BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan (Knowledge) - Pengaruh Pengetahuan dan Kepercayaan Ibu terhadap Tindakan Mencegah Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Tualang Kecamatan Padang Hulu Kota Tebing Tinggi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan (Knowledge)

  Purwodarminto dalam Azwar (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu hal objek. Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan hal ini terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitip merupakan domain sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior).

  Bloom dalam Notoatmodjo (2003), menyebutkan pengetahuan atau

  

knowledge adalah individu hasil tahu apa yang dilakukan dan bagaimana

  melakukannya. Pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui indera yang dimilikinya dan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

  Roger dalam Notoatmodjo (2003), proses perubahan perilaku atau penerimaan ide baru adalah suatu proses kejiwaan yang dialami individu sejak pertama kali menerima informasi atau memperoleh pengetahuan mengenai suatu hal yang baru sampai saat ini memutuskan untuk menerima atau menolak ide baru tersebut. Proses tersebut berjalan melalui 4 tahap, yaitu: (1) Pengetahuan (Knowledge), dalam hal ini subjek mengenal suatu hal yang baru serta memahaminya, (2) Persuasi (Persuation), dalam hal ini individu membentuk sikap positip atau negatip terhadap ide atau objek baru tersebut, (3) Decision, masyarakat telah memutuskan untuk mencoba tingkah laku baru, untuk itu perlu adanya motivasi yang kuat dari petugas kesehatan dan juga penerangan yang jelas agar putusan mereka tidak merupakan paksaan, dan (4) Confirmation, apabila masyarakat atau individu telah mau melaksanakan tingkah laku yang baru sesuai dengan norma-norma kesehatan, kita tinggal menguatkan tingkah laku yang baru.

  Margono dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa pengetahuan adalah kemampuan untuk mengerti dan menggunakan informasi. Selanjutnya disebutkan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang diperlukan seseorang agar dapat melakukan sesuatu. Unsur-unsur tersebut adalah:

  1. Pengetahuan/pengertian dan pemahaman tentang apa yang dilakukan;

  2. Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat dan kebenaran dari apa yang dilakukannya;

  3. Sarana yang diperlukan untuk melakukannya; dan

  4. Dorongan atau motivasi untuk berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang dirasakan.

  Sebelum seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus tahu terlebih daáhulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya.

  Orang akan melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) apabila tahu apa tujuan dan manfaatnya bagi kesehatan atau keluarganya, dan apa bahaya-bahayanya bila tidak melakukan PSN tersebut. Indikator-indikator apa yang dapat digunakan untuk mengetahul tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi:

  1. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi:

  a. Penyebab penyakit

  b. Gejala atau tanda-tanda penyakit

  c. Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencaripengobatan

  d. Bagaimana cara penularannya e. Bagaimana cara pencegahannya termasuk imunisasi, dan sebagainya.

  2. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehari-hari meliputi: a. Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatannya

  b. Pentingnya olahraga bagi kesehatan

  c. Penyakit-penyakit atau bahaya-bahaya merokok, minuman keras, narkoba, dan sebagainya d. Pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagainya bagi kesehatan.

  3. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan

  a. Manfaat air bersih

  b. Cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran yang sehat, dan sampah c. Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat d. Akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi kesehatan, dan sebagainya.

2.2 Kepercayaan

2.2.1 Definisi Kepercayaan

  Menurut (KBBI) Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), definisi kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu adalah benar atau nyata. Fishbein dan Azjen dalam Dahniar (2009) kepercayaan atau keyakinan dengan kata ”belief’” memiliki pengertian sebagai inti dari setiap tingkah laku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap suatu objek.

  Rousseau, (1998) mendefinisikan kepercayaan (trust) adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perhatian atau perilaku yang baik dari orang lain. McKenzie (2006) mendefinisikan kepercayaan adalah variabel yang sangat memengaruhi status kesehatan karena kalau tingkat kepercayaan masyarakat terhadap petugas kesehatan rendah, maka usaha untuk meningkatkan derajat kesehatan semakin sulit dilakukan.

  Berdasarkan pendapat di atas dapatlah penulis simpulkan bahwa kepercayaan merupakan harapan atau keinginan yang dimiliki seseorang tanpa ada rasa kuatir dan curiga sedikitpun dalam mencegah DBD. Secara umum dalam suatu hubungan diperlukan adanya kepercayaan. Kepercayaan menjadi dasar sebagai jaminan awal dari suatu hubungan dua orang atau lebih dalam bekerjasama termasuk petugas kesehatan. Kepercayaan itu sendiri dapat tumbuh dengan sendirinya seiring waktu saat berjalannya hubungan tersebut.

  Masyarakat cenderung menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis- jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan tersebut dengan sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut (Notoatmodjo, 2003).

  Menurut penelitian Ramdhania (2008), dari 53 responden yang diteliti 91,4% percaya untuk pergi ke pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaaan masyarakat terhadap petugas kesehatan sudah mulai timbul, walaupun di beberapa daerah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap petugas kesehatan masih rendah karena petugas kesehatan dianggap sebagai orang baru yang tidak mengenal masyarakat di wilayahnya dan tidak mempunyai kharismatik.

