NAMA PERKAKAS BERBAHAN BAMBU DALAM BAHASA SUNDA DI DESA PARAPATAN, KECAMATAN PURWADADI, KABUPATEN SUBANG : Kajian Ekolinguistik.

(1)

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

NAMA PERKAKAS BERBAHAN BAMBU

DALAM BAHASA SUNDA DI DESA PARAPATAN,

KECAMATAN PURWADADI,

KABUPATEN SUBANG

(KAJIAN EKOLINGUISTIK)

SKRIPSI

diajukan guna memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Sastra

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

oleh

Jaenudin

NIM 0902366

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2013


(2)

NAMA PERKAKAS BERBAHAN BAMBU

DALAM BAHASA SUNDA DI DESA PARAPATAN,

KECAMATAN PURWADADI,

KABUPATEN SUBANG

(KAJIAN EKOLINGUISTIK)

Oleh Jaenudin

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

© Jaenudin 2013

Universitas Pendidikan Indonesia Agustus 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,


(3)

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA PERKAKAS BERBAHAN BAMBU DALAM BAHASA SUNDA DI DESA PARAPATAN, KECAMATAN PURWADADI,

KABUPATEN SUBANG (KAJIAN EKOLINGUISTIK)

oleh Jaenudin NIM 0902366

Disetujui dan disahkan oleh:

Pembimbing I,

Dr. Dadang S. Anshori, M.Si. NIP 197204031999031002

Pembimbing II,

Mahmud Fasya, S.Pd., M.A. NIP 197712092005011001

Diketahui oleh

Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

Universitas Pendidikan Indonesia Bandung,

Dr. Dadang S. Anshori, M.Si. NIP 197204031999031002


(4)

ABSTRAK

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang

(Kajian Ekolinguistik) Jaenudin

0902366

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keberadaan nama-nama perkakas berbahan bambu yang unik, khas, dan beranekaragam dalam masyarakat Sunda saat ini. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang guna mengungkap nilai-nilai yang terkandungi di dalamnya, yaitu (1) bagaimana bentuk lingual, (2) bagaimana klasifikasi dan deskripsi, (3) bagaimana fungsi, serta (4) bagaimana cerminan gejala kebudayaan yang muncul.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif fenomenologi. Metode kualitatif fenomenologi merupakan keterlibatan peneliti di lapangan dan penghayatan fenomenayang dialami dengan masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang guna mengetahui dunia mereka (Endraswara, 2003: 44; Kuswarno, 2009: 35-37). Sementara itu, teori yang melandasi penelitian ini adalah teori ekolinguistik gagasan Haugen (1972) dengan ruang lingkup kajian etnolinguistik sebagai ilmu yang mengkaji bahasa dan budaya.

Data dalam penelitian ini meliputi pelbagainama-nama perkakas berbahan bambu dalam berbagai peristiwa komunikasi yang digunakan oleh masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang. Peristiwa komunikasi yang dimaksud adalah peristiwa komunikasi lisan karena akan lebih jelas makna dan konteksnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan pertama, bentuk lingual nama perkakas berbahan bambu dapat dikategorikan menjadi empat kelompok:(1) kata dasarsebanyak 36 nama (62,0%), (2) kata panjangan sebanyak 2 nama (3,5%), (3) kata pengulangan sebanyak 4 nama (6,9%), dan (4) kata majemuk sebanyak 16 nama (27,6%); kedua, berdasarkan ranah penggunaannya, nama perkakas berbahan bambu dapat dikategorikan menjadi tujuh ranah: (1) rumah tangga, (2) peternakan, (3) perkebunan, (4) pertanian, (5) perikanan, (6) permainan tradisional, dan (7) perkakas lain-lain; ketiga, berdasarkan fungsinya, nama perkakas berbahan bambu dapat dikategorikan menjadi tiga kategori: (1) individual, (2) ilahiah, dan (3) sosial; keempat, pandangan masyarakat Sunda yang tersiratkan dalam ungkapan (babasan), yaitu pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan lingkungan masyarakattersiratkan dalam 3 nama perkakas (5,8%), pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniahtersiratkan dalam 4 nama perkakas (6,9%) serta mengandungi sisindiran tersiratkan dalam 2 nama perkakas (3,4%).


