Partisipasi Penganggaran Konsep Prinsip. doc
PARTISIPASI ANGGARAN ;
Konsep, Prinsip, dan Kriteria
Oleh : Muhammad Maulana1
A. Konsep Partisipasi Anggaran.
Partisipasi lahir dari tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di
antara para stakeholders yang ada di masyarakat. Antara kelompok sosial dan
komunitas dengan para pengambil kebijakan. Namun demikian, tidak diketahui
secara pasti sejak kapan tumbuhnya kesadaran tersebut di masyarakat.
Secara sederhana, ”partisipasi” dapat dimaknai sebagai ”the act of taking
part or sharing in something”. Ada dua kata yang dekat dengan konsep partisipasi,
yaitu “engagement” dan “involvement”. Engagement merujuk pada adanya suatu
ikatan atau kesalinghubungan antara para stakeholders di masyarakat.
Sementara involvement merujuk pada adanya suatu persangkutan atau
keterlibatan antara para stakeholders di masyarakat dalam pembentukan
kebijakan (decision making).
Partisipasi dapat didefinisikan sebagai sebuah proses dimana seluruh pihak
(stakeholders) dapat terlibat secara aktif dalam seluruh proses pembuatan
kebijakan. Dalam partisipasi, siapapun dapat berperan aktif, memiliki kontrol
terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, dan
menjadi lebih terlibat dalam proses pembentukan kebijakan. Misalnya terlibat
dalam pembuatan kebijakan pembangunan.
Bappenas dan Depgagri (2002) mendefinisikan partisipasi secara lebih
tegas. Bahwa partisipasi adalah sebuah prinsip dimana setiap orang memiliki hak
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan.2
Sebagai proses, partisipasi merupakan sebuah metode yang digunakan
dalam pembentukan kebijakan dengan melibatkan seluruh stakeholders.
Sedangkan secara prinsip, partisipasi adalah pegangan atau bisa juga disebut
1
unit resource centre Seknas FITRA
2
Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas &
Depdagri 2002, hal 20. dalam “Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas,
Transparansi & Partisipasi”, Oleh : Dra.Loina Lalolo Krina P
www.seknasfitra.org
1
pedoman yang “harus” dilaksanakan dalam pembuatan kebijakan oleh karena
adanya sebuah hak dan kewajiban. Hak di sisi masyarakat dan kewajiban di sisi
pembentuk kebijakan.
Dalam konteks good governance, terdapat 14 prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik. Salah satu diantaranya adalah partisipasi. Partisipasi
merujuk pada keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan dan
pengambilan
keputusan
yang
Development
Bank
berhubungan
dengan
penyelenggaraan
pemerintahan.3
Asian
(1999)
memandang
bahwa
masyarakat
merupakan jantungnya pembangunan. Masyarakat bukan hanya sebagai
penerima manfaat atas hasil pembangunan. Melainkan, masyarakat adalah agen
pembangunan itu sendiri yang berperan dan terlibat dalam pembentukan. 4
Dengan demikian, Konsep partisipasi tidak terlepas dari unsur masyarakat,
pembuat kebijakan, dan proses pembuatan kebijakan itu sendiri. Ketiganya
menjadi satu bagian yang dibahas dalam konsepsi partisipasi.
Ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi 5, yang berturut-turut semakin
dekat kepada bentuk yang ideal, yaitu:
1. Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi yang
paling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima pemberitahuan
apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana
proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran
program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di
luar kelompok sasaran belaka.
2. Partisipasi
informatif.
Masyarakat
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
penelitian untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan
3
Dadang solihin, 2007. ”Indikator Governance Dan Penerapannya Dalam
Mewujudkan Demokratisasi Di Indonesia”.
4
Asian Development Bank, (1999), Governance : Sound Development Management, dalam
“Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi”, Opcit.
5
Pretty, J. 1995. “Regenerative Agriculture: Policies and Practice for Sustainability and
Selfreliance”. London, Earthscan. (Dalam: R. Ramírez. “Participatory Learning and
Communication
Approaches
for
Managing
Pluralism.
http://www.fao.org/
documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCREP/W8827E/w8827e08.htm., 9 Mei 2005) dalam
paper berjudul “Partisipasi” Oleh : Syahyuti.
www.seknasfitra.org
2
mempengaruhi proses penelitian. Akurasi hasil penelitian, tidak dibahas
bersama masyarakat.
3. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi,
sedangkan
orang
luar
mendengarkan,
menganalisa
masalah
dan
pemecahannya. Belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama.
Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan
masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.
4. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan jasa untuk memperoleh imbalan
insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau
eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil
untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan.
5. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian
proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap
awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap
menunjukkan kemandiriannya.
6. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan
kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Cenderung
melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam
proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran
untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga
memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
7. Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara
bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk merubah sistem atau nilainilai yang mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak dengan lembagalembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumber
daya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan
sumberdaya yanga ada dan atau digunakan.
Dalam pelaksanaannya, Cohen Fung mensyaratkan perlu adanya tiga aspek
dalam partisipasi. Dengan tiga aspek ini dapat dilihat apakah partisipasi
diinternalisasikan dalam proses pembuatan kebijakan atau tidak. Pertama,
adanya media atau wahana partisipasi bagi masyarakat. Media partisipasi
www.seknasfitra.org
3
disediakan
oleh
pembuat
pembuat
kebijakan
bagi
masyarakat
untuk
menyampaikan keluhan-keluhannya. Kedua, adanya partisipan. Masyarakat yang
mengikuti media partisipasi yang disediakan. Di sini, Fung merujuk pada
terminologi partisipasi tentang kesadaran masyarakat. Dan ketiga, otoritas
pengambilan kebijakan yang berdasarkan konsensus seluruh stakeholders.
Masyarakat memiliki otoritas dalam penetapan sebuah kebijakan. 6
Selain itu, Arnstein (1969) telah membedakan tipologi partisipasi berdasarkan
derajat pelimpahan kekuasaan dalam proses pembentukan kebijakan dan perencanaan.
Ada delapan tingkat partisipasi masyarakat yang dapat dilihat pada tiga derajat
efektivitas partisipasi. Pertama, tingkat non-partisipasi. Pada tingkat ini, masyarakat
sama sekali tidak dilibatkan dalam pembentukan kebijakan. Masyarakat diterapi dengan
manipulasi-manipulasi hingga kesadaran partisipasi pada masyarakat hilang. Kedua,
tingkat penanda pengaruh (Degrees of Tokenism). Bedanya dengan tingkat nonpartisipasi, disini masyarakat disuguhkan dengan informasi, dilibatkan dalam konsultasi
publik, bahkan terjadi pembujukan terhadap masyarakat. Akan tetapi, hal itu hanya
sebatas formalitas belaka. Aspirasi masyarakat masih tidak dihiraukan. Dan Ketiga,
tingkat kekuatan warga negara (Citizen Power). Pada tingkat ini, masyarakat benarbenar terlibat. Keputusan dalam pembentukan kebijakan sepenuhnya ditentukan oleh
masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat dan pemegang otoritas kekuasaan adalah
bermitra (partnership).7
Frase “keterlibatan” (involvement) memiliki makna bahwa setiap bentuk
kegiatan dalam proses pembuatan kebijakan hingga pelaksanaan harus
melibatkan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Membuka peluang
seluas-luasnya
kepada
masyarakat
untuk
menentukan
kebijakan.
Dan,
masyarakat dapat mengkontrol perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.
Sebab,
partisipasi
dalam
pembuatan
kebijakan
yang
demokratis
mengandung tiga bentuk partisipasi masyarakat ; pertama, partisipasi dalam
memilih siapa yang akan membuat keputusan atau melaksanakan keputusan.
Kedua, partisipasi dalam pembuatan keputusan. Dan
ketiga, Aktivitas
6
Archon Fung, Varieties of Participation in Complex Governance, Harvard University.
7
Sherry R. Arnstein, "A Ladder of Citizen Participation," JAIP, Vol. 35, No. 4, July 1969
www.seknasfitra.org
4
mempengaruhi dari keputusan-keputusan tersebut (Vuokko Niiranen, dalam L.
Ruben, 1999:59)8.
Sebagian ahli berpendapat bahwa inti dari demokrasi adalah pembentukan
keputusan yang partisipatif (participatory decision making). Tidak berlebihan
jika disebut bahwa partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Dengan
Partisipasi pembuatan kebijakan dalam pelayanan publik juga akan lebih
mengena kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya.
Partisipasi akan memberikan legitimasi yang kuat dalam proses pembuatan
kebijakan. Hal ini disebabkan karena ; Pertama, partisipasi akan menguatkan
rasa tanggungjawab. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa partisipasi akan
menembus distrust antara si pembuat kebijakan dengan masyarakat. Kedua,
partisipasi akan membuat pelaksanaan kegiatan lebih efisien. Oleh karena
Kebijakan-kebijakan publik mendapatkan dukungan dari masyarakat. Ketiga,
partisipasi akan sangat membantu implementasi kebijakan pada program dan
kegiatan yang lebih teknis.9
Selain itu, pentingnya partisipasi diterapkan juga oleh karena ; Pertama,
masyarakatlah yang sangat faham kebutuhan-kebutuhannya. Dan kedua, untuk
menghindari alienasi masyarakat, perlu dibangun kemitraan antara pemerintah
dengan masyarakat sebagai akibat semakin rumitnya birokrasi pemerintahan. 10
Tidak berjalannya partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan akan berdampak
buruk. Kebijakan yang dihasilkan tidak akan sepenuhnya menjawab persoalan-persoalan
yang sesungguhnya dialami oleh masyarakat. Kontrol masyarakat akan berkurang
(apatis), dan potensi penyimpangan pelaksanaan kebijakan akan terjadi. Sehingga
kebijakan yang dihasilkan juga tidak akan berpihak pada kebutuhan-kebutuhan dasar
yang sedang dirasakan oleh masyarakat.