2.2.2 Dimensi Kepercayaan

  Dimensi kepercayaan menurut Sarafino (2002) terdiri dari motivasi dan emosional.

  a. Motivasi dalam kepercayaan Temuan penelitian menunjukkan bahwa keinginan dan preferensi orang-orang berpengaruh terhadap utilitas dan keabsahan informasi baru yang mereka buat, melalui suatu proses yang disebut penalaran termotivasi (Kunda, 1990). Di dalam satu bentuk penalaran termotivasi, individu-individu lebih suka mencapai suatu kesimpulan tertentu, misalnya terus makan makanan yang mengandung lemak atau merokok kretek, cenderung memakai proses bias; mereka mencari tahu alasan-alasan menerima dukungan informasi dan mengurangi penyampaian informasi.

  Alasan-alasan yang mereka pilih kelihatannya dapat mereka terima, pun jika secara logika benar-benar salah. Orang-orang tampaknya cenderung menggunakan proses penalaran bias menjadi cukup stabil dan konsisten di berbagai situasi. (Sarafino, 2002).

  Penelitian memperlihatkan proses berpikir yang tidak rasional pada beberapa tipe keputusan yang berhubungan dengan kesehatan. Pertama, orang dengan sakit kronis, seperti diabetes, yang cenderung menggunakan pola berpikir tidak logis pada situasi yang berkaitan dengan kesehatannya cenderung tidak mengikuti saran medis dalam memanajemen kesehatannya (Christensen, 1999). Mungkin perasaan terancam yang tinggi memotivasi mereka menggunakan penyangkalan. Sama halnya, individu- individu yang kelihatan menggunakan informasi yang tidak relevan, seperti secara atraktif pasangan seksual menilai resiko berhubungan seks dengan orang tersebut (Blandon & Gerrard, 1997). Kedua, resiko orang yang merokok kretek lebih rendah daripada yang bukan perokok ketika diminta untuk menilai resiko mereka sendir i terhadap penyakit yang berhubungan dengan rokok, seperti kanker paru-paru. Kepercayaan seperti itu sangat resisten terhadap perubahan (Kreuter & Stretcher, 1995).

  b. Emosional dalam kepercayaan Stress juga berdampak pada proses kognitif orang yang menggunakannya dalam pengambilan keputusan. Teori konflik memberikan satu model untuk menilai pengambilan keputusan secara rasional dan tidak rasional, dan stress adalah faktor penting dalam model ini (Janis & Mann, 1977). Model ini menggambarkan urutan kognitif dimana orang-orang membuat keputusan penting, termasuk keputusan yang berhubungan dengan kesehatan. Menurut teori konflik, urutan kognitif yang digunakan orang untuk sampai pada suatu keputusan stabil dimulai saat suatu peristiwa petualangan mereka atau pada gaya hidup. Petualangan juga dapat menjadi satu ancaman, seperti gejala sakit atau satu berita sejarah tentang bahaya merokok, atau suatu peluang, seperti kesempatan mengikuti suatu program gratis pada acara untuk menghentikan rokok. Langkah pertama dalam urutan kognitif termasuklah menilai tantangan, yang pada dasarnya menjawab pertanyaan: “Adakah resiko serius jika saya tidak berubah?” Jika jawabannya ‘tidak’ perilaku tetap sama dan proses pengambilan keputusan berakhir; tetapi jika jawabannya adalah ‘ya’, proses berlanjut-misalnya, dengan sebuah alternatif survey untuk menyetujui tantangan.

  Menurut Goleman (2007) sistem pemahaman impulsif yang berpengaruh besar, adalah pikiran emosional. Lebih lanjut, dikemukakan ciri utama pikiran emosional, yakni respons yang cepat tetapi ceroboh. Pikiran emosional jauh lebih cepat dari pada pikiran rasional, langsung melompat tanpa mempertimbangkan sekejap pun apa yang dilakukannya. Kecepatan itu, mengesampingkan pikiran hati- hati dan analitis yang merupakan ciri khas akal yang berpikir atau tindakan pikiran rasional.

  Sistem Kesehatan Nasional (SKN), bentuk partisipasi masyarakat terdiri dari partisipasi perorangan dan keluarga, partisipasi masyarakat umum, partisipasi masyarakat penyelenggara, serta partisipasi masyarakat profesi kesehatan. Sejalan dengan itu masyarakat mempunyai kewajiban untuk melakukan upaya pemeliharaan kesehatannya sendiri, keluarga maupun lingkungan. Bahkan diharapkan ikut berperan secara aktif dalam pembangunan kesehatan (Depkes RI, 2007).