(5)

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

ABSTRACT

Name Bamboo Tools Made in Bahasa Sunda Parapatan Village, District Purwadadi, Subang

(Studies Ekolinguistik) Jaenudin

0902366

This research is motivated by presence names utensils made from bamboo which is a unique, distinctive, and diverse in Sundanese society when ini. Purpose of this study to identify the names of utensils made of bamboo in the language known and used by the people in the village of bamboo craftsmen Parapatan, Purwadadi subdistrict, Subang regency to reveal terkandungi values in it, namely (1) how to form lingual, (2) how the classification and description, (3) how it functions, and (4) how the reflection of a cultural phenomenon appears.

The method used in this study is a qualitative method of phenomenology is a qualitative fenomenologi. Mehod involvement of researchers in the field and fenomenayang appreciation experienced by people in the village of bamboo artisans Parapatan, Purwadadi district, Subang regency in order to know their world (Endraswara, 2003: 44; Kuswarno 2009: 35-37). Meanwhile, the theory underlying this research is theoretical notion ekolinguistik Haugen (1972) with the scope of the study entholinguistic as a science that examines the language and culture.

The data in this study include division names utensils made from bamboo in pelbagaiperistiwakomunikasi used by the bamboo artisans in the village Parapatan, Purwadadi district, Subang regency. Event is an event communication is verbal communication because it will be more obvious meaning and context.

The results showed first, names lingual form tooling made from bamboo can be categorized into four groups: (1) the name basic as much as 36 (62.0 %) , (2) the extension of as much as 2 names (3.5%), (3) word repetition as much as 4 names (6.9%), and (4) the name of the compound by 16 (27.6%), secondly, based on the domain of usage, the name of utensils made from bamboo can be categorized into seven domains: (1) households, (2) livestock, (3) estates, (4) agriculture, (5) fishing, (6) traditional games, and (7) miscellaneous tools; third, by function, name and utensils made from bamboo can be categorized into three categories: (1) individual, (2) the divine, and (3) social; fourth, Sundanese people view implied in the phrase (babasan), the way of life of the human relationship with the environment tooling name masyarakattersiratkan in 3 (5.8%), the view about human life in the pursuit of progress and satisfaction spiritual implicit outward in 4 names tooling (6.9%) in the 2 names said sarcastically implicit and contain tools (3.4%).


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR DIAGRAM ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Masalah Penelitian ... 6

1. Pengidentifikasian Masalah ... 6

2. Pembatasan Masalah ... 6

3. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. ManfaatTeoretis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II IHWAL EKOLINGUISTIK, PENELITIAN TERDAHULU, DAN ANGGAPAN DASAR A. Landasan Teoretis ... 11


(7)

x Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

1. Pengertian Ekolinguistik ... 11

2. Ruang Lingkup Kajian Ekolinguistik ... 13

3. Hubungan Antara Bahasa, Lingkungan, dan Ideologi... 16

4. Relativitas Bahasa dan Budaya ... 17

5. Bentuk Lingual ... 20

5.1 Kata Dasar ... 20

5.2 Kata Majemuk ... 21

5.3 Kata Pengulangan ... 21

5.4 Kata Panjangan ... 24

6. Kearifan Lokal ... 25

B. Penelitian Terdahulu ... 26

C. Anggapan Dasar ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Subjek Penelitian ... 32

B. Rancangan Penelitian ... 33

C. Metode Penelitian... 34

D. Batasan Operasional ... 35

E. Instrumen Penelitian... 36

F. Teknik Pengumpulan Data ... 37

1. Wawancara ... 38

2. Pengamatan Partisipan ... 38

G. Teknik Analisis Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Tempat Penelitian ... 41

B. Ihwal Bambu ... 42 C. Bentuk Lingual Nama Perkakas Berbahan Bambu


(8)

Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang ... 46

1. Nama Perkakas Berbahan Bambu yang Berbentuk Kata Dasar ... 46

2. Nama Perkakas Berbahan Bambu yang Berbentuk Kata Panjangan ... 52

3. Nama Perkakas Berbahan Bambu yang Berbentuk Kata Pengulangan ... 53

4. Nama Perkakas Berbahan Bambu yang Berbentuk Kata Majemuk ... 55

D. Klasifikasi dan Deskripsi Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang ... 62

1. Perkakas Rumah Tangga ... 65

2. Perkakas Peternakan... 94

3. Perkakas Perkebunan ... 96

4. Perkakas Pertanian ... 100

5. Perkakas Perikanan ... 103

6. Perkakas Permainan Tradisional ... 110

7. Perkakas Lain-lain ... 113

E. Fungsi Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang ... 120

1. Fungsi Individual ... 121

1.1 Nama Perkakas Berbahan Bambu sebagai Penanda Mimpi ... 122

2. Fungsi Ilahiah ... 123

3. Fungsi Sosial ... 125

1.1 Budaya dan Bahasa: Status Simbol ... 126

1.2 Ekonomi: Komersial ... 127 F. Cerminan Gejala Kebudayaan yang Muncul


(9)

xii Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan,

Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang ... 129

1. Pandangan Hidup tentang Hubungan Manusia dengan Lingkungan Masyarakat ... 132

2. Pandangan Hidup tentang Manusia dalam Mengejar Kemajuan Lahiriah dan Kepuasan Batiniah... 134

3. Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Sisindiran ... 137

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 139

B. Saran ... 143

DAFTAR PUSTAKA ... 145

LAMPIRAN ... 149


(10)

DAFTAR DIAGRAM


(11)

xiv Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Ambén ... 67

Gambar 4.2 Aseupan ... 69

Gambar 4.3 Aseupan Lépé ... 70

Gambar 4.4 Aseupan Jablay ... 71

Gambar 4.5 Ayakan Atén-atén ... 72

Gambar 4.6 Ayakan Bangsal ... 73

Gambar 4.7 AyakanCarang ... 73

Gambar 4.8 Ayakan Kerep ... 74

Gambar 4.9 Ayakan Lalab... 75

Gambar 4.10Ayakan Soko ... 75

Gambar 4.11 Ayakan Unyil ... 76

Gambar 4.12Irig ... 77

Gambar 4.13Kalo ... 78

Gambar 4.14Bilik ... 79

Gambar 4.15 Bilik Kembang ... 81

Gambar 4.16Boboko ... 81

Gambar 4.17Cetok... 82

Gambar 4.18Cémpéh ... 83

Gambar 4.19 Gedég ... 84

Gambar 4.20Gribig ... 85

Gambar 4.21Hihid ... 86

Gambar 4.22Kekeb ... 87

Gambar 4.23Kré ... 87

Gambar 4.24Nyiru ... 88

Gambar 4.25Pengki ... 89

Gambar 4.26Said ... 90


(12)

Gambar 4.28Tarajé ... 92

Gambar 4.29Tutup Sangu ... 93

Gambar 4.30Kurung Ayam... 94

Gambar 4.31Ranggap ... 95

Gambar 4.32Carangka ... 97

Gambar 4.33CetokKabrok... 98

Gambar 4.34Kelanding ... 99

Gambar 4.35 Rancatan... 100

Gambar 4.36 Cetok Géboy ... 101

Gambar 4.37Etém ... 102

Gambar 4.38Ayakan Monyong ... 104

Gambar 4.39Jeujeur ... 106

Gambar 4.40Posong ... 108

Gambar 4.41Langlayangan ... 112

Gambar 4.42Keranjang Ojég ... 115


(13)

xvi Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Analisis Data ... 36 Tabel 4.1 Nama-nama Perkakas Berbahan Bambu ... 44 Tabel 4.2 Nama-nama Perkakas Berbahan Bambu

di DesaPerapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang

yang Belum Diketahui Asal Mula Penamaannya ... 47 Tabel 4.3 Daftar Harga Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda ... 127


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Bentuk Lingual Nama-nama Perkakas Berbahan Bambu

dalam Bahasa Sunda ... Lampiran 2. Daftar Penjawab Nama-nama perkakas berbahan bambu ... Lampiran 3. Peta Kabupaten Subang ...