Semisalnya dalam kebijakan alokasi anggaran. Belanja langsung yang notabenenya adalah belanja yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat, memiliki
8
“Instrumen Penilaian Mandiri Dalam Pelayanan Publik Di Provinsi Daerah Istimewa
Jogjakarta”, Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada ; Centre for Policy
Studies, Partnership for Governance Reform, 2008
9
Ibid,
10
Dra.Loina Lalolo Krina P, Ibid.
www.seknasfitra.org
5
alokasi anggaran lebih kecil dari pada belanja tidak langsung. Hal ini terlihat dari hasil
analisis Seknas FITRA pada tahun 2008 di sektor pendidikan dan kesehatan.
Pada tahun 2007, hasil analisis Seknas FITRA di 30 daerah menunjukan bahwa
belanja langsung pendidikan dan kesehatan, setelah dikurangi DAK, rata-rata masih
sangat kecil sekali. Di sektor pendidikan, alokasi belanja langsung pemerintah daerah
hanya mengalokasikan sebesar 8, 27% (dari total belanja APBD). Sementara di sektor
kesehatan, rata-rata hanya dialokasikan sebesar 4,6% (dari total belanja APBD).
Pada tahun 2008, rata-rata belanja langsung pendidikan dari 29 daerah, setelah
dikurangi DAK Pendidikan, hanya dialokasikan 15,34% dari total belanja pendidikan.
Sedangkan belanja tidak langsung pendidikan dialokasikan sebesar 76%. Di sektor
kesehatan, rata-rata belanja langsung, setelah dikurangi DAK kesehatan, dialokasikan
sebesar 39,5% dan belanja tidak langsung sebesar 44,9% dari total belanja kesehatan. 11
Oleh karena itu, dalam pembuatan kebijakan alokasi anggaran dalam APBD
dibutuhkan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya. Agar kebijakan alokasi anggaran
yang dibuat benar-benar menjawab setiap kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya.
Mengurangi alienasi masyarakat terhadap otoritas pembuat APBD. Terbangunnnya
kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam hal pelayanan publik. Dan,
terciptanya demokratisasi anggaran yang utuh.
B. Prinsip Partisipasi Anggaran.
Prinsip utama partisipasi anggaran adalah masyarakat harus terlibat dalam setiap
proses perencanaan dan penganggaran APBD. Sebab, masyarakat yang paling
mengetahui kebutuhan-kebutuhan yang sedang dirasakannya. Secara filosofis,
masyarakat adalah pemegang kedaulatan yang memberikan mandatnya kepada institusi
pemerintah untuk menjamin keteraturan sosial, menjamin hak-hak masyarakat, dan
menyelenggarakan pelayanan bagi masyarakat.
C. Kriteria Partisipasi Anggaran.
Berdasarkan pada konsep dan prinsip partisipasi anggaran diatas, ada beberapa
kriteria partisipasi anggaran yang dapat digunakan untuk mengukur partisipasi dalam
perencanaan dan penganggaran :
11
”Refleksi Penganggaran 2008 ; Selusin Dosa Besar Pengelolaan Anggaran 2008”, Seknas FITRA,
2009.
www.seknasfitra.org
6
1. Kegiatan Perencanaan Dan Penganggaran Dipublikasikan. Untuk mendorong
penguatan partisipasi publik Bappenas mensyaratkan keterbukaan (Transparency)
kegiatan sebagai salah satu hal penting. Dengan asumsi, masyarakat tidak akan
berpartisipasi jika setiap kegiatan perencanaan dan penganggaran dilaksanakan
secara tidak transparan. ”Dipublikasikan” (Pulished) berarti setiap kegiatan
diinformasikan kepada masyarakat melalui media publik yang dapat dan mudah
diakses masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan ”kegiatan” adalah aktivitasaktivitas dalam proses perencanaan dan penganggaran yang telah ditentukan
maupun tidak ditentukan dalam regulasi yang mengatur pengelolaan keuangan
negara.
2. Media Atau Wahana Partisipasi Bagi Masyarakat. ”Media” (medium) merupakan
sarana yang disediakan oleh pemerintah bagi masyarakat untuk menyampaikan
aspirasinya. Kriteria ini pada dasarnya merujuk pada forum-forum yang telah
ditentukan dalam regulasi pengelolaan keuangan negara maupun yang tidak
ditentukan untuk mendapatkan masukan-masukan dari masyarakat dalam
penyempurnaan pembuatan kebijakan anggaran.