  Ada beberapa model perilaku kesehatan yang dapat menggambarkan bagaimana sebuah perilaku terbentuk, teori Health Belief Model (HBM) dan Becker & Rosenstock. Teori ini berpendapat bahwa persepsi kita terhadap sesuatu lebih menentukan keputusan yang kita ambil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya. Teori HBM oleh Rosenstock (1974) didasarkan pada empat elemen persepsi seseorang, yaitu: a. Perceived suscepilbility: penilalan individu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu penyakit.

  b. Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.

  c. Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan fnansial, fisik, dan psikososial.

  d. Perceived benefits: penilaian ndividu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan.

  Selanjutnya, teori ini kemudian dikembangkan dan ditambahkan dengan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, yaitu: a. Variabel demografi; seperti usia, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dan sebagainya.

  b. Variabel sosio-psikologis; seperti kepribadian, sosial-ekonomi, dan sebagainya.

  c. Variabel struktural; seperti pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya.

  d. Cues to action; pengaruh dari luar dalam mempromosikan perilaku kesehatan yang disarankan, seperti pemberian informasi melalui media massa, artikel surat kabar dan majalah, saran dan ahli, dan sebagainya (Smet, 1994).

2.3 Demam Berdarah Dengue

2.3.1. Definisi

  Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan 1). Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari; 2) Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji Torniquet (Rumple Leede) positif; 3) Trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/ µl); 4) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%); dan 5) Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes RI, 2010).

  Serangan penyakit DBD berimplikasi luas terhadap kerugian material dan moral berupa biaya rumah sakit dan pengobatan pasien, kehilangan produktivitas kerja bagi penderita, kehilangan wisatawan akibat pemberitaan buruk terhadap daerah kejadian dan yang paling fatal adalah kehilangan nyawa (Lloyd, 2003).

  Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang ditandai dengan : (1) demam mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, (2). Manifestasi pendarahan (petekie, purpura, pendarahan kunjungtiva, epistaksis, ekimosis, pendarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquest (Rumple Leede) Positif, (3) trombositopeni (jumlah trombositpeni (jumlah trombosit <100.000); (4). Hemokonsentrasi peningkatan hematrokrit, 20%); dan (5). Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes, RI, 2005).

2.3.2. Penyebab Penyakit Demam Berdarah Dengue

  Penyebab DBD adalah virus dengue yang sampai sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3, Dengue-4), termasuk dalam group B Arthropod Borne virus (arbovirus). Keempat serotype virus ini telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue-4. Dari empat tipe virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe Den 1 dan Den 3.

  Keempat tipe virus tersebut merupakan genus dari flaviverus famili flaviviridae. Setiap serotipe cukup berbeda sehingga tidak ada proteksi silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. Penyakit Demam Berdarah Dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ini disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus (Depkes, RI, 2010).

2.3.3. Gejala-Gejala yang Ditimbulkan oleh Demam Berdarah Dengue

  Tanda gejala penyakit Demam Berdarah Dengue adalah : 1) Demam : yaitu demam tinggi mendadak, selama terus-menerus selama 2-7 hari, panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas turun mendadak;

  2) Pendarahan: pendarahan terjadi di semua organ, bentuk pendarahan dapat berupa uji tourniquet (Rumple Leede ) positif atau dalam bentuk 1 atau lebih manifestasi perdarahan sebagai berikut: petekie, ekimosis, perdarahan konjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis, melena dan hematuri;

  3) Pembesaran Hati: pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus;

  4) Renjatan (syok): terjadi renjatan karena pendarahan, atau kebocoran plasma ke daerah ekstra vasikuler melalui kapiler yang terganggu; 5) Trombositopeni: jumlah trombosit <100.000/ biasanya ditemukan diantara hari ke

  3-7 sakit, pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun, 6) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit): peningkatan nilai hematokrit (Ht) menggambarkan hemokontrasi selalu dijumpai pada DBD;

  7) Gejala klinik lain: gejala klinik lain yang menyertai penderita DBD adalah nyer i otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang.

  Jadi seseorang dinyatakan tersangka DBD apabila demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang- kurangnya uji tourniquet positif) dan atau trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000). Diagnose klinis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO yaitu terdiri dari kriteria klinis dan laboratories dengan maksud untuk mengurangi diagnose yang berlebihan (over diagnosis). Kriteria Klinis meliputi: (1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus- menerus selama 2-7 hari; (2) terdapat manifestasi perdarahan, sekurang- kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede) positif, (3) Pembesaran hati; (4). Syok. Sedangkan kriteria laboratoris terdiri dari Trombositopenia (jumlah trombosit 100.000/mmk darah) dan hemokosentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokroit 20% (Depkes.

  RI, 2006).

2.3.4. Cara Penularan Demam Berdarah Dengue

  Nyamuk terinfeksi virus DBD dan efektif menularkan virus. Apabila nyamuk terinfeksi itu mencucuk inang (manusia) untuk mengisap cairan darah, maka virus yang berada di dalam air liurnya masuk ke dalam sistem aliran darah manusia. Setelah mengalami masa inkubasi sekitar empat sampai enam hari, penderita akan mulai mendapat demam yang tinggi (Depkes, RI, 2010).

  Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina menghisap darah.. Biasanya nyamuk Aedes aegypti betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktifitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00, dan nyamuk ini mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik , untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit (Depkes RI, 2010).

2.3.5. Tindakan Pencegahan DBD

  Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktik (practice) kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (overt behaviour). OIeh sebab itu indikator praktik kesehatan ini juga mencakup hal-hal tersebut di atas, yakni: (Notoatmodjo, 2007).

  a. Tindakan (praktik) sehubungan dengan penyakit Tindakan atau perilaku ini mencakup: pencegahan penyakit mengimunisasikan anaknya, menggunakan masker pada waktu kerja di tempat yang berdebu, dan sebagainya, dan penyembuhan penyakit, misalnya: minum obat sesuai petunjuk dokter, melakukan anjuran-anjuran dokter, berobat ke fasilita pelayanan kesehatan yang tepat, dan sebagainya.

Gambar 2.1. Cara Pemberantasan DBD

  (Sumber : Depkes RI, 2005)

  b. Tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan Tindakan atau perilaku ini mencakup antara lain: mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, melakukan olahraga secara teratur, tidak merokok, tidak minum minuman keras dan narkoba, dan sebagainya.

  c. Tindakan (praktik) kesehatan lingkungan Perilaku ini antara lain mencakup: membuang air besar jamban (WC), membuang sampah di tempat sampah, menggunakan air bersih untuk mandi, cuci, masak, dan sebagainya.

  Upaya pencegahan DBD dapat dilakukan yaitu:

  1. Pemberantasan Nyamuk Demam Berdarah Dengue Hingga saat ini pemberantasan nyamuk Aedes aeypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk pengendalian kasus Demam Berdarah Dengue, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Cara pemberantasan yang dilakukan adalah terhadap nyamuk dewasa atau jentiknya, seperti gambar di bawah ini (Depkes RI, 2005).

  Biologis Kimiawi

Fisik

Dengan Insektisida

  (Fogging Dan Ulv) Nyamuk Dewasa Jentik a. Pemberantasan Nyamuk Dewasa Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan (Pengasapan atau pengabutan = fogging) dengan insektisida.

  Mengingat kebiasaan nyamuk senang hinggap pada benda

  • –benda bergantungan, maka penyemprotan tidak dilakukan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria. Untuk membatasi penularan virus dengue penyemprotan dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk infektif) dan nyamuk- nyamuk lainya akan mati.Tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru yang di antaranya akan mengisap darah penderita veremia yang masih ada yang menimbulkan terjadinya penularan kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan kedua agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.

  b. Pemberantasan jentik aedes aegypty Sedangkan pemberantasan terhadap jentik aedes aegypty yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN DBD) dilakukan dengan cara :

  1) Fisik Pemberantasan sarang nyamuk yang efektif dan efisien melalui kegiatan 3M, yaitu menguras, menutup atau menabur abate di tempat penampungan air, dan mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang memungkinkan dijadikan tempat perindukan dan perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti.

  Cara inilah yang efektif yang bisa kita lakukan dengan kondisi kita saat ini. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia sebagai contoh: menguras dan menyikat bak mandi, bak WC, dan lain-lain; menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum dan lain-lain); serta mengubur menyingkirkan atau memusnahkan barang- barang bekas (seperti kaleng, ban bekas dan lain- lain). Kondisi itu dimungkinkan karena larva nyamuk tersebut dapat berkembang biak dengan volume air minimum kira-kira 0.5 sentimeter setara atau dengan dengan satu sendok teh (Judarwanto, 2007).

Gambar 2.2. Tempat Sarang Nyamuk

  (Sumber : Judarwanto, 2007)

  Pengurasan tempat-tempat penampungan air (TPA) perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu. Bila PSN DBD dilakukan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi Untuk itu upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.

  2) Kimia Cara pengendalian ini antara lain dengan:

  a. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.

  b. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

  Formulasinya adalah granules (san granules), dan dosis yang di gunakan 1 ppm atau 10 gram (±1 sendok makan rata- rata untuk tiap seratus liter air. Arvasida dengan temephos mempunyai efek residu 3 bulan. 3) Biologi

  Misalnya dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, akan black moli dan lain- lain). Berdasarkan beberapa teori di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku pemberantasan sarang nyamuk (kegiatan 3M) adalah suatu kegiatan menguras, menutup, dan mengubur barang-barang yang kemungkinan dijadikan sebagai sarang nyamuk aedes aegypti yang dapat menyebabkan penyakit DBD.

  Namun program pemberantasan penyakit DBD pada umunya masih belum berhasil karena masih bergantung pada kegiatan penyemprotan dengan insektisida yang hanya membunuh nyamuk dewasa serta tidak dibarengi dengan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk secara rutin dan berkelanjutan.

