Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Ag

Daftar Isi

Pengantar Redaksi ................................................................................
Agama, Hak-hak Minoritas, dan Problem Perlindungan Negara
Ahmad Fuad Fanani

4

Artikel Utama
Minoritas, Legal Jihad, dan Peran Negara ........................................
Ismatu Ropi

12

Masalah Intoleransi, Toleransi, dan Kebebasan Beragama
di Indonesia .....................................................................................
Philips J. Vermonte dan Tobias Basuki

27

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas

di Indonesia .....................................................................................
Ahmad Najib Burhani

43

Jalan Panjang Pemenuhan Hak Atas Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan.............................................................................
Veryanto Sitohang

56

Pekerjaan Berat Meliput Minoritas..................................................
Imam Shofwan

71

Ketika Keseharian Pemegang Pikukuh Menjadi Tontonan:
Pengaruh Industri Pariwisata Terhadap Suku Baduy-Banten..........
Radjimo S. Wijono


86

Antara Masyarakat Adat dan Umat: Masyarakat Kampung Naga
dalam Perubahan .............................................................................
Amin Mudzakkir

104

Kebhinekaan Orientasi Seksual dan Identitas Gender
dalam Kemanusiaan Indonesia yang Adil dan Beradab..................
Dédé Oetomo

117

Minoritas Perantara, Kambing Hitam dan Absennya
Perlindungan Negara: Kasus Tionghoa di Indonesia .....................
Didi Kwartanada

128


Masyarakat Syiah Indonesia: Antara Pembauran Sosial
dan Perlindungan Negara ................................................................
Syafinuddin Al-Mandari

146

2
1211 Jurnal.indb 2

12/13/2012 6:30:10 PM

Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia
dan Seruan Khalifah Ahmadiyah ....................................................
Ekky O Sabandi

159

Belenggu Diskriminasi pada Kelompok Minoritas Baha’i
di Indonesia dalam Perspektif HAM ...............................................
Amanah Nurish


172

Problem Minoritas Kristen di Indonesia/Asia ................................
Martin Lukito Sinaga
Tantangan yang dihadapi oleh Gereja Yesus Kristus
dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir di Indonesia.........................
Chad F. Emmett
Riset
Kontestasi Muslim Puritan: Relasi Minoritas-Mayoritas
Muslim Model Majelis Tafsir Al-Quran (MTA)...............................
Mutohharun Jinan
Etnis Tionghoa dalam Negara Orde Baru .......................................
Yosep Adi Prasetyo

183

192

201

221

Khazanah Lokal
Teologi Harapan Romo Kirdjito ......................................................
David Krisna Alka dan Khelmy K. Pribadi

247

Pustaka
Sejarah dan Dinamika Islamisasi Masyarakat Jawa .........................
Ilham Mundzir

261

Profil Penulis .........................................................................................

270

Profil MAARIF Institute dan Profil Media ..........................................


274

Petunjuk dan Format Penulisan Artikel ...............................................

278

3
1211 Jurnal.indb 3

12/13/2012 6:30:10 PM

Tiga Problem Dasar
dalam Perlindungan Agama-agama
Minoritas di Indonesia
Ahmad Najib Burhani

‘Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka
untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?... Sudah tentu tidak!...
bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan.
Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”’

—Soekarno, Lahirnya Pancasila, 1947, 7—
‘Dasar Ketuhanan Yang Mahaesa jadi dasar yang memimpin cita-cita
negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala
yang benar, adil dan baik… Ketuhanan Yang Mahaesa tidak lagi hanya
dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar
yang memimpin ke jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran persaudaraan’
—Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, 1977, 18—

Abstrak
Meski Indonesia telah mencantumkan jaminan kebebasan beragama terhadap
agama-agama minoritas dalam konstitusi dan perundang-undangan yang lain,
namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak beragama
kelompok minoritas. Karena itu, pertanyaan yang akan dibahas dalam tulisan ini
adalah permasalahan ideologis atau teologis apa yang menghambat pelaksanaan
hak-hak pemeluk agama-agama minoritas? Tulisan ini berargumen bahwa ada tiga
persoalan dasar yang bersifat ideologis yang menghambat kebebasan beragama
dan berkeyakinan di Indonesia. Ketiga hal itu adalah sila pertama Pancasila,
paradigma tentang agama yang berkembang di masyarakat Indonesia, dan adanya
penetapan bahwa subyek perlindungan adalah agama itu sendiri, bukan pemeluk
agama.

