MENCARI FORMAT PEMILIHAN UMUM YANG IDEAL (1)

MENCARI FORMAT PEMILIHAN UMUM YANG IDEAL
DI INDONESIA 1
Oleh : Endang Sulastri2

Pendahuluan
Ketika kita sepakat bahwa sistem politik demokrasi menjadi sistem yang
terbaik dalam pengelolaan politik dan pemerintahan, maka terdapat beberapa syarat
dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis. Sebagaimana rumusan
dalam Konferensi Hukum Asia Tenggara dan Pasifik tahun 1965, dikemukakan
bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis
adalah : perlindungan konstitusional atas hak-hak warganegara, badan kehakiman
yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan untuk
menyatakan pendapat, kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi,
dan pendidikan kewarganegaraan. Lebih lanjut Meriam Budiardjo menyampaikan
untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga
sebagai berikut : pertama, adanya pemerintahan yang bertanggungjawab, kedua,
adanya suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan
kepentingan-kepentingan masyarakat yang dipilih melalui pemilu, ketiga, adanya
partai politik lebih dari satu, keempat, pers dan media massa yang bebas dan
kelima, adanya lembaga peradilan untuk menjamin hak-hak azasi dan
mempertahankan keadilan.3

Persyaratan demokrasi secara empirik tersebut di atas, diwujudkan melalui
proses demokrasi perwakilan. Hal ini mengingat, dalam perkembangan negara
modern, demokrasi bergeser ke unit berskala besar seperti bangsa atau negara,
sehingga persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana partisipasi secara
efektif dapat diwujudkan jika jumlah warga negara terlalu banyak dan secara
geografis terlalu tersebar luas (atau keduanya, terjadi pada beberapa negara) satusatunya solusi yang memungkinkan, demokrasi perwakilan yang diwujudkan
melalui proses pemilihan umum.
1

disampaikan dalam Lokakarya Sistem Pemilihan Umum Nasional dan Daerah Menurut UUD 1945, yang diselenggarakan
oleh Pusat Kajian Hukum dan Kemitraan Daerah (PKHKD) Univ, Jenderal Soedirman, Purwokerto, tanggal 7 Desember
2013)

2
3

Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, Anggota KPU periode 2007-2012
Meriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik , h.60-64.

Lembaga yang menjadi perwakilan rakyat ini diinstitusionalisasikan lewat

mekanisme yang kita kenal dengan demokrasi prosedural. Pemilihan Umum
(pemilu) merupakan demokrasi prosedural yang dilakukan sebagai sarana
melembagakan suara rakyat untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif. Dalam
pemilu, masyarakat sebagai individu memiliki hak politik untuk terlibat dalam
memilih pemimpinnya. Masyarakat memiliki kebebasan dan jaminan untuk
menyuarakan pilihannya. Keterlibatan masyarakat ini merupakan salah satu bentuk
partisipasi dalam proses politik.
Begitu pentingnya pemilihan umum sebagai mekanisme demokrasi
prosedural, Abdul Gaffar Karim menyatakan, bahwa sangat boleh jadi, pemilihan
umum pada taraf tertentu menjadi sebuah token of membership bagi sebuah negara
jika ingin bergabung dalam sebuah mars peradaban bernama demokrasi.4 Lebih
lanjut dikatakannya bahwa pemilu adalah salah satu ornamen paling penting dalam
modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi
pilihan yang nyaris tunggal bagi penyelenggara negara. 5
Oleh karenanya bagi negara-negara yang menginginkan disebut sebagai
negara demokrasi, maka penyelenggaraan pemilihan umum sebagai sebuah
keniscayaan. Kerap kali penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan sekedar
cara untuk menunjukkan atau mengklaim sebagai negara demokratis. Pemilihan
umum adalah tanda keanggotaan yang penting untuk dimiliki oleh banyak negara
ketika mereka ingin diakui sebagai bagian dari masyarakat demokrasi dunia.

