Pengaruh Punguan Pomparan Raja Naiambaton (PARNA) pada Pemilukada Kabupaten Simalungun Tahun 2016.

(1)

i

PENGARUH PUNGUAN POMPARAN RAJA

NAIAMBATON (PARNA) PADA PEMILUKADA

KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2016

SKRIPSI

Disusun Oleh : BRYAN ANDERSON

NIM. 1221305005

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

ii

PENGARUH PUNGUAN POMPARAN RAJA

NAIAMBATON (PARNA) PADA PEMILUKADA

KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2016

SKRIPSI

Disusun Oleh : BRYAN ANDERSON

NIM. 1221305005

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Ilmu

Politik pada Program Studi Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul PENGARUH PUNGUAN POMPARAN RAJA NAIAMBATON (PARNA) PADA PEMILUKADA KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2016. Skripsi ini disusun dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik pada program studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana yang memberikan dukungan dan fasilitas kepada penulis dalam menyelesaikan studi Strata satu di Universitas Udayana.

2. Dr. Drs. I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, yang telah menyetujui dan mengeluarkan Surat Keputusan mengenai topik skripsi ini.

3. Kedua orang tua, kakak dan keluarga besar penulis yang telah memberikan doa, semangat, kasih dan motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini.


(6)

vi

4. Dr.Piers Andreas Noak, SH., M.Si selaku Dosen Pembimbing I yang memberikan dedikasi, kesabaran dan ketekunan membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Muhammad Ali Azhar, SIP., MA selaku Dosen Pembimbing II yang dengan penuh kasih, kesabaran dan teliti dalam membimbing penulis untuk memberikan gambaran bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

6.

Tedi Erviantono, SIP., M.Si juga Bandiyah, S.Fil.,MA dan Drs.I

Wayan Budiasa, M.Si selaku dosen penguji yang telah dengan penuh dedikasi memberikan masukan, bimbingan serta mtivasi agar skripsi ini semakin baik.

7.

Keluarga Amangboru Sinaga serta Namboru di Tigadolok dan seluruh keluarga besar Opung Negeri Dolok yang terus memberikan doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Pengurus dan Anggota Punguan Parna Kabupaten Simlaungun yang telah memberikan waktu, informasi dan dukungan dalam tahapan membantu pelaksanaan penelitian ini.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Politik yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas pengajaran dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama perkuliahan.

10.Seluruh pegawai di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politi yang telah membantu penulis dalam mengurus administrasi selama penulis menjalani studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.


(7)

vii

11.Yang terkasih kepada Joice Sari Tampubolon yang selalu memberikan doa, waktu, kasih, bimbingan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

12.Teman-teman PMK FISIP, saudara KTB-ku Yeri, Reinhard, ka Edwin dan adik-adik KTB-ku Roland, Ananta, Daniel, Dody, Tomi, Olav, Fiero yang selalu mendukung dalam doa juga motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

13.Seluruh teman-teman seperjuangan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis berterima kasih atas loyalitas dukungan, perhatian dan motivasi yang diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis bersyukur atas segala doa, dukungan dan bimbingan tersebut, besar harapan penulis semoga amal baik Bapak/Ibu/Saudara(i) mendapat balasan terbaik dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan rendah hati penulis berharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Sebagai akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak karena skripsi ini dipersembahkan kepada almamaterku tercinta.

Denpasar, 18 April 2016


(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 7

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Batasan Masalah ... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.5.2 Manfaat Praktis ... 8

1.6 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Kajian Pustaka ... 10

2.2 Kerangka Konseptual ... 15

2.2.1 Punguan Batak ... 15

2.2.2 Pemilukada ... 16

2.2.3 Demokrasi ... 19


(9)

ix

2.3.1 Teori Politik Identitas ... 22

2.4 Kerangka Pemikiran ... 28

BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 29

3.1 Jenis Penelitian ... 29

3.2 Sumber Data ... 30

3.2.1 Sumber Data Primer ... 30

3.2.1 Sumber Data Sekunder ... 30

3.3 Unit Analisis ... 30

3.4 Teknik Penentuan Informan ... 31

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.6 Teknik Analisis Data ... 34

3.7 Teknik Penyajian Data ... 36

BAB IV PEMBAHASAN ... 37

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Simalungun ... 37

4.2 Profil Punguan Parna ... 42

4.3 Hasil Temuan ... 47

4.3.1 Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Simalungun Tahun 2016 ... 47

4.3.2 Politik Identitas Punguan Parna ... 53

4.4 Analisis Temuan Penelitian ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 68


(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Daftar Paslon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Simalungun Tahun

2016 ... 5

Tabel 3.1 Daftar Informan dalam Penelitian ... 32

Tabel 4.1 Data Kependudukan Kabupaten Simalungun tahun 2010 ... 39

Tabel 4.2 Pemeluk Agama di Kabupaten Simalungun tahun 2010 ... 40

Tabel 4.3 Susunan Pengurus Punguan Parna Periode Tahun 2015-2020 ... 47

Tabel 4.4 Jumlah Perolehan Suara Pemilukada Kabupaten Simalungun Tahun 2016 ... 50


(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Faktor pengaruh Punguan Parna dalam pemilukada

Kabupaten Simalungun tahun 2016 ... 28 Gambar 3.1 Bagan Analisis Data ... 35


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Daftar Informan

Lampiran 2 : Transkip Wawancara Lampiran 3 : Foto Penelitian


(13)

xiii ABSTRAK

Sistem kekerabatan masyarakat Batak dikenal sebagai kumpulan suatu kelompok yang terbentuk karena terdapatnya kesamaan marga dalam garis keturunan seorang raja. Sistem kekerabatan itu disebut sebagai Punguan Batak. Salah satu Punguan Batak yaitu Punguan Pomparan Raja Naiambaton (PARNA) terdapat di berbagai daerah Indonesia salah satunya Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan mendeskripsikan faktor pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Teori yang digunakan adalah teori politik identitas dengan pendekatan primordialisme. Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data penelitian dengan observasi, wawancara mendalam dan dokumen. Hasil penelitian ini menemukan bahwa, legitimasi Punguan Parna sebagai mayoritas mendominasi masyarakat di Kabupaten Simalungun. Dampak politik dari legitimasi tersebut terhadap dominasi Punguan Parna di Kabupaten Simalungun salah satunya terlihat pada pemilukada dengan mendukung salah satu pasangan calon bupati yang merupakan dongan tubu (saudara semarga). Berdasarkan hasil temuan ditemukan bahwa masyarakat di Kabupaten Simalungun masih mengutamakan anak daerah untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Hal ini juga dapat dilihat dari cara menentukan pilihan terhadap calon bupati, masyarakat Kabupaten Simalungun masih didasari oleh beberapa faktor yaitu hubungan darah, ras, agama, dan daerah. Penulis menganalisis bahwa faktor pengaruh Punguan Parna digunakan melalui nilai-nilai identitas dengan konsep pendekatan primordial untuk menarik simpati masyarakat agar memilih pasangan calon bupati JR Saragih-Amran Sinaga melalui semangat kesamaan hubungan darah, ras, agama, dan daerah. Penulis menganalisis bahwa faktor pengaruh Punguan Parna mendukung penuh, dengan harapan JR Saragih-Amran Sinaga menang agar dapat merepresentasikan kepentingan identitas Punguan Parna.