Kata kunci: Pancasila, agama minoritas, ortodoksi-heterodoksi, kebebasan
beragama, agama resmi dan tidak resmi, Victorian Mind

43
1211 Jurnal.indb 43

12/13/2012 6:30:14 PM

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan
Agama-agama Minoritas di Indonesia

Pendahuluan
Dalam konteks international, perlindungan terhadap hak-hak minoritas,
termasuk di dalamnya agama minoritas, itu dijamin oleh pasal 27 dari
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik atau International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menyatakan bahwa,
“Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku
bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok
minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat,
bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya

mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri,
atau menggunakan bahasa mereka sendiri.” Peraturan yang berlaku sejak
23 Maret 1976 ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada 23 Februari
2006. Dengan meratifikasi aturan ini, seperti tercantum dalam pasal 18
dari ICCPR, maka Indonesia secara otomatis wajib menjamin kelompok
agama minoritas untuk menjalankan hak-hak dan keyakinannya.
Sebetulnya, sebelum meratifikasi ICCPR itu, secara resmi Indonesia
telah mencantumkan jaminan kebebasan beragama dan beribadah
dalam UUD 1945, pasal 29 ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam
Amandemen UUD 19451, kebebasan beragama ini juga tercantum
dalam pasal 28E: “(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Perlindungan kebebasan beragama
ini juga tercantum dalam Undang-undang no. 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia, terutama pasal 22.

Meski Indonesia telah meratifikasi ICCPR dan mencantumkan
kebebasan beragama dalam konstitusi, pada kenyataannya masih banyak
pelanggaran kebebasan beragama, terutama terhadap agama-agama yang

1

44
1211 Jurnal.indb 44

Amandemen ini terjadi pada tahun 1999-2002.

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

12/13/2012 6:30:14 PM

Ahmad Najib Burhani

masuk kategori minoritas.2 Mengenai definisi minoritas ini, umumnya
para sarjana sepakat dengan definisi yang diberikan oleh Francesco
Capotorti, mantan pakar di the UN Sub Commission on Prevention

of Discrimination and Protection of Minorities (Memisoglu 2007, 4;
Ghanea 2012, 4). Menurut Capotorti, yang disebut minoritas adalah,
“a group, numerically inferior to the rest of the population of a State,
in a non-dominant position, whose members – being nationals of the
State – possess ethnic, religious or linguistic characteristics differing from
those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of
solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion
or language” (Ghanea 2012, 4-5).
Mengikuti definisi dari Capotorti tersebut, maka dalam konteks
Indonesia, yang disebut dengan agama minoritas tidak hanya merujuk
kepada institusi yang menyatakan dirinya sebagai agama dengan jumlah
pemeluk yang kecil seperti Madraisme, Permalim, Tolotang, Petuntung,
Perbegu, Aluk To Dolo, dan Kaharingan, namun juga merujuk kepada
komunitas-komunitas keagamaan kecil dalam agama besar seperti
Syi‘ah dan Ahmadiyah di tengah komunitas Sunni Islam. Dalam kasus
Ahmadiyah, misalnya, keyakinan Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam
Ahmad adalah nabi dianggap menodai Islam yang meyakini tiadanya
nabi setelah Nabi Muhammad. Untuk melindungi ‘kesucian’ agama
Islam, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri lantas
mengeluarkan Keputusan Bersama (SKB) tahun 2008 tentang Peringatan
dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus
Jemaat Ahamdiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Intinya, SKB
ini melarang warga Ahmadiyah menjalankan dan menyebarkan ajaran
agama yang mereka anut.
Ulasan tentang perlakukan terhadap agama-agama minoritas dan
penyebab berkembangnya intoleransi di Indonesia pasca jatuhnya
pemerintahan Orde Baru tahun 1998 telah banyak dilakukan sarjana
(mis. Noorsalim, Mashudi, dan al-Makassary 2007; Suaedy dan Rumadi
2007). Beberapa peneliti mempersoalkan lemahnya pemerintah, kurang

2

Berdasarkan catatan Setara Institute, jumlah pelanggaran kebebasan beragama/
berkeyakinan di Indonesia pada 2008 mencapai 367 tindakan dalam 265 peristiwa.
Pada 2007, tercatat 185 tindakan dalam 135 peristiwa. Pada 2009, terdapat 291
tindakan dalam 200 peristiwa. Sementara pada 2010, terdapat 286 tindakan dalam 216
peristiwa (Hasani dan Naipospos 2011, 1).

