Pentingnya Imajinasi dalam Dunia Pendidi

PENTINGNYA IMAJINASI DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Siapakah yang tidak pernah berimajinasi dalam hidupnya? Imajinasi adalah daya pikir untuk
membayangkan1sesuatu dalam proses penalaran manusia. Kendati agak sulit didefinisikan dan
digambarkan, imajinasi adalah sesuatu yang nyata dan selalu dilakukan oleh manusia. Imajinasi
bukanlah suatu cara berpikir tunggal yang dimiliki oleh manusia. Justru di dalam imajinasi itulah
manusia memiliki kekayaan dalam cara berpikirnya. 2 Kekayaan dalam imajinasi ini memiliki peran
yang berharga dalam proses pendidikan bagi manusia. Pendidikan sendiri berasal dari kata didik
yang didefinisikan oleh Kamus Bahasa Indonesia sebagai proses untuk memelihara dan memberi
latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. 3 Sementara itu, kecerdasan
berpikir bukanlah suatu bentuk pemikiran yang baku dan kaku. Di dalam kecerdasan berpikir itu
dibutuhkan kemampuan-kemampuan yang melampaui batas pemikiran normal. Kemampuan itu bisa
terjadi dengan memberikan tempat pada imajinasi. Daya imajinasi membantu seseorang untuk
berpikir melebihi batas-batas pemikiran yang ada. 4 Kendati demikian, imajinasi selalu memiliki
hubungan dengan dunia nyata dan kejadian-kejadian fisik yang dialami oleh manusia dengan
kompleksitas realitanya.

Antara imajinasi dan dunia nyata
Bagi masyarakat Yunani kuno, imajinasi memiliki peran sentral dalam rangkaian mitologi
yang mereka miliki. Mitologi yang mereka ciptakan adalah jawaban dari berbagai persoalan
yang mereka alami setiap hari. Melalui hal yang sama, mereka berusaha menjawab tentang
asal-usul dunia dan fenomena-fenomena alam yang terjadi di sekitar mereka. Mitologi adalah

penjelasan rasional yang menghubungkan antara berbagai macam pertanyaan yang muncul
dengan realita yang ada. Dalam arti tertentu, imajinasi yang telah terwujud dalam mitos
adalah “perahu” yang menghubungkan antara pertanyaan-pertanyaan manusia dengan realita
yang ada.5 Kendati belum tentu benar, imajinasi yang berupa mitos menjadi jawaban yang
melegakan bagi manusia. Uniknya, mitologi ini selalu berkembang dari waktu ke waktu. Hal
tersebut dapat diamati dari perkembangan karya-karya seni dan sastra yang mereka miliki.
1 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta,
2008, hal.546.
2 Sean Blenkisop, The Imagination in Education, (Newcastle: Combridge Scholar Publishing, 2009), hal. ix
3 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta,
2008, hal.352
4 Peter van Alpen, “Imagination as a Transformative tool in Primary School Education”, diunduh dari

http://rosejourn.com/index.php/rose/article/viewFile/71/99, diakses pada tanggal 1 Oktober, 2013.
5 Lihat pemikiran yang kurang lebih sama, mitos dalam dunia modern, Roy Jone dkk, Education and
Imagination: Post-Jungian Perspectives, (New York: Routledge, 2008), hal. 67.

Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bahwa mitologi Yunani sendiri juga
mengalami perkembangan dan perubahan. Tentunya, hal tersebut dipengaruhi langsung oleh
perkembangan imajinasi masyarakat Yunani yang juga terus berubah dan berkembang.

Dalam konteks dunia pendidikan, imajinasi memiliki peran yang penting sebagai salah satu
komponen dalam pengembangan suatu proses pendidikan. Dalam tahap tertentu, imajinasi
melatarbelakangi lahirnya
Imajinasi

metode pendidikan dalam hal pengajaran dan pembelajaran.

bahkan mempunyai andil dalam lahirnya metode-metode pendidikan yang

melampaui batasan-batasan yang sudah ada.6 Dengan pengembangan imajinasi di dalam
dunia pendidikan terjadilah sebuah proses pendidikan yang berkelanjutan dan selalu baru.
Kurikulum pendidikan adalah salah satu wujud dari lahirnya imajinasi dalam dunia
pendidikan. Ketika suatu bentuk kurikulum harus diperbaharui dan diganti, hal tersebut
secara tidak langsung menjadi penanda bahwa imajinasi dalam dunia pendidikan telah
muncul kembali.
Imajinasi sebagai “jembatan”
Apa yang penting dalam suatu proses imajinasi bukanlah isi dari imajinasinya itu
sendiri tetapi lebih pada bagaimana mewujudnyatakan imajinasi yang ada tersebut.
Berimajinasi memiliki arti sebagai suatu usaha untuk berinovasi, menemukan, mencari,
bahkan mengambil resiko.7 Melalui imajinasi itulah kita membangun “jembatan” antara yang

