PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI VISUAL THINKING PADA PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL.

(1)

PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI VISUAL

THINKING PADA PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS

DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP

MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor Pendidikan dalam Pendidikan Matematika

Promovendus

EDY SURYA

NIM. 0908345

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013


(2)

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Peningkatan Kemampuan Representasi Visual Thinking dan Pemecahan Masalah Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual” ini adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan plagiarisme atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam tradisi keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menerima tindakan/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas etika akademik dalam karya saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Januari 2013 Yang membuat pernyataan,

Edy Surya NIM. 0908345


(4)

ABSTRAK

Edy Surya (2013). Peningkatan Kemampuan Representasi Visual Thinking pada Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual. Penelitian ini berbentuk eksprimen dengan disain kelas control pretes-postes, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan representasi visual thinking (KRVT) pada pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar (KB) siswa SMP melalui pembelajaran kontekstual. Populasi penelitian ini adalah siswa SMP di Kota Medan. Sampel terdiri atas 169 siswa dari dua sekolah dengan kategori sekolah baik dan sedang. Sampel tersebut terdiri atas empat kelas, yaitu dua kelas eksperimen dan dua kelas kontrol. Siswa kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran kontekstual (P-CTL) dan siswa kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional (P-KV). Sebelum dilakukan penelitian, subjek sampel dikelompokan menjadi kelompok tinggi, menengah dan rendah berdasarkan kemampuan awal matematika. Instrumen penelitian ini adalah tes, observasi dan wawancara. Penelitian ini menemukan : (1) Pendekatan P-CTL pada pembelajaran matematika dapat meningkatkan KRVT, pada kategori sekolah baik dan sedang. Begitu juga untuk sekolah kategori sedang, peningkatan KRVT siswa yang mendapat P-CTL juga lebih tinggi dari peningkatan KRVT sekolah kategori baik dan sedang yang mendapat P-KV; (2) P-CTL dapat meningkatkan KRVT siswa pada ketiga kelompok KAM. Peningkatan KRVT siswa pada KAM tinggi, menengah dan rendah yang mendapat P-CTL lebih tinggi dari siswa pada KAM tinggi, menengah, dan rendah yang mendapat P-KV; (3) Tidak terdapat pengaruh interaksi pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan KRVT siswa; (4) Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan KAM, terhadap peningkatan KRVT siswa; (5) P-CTL dapat meningkatkan KB pada kategori sekolah. Pada sekolah dengan kategori baik peningkatan KB siswa yang mendapat P-CTL lebih tinggi dari peningkatan KB siswa yang mendapat P-KV. Begitu juga untuk sekolah kategori sedang, peningkatan KB siswa yang mendapat P-CTL juga mengalami peningkatan yang signifikan lebih tinggi dari peningkatan KB siswa dari sekolah kategori baik dan sedang yang mendapat P-KV; (6) P-CTL dapat meningkatkan KB siswa pada ketiga kelompok KAM; (7) Tidak terdapat pengaruh interaksi pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan KB siswa; (8) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan KAM siswa terhadap peningkatan KB siswa.

Kata Kunci : representasi visual thinking, kemandirian belajar, pembelajaran kontekstual


(5)

ABSTRACT

Edy Surya (2013). Improving Visual Thinking Representation in Mathematica Problem Solving andSelf-Regulated Learning of SMP Students with Contextual Teaching Learning

This research study was aimed at improvement visual thinking representation (KVRT) in mathematical problem solving and self-regulated learning (SRL) of SMP students with contextual teaching learning (P-CTL) by applying a control group pre-test-posttest design. The population was SMP students in Medan. The number of sample was 169 students, they came from two different levels of school category, good and middle school. Sample consisted of four classes, two classes of experimental groups and two classes of control groups. Experiment classes were treated by P-CTL and control classes were treated by conventional learning (P-KV). Prior to the study, the subject sample are grouped into high, medium and low based on basic math competency (KAM). The research instrument was a test, observation and interview. It was found that (1) P-CTL improves KRVT for the two schools level. It was increased students’ KRVT who received P-CTL in the middle school level which is higher than KRVT at good school level which is receiving P-KV. (2) P-CTL improves students’ KRVT in all three groups KAM. Increased KRVT at high, medium and low students’ KAM who received P-CTL higher than students in the high, medium, and low KAM who received P-KV, (3) There was no interaction effect of teaching approaches and school categories to improve students’ KRVT; (4) There is an interaction between teaching approaches and students’ KAM, to improve students’ KRVT, (5) P-CTL improves SRL in the school level. It was increasing SRL in good school level students who received P-CTL higher than the increasing of the students who received P-KV. Moreover, it was also increasing SRL for the middle school level who received P-CTL which was significantly increased higher than the SRL increasing from both categories which were receiving P-KV, (6) P-CTL improves students’ SRL in all three groups KAM; (7) There is no interaction effect of teaching approach and school levels to improve SRL: (8) There is no interaction effect of teaching approach and students’ KAM to improve SRL.

Keywords: visual thinking representation, self-regulated learning, contextual teaching learning approach


(6)

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ………...….. ………. ………. ……….… ………. ………. ………. ………. ………. ………. ……… i ii iii iv v ix x xi xiii xvii xviii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1 21

22 23 24 A. Latar Belakang

Masalah

B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Definisi Operasional

……….... ……….... ……….... ………..….. ……… ... BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….

A. Representasi Visual Thinking Matematis .……….. B. Pemecahan Masalah Matematis ...……….. C. Pendekatan Kontekstual ……………….. D. Keterkaitan antara Kemampuan Representasi Visual

Thinking dan Pemecahan Masalah Matematis serta

Pendekatan Kontekstual ………. E. Kemandirian Belajar (Self-Regulated Learning) ….………..

F. Pengembangan Perangkat Pembelajaran ……… G. Beberapa Hasil Penelitian Relevan ………. H. Hipotesis Penelitian ………...

26 26 37 45 48 50 54 55 59

BAB III METODE PENELITIAN

A. Disain Penelitian ………

B. Populasi dan Sampel Penelitian ……… C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ……… D. Perangkat Pembelajaran ……… E. Prosedur Penelitian ……… F. Teknik Analisis Data ………. G. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ………..

61 61 63 65 76 80 82 83


(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data dan Analisis Hasil Penelitian ………... B. Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Nilai KAM ………. C. Uji Beda Rata-Rata Data KAM Berdasarkan Kategori Sekolah .. D. Uji Beda Rata-Rata Data KAM Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ………...... E. Analisis Deskriptif Data PeningkatanRVT Siswa ………... F. Analisis Inferensial Data Peningkatan Kemampuan RVT ……… G. Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Peningkatan KRVT …....…...…. H. Analisisi Deskriptif Data KB Matematis Siswa ………….…..… I. Analisis Inferesial Data KB Siswa ………..…….… J. Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Data KB …………...…………..

K. Pembahasan ……….

85 85 90 92 93 94 98 126 127 132 163 164 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN

REKOMENDASI ……….. A. Kesimpulan ………….………...………

B. Implikasi ………...…………

C. Keterbatasan………..…….

D. Rekomendasi …………..

193 193 195 196 196 DAFTAR PUSTAKA ……… 197 LAMPIRAN ………. 206


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13 3.14 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15

Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel

Kontrol (Level Sekolah) ………

Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel

Kontrol (Kemampuan Awal Matematika) ……….. Sekolah dan Kelas sebagai Sampel Penelitian ………. Banyaknya Siswa pada KAM Tinggi, Menengah dan rendah ……….

Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes Kemampuan RVT………..

Hasil Pertimbangan Validasi Muka Tes Kemampuan……….... Koefisien Korelasi Pearson ……… Koefisien reliabilitas Soal ………

Hasil Perhitungan Validitas Soal Tes Kemampuan RVT Data Ujicoba .

Reliabilitas Soal Tes Kemampuan RVT Data Uji Coba…………...

Perhitungan Mendapatkan Skor Skala KB untuk Pernyataan Positif

Butir 1 (+) ………..

Perhitungan Mendapatkan Skor Skala KB untuk Pernyataan Positif

Butir 7 (-) ………..

Komposisi Skala KB Setelah Pengguguran…….…………...………… Waktu Pelaksanaan Penelitian………….…….………..

Sebaran Sampel Berdasarkan Kelompok KAM, Kategori Sekolah dan

Pendekatan Pembelajaran………..

Deskripsi Data KAM Berdasarkan Kategori Sekolah, Pendekatan

Pembelajaran, dan Gabungannya……….

Deskripsi Data KAM Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Kelompok KAM Siswa dan Gabungannya………. Hasil Uji Normalitas Data KAM Siswa Berdasarkan Kategori Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran………..

Hasil Uji Homogenitas Varians Nilai KAM Berdasarkan Kategori

Sekolah………...

Uji Beda Rata-Rata Data KAM Siswa Berdasarkan Kategori Sekolah Uji Beda Rata-Rata Data KAM Siswa Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran……….

Deskripsi Kemampuan RVT Siswa Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran……….

Ansalisis Deskriptif Data Kemampuan RVT Siswa dan Nilai N-Gain

Berdasarkan Kategori dan Pendekatan Pembelajaran ……….

Deskripsi Kemampuan RVT Siswa Berdasarkan KAM, dan Pendekatan

Pembelajaran……….

Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa Berdasarkan

Pendekatan Pembelajaran ……….

Analisis Peningkatan RVT Siswa Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ………

Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan RVT Siswa Berdasarkan

Pendekatan Pembelajaran………..

Uji Beda Peningkatan Kemampuan RVT Siswa Setelah Pembelajaran

CTL dan KV ……….

Uji Normalitas Data Peningkatan RVT yang Berasal dari Sekolah Kategori Baik setelah P-CTl ………..….

62 62 64 65 67 68 69 70 70 71 73 74 75 84 86 87 88 90 91 92 93 94 95 97 99 100 101 102 103


(9)

4.16 4.17 4.18 4.19 4.20 4.21 4.22 4.23 4.24 4.25 4.26 4.27 4.28 4.29 4.30 4.31 4.32 4.33 4.34 4.35 4.36 4.37 4.38 4.39 4.40 4.41 4.42 4.43 4.44 4.45

Analisis Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori

Baik ………. ………..

Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Baik setelah Mendapat P-KV…………. Analisis Peningkatan kemampuan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Baik setelah Mendapat Pembelajaran P_KV

Uji Normalitas Data Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang setelah Mendapat P-CTL …….

Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang setelah Mendapat P-CTL ……….……. Uji Normalitas Data Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang setelah Pembelajaran KV ………. Peningkatan RVT Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang

Setelah Mendapatkan KV ……….

Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa

Sekolah Kategori Baik ……….

Uji Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Sekolah Kategori Baik………. Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan RVT Siswa Sekolah

Kategori Sedang ……….... Uji Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Sekolah Kategori Sedang …...

Uji Normalitas Data Peningkatan RVT Setiap kelompok KAM ……...

Uji Nyata Peningkatan Kemampuan RVT Setiap Kelompok KAM…...

Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan Kemampuan RVT Siswa

Setiap Kelompok KAM ………. Uji Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Setiap Kelompok KAM …….

Uji Homogenitas Varians dari Levene Peningkatan RVT Berdasarkan

Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan Kategori Sekolah……..

Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan

Pembelajaran dan Kategori Sekolah ………..

Uji Homogenitas Varian dari Levene Peningkatan RVT Siswa

Berdasarkan Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan KAM Siswa Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan

Pembelajaran dan KAM Siswa ………

Uji Nyata Perbedaan Peningkatan RVT Siswa Antar Kelompok KAM (Uji Post Hoc-LSD) ………..

Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Data Peningkatan Kemampuan RVT

Deskripsi KB Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran…………

Analisis Deskriptif KB Siswa dan Nilai N-Gain Berdasarkan Kategori Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran ………..

Deskripsi KB Siswa Berdasarkan KAM dan Pendekatan Pembelajaran Uji Normalitas Data Peningkatan KB Siswa Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ………..

Analisis Peningkatan KB Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran Uji Homogenitas Varians Data Peningkatan KB Siswa Berdasarkan

Pendekatan Pembelajaran ……….. Uji Beda Peningkatan KB Siswa pada Pembelajaran CTL dan KV …..

Uji Normalitas Data Peningkatan KB yang Berasal dari Sekolah

Kategori Baik ……….

Uji Normalitas Data Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah

Kategori Baik setelah mendapat PKV ……….

104 104 105 106 107 107 108 109 110 111 112 114 115 116 118 119 120 122 123 125 126 127 128 130 133 134 135 136 137 137


(10)

4.46 4.47 4.48 4.49 4.50 4.51 4.52 4.53 4.54 4.55 4.56 4.57 4.58 4.59 4.60 4.61 4.62 4.63 4.64 4.65 4.66 4.67 4.68 4.69 4.70 4.71

Analisis Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori

Baik Setelah Mendapat PCTL ……….

Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Baik

Setelah Mendapat PKV ………

Uji Normalitas Data Peningkatan KB yang Berasal dari Sekolah

Kategori Sedang Setelah mendapat CTL ……….

Uji Normalitas Data Peningkatan KB yang Berasal dari Sekolah

Kategori Sedang Setelah mendapat PKV ………

Analisis Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang Setelah Mendapat P-CTL ……… Analisis Peningkatan KB Siswa yang Berasal dari Sekolah Kategori Sedang Setelah Mendapat P-KV ………. Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB Antara Siswa pada

Sekolah Kategori Baik ………

Uji Beda Peningkatan KB Siswa Pada Sekolah Kategori Baik P-CTL

dan P-KV……….. …..

Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB Siswa pada Sekolah

Kategori Sedang ………..

Uji Perbedaan Peningkatan KB antara Siswa yang Mendapat CTL pada

Sekolah Kategori Sedang ………..

Uji Normalitas Data Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM

Tinggi ……….

Uji Nyata Peningkatan Rata_Rata Skor KB pada KAM

Timggi………

Uji Normalitas Data Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM

Menengah ………

Uji Nyata Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM Menengah …… Uji Normalitas Data Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM

Rendah ………..

Uji Nyata Peningkatan Rata-Rata Skor KB pada KAM Rendah …….. Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB antara Siswa pada

Kelompok KAM Tinggi ………..

Uji Perbedaan Peningkatan Rata-Rata Skor KB Siswa Pada KAM

Tinggi ………

Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB antara Siswa yang

Mendapat CTL dan KV pada KAM Menengah ………

Uji Perbedaan Peningkatan Rata-Rata Skor KB Siswa Pada KAM

Menengah ……….

Uji Homogenitas Varian Data Peningkatan KB antara Siswa yang

Mendapat CTL dan KV pada KAM Rendah ……….

Uji Perbedaan Peningkatan Rata-Rata Skor KB Siswa Pada KAM

Rendah ……….l

Uji Homogenitas Varian dari Levene terhadap Data Peningkatan KB

Siswa ………..

Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan Kategori Sekolah ………. Uji Homogenitas Varian dari Levene terhadap Data Peningkatan KB

Siswa ……… ………..

Ringkasan Hasil Uji Perbedaan dan Interaksi antara Pendekatan

Pembelajaran dan Kelompok KAM Siswa terhadap Peningkatan KB …

138 139 140 140 141 142 143 144 145 145 147 148 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161


(11)

4.72 4.73

Uji Nyata Perbedaan Peningkatan KB antar Kelompok KAM (Uji Post

Hoc-LSD) ……….…..

Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Data Peningkatan KB Matematis

Siswa ……….

163 163


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 2.1 2.2 2.3 2.4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8

Pentingnya Visual Thinking ……… Aku Benci Gambar ……….. Kue Bika Ambon ………… ……… Potongan Kue Bika Ambon ………

Jawaban si A ………

Jawaban si B ………

Representasi Iconic-Visual ……….. Representasi Visual Thinking yang Mendukung Penilaian

Formatif ………

Tiga Cara Berpikir ……….

Developing Identity as a Mathematical Thinker ……… Skor Kemampuan RVT Ditinjau dari Kategori Sekolah dan

Pendekatan Pembelajaran ………

KRVT Siswa Ditinjau dari KAM dan Pendekatan

Pembelajaran………..

Rata-Rata N-Gain RVT Siswa Ditinjau dari Kategori Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran ………..

Rata-Rata N-Gain RVT Ditinjau dari KAM dan Pendekatan

Pembelajaran ………

Skor Awal dan Akhir KB Siswa Ditinjau dari Kategori Sekolah

……….

Skor Awal dan Akhir KB Siswa Ditinjau dari Kelompok KAM Skor Rata-Rata N-Gain KB Siswa dari Kategori Sekolah dan

Pendekatan Pembelajaran ……….

Skor Rata-Rata N-GainKB Siswa Ditinjau dari Kelompok

KAM Siswa dan Pendekatan Pembelajaran ………

8 9 12 13 14 15 27 28 29 53 96 98 121 124 129 131 159 162


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

A-1 A-2 A-3 A-4 A-5 A-6 A-7 A-8 A-9 A-10 A-11 A-12 A-13 A-14 A-15 B-1 B-2 B-3 B-4 B-5 B-6 B-7 B-8 B-9 C-1 C-2 C-3 C-4 D-1 D-2 D-3 D-4 D-5 E-1 E-2

Buku Pedoman Guru ………. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ……….... Lembar Kegiatan Siswa (LKS)…………..……… Naskah Pedoman Wawancara …….………..

Naskah Pedoman Observasi ……….. a. Naskah Soal Pretes Kemampuan RVT ………... b. Naskah Soal Postes kemampuan RVT ………

Naskah Angket Kemandirian Belajar Matematis ………..

Kisi-Kisi dan teknik Penskoran Tes Kemampuan RVT ……...

Penyelesaian Tes Kemampuan RVT ………. Lembar Validasi Buku Pedoman Guru ………. Lembar Validasi LKS ………... Lembar Validasi Naskah Pedoman Wawancara ………... Lembar Validasi Naskah Pedoman Observasi ………. Lembar Validasi Naskah Soal Kemampuan RVT ………

Lembar Validasi Naskah Angket Kemandirian Belajar ………

Hasil Validasi Buku Pedoman Guru ………. Hasil Validasi LKS ………... Hasil Validasi Soal Kemampuan RVT ………. Hasil Validasi Angket Kemandirian Belajar ……… Hasil Ujicoba Kemampuan RVT di SMP AL Ulum ………… Hasil Analisis Statistik Data Kemampuan RVT di Al Ulum … Hasil Ujicoba KB di SMP Al Ulum ……….. Hasil Perhitungan Pembobotan Data KB Hasil Ujicoba ……... Validitas Data KB Matematis Hasil Ujicoba ……… Skor Kemampuan Awal Matematika (KAM) Siswa ………… Skor Kemampuan RVT Sekolah Kategori Baik ……….. Skor Kemampuan RVT Sekolah Kategori Sedang ………….. Skor Kemandirian Belajar Matematis Siswa ……… Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Data KAM ……

Deskripsi, Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Data

Kemampuan RVT ……….

Uji Nyata, Uji Beda, ANAVA, Data Peningkatan Kemampuan

RVT ………..

Deskripsi, Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Varian Data

KB Matematis ………...

Uji Nyata, Uji Beda, ANAVA, Data Peningkatan KB ………

Surat Keterangan Izin Penelitian ……….. Suasana Proses Pembelajaran di Kelas ……….

207 272 299 349 350 351 353 355 363 365 369 370 372 373 374 375 380 382 384 386 392 393 394 404 425 431 438 441 444 448 450 464 470 477 483 486


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Visualisasi memiliki peran penting dalam pengembangan pemikiran, pemahaman matematis dan dalam transisi dari berpikir konkrit ke abstrak berkaitan dengan pemecahan masalah matematis (Lavy, 2006). Visual thinking menarik untuk dibahas mengingat banyak penelitian terdahulu menemukan bahwa akibat penggunaan representasi visual yang tidak benar siswa mengalami keterbatasan dan kesulitan. Kesulitan siswa yang ditemukan yaitu dalam memahami masalah, menggambar diagram, membaca grafik dengan benar, memahami konsep matematis formal dan memecakan masalah matematis (Eisenberg, 1994; Arcavi, 2003; Stylianou & Silver, 2004).

