BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Gerakan demonstrasi merupakan bagian dari cara masyarakat

  mengekspresikan wujud berdemokrasi. Sebab, wujud kemerdekaan/ kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang dituangkan dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

  Jaminan UU Nomor 9 Tahun 1998, Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Artinya, setiap gerakan demonstrasi sebagai sebuah gerakan sosial, tidak bisa diklaim hanya milik sekelompok orang, misalnya oleh kelompok aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), atau oleh para akademisi (mahasiswa). Sementara masyarakat jelata, kaum pinggiran atau komunitas yang hidup di wilayah terpencil dianggap tidak memiliki hak atau menjadi bagian dari UU Nomor 9 Tahun 1998.

  Sebagai Warga Negara Indonesia, hak kemerdekaan/kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, dalam bentuk demonstrasi, pawai dan mimbar bebas menjadi hak dasar dari setiap warga negara. Namun, dalam mewujudkan hak-hak dasar tersebut, terkadang muncul kesalahan dalam menilai sebuah gerakan demonstrasi massa. Demonstrasi massa yang dilakukan di wilayah nusantara selalu diberi stigma buruk berdasarkan pemetaan wilayah, artinya kalau demonstrasi yang dilakukan di wilayah Indonesia Tengah dan atau Indonesia Barat, tidak mendapat stigma buruk dan dianggap wajar, sah, dan dibolehkan. Akan tetapi jika demonstrasi dilakukan di wilayah Timur Indonesia selalu dikonotasikan sebagai gerakan anti pemerintah, pro disintegrasi bahkan selalu dihubung-hubungkan dengan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) yang sering terjadi pada sebagian wilayah Timur Indonesia.

  Gerakan demonstrasi di Kabupaten Kaimana – Provinsi Papua Barat, merupakan gerakan demonstrasi yang memiliki “kesamaan nilai” serta tujuan yang tidak jauh berbeda dengan gerakan demonstrasi yang terjadi, atau dilakukan oleh kelompok demonstrasi di pelosok nusantara. Yang penulis maksud dari “kesamaan nilai” tersebut didasarkan pada konteks anak bangsa, yang mengakui dan menjunjung tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat, berdemonstrasi, pawai, mimbar bebas yang diakomodir dalam dalam UU Nomor Nomor 9 Tahun 1998 wajib dihormati dan diberi ruang kepada mereka yang ingin menyelenggarakannya.

  Jika di ibukota negara demonstrasi dilakukan berjilid-jilid dengan selalu berpaut pada angka seperti 411, 212 dll dianggap sah, maka gerakan demonstrasi massa di Kabupaten Kaimana dengan menggunakan simbol adat, sangat layak diterima dan harus diakui. Hal ini disebabkan karena keduanya berangkat dari prespektik masing- masing, dan yang membedakan kedua gerakan demonstrasi terletak pada penggunaan at-rubut, yang satunya condong menggunakan simbol keagamaan dan cenderung mengaitkan dengan angka 411 dan 412, maka terindikasi tujuan gerakan tersebut ingin menciptakan momentum untuk generasi baru. Sementara untuk gerakan demonstrasi massa di Kabupaten Kaimana yang menggunakan simbol adat, gerakan ini lebih menekankan pada keterhubungan mereka dengan sejarah leluhur. Jadi singkatnya adalah, gerakan demonstrasi massa di Jakarta lebih condong pada upaya menciptakan sejarah, sementara demonstrasi massa di Kabupaten Kaimana lebih condong pada pengulangan sejarah masa lalu.

  Sikap masyarakat ini secara prinsip mereka tidak menciptakan simbol-simbol baru, dan karena itu, gerakan demonstrasi massa yang dilakukan bertujuan membangun kembali kesadaran pemerintah bahwa masyarakat itu sudah ada, jauh sebelum pemerintah hadir dan menjadikan mereka sebagai warga negara Indonesia.

  Sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Kaimana dibentuk menjadi kabupaten pemekaran yang berada di wilayah Provinsi Papua Barat. Usia Kabupaten Kaimana jika dihitung dari masa karakteker tahun 2003 hingga tahun 2017, lebih kurang usia Kabupaten Kaimana berada pada angka empat belas tahun. Diusianya yang masih remaja, kabupaten ini mengalami banyak permasalahan sosial, yang juga dialami oleh wilayah-wilayah pemekaran yang berada di Provinsi Papua dan Papua Barat. Selain masalah sosial, pemerintah diperhadapkan dengan masalah demonstrasi masa yang dilakukan berjilid-jilid dengan menggunakan simbol adat.

  Sebenarnya penulis ingin membuka penulisan bab ini dengan uraian yang menyentuh pada latar belakang masalah. Namun, ada hal penting yang ingin penulis sampaikan kepada pembaca, berkaitan dengan hakikat gerakan demonstrasi massa. Pada bagian awal bab ini, penulis mencoba untuk mengedepankan UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bahwa demonstrasi massa di Kabupaten Kaimana terhadap implementasi kebijakan pemerintah merupakan bagian dari substansi demokrasi. Selain itu penelitian ini tidak mempersoalkan sisi benar dan salah dari gerakan demonstrasi tersebut, akan tetapi penulis lebih fokus pada latar belakang masalah yang berhubungan dengan dasar kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana, disertai dengan persoalan mendasar munculnya gerakan perlawanan tersebut.

  Pemerintah secara sah, memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan terhadap permasalahan yang dihadapi dalam ruang publik yang menjadi wilayah otoritasnya. Karena itu, sangatlah keliru jika ada kegiatan demonstrasi massa yang berusaha menyoalkan dan atau memprotes kebijakan yang dibuat. Dalam membuat kebijakan, tidak selamanya seorang pemimpin harus melahirkan kebijakan riil, ada juga pemimpian yang cenderung memilih untuk membuat kebijakan yang tidak nampak. Artinya, dalam kondisi tertentu, seorang pimpinan bisa memilih untuk membuat kebijakan nyata yang dirasakan oleh masyarakat, tetapi pada sisi lain, dia bisa memilih untuk membuat kebijakan yang tampak nyata. Ada alasan tertentu yang melatar belakangi sikap tersebut, mengapa seorang pimpinan cenderung membuat kebijakan yang nyata, dan pada sisi lain, mengapa dia lebih memilih tidak membuat kebijakan nyata. Yang dipikirkan dari konteks ini sesungguhnya bukan pada membuat kebijakan dan atau tidak membuat kebijakan, melainkan dilihat adalah, dampak dari kebijakan selalu menjadi ukuran untuk melahirnya sebuah kebijakan.