imajinatif dengan yang realistis. Tanpa adanya usaha menghubungkan antara yang imajinatif
dengan yang ril, proses imajinasi hanya akan menjadi sebuah proses yang fiktif.
Proses untuk menghubungkan antara yang imajinatif denga yang nyata ini bisa
melahirkan kreativitas. Kreativitas adalah sebuah proses daya cipta untuk menghasilkan
sesuatu yang baru entah itu melalui pewujudan imajinasi tertentu atau pun berdasar realitas
konkrit yang ada, seseorang ingin melahirkan sesuatu yang baru. Dengan kata lain, imajinasi
bisa menjadi “roh” yang melatarbelakangi lahirnya inovasi, penemuan dan sesuatu yang baru
berdasarkan apa yang diimajinasikan dan dialami secara konkrit.
Salah satu contoh pengalaman konkrit lahirnya inovasi yang didasarkan pada proses
imajinasi dan kreativitas terjadi dalam sejarah Serikat Jesus. 8 Pada awalnya, walaupun semua
6 Lihat Peter van Alpen, “Imagination as a Transformative tool in Primary School Education”, diunduh dari
http://rosejourn.com/index.php/rose/article/viewFile/71/99, diakses pada tanggal 1 Oktober, 2013.
7 Sean Blenkisop, The Imagination in Education, hal. 4-5
8 Serikat Jesus adalah salah satu ordo atau kelompok religius di dalam Gereja Katolik yang salah satu bentuk
pelayanannya diiberikan dalam bidang pendidikan, entah itu kepada umat katolik sendiri atau pun keapda

sahabat-sahabat awal Ignatius adalah para sarjana dari Universitas Paris, sasaran

awal


didirikannya Serikat Jesus tidak meliputi rencana pendirian lembaga-lembaga pendidikan.
Menurut Formula Instituti yang diajukan pada 3 September 1539 kepada Paus Paulus III
untuk disahkan, Serikat Jesus didirikan “guna berusaha secara khusus bagi pembelaan iman,
penyebaran iman, dan kemajuan jiwa-jiwa dalam kehidupan dan ajaran Kristen, dengan
kotbah, kuliah, dan pelayanan Sabda Allah dalam bentuk apa pun, Latihan Rohani,
pendidikan anak-anak dan orang tua buta huruf dalam agama Kristen, serta penghiburan bagi
umat beriman dengan pelayanan Sakramen Tobat dan sakramen-sakramen lainnya.” Ignatius
menghendaki para Jesuit dapat dengan bebas berpindah-pindah tempat ke mana saja dialami
kebutuhan yang paling mendesak. Ia justru meyakini bahwa lembaga-lembaga tetap akan
mengikat dan menghalang-halangi mobilitas. Untuk itu, para Jesuit pun akan menerima
sarana apa pun yang paling baik guna melaksanakan kasih dan pengabdian Allah melalui
pelayanan sesama.
Seiring berjalannya waktu, bentuk pelayanan yang diberikan oleh Serikat Jesus
tidaklah memadai. Ignatius dan teman-temannya merasakan perlunya melangkah lebih jauh
dalam pelayanan mereka dengan mendirikan bentu-bentuk lembaga pendidikan. Dari praktekpraktek pengajaran yang diberikan oleh para anggota serikat waktu itu memperlihatkan hasil
yang baik dan menggembirakan. Apalagi, para Jesuit menyadari bahwa mereka harus
memberikan pendidikan yang benar bagi kaum muda gereja katolik yang pada saat
bersamaan menghadapi gerakan reformasi dan pandangan-pandangan reformis yang berbeda,
bahkan berlawanan.
Keyakinan terhadap pentingya pendirian lembaga pendidikan semakin kuat ketika

pada tahun 1542, Fransiskus Xaverius menulis surat dari Goa, India, yang berisikan tentang
pengajaran dan pewartaan yang dilakukannya di India. Pentignya pengajaran dan pewartaan
inilah yang kemudian ditangkap oleh Serikat Jesus sebagai bentuk inovasi yang perlu segera

masyarakat luas.