Visualisasi yang digunakan pada pembelajaran matematika dapat menjadi alat yang ampuh mengeksplorasi masalah matematis dan untuk memberi arti bagi konsep-konsep matematis dan hubungannya (Roska & Rolka, 2006).Banyak penelitian yang membahas keuntungan dari visualisasi berkaitan dengan pemecahan masalah matematis (Presmeg, 1986a; Presmeg 1986b; Kent 2000; Mariotti, 2000; Slovin, 2000; Thornton, 2001; Yin, 2011).

Peningkatan representasi visual thinking sangat penting dalam pemecahan masalah matematis. Modelminds (2012) menyebutkan terdapat 10 alasan mengapa

visual thinking penting dalam memecahkan masalah yang kompleks yaitu : (1) Visual thinking membantu memahami masalah yang kompleks menjadi lebih mudah; (2) Hasil visualisasi masalah yang kompleks, menjadi mudah dalam berkomunikasi dan bagi orang lain untuk menyelesaikannya; (3) Visual thinking membantu orang


(15)

berkomunikasi lintas budaya dan bahasa; (4) Visual thinkingmembuat komunikasi dari sisi emosional menjadi lebih baik; (5) Visualisasi membantu memfasilitasi pemecahan masalah non-linear; (6) Visualisasi dari masalah memungkinkan orang untuk berpikir bersama dengan setiap ide orang lain dengan menciptakan bahasa bersama; (7) Pemetaan visual dari sebuah masalah dapat membantu untuk melihat kesenjangan dari solusi dapat ditemukan; (8) Visualisasi membantu orang untuk mengingat, membuat ide konkrit dan menciptakan hasil yang lebih akurat pada akhirnya; (9) Visual thinking dapat memberikan gambaran sangat penting belajar dari kesalahan; (10) Visualisasi berfungsi sebagai motivasi yang besar mencapai tujuan. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa juga disebabkan oleh proses pembelajaran matematika di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kurang terkait langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari (Shadiq, 2007; Sumarmo, 2010). Pembelajaran seperti ini tidak sejalan dengan tujuan pemberian matematika pada siswa SMP, yaitu agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah, dan tidak sejalan pula dengan prinsip pengembangan KTSP, yaitu berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya serta relevan dengan kebutuhan kehidupan. Padahal kemampuan pemecahan masalah merupakan jantungnya matematika dan visualisasi merupakan inti dari pada pemecahan masalah matematika.

Surya (2010) menemukan sebagian besar siswa SMP/MTs tidak dapat mempresentasikan (memvisualisasikan pemikirannya) pada soal cerita matematika dan cenderung tidak dapat memecahkan soal matematika tersebut. Ketika soal-soal tersebut juga diberikan kepada Guru-guru matematika SD dan SMP yang mengikuti


(16)

PLPG di Medan sebagian besar guru juga tidak dapat mempresentasikan dan memecahkannya. Hal ini dapat terjadi karena pelaksanaan pembelajaran kurang bervariasi, standar proses belum ada.

Menurut Hudoyo (2002) kelemahan siswa kita pada kemampuan pemecahan masalah, penalaran, koneksi dan komunikasi matematis disebabkan oleh kegiatan pembelajaran yang umum terjadi di lapangan saat ini tidak mengakomodasi pengembangan kemampuan-kemampuan itu.

Pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilakukan guru di sekolah sejalan dengan temuan Pusat Kurikulum (Puskur). Puskur (2007a) menemukan pada aspek pelaksanaan KBMmatematika di SMP/MTs dan SMA/MA ditemukan antara lain :(a) Pembelajaran tidak mengacu pada RPP yang telah dibuat sehingga tidak terarah, hanya mengikuti alur buku pegangan; (b) Metode pembelajaran di kelas kurang bervariasi, guru cenderung selalu menggunakan metode ceramah; (c) Metoda pembelajaran tidak sesuai dengan materi (kesulitan memilih metoda yang sesuai dengan materi); (d) Sumber belajar umumnya dan buku pegangan sangat terbatas menggunakan teknologi dan lingkungan; (e) penilaian terkadang tidak mencakup seluruh indikator atau KD karena soal disusun tanpa kisi-kisi. Hal ini tentu sangat memperihatinkan.

NTCM (2000) telah menentukan 5 standar isi dalam bidang matematika, yaitu bilangan dan operasinya, pemecahan masalah, geometri, pengukuran, peluang dan analisis data. Pada geometri terdapat unsur penggunaan visualisasi, penalaran spasial dan pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan visual thinking (visualisasi) merupakan tuntutan kurikulum yang harus diakomodasi dalam pembelajaran matematika. Pada kurikulum nasional di Indonesia yakni KTSP,


(17)

daritingkat SD sampai PT peserta didik dituntut dapat menguasai materi geometri bidang dan geometri ruang dan pemecahan masalah yang juga membutuhkan visualisasi.

Kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian (kepercayaan diri) siswa dalam belajar matematika di sekolah sangat penting.Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah salah satu kompetensi dalam KTSP, pemecahan masalah matematis mutlak dipahami siswa karena merupakan syarat utama untuk memenuhi kompetensi lainnya yaitu representasi. Kemandirian belajar perlu dilakukan karena merupakan salah satu indikator keberhasilan siswa.

Kartasasmita (dalam Puskur, 2007b) menyatakan sangat penting diterapkan

pendekatan belajar aktif yangterfokus kepada proses matematika. Kurikulum yang

dikembangkan danimplementasinya dalam PBM hendaknya menekankan pemecahan

masalah dan pengembangan beragam kompetensi konkrit matematika, buku pengetahuan

(buku pedoman guru).Perlu dititikberatkan pengadaan dan penyebaran sarana belajar

matematika, berupabuku pelajaran, alat peraga, lembar kerja, buku sumber dan referensi,

paket belajar (learning pack), CD, dan buku bacaan yang relevan.

Pembelajaran matematikaperlu menggunakan perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran didesain agar pembelajaran yang dilakukan dapat meningkatkan kemampuan representasi visual thinking matematis pada pemecahan masalah matematis, dan kemandirian belajar siswa. Dalam hal ini buku ajar matematika dan aktivitas kegiatan siswa dalam belajar dan memecahkan masalah matematika dapat direncanakan dan dibuat guru sehingga diharapkan proses belajar, kemampuan menguasai konsep dan memecahkan masalah serta hasil belajar matematika siswa dapat meningkat.


(18)

Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, melakukan inovasi kurikulum sekolah. Perubahan dilakukan tidak saja dalam restrukturisasi substansi matematika yang dipelajari, namun yang sangat mendasar adalah pergeseran paradigma dari bagaimana guru mengajar dan bagaimana siswa belajar. Belajar tidak lagi dipandang sebagai proses transfer pengetahuan untuk kemudian disimpan dalam sistem memori siswa melalui praktek yang diulang-ulang dan penguatan. Siswa harus diarahkan agar mendekati setiap persoalan/ baru dengan pengetahuan yang telah ia miliki, mengasimilasi informasi baru, dan mengkonstruksi pemahaman siswa sendiri.

Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan kemampuan: (1) komunikasi matematis, (2) penalaran matematis, (3) pemecahan masalah matematis, (4) koneksi matematis, dan (5) representasi matematis (NCTM, 2000: 7). Menurut Sumarmo (2005), kemampuan-kemampuan tersebut disebut dengan daya matematis (mathematical power) atau keterampilan matematis (doing math). Lebih lanjut Sumarmo menyatakan bahwa melalui keterampilan matematis (doing math) di atas, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik masa kini dan kebutuhan peserta didik masa datang. Kebutuhan peserta didik masa kini adalah siswa memahami konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan lainnya ketika siswa masih duduk di bangku sekolah, sedangkan kebutuhan peserta didik masa datang adalah siswa memiliki kemampuan penalaran yang sangat diperlukannya di masyarakat sehingga mampu berkompetetif dengan bangsa lain. Dengan demikian, pembelajaran matematika pada jenjang sekolah manapun diharapkan dapat mengembangkan kemampuan matematis peserta didik melalui tugas matematika yang dapat mendukung tujuan di atas.


(19)

Salah satu keterampilan matematis yang penting dan perlu dikuasai siswa adalah kemampuan pemecahan masalah matematis. Pentingnya pemecahan masalah ditegaskan dalam NCTM (2000: 52) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika, sehingga hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Ruseffendi (2006: 341) yang mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah amatlah penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang di kemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari.

Kenyataan sekarang ini belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan, pembelajaran matematika masih cenderung berpatokan pada buku cetak, tak jarang dijumpai pengajaran berfokus pada guru. Pembelajaran di kelas menggunakan langkah-langkah pembelajaran konvensional seperti: menyajikan materi pembelajaran, memberikan contoh-contoh soal dan meminta siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat dalam buku cetak matematika yang mereka gunakan dalam mengajar dan kemudian membahasnya bersama siswa. Pembelajaran seperti ini tentunya kurang dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Siswa hanya dapat mengerjakan soal-soal matematika berdasarkan apa yang dicontohkan oleh guru, jika diberikan soal yang berbeda mereka akan kesukaran, danmengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.

Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sangat berhubungan dengan kemampuan representasi matematis mereka. Konstruksi representasi matematis yang tepat akan memudahkan siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Suatu masalah yang rumit akan menjadi lebih sederhana jika menggunakan representasi yang sesuai


(20)

dengan permasalahan tersebut, sebaliknya konstruksi representasi yang keliru membuat masalah matematis menjadi sukar untuk dipecahkan. Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau ide-ide matematis yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Dengan demikian diharapkan bahwa bilamana siswa memiliki akses ke representasi-representasi, ide-ide dan gagasan-gagasan yang mereka tampilkan, mereka memiliki sekumpulan alat yang siap secara signifikan akan memperluas kapasitas mereka dalam berpikir matematis (NCTM, 2000: 67).

