Studi Deskriptif Mengenai Kesejahteraan Psikologis Pada Guru Honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) Kota Bandung.

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kesejahteraan psikologis pada guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 135 orang.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner yang diterjemahkan dan dimodifikasi dari The Ryff Scales of Psychological Well-Being (SPWB, 1989) dari Carol Ryff. Jumlah item yang terdapat dalam kuesioner tersebut adalah 84 item dan dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan perhitungan statistik. Setelah dilakukan pengujian validitas didapatkan sejumlah 51 item valid dengan rentang validitas antara 0,021 sampai dengan 0,675. Reliabilitas dari alat ukur ini adalah sebesar 0,859.

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai kesejahteraan psikologis pada guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung, sebagian besar menunjukkan persentase yang tinggi pada 5 dimensi. Dimensi-dimensi tersebut yaitu self-acceptance (80%), purpose in life (73,3%), personal growth (54,1%), environmental mastery (74,1%), dan positive relations with others (76,3%). Sedangkan dimensi autonomy menunjukkan persentase yang rendah, yaitu 40%. Dimensi-dimensi tersebut cenderung terkait dengan data sosio-demografis yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, status marital, dan masa kerja.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengajukan saran bagi peneliti lain untuk lebih mempertajam data sosio-demografis, dengan demikian akan dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif untuk ditindaklanjuti. Bagi ketua AGHI kota Bandung, peneliti menyarankan untuk terus memberi dukungan dan motivasi kepada anggota-anggotanya dalam menyuarakan pendapat mengenai harapan dan cita-cita terkait dengan usaha memeroleh pengangkatan status. Peneliti juga menyarankan subjek untuk tetap mengabdi dan menjalani profesi ini dengan segala kesungguhan demi mendidik putra-putri harapan masa depan bangsa.


(2)

v DAFTAR I SI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL………...ix

DAFTAR BAGAN……… x

DAFTAR GRAFIK………...xi

DAFTAR LAMPIRAN………...…...xii

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang Masalah ...1

1.2. Identifikasi Masalah ...12

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ...13

1.4. Kegunaan Penelitian ...13

1.4.1. Kegunaan Teoretis ...13

1.4.2. Kegunaan Praktis ...13

1.5. Kerangka Pemikiran ...14

1.6. Asumsi ...22

BAB 2 TINJAUAN TEORI ...24

2.1 Psychological Well Being atau Kesejahteraan Psikologis ...24


(3)

2.1.2 Dimensi dari Kesejahteraan Psikologis ...25

2.1.3 Faktor yang memengaruhi Kesejahteraan Psikologis...30

2.2 Dewasa Awal ...32

2.2.1 Pengertian Dewasa Awal ...32

2.2.2 Karier dan Pekerjaan ...33

2.3. Guru ...34

2.3.1 Definisi Guru ...34

2.3.2 Peran dan Tugas Guru...34

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ...37

3.1 Rancangan Penelitian ...37

3.2. Variabel Penelitian, Definisi Operasional, dan Definisi Konseptual ...38

3.2.1. Variabel Penelitian ...38

3.2.2. Definisi Konseptual ...38

3.2.3. Definisi Operasional ...38

3.3. Alat Ukur ...40

3.3.1 Kuesioner Well-Being ...40

3.3.2 Sistem Penilaian ...41

3.3.3 Data Sosio-demografis ...42

3.3.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ...42


(4)

viii

3.4.1 Populasi ...45

3.4.2 Karakteristik Sampel...45

3.4.3 Teknik Penarikan Sampel ...45

3.5 Teknik Analisis Data ...45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...47

4.1 Gambaran Umum Responden...47

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ...47

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...48

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan ...48

4.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Status Marital ...49

4.1.5 Gambaran Responden Berdasarkan Masa Kerja ...49

4.2 Gambaran Hasil Penelitian ...50

4.3 Pembahasan ...51

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...58

5.1 SIMPULAN ...58

5.2 SARAN...59

5.2.1 Saran untuk penelitian lanjutan ...59

5.2.2 Saran Praktis...59

DAFTAR PUSTAKA... 60


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur………40

Tabel 3.2 Sistem Penilaian…..………...41

Tabel 3.3 Kriteria Reliabilitas Alat Ukur………...44

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia...47

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...48

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan………48

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Status Marital...……….….49


(6)

x

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran...22 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian...37


(7)

DAFTAR GRAFIK


(8)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Profil Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) Lampiran 2: PP No. 48 tahun 2005

Lampiran 3 : Kisi-kisi Alat ukur Lampiran 4: Informed concent

Lampiran 5: Kuesioner pengambilan data Lampiran 6: Validitas dan reliabilitas Lampiran 7: Data responden

Lampiran 8 : Skor masing-masing responden Lampiran 9: Tabulasi Silang


(9)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dunia pendidikan merupakan wadah bagi para peserta didik untuk mendapatkan pembelajaran dan pengembangan pengetahuan juga keterampilan. Dunia pendidikan tidak hanya melibatkan peserta didik, tetapi juga melibatkan pendidik yang kemudian terjadi interaksi di antara keduanya. Interaksi tersebut meliputi proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik atau guru dan peserta didik atau siswa, dalam suatu konteks tertentu.

Guru merupakan profesi yang memiliki tanggung jawab besar, karena memiliki tuntutan tidak tertulis berupa menjadikan siswa didiknya berhasil dalam bidang akademik maupun nonakademik, dan menjadi suri tauladan bagi masyarakat pada umumnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan bahwa guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar. Dalam pasal 1 Undang-undang No. 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi apeserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. (http://hafismuaddab.wordpress.com/ , diakses 25 April 2012)

Sebagaimana diungkapkan di atas, guru sebagai pendidik merupakan figur yang hendaknya dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Selain memberikan


(10)

2

pengetahuan dan keterampilan, guru juga menanamkan nilai-nilai kepada siswa dalam rangka mengembangkan potensi diri dan pembetukan kepribadian para siswa. Secara disadari atau tidak, perilaku guru dalam keseharian akan diamati oleh siswa-siswanya, yang bukan tidak mungkin akan ditirunya juga pada suatu saat.

Profesi sebagai guru merupakan suatu pilihan hidup seseorang. Upaya guru dalam mendidik, membimbing, mengajar serta melatih siswa didik bukanlah hal yang mudah, karena di balik profesi itu dibutuhkan keseriusan, pengalaman, serta sikap profesional. Guru perlu mengorganisasikan materi yang tercakup dalam pokok pembelajaran sehingga dapat menjadi materi yang mudah dipahami oleh siswa didiknya. Dengan demikian, untuk dapat menjadi seorang guru dibutuhkan kemampuan dan kompetensi, kesediaan berkorban, serta sabar dan berdedikasi tinggi dalam menjalankan tugasnya.

