerang. Permasalahan garis batas wilayah antara keduanya belum dapat ditentukan karena titik batas wilayahnya tepat berada di landasan pesawat. Batas wilayah ini memang harus segera ditentukan. Karena, hal ini menyangkut PAD kabupaten dan kota Tangerang. Pendapatan yang dimaksud adalah pajak yang harus dibayarkan oleh PT Angkasa Pura (AP) II selaku pengelola Bandara Soekarno-Hatta. Seperti, pembayaran pajak reklame, spanduk dan sebagainya.

Di sisi lain, Pemkab Tangerang akan melakukan revisi terhadap Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terkait perluasan Bandara Internasional Soekarno-Hatta seluas 750 hektare. Ini merupakan kebijakan pemerintah pusat yang harus didukung karena untuk kepentingan transportasi udara. Perluasan bandara mencakup dua kecamatan, yakni Kecamatan Kosambi dan Teluk Naga. Perluasan itu direncanakan untuk pembangunan landasan pacu dan sarana pendukung lainnya. Perluasan bandara ini tidak mengganggu areal pertanian sawah produktif di Kabupaten Tangerang yang berada di Kecamatan Mauk hingga Kronjo. Perluasan bandara terbesar di Indonesia ini juga tidak mengganggu lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) yang sudah ada karena merupakan kebutuhan pendudukan.

Sesuai Perda Nomor 13/2011 tentang RTRW Kabupaten Tangerang, lahan untuk perluasan bandara lainnya diperuntukkan bagi perumahan. Perluasan bandara adalah kepentingan nasional, maka untuk mengatasinya perlu ada perubahan, yakni melakukan revisi terhadap Perda RTRW.

B. Batas Wilayah Kota Cilegon - Kabupaten Serang Rencana Pemerintah dalam merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010- 2030 akan dilakukan sendirian, melihat dari geografis wilayah Pemerintah Kota Cilegon yang kebanyakan bersinggungan dengan Pemerintah Kabupaten Serang.

Pemerintah Kota Cilegon harus melakukan koordinasi dengan pemerintah lain sehubungan dengan batas wilayah yang saling bersinggungan. Hal itu tidak menutup kemungkinan juga akan melibatkan Provinsi Banten untuk membahas mana batas wilayah yang masuk dalam cakupan RTRW Cilegon. Umumnya persoalan tersebut terkait kewengan administrasi di beberapa pulau salah satu pulau yang ada di Kecamatan Pulomerak, statusnya masih belum jelas.

Selain itu, rencana pembangunan JLU di Kota Cilegon yang tertuang dalam RPJMD 2016-2021 juga secara otomatis akan mempengaruhi RTRW yang nanti akan direvisi. JLU akan dibangun untuk membuka lahan yang diprioritaskan perkembangan ekonomi sektor industri padat karya.

C. Konflik Kewenangan Pengelolaan Pelabuhan Pemberlakuan Perda kota Cilegon No 1/2001 mengubah pengelolaan kepelabuhanan di Kota Cilegon yang diatur dalam instruksi dan keputusan Wali Kota Cilegon. Ada enam instruksi dan keputusan Wali Kota Cilegon yang dikeluarkan untuk mengatur masalah kepelabuhanan. Isi keputusan itu adalah perintah menghentikan semua bentuk perjanjian sewa perairan dengan PT Pelindo II Cabang Banten (Instruksi No 1/2001) dan penyerahan wewenang pemanduan dan penundaan kapal kepada PD Pelabuhan Cilegon Mandiri selaku BUMD kepelabuhanan (Instruksi No 2/2001). Melalui instruksi No 3/2001, Wali Kota Cilegon juga memerintahkan PT Pelindo II menghentikan pungutan jasa kepelabuhanan. Instruksi ini juga memerintahkan pengguna jasa pelabuhan khusus menghentikan pembayaran jasa kepelabuhanan kepada PT Pelindo II. Sebagai gantinya, para pengguna jasa itu diperintahkan membayar kepada Dinas Perhubungan Kota Cilegon untuk jasa labuh, PD Pelabuhan Cilegon Mandiri untuk jasa tunda atau pandu kapal, dan kepada penyelenggara pelabuhan untuk jasa tembat, jasa dermaga, dan jasa penumpukan (Kompas, Perda Kota Cilegon No. 1/2001, Semangat Melawan Monopoli, Sabtu, 22 Nopember 2003).

Hal-hal tersebut di atas menggambarkan bagaimana intensitas Pemerintah Daerah atas dasar kewenangan otonominya sesuai UU No. 22/1999 dan PP No. 25/2000, bertindak mengambil alih pengelolaan pelabuhan di dalam daerahnya. Padahal dalam UU No. 21/1992 dan PP No. 70/1996 kewenangan mengenai perijinan pengelolaan pelabuhan masih melekat di tangan Pemerintah dalam hal ini Menteri Perhubungan. Dan berdasarkan ketentuan UU dan PP tersebut pula PT Persero Pelindo oleh negara diberikan hak pengelolaan atas tanah negara sebagai lokasi pelabuhan dan kegiatan kepelabuhanan lainnya.

Kondisi empirik tersebut di atas dalam perspektif administrasi pemerintahan dan otonomi daerah jelas menunjukkan adanya kekacauan dalam penetapan mengenai batasbatas kewenangan administrasi pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Dalam hal ini, Chatib Basri berpendapat bahwa langkah pengambilalihan pengelolaan pelabuhan secara sepihak oleh daerah sebagai preseden yang sangat berbahaya, terutama bagi investasi di Indonesia dan juga bagi daerah itu sendiri. "Investor akan takut masuk karena tidak adanya jaminan terhadap kontrak yang bisa dipegang. Sekali (pengambilalihan) itu dibiarkan terjadi, bisa seperti bola liar yang akan terus menggelinding dan memunculkan tuntutan pengambilalihan atas aset-aset negara atau aset perusahaan-perusahaan lain yang menguntungkan yang ada daerah, oleh pemda," ujarnya (Kompas, Rabu, 11 Agustus 2004).