  Sebagai penentu kebijakan (policy maker) pada wilayah pemerintahan Kabupaten Kaimana, tanggangung jawab mengola masalah sosial adalah menjadi kewenangan seorang kepala daerah. Kewenangan seorang kepala daerah dalam hubungannya dengan masalah sosial, hanya bisa terhubung melalui sebuah kebijakan, sebab kebijakan memiliki substansi kepedulian seorang kepala daerah atas permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat sebagai sumber pemegang dan sumber pemberi mandat di alam demokrasi.

  Dalam konteks kewenangan tersebut, lahirlah berbagai kebijakan yang dibuat untuk menjawab sejumlah masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Masyarakat sebagai bagian terpenting dari masalah sosial tentu akan membuat reaksi atas sebuah kebijakan, karena masyarakat selalu berada dalam ruang implementasi kebijakan. Karena itu, reaksi masyarakat tidak bisa dihubungkan dengan kebijakan secara verbal (non implementasi), tetapi selalu berhubungan dengan kebijakan riil (terimplementasi). Di ruang kebijakan riil inilah, sebuah kebijakan diuji. Artinya, ketika sebuah kebijakan masih terbatas pada rancangan tim kerja pemerintah dalam sebuah birokrasi, sejauh itu masyarakat tidak memiliki kewenangan menilai, menyoalkan atau menolak kebijakan tersebut. Alasannya jelas, karena dalam ruang birokrasi, “pemerintah memiliki hak merancang sebuah kebijakan”, namun ketika kebijakan berada pada ruang implementasi dan muncul reaksi dari masyarakat, maka hal itu memberi tanda bahwa ada faktor-faktor kepentingan yang sengaja diselipkan pada sebuah kebijakan.

  Dalam melakukan pembangunan di Tanah Papua khususnya di Kabupaten Kaimana yang meliputi delapan suku asli antara lain: Mairasi, Kuri, Irarutu, Oburau, Madewana, Koiwae, Napiti dan Miere, banyak orang tidak memahami kalau setiap suku memiliki konsep pembangunan yang dimulai dari konsep membangun individu, konsep membangun marga/klan, dan konsep membangun suku serta membangun wilayah yang mereka diami. Konsep masyarakat ini tentu berbenturan dengan pandangan yang dianut oleh pemerintah yang melihat masyarakat sebagai obyek pembangunan. Dalam merancang kebijakan pembangunan terhadap delapan suku di Kabupaten Kaimana, pembuat kebijakan tidak bisa memulai dari cara berfikir kalau masyarakat lokal tidak memiliki sesuatu terhadap diri, lingkungan dan masa depan mereka. Haruslah dipahami bahwa delapan suku di Kabupaten Kaimana bukan penunggu yang mendiami suatu wilayah atau tempat tertentu tanpa latar belakang, mereka punya sejarah, mereka punya mitos, mereka punya tarian dan nyanyian, mereka punya religi, dan semua yang mereka miliki itu merupakan modal hidup yang dapat membuat mereka mampu bertahan dalam konteks di mana mereka ada hingga saat ini.

  Terkadang dalam mendesain pembangunan terhadap masyarakat lokal, pihak yang mendesain pembangunan mengalami tantangan yang bisa menyebabkan kegagalan dalam pembangunan. Hal ini sesungguhnya disebabkan karena sosok manusia dan alam yang akan dibangun, dilihat dan dipahami sebagai dua pribadi yang tidak memiliki sesuatu (alam selalu dipandang tidak memiliki hubungan manusia). Dampaknya adalah pada akhirnya, desain pembangunan akan melahirkan benturan konflik antara pihak yang membangun dan pihak yang dibangun.

  Apa yang dimiliki delapan suku asli di Kabuapetn Kaimana, tidak boleh dipahami sebagai sesiatu yang nir logis. Sebab sesuatu yang logika tidak dimulai dari kumpulan pikiran aku dan kau (hanya sekolompok orang), dan meniadakan logika orang lain. Seharusnya pembangunan harus dimulai dari kumpulan pikiran aku, kau dan mereka (melibatkan semua pihak), maka hal itu menunjukan bahwa semua unsur telah diajak untuk duduk berpikir berasama sehingga hasil pembangunan dapat dikatakan sebagai hasil pikir, hasil juang dan bangun bersama.

  Pertanyaan yang terkadang muncul dalam benak masyarakat modern adalah benarkah masyarakat lokal delapan suku di Kabupaten Kaimana memiliki konsep pembangunan”? pertanyaan berikut adalah “kapan konsep tersebut ada dan bisa terealisasi”?

  Menjawab dua pertanyaan tersebut, penulis perlu menyampaikan bahwa kumpulan konsep pembangunan dalam kehidupan masyarakat lokal merupakan warisan dari generasi ke generasi. Konsep tersebut kalau dibahasakan dalam bahasa sederhana masyarakat lokal delapan suku disebut “tete nene moyang punya janji”, pertanyaan kedua,

  “kapan konsep tersebut bisa terealisasi”? menjawab pertanyaan kedua maka masyarakat lokal menempatkan konsep “tete 1 (Norma, Standar, Presedur nene moyang punya janji” sebagai NSPK dan Kriteria) dan menghubungkannya dengan kehadiran pemerintah serta pihak-pihak yang akan melaksanakan pembangunan dalam wilayah adat mereka. NSPK ini telah ada dan digunakan oleh masyarakat lokal sebagai standar umum dalam menilai dan menghubungkan janji leluhur dengan perilaku pemerintahan, apakah ada kecocokan dengan NSPK konsep adat yang mereka terima dari leluhur atau berbeda dengan janji tersebut.