Di Indonesia, ada guru yang berstatus honorer. Berbeda dengan guru tetap yang telah memiliki status minimal sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dan telah ditugaskan di sekolah tertentu sebagai instansi induknya dengan kewenangan khusus yang bersifat menetap, guru honorer berstatus tidak tetap atau belum CPNS, dengan sistem honorarium berdasarkan jumlah jam mengajar perhari. Tidak jarang para guru honorer memperoleh honor secara tidak rutin, dengan besaran yang cenderung di bawah Upah Minimum Regional (UMR). (id.wikipedia.org/wiki/Guru , diakses 30 April 2012)

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi para guru honorer ini tetap bertahan dengan pekerjaannya. Alasan yang paling utama adalah besarnya


(11)

harapan bahwa suatu saat kelak guru honorer ini dapat diangkat menjadi CPNS melalui jalur honorer, atau menunggu peluang untuk mengikuti dan lulus tes CPNS melalui formasi umum yang diselenggarakan pihak pemerintah.

Telah banyak cerita memilukan tentang ‘nasib’ para guru honorer di negeri ini, terutama guru honorer yang memperoleh penempatan di daerah terpencil. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tidak jarang yang menjadi ‘pengojeg’ atau melakukan pekerjaan serabutan di luar jam mengajar. Padahal sebagai seorang pendidik, guru honorer memiliki beban tugas dan tanggung jawab yang sama beratnya dengan guru tetap.

Sudah menjadi rahasia umum apabila guru honorer memang menghadapi kenyataan yang memrihatinkan. Dimulai dari tingkat penghasilan yang tidak menentu, atau kalaupun memperoleh penghasilan namun sangat jauh di bawah standar kewajaran. Para guru honorer sama sekali tidak memperoleh tunjangan-tunjangan yang disediakan oleh pemerintah sebagaimana yang diterima oleh para guru tetap. Guru honorer memang cenderung terabaikan, padahal sebagai manusia biasa guru honorer tentu saja perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kecukupannya secara ekonomi, kesejahteraan pribadi dan keluarga. Dengan demikian guru honorer dapat menjalani kehidupan dengan wajar karena pada akhirnya kesejahteraan itu akan berujung pada optimalisasi kinerja terkait dengan profesinya sebagai pendidik karena tidak lagi dihantui oleh keterbatasan-keterbatasan akibat penghasilan yang tidak menentu.

Berdasarkan lingkungan kerjanya, para guru honorer dipekerjakan di sekolah-sekolah, bergabung dengan guru PNS. Apabila dilihat berdasarkan beban


(12)

4

tugasnya, guru honorer seringkali diberi beban tugas lain di luar beban mengajar, misalnya diberi tugas administrasi yang seharusnya dikerjakan oleh tata usaha sekolah, atau menggantikan guru tetap yang berhalangan mengajar. Beban tugas tambahan ini tidak dapat ditolak karena memersepsi sebagai guru honorer harus bersedia memberikan kontribusi positif bagi operasionalisasi sekolah.

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, guru honorer sangat berharap suatu saat dapat diangkat sebagai PNS, karena sebagai PNS akan menjamin diraihnya kesejahteraan dan penerimaan hak-haknya secara penuh. Selain itu ada semacam reward secara sosial, yaitu menjadi guru PNS lebih terpandang di mata masyarakat.

Berdasarkan gambaran keadaan di atas, para guru honorer membentuk suatu wadah yang dinamakan Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI). Latar belakang dibentuknya AGHI dipicu oleh kurangnya persatuan dan kesatuan guru honorer dalam memperoleh informasi mengenai peraturan, jadwal, dan proses yang harus dilalui oleh guru honorer saat ingin memroses status sebagai PNS. AGHI dipandang dapat mempermudah tersebarnya informasi yang diperlukan kepada guru-guru honorer. Visi dan misi AGHI ini adalah mempererat silaturahmi antar semua guru honorer di Bandung dengan cita-cita utama yaitu diangkatnya guru-guru honorer menjadi PNS. Anggota AGHI di Bandung ada yang bekerja di sekolah swasta dan sekolah negeri, yang terdiri atas para guru honorer di TK, SD, SMP dan SMA di Kota Bandung. Anggota AGHI yang dapat diangkat menjadi PNS yaitu guru honorer yang bekerja di sekolah negeri, sedangkan yang bekerja di sekolah swasta tidak dapat diangkat menjadi PNS.


(13)

Dalam pengabdiannya sebagai pengajar dan tergabungnya guru honorer dalam AGHI Bandung, harapan utamanya tidak lain adalah untuk memperoleh pengakuan dari pihak pemerintah yaitu diangkat sebagai PNS. Selain itu selama guru honorer ini masih berstatus honorer, berharap agar asosiasi tempatnya bernaung ini dapat memperjuangkan besarnya penghasilan agar tidak berada di bawah standar UMR.

Untuk mendapatkan status sebagai PNS, guru honorer harus menjalani serangkaian tahap sebagai prasyarat dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Sebelum menjadi PNS, guru honorer yang dianggap telah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan sesuai peraturan Menpan nomor 5 tahun 2010 dapat mengajukan diri untuk mengikuti tes CPNS. Bagi yang lulus, berstatus CPNS.

Setelah berstatus CPNS, tahap selanjutnya untuk menjadi PNS harus memenuhi beberapa persyaratan dan menjalani masa percobaan dalam waktu sekurang-kurangnya satu tahun. Persyaratan yang harus dijalani ditentukan oleh dinas pendidikan kota bersangkutan yang kemudian disampaikan pada sekolah-sekolah untuk memberikan tugas-tugas kepada guru CPNS yang dipekerjakan di sekolah masing-masing. Jika berhasil memenuhi seluruh persyaratan dan mampu menjalankan tugas-tugas yang diberikan dengan baik dalam selama satu tahun, kepala sekolah akan mengajukan kepada Dinas Pendidikan setempat untuk pengangkatan sebagai PNS.