(14)

xiv ABSTRACT

Batak’s kinship system known as a collection of a group that was formed because there are a similarity clans within the lineage of a king. Kinship system is referred to as Batak Association. One of Batak Association is Punguan Pomparan Raja

Naiambaton (PARNA) that located in different regions of Indonesia including

District of Simalungun, North Sumatra. The purpose of this study to determine and describe the influence factors of Parna Association in the election District of Simalungun 2016. The theory used is theory of identity politics with primordial approach. This research method is descriptive qualitative. Research data collection techniques by observation, interview and documents. The results of this study found that Parna Association legitimacy as a majority is dominating community in District of Simalungun. The political impact of the legitimacy Parna Association in District of Simalungun seen at the election by supporting one candidate regent that have relation. Based on the findings found that people in District of Simalungun still give prioritize aboriginal to become a leader in the region. It can also be seen from the way determining the choice of candidates, people of Simalungun still based on several factors: blood ties, races, religions, and regions. The author analyzes the factors that influence Parna Association used through the values of identity with the concept of primordial approach to attract public sympathy in order to choose the candidate regent JR Saragih-Amran Sinaga through the spirit of similarity blood relations, race, religion, and region. The author analyzes the factors that influence support of Parna Association, with the hope JR Saragih-Amran Sinaga be able to represent the interests of Parna Association identity.


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Masyarakat kelompok Suku Batak terdiri dari enam kelompok besar yaitu Batak Toba, Pakpak, Mandailing, Simalungun, Angkola dan Karo. Adapun kelompok-kelompok suku ini berawal dari bagian Provinsi Sumatera Utara yang memiliki ciri-ciri kebudayaan tertentu. Hal ini terlihat dari pembagian beberapa marga yang bermukim menurut daerah, bahasa serta pakaian adat dari kelompok-kelompok Suku Batak yang berbeda. Orang Batak berasal dari si Radja Batak yang memiliki dua anak yaitu Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon sekaligus menjadi dua belahan atau cabang seluruh Orang Batak sehingga disebut Lontung dan Sumba.

Dalam garis keturunannya masyarakat Batak memiliki sebuah kesamaan yaitu adanya marga. Marga merupakan nama belakang keluarga yang dimiliki setiap Orang Batak dengan penamaan yang berbeda-beda. Namun mengenai awal struktur marga di kalangan Orang Batak tidak diketahui dengan pasti, sebab hanya dikatakan bahwa marga sudah ada sejak adanya Orang Batak. Bahkan menurut cerita asli rakyat Batak, debata mulajadi sendiri yang menetapkannya (Hutagalung, 1963:17). Marga juga sebagai suatu kelompok kekerabatan eksogam, baik secara matrilineal (perempuan) maupun patrilineal (laki-laki). Berdasarkan sejarah budaya Batak, garis keturunan akan diwarisi oleh anak laki-laki sehingga apabila tidak ada anak laki-laki maka garis keturunan akan terputus. Oleh sebab itu sistem kekerabatan masyarakat Batak


(16)

2

disebut patrilineal yang didasarkan menurut garis keturunan ayah, sehingga seorang Batak akan menyebut anggota marganya dengan sebutan dongan

sabutuha (mereka yang berasal dari rahim yang sama). Sistem kekerabatan

patrilineal itulah yang menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang

terdiri dari turunan-turunan marga dan kelompok-kelompok suku, lalu kemudian saling dihubungkan menurut garis laki-laki (Vergouwen, 1986:1).

Sistem kekerabatan masyarakat Batak dikenal sebagai kumpulan suatu kelompok yang terbentuk karena terdapatnya kesamaan marga dalam garis keturunan seorang raja. Sistem kekerabatan itu disebut sebagai Punguan Batak. Punguan Batak memiliki fungsi untuk memelihara identitas dan akar budaya Batak itu sendiri dari tiap-tiap garis keturunan agar dongan tubu (saudara semarga) tetap eksis dalam menjaga kesatuan dan persatuan ke dalam dan keluar marganya.

Salah satu Punguan Batak yaitu Punguan Pomparan Raja Naiambaton (PARNA) yang dikenal sebagai punguan terbesar karena memiliki 48 marga dalam satu garis keturunan Raja Naiambaton. Punguan Parna juga terdapat di berbagai daerah Indonesia, salah satunya yaitu di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Munculnya rasa memiliki satu sama lain dalam diri para anggota Punguan Parna di Kabupaten Simalungun membuat punguan ini mampu menjaga eksistensinya di era globalisasi saat ini. Maka oleh karena itu penting adanya bagi Punguan Parna untuk tetap menjaga rasa menghargai dan melestarikan keutuhan marga sebagai dasar agar tidak digerus oleh kemajuan zaman.


(17)

3

Pada era demokrasi, persamaan hak menjadi hal yang penting bagi setiap individu dan kelompok budaya dalam mengekspresikan identitas, aspirasi secara bebas, terbuka dan adil. Terdapatnya ruang untuk mengekspresikan diri membuat fenomena identitas terus berkembang secara signifikan dalam mewujudkan perjuangan identias. Gelombang demokrasi ini disikapi secara antusias oleh masyarakat di tingkat lokal untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan budaya dan nilai lokal masing-masing. Kehadiran identitas bukan hanya berbicara mengenai persamaan saja tetapi lebih dari itu fenomena identitas bertransformasi sebagai alat politik untuk menarik simpati publik. Selanjutnya, fenomena identitas menjadi alat bagi setiap kandidat untuk ikut serta dalam konstelasi demokrasi di tingkat lokal yaitu pemilukada dalam mencapai tujuan tertentu. Di sisi lain, primordial juga menjadi bagian dari pemilukada yang masih menjadi kekuatan untuk memperoleh legitimasi dan menghegemoni masyarakat.

Melihat fenomena yang terjadi, muncul penguatan dan pengentalan identitas dalam politik identitas. Politik identitas terjadi dikarenakan identitas dijadikan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan bagi elit-elit politik. Terbukti pada pemilukada 2010 di Kabupaten Simalungun terdapat lima pasangan calon bupati dan wakil bupati diantaranya, Syamsuddin Siregar-Kusdianto, Kabel Saragih-Mulyono, Muknir Damanik-Miko, JR Saragih-Hj Nuriati Damanik, dan incumbet T Zulkarnaen Damanik-Marsiaman Saragih. Berdasarkan lima pasangan calon bupati tersebut terdapat tiga anggota Punguan Parna yang terdiri dari dua calon bupati dan satu calon wakil bupati.