  1 Dalam UU Nomr 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah BAB IV Pasal 9 ayat 3

menyebutkan “Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang

dibagi antara Pemerintahan Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota”.

  

Pasal 16 Ayat 1 “Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan

konkuren sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat 3 berwenang untuk: (a)

“menetapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria dalam rangka penyelenggaraan

urusan pemerintahan”; dan (b) “melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap

penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah”. Dalam

konsep masyarakat adatis, NSPK ini telah ada sebagai bentuk etika budaya. NSPK

konsep masyarakat lokal yang digunakan terhadap setiap kebijakan pemerintah dan

para investor yang melakukan pembangunan dalam wilayah adat mereka, karena itu

jika pembangunan tidak sesuai dengan NSPK yang ditetapkan oleh “tete nene moyang

pung jani”, maka terkadang terjadi penolakan dari pihak masyarakat lokal.

  Untuk merealisasikan “tete nene moyang punya janji”. masyarakat lokal membuka diri menerima konsep dan kebijakan pembangunan seperti: penyerahan wilayah adat kepada pemerintah untuk melakukan membangun infrastruktur, mengikuti program pendidikan, program kesehatan, memilih menjadi pemeluk salah satu agama dari agama yang distandarkan oleh pemerintah. Dalam kenyataan ketika masyarakat adat menjatuhkan pilihan menjadi pemeluk salah agama standar pemerintah, konsekwensinya adalah masyarakat lokal harus meninggalkan nilai-nilai kepercayaan lokal yang di dalamnya termuat NSPK. Pada tingkat yang paling akhir, masyarakat lokal diajak untuk mengakui otoritas pemerintahan sebagai institusi yang berdaulat dan bertanggungjawab membawa masyarakat lokal menuju kehidupan yang lebih baik (sejahtera). Keberhasilan pemerintah dalam konteks ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk mewujudkan mimpi masyarakat lokal yang berkaitan dengan “tete nene moyang punya janji”. Artinya, ketika pemerintah telah berhasil mengajak masyarakat lokal untuk mengikuti ajakan pemerintah, maka dalam hal tersebut pemerintah telah meletakan dan melegalkan dirinya sebagai wujud dari janji leluhur yang mereka nantikan selama ini.

  Strategi pemerintah yang diawali dengan mengubah cara pendang masyarakat lokal merupakan barometer dalam mendaratkan kebijakan pembangunan. Karakter masyarakat lokal yang pada awalnya tempramental, penuh kecurigaan dan cemburuh terhadap kehadiran pihak luar, telah diyakinkan oleh pemerintah bahwa, pemerintah mampu merealisasikan konsep-konsep leluhur yang dimiliki dengan cara mengimplementasikan sejumlah kebijakan pemerintah. Karena itu, kebijakan pembangunan tidak saja terfokus pada apa yang akan dibangun, namun pada sisi lain, pemerintah sudah meyakinkan mereka (masyarakat lokal) bahwa kehadiran pemerintah adalah wujud dari janji leluhur. Konteks ini dengan sendirinya akan menjadi pintu masuk dalam membangun masyarakat lokal di Kabupaten Kaimana.

  Gagal dan berhasilnya suatu kebijakan pembangunan tidak semata-mata tergantung pada pihak pembuat kebijakan, atau hanya tergantung pada masyarakat dalam wilayah tertentu. Dua kutup berbeda, atas (pemerintah) bawah (masyatrakat) merupakan titik penentu berhasil tidaknya sebuah kebijakan pembangunan, karena itu dua instrumen pembangunan utama (pemerintah dan masyarakat) memiliki kewajiban untuk saling menghormati posisi masing-masing. Konteks ini diwujudkan dengan tujuan agar kegagalan realisasi kebijakan pembangunan bisa diminimalisir.

  Munculnya gerakan demonstrasi massa, terhadap implementasi kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana, menjadi sorotan tersendiri. Konteks ini memunculkan pertanyaan, sejauh mana pemerintah memengaruhi masyarakat lokal, dalam hal implementasi kebijakan pembangunan. Mengingat fungsi utama dari kepemimpinan adalah sejauh mana seorang pemimpin mampu memengaruhi pihak lain yang berada pada wilayah/otoritasnya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam kaitan dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain, bahwa sebuah kebijakan tidak serta merta dibuat dan langsung diimplementasikan, ada sejumlah tahapan prosedur yang harus dibuat hingga tahapan implementasi. Namun, dalam kenyataannya, demonstrasi masyarakat adat dengan menggunakan simbol adat menunjukan bahwa terdapat titik kelemahan dalam kebijakan tersebut. Titik lemah dari kebijakan tersebut dengan sendirinya berimplikasi terhadap kinerja pelayanan birokrasi pemerintah terhadap publik. Titik lemah kebijakan tersebut tidak berarti bahwa pemerintah berada pada posisi yang sangat lemah, namun ada kesan tersendiri bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana belum mampu mengenal konteks masyarakat yang berada dalam wilayah kerjanya, dan pemerintah belum memainkan peran sebagai inkarnasi dari “tete nene moyang punya jani” yang dimiliki dan ditunggu oleh masyarakat adat.