Selain itu, adanya batasan usia dan masa kerja yang ditentukan oleh pemerintah menjadi syarat bagi guru honorer yang akan diangkat menjadi PNS. Hal ini juga merupakan salah satu masalah yang dialami oleh guru honorer


(14)

6

karena setelah bertahun-tahun mengabdi tetapi tidak kunjung mendapat pengakuan status sebagai PNS. Pengangkatan guru honorer didasarkan pada usia paling tinggi 46 tahun dan mempunyai masa kerja 20 tahun atau lebih secara terus menerus (PP no.8 tahun 2005). Semakin bertambahnya usia dan masa kerja yang dijalani, maka semakin kecil peluang bagi guru honorer untuk diangkat sebagai PNS. Dalam pelaksanaannya, terdapat guru honorer yang sudah memenuhi syarat tetapi masih tetap hanya diperbolehkan berdasarkan Surat Keputusan dari kepala sekolah dari sekolah yang menerima guru honorer tersebut.

Bergabungnya para guru honorer ke dalam AGHI Bandung sekaligus mencerminkan wujud perjuangan guru honorer agar mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Dalam kenyataannya, banyak di antara guru honorer yang sudah memenuhi semua persyaratan namun belum juga dapat diangkat menjadi PNS padahal sudah mengabdi selama bertahun-tahun.

Dari hasil survei dengan cara FGD ( Focussed Group Discussion ) yang melibatkan 10 orang guru honorer anggota AGHI, diperoleh pelbagai gambaran tentang keadaan guru honorer. Diawali dengan gambaran mengenai alasan guru honorer memilih profesi guru, karena ingin melakukan pengabdian dalam bentuk pengamalan ilmu kepada peserta didik. Alasan lainnya karena panggilan hati, desakan orangtua, berlatarbelakang keluarga yang kebanyakan berprofesi sebagai guru, memiliki ijasah ilmu kependidikan, mengisi waktu luang (bagi guru wanita), serta bekerja berdasarkan amanat yang terdapat dalam PP 48/2003 jo PP 43/2007 bahwa semua guru bantu atau guru honorer akan diangkat menjadi CPNS.


(15)

Pertanyaan yang terkait dengan alasan para guru honorer tetap mempertahankan statusnya, diperoleh jawaban karena terdorong untuk mempertahankan predikat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa mengingat guru merupakan profesi yang mulia. Selain itu, ada kecenderungan beberapa di antaranya mengutamakan statusnya sebagai guru sekalipun keuntungan finansialnya tidak sepadan karena faktor usia yang sudah tidak layak dan tidak dapat bekerja di tempat lain selain sebagai guru.

Pertanyaan tentang perasaan yang dihayati sebagai guru honorer, diperoleh jawaban bahwa secara umum para guru honorer merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak sekolah ataupun peraturan pemerintah padahal dalam menunaikan kewajibannya sebagai pengajar para guru honorer memiliki loyalitas yang bisa dikatakan lebih tinggi bila dibandingkan guru PNS. Guru honorer menilai banyak hak-haknya yang dibatasi, seperti tidak dapat memegang jabatan penting. Para guru honorer juga terkadang merasa diperlakukan secara tidak adil karena pada kenyataannya masih sering terjadi ada guru yang langsung diangkat sebagai PNS padahal belum lama menyelesaikan pendidikannya, sementara guru honorer yang sudah bertahun-tahun mengabdi tetapi statusnya tidak kunjung berubah. Selain itu para guru honorer sering merasa dirugikan dengan adanya peraturan pemerintah yang berubah-ubah, misalnya saat ganti kabinet maka kebijakan pun diganti dan para guru honorer harus kembali memerjuangkan statusnya dari titik yang paling awal. Padahal,di sisi lain, guru honorer merasa bangga karena memiliki kesempatan untuk menjalankan tugas mulia sebagai pendidik.


(16)

8

Selama menjalankan pekerjaannya, para guru honorer memiliki banyak pengalaman positif dan pengalaman negatif. Pengalaman positif antara lain merasa berharga di mata masyarakat karena profesi guru masih dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dengan tugas mulia, sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak membedakan status antara guru honorer atau guru tetap sehingga sering juga memosisikan guru honorer sebagai figur yang dihormati. Relasi antar guru honorer yang dekat dan kekeluargaan satu sama lain dirasakan sebagai pengalaman positif oleh para guru honorer.

Di pihak lain, ditemukan juga adanya hal-hal yang dihayati sebagai pengalaman yang kurang menyenangkan oleh para guru honorer. Misalnya tidak mendapat jaminan sosial dan tunjangan struktural karena tidak memiliki payung hukum yang jelas untuk melindungi kesejahteraan guru honorer. Para guru honorer tidak mendapat asuransi kesehatan sebagaimana yang didapatkan oleh setiap PNS. Jika para guru honorer mengalami gangguan kesehatan, maka harus membiayainya sendiri padahal kondisi keuangan terbatas, tidak jarang pula ada diantara guru honorer yang terpaksa harus meminjam uang kepada rentenir untuk memenuhi kebutuhan mendesak karena mengalami kesulitan terkait persyaratan jika ingin meminjam uang kepada bank atau koperasi. Para guru honorer juga tidak mendapatkan tunjangan-tunjangan kesejahteraan lainnya (berbeda dengan guru PNS). Selain itu, para guru honorer mengalami kesulitan negosiasi jika ada anaknya yang akan memasuki jenjang pendidikan SMP atau SMA karena guru honorer tidak memiliki NIK (Nomor Induk Kepegawaian), sedangkan guru PNS lebih mudah dalam hal tersebut.


(17)

Tugas-tugas yang dijalani oleh para guru honorer sesungguhnya tidak berbeda dengan tugas-tugas guru PNS, bahkan terkadang berlebih. Tugas mengajar dilaksanakan sejak pukul 07.00 hingga pukul 14.00 namun terkadang masih harus mengerjakan tugas di luar jam kerja itu. Para guru honorer diperlakukan sebagai guru cadangan untuk menggantikan tugas guru tetap yang berhalangan mengajar. Tugas ‘tambahan’ itu sesungguhnya tidak dapat ditolak untuk menghindari sanksi dari pihak kepala sekolah, misalnya secara sepihak memutuskan hubungan kerja guru honorer tersebut. Hal tersebut dirasakan sebagai kelebihan juga kekurangan oleh para guru honorer karena dapat menjalankan semua tugas yang diberikan oleh sekolah dengan baik walaupun tidak sesuai dengan tugas yang seharusnya dikerjakan.

Pengalaman-pengalaman apa pun dari para guru honorer tidak dengan serta-merta memengaruhi standar kualitas pembelajaran yang ditugaskan kepadanya karena semua yang dijalani merupakan kewajiban sebagai guru sehingga harus mau menjalani semuanya dengan ikhlas dan sabar sambil berjuang menghidupi keluarga. Para guru honorer juga menganggap tugas-tugas yang dijalankan sebagai guru merupakan amal ibadah.