Beberapa bentuk representasi matematis, yang merupakan representasi visual thinking siswa seperti verbal, gambar, model, numerik, simbol aljabar, tabel, diagram, dan grafik merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pelajaran matematika. Namun pada umumnya dalam pembelajaran, representasi yangdiberikan hanya sebagai pelengkap dalam menyelesaikan masalah matematika. Seharusnya sebagai komponen pembelajaran yang esensial, kemampuan representasi visual thinkingmatematis siswa perlu senantiasa dilatih dalam proses pembelajaran matematika di sekolah.Montague (2007) menegaskan representasi masalah yang sesuai adalah dasar untuk memahami masalah dan membuat suatu rencana untuk memecahkan masalah.

KNILT (2008) menyatakan alasan pentingnya visual thinkingbagi seorang guru atau siswa antara lain : (1) Pikiran yang tertata adalah kunci sukses belajar; (2) Pikiran yang tertata dapat dikembangkan melalui penggunaan alat-alat peraga yang dapat meningkatkan pencapaian; (3) Banyak keuntungan siswa dari pikiran yang tertata; (4) Pikiran yang tertata dapat memotivasi, efektif dan kreatif; (5) Sekolah hanya dapat mengoptimalkan assessment dalam belajar seperti kelihatan berpikir.


(21)

Gambar 1.1. Pentingnya visual thinking Sumber : KNILT (2008)

Pemecahan masalah adalah jantungnya matematika dan inti dari pemecahan masalah adalah visualisasi (Yin, 2011).Yin mengidentifikasi peran dari visualisasi dalam memecahkan masalah matematis : Untuk memahami masalah, menyederhanakan masalah, melihat masalah ke koneksi terkait, memenuhi gaya belajar individu, sebagai pengganti untuk perhitungan, sebagai alat untuk memeriksa jawaban, dan untuk mengubah masalah ke dalam bentuk-bentuk matematis. Surya (2011a) menyatakan bahwa dengan visualisasi siswa dapat aktif merepresentasi gambaran pemikiran dalam benaknyasehingga dapatmembantu proses memecahkan masalah matematis sekolah dan masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari. Panusuk dan Bayranevand (2010) menemukan bahwa siswa lebih sistematis dan efektif memecahkan masalah dengan menggunakan berbagai macam representasi. Informasi yang akan dipelajari di kelas harus konsisten dan secara eksplisit disampaikan kepada siswa dalam berbagai cara agar siswa dapat membangun berbagai metode dan teknik berpikir untuk meningkatkan struktur kognitif. Penelitian


(22)

ini mendukung pernyataan bahwa semakin beragam siswa menggunakan pengetahuan representasi, semakin besar kemungkinan siswa mampu menghasilkan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah matematis. Paparan representasi banyak membantu siswa dalam mengembangkan pengetahuan matematika.Panasuk & Bayranevand (2010) juga menemukan pada siswa kelompok tinggi, siswa bingung dan benci dengan permasalahan representasi gambar. Siswa tersebut lebih menyukai menggunakan representasi simbolik. Siswa menggunakan persamaan karena lebih mudah hanya memasukkan angka untuk memecahkan permasalahan, misalnya langsung 23 –9 = 14. Siswa menjelaskan “bingung dengan gambar” atau “ saya benci dengan gambar” karena siswa tidak tahu ”apa yang harus dilakukan” dan “lebih mudah bagi saya untuk melihat” tapi “ bagaimana melakukannya.” "Bagaimana melakukannya" akan melibatkan ekstraksi dan analisis struktur hubungan yang tidak segera jelas dan eksplisit ketika disajikan dalam kata-kata atau gambar. Hasil wawancara ditemukan siswa kelompok atas kurang mahir pada pemahaman struktur yang mendalam dari hubungan linear, sifat yang tidak diketahui, dan terbiasa menggunakan rumus (mekanis) dan prosedural.

Gambar 1.2. Aku Benci Gambar (Sumber : Panasuk & Bayranevand, 2010)


(23)

Kemampuan siswa dalam representasipada pemecahan masalah matematis merupakan suatu kemampuan yang dapat dikembangkan. Pemilihan cara atau pendekatan pembelajaran yang tepat akan menunjang pengembangan kedua kemampuan tersebut. Ruseffendi (2006: 240) menyatakan bahwa pendekatan merupakan suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pengajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pengajaran atau materi pelajaran itu dikelola. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran matematika yang diperkirakan dapat meningkatkan kemampuan representasi matematis dan pemecahan masalah matematis siswa adalah pendekatan kontekstual berdasarkan lingkungan siswa.

Menurut McCoy, Baker dan Little (Hutagaol, 2007) cara terbaik membantu siswa memahami matematika melalui representasi adalah dengan mendorong mereka untuk menemukan atau membuat representasi sebagai alat berpikir dalam mengkomunikasikan gagasan matematis. Ruseffendi (2005) mengemukakan bahwa salah satu peran penting dalam mempelajari matematika adalah memahami objek langsung matematika yang bersifat abstrak seperti fakta, konsep, prinsip dan skill.

Untuk mencapainya diperlukan sajian benda-benda konkrit untuk membantu memahami ide-ide matematis yang bersifat abstrak tersebut. Sehingga dalam proses pembelajarannya diperlukan kemampuan representasi yang baik. Peran sajian benda konkrit dalam pembelajaran terbatas hanya sebagai alat bantu pemahaman, dan jika ide yang dipelajari telah dipahami, sajian benda konkrit tersebut tidak diperlukan lagi dalam belajar matematika.

Sabandar (2005) mengemukakan bahwa peningkatan kemampuan representasi matematis, bisa dilakukan guru melalui proses penemuan kembali


(24)

dengan menggunakan konsep matematisasi horizontal dan vertikal. Konsep matematisasi horizontal berupa identifikasi, visualisasi masalah melalui sketsa atau gambar yang telah dikenal siswa. Konsep matematisasi vertikal dapat berupa representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda dan pengeneralisasian.

Hasil survei yang dilakukan Ardhana, dkk. (2003) tentang pembelajaran matematika dan sains siswa SMP di kota Malang dan Surabaya menunjukkan bahwa: (1) Model pembelajaran bermakna dalam pembelajaran matematika belum terimplementasi dengan baik, (2) Guru melakukan pembelajaran umumnya bertolak dari buku matematika yang ada bukan dari tujuan pembelajaran dan kebutuhan peserta didik, (3) Kurangnya pengaitan pembelajaran matematika dengan konteks kehidupan siswa; (4) pembelajaran matematika jarang dimulai dengan masalah-masalah kehidupan sehari-hari (nyata), dan (5) pembelajaran matematika biasanya menggunakan bahan-bahan yang hanya mengutamakan keterampilan berpikir konvergen.

Hasil survei pembelajaran matematika di atas memberikan indikasi bahwa secara umum pembelajaran matematika di SMP cenderung merupakan aktivitas konvensional. Aktivitas pembelajaran reguler tersebut diduga kuat sebagai penghalang pencapaian kemampuan komunikasi (representasi) matematis dan pemahaman matematis. Perkin dan Unger (1999) menganjurkan bahwa pembelajaran matematika untuk pemahaman harus menantang siswa untuk belajar, misalnya dengan penyajian masalah-masalah terstruktur yang mendukung penerapan ketrampilan berpikir dan bekerja. Jadi, pembelajaran matematika untuk pemahaman ditujukan pada pencapaian learning how to learn dan learning to do. Pembelajaran matematika


(25)

dalam pencapaian learning how to learn dan learning to do akan tampak dari proses pembelajaran yang berlangsung, bukan hanya semata-mata dari hasil pembelajaran. Berangkat dari berbagai teori pembelajaran bermakna tersebut dan teori psikologi kognitif, serta fakta bahwa matematika selalu berhubungan dengan kenyataan, maka banyak dikembangkan inovasi pembelajaran dengan berbagai pendekatan.

Soal yang peneliti ujikan kepada siswa merupakan masalah kontekstual yang sederhana. Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan siswa dalam memahami dan menggambarkan masalah apa yang ada dalam pikiran siswa. Soal tersebut contohnya adalah sebagai berikut :

Masalah Kue Bika Ambon Ibu Mariani.

Bu Mariani setiap hari membuat kue Bika Ambon sebanyak 20 loyang dengan ukuran persegi 28 cm. Biaya kue per loyangnya Rp. 30.000,- Jika kue tersebut dipotong per potong dengan ukuran 4 cm x 2 cm. Kue yang telah dipotong dijualnya Rp. 500,- perpotongnya.

a. Gambarkan potongan kue bu Mariani per loyangnya. b. Berapa banyak potongan kuenya.

c. Berapa penjualan kue bika Ambon yang telah dipotong, jika semua kuenya habis terjual.

d. Berapa Untung atau Ruginya Bu Mariani setiap harinya.

Gambar 1.3. Kue Bika Ambon Penyelesaian dari soal Kue Bika Ambon ibu Mariani adalah :

Diketahui : Banyak Kue 20 loyang, ukuran kue per loyang 28 cm x 28 cm Biaya Kue Rp. 30.000/loyang , Ukuran kue perpotong 4 cm x 2 cm


(26)

Harga perpotong Rp. 500,-

Ditanya : a. Gambarkan potongan kue bu Mariani b. Banyak potongan kuenya

c. Penjualan kue yang telah dipotong d. Berapa untung atau ruginya Ibu Mariani

Jawab : a. Gambar potongan kue bu Mariani, Ukuran sepotong 4 cm x 2 cm 7 buh

14 buah

Gambar 1.4. Potongan Kue Bika Ambon b. Banyak membuat kue = 20 loyang

Luas seluruh permukaan kue = 20 x (luas permukaan seloyang kue) Luas seluruh permukaan kue = 20 x (28 cm x 28 cm) = 15.680 cm2

Luas permukaan sepotong kue = 4cm x 2 cm = 8 cm2

Banyak potongan kue seluruhnya = 15.680 cm2 : 8 cm2 = 1.960 buah c. Penjualan kue = 1.960 buah x Rp. 500,00/buah = Rp. 980.000,00 d. Modal pembuatan kue 20 loyang = 20 x Rp. 30.000,00

Modal pembuatan kue = Rp. 600.000,00

Harga Penjualan > harga pembuatan kue, maka Bu Mariani untung. Untungnya = harga penjualan – harga pembuatan kue

= Rp. 980.000,00 – Rp. 600.000,00 = Rp. 380.000,00

Potongan Kue 4 cm x 2cm

Banyak Potongan = 14 x 7 = 98 potongan/loyang


(27)

Untung Bu Mariani setiap harinya Rp. 380.000,00

Dari 30 orang siswa yang berpartisipasi belum ada yang menunjukka bahwa siswa memiliki pemahaman yang baik/efektif, misalnya menuliskan apa yang diketahui dari soal, apa yang ditanyakan, menjelaskan secara rinci pemecahan masalahnya dan kesimpulan akhir dari apa yang telah diperoleh. Begitu juga dalam penggunaan simbol, tanda, dan/atau representasi yang tepat untuk menjelaskan operasi, konsep dan proses. Lebih memperihatinkan lagi hanya 4 orang yang menjawab “mengarah benar”.