3. Keterlibatan Masyarakat Dalam Perencanaan dan Penganggaran. Keterlibatan
(involvement) masyarakat mengacu pada kriteria untuk mengukur sejauhmana
masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan penganggaran. Hal ini juga terkait
dengan sejauhmana akses masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Adapun yang
dimaksud ”perencanaan dan penganggaran” (Planning and Budgeting) mengacu
pada setiap kegiatan perencanaan dan penganggaran yang ditentukan dalam
regulasi pengelolaan keuangan negara dan daerah mulai dari tingkat perencanaan
yang paling bawah hingga penetapan kebijakan anggaran.
4. Otoritas Pengambilan Kebijakan Berdasarkan Konsensus Bersama. ”Otoritas”
(Authority) terkait erat dengan kewenangan (Competence) memutuskan atau
menetapkan kebijakan (Policy Determining). Kriteria ini merujuk pada seberapa
besar aspirasi masyarakat yang di akomodasi dalam kebijakan. ”konsesnsus
bersama” merupakan kriteria yang menunjukan sejauhmana masyarakat terlibat
dalam penetapan kebijakan. Semakin banyak stakeholders yang terlibat, maka akan
semakin baik kebijakan yang dihasilkan.
5. Kerangka Regulasi Yang Menjamin Partisipasi Masyarakat. Kriteria ini merujuk
pada tersedia atau tidak tersedia kerangka regulasi yang menjamin partisipasi
masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran. Apakah regulasi yang ada
www.seknasfitra.org
7
mengatur secara spesifik mekanisme keterlibatan masyarakat dalam menyampaikan
aspirasinya dan menjamin adanya forum publik untuk mendapatkan masukanmasukan dari masyarakat.
www.seknasfitra.org
8
Tabel ;
Konsep, Prinsip, dan Kriteria Partisipasi Anggaran
Konsep
Prinsip
Kriteria
atau
wahana
Partisipasi merujuk pada keterlibatan masyarakat dalam proses Prinsip utama partisipasi anggaran 1. Media
adalah
masyarakat
harus
terlibat
partisipasi
bagi
masyarakat.
penyusunan dan pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
dalam setiap proses perencanaan
penyelenggaraan pemerintahan.
2. Keterlibatan
masyarakat
Asian Development Bank (1999) memandang bahwa masyarakat
merupakan jantungnya pembangunan.
Ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yang berturut-turut
semakin dekat kepada bentuk yang ideal. yaitu:
1. Partisipasi pasif atau manipulatif
2. Partisipasi informatif
dan penganggaran APBD
dalam perencanaan
penganggaran.
dan
3. Otoritas
Pengambilan
kebijakan
berdasarkan
konsensus bersama.
4. kerangka regulasi yang
menjamin
partisipasi
masyarakat.
3. Partisipasi konsultatif
4. Partisipasi insentif
5. Partisipasi fungsional
6. Partisipasi interaktif
7. Mandiri (self mobilization)
Cohen Fung mensyaratkan perlu adanya tiga aspek dalam partisipasi ;
1. Adanya media atau wahana partisipasi bagi masyarakat
2. Adanya partisipan
3. Otoritas pengambilan kebijakan yang berdasarkan konsensus
seluruh stakeholders.
www.seknasfitra.org
9
Arnstein (1969) telah membedakan tipologi partisipasi berdasarkan derajat
pelimpahan kekuasaan dalam proses pembentukan kebijakan dan
perencanaan ;
1. Tingkat non-partisipasi.
2. Tingkat penanda pengaruh
3. Tingkat kekuatan warga negara
Partisipasi dalam pembuatan kebijakan yang demokratis
mengandung tiga bentuk partisipasi masyarakat ; pertama, partisipasi
dalam memilih siapa yang akan membuat keputusan atau
melaksanakan keputusan. Kedua, partisipasi dalam pembuatan
keputusan. Dan ketiga, Aktivitas mempengaruhi dari keputusankeputusan tersebut (Vuokko Niiranen, dalam L. Ruben, 1999:59).
Dampak internalisasi partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan ;
1. Partisipasi akan memberikan legitimasi yang kuat dalam proses
pembuatan kebijakan.
2. Partisipasi akan menguatkan rasa tanggungjawab.
3. Partisipasi akan membuat pelaksanaan kegiatan lebih efisien.
4. Partisipasi akan sangat membantu implementasi kebijakan pada
program dan kegiatan yang lebih teknis.