Dari kasus yang berkembang di daerah seperti tersebut di atas, paling tidak ada dua kemungkinan permasalahan yang mendasarinya, yaitu:

• Pertama, Daerah, khususnya Pemerintah Daerah Kota Cilegon tidak atau belum memahami secara utuh ketentuan mengenai desentralisasi kewenangan di

wilayah laut, khususnya yang berkaitan dengan kepelabuhanan, meskipun PP No. 25/2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom telah diterbitkan oleh pemerintah. Hal tersebut sesungguhnya dapat dipahami, karena PP No. 25/2000 tidak diarahkan untuk mengatur penyerahan kewenangan kepada daerah Kabupaten/Kota. Dan bahkan dalam PP tersebut tidak disebutkan mengenai kewenangan Pemerintah dalam penyelenggaraan operasional pengelolaan kepelabuhanan, kecuali hal-hal uang menyangkut penetapan wilayah laut, khususnya yang berkaitan dengan kepelabuhanan, meskipun PP No. 25/2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom telah diterbitkan oleh pemerintah. Hal tersebut sesungguhnya dapat dipahami, karena PP No. 25/2000 tidak diarahkan untuk mengatur penyerahan kewenangan kepada daerah Kabupaten/Kota. Dan bahkan dalam PP tersebut tidak disebutkan mengenai kewenangan Pemerintah dalam penyelenggaraan operasional pengelolaan kepelabuhanan, kecuali hal-hal uang menyangkut penetapan

Di sisi lain, Daerah, khususnya Pemda Kota Cilegon dalam Perda tersebut, meskipun telah memperhatikan UU No. 21/1992, tetapi ternyata tidak memperhatikan PP No. 70/1996 dan PP No. 81/2000 yang pada waktu itu masih berlaku. Meskipun telah dikeluarkan UU No. 22/1999 dan PP No. 25/2000, tetapi kedua peraturan perundangundangan tersebut tidak serta merta menghapuskan atau membatalkan seluruh materi UU No. 21/1992 ataupun PP No. 70/1996 dan PP No. 81/2000, sebelum peraturan perundang-undangan ini direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan kebijakan reformasi sistem administrasi pemerintahan dan otonomi daerah yang berlaku. Seharusnya, Pemda Kota Cilegon, kabupaten Gresik, Kabupaten Cilacap danKabupaten/Kota lainnya yang tergabung dalam Forum Deklarasi Balikpapan yang telah memiliki Perda Tentang Kepelabuhanan, untuk membatalkan atau setidak-tidaknya menunda pelaksanaan Perda tentang Kepelabuhanan di daerahnya masing-masing.Kemudian, Pemerintah Daerah yang tergabung dalam Forum Deklarasi Balikpapan tersebut sebiknya bertindak proaktif dan bekerjasama dengan Pemerintah dalam hal ini Menhub maupun Mendagri dan lembaga lainnya yang terkait untuk merumuskan arah kebijakan desentralisasi pengelolaan pelabuhandan kepelabuhanan melalui revisi UU No. 21/1992 maupun PP No. 70/1996 dan berbagai ketentuan pelaksanannya.

• Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Daerah Kota Cilegon dalam kasus tersebut di atas, kemungkinan sepenuhnya memahami kedudukan hak dan

kewenangannya di wilayah laut dan khususnya dalam hal kepelabuhanan; yang terlihat dari kenyataan bahwa sesungguhnya daerah tidak serta merta membubarkan atau mengambil alih kekuasaan atas pelabuhan-pelabuhan di daerahnya yang masih dikelola Pemerintah melalui PT Persero Pelindo (PT Persero Pelindo II dalam kasus di Kota Cilegon). Dalam hal ini Pemerintah Daerah menetapkan agar pengelola pelabuhan tersebut terlebih dahulu memperoleh ijin untuk menyelenggarakan pengelolaan pelabuhan umum ataupun pelabuhan khusus dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Akan tetapi, dari ketentuan tersebut, tampaknya Pemda Kota Cilegon akan cenderung membatalkan atau mengabaikan kewenangan Pemerintah menerbitkan perijinan pengelolaan pelabuhan sebagaimana diatur dalam PP No. 70/1996. Kalau demikian halnya, maka ketentuan dalam Perda tersebut justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang sebenarnya masih berlaku, khususnya sebelum terbitnya PP No. 69/2001 yang menggantikan PP No. 70/1996.

Kalaupun ada klaim daerah terhadap hak atas tanah dimana lokasi kegiatan kepelabuhanan itu diselenggarakan, tampaknya merupakan konsekuensi logis dari keberadaan otonomi daerah itu sendiri, yang menuntut kompensasi penggunaan tanah untuk pelabuhan dalam wilayah yurisdiksinya kepada Pemerintah atau BUMN yang mengusahakan pengelolaan pelabuhan tersebut. Meskipun demikian, tuntutan sepihak atas pengalihan hak atas tanah pelabuhan melalui Perda dalam Kasus di Kota Cilegon tersebut, dalam konteks Sistem Administrasi NKRI, jelas tidak mencerminkan integritas atau kesatupaduan sistem pemerintahan.