  Merunut sejarah delapan suku asli di Kabupaten Kaimana, sejak awal masing-masing suku telah memiliki simbol adat. Simbol-simbol tersebut secara prinsip adalah milik seluruh masyarakat adat, dan penggunaannya untuk kepentingan masyarakat lokal. Setiap simbol masyarakat lokal memiliki dua sifat yang berbeda. Pertama, simbol adat yang bersifat khusus tertutup (ekslusif) dan berlaku hanya pada marga/klan tertentu. Simbol ini, tidak dibenarkan untuk digunakan oleh marga lain yang tidak memiliki kaitan dengan marga/klan pemilik simbol. Sebab simbol yang berlaku dalam marga/klan tertentu memiliki hubungan dengan sebutan nama leluhur mereka. Jika ternyata terjadi penyalahgunaan simbol adat oleh marga/klan atau pihak lain, maka akan dikenahi sanksi adat. Kedua, simbol adat yang bersifat sakral

  (inklusiv), berlaku umum. Artinya, simbol adat tersebut terbuka berlaku untuk semua marga/klan dalam komintas suku. Alasan mengapa penggunaan simbol ini berlaku umum untuk setiap marga/klan, sebab asal mula simbol tersebut secara umum telah digunakan oleh leluhur mereka dalam komunitas suku tersebut. Dari runutan sejarah simbol masyarakat lokal, jika dihubungkan dengan demonstrasi massa yang terjadi di Kabupaten Kaimana maka pemanfaatan simbol adat telah bergeser di luar wilayah otoritasnya (adat). Artinya, penggunaan simbol tidak lagi berada dalam ranahnya, sebab ranah pemerintah dan ranah adat merupakan dua institusi yang berbeda dan memiliki kewenangan simbol masing-masing.

  Sebagaimana penjelasan pada bagian awal, bahwa kebijakan pemerintah untuk menata permasalahan publik di Kabupaten Kaimana, didasarkan pada sejumlah masalah sosial yang bersifat klasik antara lain: pendidikan, infrastruktur (aksesibiliti) penambahan ruas jalan darat, pelebaran bandara udara Utarom, pembenahan jumlah penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) dan tenaga kontrak, peningkatan daya saing ASN (Aparatur Sipil Negara) melalui mutasi reguler ASN, peningkatan kualitas iman umat melalui program wisata rohani (ziara dan ibadah haji).

  Menghadapi konteks seperti ini, dibutuhkan kebijakan strategi seorang kepala daerah. Kebijakan strategi dibuat tidak hanya bertujuan untuk mencapai hasil yang telah menjadi target, melainkan ada hal penting yang perlu dicapai yang berhubungan dengan pemerataan keadilan sosial yang berimplikasi pada upaya memperkecil ruang kesenjangan sosial antara orang lokal dengan para migran yang berasal

  • – Provinsi Papua Barat. dari luar wilayah Kabupaten Kaimana
Langkah-langkah konrit yang diambil untuk tujuan tersebut ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Artinya, apa yang terpikir dan terkonsep dalam ruang birokrasi, ternyata dalam ruang implementasi kebijakan muncul fenomena dan hasil yang berbeda, hal itu ditandai dengan adanya demonstrasi massa yang melakukan pemalangan menggunakan simbol adat terhadap sejumlah infrastruktur pemerintah, seperti pemalangan terhadap kantor Bupati Kaimana, Kantor Dinas PU, Kantor Dinas Kesehatan, Perumahan Dinas Pimpinan Sekolah Dasar, dan pemalangan alat berat milik kontraktor, Pemalangan Kantor Distrik Teluk Arguni dan pemalangan kantor P.T. Quest Geofissical Asia sebagai sub kontraktor P.T. ChrisEnergi yang melakukan sesmik MIGAS (Minyak dan Gas) di daerah Distrik Teluk Arguni dan Teluk Arguni Bawah.

  Sikap demonstrasi massa yang berbuntut pemalangan menggunakan simbol adat, tidak bisa dipahami negatif atau sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Karena demonstrasi massa tidak dilakukan terhadap sebuah kebijakan, melainkan dilakukan dalam ruang implementasi kebijakan. Dalam ruang inilah, rakyat melihat kebijakan pemerintah sebagai bentuk jawaban atas masalah yang dihadapi. Karena itu, dalam menilai sikap demonstrasi massa di Kabupaten Kaimana, masalah tersebut tidak bisa diletakan dalam porsi demonstrasi massa versus kebijakan, melainkan demonstrasi massa versus implementasi kebijakan pemerintah.

  Demonstrasi merupakan bagian dari kebebasan manusia dan telah diakomodir dalam UU Nomor 9 Tahun 1998, Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU Nomor 9 Tahun 1998, tidak hanya dilihat sebagai bentuk dukungan pemerintah atas kebebesan berpendapat warga negara, tetapi di sisi lain, pemerintah ingin menyampaikan pesan kepada semua komponen agar tidak berlebihan menilai negatif sebuah gerakan demonstrasi massa terhadap pemerintah. Sebab rung demonstrasi massa dalam dunia demokrasi merupakan ruang komunikasi massa yang disampaikan kepada pemerintah atas sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat terkait dengan apa yang mereka rasakan yang memiliki kaitan langsung dengan implementasi kebijakan.

  Kita patut mencatat bersama, sejarah perjalanan Bangsa Indonesia selama masa ORBA (Orde Baru), tidak ada satu kekuatan yang bisa menumbang rezim kuat saat itu, namun hanya melalui demonstrasi massa rezim kuat ORBA bisa digulingkan. Hal ini tidak berarti bahwa demonstrasi massa memiliki sisi negatif yang terkesan memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintah. Tetapi pada sisi positif kegiatan demonstrasi masa bisa dilihat sebagai ruang komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat yang memungkinkan pemerintah mendapat informasi terkait dengan implementasi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Berdasarkan fakta, pemerintah memiliki keterbatasan dalam melakukan pemantauan atas sejumlah kebijakan yang sementara diimplementasikan, dengan demikian fungsi kontrol masyarakat melalui demonstrasi massa bisa dijadikan sumber informasi dan alat kontrol terhadap sejumlah implementasi kebijakan yang dianggap bermasalah.