Meskipun, dalam kondisi tertentu, seringkali sebuah prosedur demokrasi itu
membutuhkan biaya yang sangat mahal, tetapi tidak dianggap sebagai sebuah
masalah berarti mengingat kebutuhan akan identifikasi diri sebagai negara
demokratis.
Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia
Demikianpun Indonesia, sebagai negara yang telah menjatuhkan pilihan
pada demokrasi sebagai sistem politik, maka sepertinya pemilihan umum menjadi
suatu keharusan sejarah. Sejarah mencatat, Indonesia pertama kali berpengalaman
dalam penyelenggaraan pemilu pada tahun 1955 yang dianggap sebagai pemilu
yang demokratis untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante. Pemilu ini

4
5

Abdul Gaffar Karim, dalam Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: JIP FISIPOL UGM, 2009, hal.v-vi
Ibid.

dilaksanakan pada masa demokrasi parlementer di bawah kekuasaan pemerintahan
Burhanudin Harahap.
Pemilu berikutnya adalah pemilu pada masa rezim baru, yang sering

dianggap sebagai pemilu “rekayasa” dan hanya untuk kepentingan mencari
legitimasi saja. Pemilihan umum Orde Baru ini dilaksanakan untuk memilih
anggota DPR, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II. Sedangkan untuk pemilihan
Presiden dilakukan oleh MPR yang keanggotaannya terdiri atas anggota DPR,
utusan golongan maupun daerah. Sayang sekali dalam pemilihan presiden ini selalu
dikondisikan untuk calon tunggal, sehingga dianggap tidak demokratis dan penuh
rekayasa. Apalagi ketika didapatkan fakta bahwa dalam 6 kali pemilihan umum
Orde Baru terdapat dominasi pada satu kekuatan politik melalui berbagai upaya
mobilisasi dan tidak adanya sirkulasi kepemimpinan di tingkat pusat, sehingga
pemerintahan Suharto dinilai otoriter.
Pasca Suharto turun setelah gerakan reformasi pada tahun 1998, pemilu
berikutnya berhasil dilakukan pada tahun 1999. Penyelenggaraan pemilu pada
tahun ini dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota. Periode ini dikenal sebagai masa reformasi yang ingin
mengembalikan Indonesia pada sistem politik demokrasi dari sistem otoriter Orde
Baru. Pada tahun ini pemilihan Presiden tetap dilaksanakan oleh MPR, namun
nuansa demokrasi lebih kental terlihat ketika terdapat beberapa alternatif calon
Presiden, yang akhirnya memilih Gus Dur sebagai Presiden dan Megawati sebagai
wakilnya.
Tuntutan demokrasi pada masa reformasi kemudian melahirkan semangat

untuk melakukan amandemen UUD 1945 terhadap pasal-pasal yang dianggap tidak
mendukung demokrasi dan menambahkan beberapa ketentuan yang belum diatur.
Salah satu ketentuan dalam amandemen UUD 1945 adalah Presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat melalui sebuah pemilihan umum. Selain itu, amandemen juga
mengatur bahwa selain DPR sebagai lembaga perwakilan di tingkat pusat juga
terdapat lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili masing
provinsi sebanyak 4 orang.
Oleh karena itu pada tahun 2004 pemilihan umum semakin ramai, karena
disamping pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten.Kota, juga diselenggarakan untuk memilih anggota DPD dan kemudian

pada masa yang berbeda tetapi dalam tahun yang sama diselenggarakan pula
pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam amandemen UUD 1945 ini
berhasil dilaksanakan dengan cukup demokratis pada tahun 2004. Keberhasilan
pemilu Presiden secara langsung ini, mendorong adanya keinginan untuk
melakukan pemilihan langsung pula untuk pemimpin-pemimpin daerah, yang
selama ini dilakukan melalui DPRD. Keinginan tersebut terwujud dengan
disyahkannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang memberikan ketentuan pemilihan kepala daerah melalui pemilihan langsung

oleh rakyat. Maka, sejak Juni 2005 semua Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil
bupati dan walikota serta wakilnya harus dipilih secara langsung oleh rakyat yang
akan dipimpinnya. Dan mulai saat itulah masyarakat sepertinya senantiasa
disibukkan dengan penyelenggaraan pemilu.
Bagaimana sibuknya penyelenggaraan pemilu tersebut dapat digambarkan
dengan