(18)

4

Sedangkan pasangan calon bupati lainnya berasal dari Punguan Batak lain yang terdapat di Kabupaten Simalungun, selain itu ada juga yang berasal bukan dari Punguan Batak. Sampai pada akhirnya pasangan JR Saragih dan Hj Nuriati Damanik yang berhasil memenangkan pemilukada di Kabupaten Simalungun dengan mengantongi 38,96% suara atau 148,977 suara sah yang mengalahkan pasangan calon bupati lainnya sekaligus pasangan incumbent yaitu T. Zulkarnaen Damanik-Marsiaman Saragih. Kemenangan ini terjadi dikarenakan masyarakat kecewa kepada incumbent atas janji-janji kampanye sebelumnya yang tidak terwujud. Di sisi lain kemenangan JR Saragih - Hj Nuriati Damanik tidak terlepas dari fenomena identitas Punguan Parna yang pada saat itu secara struktur belum terbentuk namun telah memberikan pengaruh yang besar.

Pemilukada selanjutnya dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Indonesia pada 9 Desember tahun 2015. Kabupaten Simalungun termasuk salah satu daerah yang mengikuti pelaksanaan pemilukada serentak. Namun tiga hari sebelum dilaksanakannya pemilukada, terjadi pencoretan salah satu pasangan calon bupati yang menyebabkan penundaan pelaksanaan pemilukada di Kabupaten Simalungun. Pada akhirnya KPU Kabupaten Simalungun menetapkan pemilukada akan dilaksanakan tanggal 10 Februari tahun 2016 di 31 kecamatan Kabupaten Simalungun. Adapun pasangan calon bupati yang maju pada pemilukada Kabupaten Simalungun yaitu:


(19)

5

Tabel 1.1 Daftar Paslon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Simalungun Tahun 2016

No Nama Jabatan Punguan

1 Tumpak Siregar - Irwansyah Damanik

Calon bupati/wakil

Toga Siregar/ Naimarmata 2 Evra Sasky Damanik - Sugito Calon

bupati/wakil

Naimarmata/ -

3 Hj Nuriati Damanik - Posman Simarmata

Calon bupati/wakil

Naimarata/ Parna

4 JR Saragih - Amran Sinaga Calon bupati/wakil

Parna/ Toga Sinaga 5 Lindung Gurning - Soleh

Saragih

Calon bupati/wakil

Borbor Morsada/ Parna

Sumber : KPU Kabupaten Simalungun

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa anggota Punguan Parna masih mendominasi pasangan calon bupati yang maju pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Hasilnya pasangan JR Saragih-Amran Sinaga memenangkan pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016 sekaligus mengalahkan calon bupati Hj Nuriati Damanik yang merupakan

incumbent wakil bupati JR Saragih di tahun 2010. Fenomena ini

mengindikasikan kembali terdapatnya politik identitas Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

Munculnya kembali fenomena etnis pada peristiwa politik yaitu pemilukada di Kabupaten Simalungun membuat Punguan Parna terlibat langsung dalam mengkontruksikan harapan dan keinginannya untuk merebut kekuasaan politik. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari arus demokrasi dan


(20)

6

desentralisasi yang begitu cepat bergulir di Kabupaten Simalungun s ehingga kehidupan politik ikut diwarnai oleh konfigurasi politik identitas Punguan Parna dalam konstelasi demokrasi. Hal inilah yang menarik untuk diamati, karena setiap kandidat calon bupati berasal dari berbagai Punguan Batak.

Identitas tidak lagi menjadi sesuatu yang tidak penting dan terpinggirkan tetapi hal itu menjadi kekuatan yang ampuh dalam pemilihan khususnya pemilukada. Sikap sebagian masyarakat Indonesia yang masih primordial dan cenderung kedaerahan tentu akan memberikan pengaruh dalam pemilukada. Seperti dua sisi mata koin yang tidak dapat dipisahkan itulah politik dan adat budaya dimana kedua aspek tersebut berkaitan sehingga terjadi proses mutualisme yang menimbulkan fenomena saling menguntungkan antara kedua belah pihak bila terjadi proses interaksi. Hal itu dibuktikan dari terdapatnya anggota Punguan Parna yang maju dalam pemilukada tahun 2016 sebagai pasangan calon bupati di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Sebagai salah satu Punguan Batak dengan jumlah marga terbanyak, Punguan Parna yang berada di Kabupaten Simalungun dapat dipastikan memiliki posisi strategis dalam setiap pemilukada. Dengan demikian menjadi hal yang relevan untuk menjadikan Punguan Parna sebagai subjek studi kasus dalam penelitian ini. Adapun kasus yang diambil yaitu pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

Penelitian ini akan membahas lebih jauh tentang bagaimana pengaruh Punguan Parna yang masih menjaga eksistensinya sampai saat ini dalam pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Dengan hadirnya Punguan


(21)

7

Parna di pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016, kita dapat melihat sejauh apa Punguan Batak dalam hal ini Punguan Parna mengambil perannya pada konstelasi demokrasi di tingkat lokal.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah pada latar belakang usulan penelitian di atas, penulis merumuskan permasalahan penelitian yaitu: “Bagaimana pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016?”

1.3Batasan Masalah

Penelitian ini hanya akan mengkaji tentang politik identitas dengan pendekatan primordialisme Punguan Batak pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016 dimana peneliti membahas Punguan Parna sebagai studi kasus. Peneliti juga akan membahas mengenai politik identitas dengan pendekatan primordialisme dan pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Berdasarkan tinjauan yang telah dilakukan peneliti juga hanya akan mengkaji tentang pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

1.4Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini ingin mengetahui pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.


(22)

8

1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Berguna untuk memperkaya khasanah ilmu politik dan menambah pengetahuan khususnya terkait Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

2. Menunjukan secara ilmiah mengenai keterkaitan Punguan Parna dalam pemilukada.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait pengaruh Punguan Batak dalam hal ini Punguan Parna terhadap pemilukada.

2. Memberikan informasi bahwa adat budaya Indonesia, dalam hal ini suku Batak harus tetap dijaga dan dilestarikan keutuhannya di tengah era globalisasi.

1.6Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab, masing-masing bab diuraikan sebagai berikut :

Bab I: PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.


(23)

9

Bab II: TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi kajian pustaka, kerangka konseptual dan kerangka pemikiran. Penulis menggunakan tiga penelitian serta dua buah buku terkait tema yang penulis bahas dan teori-teori yang mendukung penelitian mengenai pengaruh Punguan Parna dalam pemilukada.