  Sejalan dengan konteks tersebut, terkadang pemerintah bersama rakyat berada pada dua sudut pandang yang berbeda. Hal ini disebabkan karena mengawali kehadiran kepemimpinan seorang kepala daerah, rakyat telah terkotak-kotak oleh pegaruh para elit politik daerah sehingga menyebabkan muncul kelompok-kelompok yang bermuara pada kelompok oposisi dan kelompok kualisi. Dalam konteks ini dibutuhkan sikap pemenang PILKADA untuk kembali menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda dalam satu komunitas masyarakat. Jika hal ini tidak dapat diwujudkan maka kelompok yang berseberangan akan terbentuk secara permanen selama masa kepemimpinan seorang kepala daerah dan akan berdampak menjadi kelompok oposisi dalam pemerintahan.

  Konteks ini telah terjadi di Kabupaten Kaimana. Kelompok lawan poliik yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok oposisi, terus menyuarakan kegagalan implementasi kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana. Kelompok ini tidak hanya sebatas penyampaikan suara dalam bentuk demonstrasi massa, lebih dari itu sikap demonstrasi yang dilakukan dilegalkan dengan menggunakan simpul-simpul simbol adat. Dari sikap ini demonstrasi massa ingin menyampaikan kepada pemerintaah bahwa sebagai kelompok oposisi, mereka juga adalah bagian dari masyarakat adat, dengan demikian apapun yang mereka lakukan adalah sah sebagai masyarakat Kaimana dan sebagai masyarakat adat.

  Simbol adat dalam komunitas masyarakat lokal merupakan identitas yang tidak memiliki hubungan dengan pemerintah dan politik modern. Kebiasaan masyarakat lokal hidup bersama simbol-simbol adat merupakan bagian dari suatu sistem pemerintahan adat yang sudah terbentuk sejak lama. Kehidupan masa lalu tersebut dikemas dalam bentuk tata aturan yang tersimpul dalam berbagai bentuk simbol, serta tanda-tanda untuk mengatur jalannya roda kepemimpinan pemerintahan masyarakat adat.

  Pada masa lalu, simbol masyarakat adat menjadi benteng kekuatan untuk mengamankan keberadaan dan keberlangsungan kehidupan komunitas masyarakat adat dari berbagai ancaman. Dalam konteks tersebut, simbol adat memiliki fungsi ganda secara internal untuk menyatukan masyarakat lokal, dan secara eksternal menjaga komunitas masyarakat adat dari ancaman luar. Dalam menggunakan simbol adat sebagai alat perlawanan terhadap implementasi kebijakan, ada pemahaman sebagian masyarakat adat bahwa kebijakan pemerintah dilihat sebagai bentuk ancaman terhadap keberadaan masyarakat lokal, dengan demikian solusi yang ditempuh oleh masyarakat adat adalah dengan melakukan demonstrasi massa untuk menghentikan implementasi kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat adat. Jalan satu-satunya untuk mengehentikan permasalahan tersebut butuh dialog antara pemerintah dengan pihak masyarakat adat.

  Berangkat dari paparan latar belakang masalah yang diuraikan penulis, maka judul yang dianggap sangat tepat untuk kajian tesis ini adalah:

  “Resisitensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat Terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana. Judul ini hendak menerangkan empat hal yaitu: pertama, simbol adat tidak hanya dipandang sebagai aksesoris atau at-ribut masyarakat lokal, simbol adat merupakan kumpulan spiritualitas masyarakat adat yang tersimpul dan berbentuk simbol kekuatan dan yang menyatu dalam kehidupan mereka beratus-ratus tahun yang lalu; kedua, gerakan perlawanan tidak bisa dikonotasikan sebatas gerakan anti pemerintah dengan tujuan yang bersifat negatif. Artinya, gerakan perlawanan yang terjadi memiliki kaitan dengan implementasi kebijakan yang bermasalah. Karena itu, penggunaan simbol adat menandakan bahwa aspirasi yang disampaikan adalah benar-benar murni berasal dari pemilik simbol; ketiga, bahwa alur sebuah kebijakan yang dibuat tidak bisa dimulai dari pembuat kebijakan, sebab dalam dunia demokrasi kebijakan selalu berawal dari mandat rakyat yang diserahkan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena itu substansi kebijakan haruslah menjawab sejumlah masalah dari pemberi/pemegang mandat yang disebut rakyat.

  Dari uraian latar belakang masalah yang disampaikan oleh penulis, maka munculnya gerakan perlawanan simbol adat terhadap kebijakan pemerintah disebabkan pada indikator utama yaitu “terbentuknya wilayah delapan suku menjadi kabupaten”. Indikator utama ini sangat berasalan dan bisa diukur berdasarkan fakta sejarah masa dulu dan masa sekarang. Catatan singkatnya adalah bahwa pada masa lampau sebelum wilayah delapan suku menjadi sebuah kabupaten terlepas dari kabupaten induk (Kabupaten Fakfak), riak-riak demonstrasi massa tidak pernah ada. Baru setelah wilayah adat delapan suku resmi menjadi kabupaten muncullah gerakan demonstrasi massa. Demonstrasi massa bisa saja terjadi karena ada sejumlah kepentingan dalam politik, bisa juga didasarkan pada sejumlah kebijakan yang terimplementasi tetapi tidak menjawab substansi masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, bisa juga disebabkan karena penghuni wilayah otoritas adat yang merasa semakin tergeser dari wilayah adat mereka.

  Indikator yang disampaikan oleh penulis tidak hanya didasarkan pada data yang diperoleh penulis saat melakukan penelitian. Sebagai seorang Pendeta yang bertugas pada lembaga GPI Papua (Gereja Protestan Indonesia di Papua) di wilayah pemerintahan Kabupaten Kaiamana kurun waktu dua puluh tahun (1995 – 2015). Berdasarkan fakta selama dua puluh tahun hidup bersama masyarakat adat, penulis membandingkan antara kehidupan masyarakat adat masa lalu sebelum Kaimana menjadi kabupaten dengan kondisi setelah menjadi kabupaten, situasi sosial sangatlah jauh berbeda.