Gambar 1.5. Jawaban si A

Pada jawaban si A terdapat kesalahan yang fatal tidak menjelaskan apa yang dijawab hanya berupa representasi gambar tanpa penjelasan banyak potongan pada seloyang kue bika Ambon. Kesalahan juga pada jawaban b muncul angka tanpa makna atau penjelasan dan proses kedua pada tidak ada tanda “ = “ serta penempatan

tanda “=” yang salah. Hasil perkalian 28 x 28 x 20 = 15280 yang salah (seharusnya

yang benar 15.680) Kemudian tiba-tiba muncul dibagi angka 8 padahal proses Jawaban si A :


(28)

langkah pertama tidak ada angka 8, dan hasil 1910 potong kue juga salah. Begitu juga proses jawaban c yang menjadi salah akibat proses pada jawaban b sebelumnya salah walaupun hasil perkaliannya benar. Pada jawaban d muncul angka 600.000 yang tanpa penjelasan sama sekali. Begitu juga tiba-tiba muncul simbol satuan Rp. (rupiah) tanpa tahu dari mana asalnya, dari jawaban si A ini untung bu Mariani dinyatakannya Rp.355.000,00 yang juga salah. Proses dan hasil jawaban pemecahan masalah kontekstual si A tidak benar dapat dilihat dari mulai si A membuat representasi atau model gambar berupa potongan permukaan kue yang tidak jelas, kurangnya keterangan awal apa yang mau dibahas dan perhitungan yang tidak teliti serta proses pemecahan masalah yang tidak runtut sehingga permasalahan yang akan dibahas tidak benar dan akurat.

Gambar 1.6. Jawaban si B Jawaban si B


(29)

Jawaban si B representasi gambar jawaban a sudah ada potongan kue ukuran 4 cm x 2 cm tapi gambar yang dibuat tanpa keterangan hanya si A saja yang tahu. Pada proses jawaban b tidak muncul keterangan apa yang dijawab tanpa teks kalimat

dan tanpa simbol “ = “, muncul tiba-tiba 1960 buah. Pada jawaban c tanpa keterangan

teks kalimat apa yang sedang dibahas 1960 x 500 dan tanpa symbol “ = “ dan muncul tiba-tiba simbol Rp. (rupiah). Begitu juga pada proses jawaban d tidak ada keterangan

apa yang dijawab dan symbol tanda “ = “ walaupun terakhir muncul kesimpulan “ jadi Ibu Mariani untung sebesar Rp. 380.000 setiap harinya” yang dari kesimpulan

jawaban yang diperoleh benar tapi dari proses pengerjaan yang salah.

Pertimbangan penting mengapa memilih pembelajaran kontekstual diantaranya pembelajaran kontekstual menyajikan masalah-masalah nyata sehari-hari pada awal pembelajaran, dan menjadi salah satu pemicu atau stimulus siswa untuk berpikir dan merepresentasikan apa yang ada dalam pemikirannya. Berartimasalah bertindak sebagai tahap awal proses belajar untuk mencapai tujuan. Konsep belajar seperti itu, dapat memfasiliasi siswa melakukan eksplorasi, investigasi, representasi dan pemecahan masalah. Seperti dikemukakan oleh Sabandar (2005 : 2) bahwa situasi pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang tidak menutup kemungkinan memaksa siswa untuk berpikir kritis dan kreatif. Diharapkan siswa akan mencoba merepresentasikan atau memvisualisasikan apa yang dipikirkannya dan berusaha memecahkan masalah matematis tersebut.


(30)

Pada KTSP diharapkan dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan lingkungan siswa sehari-hari (kontekstual), dengan mengajukan masalah-masalah yang kontekstual siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika. Hal lain, bahwa pembelajaran ini berbasis pemecahan masalah dengan pemberian soal cerita sehingga memungkinkan siswa mengembangkan pemikirannyadan merepresentasikan visual thinking, pemecahan masalah matematis dan dituntut untuk kemandirian siswa dalam belajar.

Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang dimulai dengan mengajukan masalah sehari-hari berdasarkan lingkungan di sekolah atau di rumah sebagai tantangan bagi siswa. Pembelajaran tersebut memberikan peluang bagi siswa mengkonstruksi dan menemukan sendiri pengetahuannya dengan cara mevisualisasikan masalah dan memecahkan masalah secara kreatif di bawah arahan guru dalam kelompok-kelompok kecil sehingga siswa sharing idea, saling membantu dalam memecahkan masalah. Pengetahuan dikonstruksi sendiri oleh siswa tahap demi tahap, sedikit demi sedikit, melalui proses coba-coba yang tidak selalu mulus (trial and error). Oleh karena itu, pembelajaran harus dikemas oleh guru menjadi proses mengkontruksi bukan menerima pengetahuan. Siswa membangun sendiri pengetahuannya dengan cara terlibat aktif dalam proses pembelajaran matematika, berarti kegiatan berpusat pada siswa. Apabila siswa mengalami kesulitan dalam kelompoknya, guru tidak serta merta memberi tahu secara langsung tetapi mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka (divergen) yang mengarah pada jawaban. Kegiatan guru mengajukan permasalahan atau pertanyaan di kelas yang dilakukan oleh guru dan siswa merupakan suatu aktivitas yang selalu dan harus


(31)

muncul dalam pembelajaran yang menekankan pada proses di mana siswa dilibatkan aktif dalam proses pembentukan pengetahuan. Pertanyaan yang diajukan atau dimunculkan tentunya harus menunjang tercapainya tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Jika siswa diharapkan untuk memvisualisasikan pemikirannya dan berpikir kritis, kreatif dalam memecahkan masalah matematika, maka mengajukan pertanyaan tantangan ataupun pertanyaan yang bersifat divergen atau yang menimbulkan konflik kognitif perlu dimunculkan.Untuk membantu memahami masalah matematis yang tidak terstruktur digunakan model berupa representasi dalam bentuk gambar, grafik, tabel, dan sebagainya. Siswa melakukan refleksi pada setiap akhir proses pemecahan masalah, dan pada setiap akhir pembelajaran.

Mengimplementasikan pembelajaran kontekstual bukan hal yang gampang bagi guru, karena guru tidak menyajikan konsep dalam bentuk jadi, tetapi melalui kegiatan pemecahan masalah, siswa digiring ke arah menemukan konsep sendiri.

Guru harus mampu menciptakan situasi pemecahan masalah sehingga siswa tertarik untuk menyelesaikannya, meskipun tidak segera mendapatkan solusinya. Dalam proses reinvention ini, siswa tidak serta merta menemukan solusi, apabila siswa mengalami hambatan atau kebuntuan, peranan guru sangat diperlukan untuk membantu mengarahkan secara tidak langsung. Berarti dalam hal ini guru harus benar-benar menguasai konsep matematika dan kaitannya, serta sudah mempersiapkan berbagai kemungkinan cara untuk mencapai solusi sebagai antisipasi dalam membantu dan mengarahkan siswa dalam proses visualisasi dan pemecahan masalah.

Penerapan pembelajaran kontekstual, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu : level sekolah, kemampuan awal matematika siswa, masalah yang dihadapkan pada


(32)

siswa, serta kemandirian belajar siswa. Bagaimanapun penerapan pembelajaran kontekstual pada sekolah dengan kualifikasi yang berbeda, diprediksi pencapaian siswa akan berbeda pula. Pada umumnya kemampuan siswa itu beragam, siswa yang memiliki kemampuan tinggi biasanya masuk di sekolah yang levelnya lebih tinggi dibandingkan siswa yang mempunyai kemampuan lebih rendah, meskipun kemungkinan keberadaan di lapangan sangat relatif, tidak menutup kemungkinan terjadi sebaliknya untuk siswa dari kalangan tertenru. Meskipun secara formal sekolah-sekolah tidak dikelompokkan berdasarkan peringkatnya, tetapi masyarakat mengakuinya bahwa antara sekolah yang satu peringkatnya lebih tinggi dari yang lain. Tidak ada patokan yang baku, tetapi biasanya berdasarkan prestasi yang diraih siswanya dalam berbagai hal. Untuk keperluan penelitian ini level sekolah ditentukan berdasarkan kualifikasi dinas setempat.

Pada penerapan pembelajaran kontekstual, yang merupakan pembelajaran berbasis konstruktivisme memberikan peluang kepada siswa dalam mengeksplorasi pemikirannya namun terarah, menemukan ide-ide pemecahan masalah matematis. Siswa dapat juga berbagi ide di kelompoknya atau bertanya pada kelompok lain tentang masalah yang tidak dipahamnya. Jika antar siswa atau kelompok ada beda pendapat, dan memenuhi jalan buntu guru bisa membantu dengan schaffolding. Suasana pembelajaran yang aktif dengan ciri-ciri tersebut dimungkinkan untuk mengarahkan siswa agar bisa melaksanakan pembelajaran matematika yang pada gilirannya siswa akan punya kemandirian belajar matematika..

Kemandirian belajar matematika siswa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Perkembangan pengetahuan dan teknologi yang maju berakibat pada semakin banyaknya kebutuhan,


(33)

kesulitan atau tantangan, dan banyaknya sumber-sumber belajar yang bisa diakses. Hal ini akan sangat mempengaruhi dan mendukung belajar bagi siswa yang punya kemandirian belajar yang tinggi.