mencoba melihat seberapa banyak pemilu kepala daerah yang harus

diselenggarakan. Dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 523 (semula 497) dan
Provinsi sebanyak 33, maka setidaknya terdapat 556 pemilukada yang harus
diselenggarakan. Karena ada ketentuan bahwa pada tahun pemilu nasional tidak
boleh diselenggarakan pemilukada, maka pemilukada dilaksanakan dalam kurun
waktu 4 tahun yang ada, sehingga dapat dihitung rata-rata setiap tahun terdapat
kurang lebih 139-an pemilukada. Dan apabila satu tahun terdiri atas 365 hari maka
rata-rata setiap 2,5 hari ada pemilihan umum. Meskipun disadari bahwa masingmasing tahun tidak mesti sama jumlah penyelenggaran pemilunya karena
tergantung pada akhir masa jabatan masing-masing kepala daerah. Untuk
memberikan gambaran yang lebih nyata, dapat diperhatikan data berikut ini: Pada
tahun 2010 terdapat 244 pemilukada yang terdiri atas 7 pemilu gubernur dan 237
pemilu bupati/walikota, tahun 2011 terdapat 84 pemilukada yang terdiri atas 5

pemilu gubernur dan 79 pemilu Bupati/ walikota; tahun 2012 terdapat 61
pemilukada dengan pemilu gubernur sebanyak 6 dan tahun 2013 sebanyak 112
dengan pemilu gubernur sebanyak 14 (data KPU, 2012).
Banyaknya pemilukada sering membuat energi kita harus tersita untuk
proses penyelenggaraannya. Setiap hari, media cetak maupun elektronik tidak
pernah lepas dari berita pemilu beserta segenap persoalan yang dihadapi. Mulai
dari bagaimana penyelenggara pemilu harus berjibaku dengan daftar pemilih,

pengajuan anggaran yang belum juga disetujui oleh pemerintah daerah, konflik
internal partai politik dalam pengusungan calon, keterlibatan PNS dalam
pemenangan calon, maraknya politik uang sampai kepada persoalan konflik dalam
penghitungan suara.
Kelemahan dan Kelebihan Pemilukada Secara Langsung
Dari penyelenggaraan pemilu kada secara langsung yang telah dilaksanakan
sejak tahun 2005 tersebut, terdapat beberapa kelemahan yang dapat dicatat. Karena
diselenggarakan secara serempak dan masif di seluruh daerah, biaya pemilukada
tidaklah sedikit. Di samping biaya secara financial yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah, partai politik dan calon, biaya politik pun, tidak murah. Mobilisasi
suara oleh berbagai tim sukses, bisa berimplikasi pada perpecahan, dan bukan
mustahil mengarah pada konflik horizontal. Sejumlah daerah telah membuktikan

asumsi di atas. Meski pun hanya terjadi di sebagian kecil wilayah Indonesia,
namun dapat melahirkan citra negatif terhadap fenomena pilkada.
Di sisi lain, terlalu seringnya penyelenggaraan pemilu juga dapat
menyebabkan kejenuhan pada masyarakat. Hal ini terbukti dalam penyelenggaraan
pemilihan umum kepala daerah terjadi kemerosotan jumlah partisipasi masyarakat.
Apabila pada pemilu legislatif 2009 tingkat partisipasi mencapai 71 % dan pemilu
presiden 72 %, maka pada pemilu kepala daerah rata-rata hanya mencapai angka
64 %. Bahkan pemilukada kota Medan pada tahun 2011 tingkat partisipasi
masyarakat hanya mencapai angka 38 %.
Apabila ditinjau dari aspek hasil pemilu secara substansial, juga terdapat
beberapa kelemahan. Karena prinsip keterbukaan, kemajemukan dan kesetaraan,
pemilukada telah melahirkan pasar politik secara bebas pula. Pemilihan terhadap
calon kepala daerah, tidak mungkin lagi dilakukan secara hati-hati dan tertutup.
Siapa saja berhak ikut dalam kontes tersebut. Akibatnya, berbagai strategi
pemenangan terbuka untuk dilakukan. Substansi demokrasi, kalah penting
ketimbang selebrasi dari para kandidat. Popularisasi dijadikan pertimbangan utama
mereka dalam memenangkan pemilihan. Pada gilirannya, pemasaran politik
(political marketing) lebih menekankan pada peningkatan popularitas daripada
mencari pemimpin yang layak dan mampu mengatasi persoalan masyarakat secara
keseluruhan. Kecenderungan seperti ini akan menghasilkan pelaksanaan demokrasi