Bab III: METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai jenis penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, teknik penyajian data dan keterbatasan penelitian.

Bab IV: PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang bagaimana pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai gambaran umum kabupaten simalungun dengan hasil temuan yaitu profil Punguan Parna, pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Simalungun tahun 2016, politik identitas Punguan Parna yang kemudian di analisis dari penelitian yang peneliti laksanakan.

Bab V: PENUTUP

Bab ini akan berisi kesimpulan mengenai penelitian yang telah dilaksanakan serta saran yang dapat digunakan.


(24)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Kajian Pustaka

Beberapa penelitian terkait Punguan Batak telah dikaji oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun berbeda dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian sebelumnya hanya melihat Punguan Batak sebagai relasi dan eksistensi budaya Batak saja, tetapi dalam penelitian ini penulis ingin lebih jauh melihat tentang bagaimana pengaruh Punguan Batak pada pemilukada. Penelitian lain yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai acauan maupun referensi untuk penelitian ini. Dari beberapa penelitian yang sudah ada, penulis mengambil tiga sampel penelitian dan dua buah buku sebagai sumber referensi untuk penelitian ini. Berikut tiga penelitian terkait Punguan Batak:

Pertama dalam penelitian Nova (2013) “Corak Gemeinschaft Punguan

Parsahutaon DOS ROHA Dalam Relasi Sosial Masyarakat Batak Perantauan

Di Tegal.” Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terbentuknya Punguan Parsahutaon Dos Roha karena adanya keinginan dari masyarakat Batak perantauan di Mejasem. Di sisi lain, Nova menemukan jika punguan dijadikan sebagai wadah meningkatkan solidaritas sosial antarsesama masyarakat Batak dan untuk memelihara setiap adat istiadat suku Batak. Punguan dalam hal ini diartikan sebagai paguyuban masyarakat Batak dimana masyarakat Batak berkumpul untuk menjalin tali persaudaraan. Dengan demikian, atas dasar satu wilayah di desa Mejasem sebagai masyarakat Batak yang merantau di Tegal maka Punguan Parsahutaon Dos Roha masih terbentuk sampai saat ini. Dalam


(25)

11

hal keanggotaan punguan ini hanya dapat diikuti oleh masyarakat Batak yang tinggal di desa Mejasem saja. Dalam relasi sosial yang terjadi, setiap anggota saling membantu untuk menyelenggarakan suatu kegiatan yang telah dibuat. Ketika ada seseorang yang meninggal suatu punguan wajib mempersiapkan segala yang dibutuhkan, selain itu perwakilan dari anggota memberikan ulos kepada keluarga yang berduka. Ulos juga diberikan pada saat ada pernikahan, dimana anggota punguan akan menjadi perwakilan dari Punguan Parsahutaon Dos Roha untuk memberikan ulos. Ulos dikenal juga sebagai salah satu simbol suku adat Batak dimana juga sering digunakan pada tradisi-tradisi Suku Batak. Ulos berarti lambang kehormatan dan juga ibarat pemberi kehangatan bagi sesama dikarenakan daerah di Sumatera kerap mengalami cuaca dingin. Punguan Parsahutaon Dos Roha juga berpartisipasi ketika anggota ada yang sakit dan acara kelahiran anak.

Kedua yakni tesis yang dilakukan oleh Sihombing (2008) “Punguan Parna: Organisasi Perantau Pada Masyarakat Batak Di Kabupaten Semarang-Jawa Tengah” mengemukakan bahwa pertemuan antarbudaya adalah realita yang sering terjadi di dunia kebudayaan. Suasana kondusif yang ditumbuhkan oleh keragaman budaya bangsa Indonesia dapat melahirkan pertemuan dan interaksi antarbudaya. Perbedaan geografis, sosial dan ekonomi telah memberi kontribusi bagi kelompok masyarakat yang hanya memiliki potensi kecil. Gejala inilah yang akhirnya memunculkan kelompok masyarakat perantau. Mobilitas masyarakat tersebut mengakibatkan telah terjadi sebuah pertemuan dan interaksi antarbudaya yang merupakan realita menarik untuk dicermati.


(26)

12

Salah satu contoh yang menglaminya yaitu keberadaan kebudayaan Batak di Indonesia yang berada di perantauan. Kemajemukan etnis dalam suatu daerah di tengah pengaruh era globalisasi membuat pelaksanaan adat mengalami pendangkalan sehingga jika tidak ada solusi untuk mempertahankan budaya ini, maka dapat dipastikan bahwa kebudayaan yang menjadi kebanggaan bagi suku bangsa tersebut lama-kelamaan dapat punah. Punguan Parna dikenal sebagai salah satu komunitas suku Batak yang memiliki keterikatan pada asal usul, hubungan kekerabatan, marga, adat istiadat dan kesatuan keturunan. Pemahaman punguan tersebut diimplementasikan pada setiap aktivitas yang dilakukan dalam punguan. Dengan adanya punguan, para anggota dapat lebih mengenal dan lebih akrab antarsesama keturunan Punguan Parna yang memiliki jumlah marga terbanyak agar dapat mengetahui silsilah keturunan Punguan Parna. Keberadaan suatu punguan sebagai sebuah organisasi etnik di perantauan yang dianggap oleh para ahli sebagai sumber pertahanan untuk kelangsungan hidup di perantauan, tidak menjadi terbentuknya punguan ini. Eksistensi punguan ini dipengaruhi oleh rasa persaudaraan yang tinggi antarsesama keturunan Punguan Parna.

Ketiga, penelitian Shinta Romaulina Nainggolan (2011) Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak ”Masyarakat Batak Perantauan di Kabupaten Brebes”. Shinta dalam penelitiannya ingin mengkaji eksistensi adat budaya Batak yaitu Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes serta pelaksanaannya. Dalam penelitiannya Shinta menemukan bahwa masyarakat Batak perantauan


(27)

13

di Kabupaten Brebes masih menjunjung tinggi adat budaya yang mereka miliki mulai dari adat kematian, adat perkawinan, sistem kekerabatan dan falsafah hidup mereka. Masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes juga masih melaksanakan adat budaya Batak yaitu Dalihan Na Tolu dalam setiap kegiatan adat maupun aktivitas sehari-hari. Di sisi lain pada era globalisasi yang semakin maju, keberadaan adat budaya Batak Dalihan Na Tolu di Kabupaten Brebes masih tetap ada, hal ini menunjukkan bahwa Dalihan Na Tolu memiliki peranan besar sebagai falsafah yang tidak akan pernah dapat diubah walaupun jauh di perantauan.

