Reformasi Birokrasi di Indonesia (4)

Reformasi Birokrasi di Indonesia
Secara etimologi, birokrasi berasal dari dua kata yaitu “bureau” yang
artinya meja dan “cratein” berarti kekuasaan. Dalam bahasa Indonesia, birokrasi
adalah sistem pemerintahan yang di jalankan oleh pegawai pemerintah karena
telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Di Indonesia, birokrasi
memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan,
berbagai kebijakan publik, serta dalam evalusasi kinerjanya. Sehingga dapat
disimpulkan keberhasilan program pemerintah sangat bergantung pada kinerja
birokrasi.
Menurut survei Doing Business 2009 yang dibentuk oleh International
Finance Corporation (IFC) dari 181 negara dengan 10 indikator yaitu starting a
business, dealing with construction permits, employing workers, registering
property, geting credit dan protection investor, Indonesia menepati urutan 129.
Posisi Indonesia berada jauh di bawah Malaysia yang menduduki peringkat 20.
Fakta ini menunjukan bahwa birokrasi di Indonesia harus segera dibenahi untuk
meningkatkan pelayanan publik menjadi lebih baik.
Pemerintah Indonesia tidak diam. Dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 dijelaskan mengenai Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010 – 2025. Rformasi Birokrasi atau Reinventing goverment
merupakan salah satu reformasi atau membuat perubahan pada birokrasi
sehingga kinerja birokrasi dapat lebih maksimal. Dalam teorinya, David Osborn

dan Ted Gaebler mengungkapkan Reinventing Government mencakup 10 prinsip
untuk mewirausahakan birokrasi. Berikut 10 prinsip untuk mewirausahakan
birokrasi.
Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh. Dalam hal ini,
pemerintah beroperasi sebagai seorang pembeli yang terampil, mendongkrak
berbagai produsen dengan cara yang dapat mencapai sasaran kebijakannya.
Wakil-wakil pemerintah tetap sebagai produsen jasa dalam banyak hal, meskipun
mereka sering harus bersaing dengan produsen swasta untuk memperoleh hak
istimewa. Tetapi para produsen jasa publik ini terpisah dari organisasi
manajemen yang menentukan kebijakan.
Pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani.
Birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan
ketergantungan dari rakyat. Maka dari itu, pendekatan pelayanan harus diganti
dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat,
kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari
penyelesaian masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini nantinya
akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah
dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik
rakyat. Setelah itu, pemerintah hanya melakukan controlling untuk memastikan
apakah kebutuhan sudah terpenuhi atau belum.


Pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam
pemberian
pelayanan. Artinya,
memberikan
pelayanan
tidak
hanya
menghabiskan resources pemerintah, tetapi harus menyebabkan pelayanan
yang disediakan semakin berkembang melebihi kemampuan pemerintah
(organisasi publik). Oleh karena itu, pemerintah harus mengembangkan
kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan organisasi non
pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya diharapkan efisiensi
yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan
yang lebih inovatif.
Pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang
digerakkan oleh peraturan . Pemerintahan yang dijalankan atas dasar peraturan
akan tidak efektif dan kurang efisien, karena bekerjanya lamban . Oleh karena
itu, pemerintahan harus digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga
akan berjalan lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi

organisasi sebagai tujuan, birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem
anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada karyawannya
untuk mencapai misi organisasi tersebut.
Pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan,
bukan birokrasi. Pemerintah harus belajar dari sektor bisnis di mana jika tidak
fokus dan perhatian pada pelanggan (customer), maka warga negara tidak akan
puas dengan pelayanan yang ada atau tidak bahagia. Oleh karena itu,
pemerintah harus menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang harus
diperhatikan kebutuhannya. Pemerintah harus mulai mendengarkan secara
cermat para pelanggannya, melaui survei pelanggan, kelompok fokus dan
berbagai metode yang lain.
Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan.
Sebenarnya pemerintah mengalami masalah yang sama dengan sektor bisnis,
yaitu keterbatasan akan keuangan, tetapi mereka berbeda dalam respon yang
diberikan. Daripada menaikkan pajak atau memotong program publik,
pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana menjalankan program publik
dengan sumber daya keuangan yang sedikit tersebut.
Pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati. Pemerintahan
tradisional yang birokratis memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi
masalah. Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai perawatan

kesehatan. Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak polisi.
Untuk memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk pemadam
kebakaran. Pola pemerintahan semacam ini harus diubah dengan lebih
memusatkan atau berkonsentrasi pada pencegahan. Misalnya, membangun
sistem air dan pembuangan air kotor, untuk mencegah penyakit; dan membuat
peraturan bangunan, untuk mencegah kebakaran.
Pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim
kerja. Pada saat teknologi masih primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih
lamban, dan pekerja publik relatif belum terdidik, maka sistem sentralisasi
sangat diperlukan.

Pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar.
Artinya, daripada beroperasi sebagai pemasok masal barang atau jasa tertentu,
pemerintahan atau organisasi publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator dan
pialang dan menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru
tumbuh. Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan lingkungan bukan
dengan pendekatan tradisional lagi, seperti berusaha mengontrol lingkungan,
tetapi lebih kepada strategi yang inovatif untuk membentuk lingkungan yang
memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari hanya institusi
politik, sehingga strategi yang digunakan adalah membentuk lingkungan

sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan menjamin kualitas hidup
dan kesempatan ekonomi yang sama.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 menjelaskan
mengenai Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Pembentukan grand
design reformasi birokrasi bertujuan untuk memberikan arah kebijakan
pelaksanaan reformasi birokrasi nasional selama kurun waktu 2010 – 2025 agar
reformasi birokrasi di K/L dan Pemda dapat berjalan secara efektif, efisien,
terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga dan berkelanjutan. Subtansi grand
design reformasi birokrasi terdiri pembangunan nasional, arah kebijakan
reformasi birokrasi, visi dan misi reformasi birokrasi, tujuan dan sasaran reormasi
birokrasi dan sasaran lima tahunan reformasi birokrasi. Grand design reformasi
birokrasi (GDRB) 2010-2025 menjadi pedoman dalam pembentukan road map
reformasi.
Setelah meninjau Visi Pembangunan Nasional dan Arah Kebijakan
Reformasi Birokrasi, maka dapat dirumuskan Visi Reformasi Birokrasi adalah
“Terwujudnya Pemerintah Kelas Dunia. Maksudnya adalah pemerintah yang
proesional dan berintegrasi tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan
prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar
mampu menghadapi tantangan melalui tata pemerintah yang baik pada tahun
2025.

Untuk menunjang Visi, Reformasi Birokrasi memiliki 4 misi yaitu; a).
membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik; b). melakukan penataan dan
penguatan organisasi, tata laksana, manajemen sumber daya manusia aparatur,
pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mind set dan culture set;
c). mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif; d). mengelola sengketa
administratif secara efektif dan efisien.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025
menetapkan tahapan pembangunan yang meliputi periode RPJMN I (2005-2009),
periode RPJMN II (2010-2014), periode RPJMN III (2015-2019), dan periode RPJMN
IV (2020-2024). Sasaran lima tahunan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi
ini mengacu pada periodisasi tahapan pembangunan sebagaimana tercantum
dalam RPJPN 2005-2025.
Sasaran reformasi birokrasi pada lima tahun pertama (2010-2014)
difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan

pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi,kolusi, dan nepotisme,
meningkatkan
kualitas
pelayanan

publik
kepada
masyarakat,
serta
meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Pada lima tahun
kedua (2015-2019), difokuskan untuk melanjutkan upaya yang belum dicapai
pada berbagai komponen strategis birokrasi pemerintah pada lima tahun
pertama (2010-2014). Pada periode lima tahun ketiga (2019-2024), reformasi
birokrasi dilakukan melalui peningkatan kapasitas birokrasi secara terus-menerus
untuk menjadi pemerintahan kelas dunia sebagai kelanjutan dari reformasi
birokrasi pada lima tahun kedua (2015-2019).
Pada tahun 2025, pencapaian sasaran-sasaran di atas secara bertahap,
diharapkan telah menghasilkan governance yang berkualitas. Semakin baik
kualitas governance, semakin baik pula hasil pembangunan (development
outcomes) yang ditandai dengan tidak ada korupsi, tidak ada pelanggaran,
APBN dan APBD baik, semua program selesai dengan baik, semua perizinan
selesai dengan cepat dan tepat, komunikasi dengan publik baik, penggunaan
waktu (jam kerja) efektif dan produktif, penerapan reward dan punishment
secara konsisten dan berkelanjutan, hasil pembangunan nyata (propertumbuhan,
prolapangan kerja, dan propengurangan kemiskinan, artinya

menciptakan
lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kesejahteraan
rakyat).
Sungguh miris bila membandingkan sistem birokrasi di Indonesia dengan
negara jiran seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. Terlebih lagi,
pasar bebas yang akan berlangsung di Asia Tenggara (AEC) membuat Indonesia
harus memiliki langkah untuk mengatasi permasalahan birokrasi agar
pembangunan dapat berjalan dengan lancar. Birokrasi pemerintah seharusnya
dikelola berdasarkan prinsip – prinsip tata pemerintah yang baik dan profesional.
Dengan sistem birokrasi yang bersih, efektif dan efisien, bukan tidak mungkin
pembangunan di Indonesia akan berkembang pesat mengalahkan negara –
negara lain. Birokrasi sudah seharusnya dapat mengakomodasi masyarakat agar
ikut serta dalam pembangunan nasional. Birokrasi yang konsumtif tidak akan
membawa pembangunan Indonesia ke arah yang lebih baik, melainkan
menjadikan pembangunan menjadi terhambat.