  Perbedaan konteks yang dimaksud oleh penulis adalah, bahwa sebelum wilayah ini menjadi kabupaten, masyarakat lokal delapan suku sangat harmonis, antara sesama suku maupun dengan pemerintah. Baru sekitar tahun 2003 disaat wilayah adat delapan suku memasuki tahapan pemekaran kabupaten (karakteker) dan memasuki tahapan PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) tahun 2005, masyarakat digiring masuk dalam ruang-ruang kepentingan para elit politik daerah. Kondisi ini pada akhirnya melahirkan gesekan-gesekan kepentingan yang berdampak pada kebijakan pembangunan.

  Dampak tersebut mulai terasa pada kebijakan pembangunan seperti kepincangan pembangunan infrastruktur, suasana keamanan tidak kondisif yang berdampak pada keinginan para investor untuk menanam modal di daerah, hal ini turut memengaruhi sektor ekonomi serta pelayanan birokrasi pemerintahan. Keadaan ini pada akhirnya akan mengurucut membentuk muara masalah sosial yang membelit kehidupan masyarakat.

  Uraian latar belakang yang disampaikan penulis, menurut hemat penulis, belum ada penulisan terdahulu yang mengangkat dan menulis tentang pokok utama dari tesis ini. Kalaupun terdapat penulisan terdahulu terkait dengan bentuk-bentuk perlawanan masyarakat adat terhadap pemerintah, atau pihak-pihak lain yang bersentuhan dengan pembangunan dalam wilayah masyarakat adat, namun substansi kajian yang dibuat masih sangat berbeda jauh dengan tulisan ini.

  Dari tulisan-tulisan terdahulu yang dibaca oleh penulis, kajian yang di kedepankan, berkaitan dengan penggunaan simbol adat sebagai tanda sasi atau tanda larangan. Kajian terdahulu tersebut tidak melibatkan unsur-unsur modern seperti demonstrasi massa, sementara untuk kajian tesis ini, penggunaan simbol adat di Kabupaten Kaimana, telah mengikutsertakan unsur modern seperti mobilisasi massa, penggunaan MEDSOS sebagai ANT (Aktor Network), penggunaan peralatan soundsystem, ijin pihak keamanan, orasi mimbar bebas yang disampaikan kepada pihak pemerintah. Ada hal yang menarik dari kajian ini bahwa keberanian masyarakat adat tidak hanya menggunakan simbol adat tetapi mereka mampu memasuki ruang privat pemerintah dan melakukan pemalangan.

  Tulisan-tulisan terdahulu tersebut penulis membaginya dalam tiga bagian; pertama, jurnal yang ditulis mewakili beberapa wilayah di Provinsi Papua anatara lain: “Masalah Sosial dan Konflik Masyarakat Adat Papua dengan P.T. Freeport Indonesia”, “Pengrajin Noken Pada Suku Bangsa Amungme di Desa Limau Asri Kabupaten Mimika”, “Peran Kepala Suku Dalam Sistem Noken Pada Pemilukada di Kabupaten Dogiay”; kedua, jurnal yang mewakili konteks umum wilayah di Tanah Papua “Solusi Damai di Tanah Papua (Mengubur Tragedi HAM dan Mencari Jalan Kedamaian)”; ketiga, Jurnal yang mewakili wilayah Provinsi Papua Barat antara lain: “Prilaku Politik Kepala Distrik Dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat Distrik Kaimana Kota-Kab upaten Kaimana” dan “Peran Kepala Suku Mairasi Dalam Mengatasi Konflik Pertanahan di Distrik Kaimana Kota- Kabupaten Kaimana”. Untuk kejelasan setiap jurnal maka bagian ini penulis menguraikan isi dan tujuan setiap jurnal secara singkat sebagai berikut:

  1. Tulisan tentang “Masalah Sosial dan Konflik Masyarakat Adat Papua dengan P.T. F.I. (P.T. Freeport Indonesia) (Tinjauan Antropologi) oleh: Nita Safitri. Departemen Antropologi FISIP Universitas Sumatera Utara. Dalam penjelasannya mengatakan bahwa: 2

  3 Kasus Suku Amungme dan Suku Kamoro terhadap kehadiran P.T. F.I

  mengakibatkan masyarakat kehilangan tanah dan hutan mereka sebagai sumber kehidupan akibat pengelolaan tambang. Akibatnya Amungme dan suku pada tahun 1969 muncul perlawanan suku 2 Kamoro. Bentuk perlawanan ini didasarkan pada:

  

Salah satu suku yang mendiami wilayah pegunungan, tepat berada di Kabupaten 3 Mimika

Salah satu suku yang berada di wilayah selatan Papua dalam wilayah Kabupaten Mimika. a. perusakan lingkungan hidup, yang pada akhirnya memengaruhi pola mata pencaharian, pekerjaan dan hubungan sosial;

  b. peningkatan ketegangan sosial akibat perubahan-perubahan yang terlalu cepat; c. timbulnya konflik antar kelompok, antar generasi, antar rakyat dengan pemerintah sehingga terjadi disharmoni dalam masyarakat; d. timbul kesenjangan sosial terutama antar penduduk asli dengan pendatang; e. adanya keinginan-keinginan ekonomi karena ganti rugi yang tidak memadai; f. munculnya ketidakpastian hidup, terutama bagi yang tergusur; g. gangguan psikologis dan stres, akibat tekanan masalah sosial.

  (Sariyun 1996, Suparian, 1998, Adi, 2002); Amungme

  Dari ketujuh poin ini muncul sikap masyarakat suku yang ditandai dengan pemancangan tombak dan anak panah di lokasi 4 Gesberg pertambangan di gunung dan kompleks perumahan di Tambagapura sebagai simbol penolakan mereka terhadap kehadiran 5 P.T. FI (Freeport Indonesia)

  6

  2. Tulisan tentang simbol noken dengan judul: “Pengrajin Noken Pada Suku Bangsa Amungme di Desa Limau Asri

  • – Kecamatan Iwaka Kabupaten Mimika – Provinsi Papua” oleh: Dedi Dekme. Kesimpulan
  • 4 5 Nama gunung tempat beroperasi perusahan tambang P.T. Freeport Indonesia Lihat Jurnal Ilmu S
  • – Fakultas ISIPOL UMA. Tentang : Masalah Sosial dan

    Konflik Masyarakat Adat Papua dengan P.T. FI (P.T. Freeport Indonesia) (Tinjauan

    Antropologi) oleh: Nita Safitri. Departemen Antropologi FISIP Universitas Sumatera

  • 6 Utara. Prespektif/Volume 4/Nomor 1/April 2011.