Dua alasan perlu diterapkannya partisipasi ;
1. Masyarakatlah yang sangat faham kebutuhan-kebutuhannya.
2. Untuk menghindari alienasi masyarakat, perlu dibangun
kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat sebagai akibat
semakin rumitnya birokrasi pemerintahan.
www.seknasfitra.org
10
Konsep, Prinsip, dan Kriteria
Oleh : Muhammad Maulana1
A. Konsep Partisipasi Anggaran.
Partisipasi lahir dari tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di
antara para stakeholders yang ada di masyarakat. Antara kelompok sosial dan
komunitas dengan para pengambil kebijakan. Namun demikian, tidak diketahui
secara pasti sejak kapan tumbuhnya kesadaran tersebut di masyarakat.
Secara sederhana, ”partisipasi” dapat dimaknai sebagai ”the act of taking
part or sharing in something”. Ada dua kata yang dekat dengan konsep partisipasi,
yaitu “engagement” dan “involvement”. Engagement merujuk pada adanya suatu
ikatan atau kesalinghubungan antara para stakeholders di masyarakat.
Sementara involvement merujuk pada adanya suatu persangkutan atau
keterlibatan antara para stakeholders di masyarakat dalam pembentukan
kebijakan (decision making).
Partisipasi dapat didefinisikan sebagai sebuah proses dimana seluruh pihak
(stakeholders) dapat terlibat secara aktif dalam seluruh proses pembuatan
kebijakan. Dalam partisipasi, siapapun dapat berperan aktif, memiliki kontrol
terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, dan
menjadi lebih terlibat dalam proses pembentukan kebijakan. Misalnya terlibat
dalam pembuatan kebijakan pembangunan.
Bappenas dan Depgagri (2002) mendefinisikan partisipasi secara lebih
tegas. Bahwa partisipasi adalah sebuah prinsip dimana setiap orang memiliki hak
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan.2
Sebagai proses, partisipasi merupakan sebuah metode yang digunakan
dalam pembentukan kebijakan dengan melibatkan seluruh stakeholders.
Sedangkan secara prinsip, partisipasi adalah pegangan atau bisa juga disebut
1
unit resource centre Seknas FITRA
2
Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas &
Depdagri 2002, hal 20. dalam “Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas,
Transparansi & Partisipasi”, Oleh : Dra.Loina Lalolo Krina P
www.seknasfitra.org
1
pedoman yang “harus” dilaksanakan dalam pembuatan kebijakan oleh karena
adanya sebuah hak dan kewajiban. Hak di sisi masyarakat dan kewajiban di sisi
pembentuk kebijakan.
Dalam konteks good governance, terdapat 14 prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik. Salah satu diantaranya adalah partisipasi. Partisipasi
merujuk pada keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan dan
pengambilan
keputusan
yang
Development
Bank
berhubungan
dengan
penyelenggaraan
pemerintahan.3
Asian
(1999)
memandang
bahwa
masyarakat
merupakan jantungnya pembangunan. Masyarakat bukan hanya sebagai
penerima manfaat atas hasil pembangunan. Melainkan, masyarakat adalah agen
pembangunan itu sendiri yang berperan dan terlibat dalam pembentukan. 4
Dengan demikian, Konsep partisipasi tidak terlepas dari unsur masyarakat,
pembuat kebijakan, dan proses pembuatan kebijakan itu sendiri. Ketiganya
menjadi satu bagian yang dibahas dalam konsepsi partisipasi.
Ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi 5, yang berturut-turut semakin
dekat kepada bentuk yang ideal, yaitu:
1. Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi yang
paling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima pemberitahuan
apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana
proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran
program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di
luar kelompok sasaran belaka.
2. Partisipasi
informatif.
Masyarakat
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
penelitian untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan
3
Dadang solihin, 2007. ”Indikator Governance Dan Penerapannya Dalam
Mewujudkan Demokratisasi Di Indonesia”.
4
Asian Development Bank, (1999), Governance : Sound Development Management, dalam
“Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi”, Opcit.
5
Pretty, J. 1995. “Regenerative Agriculture: Policies and Practice for Sustainability and
Selfreliance”. London, Earthscan. (Dalam: R. Ramírez. “Participatory Learning and
Communication
Approaches
for
Managing
Pluralism.
http://www.fao.org/
documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCREP/W8827E/w8827e08.htm., 9 Mei 2005) dalam
paper berjudul “Partisipasi” Oleh : Syahyuti.
www.seknasfitra.org
2
mempengaruhi proses penelitian. Akurasi hasil penelitian, tidak dibahas
bersama masyarakat.
3. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi,
sedangkan
orang
luar
mendengarkan,
menganalisa
masalah
dan
pemecahannya. Belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama.
Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan
masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.
4. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan jasa untuk memperoleh imbalan
insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau
eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil
untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan.
5. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian
proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap
awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap
menunjukkan kemandiriannya.
6. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan
kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Cenderung
melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam
proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran
untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga
memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
7. Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara
bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk merubah sistem atau nilainilai yang mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak dengan lembagalembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumber
daya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan
sumberdaya yanga ada dan atau digunakan.