Dari gambaran tersebut di atas, terlihat adanya kecenderungan bahwa sebenarnya motivasi yang melandasi kehendak daerah untuk mengelola pelabuhan, bukanlah semata mata karena adanya kompetensi dan kapasitas untuk melaksanakannya, ataupun karena kehendak untuk membantu pemerintah sesuai dengan kewenangan yang ada. Jika kita simak secara seksama, tampaknya alasan utamanya adalah kehendak yang dikuatkan oleh adanya kewenangan daerah berdasarkan UU untuk menguasai sumber-sumber ekonomis di daerah yang bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sebuah berita di surat kabar harian Kompas, Sabtu, 22 November 2003, antara lain menggambarkan bahwa melalui Perda No 1/2001 Pemerintah Kota Cilegon memiliki kewenangan mengelola potensi kepelabuhanan di wilayahnya. Melalui kewenangan itu, hingga bulan Mei 2003 Pemkot Cilegon meraup PAD sebesar Rp 16,7 miliar. Pendapatan tersebut dari uang labuh Rp 7,5 miliar, uang tambat Rp 6,3 miliar, dan uang dermaga Rp 2,7 miliar. Menurut Sekretaris Kota Cilegon Rusli Ridwan, pendapatan itu masih bisa bertambah 340.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,8 miliar per bulan jika tiga unit kapal tunda (tugboat) yang dipesan di PT PAL Indonesia dioperasikan Januari- Februari 2004.

Berdasarkan fakta tersebut, Pemerintah Kota Cilegon telah bertekad untuk mempertahankan keberadaan Perda No 1/2003 itu. "Kami akan mempertahankan perda tersebut karena sangat penting bagi masyarakat Kota Cilegon. Sebab perda ini menyumbangkan pendapatan asli daerah (PAD) terbesar, yaitu 30 persen," kata Aat Syafaat, Wali Kota Cilegon sebagaimana dikutip dalam situs web suratkabar Sinar Harapan, Sabtu, 20 Spetember 2003. Permasalahannya, seberapa jauh kemudian akuntabilitas pemanfaatan dana yang diperoleh pengelolaan pelabuhan tersebut kemudian benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan? Atau sebaliknya, dengan adanya duplikasi kewenangan sebagaimana yang ada dewasa ini, justru akan merugikan para pengusaha sektor swasta dan berdampak negatif terhadap perekonomian daerah dan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat daerah setempat. Harian Kompas menulis dalam Tajuk Rencana,

hari Jum’at, 13 Agustus 2004, dengan judul “Pengambilalihan Pelabuhan dan Nafsu Kekuasaan”, dan mengajukan petanyaan: “…mengapa nafsu kekuasaan di antara kita menjadi begitu berlebihan dan cenderung tidak terkontrol. Bukankah cita-cita kita untuk melakukan otonomi daerah adalah untuk semakin menyejahterakan rakyat? Mengapa yang terjadi adalah ambisi untuk sekadar meraih kekuasaan itu dan lupa akan cita- cita awalnya?”

Dengan mengutip tulisan tersebut di atas, penulis tidak bermaksud menuduh bahwa apa yang dilakukan oleh daerah hanyalah semata-mata karena nafsu kekuasaan sebagai perwujudan kewenangan otonomi yang luas. Namun dalam Dengan mengutip tulisan tersebut di atas, penulis tidak bermaksud menuduh bahwa apa yang dilakukan oleh daerah hanyalah semata-mata karena nafsu kekuasaan sebagai perwujudan kewenangan otonomi yang luas. Namun dalam

III. Provinsi DKI Jakarta

A. Pembangunan Jakarta New Port Dalam kasus di tingkat Propinsi ini, sebagaimana telah diberitakan oleh media massa, pada tanggal 27 Juli 2004 lalu, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, atas nama Pemerintah Propinsi DKI Jakarta telah meresmikan pembangunan Jakarta New Port (JNP) atau Pelabuhan Baru Jakarta, yang akan bersaingan dengan Pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola Pemerintah melalui PT Persero Pelindo II. Pembangunan JNP merupakan kerjasama investasi antara Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan PT Marindo Bahtera Development dan Komando Armabar TNI AL . Proyek Pembangunan JNP direncanakan akan menelan biaya sekitar 500 juta dollar AS, dengan lokasi di Ancol Timur, Jakarta Utara. Kebijakan Pemda Propinsi DKI Jakarta tersebut tentu saja mendapatkan protes baik dari PT Persero Pelindo II maupun dari Departemen Perhubungan. Dalam pandangan kedua instansi tersebut, pembangunan pelabuhan nasional yang bersifat internasional berada di bawah pengawasan Menteri Perhubungan sebagaimana ditetapkan Pasal 11 PP No. 69/2001, dan pengelolaannya berada dibawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga Pemda DKI Jakarta tidak dapat semudah itu membangun JNP.

Kasus ini juga sempat mengundang komentar dari anggota DPR RI, tidak kurang dari Wakil Ketua Komisi IV DPR, Rosyid, dari Fraksi Reformasi mendesak Pemda DKI Jakarta untuk tidak melanjutkan pembangunan pelabuhan multifungsi Jakarta Newport di kawasan pelabuhan yang menjadi wewenang Pelindo. Dinyatakan oleh Rosyid kepada pers di Jakarta, Selasa, 10 Agustus 2004, bahwa: "Pemda DKI harus mematui UU Pelayaran yang memberikan hak pada Pelindo untuk mengelola kawasan pelabuhan- pelabuhan di Indonesia”. Menurutnya Pemda DKI tidak dapat berjalan sendiri tanpa mengabaikan kepentingan Pelindo dalam membangun pelabuhan multifungsi yang rencananya akan dilaksanakan di wilayah Ancol Timur. Hal senada juga ditekankan oleh Yosep Hadi Umar, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDIP. Menurut Yosep, Pemda DKI harus memperhatikan uandang-undang yang mengatur mengenai pengelolaan pelabuhan, yang kewenangannya diserahkan pada PT Pelindo. Jika pengelolaan pelabuhan juga ditangani oleh Pemda DKI, katanya, maka akan terjadi tumpang-tindih dalam implementasi pembangunan di kawasan pelabuhan. (Kompas Cyber Media, Selasa 8 Agustus 2004).

Akan tetapi Pemda DKI Jakarta tidak kurang memiliki jawaban atas keberatan tersebut dan menyatakan bahwa pembangunan JNP tidak bertentangan dengan ketentuan PP No. 69/2001 tersebut, karena Pemprov DKI diberi wewenang mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan di DKI termasuk mengenai pembangunan JNP berdasarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 34/1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (Silalahi, Sinar Harapan, Sabtu, 9/8/2004).