  2. Teknologi Pemutusan Siklus Demam Berdarah Dengue Rui, dkk. (2003) dalam Kardinan (2007) mengembangkan teknologi yang dapat menghindari nyamuk dengan lotion atau krem anti nyamuk. Lotion anti nyamuk yang telah beredar di Indonesia berbahan aktif DEET (Diethyl toluamide) dengan bahan kimia sintetis beracun dalam konsentrasi 10-15% (Gunandini, 2006). Selain itu ada juga dikhlorvos dalam semprotan (spray) bentuk aerosol yang telah dilarang peredarannya oleh Pemerintah Indonesia karena membahayakan kesehatan manusia.

  Sementara propoxur masih diperbolehkan, walaupun telah menimbulkan ribuan korban jiwa di Bophal-India.

  Jirakanjanakit (2007) melaporkan bahwa hampir semua populasi Ae. aegypti

  menunjukkan ketahanan terhadap insektisida pyrethroid, permethrin, dan deltamethrin

  yang umum digunakan di Thailand. Kalaupun pengasapan masih digunakan hasilnya hanya dapat menghalau atau membunuh imago tetapi tidak termasuk larvanya.

  Pengasapan dengan Malathion 4 persen dengan pelarut solar, yang dinilai masih efektif hanya mampu membunuh imago pada radius 100-200 meter yang hanya efektifitas satu sampai dua hari (Judarwanto, 2007). Dalam kondisi seperti itu, penggunaan insekstisda selain kurang efektif dan mahal juga berbahaya terhadap kesehatan dan lingkungan.

  Untuk mengantisipasi peristiwa tersebut banyak juga peneliti pestisida melakukan eksplorasi bahan aktif insektisida dari tanaman dan mikroba. Kardinan (2007) mencoba ekstrak beberapa jenis tanaman selasih sebagai pengusir nyamuk. Peneliti tersebut berupaya memilih selasih yang mengandung bahan aktif eugenol,

tymol, cyneol atau estragole sebagai bahan-bahan aktif repellent (pengusir) serangga.

  Selasih berpotensi sebagai repelen Ae. aegypti walaupun daya proteksinya masih di bawah DEET. Daya proteksinya yang tertinggi adalah sebesar 79,7% yang dicapai selama satu jam (Kardinan, 2007).

  3. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) Prinsip dasar PVT tersebut adalah surveilen epidemiologi dan entomologis, manajemen lingkungan sehat, kajian bioekologi serangga vektor, sosialisasi dan program aksi kesehatan lintas instansi, partisipasi aktif masyarakat. Prinsip dasar itu dikembangkan dari tetra hedron hubungan vektor dengan inang, lingkungan dan manusia sebagai faktor utama yang patut menyadari posisinya dalam pengelolaan terpadu vector penyakit tersebut dan disajikan pada Gambar 2.4 sebagai berikut :

  Manusia Vektor Inang Lingkungan

Gambar 2.3. Hubungan antara Serangga Vektor dengan Lingkungan, Inang dan Manusia

  Sumber: Kardinan, 2007 ) (

  4. Strategi dan Teknologi Utama Gerakan PSN atau 3 M tersebut mesti lebih diintensifkan melalui penguatan legislasi (di tingkat provinsi, kabupaten dan desa), sosialisasi, koordinasi dan juga amunisi (pendanaan) secara berkelanjutan. Bila kegiatan itu dapat dilakukan secara intensif dan berkelanjutan, maka masalah vektor dan kasus DBD yang selalu mencuat pada awal musim hujan dapat dikurangi. Dengan demikian rasa aman masyarakat semakin terjamin. Walaupun demikian sosialisasi untuk mengubah pola pikir masyarakat ke arah itu tidak mudah, untuk itu diperlukan sosialisasi dan pengembangan teknologi-teknologi alternatif terkait musuh alami, insetisida botani dan mikroba, zat pengatur tumbuh dan juga regulasi melalui system karantina juga penting dirintis yang penggunaanya disesuaikan situasi dan kondisi penyakit, dan dinamika populasi dan struktur komunitas serangga vektor di lapangan.

  Untuk penanganan kasus vektor dan DBD tidak bisa lepas dari kegiatan surveilens untuk mendapatkan informasi segar dalam penyusunan program strategis selanjutnya baik berkaitan dengan penelitian, pengembangan teknologi, advokasi, edukasi masyarakat maupun pengadaan bahan teknologi sebagai antisipasi bila terjadi keadaan luar biasa (KLB).

  Berdasarkan hasil surveilen tersebut, indikator angka bebas jentik (ABJ) dapat diketahui peta penyebaran, status Aedes hubungannya dengan kasus DBD. Apakah daerah tersebut endemis atau bukan. Berdasarkan indikator tersebut juga, strategi dan teknologi pengendaliannya dapat dirancang dan dijadwalkan operasionalnya. Bila keadaan serangan DBD luar biasa dan vektor tinggi maka strategi dan teknologinya mesti yang bekerja cepat seperti insektisida.