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

1211 Jurnal.indb 45

45
12/13/2012 6:30:14 PM

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan
Agama-agama Minoritas di Indonesia

berpengalamannya polisi dalam menangani kerusuhan, menyebarnya
pemahaman keagaman yang radikal, dan sebagainya (Bertrand 2004;
Sidel 2006; van Klinken 2009; Varshney 2010). Banyak pula yang
mempersoalkan aturan-aturan hukum di Indonesia yang sering menjadi
dasar sikap diskriminatif terhadap agama-agama minoritas (mis. Alfitri
2008; Colbran 2010; Crouch 2012). Karena itu tulisan ini tidak akan
mengulang pembahasan itu, sebaiknya ia akan membahas tiga persoalan
ontologis yang menjadi hambatan bagi Indonesia untuk berpihak
atau melindungi agama-agama minoritas. Persoalan pertama berkaitan
dengan sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa.” Persoalan
kedua berkaitan dengan pemahaman konsep “agama”. Persoalan ketiga
berkaitan dengan konsep ortodoksi dan heterodoksi.

Problem pada Sila “Ketuhanan yang Maha Esa”
Dalam berbagai perdebatan tentang sila pertama Pancasila, isu yang
paling sering diangkat adalah penghapusan tujuh kata “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam kepada pemeluk-pemeluknya”. Kata-kata yang
pada awalnya muncul dalam Piagam Jakarta itu kamudian dihapus karena
protes dari kelompok non-Muslim dan kalangan nasionalis. Sebagai
gantinya, sila pertama itu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sepanjang sejarah Indonesia, sepengetahuan penulis, hampir tidak ada
tokoh nasional yang mempermasalahkan kata-kata “Yang Maha Esa”
pada sila pertama itu meskipun banyak yang tahu kalau kata-kata itu bias
kepada agama-agama monotheis, terutama Islam. Buya Syafii Maarif yang
sangat menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu pun
menyatakan bahwa, “Atribut ‘Yang Maha Esa’ sesudah ‘Ketuhanan’ dalam
sila pertama jelas sekali menunjukkan bahwa konsep Ketuhanan dalam
Pancasila bukanlah semata fenomena sosiologis, melainkan refleksi dari
ajaran tauhid” (Maarif 2006, 111). Tentu saja sila ini sangat sesuai dengan
Islam, tapi mengorbankan pemeluk agama minoritas seperti Hindu dan
Buddha.
Karena negara memutuskan bahwa Tuhan yang disembah oleh bangsa
Indonesia itu harus memiliki sifat “Yang Maha Esa”, maka konsekuensinya,
pada awal kemerdekaan Hindu dan Buddha tidak dianggap sebagai agama
oleh negara karena pemeluk agama ini memiliki keyakinan dan konsep
tentang Tuhan yang berbeda dari agama-agama monotheis (Atkinson

46
1211 Jurnal.indb 46

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

12/13/2012 6:30:14 PM

Ahmad Najib Burhani

1987, 177; Hasani dan Naipospos 2011, 12). Untuk bisa diakui sebagai
agama, Hindu dan Buddha harus melakukan modifikasi dan rasionalisasi
keyakinan sehingga mirip dengan keyakinan agama-agama monotheis.
Hindu, misalnya, menetapkan “Sang Hyang Widi” yang sebelumnya tak
terlalu sentral dalam agama ini sebagai perwujudan Tuhan Yang Maha
Esa. Sementara agama Buddha menyepakati untuk menganggap tokoh
Adi Buddha, nama yang diambil dari teks Jawa Kuno, sebagai Tuhan
Yang Esa (Howell 2005, 478). Padahal Hindu dikenal bukan sebagai
agama monotheis, tapi polytheis, sementara Buddha adalah agama nontheis. Setelah melakukan penyesuaian, barulah dua agama ini mendapat
pengakuan dari negara. Agama Hindu, misalnya, bisa mendapat tempat
di Departemen Agama pada tahun 1958 setelah berjuang sejak 1952
(Picard dan Madinier 2011, 13-4).
Sebetulnya kata-kata “Yang Maha Esa” itu sempat dipersoalkan oleh
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ketika ia menerjemahkan sila
pertama Pancasila itu ke dalam Bahasa Inggris. Kata-kata yang dipilih
Gus Dur adalah “belief in the Almighty God” (Wahid 2001, 28 n. 1),
bukan “belief in a singular God” seperti yang dilakukan oleh Robert
W. Hefner (2000, 42). Penerjemahannya juga berbeda dari umumnya
terjemahan Bahasa Inggris untuk sila ini, yaitu “belief in One and Only
God”. Kata-kata “the Almighty God” lebih dekat kepada makna “Tuhan
Yang Maha Kuasa”, meski bisa juga diterjemahkan sebagai “Tuhan Yang
Maha Esa”.