Kasus pembangunan JNP oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memang terjadi setelah Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 69/2001 Tentang Kepelabuhanan yang kemudian dijabarkan antara lain dalam Keputusan Menteri

Perhubungan No. KM 56/2002, tanggal 29 Agustus 2002, Tentang Pelimpahan/Penyerahan Penyelenggaraan Pelabuhan Laut (Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja) kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota. Dimana ditetapkan bahwa pelabuhan laut lokal yang selama ini diselenggarakan oleh Pemerintah (Unit Pelaksana Teknis/ Satuan Kerja Pelabuhan) diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota di lokasi pelabuhan laut tersebut berada, sebagai tugas desentralisasi (Pasal 1 ayat 1, SK Menteri Perhubungan No. KM 56/2002). Sedangkan kepada Propinsi telah dilimpahkan kewenangan untuk mengelola Pelabuhan laut regional di lokasi pelabuhan laut tersebut berada sebagai tugas dekonsentrasi.

Berdasarkan Pasal 26 PP No. 69/2001, sebenarnya Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membangun pelabuhan umum baru berdasarkan kepada Tatanan Kepelabuhanan Nasional dan memenuhi ketentuan yang diatur dalam PP tersebut. Namun dalam hal ini, rencana pembangunan tersebut harus terlebih dahulu dilaporkan dan memperoleh ijin dari Menteri Perhubungan. Dalam Pasal 12 PP tersebut diatur bahwa lokasi untuk penyelenggaraan pelabuhan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan pada Tatanan Kepelabuhanan Nasional, setelah mendapat rekomendasi dari Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya terhadap keterpaduan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah Propinsi atau Gubernur memiliki kewenangan untuk membangun pelabuhan, tetapi penetapan lokasi pelabuhan itu sendiri kewenangannya berada pada Menteri Perhubungan.

Selain itu, berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf a, diatur bahwa Menteri menetapkan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan internasional hub, internasional, nasional setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota. Dalam kasus JNP, maka tergantung jenis pelabuhan apa yang akan ditentukan, apakah pelabuhan umum nasional yang bersifat internasional sebagaimana diprakirakan oleh Departemen Perhubungan dan PT Persero Pelindo II, ataukah hanya sekedar pelabuhan Regional. Jika hanya setingkat pelabuhan Regional maka kewenangannya berada pada Gubernur DKI Jakarta sendiri.

Kasus JNP ini sekali lagi menunjukkan bahwa dalam perspektif sistem administrasi pemerintahan, ternyata masih terdapat perbedaan cara memandang terhadap peraturan perundang-undangan, maupun perbedaan pemahaman mengenai pembagian kewenangan dalam bidang pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan kepelabuhanan. Berdasarkan PP No. 69/2001 dan SK Menteri Perhubungan No. KM 56/2002 tersebut, jelas sekalli bahwa Pemerintah Propinsi hanya memiliki kewenangan dekonsentrasi untuk mengelola Pelabuhan Laut Regional di lokasi pelabuhan laut yang berada dalam wilayahnya. Berdasarkan ketentuan ini, maka Pemerintah Propinsi tidak memiliki kewenangan untuk membangun dan mengelola Pelabuhan Laut Regional, apalagi Pelabuhan Nasional yang bersifat Internasional, berdasarkan kewenangan otonomi daerahnya.

Meskipun Propinsi DKI Jakarta adalah daerah otonom dengan kewenangan yang luas berdasarkan UU No. 34/1999, akan tetapi ketentuan dalam PP No. 69/2001 maupun Keputusan Menteri Perhubungan No. 56/2002 tersebut tidak mengatur penyerahan kewenangang dalam bidang kepelabuhanan secara khusus kepada DKI Jakarta sebagai daerah otonom. Disinilah tampaknya letak perbedaan pandangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dalam hal pembangunan JNP.

Landasan hukum yang memungkinkan Pemda DKI Jakarta untuk membangun pelabuhan atas prakarsa sendiri, sesungguhnya diatur dalam Pasal 3 Ayat (5) angka

15, huruf e PP No. 25/2000, yang menetapkan bahwa Propinsi memiliki kewenangan dalam bidang perhubungan yaitu: “pengelolaan pelabuhan dan bandar udara Propinsi yang dibangun atas prakarsa Propinsi dan atau pelabuhan yang diserahkan oleh

Pemerintah kepada Propinsi”. Akan tetapi Pasal 3 Ayat (2) PP tersebut hanya membatasi kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom pada pengelolaan pelabuhan regional saja. Sehingga apabila JNP yang akan dibangun oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta tersebut melampaui kategori pelabuhan regional, maka hal itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya, apakah Pemerintah Propinsi DKI Jakarta telah benar-benar mempelajari dan mempertimbangkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, ataukah juga dilandasi oleh euforia kekuasaan atas kewenangan otonomi yang dimilikinya ? Apapun jawabannya, hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa sebenarnya inti permasalahannya bukanlah sekedar kesimpangsiuran peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi kewenangan, melainkan adalah permasalahan kapasitas para penyelenggara pemerintahan negara dan pemerintahan daerah dalam memahami dan menjalankan sistem administrasi pemerintahan dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing.

B. Reklamasi Pantai Utara Jakarta Terdapat dua persoalan utama reklamasi Pantai Utara DKI Jakarta. Yang pertama menyangkut penyelenggaraa reklamasi itu sendiri, dan yang kedua terkait tata ruang laut dan pulau-pulau reklamasi. Tidak semua pulau reklamasidiperuntukkan untuk pengembang swasta. Beberapa pulau digunakan untuk pengembanganpelabuhan serta fasilitas utilitas yang dibutuhkan oleh Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya. Khususpemanfaatan ruang di atas pulau-pulau reklamasi, juga terkait berbagai ketentuanpemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, dimana kewajiban pengembangnya menjadi salah satu materi yang diatur di dalamnya.