Dalam pelaksanaannya, Cohen Fung mensyaratkan perlu adanya tiga aspek
dalam partisipasi. Dengan tiga aspek ini dapat dilihat apakah partisipasi
diinternalisasikan dalam proses pembuatan kebijakan atau tidak. Pertama,
adanya media atau wahana partisipasi bagi masyarakat. Media partisipasi
www.seknasfitra.org
3
disediakan
oleh
pembuat
pembuat
kebijakan
bagi
masyarakat
untuk
menyampaikan keluhan-keluhannya. Kedua, adanya partisipan. Masyarakat yang
mengikuti media partisipasi yang disediakan. Di sini, Fung merujuk pada
terminologi partisipasi tentang kesadaran masyarakat. Dan ketiga, otoritas
pengambilan kebijakan yang berdasarkan konsensus seluruh stakeholders.
Masyarakat memiliki otoritas dalam penetapan sebuah kebijakan. 6
Selain itu, Arnstein (1969) telah membedakan tipologi partisipasi berdasarkan
derajat pelimpahan kekuasaan dalam proses pembentukan kebijakan dan perencanaan.
Ada delapan tingkat partisipasi masyarakat yang dapat dilihat pada tiga derajat
efektivitas partisipasi. Pertama, tingkat non-partisipasi. Pada tingkat ini, masyarakat
sama sekali tidak dilibatkan dalam pembentukan kebijakan. Masyarakat diterapi dengan
manipulasi-manipulasi hingga kesadaran partisipasi pada masyarakat hilang. Kedua,
tingkat penanda pengaruh (Degrees of Tokenism). Bedanya dengan tingkat nonpartisipasi, disini masyarakat disuguhkan dengan informasi, dilibatkan dalam konsultasi
publik, bahkan terjadi pembujukan terhadap masyarakat. Akan tetapi, hal itu hanya
sebatas formalitas belaka. Aspirasi masyarakat masih tidak dihiraukan. Dan Ketiga,
tingkat kekuatan warga negara (Citizen Power). Pada tingkat ini, masyarakat benarbenar terlibat. Keputusan dalam pembentukan kebijakan sepenuhnya ditentukan oleh
masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat dan pemegang otoritas kekuasaan adalah
bermitra (partnership).7
Frase “keterlibatan” (involvement) memiliki makna bahwa setiap bentuk
kegiatan dalam proses pembuatan kebijakan hingga pelaksanaan harus
melibatkan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Membuka peluang
seluas-luasnya
kepada
masyarakat
untuk
menentukan
kebijakan.
Dan,
masyarakat dapat mengkontrol perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.
Sebab,
partisipasi
dalam
pembuatan
kebijakan
yang
demokratis
mengandung tiga bentuk partisipasi masyarakat ; pertama, partisipasi dalam
memilih siapa yang akan membuat keputusan atau melaksanakan keputusan.
Kedua, partisipasi dalam pembuatan keputusan. Dan
ketiga, Aktivitas
6
Archon Fung, Varieties of Participation in Complex Governance, Harvard University.
7
Sherry R. Arnstein, "A Ladder of Citizen Participation," JAIP, Vol. 35, No. 4, July 1969
www.seknasfitra.org
4
mempengaruhi dari keputusan-keputusan tersebut (Vuokko Niiranen, dalam L.
Ruben, 1999:59)8.
Sebagian ahli berpendapat bahwa inti dari demokrasi adalah pembentukan
keputusan yang partisipatif (participatory decision making). Tidak berlebihan
jika disebut bahwa partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Dengan
Partisipasi pembuatan kebijakan dalam pelayanan publik juga akan lebih
mengena kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya.
Partisipasi akan memberikan legitimasi yang kuat dalam proses pembuatan
kebijakan. Hal ini disebabkan karena ; Pertama, partisipasi akan menguatkan
rasa tanggungjawab. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa partisipasi akan
menembus distrust antara si pembuat kebijakan dengan masyarakat. Kedua,
partisipasi akan membuat pelaksanaan kegiatan lebih efisien. Oleh karena
Kebijakan-kebijakan publik mendapatkan dukungan dari masyarakat. Ketiga,
partisipasi akan sangat membantu implementasi kebijakan pada program dan
kegiatan yang lebih teknis.9
Selain itu, pentingnya partisipasi diterapkan juga oleh karena ; Pertama,
masyarakatlah yang sangat faham kebutuhan-kebutuhannya. Dan kedua, untuk
menghindari alienasi masyarakat, perlu dibangun kemitraan antara pemerintah
dengan masyarakat sebagai akibat semakin rumitnya birokrasi pemerintahan. 10
Tidak berjalannya partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan akan berdampak
buruk. Kebijakan yang dihasilkan tidak akan sepenuhnya menjawab persoalan-persoalan
yang sesungguhnya dialami oleh masyarakat. Kontrol masyarakat akan berkurang
(apatis), dan potensi penyimpangan pelaksanaan kebijakan akan terjadi. Sehingga
kebijakan yang dihasilkan juga tidak akan berpihak pada kebutuhan-kebutuhan dasar
yang sedang dirasakan oleh masyarakat.