Harapan utama yang dimiliki oleh para guru honorer untuk ke depan adalah memperoleh hak-haknya atas tugas-tugas yang telah dijalani sekian lama, berupa pengangkatan dari status guru honorer menjadi guru PNS. Meskipun para guru honorer masih dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan melakukan berbagai cara tetapi tetap berpengharapan besar bahwa suatu saat kelak akan dapat mengubah tingkat kesejahteraan hidup dan penghasilan.


(18)

10

Sesungguhnya, para guru honorer memiliki kepuasan batiniah karena melalui profesinya sebagai guru dirinya dapat memberikan ilmu kepada peserta didik. Sumber ketidakpuasannya adalah merasa tidak kunjung memperoleh penghargaan yang sepadan setelah sekian lama berkorban dan menunggu berubahnya kesejahteraan secara menyeluruh. Pada kenyataannya para guru honorer memeroleh honor jauh di bawah standar upah minimun selain terkadang honor itu tidak diterimakan setiap bulan, misalnya baru menerima honor setelah tiga bulan menjalankan tugas. Untuk menanggulangi kebutuhan hidup maka para guru honorer harus meminjam uang ke berbagai tempat. Jalan ke luar yang ditempuh oleh para guru honorer dalam menyikapi ketidakpuasan tersebut yaitu dengan mencari pekerjaan sampingan misalnya memberi les privat atau berjualan, seraya juga dengan tulus ikhlas dan mensyukuri semua yang dijalani meskipun banyak tekanan dan desakan kebutuhan hidup.

Para guru honorer memiliki satu tujuan yang sama yaitu berharap mendapatkan status sebagai guru PNS. Rencananya, para honorer yang tergabung dalam AGHI ini adalah terus-menerus memerjuangkan payung hukum dan menekan pemerintah untuk memerhatikan nasib guru honorer.

Keadaan-keadaan para guru honorer sebagaimana dipaparkan di atas dapat berdampak pada munculnya ketidaknyamanan dan memengaruhi penghayatan terhadap kehidupannya dalam menjalani peran sebagai guru honorer. Menurut Carol Ryff (1989), bagaimana seseorang memandang kualitas kehidupannya serta mengevaluasi dirinya sendiri disebut sebagai psychological well-being atau kesejahteraan psikologis. Usaha para guru honorer agar mendapat pengakuan dari


(19)

pemerintah berupa pengangkatan status dari guru honorer menjadi guru tetap atau PNS merupakan bentuk dari perjuangan guru honorer untuk memperoleh tingkat kehidupan yang lebih sejahtera karena dengan memperoleh status sebagai PNS, para guru honorer akan mendapatkan hak-haknya secara utuh dan juga honor yang tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989).

Kesejahteraan psikologis memiliki enam dimensi. Dimensi-dimensi tersebut yaitu penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), tujuan hidup (purpose in life), pertumbuhan pribadi (personal growth), penguasaan lingkungan (environmental mastery) dan otonomi (autonomy) (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri.

Setelah melihat ke enam dimensi, kesejahteraan psikologis memiliki dampak bagi kehidupan seseorang, termasuk pada guru honorer. Kebahagiaan dan kepuasan hidup dirasakan lebih besar ketika individu mengalami pengalaman


(20)

12

membina hubungan dengan orang lain dan merasa menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu, dapat menerima dirinya sendiri, dan memiliki makna dan tujuan dari hidup yang mereka jalani (Ryff dan Singer dalam Steger, Kashdan & Oishi, 2007). Bila dilihat dari sudut pandang kebahagiaan, salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan adalah bagaimana individu memandang dan memaknai peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya (Diener,1984; Heady et al, 1985; Heady & Wearing, 1989 dalam O’Connor, 1993). Dikatakan pula bahwa semakin bahagia seseorang maka ia juga akan semakin merasa puas dengan hidupnya. Begitu pula guru honorer yang menghayati bahwa hidupnya sejahtera akan merasa bahagia dan puas dalam kehidupannya dengan menjalani pekerjaan dan pengabdiannya sebagai pendidik, yang kemudian dapat meningkatkan motivasi serta memaksimalkan kinerja dan potensi sebagai guru.

Penghayatan setiap orang mengenai kehidupannya pasti berbeda, begitu juga pada guru honorer yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kesejahteraan psikologis pada guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung.

1.2. Identifikasi Masalah

Melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui seperti apakah gambaran kesejahteraan psikologis pada guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung.


(21)

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini bermaksud memperoleh gambaran kesejahteraan psikologis pada guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung, dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan keenam dimensi-dimensinya.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis

 Memberikan informasi bagi ilmu Psikologi Pendidikan mengenai kesejahteraan psikologis pada guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung.

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai kesejahteraan psikologis, khususnya pada guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung. 1.4.2. Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi mengenai kesejahteraan psikologis pada guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung agar dapat mengevaluasi, introspeksi dan melakukan pengembangan diri pada dimensi kesejahteraan psikologis yang masih perlu ditingkatkan.

 Memberikan informasi kepada pengurus AGHI kota Bandung mengenai kesejahteraan psikologis guru honorer di AGHI kota Bandung untuk menjadi pertimbangan dalam upaya memberi dukungan kepada anggota AGHI kota Bandung tersebut sehingga


(22)

14

dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis guru honorer di AGHI kota Bandung terutama pada dimensi yang masih kurang.

 Memberikan informasi kepada pengurus AGHI kota Bandung mengenai kesejahteraan psikologis guru honorer di AGHI kota Bandung sebagai pertimbangan untuk mengadakan lebih banyak kegiatan positif sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis guru honorer di AGHI kota Bandung terutama pada dimensi yang masih kurang.

1.5. Kerangka Pemikiran

Dalam kehidupan manusia akan mengalami tahapan-tahapan perkembangan tertentu. Di setiap tahap perkembangan setiap orang memiliki tugas tersendiri. Tahap perkembangan dimulai dari masa konsepsi, kemudian kelahiran, anak-anak, remaja, dewasa hingga akhir hayatnya. Kajian yang akan diteliti kali ini adalah guru honorer yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal, yang memiliki rentang usia antara 20-40 tahun (Santrock, 2004). Salah satu tugas perkembangan seseorang yang telah memasuki masa dewasa adalah memasuki dunia kerja dan karier. Seseorang mulai mengeksplorasi kemungkinan karier yang ada dan harus siap untuk menentukan karier yang tepat bagi dirinya. Setelah menemukan karier yang tepat, seseorang berusaha dan bekerja keras untuk membangun dan bergerak menaiki tangga karier serta meningkatkan posisi keuangan. Demikian pula guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung menentukan pilihan untuk bekerja sebagai guru karena merasa profesi sebagai guru tepat bagi dirinya. Di saat guru honorer menemukan berbagai


(23)

kendala yang dihadapi dalam pekerjaannya, selanjutnya guru honorer melakukan berbagai usaha untuk memperoleh status PNS.