Terkait Reklamasi Pantai Utara DKI Jakarta, pada Tahun 1985 diterbitkan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta sebagai respon dari reklamasi-reklamasi yang telah dilakukan di DKI Jakarta tahun 1980an di Pejaringan, Pademangan, Ancol dan Pluit. Keputusan Presiden ini memberikan kewenangan pada pemerintah DKI Jakarta dalam melaksanakan dan memanfaatkan hasil reklamasi, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1995 tentang Penataan Ruang Pantura Jakarta dan Penyelenggaraan Reklamasi Pantura, serta Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 973/1995 jo 220/1998 tentang Pembentukan Badan Pelaksanaan Reklamasi Pantura.

Pada perkembangannya, badan ini kemudian dibubarkan berdasarkan Keputusan Gubernur No. 1901/2009 tentang Pembubaran Badan Pelaksanaan Reklamasi Pantura Jakarta dan dibentuk Tim Care Taker berdasarkan keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1901/2009.

Reklamasi menjadi salah satu pendekatan pembangunan dalam Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 19852005. Pendekatan ini diteruskan dalam Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 20112030 yang menetapkan Pantura DKI Jakarta sebagai Kawasan Strategis Provinsi (dalam jangka pendek) dan pengembangan National Capital Integrated Coastal Defence (NCICD) untuk jangka panjang. Pendekatan pengembangan kawasan reklamasi ini digunakan untuk mewujudkan kawasan reklamasi water front city dan konsep subsidi silang antara kegiatan reklamasi dengan peningkatan kualitas daratan (pantai lama) melalui penyediaan perumahan (rusunawa); pengerukan dan pembangunan waduk; pengerukan sedimentasi sungai; pembangunan tanggul pantai dan sungai; penataan sistem drainase serta penyediaan lapangan kerja bagi penduduk di kawasan Jakarta Utara. Pendekatan reklamasi ini didasarkan pada pertimbangan beratnya persoalan lingkungan terkait sampah yang menumpu di sepanjang pesisir, banjir rob yang semakin tinggi intensitasnya; kualitas air Teluk Jakarta yang tercemar serta kualitas sungai yang buruk serta persoalan permukiman padat dengan kualitas lingkungan yang buruk. Persoalan ini sangat mendesak untuk diatasi dan membutuhkan dana dan waktu yang cukup lama jika tidak melibatkan stakeholder lain dalam pembangunan kota.

Dalam proses pelaksanaan reklamasi, Pemerintah DKI Jakarta telah menyusun rencana pulau-pulau reklamasi sejak tahun 2013 dengan melibatkan berbagai stakeholder dan ahli dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti peraturan perundangan terkait, sedimentasi, mangrove di sebelah Barat, arus laut/hidrodinamika, perubahan muaka air laut, jalur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, serta instalasi-instalasi penting (PLTA Muara Karang, pelabuhan nelayan dan Tanjung Priok), 13 Sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, hingga pertimbangan pemanfaatan/pemisahan intake air laut untuk pendinginan PLTA Muara Karang dengan outletnya yang mempunyai suhu lebih tinggi. Hingga akhirnya dihasilkan 17 pulau reklamasi dengan bentuk yang disepakati.

Dari sisi pemanfaatan ruang pada pulau-pulau reklamasinya, kawasan teluk Jakarta ini diatur oleh berbagai ketentuan. Kawasan ini merupakan bagian dari Kawasan Strategis Nasional (JABODETABEKJUR), Kawasan Strategis Provinsi (KSP) (berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2011-2030 dan Kawasan Pesisir berdasarkan Undang-undang No. 16 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sebagai Kawasan Stategis Nasional, pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekjur yang mengatur ketentuan zona dan ketentuan reklamasi. Peraturan Presiden ini menyatakan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti aturan baru, namun demikian ketentuan sepanjang terkait dengan penataan ruang dinyatakan tidak berlaku. Berikut merupakan kronologi penerbitan peraturan terkait reklamasi.

Sebagai Kawasan Strategis Provinsi, disusun Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura DKI Jakarta, yang rancanga peraturan daerahnya sedang dibahas untuk persetujuan substansi oleh nasional (Kementerian Agraria Tata Ruang/BPN) dan Sebagai Kawasan Strategis Provinsi, disusun Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura DKI Jakarta, yang rancanga peraturan daerahnya sedang dibahas untuk persetujuan substansi oleh nasional (Kementerian Agraria Tata Ruang/BPN) dan

Persoalan reklamasi DKI Jakarta menimbulkan berbagai kesimpangsiuran baik data/informasi,prosedur pembangunan, kebijakan, penataanruang sampai perkiraan dampak yang akanterjadi jika reklamasi tetap dilaksanakan. Disadarbahwa Pantura Jakarta menyimpan berbagaikepentingan, selama ini Teluk Jakarta digunakanjalur pelayaran, kabel laut, pipa gas, perikananpendingin PLTA Muara Karang, beberapa bagianmasih memiliki hutan mangrove. Setidaknya ada3 (tiga) peraturan perundangan utama terkait,yaitu Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentangPenataan Ruang yang mengatur aspekpengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang; Undang-undangNo 1. Tahun 2014 tentang Perubahan atasUndang- undang No. 27 Tahun 2007 tentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- pulauKecil, yang mengatur kewenangan atas ruang lautyang terdiri atas kawasan konservasi, kawasan pemanfaatan umum, kawasan strategis nasionaltertentu dan alur laut; dan, Undang-undang No23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerahyang mengatur kewenangan nasional, daerahprovinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaanwilayah pesisir dan laut. Kewenangan provinsmencapai 0-12 mil selebihnya (> 12 mil) menjadkewenangan pusat/nasional.