baru pada tahap prosedural daripada substansial. Memang telah terpilih para
pemimpin

daerah

secara

demokratis,

namun

belum

ada

jaminan

atas

kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi daerahnya. Janji-janji

kampanye tetap tinggal janji, dan rakyat pemilih belum merasakan banyak manfaat
dari kepemimpinan hasil pemilukada seperti ini.
Persoalan

penting

lainnya

adalah

pemilukada

telah

melahirkan

kompleksitas tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bila di masa lalu,
karena DPRD lah yang memilih kepala daerah, bentuk pertanggungan jawab
kepala daerah dapat secara konkrit ditujukan kepada wakil rakyat tersebut. DPRD
dapat dengan langsung menggugat kepala daerah yang tidak menunjukkan

kinerjanya dengan baik, bahkan sampai melengserkannya (impeachment).
Sekarang, karena dipilih langsung oleh rakyat, kepala daerah dapat bersembunyi di
balik suara rakyat, ketika berhadapan dengan DPRD, bahkan juga terhadap pejabat
negara siapa pun, termasuk Presiden RI. Gangguan terhadap kinerja pemerintahan
daerah pun terganggu manakala sang pemenang pemilukada berasal dari calon non
partai (independen). Karena penyelenggaraan pemerintahan daerah harus
dilaksanakan bersama oleh Legislatif dan Eksekutif, maka menjadi sebuah
keharusan bila kepala daerah dan wakilnya didukung oleh kekuatan riil di lembaga
perwakilan rakyat (DPRD).
Bentuk kelemahan lainnya dalam penyelenggaraan pemilukada langsung ini
adalah ketika terjadi rivalitas antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
sebagai akibat koalisi antar dua partai atau lebih untuk pemenuhan dukungan
pasangan calon. Potensi rivalitas yang sudah dibawa semenjak proses pencalonan
ini, berangsur jadi kenyataan ketika pasangan tersebut memperoleh kemenangan
dalam pemilukada. Apa yang bisa diharapkan dari kinerja pimpinan daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan demokrasi di daerah, jika kedua tokoh itu
saling berlomba untuk mendemonstrasikan kekuasaan untuk kepentingan
pemilukada berikutnya. Data dari Kemendagri menunjukkan bahwa dari hasil
pemilu tahun 2010 diketahui ada sekitar 94% pasangan Kepala Daerah dan
wakilnya pecah kongsi pada Pemilu berikutnya.
Di luar kelemahan yang diurai sebagaimana tersebut di atas, pemilukada
secara langsung juga mengandung sejumlah kelebihan yang tidak dapat diabaikan.
Kelebihan dari pemilukada adalah sebagai berikut: Pertama, sesuai dengan
konstitusi kita yang menyatakan bahwa “kedaulatan ada di tangan rakyat”,6 model
6