Pelbagai pengalaman positif dan negatif yang dirasakan oleh para guru honorer berpengaruh pada penghayatan terhadap kehidupannya selama menjalani peran sebagai guru honorer. Menurut Carol Ryff (1989), bagaimana seseorang memandang kualitas kehidupannya serta mengevaluasi dirinya sendiri disebut sebagai Psychological Well-Being atau kesejahteraan psikologis. Lebih lanjut Ryff mengatakan kesejahteraan psikologis menggambarkan sejauhmana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana seseorang memandang pencapaian atas potensi-potensi yang dimilikinya agar membuahkan pengembangan diri.

Seseorang dapat mengevaluasi diri dan pengalaman hidupnya melalui pendekatan multidimensional yang terdiri atas enam dimensi. Dimensi-dimensi tersebut yaitu penerimaan diri (Self-Acceptance), relasi sosial yang positif dengan orang lain (Positive Relation with Others), kemandirian dalam berpikir dan bertindak (Autonomy), kemampuan untuk mengelola kesempatan yang disediakan lingkungan sesuai dengan kebutuhan pribadi (Environmental Mastery), memiliki tujuan hidup (Purpose in Life), dan yang terakhir adalah pertumbuhan dan perkembangan pribadi (Personal Growth). (Ryff, 1989).

Kesejahteraan psikologis guru honorer juga dapat dilihat melalui ke enam dimensi tersebut. Ke enam dimensi itu merupakan tantangan-tantangan bagi guru honorer untuk mencapai fungsi positif dalam kehidupan. Masing-masing dimensi


(24)

16

ini dapat memberikan pengaruh terhadap penghayatan guru honorer mengenai kualitas hidupnya.

Guru honorer telah bekerja sebagai pendidik dan pengajar selama bertahun-tahun dan tidak kunjung mendapatkan status sebagai guru tetap atau PNS sebagaimana yang telah dijanjikan oleh pemerintah. Guru honorer yang mampu menerima kenyataan atas keadaan-keadaan tersebut hingga saat ini dan ikhlas dalam menyikapinya karena memaknai bahwa pengabdian dirinya sebagai guru merupakan amal ibadah, akan tetap dapat bekerja menjalani tugas-tugasnya dengan baik dan tetap dapat menghidupi keluarga. Hal ini dapat merujuk pada nilai yang tinggi dari dimensi self-acceptance. Dimensi self-acceptance merupakan dimensi yang mencerminkan sejauhmana seseorang menghayati bahwa dirinya mampu melakukan penerimaan kelebihan sekaligus kekurangan dirinya, sehingga secara keseluruhan mampu menerima diri apa adanya, menerima kelebihan dan kekurangan dirinya serta memiliki perasaan positif mengenai masa lalu (Ryff dan Keyes, 2003 dalam Wells, 2010).

Berdasarkan penghayatan dan penerimaan atas pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya, guru honorer kemudian dapat menentukan tujuan hidup ke arah yang lebih baik. Guru honorer ingin status kepegawaiannya tidak selamanya sebagai honorer, sehingga guru honorer membuat perencanaan untuk masa depan mengenai hal-hal apa saja yang akan dilakukan, terutama yang berkaitan dengan diri sendiri maupun keluarganya. Salah satunya dengan cara memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk mencapai tujuan yang diinginkan, misalnya aktif mencari informasi mengenai pengangkatan status. Kemampuan guru honorer


(25)

dalam menentukan tujuan hidup dapat merujuk pada nilai yang tinggi pada dimensi purpose in life. Dimensi purpose in life mencerminkan penghayatan seseorang akan kemampuannya, termasuk guru honorer, untuk menemukan makna dan arah bagi pengalaman hidupnya, menetapkan tujuan-tujuan dan maksud kehidupannya (Ryff & Singer, 2003 dalam Wells, 2010).

Dengan adanya harapan dan tujuan yang dimiliki, akan membuat guru honorer memiliki keinginan untuk mengembangkan dirinya dengan terus berusaha mengerahkan kompetensi dan kualitasnya secara optimal dalam melakukan pekerjaan sebagai guru. Guru honorer yang mengevaluasi bahwa dirinya memiliki potensi dan mampu merealisasikan serta mengembangkan potensi dirinya sebagai pendidik dan pengajar yang profesional misalnya dengan menambah pengetahuan mengenai cara mengoperasionalkan kurikulum pembelajaran, menetapkan target-target pembelajaran untuk siswa maupun dirinya sendiri, mengikuti seminar pengembangan profesionalisme dan kompetensi bagi guru, serta mengikuti rapat pembahasan contoh soal CPNS, merupakan guru honorer yang memiliki nilai tinggi pada dimensi personal growth. Dimensi Personal Growth adalah dimensi dimana seseorang menyadari potensi dan talenta yang dimilikinya serta mengembangkannya menjadi sumber baru (Ryff dan Singer, 2003 dalam Wells, 2010).

Dalam usahanya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, guru honorer mengerahkan kemampuannya untuk bekerja dan bertanggung jawab atas tugas-tugasnya dengan baik walaupun hanya berstatus sebagai guru honorer. Selain itu, situasi kerja dimana guru honorer bekerja di sekolah atau lingkungan


(26)

18

yang sama dengan guru dan staf lainnya yang memiliki status sebagai PNS membuat guru honorer merasa tertantang untuk melakukan semua pekerjaan dengan baik. Terkadang guru honorer juga harus bersedia melakukan pekerjaan tambahan yang sebenarnya bukan merupakan kewajibannya misalnya menggantikan guru tetap yang berhalangan hadir. Guru honorer yang mampu mengatasi situasi tersebut dengan baik menunjukkan dimensi environmental

mastery dengan nilai yang tinggi. Dimensi Environmental Mastery merupakan

penghayatan seseorang akan kemampuan dalam memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis dirinya, mampu berpartisipasi dalam aktivitas di luar diri, dan memanipulasi serta mengontrol lingkungan sekitarnya yang kompleks (Ryff dan Keyes, 2003 dalam Wells, 2010).