Implikasi berbagai bentuk pengaturan menimbulkan berbagai interpretasi atas kebijakan reklamasi Pantura Jakarta maupun ketentuan dalam rencana tata ruangnya. Dalam tataran praktis, reklamasi pulau-pulau di Teluk Jakarta memunculkan perdebatan terkait kewenangan penyelenggaraan reklamasi karena berbentuk pulau (tidak menempel daratan), lintas daerah (karena Kabupaten Tanggerang juga melakukan reklamasi serta rencana pemerintah pusat melakukan reklamasi melalui National Capital Integrated Coastal Defence/NCICD). Ketidakpaduan dan ketidakjelasan antarproduk hukum terkait menimbulkan berbagai perdebatan pro dan Implikasi berbagai bentuk pengaturan menimbulkan berbagai interpretasi atas kebijakan reklamasi Pantura Jakarta maupun ketentuan dalam rencana tata ruangnya. Dalam tataran praktis, reklamasi pulau-pulau di Teluk Jakarta memunculkan perdebatan terkait kewenangan penyelenggaraan reklamasi karena berbentuk pulau (tidak menempel daratan), lintas daerah (karena Kabupaten Tanggerang juga melakukan reklamasi serta rencana pemerintah pusat melakukan reklamasi melalui National Capital Integrated Coastal Defence/NCICD). Ketidakpaduan dan ketidakjelasan antarproduk hukum terkait menimbulkan berbagai perdebatan pro dan

Penyelenggaraan reklamasi DKI Jakarta juga dikaitkan dengan berbagai isu dan persoalan terkait dengan penurunan muka tanah, penanggulangan banjir di Jakarta, terganggunya kabel dan pipa laut, terganggunya lingkungan mangrove, terganggunya jalur pelayaran nelayan hingga hilangnya mata pencaharian nelayan. Meskipun ide dasar penyelenggaraan reklamasi adalah subsidi silang untuk perbaikan kualitas lingkungan atau revitalisasi kawasan di daratan, namun demikian sangat penting isu dan persoalan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kajian penyelengaraan reklamasi.

Penyelenggaraan reklamasi akan optimal jika ada ‘trust’ atau kepercayaan dari para stakholder baik yang berpengaruh maupun dari stakeholder yang paling terkena dampak pada penyelenggaraan reklamasi. Kepercayaan ini terbangun/muncul seiring dengan bagaimana proses perencanaan hingga pelaksanaan dilakukan. Proses ini akan menjamin segala informasi terkait penyelenggraan reklamasi tersampakan pada seluruh stakeholder yang terkait dari tangan pertama. Proses ini juga akan menjamin aspirasi setiap stakeholder dibahas dan dirumuskan penanganannya. Penyelenggaraan reklamasi dalam konteks ini bukan sekedar persoalan teknis. Penolakan oleh sebagian masyarakat terhadap rencana reklamasi ini menunjukkan kekurangan dalam proses perencanaan dan implementasi reklamasi baik dalam pelibatan stakeholder maupun dalam sosialisasi penyelenggaraan reklamasi, sehingga menimbulkan berbagai kecurigaan dari berbagai pihak terhadap pihak lain, khususnya terkait dampak yang akan ditimbulkan oleh reklamasi.

IV. Provinsi Jawa Barat

A. Meikarta Pembangunan Kota Meikarta bermasalah dengan perijinan, karena belum memiliki ijin pembangunan namun sudah melakukan propaganda penjualan rumah dan apartemen serta asset lainnya. Sebenarnya pembanguna Kota Meikarta telah mengantongi ijin prinsip dari Pemerintah Kabupaten Bekasi dan digunakan untuk memulai langkah marketing dan penjualan yang dikritik banyak pihak. Dipastikan, pertimbangan utama adalah kesesuaiannya dengan tata ruang (Peta RTRW). Pemerintah Kabupaten Bekasi menganggap bahwa rencana pembangunan Kota Meikarta telah sesuai dengan fungsi dalam RTRW. Oleh karenanya, diperintahkan untuk melakukan proses IPPT dan AMDAL untuk mendapatkan IMB. Ternyata, setelah dikonsultasikan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat, jawabannya Kota Meikarta tidak sesuai dengan RTRW Provinsi, sehingga proses AMDAL dan pembangunannya harus dihentikan.

Klaim RTRW Provinsi, areal lokasi Kota Meikarta berada pada kawasan Industri, demikian pula dengan RTRW Kabupaten Bekasi sama peruntukan industri. Namun pada skala Kabupaten, dalam kawasan Industri masih dapat menampung pembangunan perumahan dan apartemen guna mendukung pengembangan kawasan industri (sesuai). Pengembang Meikarta dalam tahap awal hanya mengajukan ijin atas areal yang telah mereka bebaskan sekitar 80 Ha untuk pembangunan hunian berupa perumahan dan apartemen, hal ini membuat Pemkab Bekasi memberikan ijin, karena tidak akan banyak mengganggu fungsi utama.

Pengembang Meikarta sangat demonstratif dan provokatif dalam memasarkan arealnya dengan jargon KOTA BARU MEIKARTA dan areal cakupan yang lebih luas mancapai 500 hektar. Perhatian publik dan pasar tersedot kuat kesana dan mulai ada

perubahan dan “migrasi pikiran” untuk pindah ke Meikarta. Dalam strategi bisnis, ini keberhasilan sekaligus kegagalan. Sekarang tergantung angin politiknya, karena faktanya bumbu-bumbu politik turut mewarnai pengembangan Meikarta. Konsep Pembangunan Kota Baru dengan Kawasan Industri tentu sangat berbeda, dan inilah yang diyakini oleh Pemerintah Provinsi akan mempengaruhi pola dan struktur ruang wilayah. Dalam Tata Ruang berlaku teori atau ketentuan bahwa jika terjadi perubahan fungsi secara mendasar, maka Tata Ruang harus di review atau ditinjau kembali (PK) perubahan dan “migrasi pikiran” untuk pindah ke Meikarta. Dalam strategi bisnis, ini keberhasilan sekaligus kegagalan. Sekarang tergantung angin politiknya, karena faktanya bumbu-bumbu politik turut mewarnai pengembangan Meikarta. Konsep Pembangunan Kota Baru dengan Kawasan Industri tentu sangat berbeda, dan inilah yang diyakini oleh Pemerintah Provinsi akan mempengaruhi pola dan struktur ruang wilayah. Dalam Tata Ruang berlaku teori atau ketentuan bahwa jika terjadi perubahan fungsi secara mendasar, maka Tata Ruang harus di review atau ditinjau kembali (PK)