(15)

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Nama perkakas berbahan bambu merupakan nama-nama yang sudah lama dikenal dan digunakan oleh penutur bahasa Sunda. Dalam hal ini, masyarakat Sunda beranggapan bahwa nama perkakas berbahan bambu tersebut memiliki kelebihan, baik dari segi kepraktisan maupun dari segi kehematan. Di samping itu, masyarakat Sunda mengenal falsafah hidup yang disebut sebagai segitiga keselarasan, yaitu silih asuh, silih asah, dan silih asih. Hal ini disebut sebagai asas kesatuan tiga atau tritangtu (Sumardjo, 2011: 28). Falsafah ini menjadi landasan dasar masyarakat Sunda dalam mempertahankan keseimbangan hidup antara manusia dan manusia (silih asuh), manusia dan alam (silih asah), serta manusia dan Tuhan (silih asih) guna menjaga keseimbangan hidup dengan alam semesta.

Secara khusus, penelitian ini menjajaki salah satu bagian dari falsafah hidup masyarakat Sunda yang menekankan hubungan antara manusia dan alam atau yang lebih dikenal dengan silih asah. Alam bagi masyarakat Sunda merupakan tempat yang menyediakan segala sumber daya untuk dikelola dengan baik. Sebagai salah satu perwujudan dari pengelolaan sumber daya alam tersebut, masyarakat Sunda menjadikan tumbuhan bambu yang tumbuh subur di lingkungan setempat sebagai bahan dasar olahan kerajinan tangan. Hasil olahan kerajinan tangan yang dimaksud adalah perkakas berbahan bambu. Namun, setakat ini asas kesatuan tiga (tritangtu) mulai goyah konsistensi dan eksistensinya di tengah-tengah gempuran globalisasi di pelbagai ranah kehidupan. Oleh karena itu, ada kekhawatiran bahwa nama-nama perkakas berbahan bambu tersebut akan pudar seiring dengan perkembangan zaman.

Nama sejatinya mencerminkan dan menceritakan karakteristik cara hidup dan cara berpikir penuturnya dan dapat memberikan petunjuk yang sangat bernilai dalam upaya memahami budaya penuturnya (Wierzbicka, 1997: 4). Senada dengan pernyataan tersebut, penamaan merupakan proses penciptaan simbol-simbol yang menunjukkan cara hidup, cara berpikir, dan budaya penuturnya


(16)

2

tersebut. Dengan demikian, kemampuan manusia dalam mengusai nama-nama tertentu merupakan simbol penguasaan manusia terhadap ranah pengetahuan tertentu (Sudana, dkk., 2012: 1).

Dalam konteks kebahasaan, khususnya bahasa Sunda, keberadaan nama-nama perkakas berbahan bambu yang unik, khas, dan beraneka ragam menunjukkan pemahaman masyarakat Sunda terhadap ranah pengetahuan tentang ekolinguistik. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dalam bahasa Sunda tersimpan pengetahuan yang luas perihal nama perkakas berbahan bambu yang merupakan gambaran keselarasan masyarakat Sunda dengan alam (silih asah). Terkait hal tersebut, pengetahuan yang dimaksud adalah mengenai ranah ekolinguistik. Mühlhäusler (Al-Gayoni, 2012: 4) mengemukakan bahwa ekolinguistik adalah studi hubungan timbal-balik antara bahasa dan lingkungan atau lingkungan dan bahasa yang bersifat fungsional serta mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperkenalkan bagi kelangsungan makhluk hidup seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini. Lebih lanjut, nama-nama perkakas berbahan bambu ini akan memberikan informasi awal tentang bagaimana cara pandang masyarakat Sunda dalam menyatukan pengetahuan dan budaya pemanfaatan tumbuhan terhadap keanekaragaman hayati yang ada di Tatar Sunda (Sudana, dkk., 2012: 1).