Problem pada Konsep “Agama”
Ketika para pendiri bangsa ini menyebut istilah “agama” dalam konstitusi
Indonesia, yang mereka pahami dengan istilah itu sepertinya mengacu
pada konsep “din”, dalam Bahasa Arab, dan konsep “religion”, dalam
Bahasa Inggris.3 Dalam konteks ini, apa yang disebut agama, sebagaimana
ditetapkan oleh Departemen Agama, adalah sesuatu yang mesti berasal
dari Tuhan melalui wahyu, dibawa oleh nabi, ditulis dalam kitab
suci, berisi aturan perilaku, hukum, dan ibadah yang rapi (Picard and
Madinier 2011, 13). Istilah agama atau religion itu, mengikuti Picard dan
3

Konsep “agama” atau “religion” sering disebut sebagai “second order definition”
karena konsep ini selalu dibuat oleh sarjana ketika membaca realitas agama. Untuk
pembahasan masalah konsep agama ini, lihat Willi Braun dan Russell T. McCutcheon
(2000), terutama bagian “Introduction”.

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

1211 Jurnal.indb 47

47
12/13/2012 6:30:14 PM

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan
Agama-agama Minoritas di Indonesia

Madinier, “neither a descriptive nor an analytical term but a prescriptive
and normative one” (2011, 1). Dalam definisi ini, maka agama lokal
seperti Kaharingan, Aluk To Dolo, Agama Djawa Sunda, dan Perbegu
tidak bisa dikategorikan sebagai agama karena tidak memiliki kitab suci
atau tidak memiliki nabi atau tidak memiliki konsep teologi yang setara
dengan Islam atau Kristen. Secara bahasa, istilah ‘agama’ itu juga telah
berubah dari definisi awalnya yang mencakup adat, moralitas, dan tradisi
secara umum menjadi sangat khusus dengan menganggap agama-agama
lokal yang telah lama ada di Indonesia sebagai kepercayaan primitive atau
animisme/dinamisme (Atkinson 1987, 175).
Tentu saja definisi di atas berbeda dari definisi seperti yang dikemukakan
oleh Clifford Geertz. Bagi Geertz agama adalah: “(1) A system of symbols
which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and
motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of existence
and (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5)
the moods and motivations seem uniquely realistic” (Geertz 1973, 90). Jika
mengikuti definisi Geertz ini, maka agama-agama lokal akan masuk
kategori agama, bukan kultus (cult) atau tradisi atau budaya semata.
Sebetulnya pemahaman agama yang prescriptive dan normative seperti
yang dipakai oleh Departemen Agama itu tidak jauh berbeda dari cara
berpikir misionaris-misionaris Barat ketika datang ke Asia dan Afrika.
Dengan menyebut berbagai daerah itu sebagai “unoccupied areas”,
tokoh missionaries Samuel Marinus Zwemer (1930) menganggap para
pemeluk agama asli di Asia dan Afrika itu sebagai orang yang tak
beragama. Pemerintah kolonial Belanda juga memiliki keyakinan yang
sama. Mereka memperbolehkan misionaris untuk menyebarkan agama
Kristen di Sumatera Utara karena masyarakat sana dianggap belum
beragama, meski di sana sudah ada agama lokal yang bernama Perbegu.
Penganut keyakinan lokal itu dianggap sebagai orang-orang pagan
semata.4 Cara pandang seperti ini adalah warisan dari “Victorian mind”
yang sangat percaya dengan teori evolusi dan menganggap monotheisme
sebagai puncak evolusi dari perjalanan keagamaan manusia sementara
polytheisme, animism, dinamisme, dan paganisme adalah tahapan belum
sempurna dari agama.
4

48
1211 Jurnal.indb 48

Sekarang ini ada trend balik kembalinya agama-agama Pagan. Paganisme diidentikkan
sebagai agama pecinta bumi dan alam semesta. Diantara tulisan tentang ini adalah
Joyce Higginbotham dan River Higginbotham (2002) dan Barbara Jane Davy (2009).