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

pemilukada langsung ini sungguh-sungguh memberi penghargaan kepada suara
rakyat. Siapa pun dia, sejauh telah memenuhi ketentuan administratif, memiliki hak
yang sama dalam menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin mereka di
daerah. Dengan menggunakan prinsip OPOVOV (One Person One Vote One
Value), pemilukada mengundang partisipasi publik lewat kontes politik secara
terbuka dan massif ini.
Kedua, pemilukada memberi kemungkinan pada lahirnya pemimpin daerah
dari berbagai lapisan dan golongan dalam masyarakat. Sesuai dengan prinsip
demokrasi yang menghargai kemajemukan dan kesetaraan, siapa pun dapat
mencalonkan diri untuk ikut serta dalam pemilukada. Terutama setelah jalur
perseorangan dibuka lewat UU No 12/2008 yang merupakan hasil amandemen UU
No 32.2004 tentang Pemerintahan Daerah, prinsip tersebut telah secara legal
diakomodasi.
Ketiga, lewat pemilukada, rakyat akan secara langsung pula memperoleh
pendidikan politik. Kampanye - baik secara terbuka maupun tertutup – dari para
kandidat, akan dapat dijadikan bahan pertimbangan pemilih dalam menyerahkan
suaranya. Secara implicit pula, di sana mulai ditanamkan prinsip-prinsip
akuntabilitas dan transparansi dari pemimpin terhadap yang dipimpinnya. Kalau
pun manfaat ini masih belum dirasakan, yang pasti proses kampanye itu sendiri
seringkali disertai dengan aneka kegiatan yang bernada “vote buying”.
Mencari Format Penyelenggaraan Pemilukada ke Depan
Sejumlah sisi gelap dan sisi terang dari pemilukada seperti diungkapkan di
atas, telah menjadi sebuah keniscayaan. Karena perkembangan politik kenegaraan,
dan demokratisasi, kita tidak mungkin lagi kembali kepada cara lama yang
membatasi partisipasi politik seluruh warga secara menyeluruh, dengan menganut
prinsip-prinsip “jujur dan adil (jurdil)” serta “langsung, umum, bebas dan rahasia
(Luber)”. Ke depan yang kita butuhkan adalah rasionalisasi dan obyektivikasi dari
nilai-nilai demokrasi yang sejak awal telah dijadikan dasar kita dalam bernegara.
Dalam arti, selain secara demokratis dibenarkan, pemilukada pun harus secara
politik arif, dan proporsional dari sisi ekonomis serta efektivitas/ fungsional dari
sisi pemerintahan. Apalagi dalam kondisi masyarakat dan Negara seperti sekarang,
pertimbangan yang melihat dari sisi manfaat ekonomis atas sebuah agenda politik,
nampaknya perlu juga diperhatikan.

Bahwa praktik pemilukada mendatangkan sisi positif dan negatif, ini
merupakan sebuah keniscayaan. Tidak ada satupun sistem yang bebas dari
persoalan. Demokrasi, pada prinsipnya mengandung unsur penghargaan terhadap
perbedaan dan kompetisi. Dan permasalahan bisa bersumber dari dua hal tersebut.
Di satu sisi demokrasi mentolerir atas perbedaan yang ada dan juga memberikan
ruang yang luas terjadinya kompetisi, namun pada sisi yang lain kadang
menimbulkan kerunyaman tersendiri, bahkan pada tataran terbatas bisa
menimbulkan kegaduhan politik. Oleh karena itu, sebagaimana politik pada
umumnya, proses yang demokratik pun tidak mustahil dapat menciptakan konflik,
di samping konsensus. Apalagi untuk masyarakat yang belum terlalu lama
dibiasakan untuk berbeda pendapat seperti kita saat ini, tidak terlalu mengherankan
bila praktik demokrasi ini membawa pada polarisasi antar kekuatan yang ada
dalam masyarakat.
Akan tetapi, karena kita telah sepakat untuk memilih demokrasi sebagai
sistem politik yang diharapkan dapat meneruskan proses state formation –
memelihara persatuan dan kesatuan – maka bukan kembali ke sistem otoriter atau
feodalistik yang harus dijadikan solusinya, melainkan memperbaiki kualitas
demokrasi yang mesti dipilih. Untuk itu, penyelenggarakan pemilu di Indonesia
sebagai pengejawantahan demokrasi prosedural