Dalam skala regional (Provinsi/Kabupaten), Jika Meikarta hanya membangun perumahan dan apartemen “mungkin” tidak merubah fungsi kawasan, tapi dalam skala mikro (RDTR) pasti berubah. Mustahil dengan perencanaan yang besar tersebut Meikarta tidak berdampak pada perubahan fungsi kawasan, sehingga bisa dipastikan Meikarta berdampak pada perubahan tata ruang. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, jika terjadi revisi RTRW pada berbagai tingkatan skala, maka butuh waktu, tenaga, energi, biaya, dan sumberdaya lainnya yang tidak sedikit apalagi jika terkait dengan kelembagaan dan anggaran pemerintah.

B. Kereta Cepat Jakarta-Bandung Pembangunan infrastruktur skala besar jika tidak dilakukan dengan mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan serta mengedepankan instrumen pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan bukan hanya merusak bentang alam, namun akan mencemari bahkan merusak lingkungan. Selain itu akan berdampak kepada kehidupan sosial masyarakat sekitar yang terkena dampak. Pembangunan infrastruktur skala besar yang telah diuraikan di atas, salah satunya ialah pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta- Bandung dilakukan tanpa membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terlebih dahulu, hal ini tidak sesuai dengan UUPPLH yang menyatakan bahwa KLHS dibuat sebelum Kebijakan, Rencana dan Program dilakukan. KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

Kedudukan KLHS sendiri berbeda dengan AMDAL yang menjadi syarat bagi terbitnya izin lingkungan. KLHS hanya berfungsi untuk memastikan bahwa sebuah kebijakan, rencana maupun program berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah tidak ada batasan waktu dalam pelaksanaan KLHS, meskipun undang- undangmengaturKLHSdilaksanakandiawal,tapi peraturan PP KLHS sendiri baru ditandatangani oleh Presiden di bulan Oktober 2016, sehingga dalam pedoman pelaksanaannya pada saat bergulirnya rencana Kereta cepat Jakarta- Bandung belum ada, hal ini menjadi alasan tidak dilaksanakannya KLHS, meskipun demikian jika sebuah Kebijakan, Rencana atau Program sudah dijalankan, KLHS bisa tetap dilaksanakan untuk memastikan bahwa Kebijakan, Rencana dan Program tersebut menerapkan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan. Di sisi lain, belum adanya sanksi bagi tidak dilakukannya KLHS juga membuat kedudukan KLHS sebagai instrumen pengendalian lemah, karena seolah- olah tidak ada kerugian bagi pemerintah jika tidak melakukan KLHS.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/ atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

Selain KLHS, penataan lingkungan perlu memperhatikan Rencana Tata Ruang yang lebih rinci, yaitu RTRW Kabupaten/Kota atau RDTR Kabupaten/Kota, yang telah mencantumkan pula peraturan zonasi yang lebih detail, sesuai karakteristik wilayah. Pembangunan harusnya didasarkan pada perencanaan tata ruang, memperhatikan dan mematuhi pola dan fungsi ruang agar pemanfaatan, pengendalian dan evaluasi pembangunan bisa terukur dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup. Pembangunan Kereta cepat Jakarta-Bandung seharusnya mengikuti RTRW yang telah ada, pada kenyataannya di lapangan, melalui Peraturan Presiden (perpres) nomor 26 tahun 2015 tentang percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana Kereta cepat Jakarta-Bandung antara Jakarta dan Bandung, Presiden memerintahkan Kepala Daerah yang daerahnya dilalui proyek Kereta cepat Jakarta-Bandung ini untuk melakukan penyesuaian rencana tata ruang Kota dan Kabupaten diharapkan menyesuaikan RTRW Daerahnya dengan rencana pembangunan. Penyesuaian dapat dilakukan melalui cara revisi RTRW. Meskipun demikian revisi RTRW

juga tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba, Undang-Undang Penataan Ruang menyebutkan bahwa revisi bisa dilakukan satu kali dalam 5 tahun. Sehingga tidak mudah melakukan revisi terhadap RTRW yang sudah terbit. Dengan keluarnya Perpres No. 26 tahun 2015, proyek pembangunan Kereta cepat Jakarta- Bandung ini telah menafikan fungsi RTRW sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan lingkungan. Sebaliknya RTRW digunakan untuk melegalisasikan proyek pembangunan.

Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta- Bandung Jakarta – Bandung ini merupakan proyek kerja sama antara Chinese Enterprises Consortium yang terdiri dari 9 perusahaan (yang dpimpin oleh China Railway Co, Ltd) dan Konsorsium Indonesia yang terdiri 8 perusahaan BUMN, yaitu : PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk – PT. WIKA sebagai Pimpinan, PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI), PT. Jasa Marga (Persero) Tbk, PT. Perkebunan Nusantara (Persero) VIII (PT. PN VIII), PT. Industri Kereta Api (Persero) (INKA), PT. Len Industri (Persero) (LEN), PT. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PP) dan PT. Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI). Proyek ini digagas oleh pemerintah pusat, dalam rangka pembangunan dan pengembangan kawasan. Dengan panjang jalur trase mencapai 145 km, proyek Kereta Cepat Jakarta-

Bandung hasil kerjasama Indonesia-China ini akan melintasi 9 kabupaten dan kota,

83 kelurahan dan desa. Terdapat 4 (empat) Transit Oriented Development (TOD) yang akan dikembangkan di sepanjang jalur trase, seperti TOD Halim, Karawang, Tegal Luar dan Walini.