Untuk dapat mengelola pekerjaan dengan baik yang harus dijalani sehari-hari dengan situasi penuh tantangan, guru honorer juga membutuhkan dukungan dari orang lain terutama sesama guru honorer. Oleh karena situasi kerja yang dihadapi serupa, sesama guru honorer dapat saling memberi dan menerima dukungan sehingga meningkatkan semangat guru honorer untuk tetap menjalani tugas-tugas dengan baik sejalan dengan perjuangan memeroleh status PNS. Maka dari itu guru honorer bergabung di dalam AGHI (Asosiasi Guru Honor Indonesia) untuk secara bersama-sama memerjuangkan status PNS sekaligus memererat tali silaturahmi antar semua guru honorer di Bandung. Melalui berbagai acara dan kegiatan yang dilakukan oleh para guru honorer di AGHI, sesama guru honorer di Bandung dapat semakin menjalin relasi dengan baik antar sesama guru honorer di Bandung. Selain itu, guru honorer juga menjalin relasi yang baik dengan guru lain


(27)

yang sudah memiliki status PNS terutama dengan yang berada dalam satu lingkungan kerja. Hal tersebut dapat merujuk pada nilai dari dimensi positive

relation with others yang tinggi pada guru honorer. Dimensi positive relation with others yaitu kemampuan dalam berempati dan menyayangi orang lain dan mampu

mencintai serta memiliki persahabatan yang mendalam (Ryff dan Singer, 2003 dalam Wells, 2010).

Dimensi terakhir, yaitu autonomy, didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk bergerak atas keyakinan dan pendiriannya sendiri sekalipun harus bertentangan dengan keyakinan yang diterima oleh kebanyakan orang (Ryff dan Keyes, 2003). Dimensi autonomy ini pada kenyataannya tampak tidak selaras dengan budaya kolektif pada masayarakat Indonesia sehingga sulit pula diadaptasikan pada kehidupan guru honorer. Selain itu, keterbatasan status membuat guru honorer juga memiliki keterbatasan kewenangan, sehingga guru honorer tidak dapat berkiprah lebih jauh dan hanya melakukan tugas-tugasnya sebaik mungkin sebagai pengabdian terhadap masyarakat dan anak didik.

Kesejahteraan psikologis pada guru honorer tidak selalu ditentukan oleh dimensi-dimensi dengan nilai yang tinggi. Apabila dimensi self-acceptance sebagai kunci utama dalam kesejahteraan psikologis menunjukkan nilai rendah, maka kemungkinan besar dimensi lain akan menunjukkan nilai yang rendah pula. Hal ini ditunjukkan oleh guru honorer yang menunjukkan dimensi self-acceptance dengan nilai yang rendah menghayati bahwa dirinya merasa tidak puas dengan diri sendiri dan tidak nyaman dengan yang telah terjadi di kehidupan masa lalu. Akibatnya, guru honorer mengevaluasi bahwa dirinya tidak bermakna dan tidak


(28)

20

mampu menentukan tujuan hidup dengan bersikap pasrah dan merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk berubah kepada keadaan yang lebih baik. Hal ini menunjukkan nilai yang rendah pada dimensi purpose in life.

Dengan tujuan hidup yang tidak jelas membuat guru honorer tidak tertarik untuk mempelajari hal-hal yang baru yang dapat mengembangkan potensi dirinya sehingga melakukan pekerjaan dengan seadanya. Guru honorer yang tidak menyadari potensi yang dimilikinya dan tidak dapat mengembangkan diri, serta merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupannya menunjukkan dimensi

personal growth dengan nilai yang rendah. Ketidakmampuan untuk menyadari

potensi dan mengembangkan diri memungkinkan guru honorer merasa kesulitan dalam mengatasi situasi terutama lingkungan kerja yang dirasa tidak sesuai dengan dirinya sehingga menunjukkan nilai yang rendah pada dimensi

environmental mastery. Hal ini juga dapat memunculkan kemungkinan guru

honorer sulit untuk terbuka, bersikap hangat dan peduli terhadap kesejahteraan orang lain serta kurang memercayai hubungan baik dengan orang lain terutama dengan rekan kerja yang menandakan nilai rendah pada dimensi positive relation

with others.

Ketidakberhasilan dalam membina hubungan baik dengan orang lain kemudian membuat guru honorer harus menghadapi keadaan-keadaan yang sulit dengan lebih mandiri karena kurangnya dukungan yang diperoleh. Apabila guru honorer pada akhirnya mengikuti tekanan sosial dalam berpikir dan bertindak serta bergantung pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting


(29)

terkait dengan pekerjaannya, hal ini mengacu pada dimensi autonomy dengan nilai yang rendah.

Untuk memeroleh gambaran menyeluruh tentang kesejahteraan psikologis guru-guru honorer dalam AGHI, akan digali data sosio-demografis yang terdiri atas usia, jenis kelamin, pendidikan, status marital dan masa kerja sebagai guru honorer.

Dari segi usia, guru honorer dengan usia yang lebih tua kemungkinan besar berkaitan dengan masa kerja sebagai guru honorer. Artinya semakin tua usia, semakin lama masa kerjanya dan semakin tidak jelas peluang untuk diangkat sebagai PNS terkait peraturan pemerintah mengenai batas usia dan masa kerja yang menjadi syarat pengangkatan status. Dari jenis kelamin dan status marital, guru honorer pria terutama yang telah menikah memiliki tanggung jawab yang lebih besar sebagai kepala keluarga sehingga kebutuhan yang harus dipenuhi lebih banyak dari guru honorer wanita. Guru honorer dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi memiliki kompetensi yang relevan dengan profesi yang dijalani sehingga harapan untuk diangkat sebagai PNS lebih tinggi namun tetap tidak kunjung diangkat sebagai PNS setelah mengabdi bertahun-tahun.


(30)

22

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6 Asumsi

 Dengan status guru honorer pada anggota Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung akan memengaruhi kesejahteraan psikologis guru honorer.

 Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) merupakan wadah perkumpulan guru honorer untuk memfasilitasi guru honorer di kota Bandung dalam memeroleh status PNS tetapi tidak menjamin anggotanya memiliki kesejahteraan psikologis yang positif.

 Kesejahteraan psikologis para guru honorer yang tergabung dalam AGHI akan ditentukan oleh sejauh mana self-acceptance yang dimiliki, yang Guru honorer di AGHI

(Asosiasi Guru Honor Indonesia) kota

Bandung.