Semisalnya dalam kebijakan alokasi anggaran. Belanja langsung yang notabenenya adalah belanja yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat, memiliki
8
“Instrumen Penilaian Mandiri Dalam Pelayanan Publik Di Provinsi Daerah Istimewa
Jogjakarta”, Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada ; Centre for Policy
Studies, Partnership for Governance Reform, 2008
9
Ibid,
10
Dra.Loina Lalolo Krina P, Ibid.
www.seknasfitra.org
5
alokasi anggaran lebih kecil dari pada belanja tidak langsung. Hal ini terlihat dari hasil
analisis Seknas FITRA pada tahun 2008 di sektor pendidikan dan kesehatan.
Pada tahun 2007, hasil analisis Seknas FITRA di 30 daerah menunjukan bahwa
belanja langsung pendidikan dan kesehatan, setelah dikurangi DAK, rata-rata masih
sangat kecil sekali. Di sektor pendidikan, alokasi belanja langsung pemerintah daerah
hanya mengalokasikan sebesar 8, 27% (dari total belanja APBD). Sementara di sektor
kesehatan, rata-rata hanya dialokasikan sebesar 4,6% (dari total belanja APBD).
Pada tahun 2008, rata-rata belanja langsung pendidikan dari 29 daerah, setelah
dikurangi DAK Pendidikan, hanya dialokasikan 15,34% dari total belanja pendidikan.
Sedangkan belanja tidak langsung pendidikan dialokasikan sebesar 76%. Di sektor
kesehatan, rata-rata belanja langsung, setelah dikurangi DAK kesehatan, dialokasikan
sebesar 39,5% dan belanja tidak langsung sebesar 44,9% dari total belanja kesehatan. 11
Oleh karena itu, dalam pembuatan kebijakan alokasi anggaran dalam APBD
dibutuhkan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya. Agar kebijakan alokasi anggaran
yang dibuat benar-benar menjawab setiap kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya.
Mengurangi alienasi masyarakat terhadap otoritas pembuat APBD. Terbangunnnya
kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam hal pelayanan publik. Dan,
terciptanya demokratisasi anggaran yang utuh.
B. Prinsip Partisipasi Anggaran.
Prinsip utama partisipasi anggaran adalah masyarakat harus terlibat dalam setiap
proses perencanaan dan penganggaran APBD. Sebab, masyarakat yang paling
mengetahui kebutuhan-kebutuhan yang sedang dirasakannya. Secara filosofis,
masyarakat adalah pemegang kedaulatan yang memberikan mandatnya kepada institusi
pemerintah untuk menjamin keteraturan sosial, menjamin hak-hak masyarakat, dan
menyelenggarakan pelayanan bagi masyarakat.
C. Kriteria Partisipasi Anggaran.
Berdasarkan pada konsep dan prinsip partisipasi anggaran diatas, ada beberapa
kriteria partisipasi anggaran yang dapat digunakan untuk mengukur partisipasi dalam
perencanaan dan penganggaran :
11
”Refleksi Penganggaran 2008 ; Selusin Dosa Besar Pengelolaan Anggaran 2008”, Seknas FITRA,
2009.
www.seknasfitra.org
6
1. Kegiatan Perencanaan Dan Penganggaran Dipublikasikan. Untuk mendorong
penguatan partisipasi publik Bappenas mensyaratkan keterbukaan (Transparency)
kegiatan sebagai salah satu hal penting. Dengan asumsi, masyarakat tidak akan
berpartisipasi jika setiap kegiatan perencanaan dan penganggaran dilaksanakan
secara tidak transparan. ”Dipublikasikan” (Pulished) berarti setiap kegiatan
diinformasikan kepada masyarakat melalui media publik yang dapat dan mudah
diakses masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan ”kegiatan” adalah aktivitasaktivitas dalam proses perencanaan dan penganggaran yang telah ditentukan
maupun tidak ditentukan dalam regulasi yang mengatur pengelolaan keuangan
negara.
2. Media Atau Wahana Partisipasi Bagi Masyarakat. ”Media” (medium) merupakan
sarana yang disediakan oleh pemerintah bagi masyarakat untuk menyampaikan
aspirasinya. Kriteria ini pada dasarnya merujuk pada forum-forum yang telah
ditentukan dalam regulasi pengelolaan keuangan negara maupun yang tidak
ditentukan untuk mendapatkan masukan-masukan dari masyarakat dalam
penyempurnaan pembuatan kebijakan anggaran.