Pembangunan Infrastruktur di Jawa Barat masuk ke dalam Misi Keempat Pemerintah Jawa Barat, yaitu: Mewujudkan Jawa Barat yang nyaman dan Pembangunan Infrastruktur Strategis yang berkelanjutan. Dalam RPJMD Jawa Barat tahun 2013-2018, pembangunan infrastruktur transportasi perhubungan dilakukan dalam rangka peningkatan pelayanan pergerakan orang dan barang serta mengembangkan sistem transportasi publik regional yang nyaman. Salah satu arahan kebijakan bidang perhubungan adalah pengembangan sistem transportasi darat dan perkeretaapian serta sistem transportasi massal (Mass Rapid Transport). Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, masih sejalan dengan rencana pembangunan infrastruktur di Jawa Barat, meskipun demikian Proyek ini baru muncul setelah RTRW Jawa Barat dan RTRW wilayah terkait ditetapkan. Akibatnya proyek ini tidak ada dalam perencanaan pemanfaatan ruang di Jawa Barat.

Pemerintah lalu mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta- Bandung antara Jakarta dan Bandung, dalam salah satu pasalnya Presiden memerintahkan Kepala Daerah yang daerahnya dilalui projek Kereta cepat Jakarta- Bandung ini untuk melakukan penyesuaian rencana tata ruang Kota dan Kabupaten. Pemerintah Daerah diharapkan menyesuaikan RTRW Daerahnya dengan rencana pembangunan. Penyesuaian dilakukan melalui cara revisi RTRW.

Dalam konteks penataan ruang, tindakan pemerintah pusat mengeluarkan Perpres Percepatan Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini sebetulnya keliru, karena pemerintah pusat memaksakan kepentingan pusat terhadap daerah, dan memaksa daerah untuk mengakomodasi proyek kereta api Jakarta- Bandung ini ke dalam rencana pemanfaatan ruang daerah. RTRW merupakan dasar pelaksanaan pembangunan daerah, di dalam RTRW, setiap kawasan telah ditentukan peruntukkannya. Mengakomodasi projek Kereta Api JakartaBandung ke dalam RTRW daerah bisa merubah peruntukkan kawasan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap pola ruang RTRW Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Bandung, dengan perkiraan lokasi TOD yang direncanakan, beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pengadaan lahannya. Terdapat kawasan yang berfungsi sebagai kawasan tanaman pangan di Kabupaten Karawang dan kawasan pertanian lahan basah di Kabupaten Bandung yang berpotensi untuk ditetapkan sebagai bagian dari Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) oleh Pemerintah Pusat atau Kementerian Pertanian, kemudian terdapat pula kawasan peruntukan pertanian (tanaman pangan) di Kabupaten Bandung Barat. Terdapat kawasan lindung yang berfungsi sebagai resapan air yang juga merupakan kawasan rawan bencana geologi (gerakan tanah) di Kabupaten Bandung Barat perlu dipertimbangkan, mengingat kebutuhan lahan di TOD Walini cukup besar (1270 Ha).16 Selain itu diperkirakan sekitar 3.500 Kepala Keluarga terkena dampak langsung penggusuran pemukiman dan lahan pertanian untuk pelaksanaan proyek ini, selain itu karena lintasan jalur merupakan wilayah pertemuan tiga sesar, yaitu Cimandiri, Lembang dan Baribis yang berpotensi menimbulkan gerakan tanah dan longsor, maka terdapat resiko bencana17.

Penataan lingkungan perlu memperhatikan Rencana Tata Ruang yang lebih rinci,yaitu RTRW Kabupaten/Kota atau RDTR Kabupaten/ Kota, yang telah mencantumkan pula peraturan zonasi yang lebih detil, sesuai karakteristik wilayah. Pembangunan harusnya didasarkan pada perencanaan tata ruang, memperhatikan dan mematuhi pola dan fungsi ruang agar pemanfaatan, pengendalian dan evaluasi pembangunan bisa terukur dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup.

Pembangunan Kereta Cepat seharusnya mengikuti RTRW yang telah ada, pada kenyataannya di lapangan, melalui Peraturan Presiden (perpres) Nomor 26 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung, Presiden memerintahkan Kepala Daerah yang daerahnya dilalui projek Kereta Api Cepat ini untuk melakukan penyesuaian rencana tata ruang Kota dan Kabupaten diharapkan menyesuaikan RTRW Daerahnya dengan rencana pembangunan. Penyesuaian dapat dilakukan melalui cara revisi RTRW. Meskipun demikian revisi RTRW juga tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba, Undang-Undang Penataan Ruang menyebutkan bahwa revisi bisa dilakukan satu kali dalam 5 tahun.

Sehingga tidak mudah melakukan revisi terhadap RTRW yang sudah terbit. Dengan keluarnya Perpres No. 26 Tahun 2015, proyek pembangunan Kereta Api Cepat ini telah mengesampingkan fungsi RTRW sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan lingkungan. Sebaliknya RTRW digunakan untuk melegalisasikan proyek pembangunan.

Kondisi sebagaimana yang dipaparkan di atas, harus menjadi perhatian pemerintah dalam melaksanakan proyek ini, karena berpotensi menjadi masalah yang mungkin menghambat keberhasilan ini. Terbukti, sampai saat ini, RTRW kota/kabupaten yang belum mengakomodasi proyek ini masih berada dalam tahap penyesuaian, selain itu pembebasan lahan bagi proyek ini masih menghadapi berbagai kendala. Apabila proyek ini tetap dijalankan, maka dalam hal pembangunan berkelanjutan tidak akan tercapai. Seharusnya pemerintah mulai mengubah paradigma dalam merencanakan hingga melaksanakan pembangunannya agar menggunakan perspektif jangka panjang, mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan karena keberhasilan pembangunan berkelanjutan ditentukan oleh kebijakan yang diambil oleh Pemerintah.