diwujudkan. Sementara itu pada tahun yang sama, di Italia, didirikanlah Kolese 9 Padua.10 Dua
tahun kemudian, didirikan pula sebuah Kolese Messina, suatu sekolah Jesuit pertama sebagai
lembaga yang dimaksudkan bagi kaum remaja awam. Pada 1550, didirikan pula sebuah
Kolese di Venetia. Singkatnya, ketika melihat kenyataan bahwa pendidikan bukan hanya
penting sebagai sarana bagi perkembangan manusiawi dan iman yang diserang oleh gerakan
Reformasi Protestan, jumlah Kolese-Kolese Jesuit pun mulai bertambah dengan pesat.11
Tentunya kita lalu bertanya, apakah ada kaitan langsung antara inovasi yang
dilakukan oleh Ignatius dan kawan-kawannya dalam mengembangkan lembaga pendidikan
dengan proses imajinatif dan kreativitas yang muncul atas dasar keprihatinan terhadap
keadaan jaman saat itu? Jawaban atas pertanyaan ini bisa kita temukan dengan medalami
dinamika Latihan Rohani (LR) St. Ignatius dan cara bertindak para Jesuit. LR memberikan
ruang yang sangat luas bagi para Jesuit dan siapa saja yang tertarik untuk melakukan latihan
rohani. Di dalam LR, setiap orang diajak untuk mampu berkontemplasi atau membayangkan
tetang tema-tema atau pokok-pokok doa tertentu sebagai bagian dari LR. Selain itu, mereka

juga selalu diajak untuk melakukan langkah-langkah persiapan LR, salah satunya adalah
melakukan compotio locci.12 Ringkasnya, siapa saja yang menjalankan LR, nantinya akan
diajak untuk bisa ber-contemplativus in actione (berkontemplasi di dalam aksi) Dalam arti
lain, tindakan tersebut adalah tindakan yang tidak pernah bisa dipisahkan dari proses
imajinasi.
Pilihan para Jesuit untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan adalah pilihan
yang didasarkan atas kontemplasi-kontemplasi di dalam LR (sebagai bagian dari dinamika

9 Sejak 1540 dan seterusnya, kata “Kolese” dalam dokumen-dokumen Serikat Jesus dibedakan empat macam.
Pertama, Kolese adalah rumah atau tempat tinggal mahasiswa Jesuit (scholastici), sedangkan mereka mengikuti
kuliah di Universitas atau pusat-pusat kota lainnya, misalnya di Paris pada 1540 atau di Padua pada 1542.
Kedua, kata yang sama menunjuk hanya dalam konteks ketika kuliah-kuliah mahasiswa Jesuit hanya diberikan
kepada mahasiswa Jesuit dan yang ketiga ketika mahasiswa luar pun diterima di antara Jesuit-Jesuit ini.
Keempat, kata yang sama menunjuk pada jumlah mahasiswa awam yang melebihi jumlah skolastik Jesuit,
namun beberapa di antaranya biasanya terdapat di antara mahasiswa luar ini, misalnya di Messina pada 1548.
Oleh karena itu, terdapat peralihan bertahap dari Kolese yang melulu diperuntukkan bagi para Jesuit ke Kolese
yang dimaksudkan bagi mahasiswa luar. Hal yang sama terjadi di Kolese Goa, Gandia, dan Messina. Dalam
Monumenta Paedagogica Societas Iesu, I (1540-1556), ed. L. Lukacs (Rome, 1965):6-8; George E. Ganss,
Saint Ignatius’ Idea of a Jesuit University (Milwaukee, 1956), hlm. 22-23, seperti yang dikutip dalam Dalmases,
Ignatius Loyola Pendiri Serikat Jesus, hlm. 206-207.

10 Dalmases, Ignatius Loyola Pendiri Serikat Jesus, hlm. 212.
11 Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Ciri-ciri Khas Pendidikan pada Lembaga Pendidikan Yesuit (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1987), hlm. 68-69.
12 Compositio locci berarti membayangkan tempat dan tokoh-tokoh dengan apa dan siapa kita akan melakukan
latihan rohani. Lihat Latihan Rohani dalam versi bahasa Indonesia yang diterjemahkan dan diberi pengantar
oleh J Darminta, SJ; Ignatius Loyola, Latihan Rohani, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), hal. 127.

hidup para Jesuit) dan ditatapkan dengan kenyataan konkrit yang mereka alami pada saat itu
—krisis iman dan reformasi protestantisme. Dalam arti tertentu, pilihan yang mereka buat
adalah “jembatan” yang menghubungkan antara dunia imajinasi (melalui kontemplasikontemplasi) dan dunia nyata (tempat di mana para Jesuit hidup dan melakukan pelayanan).