ke depan perlu dirumuskan

kembali.
Pertama, terkait dengan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilukada maka
penyelenggaraan pemilu secara serentak patut untuk dipertimbangkan. Apabila
pada saat ini pemilu legislatif diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD
dan DPRD Provinsi maupun DPRD Kab/Kota, dengan empat jenis surat suara,
maka penyelenggara pemilu tidak akan kesulitan apabila pemilu Presiden dan
wakil Presiden diselenggarakan bersamaan dengan pemilu Gubernur dan pemilu
Bupati/walikota, apalagi surat suara untuk pemilu kepala pemerintahan (eksekutif)
ini lebih sederhana dibandingkan surat suara untuk pemilu legislatif.a. Pelaksanaan
pemilu serempak ini, disamping untuk efisiensi dalam penyelenggaraan karena
adanya penghematan untuk honor penyelenggara pemilu yang jumlahnya cukuyp
besar, juga dimungkinkan adanya konsistensi koalisi partai politik pengusung
Presiden dan kepala-kepala daerah. Konsistensi koalisi ini membuat koordinasi
antara pusat dan daerah lebih mudah dilakukan. Dalam upaya mencegah konflik
sosial melalui mobilisasi massa antar daerah, penyelenggaraan pemilu serentak

juga bisa menjadi salah satu solusi. Bahkan, pemilu serentak juga memberikan
ruang untuk optimalisasi petugas keamanan secara nasional dan akan menghemat
energi dan perhatian dalam menyikapi kegaduhan politik sebagai akibat atas
penyelenggaraan pemilu. Bagi masyarakat, pemilu serentak juga mengurangi
kejenuhan dalam mengikuti pesta demokrasi.
Terkait pemilihan umum serentak ini, terdapat beberapa pendapat yang
lebih menyetujui apabila keserentakan pemilu didasarkan atas pemilu nasional dan
daerah, dimana pemilu nasional dilaksanakan untuk memilih Presiden, DPR dan
DPD secara serentak, baru kemudian ada pemilu daerah untuk memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota. Alasan
yang dikemukakan dalam penyelenggaraan pemilu seperti ini adalah diharapkan
ada konsistensi pilihan partai dengan pilihan eksekutifnya sehingga efektifitas
pemerintahan lebih bisa dijaga dengan asumsi mayoritas anggota dewan berasal
dari partai yang sama dengan eksekutif yang terpilih. Namun perlu disadari,
dengan sistem pemilihan umum legislatif yang bersifat proporsional terbuka, tetap
memberi ruang bagi masyarakat untuk memilih wakil rakyat yang berasal dari
partai politik berbeda dengan partai politik pengusung kepala pemerintahannya.
Masing-masing format pemilukada –baik serentak untuk pemilu legislatif dan
eksekutif maupun serentak untuk pemilu nasional dan daerah- memiliki kelebihan
dan kelemahan masing-masing, tetapi pelaksanaan pemilu serentak merupakan
salah satu alternatif yang perlu dipikirkan untuk pelaksanaan pemilu ke depan.
Kedua, dalam upaya untuk perbaikan kualitas pemilu secara substansi,
maka Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah atau Pemilu Kepala Daerah
harus mencantumkan syarat yang bisa diukur terkait kualitas calon yang diajukan
oleh partai politik. Disamping itu perlu diatur pula tentang kampanye politik yang
lebih mengutamakan kampanye dialogis, interaktif dalam rangka mendukung
proses pendidikan politik daripada cara kampanye yang lebih mengutamakan
mobilisasi suara dan popularitas seperti saat ini. Ketentuan mengenai dana dan cara
kampanye, pada khususnya, mesti dirumuskan secara eksplisit dengan tujuan untuk
menghindari pemborosan dan pesta demokrasi yang tidak berurusan dengan
peningkatan kualitas demokrasi.
Ketiga, pengaturan terhadap proses pencalonan. Berdasarkan pengalaman
pemilukada beberapa periode ini, dimana terjadi rivalitas politik antara Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka dalam pemilukada ke depan perlu

dipikirkan bahwa calon yang diusung partai politik hanya untuk Kepala Daerah
saja, sedangkan Wakil Kepala Daerah berasal dari jabatan karier yang memenuhi
syarat eselonisasi. Selain itu, perlu adanya aturan yang lebih jelas dan tegas terkait
dengan pembagian tugas dan kewenangan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala
daerah.
Keempat, Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemilukada mesti
ditujukan untuk lebih memberdayakan daerah dalam menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri. Dengan demikian, pelaksanaannya, mesti lebih efisien dan
efektif.