Penelitian di atas memiliki beberapa persamaan dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan Punguan Batak. Namun terdapat juga perbedaan yang lebih mendalam dari penelitian di atas, terlihat dari perbedaan punguan yang diteliti oleh Nova yaitu Punguan Parsahutaon DOS ROHA yang berasal dari berbagai keturunan, berbeda dengan Punguan Parna yang hanya memiliki satu garis keturunan. Selain itu terdapat perbedaan pemilihan lokasi penelitian dimana Nova meneliti masyarakat Batak perantauan di daerah Tegal sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan pengambilan lokasi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Sihombing dalam penelitiannya memang sama-sama meneliti Punguan Parna, tetapi Sihombing memilih meneliti Punguan Parna pada masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Semarang-Jawa Tengah, berbeda halnya dengan penelitian ini yang mengambil lokasi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Shinta lebih


(28)

14

banyak membahas mengenai Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes serta pelaksanaannya.

Penulis juga menggunakan dua buah buku terkait dengan politik identitas. Dua buku ini digunakan penulis sebagai tinjauan pustaka, yaitu: pertama buku yang berjudul Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, dari Abdilah (2002). Buku ini memuat tetang pijakan dasar analisis pluralisme, post-modernitas dan globalisasi. Buku ini juga mendeskripsikan lebih jauh tentang politik identitas dalam tahap perkembangannya mulai dari tahap modern sampai tahap post-modern. Selain itu, terdapat penjelasan mengenai realitas keragaman etnis dan pola politik sepanjang sejarah secara umum dalam kajian politik etnis, serta peran etnis untuk menjaga identitasnya di saat terjadi kegoncangan diri secara global dan post-modernisme. Kedua, yakni buku dari Buchari (2014) yang berjudul Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Buku ini menemukan munculnya faktor-faktor politik identitas Etnis Dayak pada pelaksanaan pilkada Gubernur Kalimantan Barat tahun 2007 dan sebuah konsep baru. Konsep itu menjelaskan marginalisasi dan diskriminasi yang dialami oleh suatu etnis sehingga memunculkan politik identitas. Dalam hal ini penulis menggunakan kedua buku tersebut untuk menentukan arah pemikiran terhadap politik identitas.

Setelah melihat pembahasan dari tiga penelitian dan dua buku dalam kajian pustaka di atas, dapat diketahui bahwa penelitian semacam ini sudah pernah dikaji oleh peneliti lain. Namun pada penelitian di atas terdapat


(29)

15

beberapa perbedaan yang mendalam yaitu jika tiga penelitian di atas hanya membahas keterkaitan Punguan Batak terhadap keadaan lingkungan, berbeda halnya dengan penelitian ini yang mencoba ingin mengetahui pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Sementara di Indonesia penelitian mengenai Punguan Batak masih jarang diteliti dan jika dikaitkan dengan pemilukada hal ini menjadikan penelitian penulis memiliki nilai tambah dalam orisinalitas.

2.2Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan beberapa konsep yang digunakan, maka dari itu perlu adanya pemahaman terhadap konsep yang akan dikaji pada penelitian ini. Konsep dalam penelitian ini tentunya memiliki banyak pengertian yang berbeda-beda dari para ahli, oleh karena itu peneliti hanya akan memaparkan penjelasan dari konsep yang memiliki poin terkait dalam penelitian ini. Konsep yang terdapat dalam penelitian ini yakni: Punguan Batak, pemilukada, dan demokrasi.

2.2.1 Punguan Parna

Perkembangan sosial budaya yang terus bergerak cepat di Indonesia menimbulkan kembalinya muncul fenomena etnis di tingkat lokal. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya fenomena identitas dalam masyarakat Batak yang biasa disebut Punguan Batak. Punguan Batak yang menjadi sistem kekerabatan orang Batak dikenal sebagai wadah untuk berkumpulnya masyarakat Batak.


(30)

16

Di dalam hubungan relasi sosial orang Batak, kehadiran marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan (keturunan), hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang yang memiliki marga lain. Terdapat fungsi lain dari marga yaitu untuk menentukan kedudukan seseorang dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar dari Dalihan Na Tolu. Punguan Batak terbentuk karena adanya kesamaan marga, asal-usul keturunan Raja atau juga didasari oleh ikatan emosional sesama orang Batak sebagai masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi menurut Abdilah (2002:18), yaitu orang atau kelompok yang mengklaim diri sebagai penduduk asli suatu daerah dan wilayah tertentu.

Orang Batak menyadari bahwa Punguan Batak dibutuhkan demi mendapatkan interaksi sosial dengan saudara yang ber-marga sama. Sehubungan dengan hal itu, Punguan Batak berfungsi untuk tetap dapat memelihara identitas dan akar budaya di tengah perkembangan zaman. Punguan Parna merupakan salah satu Punguan Batak yang terbesar dikarenakan terdapat 48 marga di dalamnya.

2.2.2 Pemilukada

Perjalanan demokrasi tingkat lokal selalu mengalami perubahan yang cukup signifikan baik itu dari segi hukum, mekanisme ataupun lainnya. Sejarah mencatat penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal pernah bersifat sentralistis pada proses pemilihan kepala daerah, dimana pilihan ditentukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD). Dalam tahapan ini


(31)

17

rakyat masih belum berdaulat atas konstelasi demokrasi di tingkat lokal untuk memilih kepala daerahnya sebab sistem yang berjalan masih bersifat oligarki. Sementara itu terjadi sebuah pergeseran yang signifikan, hal ini dapat dilihat sebagai satu langkah lebih maju dalam proses demokratisasi yaitu bentuk desentralisasi. Kekuasaan (otonomi daerah) dikenal hasil langsung dari era reformasi, dimana rakyat memiliki hak politiknya secara penuh.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa penyerahan urusan oleh pemerintahan pusat diserahkan kepada pemerintahan daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Sistem ini telah menunjukan bahwa pemilihan kepala daerah menuju ke arah yang lebih demokratis dimana rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya. Sejarah mencatat pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.

Pelaksanaan pilkada secara langsung juga menjadi momentum yang penting bagi rakyat Indonesia dalam proses demokratisasi politik di tingkat lokal. Hal ini membuat kedua aspek yaitu rakyat dan lembaga daerah terlibat langsung dalam mengelola pemilihan kepala daerah di masing-masing tempat. Pilkada juga bukan proses yang hanya berdiri sendiri, namun ada subjek yang terlibat langsung dalam proses tersebut. Keberhasilan atau kegagalan pilkada, baik secara prosedural maupun substansial, tidak lepas dari ketiga faktor: (a) pemilih yang memiliki hak pilih, (b) penyelenggara


(32)

18

yaitu KPUD, Panwas, pemantau dan pemerintah, (c) lembaga stakeholders lainnya.