Tantangan Model Pendidikan Imajinatif
Pentingnya imajinasi sebagai bagian dari proses pendidikan tidak perlu diragukan lagi. Saat
ini, di dunia pendidikan, telah muncul banyak kelompok-kelompok pemerhati pendidikan yang
mendiskusikan dan saling memberi masukan tentang pentingya peranan imajinasi. Sebagai contoh,
sejak tahun 2003, lahirlah sebuah kelompok para pemerhati pendidikan yang tergabung dalam sebuah
konferensi internasional yang terkait dengan pendidikan dan imajinasi. Konferensi ini lahir dari

sebuah keprihatinan untuk mengusahakan proses belajar dan mengajar yang efektif disaat
menghadapi berbagai sikap dan perilaku, padatnya aneka kurikulum dan kompleksnya

tingkatan status di dalam masyarakat saat ini. Proses pemikiran yang imajinatif dan kreatif
menjadi jalan pembuka bagi proses belajar dan pengajaran tersebut. Konferensi yang sama
menyarankan agar “We need to think about thinking and learning in much more imaginative
ways” (Kita perlu berpikir tentang bagaimana belajar dan berpikir dengan cara-cara yang
imajinatif). Di tahun 2008, konferensi ini dihadiri oleh 140 delegasi yang berasal dari 20
negara. Dalan arti tertentu, konferensi ini menjadi penanda bahwa bentuk pendidikan imajinatif
telah menjadi perhatian yang berkapasitas internasional. Pentingya kebutuhan untuk memberikan
pendidikan yang berkualitas bagi para peserta didik adalah alasan utama dari munculnya perhatian
dan gerakan ini.13
Cita-cita yang ingin dicapai oleh konferensi tentang imajinasi dan pendidikan adalah sebuah
model pendidikan yang kreatif. Pertanyaanya, bagaimana hal tersebut dapat dicapai? Untuk menjawab
pertanyaan ini, kita perlu melihat lebih dulu apa saja faktor penentu dari sebuah model pendidikan.
Dalam laporanya tentang Guru dan Kuwalitas Pendidikan: Monitorik Kebutuhan Global 2015,
UNESCO (United Nation, Educational Scientific and Cultural Organization) mengungkapkan tentang
kekurangan yang sangat besar jumlah para guru untuk pendidikan dasar di negara-negara
berkembang. Laporan yang sama juga menunjukkan gap yang sangat besar antara kebutuhan dan
kualitas para guru dari negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Kebutuhan besar akan
13 Lihat dalam Robert Fitzgerald dan Thomas W. Nielsen (Ed), Imaginative Practice,

Imaginative Inquiry: Proceedings of the Sixth International Conference on Imagination and

Education, (Australia: University of Canberra, 2008).

pentingnya tenaga-tenaga guru bisa ditemukan di negara-negara Afrika dan beberapa negara di Asia.
Sementara itu, kebutuhan yang berbanding terbalik terjadi di beberapa negara Eropa dan China di
mana jumlah peserta didik mengalami penurunan. 14Kiranya, faktor kebutuhan jumlah guru ini menjadi
faktor yang sangat penting bagi sebuah proses pendidikan. Tanpa adanya kuwalitas dan kwantitas
guru yang memadai, tidak akan terjadi proses pendidikan yang maksimal. Jika persoalan ini lalu
ditatapkan dengan model pendidikan yang imajinatif dan kreatif sebagaimana telah kita sebutkan di
atas, seberapa besar pengaruhnya terhadap cita-cita pendidikan yang imajinatif dan kreatif tersebut?

Berhadapan dengan kebutuhan global, model pendidikan imajinatif dan kreatif akan
menghadapi tantangan yang besar. Pertama, seringkali model pendidikan imajinatif dan
kreatif membutuhkan perhatian dan tenaga yang lebih dalam mewujudkannya. Kedua,
seringkali pula, model pendidikan yang kreatif juga membutuhkan sarana-sarana yang tidak
serta merta dengan mudah diperoleh. Kekurangan tenaga dan sarana inilah tantangan terbesar
bagi terbentuknya sebuah model pendidikan imajinatif dan kreatif dalam skala global.
Walaupun demikian, bukan berarti bahwa model pendidikan imajinatif dan kreatif sama
sekali tidak bisa diwujudkan. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, kita perlu berani untuk
membatasi diri


Faktor-faktor pendukung imajinasi
Pentingnya imajinasi dalam dunia pendidikan

14 UNESCO, Teachers and Educational Quality: Monitoring Global Needs For 2015, (Canada: UNESCO Institute
for Statistic, 2006).