Siswa dengan pendekatan pembelajaran kontekstual diperkirakan akan mempunyai kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Begitu juga siswa dengan kemampuan awal matematika (KAM) lebih tinggi serta padakategori sekolah tinggi diasumsikan memiliki kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berada pada KAM baik dan sekolah kategoribaik, apalagi pada KAM sedang dan kategori sekolah sedang dan rendah. Siswa yang berada pada KAM tingggi dan kategori sekolah tinggi lebih mampu mengatur waktu, mendiagnosis kebutuhan belajar dan mengontrol belajar, kognisi, motivasi dan perilaku. Juga siswa tersebut mampu merencanakan strategi belajar, memilih strategi belajar, kemudian melaksanakannya, serta mengevaluasi proses dan hasil belajar. Hal ini didukung oleh temuan Darr dan Fisher (2004) yang melaporkan bahwa kemampuan belajar mandiri siswa berkolerasi tinggi dengan keberhasilan belajar siswa.

Fakta lain ditemuan Pape dan Bell (2003) pada penelitiannya bahwa meningkatnyapemikiran, kinerja, dan refleksi diri pada kemandirian belajar siswa akan meningkatkan pemahaman dan penalaran, siswa lebih mampu dari sebelumnya mengembangkan berfikir matematis dalam hal ini menerapkan strateginya memecahkan masalah matematis.

Marcou dan Phillipou (2005) menemukan dalam penelitiannya bahwa meningkatnya kemandirian belajar siswa dan scaffolding meningkatkan keyakinan motivasi siswa pada strategi pemecahan masalah matematis siswa.


(34)

Penelitian ini difokuskan pada penerapan model pembelajaran kontekstual dalam upaya meningkatkan kemampuan representasi visual thinkingdankemandirian belajar matematis siswa (self-regulated learning) siswa SMP ditinjau dari kategori sekolah (baik dan sedang) dan kemampuan awal matematika siswa (tinggi, menengah dan rendah).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran seperti yang telah diuraikan maka permasalahan dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Apakah pendekatan kontekstual siswa dapat meningkatkan kualitas kemampuan representasi visual thinking pada pemecahan masalah matematis serta kemandirian belajar siswa SMP?

Selanjutnya, dari rumusan masalah tersebut diuraikan dalam beberapa sub rumusan masalah sebagai berikut.

1. Apakah terdapat peningkatan kemampuan representasi visual thinking(RVT) pada pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual (PCTL) ditinjau dari: (a) pendekatan pembelajaran; (b) kategorisekolah (baik, sedang), dan (c) kemampuan awal matematika (tinggi, menengah, rendah).

2. Apakah peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah matematis yang mendapat pembelajaran CTL lebih tinggi dari pada yang mendapat pembelajaran KV ditinjau dari aspek : a) pendekatan pembelajaran; (b) kategorisekolah (baik, sedang), dan (c) kemampuan awal matematika (tinggi, menengah, rendah).

3. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah matematis siswa.


(35)

4. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan RVT pada pemecahan masalah matematis.

5. Apakah terdapat peningkatan kemandirian belajar matematis siswa yang mendapat pembelajaran CTL ditinjau dari aspek : a) pendekatan pembelajaran, b) kategori sekolah (baik, sedang) dan c) kemampuan awal matematika.

6. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemandirian belajar matematis yang mendapat pendekatan CTL dan yang mendapat pendekatan KV ditinjau dari aspek : a) pendekatan pembelajaran, b) kategori sekolah, dan c) kemampuan awal matematika

7. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan kemandirian belajar matematis siswa.

8. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal matematika siswa terhadap peningkatan kemandirian belajar matematis siswa. C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai hal-hal berikut :

1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan representasi visual thinking(RVT) pada pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pendekatan kontekstual(PCTL).

2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah matematis siswa yang lebih tinggi ditinjau dari aspek : a) pendekatan pembelajaran; (b) kategori sekolah (baik, sedang), dan (c) kemampuan awal matematika (tinggi, menengah, rendah).


(36)

3. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan kemampuan RVT pada pemecahan masalah matematis siswa.

4. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan RVT pada pemecahan masalah matematis siswa.

5. Untuk mengetahui peningkatan kemandirian belajar matematis siswa yang mendapat pembelajaran CTL.

6. Untuk mengetahui peningkatan kemandirian belajar matematis yang lebih tinggi ditinjau dari pendekatan pembelajaran, kategori sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa.

7. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan kemandirian belajar matematis siswa.

8. Untuk mengetahui efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal matematika siswa terhadap kemandirian belajar matematis siswa.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi guru yang terlibat dalam penelitian ini dapat menambah pengalaman dan dapat menjadi model pembelajaran alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan representasi visual thinking pada pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar sehingga dapat memotivasi guru untuk menerapkan permbelajaran kontekstual yang sesuai dengan lingkugan siswa untuk digunakan dalam pembelajaran matematika.


(37)

2. Bagi siswa, penerapan pembelajaran kontekstual sebagai sarana untuk melibatkan aktivitas siswa secara optimal sehingga dapat meningkatkan kemampuan representasi visual thinking matematis pada pemecahan masalah matematik, kemandirian belajar dan pemanfaatan lingkungan di sekolah atau di rumah siswa dalam belajar matematika.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan penafsiran, maka berikut ini dituliskan definisi operasional istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Kemampuan representasi visual thinking matematis adalah kemampuan dalam mengeksplorasi pemikiran denganmembayangkan, membandingkan, menduga, mengingat, mempresentasikan, menggunakan berbagai bentuk matematis yaitu visual (grafik, diagram, tabel dan gambar); simbolik (pernyataan matematis/notasi, numerik/symbol aljabar), dan verbal (kalimat atau teks tertulis). 2. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan; mampu membuat/menyusun model matematika; dapat memilih dan mengembangkan strategi pemecahan matematis; serta mampu menjelaskan dan memeriksa kebenaran jawaban yang diperoleh siswa.

3. Kemandirian belajar adalah pandangan seseorang terhadap dirinya dalam belajar aktif dan konstruktif yang meliputi adanya : inisiatif belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar, mengatur dan mengontrol belajar, mengatur dan mengatur kognisi, motivasi, serta perilaku (diri), memandang kesulitan sebagai tantangan, mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang


(38)

relevan, memilih dan menerapkan strategi belajar, mengevaluasi proses dan hasil belajar, serta konsep diri.

4. Pembelajaran kontekstual adalah sebuah pendekatan pembelajaran dimana materi disajikan melalui konteks yang bervariasi dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat yang mendorong siswa untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa yang dipelajari dengan realitas kehidupan.


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen quasi yang menerapkan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching Learning). Disain penelitian eksperimen ini menggunakan desain analisis faktorial 2 × 2 × 3, yaitu dua pendekatan pembelajaran kontekstual (PCTL) dan pembelajaran konvensional (PKV), dua level sekolah (baik dan sedang), dan tiga kelompok pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, menengah, dan rendah).

Pada rancangan ini, subyek penelitian dipilih dengan memilih dua kelompok kelas pada tiap sekolah, kelompok eksperimen diberi perlakuan pembelajaran kontekstual (X), dan kelompok kontrol dengan pembelajaran biasa (konvensional), Sebelum pembelajaran dilaksanakan, pada kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan pretes kemampuan representasi visualthinking (RVT) dan kemandirian belajar (KB) siswa. Kemudian diakhir rangkaian pembelajaran kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan postes. Penelitian ini termasuk disain kelompok control pretes-postes (Ruseffendi, 2005: 50) seperti berikut :

O X O O O

dengan : O = pretes / postest kemampuan RVT X = pembelajaran dengan pendekatan kontekstual

Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel tak bebas. Variabel bebasnya adalah pembelajaran kontekstual. Variabel tak bebasnya adalah kemampuan representasi visual thinking matematis, dan kemandirian belajar siswa. Penelitian ini


(40)

juga menggunakan level sekolah (baik dan sedang) dan pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, dan rendah) sebagai variabel kontrol.

Keterkaitan antara variabel bebas, variabel tak bebas, dan variabel kontrol disajikan pada Tabel 3.1, dan Tabel 3.2.

Tabel 3.1

Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel Kontrol (Level Sekolah)

Kemampuan yang Diukur

Representasi

Visual Thinking(KR)

Kemandirian Belajar Siswa (KB)

Pendekatan P-CTL (C) P-KV(K) P-CTL (C) P-KV (K) Level

Sekolah

Baik (B) KR-BC KR-BK KB-BC KB-BK

Sedang (S) KR-SC KR-SK KB-SC KB-SK

Keseluruhan (T) KR-TC KR-TK KR-TC KR-TK

Keterangan :

KR-BC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa berasal dari sekolah kategori baik yang memperoleh pembelajaran kontekstual KR-SC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa berasal dari sekolah kategori sedang yang memperoleh pembelajaran kontekstual KB-BK : Kemandirian belajar matematissiswa berasal dari sekolah kategori baik yangmemperoleh pembelajaran konvensional

KB-SK : Kemandirian belajar matematissiswa berasaldari sekolah kategori sedang yang memperoleh pembelajaran konvensional

Tabel 3.2

Keterkaitan antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel Kontrol (Kemampuan Awal Matematika) Kemampuan yang

Diukur

Representasi

Visual Thinking (KR)

Kemandirian Belajar Siswa(KB) Pendekatan P-CTL (C) P-KV (K) P-CTL (C) P-KV (K) Kemampuan

Awal Matematika (KAM)

Tinggi (T) KR-TC KR-TK KB-TC KB-TK

Menengah (M) KR-MC KR-MK KB-MC KB-MK

Rendah (R) KR-RC KR-RK KB-RC KB-RK


(41)

Keterangan :

KR-TC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa dengan KAM tinggi yang memperoleh pembelajaran kontekstual

KR-MC : Kemampuan representasi visual thinking matematis siswa dengan KAM menengah yang memperoleh pembelajaran kontekstual

KB-MK : Kemandirian belajar matematis siswa dengan KAM menengah yang memperoleh pembelajaran konvensional

KB-RK : Kemandirian belajar matematis siswa dengan KAM rendah yang memperoleh pembelajaran konvensional

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa pada SMP di Kota Medan. Ditetapkannya populasi ini dengan alasan bahwa siswa SMP berada pada masa transisi antara tahap berfikir konkrit dan tahap berfikir formal. Pada tahap ini kemampuan representasi visual thinking sangat dibutuhkan untuk memperkuat bekal siswa memasuki tahap berfikir formal di SLTA dan Perguruan Tinggi.