Dalam prosesnya pilkada kemudian dimasukan ke dalam rezim pemilu, hal ini dibuktikan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilukada DKI Jakarta 2007 menjadi pemilihan kepala daerah pertama kali yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang ini. Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang digunakan sebagai aturan yang berlaku pada pemilukada di Indonesia saat ini.

Pemilukada memiliki asas-asas dalam penyelenggaraannya yaitu : a. "Langsung" berarti rakyat sebagai pemilih menggunakan hak

politiknya tanpa diwakilkan oleh siapapun.

b. "Umum" berarti setiap warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam pemilihan umum dapat mengikuti tanpa diskriminasi berdasarkan SARA dan lain-lain.

c. "Bebas" berarti pemilih berhak bebas dalam memberikan hak suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

d. "Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.


(33)

19

e. “Jujur” berarti dalam penyelenggaraan pemilihan umum semua pihak yang terlibat bersikap jujur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f. “Adil” berarti pemilih dalam menggunakan hak politiknya dan calon peserta memiliki perlakuan yang sama sesuai aturan yang berlaku.

Demokrasi sebagai pilar utama negara harus menjadi cerminan bagi suatu bentuk pemerintahan, maka pendekatan prosedur untuk membentuk pemerintahan melibatkan partisipasi secara demokratis bagi setiap unsur di dalam masyarakat yang pluralistik. Dengan begitu, pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat dijadikan sebagai prosedur yang utama.

2.2.3Demokrasi

Demokrasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang surut, terbukti sejak Indonesia merdeka masih terdapat masalah pokok yang kita hadapi. Di dalam keanekaragaman pola budaya yang berbeda demokrasi harus menjamin hak politik setiap masyarakat, selain itu dapat memperbaiki tingkat kehidupan ekonomi demi membina suatu kehidupan sosial politik untuk sebuah kemajuan demokrasi. Demokrasi mengambil posisi yang penting dalam penelitian ini, peneliti mencoba memposisikan pengaruh Punguan Parna terhadap pemilukada sebagai salah satu bentuk dari praktek konstelasi demokrasi di tingkat lokal, dimana anggota punguan dapat menggunakan hak politiknya. Kerterkaitan demokrasi pada penelitian ini


(34)

20

dapat dilihat dari unsur yang terdapat dalam demokrasi yakni kebebasan berpendapat.

Pada era demokrasi, persamaan dan kesederajatan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dimiliki setiap individu dan kelompok dalam mengekspresikan identitas serta aspirasinya. Hal inilah yang melandasi dasar pemikiran politik identitas dalam penelitian ini.

Dalam pandangan Dahl (1985:25), negara demokrasi yang maju adalah suatu negara yang dinamakannya MDP (modern, dynamic, pluralist). Dia mengatakan bahwa tujuan utama negara demokrasi yang maju ialah memusatkan perhatian dalam mencari cara-cara untuk mengurangi sumber ketidaksamaan dalam masyarakat itu sendiri daripada melaksanakan persamaan melalui sumber daya ekonomi, posisi dan kesempatan.

Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan dan juga hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property). Rumusan konsep demokrasi menurut Joseph Schumpeter (1942) dalam Samuel P. Hutington (1995;4-5) mengemukakan bahwa teori klasik dengan istilah kehendak rakyat (the will of the people) dan kebaikan bersama (the

common good). Lalu lahir metode demokratis dimana prosedur kelembagaan

dalam mencapai keputusan memberikan hak individu untuk dapat memperoleh kekuasaan agar dapat mengambil keputusan melalu perjuangan kompetitif. Dengan demikian menurut definisi ini demokrasi mengandung dua dimensi yaitu kontes dan partisipasi (Dahl 1985:1-10).


(35)

21

Demokrasi erat kaitannya dengan kebebasan individu sehingga secara keseluruhan toleransi antara eksistensi demokrasi dan kebebasan individu sangat tinggi. Arus gelombang demokrasi menandai adanya reformasi di segala bidang sebagai pemantik utama bagi kelahiran kembali suatu identitas budaya dalam eksistensi gerak dinamika budaya lokal. Dialog internal dan interaksi sosial membangun sebuah ikatan antarindividu di dalam masyarakat berdasarkan budaya dan psikologis seseorang dalam suatu komunitas sosial budayanya untuk berpartisipasi aktif dalam mencapai tujuan yang diperjuangkannya. Menguatnya politik identitas berbasis simbol adat, kesukuan, agama dan nilai-nilai kultural merupakan hasil dari suatu proses sosial yang secara kultural melekat sebagai suatu gerakan sosial yang normal dalam dinamika suatu etnis.

Identitas kelompok atau identitas etnis yang telah muncul dengan baik merupakan dasar untuk mengangkat kepentingan dan perjuangan kelompoknya masing-masing, tetapi dalam suatu bangunan dan tatanan kebudayaan yang memegang prinsip multikultur, perjuangan politik identitas harus diletakan pada suatau kerangka kesatuan di setiap keberagaman yang artinya bahwa semua manusia seharusnya dapat menerima perbedaan dan kesetaraan.

2.3Landasan Teori

Pada bagian ini peneliti mengemukakan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pemilihan teori-teori ini didasari dari konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Teori berfungsi sebagai landasan untuk menjawab


(36)

22

pertanyaan dari rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. Penulis menggunakan teori politik identitas yang terkonstruksi berdasarkan beberapa konsep yang relevan dari pemikiran tokoh-tokoh, seperti Manuel Castells dan Clifford Geertz mengenai pembangunan identitas dan primordialisme. Berikut penjelasan terkait teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

2.3.1 Teori Politik Identitas

Secara empiris, politik identitas merupakan aktulisasi partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat dan mengalami proses internalisasi secara terus-menerus. Politik identitas Punguan Parna bermula dari proses pembentukan pembangunan identitas masyarakat Batak. Hubungan politik dan kekuasaan dari identitas dalam politik identitas, dikontruksikan pada pembentukan pembangunan identitas oleh seseorang atau sekelompok orang. Konstruksi sosial dari identitas selalu terjadi dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan.

Castells (2010:8) menyebutkan tiga bentukan pembangunan identitas, yaitu:

a. Identitas legitimasi (legitimizing identity) yaitu identitas yang diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu masyarakat untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya terhadap aktor-aktor sosial.

b. Identitas resisten (resistance identity) yaitu sebuah proses pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial dalam kondisi tertekan dengan adanya dominasi dan stereotip oleh pihak-pihak lain, sehingga membentuk


(37)

23

resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan untuk keberlangsungan hidup kelompok dan golongannya. Sebuah terminologi yang disebutkan ketika Calhoun mengidentifikasi munculnya politik identitas.

c. Identitas proyek yaitu suatu identitas dimana aktor-aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisi-posisi baru pada masyarakat sekaligus mentransformasi struktur masyarakat secara keseluruhan.