Sementara

dalam

kaitannya

dengan

efektivitas

penyelenggaraan

pemerintahan, pemilukada tidak boleh melahirkan defisit demokrasi, di mana
DPRD tidak dapat dengan efektif mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan
kinerja kepala daerahnya, dengan alasan kepala daerah pun dipilih secara langsung
oleh rakyat. Bahkan karena dipilih oleh sebagian besar konstituen di daerahnya,
mereka merasa lebih memiliki legitimasi ketimbang anggota DPRD yang dipilih
dan mewakili daerah tertentu.
Kelima, dalam upaya kelancaran pelaksanaan pemilukada serentak dan
untuk menghindari politisasi anggaran oleh pasangan calon petahana, maka sudah
semestinya seluruh anggaran pemilu disiapkan pemerintah pusat yang bersumber
dari APBN. Hal ini dilakukan untuk menghindari bargaining politik dalam proses
pencairan anggaran oleh penyelenggara pemilu dengan pemerintah daerah.
Keenam, seandainya pemerintah provinsi lebih mencerminkan fungsi
dekonsentrasi ketimbang desentralisasi, maka terlalu mahal bila gubernur dan
wakilnya dipilih melewati pemilukada seperti sekarang.

Jika DPRD Provinsi

masih diperlukan, maka merekalah yang mesti memilih dan mengawasi pihak
eksekutif. Dengan demikian, sebagian anggaran pemerintah yang mestinya
dibelanjakan untuk pemilihan gubernur, dapat dimanfaatkan untuk keperluan
lainnya yang secara langsung dirasakan masyarakat. Hal ini dimungkinkan
mengingat UUD tidak secara eksplisit memerintahkan pemilukada dilaksanakan
secara langsung. Dalam pasal 18 UUD 1945 hanya menjelaskan bahwa Gubernur,
Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis
Penutup
Apapun format pemilu yang akan kita pilih, setidaknya kita tidak boleh
meninggalkan esensi demokrasi yang telah kita perjuangkan sejak bangsa ini
diproklamirkan bahkan telah ada nilai-nilainya yang tertanam dalam masyarakat

sebelum bangsa ini merdeka. Demikian, beberapa pandangan yang dapat
disampaikan dalam lokakarya ini, semoga memberi manfaat dan dapat menjadi
bahan diskusi.

DAFTAR BACAAN
Aspinall, Edward dan Greg Fealy., eds. Local power and politics in Indonesia.
Singapore: ISEAS, 2003
Budiarjo, Meriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000
Crook, Richard C., and Manor, James, Democracy and Decentralization in South Asia
and West Asia. Cambridge: Cambridge UP., 1998.
Haris, Samsuddin, ed., Pemilu Langsung di tengah oligarki partai. Jakarta: Gramedia,
2005
Hill, Dilys M., Democratic Theory and Regional Government, London: George Allen
and Unwin Ltd., 1974.
Lipset, Seymour Martin dan Jason M. Lakin, The Democratic Century. Norman:
University of Oklahoma Press, 2004.
Niessen, Nicole, Municipal Government in Indonesia, The Netherlands: Research
School CNWS, 1999
Pamungkas, Sigit, Perihal Pemilu, Yogyakarta: JIP FISIPOL UGM, 2009
Powell, Bingham G., Jr., “Election as of Democracy: majoritarian and Proportional
Visions. New Haven: Yale University Press, 2000
Smith, BC., Decentralization in the Territorial Dimension of the State, London:
George Allen and Unwin, 1985.
Surbakti, Ramlan, “Pemilu Kepala Daerah dan Calon perseorangan: Urgensinya
dalam Demokrasi”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 26 Tahun 2008 hlm. 15-23
Tomagola, Tamrin Amal, “Polarisasi Politik Lokal dan Konflik Pilkada”, Jurnal Ilmu
Pemerintahan, ibid., hlm. 38-48.
Wanggai, Velix, Ideas, Power and Policy-Making: The Politics of decentralization
Reform in Indonesia’s transition, 1998-2006.