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

12/13/2012 6:30:14 PM

Ahmad Najib Burhani

Setelah Indonesia merdeka, cara pandang yang dipakai oleh pemerintah
kolonial ini diteruskan oleh orang-orang Indonesia. Para pemeluk agama
lokal boleh dijadikan rebutan oleh para misionaris agama-agama besar
seperti Islam dan Kristen. Bahkan pemerintah pada tahun 1970-an
menerapkan kebijakan untuk mengembalikan agama dan kepercayaan
lokal ke agama yang dianggap sebagai induknya. Kaharingan dan Tolotang,
misalnya, diupayakan untuk kembali ke Hindu. Sementara Wettu Telu di
Sasak, Nusa Tenggara Barat, diupayakan untuk dikembalikan ke Islam.
Karena dianggap sebagai bagian dari agama Buddha, maka agama Bodhe
di Yogyakarta selatan dan di pegunungan Nusa Tenggara Barat selalu
dijadikan sasaran Buddhaisasi.5 Meminjam kalimat Rita Smith Kipp
dan Susan Rodgers (1987, 23), “Although the people who do not ‘yet’
have agama do not face coercive pressures to convert, the government’s
message about religion surely do encourage conversion”.
Pendefinisian agama yang sangat prescriptive dan pembatasan kategori
agama hanya terbatas pada agama-agama besar itu berakibat sangat
buruk setelah peristiwa pemberontakan September tahun 1965. Karena
dianggap tidak beragama atau belum beragama, para pemeluk agama lokal
itu sering dianggap sebagai komunis atau pendukung PKI. Pandangan
ini disimpulkan dengan mengambil perbandingan orang-orang abangan
di Jawa yang banyak bergabung dengan PKI (Atkinson 1987, 178).
Karena dianggap dekat dengan komunis, maka banyak pemeluk agama
lokal itu yang menjadi korban pengganyangan PKI. Ini, misalnya, terjadi
pada pemeluk Kaharingan. Menurut Ibnu Qoyim (2004, 2), ekses
politik dari peristiwa 1965 dan pergolakan ideologi politik ketika itu
telah mendorong terjadinya konversi agama di kalangan para penganut
agama lokal. Bahkan beberapa agama lokal lantas meleburkan diri ke
dalam agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah. Kalau mereka
tetap pada keyakinan agama lokalnya, meminjam kalimat dari Kipp dan
Rodgers (1987, 23), pemerintah terus memandang mereka dengan curiga.
Hanya sedikit yang bisa bertahan dan kemudian mendapat pengakuan
sebagai agama, seperti yang terjadi pada Aluk To Dolo dan Kaharingan.
Setelah proses yang panjang, Aluk To Dolo di Toraja akhirnya diakui
sebagai agama pada tahun 1969, sementara Kaharingan di Kalimantang
Tengah mendapat pengakuan sebagai agama pada 1980 (Atkinson 1987,
268, n. 5).
5

Proses Buddhaisasi di Nusa Tenggara Barat ini dilakukan, diantaranya, dengan cara
pembangunan vihara-vihara dan pengiriman anak-anak muda daerah itu untuk
menjadi biksu-biksu baru. Lihat “Yang Beda, Yang Dibungkam,” dalam Syir’ah No. 40/IV/
Maret 2005, h. 67.

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

1211 Jurnal.indb 49

49
12/13/2012 6:30:14 PM

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan
Agama-agama Minoritas di Indonesia

Dengan melihat pemahaman tentang konsep agama di Indonesia,
terutama yang dilakukan oleh orang-orang di pemerintahan, Jane
Atkinson (1978, 177-8) lantas menyimpulkan bahwa peraturan di
Indonesia mengenai agama memiliki makna berbeda terhadap komunitas
yang berbeda. Peraturan itu cenderung berpihak kepada agama mayoritas
dan memberikan banyak sensor dan kecurigaan terhadap agama-agama
minoritas.
Selain definisi “agama”, ada persoalan lain yang berkaitan dengan
definisi, yaitu pengkategorian agama di Indonesia menjadi “agama
resmi” dan “agama tidak resmi” atau “agama yang diakui” dan “agama
yang tidak/belum diakui”. Istilah ini, misalnya, dipakai pada UU No.
23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pada awal kemerdekaan,
hanya ada tiga agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu: Islam, Kristen
atau Protestan, dan Katolik. Lantas pada tahun 1950an, agama Hindu
dan Buddha masuk dalam daftar agama yang diakui. Pada UU No. 1/
PNPS1976, ada enam agama yang diakui, yaitu: Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.
Pada PenPres 1/1965 dan UU No. 5/1969, agama Kong Hu Cu
dikeluarkan dari daftar agama yang diakui karena ketegangan hubungan
Indonesia dan China yang Komunis ketika itu (Howell 2005, 474 dan
478). Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Kong
Hu Cu kembali dimasukkan dalam daftar agama resmi berdasarkan
Keputusan Presiden No. 6/2000. Nasib yang serupa dengan agama Kong
Hu Cu dialami oleh agama Baha’i. Pada 1962, pemerintah melarang
keberadaan kelembagaan agama Baha’i di Indonesia. Pada tahun 1972,
larangan ini ditingkatkan; tidak hanya Baha’i sebagai organisasi, tapi
agama Baha’i itu sendiri dilarang di Indonesia (Alfitri 2008, 12). Tapi
pada tahun 2000, larangan ini dicabut oleh Gus Dur dengan Keputusan
Presiden No. 69/2000.
Salah satu konsekuensi dari pengakuan pemerintah itu adalah berkaitan
dengan bantuan dana dan penyelenggaraan perayaan keagamaan.
Bantuan pemerintah, terutama melalui Departemen Agama, hanya
diberikan pada agama-agama yang diakui. Perayaan hari besar keagamaan
dengan bebas atau tanpa persyaratan juga hanya boleh dilangsungkan
oleh agama-agama yang diakui. Perayaan Imlek, misalnya, tidak bisa
dilangsungkan selama Orde Baru. Seni Barongsai yang identik dengan

50
1211 Jurnal.indb 50

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

12/13/2012 6:30:14 PM

Ahmad Najib Burhani

etnis China dan agama Kong Hu Cu juga mengalami hambatan untuk
hidup. Begitu agama ini kembali diakui oleh pemerintah, maka perayaan
Imlek mendapat dukungan pemerintah dan Seni Barongsai juga bisa
ditampilkan dimana saja.