Sampel penelitian adalah siswa SMP kelas VIII. Pemilihan kelas VIII karena pada kelas VIII ini siswa SMP baru saja melampaui kelas VII yang pada umumnya masih berada dalam tahap berpikir konkrit. Ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif dari Piaget yang mengemukakan bahwa tahap operasional kongkrit (umur dari sekitar 7 tahun sampai 11-12 tahun atau lebih) (Ruseffendi, 2006: 134). Pada kelas VIII secara bertahap cara berpikir siswa beralih ke tahap berpikir formal. Pada masa kelas VIII inilah terjadinya masa transisi peralihan tahap berfikirsiswa dari tahap berfikir kongkrit ke tahap berfikir formal.


(42)

Pada penelitian ini tidak dipilih sekolah dengan kategori sangat baik, karena siswa yang berasal dari sekolah berkategori sangat baik hasil belajarnya cenderung akan baik dan baiknya itu bisa terjadi bukan akibat baiknya pembelajaran yang dilakukan (Darhim, 2004: 64). Demikian juga sampel tidak dipilih dari sekolah berkategori kurang baik (rendah) karena siswa yang berasal dari sekolah berkategori kurang baik hasil belajarnya cenderung kurang baik dan kurang baiknya itu bisa terjadi bukan akibat kurang baiknya pembelajaran yang dilakukan (Darhim, 2004: 64). Tabel 3.3. di bawah menunjukkan sekolah yang dipilih.

Tabel 3.3. Sekolah dan Kelas sebagai Sampel Penelitian Kategori Sekolah Sekolah Sampel Subyek Penelitian

Baik SMP N 11 Kelas VIII/5 Kelas Eksperimen

Kelas VIII/7 Kelas Kontrol

Sedang SMP N 27 Kelas VIII/6 Kelas Eksperimen

Kelas VIII/7 Kelas Kontrol

Berdasarkan peringkat di Depdiknaspada sekolah kategori baik dan sedang dipilih secara acak dua buah sekolah, sebagai subyek penelitian. Masing-masing sekolah dipilih satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol. Siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dibagi atas tiga kelompok yaitu kelompok KAM tinggi, menengah dan rendah. Pengelompokan berdasarkan nilai matematika dari tes awal dengan materi-materi kelas VII yang telah didiskusikan dengan guru pada sekolah yang bersangkutan. Pengelompokan ini dilakukan agar semua jenjang kemampuan siswa terwakili dalam sampel. Kriteria pengelompokkan setiap sekolah adalah sebagai berikut :

n ≥ ̅ + s : Kelompok KAM tinggi


(43)

n < ̅- s : Kelompok KAM rendah keterangan : n : nilai hasil tes awal siswa ̅ nilai rata-rata hasil tes awal siswa

s : simpangan baku nilai hasil tes awal siswa

Tabel 3.4. menunjukkan komposisi siswa yang berada dalam kelompok KAM tinggi, menengah dan rendah.

Tabel 3.4.

Banyaknya Siswa pada KAM Tinggi, Menengah dan Rendah

Kelompok Siswa

Kategori Sekolah

Jumlah

Baik Sedang

Kls VIII/5 Kls VIII/7 KLs VIII/6 KLs VIII/7

KAM Tinggi 7 9 7 9 32

KAM Menengah 33 29 19 23 104

KAM Rendah 7 11 9 6 33

Jumlah 96 73 169

B. Instrumen Penenlitian dan Pengembangannya

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penenlitian ini ada dua jenis yaitu tes dan non tes. Instrumen tes digunakan untuk mengukur kemampuan representasi

visual thinking siswa, sedangkan instrument non tes berbentuk angket digunakan untuk mengetahui kemandirian belajar matematis siswa sebelum pembelajaran maupun sesudah pembelajaran, lembar observasi, dan pedoman wawancara.

1. Tes Kemampuan Representasi Visual Thinking

Tes kemampuan representasi visual thinking digunakan untuk mengukur kemampuan representasi visual thinking matematis setelah pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual. Sebelum perangkat tes digunakan terlebih dahulu perangkat tes divalidasi untuk mengetahui validitas isi, validitas muka dan validitas konstruk.. Validasi isi, validasi muka dilaksanakan dengan memberikan perangkat


(44)

pembelajaran kepada ahlinya untuk ditelaah. Validitas isi dan validitas muka melibatkan 5 orang penimbang yang terdiri dari seorang mahasiswa S3 Pendidikan Matematika UPI dan 4 orang guru matematika SMP yang telah berpengalaman mengajar matematika.Validitas konstruk diujicobakan kepada 30 orang siswa SMP Al Ulum Medan. Indikator yang diukur pada kemampuan representasi visual thinking

siswa meliputi aspek : (1) Mampu mempresentasikan permasalahan dalam bentuk visual (diagram, gambar, tabel, dan pola); (2) mampu mempresentasikan soal dalam bentuk persamaan matematika (ekspresi matematika) atau model matematika; (3) mampu menceritakan kembali soal atau permasalahan dengan cara sistematis atau mengambil kesimpulan dari jawaban; (4) Mampu merencanakan strategi memecahkan masalah; (5) Mampu menerapkan strategi penyelesaian masalah; (6) Mampu memeriksa solusi jawaban dari permasalahan; (7) Mampu menggambarkan permasalahan dan solusi sebagai ganti perhitungan.

Adapun unsur-unsur dari validasi isi adalah (1) Butir-butir soal sesuai dengan indikator; (2) Isi materi sesuai dengan tujuan penilaian; (3) Isi materi yang ditanyakan sesuai dengan jenjang, jenis sekolah dan tingkat kelas; (4) Butir soal tidak tergantung pada butir sebelumnya, dan (5) Tabel, grafik, diagram, masalah atau sejenisnya (jelas keterangannya atau ada hubungannya) dengan masalah yang ditanyakan.

Unsur-unsur validasi muka adalah (1) Rumusan kalimat dalam bentuk kalimat tanya atau perintah yang menuntut jawaban; (2) Ada petunjuk yang jelas cara pengerjaannya atau menyelesaikan soal;(3) Rumusan kalimat komunikatif; (4) Kalimat soal menggunakan bahasa yang baik, serta sesuai dengan ragam bahasanya; (5) Rumusan kalimat tidak menimbulkan penafsiran ganda atau salah pengertian; (6)


(45)

menggunakan bahasa/kata yang umum (bukan bahasa lokal) dan (7) Soal tidak mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan siswa.

Untuk melihat keseragaman penilaian dari kelima penimbang apakah mereka memberikan pertimbangannya secara seragam pada validasi isi dan validasi muka digunakan statistic Q-Cochran dengan hipotesis statistik :

: Semua penimbang yang memberi pertimbangan yang seragam

: Ada penimbang yang memberi pertimbangan tidak sama, dengan kriteria pengujian: jika probabilitas > 0,05 maka tidak ada alasan untuk menolak .

Tabel 3.5 menunjukkan hasil pertimbangan validasi isi dengan menggunakan statistic Q-Cochran. Pada Tabel 3.6 menunjukkan pertimbangan validasi muka.

Tabel 3.5 Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes KRVT

n 5

Q-Cochran’s 2,400

df 4

Sig .663

Pada Tabel 3.5 probabilitas sig = 0,663 lebih besar dari 0,05. Ini bermakna pada taraf signifikansi 95 % tidak ada alasan untuk menolak . Dengan demikian disimpulkan bahwa kelima penimbang memberikan pertimbangan yang seragam dari aspek validasi isi terhadap butir-butir tes KR. Demikian juga pada validasi muka Tabel 3.6 probabilitas sig = 0,171 lebih besar dari 0,05. Ini bermakna pada taraf signifikansi 95 % tidak ada alasan menolak . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelima penimbang memberikan pertimbangan yang seragam dari aspek validasi muka terhadap butir-butir KR.


(1)

Schoolchildren, Chicago : University of Chicago Press.

Krulik, S., dan Rudnick, J. A. 1995. The New Sourcebook for Teaching Reasoning and

Problem Solving in Elementary School.Boston : TempleUniversity

Lavy, I. (2006). Dynamic Visualization and The Case of „Stars in Cages‟. Proceedings 30th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 4, pp. 25-32. Prague: PME. Lowrie, T. & Hill, D. (1996). The Development of a Dynamic Problem-Solving Model. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia, XXIX(1). 1-11

Luitel, B.C. (2001). Multiple Representations of Mathematical Learning. [on-line] Available : http://www. matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf [18 Desember 2007]

Mariotti, M.A. (2000). Introduction to Proof: The Mediation of a Dynamic Software Environment. Journal Educational Studies in Mathematics, 44 (1-2) 25-53 Mayer, R.E. (1992). Thinking, Problem Solving, Cognition (2nd ed.). New York: W.H. Freeman.

McCulloch, A. W. ( 2011). Affect and Graphing Calculator Use, Journal of Mathematical Behavior 30, 166-179.

Meltzer, D. E. 2002. "Normalized Learning Gain : A Key Measure of Student Learning,"Addendum to Meltzer (2002); online as article #7 (addendum) at <http://www.physics.iastate.edu/per/articles/index.html>

MOE. (2001). Curriculum Planning and Development Division. Mathematics Syllabus. Singapore: Author.

Modelminds. (2012). 10 Reasons Why Visual Thinking is Key to Complex Problem Solving. May, 9, 2012 – 15:46. Tersedia di blog.modelmind.nl?p=5850 Montague, M. (2007). Math Problem Solving for Middle School Students with Disabilities. [on-line]. Avaliable : http://www.k8accesscenter.org/training resources/MathProblemSolving.asp. [26 Mei 2008]

NCTM. (1989). Principles and Standards for School Mathematics. Reston. VA: NCTM.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston. VA: NCTM.