Kesejahteraan psikologis yang terdiri dari 6 dimensi :

1. Self-acceptance

2. Purpose in life

3. Personal growth

4. Environmental mastery

5. Positive relation with other

6. Autonomy

Tinggi

Rendah

Data Sosio-demografis : - jenis kelamin

- usia

- pendidikan - status marital - masa kerja sebagai


(31)

selanjutnya dapat menggambarkan penghayatan tinggi-rendahnya dimensi-dimensi lainnya.

 AGHI sebagai wadah perkumpulan guru honorer memungkinkan relasi yang erat antar guru honorer di Bandung, sehingga berkecenderungan memerlihatkan dimensi positive relations with others yang tinggi.

 Para guru honorer yang tergabung dalam AGHI berkecenderungan memerlihatkan dimensi autonomy yang rendah karena keterbatasan status dan kewenangan.


(32)

58 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian mengenai kesejahteraan psikologis pada guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) Kota Bandung, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1) Sebagian besar guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) Kota Bandung dapat dikatakan sejahtera secara psikologis. Kesejahteraan itu dimanifestasikan melalui tingginya penghayatan atas lima dimensi, yaitu self-acceptance, positive relations with others, environmental

mastery, purpose in life dan personal growth.

2) Berdasarkan dimensi autonomy, responden yang berprofesi sebagai guru honorer tidak sejahtera. Ini dimungkinkan mengingat kewenangan sebagai guru honorer memiliki keterbatasan dan sepenuhnya bertumpu pada kebijakan yang ditetapkan oleh pihak sekolah.

3) Data sosio-demografis menunjukkan bahwa sebagian besar guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung dengan masa kerja lebih dari 10 tahun menghayati kesejahteraan psikologis yang cenderung rendah (bila dibandingkan dengan guru honorer yang masa kerjanya kurang dari 10 tahun). Kemungkinannya adalah, guru honorer dengan masa kerja 10 tahun atau lebih mengalami kesulitan dalam memertahankan konsistensi harapan dan optimismenya untuk diangkat


(33)

4) sebagai guru PNS, sehingga perlahan-lahan harus menerima realita yang ada.

5.2 SARAN

5.2.1 Saran untuk penelitian lanjutan

 Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik mendalami fenomena guru honorer, ada baiknya untuk lebih mempertajam data sosio-demografis. Dengan demikian akan dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif untuk ditindaklanjuti.

5.2.2 Saran Praktis

 Saran bagi ketua AGHI kota Bandung untuk memberi dukungan dan motivasi kepada anggota-anggotanya dalam menyuarakan pendapat mengenai harapan dan cita-cita terkait dengan usaha memeroleh pengangkatan status.

 Saran bagi guru honorer yang tergabung dalam AGHI untuk tetap mengabdi dan menjalani profesi ini dengan segala kesungguhan demi mendidik putra-putri harapan masa depan bangsa.


(34)

60

DAFTAR PUSTAKA

Ariati, Jati. 2010. Subjective Well-Being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kepuasan

Kerja pada Staf Pengajar (Dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi

Universitas Diponegoro (Jurnal Psikologi Undip Vol.8, No.2, Oktober 2010).

Atmoko, Satriyo Dwi dan Anita Listiara. 2012. The Relationship Between

Resilience with Continuance Commitment of Honorer Teacher in UPTD Pendidikan Kecamatan Banyumanik Semarang. (Jurnal Psikologi, Vol.1,

No.1, Tahun 2012). Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Cochran, Marylin-Smith. 2004. Stayers, Leavers, Lovers, and Dreamers Insights

About Teacher Retention ( Journal of Teacher Education, Vol. 55, No.5,

November/December 2004). American Association of Colleges for Teacher Education.

Danim, Sudarwan. 2004. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Perilaku. Jakarta : Bumi Aksara.

Nazir, M. 2009. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia.

Pryce, Jessica-Jones. 2010. Happiness at Work: Maximizing Your Psychological

Capital for Success. UK: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication.

Ryff, Carol D and Corey Lee M.Keyes. 1995. The Structure of Psychological

Well-Being Revisited. (Journal of Personality and Social Psychology).

American Psychological Association, Inc.

Santrock, John.W. 2004. Life Span Development, 9th Edition. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.

Siegel, Sidney. 1994. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia.

Usman, Moh. Uzer. 1992. Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Wells, Inggrid E. 2010. Psychological Well-Being : Psychology of Emotions,


(35)

DAFTAR RUJUKAN

A Dariyo. 2004. Perencanaan dan Pemilihan Karir Sebagai Seorang Guru/Dosen

Pada Dewasa Muda (Jounal Provitae, 2004) - books.google.com

Ardi, Sucipto. 2010. Pengertian GTT (Guru Tidak Tetap) Sekolah Negeri, (URL: http://suciptoardi.wordpress.co,/2010/02/17/, diakses tanggal 18 Mei 2012) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga : Asosiasi Guru Honor Indonesia

AGHI Kota Bandung, 2010.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Guru ,diakses 30 April 2012

Http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/128.pdf , diakses 3 Desember 2012

Intan, Stefanie. 2012. “Psychological Well-Being pada Anak Urutan Tengah yang

Berada pada Tahap Dewasa Awal”. Usulan Penelitian. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Mu’addab, Hafis. 2009. Beberapa Definisi Tentang Guru,

(URL:http://hafismuaddab.wordpress.com/, diakses tanggal 25 April 2012) Ryff, Carol D and Marilyn J. Essex. Psychological Well-Being in Adulthood and

Old Age: Descriptive Markers and Explanatory Processes

(130.203.133.150/showciting;jsessionid...?cid=13441828, diakses tanggal 10 Desember 2012 )

Sulaiman, Jumain. 2012. Ketua Umum PB PGRI, Dr.Sulistiyo : Harus Ada

Standar Gaji Guru Honor, (URL:

http://www.fajar.co.id/read-20120702181937, diakses tanggal 2 Juni 2012)

Sumule, Ruth. 2008. Psychological Well-Being pada Guru yang Bekerja di

Yayasan PESAT Nabire.

(http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1905/1/Artikel_1050 3164.pdf, diakses tanggal 3 Desember 2012)


(1)

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6 Asumsi

 Dengan status guru honorer pada anggota Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung akan memengaruhi kesejahteraan psikologis guru honorer.

 Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) merupakan wadah perkumpulan guru honorer untuk memfasilitasi guru honorer di kota Bandung dalam memeroleh status PNS tetapi tidak menjamin anggotanya memiliki kesejahteraan psikologis yang positif.