Problem pada Ortodoksi dan Heterodoksi
Dalam Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama disebutkan, “Setiap orang
dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan
atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran
tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatankegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari
agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama itu.” Dalam Pasal 4, UU ini menyebutkan bahwa mereka
yang melanggar aturan ini akan dijerat dengan KUHP Pasal 156a.
Seperti banyak diulas oleh sarjana dan aktivis, UU ini secara jelas
menyebutkan bahwa perlindungan ditujukan kepada agama, bukan
umat beragama. Padahal, seperti diulas oleh Ismail Hasani dan Bonar
Naipospos (2011, 11), “agama bukanlah subyek hukum. Seharusnya yang
wajib dilindungi adalah warga negara.” Persoalan lainnya yang berkaitan
dengan UU itu adalah berkaitan dengan siapa yang memiliki hak untuk
memberikan penafsiran yang benar terhadap agama, konsep teologi Islam
misalnya. UU itu seakan berasumsi adanya tafsir tunggal yang disepakati
secara bulat oleh seluruh umat Islam di Indonesia, tidak ada penentangan
dan perbedaan. Asumsi ini tentu saja berangkat dari lahirnya UU ini
pada tahun 1965. Seperti dipaparkan oleh Nicola Colbran (2010, 681),
UU ini lahir ketika tensi politik antara Partai NU dan PKI cukup panas.
Untuk menjaga keutuhan ideologi Nasakom (Nasionalisme, Agama,
dan Komunisme) dan demi keamanan nasional, maka pemerintah
harus menghentikan ketegangan di masyarakat akibat adanya berbagai
pelecehan agama. Dalam penjelasan UU ini juga dijelaskan bahwa
tumbuh berkembangnya berbagai aliran kepercayaan dan kebatinan. Dan
untuk mencegahnya maka UU ini perlu lahir. Menteri Agama ketika
itu, Saifuddin Zuhri, adalah yang mendesak Presiden Soekarno untuk
menyetujui UU ini.
Melihat sejarahnya itu, tentu dapat dipahami bahwa yang dimaksud
penodaan agama adalah seperti yang dilakukan anggota PKI dan yang
dimaksudkan dengan penyalahgunaan agama adalah, misalnya, pada

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

1211 Jurnal.indb 51

51
12/13/2012 6:30:14 PM

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan
Agama-agama Minoritas di Indonesia

berbagai aliran kepercayaan. Dan sepertinya umat Islam ketika itu
sepakat. Namun konteks sekarang ini menjadi sangat berbeda. Banyak
pemikiran baru yang sering dituduh sebagai penodaan agama, padahal
ia dimaksudkan pelakunya sebagai konsep pembaruan. Ini misalnya yang
dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla.
Kembali ke persoalan siapa yang berhak menjadi penentu kebenaran
sebuah penafsiran Islam atau penentu apakah sebuah ajaran orthodoks
atau tidak, Islam memiliki karakter yang sangat berbeda dari Katolik (Asad
1986; Calder 2000; Jackson 2002). Islam tidak memiliki sistem ala gereja
atau sinod. Islam, terutama Sunni, juga tidak memiliki pemimpin tertinggi
seperti Paus. Pendeknya, tidak ada institusi dalam Islam yang mempunyai
otoritas mutlak untuk menentukan mana penafsiran agama yang benar
dan mana yang salah. Pada awal abad ke-20, misalnya, Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah saling menuduh bahwa kelompok lawan
memiliki pemahaman keagamaan yang sesat, bahkan kafir. Sekarang
dua kelompok ini disebut sebagai dua model ajaran ortodoks dalam
Islam di Indonesia (Saleh 2001). Untuk saat ini, asumsinya, penafsiran
agama yang benar adalah yang disetujui oleh institusi-institusi agama
besar seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), NU, Muhammadiyah,
dan Persatuan Islam (Persis). Tapi dalam kenyataannya, dalam banyak
kasus mereka berbeda satu sama lain. Dalam kasus Syi‘ah, misalnya,
NU Jawa Timur menyebut Syi‘ah sesat sementara NU Pusat menyebut
NU tidak mengakui yang demikian itu. Pada tahun 1984, MUI Pusat
menghimbau umat Islam agar waspada terhadap paham Syi‘ah, tapi MUI
tidak menyebutnya sebagai ajaran sesat. Berbeda dengan MUI Pusat,
pada tahun 2012 MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang menyatakan
bahwa Syi‘ah adalah “sesat dan menyesatkan”. Pendeknya, karena Islam
tidak mengenal institusi resmi yang bisa memberikan kata akhir tentang
benar atau salahnya penafsiran keagamaan atau paham teologi seseorang,
maka sebuah penafsiran akan selalu menjadi subyek perdebatan.
Persoalannya menjadi rumit ketika pemerintah memutuskan menjadi
hakim atau penentu dalam perdebatan teologis dalam Islam, seperti dalam
kasus Ahmadiyah dan Syi‘ah. Untuk kasus Ahmadiyah, seperti disebut
dimuka, pemerintah mengeluarkan SKB tahun 2008 yang melarang orang
Ahmadiyah mempraktekkan dan menyebarkan keyakinan keagamaannya
karena dianggap menodai Islam. Sementara untuk kasus Syi‘ah, sikap
pemerintah tentang masalah ini seringkali dikaitkan dengan kebijakan
politik negara.