Selanjutnya, terkait konteks mutakhir, pemahaman nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di lingkungan masyarakat Sunda mulai mengalami perubahan taksonomi seiring dengan adanya gempuran globalisasi dalam ranah iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Faktanya, setakat ini masyarakat Sunda lebih cenderung menggemari produk nama perkakas modern dari pelbagai jenama popular, baik luar maupun dalam negeri jika dibandingkan dengan nama perkakas tradisional. Sebagai contoh, nama perkakas berbahan bambu aseupan ‘alat penanak nasi’ saat ini perannya mulai tergeser oleh nama perkakas modern, yaitu rice cooker, magicom, atau kosmos‘alat modern menanak

nasi’. Kebiasaan baru tersebut cenderung mengancam keberadaan nama perkakas berbahan bambu di kalangan masyarakat Sunda. Oleh sebab itu, gempuran


(17)

3

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

globalisasi tersebut akan menimbulkan dampak domino pada bergesernya pengetahuan perihal nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda yang berbanding lurus dengan bergesernya peran dan fungsi serta keberadaan nama perkakas berbahan bambu bagi masyarakat penggunanya, khususnya masyarakat Sunda.

Fenomema tersebut bukan hanya masalah lokal di Tatar Sunda, melainkan juga masalah global di seluruh penjuru dunia. Hal ini disebabkan adanya ketidakselarasan antara manusia dan alam (silih asah), khususnya masyarakat Sunda. Dampaknya, kepedulian, perhatian, dan kesadaran masyarakat Sunda untuk mengamati gejala-gejala perubahan alam yang berkaitan dengan upaya pelestarian juga sudah mulai mengalami kemunduran (Sudana, dkk., 2012: 1). Oleh sebab itu, hal tersebut dikhawatirkan bahwa dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan masyarakat Sunda mungkin tidak akan mengenal lagi nama-nama perkakas berbahan bambu yang khas, unik, dan beraneka ragam.

Dalam perspektif kegunaan, nama perkakas berbahan bambu memiliki nilai ekonomis dan medis yang positif. Salah satu kegunaan praktisnya adalah bahwa perkakas berbahan bambu ini dapat diperbaiki secara mandiri jika terjadi kerusakan. Selain itu, harga perkakas berbahan bambu pun cukup terjangkau serta tidak mengandungi unsur-unsur kimia yang membahayakan kesehatan penggunanya. Dengan kata lain, perkakas berbahan bambu merupakan produk budaya yang ramah lingkungan. Sebaliknya, perkakas modern tidak ramah lingkungan dan tidak praktis karena tidak semua pengguna dapat memperbaikinya secara mandiri. Masyarakat secara umum, khususnya masyarakat Sunda, belum tentu memiliki peralatan modern dan kepiawaian dalam memperbaiki alat-alat tersebut jika terjadi kerusakan. Bahkan, perkakas modern dapat membahayakan kesehatan penggunanya karena mengandungi unsur-unsur kimia yang berbahaya bagi tubuh. Sebagai contoh, perkakas modern magicom ‘alat penanak nasi modern’ memiliki komponen yang dilapisi zat antilengket yang mengandungi logam atau zat kimia berbahaya seperti mercury.


(18)

4

Dalam perspektif teoretis, perkakas berbahan bambu merupakan produk budaya yang sarat akan makna. Terkait hal itu, perkakas berbahan bambu ini diungkap dalam ranah kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal ini bernilai positif guna pengembangan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi era globalisasi yang terus menghantam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dengan demikian, kearifan lokal masyarakat Sunda memiliki pelbagai dimensi manfaat, yakni asas praktis, ekonomis, dan higienis.