Heller maupun Morowitz memperlihatkan sebuah keterkaitan yang sama yakni politik identitas dimaknai sebagai politik perbedaan. Konsep ini juga yang mewarnai hasil Simposium Asosiasi Politik Internasional diselenggarakan di Wina pada 1994. Selain itu pertemuan Wina memunculkan lahirnya dasar-dasar praktik politik identitas. Di sisi lain menurut Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, mengemukakan bahwa politik identitas biasanya digunakan oleh setiap pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka untuk setiap “orang pendatang” harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas hanya digunakan sebagai alat memanipulasi demi untuk menggalang politik agar memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.

Pemaknaan politik identitas antara Kemala dengan Heller dan Morowitz (1998) sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh dalam melihat politik identitas yang terjadi pada tataran praktis, dimana biasanya digunakan


(38)

24

sebagai alat memanipulasi dalam menggalang politik guna kepentingan ekonomi dan politik. Namun, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran pada bagian yang lain dengan mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik.

Clifford Geertz (1992) mengatakan kemerdekaan yang baru dialami oleh negara-negara berkembang sering dihadapkan pada sentimen-sentimen primordial. Hal ini membuat bergesernya konsepsional tentang pengertian-pengertian bangsa (nation), kebangsaan (nationality) dan nasionalisme

(nationalism) yang sering dibahas dalam setiap karya yang mencoba

menelaah masalah hubungan antara kesetiaan komunal dan kesetiaan politik. Primordial juga sering digunakan sebagai politik identitas etnis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena dianggap bermanfaat sebagai basis massa suatu kelompok yang dapat digerakkan.

Identitas etnis terafiliasi oleh setiap unsur-unsur perekat atau pengikat kekeluargaan, seperti: unsur ras, kepercayaan atau agama, budaya dan warisan-warisan para leluhurnya. Erikson (dalam Abdilah, 2002:79) menambahkan syarat kemunculan etnisitas atau suatu kelompok etnis yaitu bahwa kelompok tersebut paling sedikit telah menjalin hubungan atau kontak dengan etnis lain dan tiap-tiap etnis dapat menerima gagasan-gagasan dan ide-ide dalam perbedaan di antara mereka secara kultural.


(39)

25

Pendekatan primordialisme ini berfungsi untuk menjelaskan pengaruh ikatan primordial dalam Punguan Parna terhadap pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Melalui teori politik identitas peneliti akan melihat ikatan-ikatan primordial Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

Ikatan primordial mengacu pada beberapa sebab yang biasanya muncul bersama dan berlawanan tujuan secara deskriptif meliputi masalah-masalah yang timbul dalam beberapa hal, yaitu:

a. Hubungan darah

Kekeluargaan menjadi hal yang penting dalam hal ini karena hubungan yang nyata akibat biologis (keluarga besar garis keturunan dan sebagainya) terlalu terbatas untuk dianggap cukup berarti. Oleh karena itu pengenalan lebih bersifat hubungan keluarga yang lebih sosiologis seperti kesukuan.

b. Ras

Ras mirip dengan kesukuan dalam arti bahwa ia melihat teori etno-biologis. Jika ditelaah lebih dalam terdapat perbedaan diantara keduanya. Ciri utamanya yaitu bentuk-bentuk fisik yang fenotipe terutama warna kulit, bentuk muka, tinggi badan dan bentuk rambut. Masalah perkauman (communalism) di Malaya sebagian besar timbul dari perbedaan ini sekalipun kedua pihak berasal dari jenis fenotipe Mogoloid yang sama.


(40)

26

c. Bahasa

Linguistik merupakan sesuatu hal yang belum dapat diterangkan secara memuaskan, sehingga muncul permasalahan di India dan Malaya secara sporadis juga terjadi dibeberapa tempat di dunia. Bahasa seringkali dipandang sebagai pijakan essensi konflik-konflik nasional, secara tegas dalam hal ini linguistik bukanlah suatu akibat yang berawal dari keanekaragaman bahasa. Perbedaan bahasa tidak selalu menuju pada awal perpecahan atau menjadi masalah sosial yang besar, walaupun sering timbul ketidakpahaman mengenai penggunaan bahasa. Konflik-konflik primordial bisa saja terjadi dalam masyarakat yang tidak mengenal perbedaan bahasa yang mencolok, seperti di Libanon. d. Daerah

Hal ini menjadi faktor yang terjadi di hampir setiap belahan dunia, kedaerahan dengan sendirinya menjadi masalah serius di daerah-daerah geografis yang heterogen. Ketegangan antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (Bangladesh) terlibat masalah perbedaan dalam bahasa dan kultur, tetapi faktor geografi justru yang paling menentukan, ini diakibatkan karena secara teritorial negara itu tidak bersambungan. e. Agama

Agama menjadi kasus yang terkemuka di Partisi India. Di sisi lain, Libanon, orang Karen dan Araken Islam di Birma, orang Batak Toba, Ambon dan Minahasa di Indonesia, orang Moro di Filipina, orang Sikh di Punjab, India menjadi contoh terkenal tentang kekuatan ikatan


(41)

27

keagamaan dalam menghambat ataupun menggagalkan perasaan kebangsaan yang lebih luas.

f. Kebiasaan

Perbedaan-perbedaan dalam bentuk kebiasaan sering menjadi salah satu segi perpecahan nasional. Gejala ini terutama memliki peran penting dalam hal dimana satu kelompok yang secara intelektual dan kesenian merasa dirinya pembawa peradaban di tengah-tengah penduduk lain yang dianggap kasar karena berpedoman pada golongan yang mendominasi. Perlu diketahui bahwa golongan yang berbeda dengan yang lain dapat menjalankan gaya hidup umum yang sama.

Menurut Sjamsuddin (1993) dalam bukunya Dinamika Sistem Politik Indonesia menyatakan primordialisme dimiliki seseorang sejak dilahirkan hal ini dikarenakan oleh perasaan-perasaan yang telah mengkiat seseorang. Faktor-faktor primordial ini tidak dapat ditentukan sendiri sebab kondisi tersebut harus diterima untuk selama-lamanya seperti tempat kelahiran, suku, ikatan darah, daerah, ras, agama dan rasa.

Berdasarkan teori politik identitas Castells di atas, penulis mencoba menggunakan konsep pembangunan identitas dan konsep pendekatan primordialisme Punguan Parna. Lebih jauh teori ini digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.


(42)

28

2.4Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 Bagan pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016

Pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016

Politik Identitas (Identitas Legitimasi)

Paslon Bupati JR Saragih – Amran Sinaga

Partai Politik Punguan Parna

- Ikatan kekerabatan - Hubungan darah - Primordialisme


(1)

resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan untuk keberlangsungan hidup kelompok dan golongannya. Sebuah terminologi yang disebutkan ketika Calhoun mengidentifikasi munculnya politik identitas.

c. Identitas proyek yaitu suatu identitas dimana aktor-aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisi-posisi baru pada masyarakat sekaligus mentransformasi struktur masyarakat secara keseluruhan.