52
1211 Jurnal.indb 52

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

12/13/2012 6:30:15 PM

Ahmad Najib Burhani

Kesimpulan
Indonesia telah berupaya menjamin kebebasan beragama dan melindungi
hak-hak pemeluk agama minoritas. Selain menegaskan i’tikad itu
dalam konstitusi dan perundang-undangan yang lain, pemerintah
juga meratifikasi aturan hukum internasional, seperti ICCPR, yang
melindungi pemeluk agama-agama minoritas. Namun masih banyak
perilaku diskriminatif terhadap pemeluk agama minoritas, terutama
pada dekade terakhir ini. Ada tiga persoalan dasar yang bersifat ideologis
yang menjadi penyebab masih berlangsungnya pelanggaran hak-hak
beragama kelompok minoritas. Pertama adalah sila pertama Pancasila.
Kedua adalah paradigm berpikir tentang agama yang diskriminatif. Ketiga
adalah pemihakan pemerintah terhadap pemahaman agama ortodok.
Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sila yang bias kepada agama
monotheis, terutama Islam, dan mengeluarkan dari sila itu agama-agama
non-monotheis seperti Hindu dan Buddha. Konsep tentang “agama” yang
biasa dipahami masyarakat Indonesia, terutama pelaku pemerintahan,
banyak dipengaruhi Victorian mind yang percaya pada evolusi agama
dan tidak menganggap sebagai agama keyakinan-keyakinan lokal seperti
Kaharingan dan Permalim. Lebih lanjut dari itu, dikotomi antara “agama
resmi” dan “agama tidak resmi” atau “agama yang diakui” dan “agama
yang tidak/belum diakui” menyebabkan perlakukan yang berbeda
antara pemeluk dua jenis agama itu. Terakhir, perlindungan pemerintah
kepada agama, dan bukan pemeluk agama, menjadikan pemerintah
berpihak pada keyakinan yang diakui sebagai ortodok atau benar dan
mengorbankan pemahaman atau keyakinan yang dianggap heterodok.

vvv
Daftar Pustaka
Alfitri. “Religious Liberty in Indonesia and the Rights of “Deviant” Sects”.
Asian Journal of Comparative Law. 3.1 (2008): 1-27.
Asad, Talal. The idea of an anthropology of Islam. Washington, D.C.: Center for
Contemporary Arab Studies, Georgetown University, 1986.
Atkinson, Jane Monnig. “Religions in dialogue: the construction of an
Indonesian minority religion.” In Indonesian religions in transition, eds.
Rita Smith Kipp and Susan Rodgers, 171-86. Tucson: Arizona State
University, 1987.

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

1211 Jurnal.indb 53

53
12/13/2012 6:30:15 PM

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan
Agama-agama Minoritas di Indonesia