Keberadaan fenomena globalisasi berakibat pada hilangnya taksonomi perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda. Secara tidak langsung, pudarnya taksonomi tersebut menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Sunda. Dalam hal ini, nilai-nilai tersebut diharapkan dapat direvitalisasikan dan diaktualisasikan oleh semua unsur masyarakat secara luas, khususnya masyarakat Sunda. Ketika nilai-nilai kearifan lokal direvitalisasikan, nilai-nilai tersebut dihidupkan kembali sehingga masuk ke dalam ranah kognitif masyarakat Sunda. Dengan demikian, masyarakat Sunda akan memahami pentingnya nilai-nilai tersebut. Misalnya, pohon bambu memiliki makna yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup masyarakat Sunda. Namun, kesadaran saja tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda juga diharapkan dapat mengaktulisasikan nilai tersebut ke dalam perilaku dan perbuatan nyata seperti senantiasa memelihara tanaman bambu di lingkungan setempat.

Sejalan dengan itu, masyarakat dan lembaga-lembaga lingkungan hidup, baik lokal maupun nasional tengah gencar menyuarakan perlunya kampanye hijau secara berkala di pelbagai ranah kehidupan guna menanggulangi pemanasan global yang kian deras lajunya. Hal tersebut untuk mengingatkan masyarakat dunia, khususnya masyarakat Sunda untuk kembali pada nilai-nilai kearifan lokal sehingga manusia dapat menjaga keselarasan dengan alam sekitarnya (silih asah). Situasi dan kondisi tersebut merupakan sebuah realitas yang perlu disikapi dalam kaitannya dengan pengembangan pengetahuan masyarakat perihal nilai-nilai kearifan lokal secara memadai dan popular di kancah global.


(19)

5

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Fenomena globalisasi tersebut sangat mengkhawatirkan karena akan mengikis perbendaharaan kosakata yang menyimpan pengetahuan masyarakat Sunda, khususnya mengenai nama perkakas berbahan bambu di Tatar Sunda perihal nilai-nilai kearifan lokal. Dampaknya, fenomena globalisasi tersebut akan berimbas terhadap pergeseran nilai, norma, dan budaya (Al-Gayoni, 2012: 1). Oleh sebab itu, kajian tentang nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda sangat berguna untuk dilakukan, terutama kajian dalam ranah ekolinguistik. Foley (1997) menjelaskan bahwa kajian ekolinguistik tidak hanya dilakukan secara terbatas di dalam konteks linguistik semata, tetapi juga dilakukan dalam konteks sosial budaya yang lebih luas sehingga mampu menjangkau fungsi-fungsi sosial, kultural, dan lingkungannya dalam menopang praktik kebudayaan. Penelusuran literatur menunjukkan bahwa kajian tentang ekolinguistik telah dilakukan oleh beberapa peneliti, khususnya di Indonesia. Sebagai contoh, penelitian ekolinguistik dalam bidang kesehatan dan upaya pelestarian lingkungan di antaranya dilakukan oleh Rasna (2010) tentang pengetahuan dan sikap remaja terhadap tanaman obat tradisional di Kabupaten Buleleng. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa penutur remaja kota dan desa memiliki pengetahuan leksikon tentang tumbuhan dan tanaman obat yang teridentifikasi secara kuantitatif berdasarkan kategori cukup, kurang, dan rendah. Sementara itu, penelitian ekolinguistik yang senada seperti sebelumnya dalam ranah kesehatan dengan cakupan wilayah lebih luas pernah dilakukan oleh Rasna dan Binawati (2012) tentang pemertahanan leksikon tanaman obat tradisional untuk penyakit anak pada komunitas remaja di Bali. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa masyarakat penutur Bali mampu mengidentifikasi leksikon dunia tumbuhan (tanaman obat) berdasarkan karakteristik fisik, kepercayaan, dan pemahaman dalam kehidupan secara kuantitatif.

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya terlihat jelas bahwa dalam pelaksanaannya kajian ekolinguistik terkait dengan pengetahuan, sikap masyarakat, dan upaya menanamkan nilai pelestarian alam serta upaya pemertahanan bahasa. Telah-telaah di atas membuktikan bahwa ada hubungan


(20)

6

yang nyata terkait pelbagai perubahan ekologis terhadap bahasa (Al-Gayoni, 2012: 11). Namun, kajian ekolinguistik yang berkaitan dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat Sunda belum diteliti secara khusus dan mendalam. Atas dasar itu, penelitian ini memiliki kedudukan yang penting sebagai perintis kajian ekolinguistik. Lebih khusus, kajian ekolinguistik ini berupaya menjajaki kekhasan budaya masyarakat Sunda yang tercermin dalam bahasanya.