 Kesejahteraan psikologis para guru honorer yang tergabung dalam AGHI akan ditentukan oleh sejauh mana self-acceptance yang dimiliki, yang Guru honorer di AGHI

(Asosiasi Guru Honor Indonesia) kota

Bandung.

Kesejahteraan psikologis yang terdiri dari 6 dimensi :

1. Self-acceptance 2. Purpose in life 3. Personal growth 4. Environmental mastery 5. Positive relation with

other 6. Autonomy

Tinggi

Rendah

Data Sosio-demografis : - jenis kelamin

- usia

- pendidikan - status marital - masa kerja sebagai


(2)

23

selanjutnya dapat menggambarkan penghayatan tinggi-rendahnya dimensi-dimensi lainnya.

 AGHI sebagai wadah perkumpulan guru honorer memungkinkan relasi yang erat antar guru honorer di Bandung, sehingga berkecenderungan memerlihatkan dimensi positive relations with others yang tinggi.

 Para guru honorer yang tergabung dalam AGHI berkecenderungan memerlihatkan dimensi autonomy yang rendah karena keterbatasan status dan kewenangan.


(3)

58 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian mengenai kesejahteraan psikologis pada guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) Kota Bandung, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1) Sebagian besar guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) Kota Bandung dapat dikatakan sejahtera secara psikologis. Kesejahteraan itu dimanifestasikan melalui tingginya penghayatan atas lima dimensi, yaitu self-acceptance, positive relations with others, environmental mastery, purpose in life dan personal growth.

2) Berdasarkan dimensi autonomy, responden yang berprofesi sebagai guru honorer tidak sejahtera. Ini dimungkinkan mengingat kewenangan sebagai guru honorer memiliki keterbatasan dan sepenuhnya bertumpu pada kebijakan yang ditetapkan oleh pihak sekolah.

3) Data sosio-demografis menunjukkan bahwa sebagian besar guru honorer di Asosiasi Guru Honor Indonesia (AGHI) kota Bandung dengan masa kerja lebih dari 10 tahun menghayati kesejahteraan psikologis yang cenderung rendah (bila dibandingkan dengan guru honorer yang masa kerjanya kurang dari 10 tahun). Kemungkinannya adalah, guru honorer dengan masa kerja 10 tahun atau lebih mengalami kesulitan dalam memertahankan konsistensi harapan dan optimismenya untuk diangkat


(4)

59

4) sebagai guru PNS, sehingga perlahan-lahan harus menerima realita yang ada.

5.2 SARAN

5.2.1 Saran untuk penelitian lanjutan

 Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik mendalami fenomena guru honorer, ada baiknya untuk lebih mempertajam data sosio-demografis. Dengan demikian akan dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif untuk ditindaklanjuti.

5.2.2 Saran Praktis

 Saran bagi ketua AGHI kota Bandung untuk memberi dukungan dan motivasi kepada anggota-anggotanya dalam menyuarakan pendapat mengenai harapan dan cita-cita terkait dengan usaha memeroleh pengangkatan status.

 Saran bagi guru honorer yang tergabung dalam AGHI untuk tetap mengabdi dan menjalani profesi ini dengan segala kesungguhan demi mendidik putra-putri harapan masa depan bangsa.


(5)

60

DAFTAR PUSTAKA

Ariati, Jati. 2010. Subjective Well-Being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kepuasan Kerja pada Staf Pengajar (Dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi

Universitas Diponegoro (Jurnal Psikologi Undip Vol.8, No.2, Oktober 2010). Atmoko, Satriyo Dwi dan Anita Listiara. 2012. The Relationship Between

Resilience with Continuance Commitment of Honorer Teacher in UPTD Pendidikan Kecamatan Banyumanik Semarang. (Jurnal Psikologi, Vol.1, No.1, Tahun 2012). Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Cochran, Marylin-Smith. 2004. Stayers, Leavers, Lovers, and Dreamers Insights

About Teacher Retention ( Journal of Teacher Education, Vol. 55, No.5, November/December 2004). American Association of Colleges for Teacher Education.

Danim, Sudarwan. 2004. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Perilaku. Jakarta : Bumi Aksara.

Nazir, M. 2009. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia.

Pryce, Jessica-Jones. 2010. Happiness at Work: Maximizing Your Psychological Capital for Success. UK: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication.

Ryff, Carol D and Corey Lee M.Keyes. 1995. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. (Journal of Personality and Social Psychology). American Psychological Association, Inc.

Santrock, John.W. 2004. Life Span Development, 9th Edition. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.

Siegel, Sidney. 1994. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia.

Usman, Moh. Uzer. 1992. Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Wells, Inggrid E. 2010. Psychological Well-Being : Psychology of Emotions, Motivations and Actions. New York : Nova Science Publishers, Inc.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

A Dariyo. 2004. Perencanaan dan Pemilihan Karir Sebagai Seorang Guru/Dosen Pada Dewasa Muda (Jounal Provitae, 2004) - books.google.com

Ardi, Sucipto. 2010. Pengertian GTT (Guru Tidak Tetap) Sekolah Negeri, (URL: http://suciptoardi.wordpress.co,/2010/02/17/, diakses tanggal 18 Mei 2012) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga : Asosiasi Guru Honor Indonesia

AGHI Kota Bandung, 2010.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Guru ,diakses 30 April 2012

Http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/128.pdf , diakses 3 Desember 2012

Intan, Stefanie. 2012. “Psychological Well-Being pada Anak Urutan Tengah yang Berada pada Tahap Dewasa Awal”. Usulan Penelitian. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Mu’addab, Hafis. 2009. Beberapa Definisi Tentang Guru,

(URL:http://hafismuaddab.wordpress.com/, diakses tanggal 25 April 2012) Ryff, Carol D and Marilyn J. Essex. Psychological Well-Being in Adulthood and

Old Age: Descriptive Markers and Explanatory Processes

(130.203.133.150/showciting;jsessionid...?cid=13441828, diakses tanggal 10 Desember 2012 )

Sulaiman, Jumain. 2012. Ketua Umum PB PGRI, Dr.Sulistiyo : Harus Ada Standar Gaji Guru Honor, (URL:

http://www.fajar.co.id/read-20120702181937, diakses tanggal 2 Juni 2012)

Sumule, Ruth. 2008. Psychological Well-Being pada Guru yang Bekerja di

Yayasan PESAT Nabire.

(http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1905/1/Artikel_1050 3164.pdf, diakses tanggal 3 Desember 2012)