Heller maupun Morowitz memperlihatkan sebuah keterkaitan yang sama yakni politik identitas dimaknai sebagai politik perbedaan. Konsep ini juga yang mewarnai hasil Simposium Asosiasi Politik Internasional diselenggarakan di Wina pada 1994. Selain itu pertemuan Wina memunculkan lahirnya dasar-dasar praktik politik identitas. Di sisi lain menurut Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, mengemukakan bahwa politik identitas biasanya digunakan oleh setiap pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka untuk setiap “orang pendatang” harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas hanya digunakan sebagai alat memanipulasi demi untuk menggalang politik agar memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.

Pemaknaan politik identitas antara Kemala dengan Heller dan Morowitz (1998) sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh dalam melihat politik identitas yang terjadi pada tataran praktis, dimana biasanya digunakan


(2)

sebagai alat memanipulasi dalam menggalang politik guna kepentingan ekonomi dan politik. Namun, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran pada bagian yang lain dengan mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik.

Clifford Geertz (1992) mengatakan kemerdekaan yang baru dialami oleh negara-negara berkembang sering dihadapkan pada sentimen-sentimen primordial. Hal ini membuat bergesernya konsepsional tentang pengertian-pengertian bangsa (nation), kebangsaan (nationality) dan nasionalisme (nationalism) yang sering dibahas dalam setiap karya yang mencoba menelaah masalah hubungan antara kesetiaan komunal dan kesetiaan politik. Primordial juga sering digunakan sebagai politik identitas etnis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena dianggap bermanfaat sebagai basis massa suatu kelompok yang dapat digerakkan.

Identitas etnis terafiliasi oleh setiap unsur-unsur perekat atau pengikat kekeluargaan, seperti: unsur ras, kepercayaan atau agama, budaya dan warisan-warisan para leluhurnya. Erikson (dalam Abdilah, 2002:79) menambahkan syarat kemunculan etnisitas atau suatu kelompok etnis yaitu bahwa kelompok tersebut paling sedikit telah menjalin hubungan atau kontak dengan etnis lain dan tiap-tiap etnis dapat menerima gagasan-gagasan dan ide-ide dalam perbedaan di antara mereka secara kultural.


(3)

Pendekatan primordialisme ini berfungsi untuk menjelaskan pengaruh ikatan primordial dalam Punguan Parna terhadap pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Melalui teori politik identitas peneliti akan melihat ikatan-ikatan primordial Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

Ikatan primordial mengacu pada beberapa sebab yang biasanya muncul bersama dan berlawanan tujuan secara deskriptif meliputi masalah-masalah yang timbul dalam beberapa hal, yaitu:

a. Hubungan darah

Kekeluargaan menjadi hal yang penting dalam hal ini karena hubungan yang nyata akibat biologis (keluarga besar garis keturunan dan sebagainya) terlalu terbatas untuk dianggap cukup berarti. Oleh karena itu pengenalan lebih bersifat hubungan keluarga yang lebih sosiologis seperti kesukuan.

b. Ras

Ras mirip dengan kesukuan dalam arti bahwa ia melihat teori etno-biologis. Jika ditelaah lebih dalam terdapat perbedaan diantara keduanya. Ciri utamanya yaitu bentuk-bentuk fisik yang fenotipe terutama warna kulit, bentuk muka, tinggi badan dan bentuk rambut. Masalah perkauman (communalism) di Malaya sebagian besar timbul dari perbedaan ini sekalipun kedua pihak berasal dari jenis fenotipe Mogoloid yang sama.


(4)

c. Bahasa

Linguistik merupakan sesuatu hal yang belum dapat diterangkan secara memuaskan, sehingga muncul permasalahan di India dan Malaya secara sporadis juga terjadi dibeberapa tempat di dunia. Bahasa seringkali dipandang sebagai pijakan essensi konflik-konflik nasional, secara tegas dalam hal ini linguistik bukanlah suatu akibat yang berawal dari keanekaragaman bahasa. Perbedaan bahasa tidak selalu menuju pada awal perpecahan atau menjadi masalah sosial yang besar, walaupun sering timbul ketidakpahaman mengenai penggunaan bahasa. Konflik-konflik primordial bisa saja terjadi dalam masyarakat yang tidak mengenal perbedaan bahasa yang mencolok, seperti di Libanon. d. Daerah

Hal ini menjadi faktor yang terjadi di hampir setiap belahan dunia, kedaerahan dengan sendirinya menjadi masalah serius di daerah-daerah geografis yang heterogen. Ketegangan antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (Bangladesh) terlibat masalah perbedaan dalam bahasa dan kultur, tetapi faktor geografi justru yang paling menentukan, ini diakibatkan karena secara teritorial negara itu tidak bersambungan. e. Agama

Agama menjadi kasus yang terkemuka di Partisi India. Di sisi lain, Libanon, orang Karen dan Araken Islam di Birma, orang Batak Toba, Ambon dan Minahasa di Indonesia, orang Moro di Filipina, orang Sikh


(5)

keagamaan dalam menghambat ataupun menggagalkan perasaan kebangsaan yang lebih luas.

f. Kebiasaan

Perbedaan-perbedaan dalam bentuk kebiasaan sering menjadi salah satu segi perpecahan nasional. Gejala ini terutama memliki peran penting dalam hal dimana satu kelompok yang secara intelektual dan kesenian merasa dirinya pembawa peradaban di tengah-tengah penduduk lain yang dianggap kasar karena berpedoman pada golongan yang mendominasi. Perlu diketahui bahwa golongan yang berbeda dengan yang lain dapat menjalankan gaya hidup umum yang sama.

Menurut Sjamsuddin (1993) dalam bukunya Dinamika Sistem Politik Indonesia menyatakan primordialisme dimiliki seseorang sejak dilahirkan hal ini dikarenakan oleh perasaan-perasaan yang telah mengkiat seseorang. Faktor-faktor primordial ini tidak dapat ditentukan sendiri sebab kondisi tersebut harus diterima untuk selama-lamanya seperti tempat kelahiran, suku, ikatan darah, daerah, ras, agama dan rasa.

Berdasarkan teori politik identitas Castells di atas, penulis mencoba menggunakan konsep pembangunan identitas dan konsep pendekatan primordialisme Punguan Parna. Lebih jauh teori ini digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.


(6)

2.4Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 Bagan pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016

Pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016

Politik Identitas (Identitas Legitimasi)

Paslon Bupati JR Saragih – Amran Sinaga

Partai Politik Punguan Parna

- Ikatan kekerabatan - Hubungan darah - Primordialisme