      

    Tas asli orang Papua yang dibuat dari kulit kayu genemo (melinjo) dan dari bahan- bahan/kulit kayu lain yang berasal dari hutan. dari tulisan ini adalah: menceritakan tentang noken sebagi simbol masyarakat adat yang digunakan sebagai tanda ucapan selamat datang dan selamat jalan terhadap kerabat atau orang lain, selain itu

      “noken” sebagai simbol kesuburan bagi seorang gadis/perempuan suku bangsa

    7 Amungme .

      3. Tulisan tentang “Solusi Damai di Tanah Papua (Mengubur Tragedi HAM dan Mencari Jalan Kedamaian) Oleh: Natalius Pigai. Fokus dari jurnal ini adalah berkaitan dengan pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia) di Tanah Papua yang diuraikan menjadi tiga bagian

      Pertama, pelanggaran HAM bidang sipil dan penting antara lain: politik di Papua dan Papua Barat; kedua, pelanggaran HAM yang ketiga, pelanggaran HAM menjadi perhatian internasional saat ini; bidang hak ekonomi, sosial dan budaya di Papua. Kesimpulan terakhir dari tulisan ini memberi penegasan tentang menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM sebagaimana yang ditawarkan oleh KOMNAS HAM (Komisi Nasional Hak Azasi Manusia) dan LIPI (Lembaga Ilmu 8 Penelitian Indonesia).

      4. Tulisan tentang: “Peran Kepala Suku Dalam Sistem Noken Pada Pemilukada di Distrik Kamu Kabupaten Dogiyai Provinsi Papua Tahun 2013”. Fokus dari jurnal ini menguraikan tentang sistem penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara dengan dua sistem; pertama: big man yaitu suara diserahkan atau diwakilkan kepada kepala sistem suku yang mereka percaya, dan kedua: sistem noken gantung sehingga dapat dilihat oleh masyarakat saat memasukan kartu suara berdasarkan kesepakatan.

      Kesimpulan tulisan ini khususnya untuk kedua sistem yang berhubungan dengan kepala suku adalah: pertama, masyarakat adat telah menganggap seorang kepala suku sebagai pemimpin yang 7 memiliki kemampuan menyelesaikan masalah-masalah, kedua: kepala

      

    Lihat “Pengrajin Noken Pada Suku Bangsa Amungme di Desa Limau Asri –

    Kecamatan Iwaka Kabupaten Mimika – Provinsi Papua” oleh: Dedi Dekme. Dalam

    8 Jurnal Holistik, tahun VIII No.16/Juli-Desember 2015.hlm.2.

      

    Lihat Jurnal administrasi Publik Volume 11 Nomor 2, Oktober 2014. Oleh Natalius Pigai. suku telah diberi kewenangan untuk mengatur sistem adat dan masalah-masalah yang berhubungan dengan sistem adat yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten Dogiyai, oleh seorang kepala suku dianggap memiliki tanggungjawab sebagai berikut, 1) mengumpulkan masyarakat dan seorang memberi arahan untuk mendengar visi misi para kandidat, 2) kepala suku bertanggung jawab menampung aspirasi masyarakat, dan 3) seorang kepala suku bertaggung jawab membawa dan mengawal hasil Pilkada, serta menyerahkan hasilnya kepada KPU (Komisi 9 Pemilihan Umum) Kabupaten Dogiyai.

      5. Tulisan tentang: “Perilaku Politik Kepala Distrik Dalam

      Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat di Distrik Kaimana Kota - Kabupaten Kaimana”. Fokus tulisan ini mengarah pada dua hal antara pertama, perilaku politik kepala distrik yang berkaitan dengan lain: partisipasi politik masyarakat di Distrik Kaimana Kota, kedua: faktor- faktor yang mendasari perilaku politik kepala distrik terkait dengan peningkatan partisipasi masyarakat. perilaku

      Dari fokus penelitian tersebut disimpulkan bahwa: 1) pemerintah Distrik Kaimana Kota masih dipengaruhi oleh karakter bawaan (watak individu), sehingga memengaruhi prinsip-prinsip utama pemerintahan yaitu pelayanan kepada masyarakat; 2) partisipasi politik masyarakat belum maksimal, yang dimulai dari proses hingga keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemilihan (Pileg, Pilkada dan Pemilihan Kepala Kampung); dan 3) ketidakmampuan kepala Distrik Kaimana Kota untuk memaksimalkan peningkatan partisipasi politik masyarakat Kaimana dengan indikator adanya intervensi oleh oknum 10 pejabat yang berkuasa .

      6. Tulisan tentang “Peran Kepala Suku Mairasi Dalam Mengatasi Konflik Pertanahan di Distrik Kaimana Kota - Kabupaten Kaimana 9 Provinsi Papua Barat”. Yang menjadi titik sentuh pada penulisan ini

      

    Lihat Yerianto Tarima dkk. Peran kepala suku dalam sistem noken pada pemilukada 10 di Distrik Kamu kabupaten Dogiyai Provinsi Papua tahun 2013.hal.4,

    Lihat Efan L.P.Sirfefa. Perilaku Politik Kepala Distrik Dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat di Distrik Kaimana Kota - Kabupaten Kaimana antara lain: pertama, tindakan mengenai urusan tanah yang berhubungan erat antara tanah dan persekutuan (golongan manusia), yamg menguasai tanah itu; kedua, penyelenggaraan hukum sebagai

      (preventieve upaya untuk mencegah adanya pelanggaran hukum rechtzorg), supaya hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya, ketiga, penyelenggaraan hukum sebagai pembetulan hukum, setelah hukum itu dilanggar (represieve rechtzorg).