3. Keterlibatan Masyarakat Dalam Perencanaan dan Penganggaran. Keterlibatan
(involvement) masyarakat mengacu pada kriteria untuk mengukur sejauhmana
masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan penganggaran. Hal ini juga terkait
dengan sejauhmana akses masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Adapun yang
dimaksud ”perencanaan dan penganggaran” (Planning and Budgeting) mengacu
pada setiap kegiatan perencanaan dan penganggaran yang ditentukan dalam
regulasi pengelolaan keuangan negara dan daerah mulai dari tingkat perencanaan
yang paling bawah hingga penetapan kebijakan anggaran.
4. Otoritas Pengambilan Kebijakan Berdasarkan Konsensus Bersama. ”Otoritas”
(Authority) terkait erat dengan kewenangan (Competence) memutuskan atau
menetapkan kebijakan (Policy Determining). Kriteria ini merujuk pada seberapa
besar aspirasi masyarakat yang di akomodasi dalam kebijakan. ”konsesnsus
bersama” merupakan kriteria yang menunjukan sejauhmana masyarakat terlibat
dalam penetapan kebijakan. Semakin banyak stakeholders yang terlibat, maka akan
semakin baik kebijakan yang dihasilkan.
5. Kerangka Regulasi Yang Menjamin Partisipasi Masyarakat. Kriteria ini merujuk
pada tersedia atau tidak tersedia kerangka regulasi yang menjamin partisipasi
masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran. Apakah regulasi yang ada
www.seknasfitra.org
7
mengatur secara spesifik mekanisme keterlibatan masyarakat dalam menyampaikan
aspirasinya dan menjamin adanya forum publik untuk mendapatkan masukanmasukan dari masyarakat.
www.seknasfitra.org
8
Tabel ;
Konsep, Prinsip, dan Kriteria Partisipasi Anggaran
Konsep
Prinsip
Kriteria
atau
wahana
Partisipasi merujuk pada keterlibatan masyarakat dalam proses Prinsip utama partisipasi anggaran 1. Media
adalah
masyarakat
harus
terlibat
partisipasi
bagi
masyarakat.
penyusunan dan pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
dalam setiap proses perencanaan
penyelenggaraan pemerintahan.
2. Keterlibatan
masyarakat
Asian Development Bank (1999) memandang bahwa masyarakat
merupakan jantungnya pembangunan.
Ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yang berturut-turut
semakin dekat kepada bentuk yang ideal. yaitu:
1. Partisipasi pasif atau manipulatif
2. Partisipasi informatif
dan penganggaran APBD
dalam perencanaan
penganggaran.
dan
3. Otoritas
Pengambilan
kebijakan
berdasarkan
konsensus bersama.
4. kerangka regulasi yang
menjamin
partisipasi
masyarakat.
3. Partisipasi konsultatif
4. Partisipasi insentif
5. Partisipasi fungsional
6. Partisipasi interaktif
7. Mandiri (self mobilization)
Cohen Fung mensyaratkan perlu adanya tiga aspek dalam partisipasi ;
1. Adanya media atau wahana partisipasi bagi masyarakat
2. Adanya partisipan
3. Otoritas pengambilan kebijakan yang berdasarkan konsensus
seluruh stakeholders.
www.seknasfitra.org
9
Arnstein (1969) telah membedakan tipologi partisipasi berdasarkan derajat
pelimpahan kekuasaan dalam proses pembentukan kebijakan dan
perencanaan ;
1. Tingkat non-partisipasi.
2. Tingkat penanda pengaruh
3. Tingkat kekuatan warga negara
Partisipasi dalam pembuatan kebijakan yang demokratis
mengandung tiga bentuk partisipasi masyarakat ; pertama, partisipasi
dalam memilih siapa yang akan membuat keputusan atau
melaksanakan keputusan. Kedua, partisipasi dalam pembuatan
keputusan. Dan ketiga, Aktivitas mempengaruhi dari keputusankeputusan tersebut (Vuokko Niiranen, dalam L. Ruben, 1999:59).
Dampak internalisasi partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan ;
1. Partisipasi akan memberikan legitimasi yang kuat dalam proses
pembuatan kebijakan.
2. Partisipasi akan menguatkan rasa tanggungjawab.
3. Partisipasi akan membuat pelaksanaan kegiatan lebih efisien.
4. Partisipasi akan sangat membantu implementasi kebijakan pada
program dan kegiatan yang lebih teknis.
Dua alasan perlu diterapkannya partisipasi ;
1. Masyarakatlah yang sangat faham kebutuhan-kebutuhannya.
2. Untuk menghindari alienasi masyarakat, perlu dibangun
kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat sebagai akibat
semakin rumitnya birokrasi pemerintahan.
www.seknasfitra.org
10