B. Masalah Penelitian

Dalam bagian ini diuraikan masalah yang menjadi fokus penelitian. Adapun uraiannya meliputi (1) pengidentifikasi masalah, (2) pembatasan masalah, dan (3) perumusan masalah.

1. Pengidentifikasian Masalah

Dalam penelitian ini dilakukan pengidentifikasian masalah terlebih dahulu. Adapun identifikasi masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda mencerminkan keberadaan ekosistem bambu atau sebaliknya yang kian mengalami kemunduran akibat gempuran iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).

2) Penggunaan nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda mencerminkan nilai kearifan lokal yang dianggap menentang arus dan tidak popular dalam ranah global.

3) Seiring dengan perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang kian mengglobal, kehadiran nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda terancam punah.

2. Pembatasan Masalah

Agar lebih terarah dan terukur, masalah yang diteliti dibatasi. Adapun batasan masalah penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut.

1) Fokus penelitian ini berlokasi di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang pada masyarakat perajin bambu dengan jumlah 58


(21)

7

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

kosakata nama perkakas berbahan bambu yang diteliti berdasarkan emik masyarakat tersebut.

2) Penelitian ini ditekankan pada deskripsi bentuk lingual nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda berdasarkan teori gagasan Kats dan Soeriadiradja (1982).

3) Penelitian ini ditekankan pada klasifikasi dan deskripsi nama perkakas rumah tangga, perkakas peternakan, perkakas perkebunan, perkakas pertanian, perkakas perikanan, dan perkakas permainan tradisional.

4) Penelitian ini ditekankan pada fungsi nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda bagi masyarakat perajin dan penggunanya.

5) Penelitian ini ditekankan pada nilai cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda bagi masyarakat perajin dan penggunanya.

6) Penelitian ini difokuskan pada subjek bahasa Sunda dialek Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang.

7) Penelitian ini menggunakan pendekatan ekolinguistik gagasan Haugen (1972).

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas, nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda yang sudah lama dikenal dan digunakan oleh masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang diyakini mengandungi nilai-nilai kearifan lokal yang bernilai luhur dalam upaya menjaga keselarasan manusia dengan alam (silih asah). Namun, ada juga keresahan bahwa keadaan keselarasan tersebut akan silam jika tidak ada dukungan dan perhatian dari pelbagai unsur masyarakat dan pemerintah dalam kapasitas yang lebih besar. Agar dapat mengungkap masalah tersebut secara sistematis, diperlukan suatu rumusan masalah yang jelas. Adapun uraian rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Bagaimana bentuk lingual nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang?


(22)

8

2) Bagaimana klasifikasi dan deskripsi nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang? 3) Bagaimana fungsi nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di

Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang?

4) Bagaimana cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang guna mengungkap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Untuk mencapai tujuan itu, hal-hal yang dipaparkan dalam penelitian ini mencakupi pokok-pokok sebagai berikut:

1) bentuk lingual nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang;

2) klasifikasi dan deskripsi nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang;

3) fungsi nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang;

4) cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut.


(23)

9

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

1. Manfaat Teoretis

S e c a r a t e o r e t i s , penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam kajian ekolinguistik selanjutnya, khususnya hubungan antara bahasa dan alam (lingkungan).

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk melaksanakan penelitian-penelitian yang sejenis dengan memanfaatkan kosakata yang ada sebagai acuan.

3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk semua bidang kajian linguistik dan budaya secara umum, khususnya dokumentasi tentang nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda.

2. Manfaat Praktis

S e c a r a p r a k t i s , penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

1) Penelitian ini dapat memberikan gambaran kehidupan sosial dan budaya yang berkembang pada masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang.

2) Penelitian ini dapat memperkenalkan dan melestarikan khazanah budaya lokal, khususnya budaya lokal masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang.