  Setiap keluarga diharapkan seyogyanya mampu melakukan pengendalian dan pencegahan penularan penyakit Demam Berdarah. Pengendalian DBD dalam hal ini adalah dengan melakukan upaya-upaya yang mampu menekan atau bahkan mengurangi jumlah kasus DBD di suatu daerah. Jadi, jangan menunggu datangnya penyemprot oleh petugas fogging dari Dinas Kesehatan. Dianjurkan setiap keluarga mengambil langkah-langkah pengamanan internal, antara lain yaitu : a. Gunakan obat racun serangga, boleh obat nyamuk bakar, oles, atau semprot, atur tidur pakai kelambu. Apalagi sudah tersedia kelambu yang sudah dibaluri obat racun serangga dan yang yang mulai dipopulerkan program PSN plus yaitu Pemberantasan Sarang Nyamuk disertai kegiatan lain seperti menggunakan obat nyamuk bakar, semprot, atau kelambu. Atau yang lebih sederhana menggunakan kipas angin agar aliran udara di dalam kamar tidur tetap ada. Bila aliran udara atau angin selalu mengalir, nyamuk Aedes aegyti si penular virus biasanya tidak tahan dan terbang keluar rumah berlindung di dedaunan pekarangan.

  b. Pakaian-pakaian yang bergantungan di balik lemari atau dibalik pintu sebaiknya dilipat dan disimpan dalam lemari. Nyamuk Aedes aegypti senang hinggap dan istirahat di tempat-tempat gelap dan kain tergantung seperti horden apalagi bila berwarna gelap .

  c. Sebaliknya di dalam rumah tidak ada tempat penampungan air bersih, karena nyamuk Aedes aegypti menyukai genangan air bersih untuk meletakkan telurnya.

  Bak penampungan air di kamar mandi dianjurkan tidak terlalu besar, cukup ukuran 50 x 60 x 90 c agar air dalam bak selalu terganti dan diganti 2 atau 3 kali sehari, sehingga nyamuk Aedes aegypti tidak berkesempatan meletakkan telurnya pada dinding bak penampungan air.

  d. Kalau ada taburkan bubuk Abate ke dalam bak penampungan air untuk mematikan jentik nyamuk. Bubuk Abate tidak merusak dinding bak penampungan air meskipun terbuat dari bahan logam. Apalagi terbuat dari semen atau plastik. Abate aman, meskipun pada bak penampungan air minum aman untuk diminum.

  e. Barang-barang bekas sekitar rumah seperti : kaleng bekas oli, kantong plastik, ban bekas dan aki bekas yang bisa menampung air hujan harus disingkirkan agar tidak menjadi tempat nyamuk bertelur (Depkes RI, 2007).

  5. Meningkatkan Stamina (daya tahan tubuh) Tubuh memiliki daya tahan cukup kuat terhadap infeksi, oleh karena itu ketahanan tubuh harus senantiasa dijaga, terutama pada masa penghujan atau pancaroba. 1). Tidur yang cukup

  Dalam Waluyo (2007), menyatakan bahwa tidur yang cukup diperlukan oleh tubuh kita untuk memulihkan tenaga. Dengan tidur yang cukup kemampuan dan keterampilan kita akan meningkat.

  2). Mengkonsumsi makanan yang bergizi (4 sehat 5 sempurna) Almatsier (2006) mengungkapkan bahwa pedoman umum gizi seimbang menjabarkan pedoman 4 sehat 5 sempurna merupakan makanan yang dianjurkan dan menjamin keseimbangan zat-zat gizi yang didasari pada 3 fungsi utama zat- zat gizi : a). Sumber energi/tenaga (beras, jagung, gandum, ubi dan lain-lain

  b). Sumber zat pembangun (ikan, telur, ayam, daging, susu dan lain-lain) c). Sumber zat pengatur (sayuran dan buah-buahan) (Almatsier, 2006).

  3). Menggunakan alat pelindung diri Pendapat Satari (2008) bahwa menggunakaan alat pelindung diri adalah:

  a. Jika hendak bepergian sebaiknya memakai pakaian yang tidak mudah digigit myamuk (lengan panjang).

  b. Jjika tidur di siang hari hendaknya menggunakan kelambu (obat nyamuk).

  c. Menjaga kulit agar terhindar dari gigitan nyamuk (menggunakan lotion anti nyamuk dan lain-lain).

  4). Waspada pada gejala awal penyakit DBD Dalam Depkes, RI (2010) disebutkan pada awal perjalanan penyakit gejala dan tanda tidak spesifik, oleh karena itu keluarga diharapkan waspada jika terdapat gejala dan tanda yang mungkin merupakan awal perjalanan penyakit tersebut. Apabila keluarga menemukan gejala dan tanda DBD, maka pertolongan pertama bagi keluarga yaitu tirah baring selama demam, pemberian antipiretik (parasetamol), memberi kompres hangat, minum banyak (semua jenis minuman) dengan air yang sudah di masak. Hindari minuman yang berwarna coklat dan merah agar tidak terjadi kesalahan intepretasi bila terjadi muntah. Pemeriksaan suhu tubuh harus dilakukan selalu dan bila kejang; jaga lidah agar tidak tergigit, kosongkan mulut, longgarkan pakaian dan tidak memberikan apapun lewat mulut selama kejang.