(2)

Representations In Mathematical Communication. Journal for Research

in Mathematics Education, 23, 242-273

Nunes, T. & Borba, R. (2002). The Effect of Sign on Children‟s Reasoning about Negative Numbers. Paper at : 32nd Annual Meeting of The Jean Piaget Society. On line di http://www.piaget.org/Symposium/2002/program. html. [26Pebruari 2011]

Owens, K. (2008). Identity as a Mathematical Thinker. Journal Mathematics Teacher Education and Development, Vol. 9, 36-60.

Panasuk, R. & Beyranevand, M. (2010). Algebra Students' Ability to Recognize Multiple Representations and Achievement. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. [Online] Tersedia di http://www. cimt.plymouth.ac.uk/journal/panasuk.pdf

Pape, S. (2003). Developing Mathematical Thinking and Self-Regulated Learning : A Teaching Expriment in a Seventh-Grade Mathematics Classroom. Journal of Education Psychology 90, 682-697.

Perkin, D. N., & Unger, C. 1999. Teaching and Learning for Understanding. Dalam Reigeluth, C. M. (Ed.) : Instructional-Design Theories and Models: A New Paradigm of Instructional Theory, Volume II. 91-114. Englewood Cliffs, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.

Pintrich, P. R., Smith, D. A., Gracia, T., and McKeachie, W. J. (1991). A Manual for the Use of the Motivational Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ). University of Michigan: National Centre for Research to Improve Postsecondary Teaching and Learning.

Polya, G (1985). How to Solve It . A New Aspect of Mathematical Method (2nded). Princeton, New Jersey : Princeton University Press.

Presmeg, N. (1986a). Visualization in High-School Mathematics. For the Learning of Mathematics, Journal Educational Studies of Mathematics, 6(3),42-46

_________. (1986b). Visualization and mathematical giftedness. Journal Educational Studies in Mathematics, 17 (3), 297-311

_________. (1989). Visualization in Multicultural Mathematics Classrooms. In: Focus onLearning Problems in Mathematics,11 n(1-2), 17-24

_________. (1991). Classroom Aspects which Influence Use of Visual Imagery in High School Mathematics. In F. Furunghetti (Ed.) Proceedings of Fifteenth International Conference on the Psychology of Mathematics Education (PME) Conference. Vol. 3, 191-198, Assisi, Italy.


(3)

_________. (1992). Prototypes, Metaphors, Metonymies and Imaginative Rationality in Highschool Mathematics. Journal Educational Studies in Mathematics, 23 (6), 595-610.

Puskur. (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta : Balitbang Depdiknas.

Puskur. (2007a). Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika. Depdiknas Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Jakarta.

Puskur. (2007b). Gagasan Kurikulum Masa Depan. Depdiknas : Pusat Kurikulum, Jakarta.

Rosken, B., & Rolka. K. (2006). A Picture is Worth A 1000 Words. The Role of Visualization in Mathematics Learning. Proceeding 30th Conference of The International Group for The Psychology of Mathematics Education. Vol. 4. pp. 457-464. Progue : PME.

Ruseffendi, E. T., (2008). Perkembangan Pendidikan Matematika. Bandung: Diktat Tidak Diterbitkan.

___________ (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangakan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: penerbit Tarsito.

___________ (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya Bagi para Peneliti, Penulis Skripsi, Penulis Tesis, Penulis Disertasi, Dosen Metode penelitian, dan Mahasiswa. Bandung: Tarsito. Sabandar, J. (2005) Pertanyaan Tantangan dan Memunculkan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Disajikan pada Seminar MIPA di JICA : tidak diterbitkan.

_________, (2009). “Thinking Classroom” dalam Pembelajaran Matematika di sekolah. Tersedia di http : //math.sps.upi.edu/wpcontent/uploads/2009/10 /thinking-classroom-dalam-pembelajaran-Matematika-di-sekolah.pdf, [23 Pebruari 2011]

Shadiq, F. (2007). Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika dengan Tema “ Inovasi Pembelajaran Matematika dalam Rangka Menyongsong Sertifikasi Guru dan Persaingan Global”, yang dilaksanakan pada tanggal 15 – 16 Maret 2007 di P4TK (PPPG)


(4)

Siswono, T. Y. E. (2009). Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah. Tersedia di : http://www.tatagys.files. : wordpress.com/2009/11/paper05problemposing.pdf.[23-2-2011]

Slavin, Robert R. 1997. Educational Psychology-Theory and Practice: Fifth Edition. Massachussetts: Allyn and Bacon.

Slovin, H. (2000). Moving to Proportional Reasoning. Mathematics Teaching in the MiddleSchool. 6 (1) 58-60

Sudrajat, A. (2008). Pengembangan Bahan Ajar. Tersedia (online) : http://www. teknologipendidikan.co.cc/2009/03/bahan-ajar_07.html.[Pebruari 2011] Sugiyono dan Wibowo, Eri. (2001). Statistika penelitian dan Aplikasinya dengan SPSS 10.0 for Windows. Bandung : Penerbit Alfabeta.

Suherman, E. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Technical Cooperation Projek for Development of Science and Mathematics Teaching for Primary and Secondary Education in Indonesia. Bandung: jurusan FPMIPA Bandung.

Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (SI) melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian Hibah

Pascasarjana Tahun Ketiga : Tidak diterbitkan.

__________. (2010). Berfikir Disposisi Matematik : Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. FPMIPA UPI. Tersedia di ac35.4 shared.com/doc/ourBAi09/preview.html.

Suparno, P. 2001. Konstruktivisme dalam Pendidikan Matematika. Makalah tidak dipublikasikan pada Lokakarya Widyaiswara BPG se-Indonesia, tanggal 27 Maret s/d 9 April 2001 di PPPG Matematika Yogyakarta.

Surya, E. (2010). Visual Thinking dalam Memaksimalkan Pembelajaran Matematika Siswa dapat Membangun Karakter Bangsa. Jurnal LPPM UPI Bandung.

______. (2011a). Curriculum Implementation Learning Mathematics, Mathematical Problem Solving and Visualization. Proseding : Disampaikan pada International Seminar Educational Comparative in Curriculum for Active Learning Between Indonesia and Malaysia, organized by Himpunan Pengembangan Kurukulum Indonesia in Collaboration with Indonesia University of Education, Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Malaya pada 09-10 Juni 2011.


(5)

Character Development. Proseding disampaikan pada International Seminar and The Fourt National Conference on Mathematics Education Departement of Mathematics Education, Yogyakarta State University, 21- 23 July 2011.

Suryadi, D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika. Sekolah Pasca Sarjana. Bandung. Penerbit Rizqi Press.

Suryanto, 2001. Pendidikan Matematika Realistik. Makalah tidak dipublikasikan pada Lokakarya Widyaiswara BPG se-Indonesia, tanggal 27 Maret s/d 9 April 2001 di PPPG Matematika Yogyakarta.

Stylianou, D. A. (2000). Expert and Novice Use of Visual Representations in Advanced Mathematical Problem Solving, Unpublished Doctoral Dissertation, University of Pittsburgh.

Stylianou, D.A., & Silver, E.A. (2004). The Role of Visual Representations in Advanced Mathematical Problem Solving : An Examination of Expert- Novice Similarities and Differences. Journal of Mathematical Thinking and Learning, 6(4), 353-387.

Sword, L.K. (2005). The Power of Visual Thinking. Tersedia di : www.trbvis.org/ /IWF/.../The%20Power%20of%20Visual%20Thinking.doc. [20 Pebruari 2011]

Thornton, S. (2001). A Picture is Whorth a Thounsand Words. Why Visual Thinking. Online : Math.unipa.it/grim/Athornton251.pdf

Usiskin, Z. (1987). Resolving The Continuing Dilemmas in School Geometry, In M.M. Lidquist & A.P. Shulte (Eds), Learning and Teaching Geometry K- 12 (pp.17-31). Reston VA : National Council of Teacher of Mathematics. Vui, T., (2010). Using Open Ended Tasks With Visual Representation in Connecting Lesson Study With Formatif Assessment. Hue University, Vietnam Tersedia di http://www.crme.kku.ac.th/APEC/APEC%202012/ Paper/Tran%20Vui.pdf

Wardhani, S. 2004. Pembelajaran Matematika Kontekstual di SMP. Depdiknas Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah PPPG Matematika, Yogyakarta. Wilson, J. W., Fernandez, M. L., & Hadeway, N. (1993). Mathematical Problem

Solving. [On-line]. Tersedia di : http://jwilson.coe.uga.edu/emt725 /PSsyn/Passyn.html. [25 Januari 2008]

Wolters, C.A., Pintrich, P. R. & Karabenick, S. A. (2003). Assessing Academic Self-Regulated Learning. Paper Prepared for the Conference on Indicators of Positive Development : Definitions, Measures, and


(6)

Prospective Validity. Sponsored by Child Trends, National Institutes of Health March 2003 (Revised April 2003)

Yin, H.S. (2009). Visualization in Primary School Mathematics; Its Roles and Processes in Mathematical Problem Solving. Unpublished Doctoral Dissertation, National Institute of Education, Nanyang Technological University, Singapore.

________(2011). Seeing The Value of Visualization. [Online] Tersedia di : http://www.singteach.nie.edu.sg/ ...-/190-seeing-the-value-of-

visualization.html -Cached [26 Pebruari 2011]

Zaskiss, R., Dubinsky, E., & Dautermann, J. (1996). Coordinating Visual and Analytic Strategies : A Study of Students‟ Understanding of The Group D4. Journal for Research in Mathematics Education, 27, 435-457.

Zimmerman, B. J., & Schunk, D. H. (1989). Self-regulated Learning and Academic Achievement : Theory, Research, and Practice. New York : Springer- Verlag.

Zimmermann, W. & Cunningham, S. (1991). Editor’ Introduction : What is Mathematical Visualization ? Zimmermann W. and Cunningham S. (eds.) Vizualization in Teaching and Learning Mathematics (pp.1-8), D.C. Mathematical Association of America.