Bertrand, Jacques. Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. Cambridge, UK:
Cambridge University Press, 2004.
Boyle, Kevin, and Juliet Sheen. Freedom of religion and belief: a world report.
London: Routledge, 1997.
Braun, Willi, and Russell T. McCutcheon. Guide to the study of religion.
London: Cassell, 2000.
Calder, Norman. The limits of Islamic orthodoxy. In Intellectual traditions in
Islam, ed. Farhad Daftary, 66-86. London: I.B. Tauris in association
with the Institute of Ismaili Studies, 2000.
Colbran, Nicola. “Realities and Challenges in Realising Freedom of Religion
or Belief in Indonesia”. The International Journal of Human Rights. 14.5
(2010): 678-704.
Colbran, Nicola. “Indigenous Peoples in Indonesia: At Risk of Disappearing
as Distinct Peoples in the Rush for Biofuel?” International Journal on
Minority and Group Rights. 18.1 (2011): 63-92.
Crouch, Melissa. “Judicial Review and Religious Freedom: The Case of
Indonesian Ahmadis”. Sydney Law Review, 34.3 (2012): 545-572.
Davy, Barbara Jane. Paganism. London: Routledge, 2009.
Geertz, Clifford. The interpretation of cultures: selected essays. New York: Basic
Books, 1973.
Ghanea, N. 2012. “Are Religious Minorities Really Minorities?” Oxford Journal
of Law and Religion. 1.1 (2012): 57-79.
Gilani, S. Zulfiquar. “Ahmedis and the problem of national identity in
Pakistan.” In Religious minorities in South Asia: Selected essays on postcolonial situations, eds. Monirul Hussain and Lipi Ghosh, 129-46. New
Delhi: Manak Publications, 2002.
Hasani, Ismail and Bonar Tigor Naipospos. Mengatur kehidupan beragama;
Menjamin kebebasan? Urgensi kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011.
Hatta, Mohammad. Pengertian Pancasila: pidato peringatan lahirnya Pancasila,
tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. Jakarta:
Idayu Press, 1977.
Hefner, Robert W. Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia.
Princeton, NJ: Princeton University Press, 2000.
Higginbotham, Joyce, and River Higginbotham. Paganism: an introduction to
earth-centered religions. St. Paul, Minn: Llewellyn Publications, 2002.
Howell, Julia. “Muslims, the New Age and Marginal Religions in Indonesia:
Changing Meanings of Religious Pluralism”. Social Compass. 52.4
(2005): 473-493.

54
1211 Jurnal.indb 54

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

12/13/2012 6:30:15 PM

Ahmad Najib Burhani

Jackson, Sherman A. On the boundaries of theological tolerance in Islam: Abû
Hâmid al-Ghâzalî’s Fayshal al-Tafriqa bayna al-Islâm wa al-zandaqa.
Karachi: Oxford University Press, 2002.
Klinken, Gerry Van. Communal Violence and Democratization in Indonesia Small
Town Wars. Routledge, 2009.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila sebagai dasar negara: studi tentang
perdebatan dalam konstituante. Jakarta: LP3ES, 2006.
Memisoglu, Fulya. “The European Union’s Minority Rights Policy and Its
Impact on the Development of Minority Rights Protection in Greece.”
Paper prepared for the 3rd Hellenic Observatory PhD Symposium on
Contemporary Greece: Structures, Context and Challenges Hellenic
Observatory, European Institute, LSE, June 14-15, 2007.
Noorsalim, Mashudi, M. Nurkhoiron, and Ridwan Al-Makassary. Hak
minoritas: multikulturalisme dan dilema negara bangsa. Lenteng Agung,
Jakarta: Interseksi Foundation, 2007.
Picard, Michel, and Rémy Madinier. The politics of religion in Indonesia:
syncretism, orthodoxy, and religious contention in Java and Bali. Abingdon,
Oxon: Routledge, 2011.
Qoyim, Ibnu. Agama Lokal dan Pandangan Hidup: Kajian tentang Masyarakat
Penganut Religi Tolotang dan Patuntung, Sipelebegu (Parmalim), Saminisme
dan Agama Jawa Sunda. Jakarta: PMB-LIPI, 2004.
Saleh, Fauzan. Modern trends in Islamic theological discourse in 20th century
Indonesia a critical study. Leiden: Brill, 2001.
Sidel, John Thayer. Riots, pogroms, jihad: religious violence in Indonesia. Ithaca,
N.Y.: Cornell University Press, 2006.
Suaedy, Ahmad, and Rumadi. Politisasi agama dan konflik komunal: beberapa isu
penting di Indonesia. Jakarta: Wahid Institute, 2007.
Sukarno. Lahirnya Pantjasila: pidato Bung Karno, sekarang P.J.M. Presiden R.I.
pada tanggal 1 Djuni 1945 dimuka sidang jang pertama Badan Penjelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan. Jakarta: Departemen Penerangan R.I.
Penerbitan Khusus nomor 153, 1947.
Varshney, Ashutosh (ed.). Collective violence in Indonesia. Boulder: Lynne
Rienner Publishers, 2010.
Wahid, Abdurrahman. “Indonesia’s Mild Secularism”. SAIS Review. 21.2
(2001): 25-28.
Zwemer, S. M. “The unoccupied areas”. The Muslim World. 20.2 (1930.): 111119.

MAARIF Vol. 7, No. 1 — Tahun 2012

1211 Jurnal.indb 55

55
12/13/2012 6:30:15 PM