      Mairasi dalam mengatasi konflik Peran serta kepala suku pertanahan di Kaimana dihadapkan pada tiga permasalahan besar

      1) pihak yang dianggap sebagai saksi, keberatan menjadi antara lain: saksi, hal ini dikarenakan ada rasa ketakutan terhadap kesaksiannya ketidakjelasan batas tanah yang bisa menyebabkan konflik baru; 2) dengan berpatokan pada tanda-tanda alam (pohon, kali, dll) yang menjadi batas tanah. Ketika terjadi perubahan karena pembangunan dan hilangnya tanda-tanda alam tersebut, mengakibatkan munculnya konflik batas tanah antara pihak-pihak yang menggunakan tanda-tanda alam sebagai batas tanah; 3) ketidakjelasan pemilik tanah, kepemilikan bukti hak atas tanah (surat pelepasan pemilik tanah dan sertifikat) lebih dari satu orang. Hal ini pun turut memperkeruh bahkan mengakibatkan konflik antara para pemilik pertama (penggarap) dan para pembeli, kondisi ini diperburuk juga dengan meningkatnya nilai jual tanah yang mengakibatkan terjadinya praktek jual atas jual

      11

      (overlep) tanah dalam komunitas suku Mairasi di dalam keluarga tertentu. Kondisi inilah yang mengakibatkan kesulitan kepala suku Mairasi menyelesaikan konflik pertanahan di Kabupaten Kaimana.

      Dari keenam tulisan terdahulu, penulis melihat masing-masing tulisan memberi penekanan yang berbeda-beda berdasarkan konteks dan substansi masalah yang dihadapi. Berdasarkan uraian keenam jurnal tersebut penulis mengelompokannya sebagai berikut: a. bahwa konflik yang terjadi di Papua dan Papua Barat selalu 11 berhubungan dengan tuntutan OAP (Orang Asli Papua) yang

      Salah satu nama suku di Kabupaten Kaimana berhubungan dengan tanah adat, hutan garapan, kekayaan tambang (migas), dan permasalahan HAM; b. bahwa konflik yang terjadi dengan pihak pemerintah atau dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan di Tanah

      Papua, selalu dijadikan konflik terbuka dan pada akhirnya melibatkan pihak keamanan untuk meredahkan konflik; c. penggunaan simbol adat OAP sangat beragam manfaat serta tujuannya. Merujuk pada poin a, penggunaan simbol adat seperti tombak, busur panah dll, penggunaannya didasarkan pada kondisi di mana hak-hak mereka dirampas. Selain simbol tombak, busur panah, ada pula yang memiliki sisi kelembutan/cinta kasih seperti simbol noken yang digunakan untuk peristiwa menyambut tamu, dan simbol demokrasi;

      d. peran kepala suku dalam kehidupan OAP masih sangat memainkan peran penting. Bahkan kepala suku dipandang sebagai simbol kekuatan, keperkasaan dan simbol komando yang harus dipatuhi; e. kehadiran pemerintah di Tanah Papua masih dianggap oleh

      OAP sebagai institusi yang belum mampu menghadirkan pelayanan prima tehadap masyarakat. Oleh karenanya kehadiran pemerintah di daerah masih dianggap sebagai abdi pemerintah, bukan kepada masyarakat.

      Dari simpulan tersebut, penulis menarik benang merah, bahwa setiap simbol adat masyarakat lokal memiliki fungsi masing-masing. Dari masing-masing fungsi tersebut, masyarakat lokal sangat memahami dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan mereka .

      Masalah Penelitian

      Pemekaran wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota yang terjadi secara nasional, memiliki tujuan dan fungsi untuk menjawab sejumlah permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

      Sejalan dengan tujuan tersebut, maka untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi OAP di Kabupaten Kaimana, berbagai kebijakan dibuat oleh pemerintah. Namun dalam kenyataan muncul demonstrasi massa menggunakan simbol-simbol adat menentang kebijakan pemerintah. Konteks ini pada akhirnya melahirkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat adat.

      Dari gesekan konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat adat, jika kondisi ini dinarasikan dalam bentuk rumusan masalah maka uraian rumusan masalah tersebut seperti begini: “implementasi kebijakan yang tidak sesuai dengan prosedur kebijakan mengakibatkan konflik antara masyakat adat dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan”.

      Dari rumusan masalah tersebut penulis menggunakan dua pertanyaan penelitian antara lain:

      1. Bagaimana pemerintah mengimplementasi kebijakan pembangunan terhadap permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat di Kabupaten Kaimana ?

      2. Mengapa masyarakat melakukan perlawanan dengan menggunakan simbol adat terhadap kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kaimana?

      Tujuan Penelitian

      Dari kedua rumusan pertanyaan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:

      1. Hendak menjelaskan sikap Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana dalam mengimplementasi kebijakan;

      2. Hendak menjelaskan sikap dan bentuk perlawanan masyarakat lokal menggunakan simbol adat terhadap implementasi kebijakan. Manfaat Hasil Penelitian

      dengan judul “Resistensi Harapan penulis dari hasil studi tesis

      Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat Terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana”, pada aras teoretik maupun praktik, menjadi masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana, LDA (Lembaga Dewan Adat), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan Lembaga Keagamaan yang berada di Kabupaten Kaimana –Provinsi Papua Barat, dalam menjalankan tugas pelayanan kemasyarakatan.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: The High School Students’ Attitude towards Learning English

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Factors Leadingto Speaking Anxiety and Strategies to Overcome The Anxiety

0 0 47

Bab 1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan Ngo

0 0 8

Bab 2 Kajian Literatur - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan N

0 0 16

Bab 3 Metodologi Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecama

0 1 6

Bab 4 Analisis Data dan Pembahasan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit

0 0 38

Bab 5 Penutup - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan Ngombol Ka

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata Nusa Tenggara Timur: Potensi dan Dinamika

0 0 23