  Selanjutnya didalam Depkes RI. (2009) dinyatakakan jika dalam 2 hari suhu tubuh tidak turun atau timbul gejala dan tanda lanjut seperti bekas gigitan nyamuk, muntah, gelisah, agar segera dibawa berobat ke Puskesmas atau ke unit pelayanan kesehatan lainnya, untuk segera mendapatkan pengobatan dan perawatan khusus.

  6. Menjaga Kebersihan Lingkungan Menurut pendapat Fahmi, (2008) bahwa faktor kebersihan lingkungan tidak mudah dikontrol karena melibatkan lingkungan dan perilaku manusia sekitarnya.

  Dalam kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik, psikis maupun rohani. Dalam hubungan interaksi tersebut, faktor komponen lingkungan sering kali mengandung atau memiliki potensi timbulnya penyakit.

  Selanjutnya Mulia (2005), menyatakan dalam Undang Undang R.I. Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan” Lingkungan hidup adalah adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

  Rumah sehat secara sederhana adalah memiliki ruangan terpisah untuk keperluan sehari-hari dengan ukuran yang memadai (kamar tidur, ruang makan/keluarga, dapur, kamar mandi, jamban/wc dan tempat cuci pkaian). Adapun syarat bagi rumah sehat agar terbebas dari bibit penyakit (terbebas dari DBD) adalah sebagai berikut : 1). Bahan –bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang berbahaya bagi kesehatan. 2). Ventilasi hendaknya tersedia pada tiap rungan guna bagi tempat keluar masuknya udara, agar rumah tidak lembab usahakan sinar matahari dapat masuk kedalam rumah dan menyinari lantai rumah. 3). Langit-langit dan halaman rumah selalu dibersihkan, pekarangan ditanami yang bermanfaat, seperti tanaman yang tidak disukai oleh nyamk Aedes aegypti

  (lavender, akar wangi, geranium, zodia dan selasih). 4). Ruangan yang tidak padat huni (mencukupi). Setiap ruangan memiliki jendela agar cahaya dan udara dapat masuk, jendela sebaiknya setiap hari dibuka agar ruangan tidak terasa pengap dan sebaiknya setiap jendela terpasang kasa nyamuk agar nyamuk penular DBD tidak muda masuk kedalam rumah.

  5). Ada tempat penampungan air bekas (buangan), ada tempat sampah (diangkat petugas), ada jamban, septiktank dengan jarak 10 m dari SAB dan ada saluran penampungan air hujan (talang). 6). Dinding rumah sebaiknya berwarna terang, lantai hendaknya selalu kering (agar tidak lembab), dan peralatan rumah tertata rapi.

  7). Agar tidak menjadi tempat peristirahatan nyamuk penular DBD, sebaiknya rumah diberi pencahayaan yang cukup dan memadai (tidak menyebabkan silau).

  Seyogyanya jalan masuknya cahaya melalui ventilasi (jendela) yang luasnya kira-kira 15%--20% dari luas lantai yang terdapat pada suatu ruangan.

  8). Dimanapun tidak terdapat jentik

  • – jentik penular DBD, yang dikenal saat ini dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk adalah dengan cara pemberantasan sarang nyamuk PSN DBD), yang dikenal 3M plus (3M yang diperluas) adalah:

  a. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi, drum dan lain-lain seminggu sekali (M1).

  b. Menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air atau tempayan dan lain-lain (M2).

  c. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan (M3) (Depkes RI, 2010).

  Dalam Depkes RI, (2010) dijelaskan Selain 3M ditambah dengan cara lainnya (3M plus), seperti;

  1. Mengganti air vas bunga tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya sejenis.

  2. Seminggu sekali memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak.

  3. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah, dan lain-lain), menaburkan bubuk larvasida (abate), misalnya pada tempat- tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air, memelihara ikan pemakan jentik di kolam bak-bak penampungan air.

  4. Memasang kawat kasa.

  5. Menghindari kebiasaan menggantungkan pakaian di dalam kamar.

  6. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai.

  7. Menggunakan kelambu.

  8. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.

  Menurut pendapat Satari (2008) mengingat hampir disetiap rumah memiliki tempat-tempat penampungan air dan jarak terbang nyamuk yang mencapai 100 meter, menjaga lingkungan sekitar merupakan prioritas utama dalam mencegah terjadinya penyakit DBD. Oleh karena itu gerakan memberantas nyamuk hendaknya dilakukan pada setiap rumah. Agar pemberantasan sarang nyamuk dapat berjalan dengan berkesinambungan, Sebaiknya meminta aparat setempat untuk memberikan himbauan atau gerakan langsung mengajak masyarakat untuk melakukan aksi gotong-royong.

  Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit menular yang sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB)/wabah, dan penularannya dapat terjadi disemua tempat, oleh karena itu setiap ada yang terserang sebaiknya agar melaporkan kepada aparat setempat, agar aparat dapat melakukan pengasapan (fogging) dan memberikan himbauan kepada masyarakat untuk bergotong-royong dalam memberantas nyamuk dan jentik Aedes aegypti (Depkes R.I, 2010).

2.4. Perilaku Kesehatan

2.4.1. Definisi Perilaku Kesehatan

  Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Terdapat berbagai macam kebutuhan di antaranya kebutuhan dasar dan kebutuhan tambahan (Notoatmodjo, 2007).

  Berdasarkan batasan perilaku dari Skinner (dalam Maulana, 2007), maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang memiliki unsur-unsur perilaku dengan sakit dan penyakit, perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behaviour), perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour), perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour), perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, perilaku terhadap makanan, dan minuman, serta perilaku terhadap lingkungan. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut.

  1. Perilaku terhadap sakit dan penyakit Perilaku terhadap sakit dan penyakit merupakan respons internal dan eksternal seseorang dalam menanggapi rasa sakit dan penyakit, baik dalam bentuk respon tertutup (sikap, pengetahuan) maupun dalam bentuk respons terbuka (tindakan nyata).

  2. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behaviour) Perilaku seseorang untuk memelihara dan memingkatkan daya tahan tubuh terhadap masalah kesehatan.

  3. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour) Segala tindakan yang dilakukan seseorang agar dirinya terhindar dari penyakit, misalnya imunisasi pada balita, melakukan 3M dll.

  4. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour) Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan/atau kecelakaan, mulai dari mengobati sendiri (self-treatment) sampai mencari bantuan ahli.

  5. Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behaviour) Pada proses ini, diusahakan agar sakit atau cacat yang diderita tidak menjadi hambatan sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal secara fisik, mental dan sosial.

  6. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan Perilaku ini merupakan respons individu terhadap sistem pelayanan kesehatan modern dan atau tradisional.

  7. Perilaku terhadap makanan Perilaku ini meliputi pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (gizi, vitamin) dan pengolahan makanan.

  8. Perilaku terhadap kesehatan lingkungan Perilaku ini merupakan upaya seseorang merespons lingkungan sebagai determinan agar tidak memengaruhi kesehatannya.

2.4.2. Aspek-aspek Perilaku

  Bloom dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa aspek perilaku yang dikembangkan dalam proses pendidikan meliputi tiga ranah yaitu : ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap), dan ranah psikomotor (keterampilan). Dalam perkembangannya, teori Bloom dimodifikasi untuk mengukur hasil pendidikan kesehatan, yakni: pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan praktik atau tindakan (practise).

  Perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Pada hakekatnya perilaku manusia adalah tingkatan atau aktifitas manusia yang memiliki bentangan yang sangat luas, antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.

  Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakari resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Pada garis besarnya perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek, yakni: aspek fisik, psikis, dan sosial. Akan tetapi dari ketiga aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam memengaruhi perilaku manusia.

  Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa tindakan seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: a. Faktor Predisposisi

  Faktor-faktor ini mencakup mengenai pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat sosial/ekonomi.

  b. Faktor Pemungkin (enabling factors) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. c. Faktor Penguat Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas ternasuk petugas kesehatan, ternasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dan pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.

2.5. Landasan Teori

  Model perilaku yang dikaji dalam landasan teori antara lain pendapat Margono dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan kemampuan untuk mengerti dan menggunakan informasi. Selanjutnya disebutkan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang diperlukan seseorang agar dapat melakukan sesuatu. McKenzie (2006) mendefinisikan kepercayaan adalah variabel yang sangat memengaruhi status kesehatan karena kalau tingkat kepercayaan masyarakat terhadap petugas kesehatan rendah, maka usaha untuk meningkatkan derajat kesehatan semakin sulit dilakukan.

  Pendekatan teori yang digunakan untuk mengamati fenomena tindakan ibu dalam mencegah penyakit DBD berdasarkan teori Determinan Perilaku Manusia (WHO dalam Notoatmodjo, 2003).

  Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut juga determinan perilaku, yang dapat dibedakan menjadi dua yakni: a) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik individu yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan lain-lain.

  b) Determinan atau faktor eksternal yakni lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi Tahun 2014

5 111 86

Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan

8 150 128

Pengaruh Pengetahuan dan Kepercayaan Ibu terhadap Tindakan Mencegah Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Tualang Kecamatan Padang Hulu Kota Tebing Tinggi

3 45 131

Tingkat Pengetahuan Masyarakat tentang Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil

0 49 53

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Berdarah Dengue 2.1.1. Pengertian - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi Tahun 2014

0 1 23

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi Tahun 2014

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi Penyakit DBD - Determinan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Tembung

0 0 39

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi - Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan

0 7 44

Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan

0 1 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan (Knowledge) - Pengaruh Karekteristik Pengetahuan dan Sikap Ibu Menyusui terhadap Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Munte Kabupaten Karo Tahun 2013

0 0 29