3) Penelitian ini dapat memberikan sumbangsih lema, baik untuk perkamusan bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia.

E. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini terdiri atas lima bab. Dalam bab I diuraikan secara berurutan (1) latar belakang penelitian, (2) masalah penelitian, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) sistematika penulisan. Setelah itu, pada bab II diuraikan teori-teori dalam penelitian ini, yaitu (1) pengertian ekolinguistik,


(24)

10

(2) ruang lingkup kajian ekolinguistik, (3) hubungan antara bahasa, lingkungan, dan ideologi, (4) relativitas bahasa dan budaya, (5) bentuk lingual, (6) kearifan lokal, (9) penelitian terdahulu, serta (10) anggapan dasar.

Adapun dalam bab III diuraikan (1) tempat dan subjek penelitian, (2) metode penelitian, (3) batasan operasional, (4) rancangan penelitian, (5) teknik pengumpulan data, dan (7) teknik analisis data. Selanjutnya, dalam bab IV dipaparkan (1) gambaran umum tempat penelitian, (2) ihwal bambu, (3) bentuk lingual nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, (4) klasifikasi dan deskripsi nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, (5) fungsi nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, dan (6) cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang. Akhirnya, laporan ini ditutup pada bab V yang berisi (1) simpulan dan (2) saran.


(25)

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Subjek Penelitian

Sesuai dengan judulnya, penelitian ini dilakukan di lingkungan masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang. Tempat penelitian ini dipilih karena merupakan komunitas terbatas yang masih memanfaatkan tumbuhan bambu sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan tangan berupa perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda yang berkaitan dengan nilai-nilai kearifan lokal sebagai warisan dari leluhur.

Data dalam penelitian ini meliputi pelbagai nama-nama perkakas berbahan bambu dalam pelbagai peristiwa komunikasi yang digunakan oleh masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang. Peristiwa komunikasi yang dimaksud adalah peristiwa komunikasi lisan karena peristiwa komunikasi lisan akan lebih jelas makna dan konteksnya. Konteks komunikasi tersebut berupa konteks sosial, konteks budaya, dan konteks situasional (Sudana, dkk., 2012: 14).

Dalam penelitian ini, data penelitian dimaknai bukan sebagai bahan mentah, melainkan bahan jadi (Sudaryanto, 1988: 9). Dengan begitu, metode dan teknik analisis data dapat diterapkan terhadap bahan jadi penelitian tersebut.

Data penelitian ini bersumber dari peristiwa komunikasi dalam bahasa Sunda yang terjadi di lingkungan masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang. Peristiwa komunikasi bahasa itu terjadi secara alami dengan konteks komunikasi yang wajar dan apa adanya di lingkungan masyarakat dalam kegiatan komunikasi sehari-hari. Peristiwa komunikasi yang disasar sebagai sumber data adalah peristiwa komunikasi yang terjadi di dalam pelbagai ranah sosial, yaitu ranah keluarga, ranah pergaulan, dan ranah pekerjaan.

B. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini digambarkan dalam bentuk diagram yang disesuaikan dari model interaktif Miles dan Huberman (1992: 20) sebagai berikut.


(26)

33

3.1 Diagram Rancangan Penelitian

Keterangan:

NPBBDBS: Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda C. Metode Penelitian

Foley (1997) menjelaskan bahwa kajian tentang nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda tidak hanya dilakukan secara terbatas di dalam

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda

di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi,

Kabupaten Subang

Penafsiran Data untuk Nilai-nilai Kearifan Lokal

Penyimpulan Data

(1) Bentuk Lingual NPBBDBS

(2) Klasifikasi NPBBDBS

(3) Fungsi NPBBDBS

Hasil Analisis:

Muatan Nilai Kearifan Lokal Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa

Sunda

Pengumpulan Data (1) Metode Simak (2) Metode Cakap

Penyajian Data

(1) Pemaparan Bentuk Lingual NPBBDBS (3) Pemaparan Klasifikasi NPBBDBS

(4) Pemaparan Fungsi NPBBDBS (5) Pemaparan NPBBDBS dilengkapi dengan

arti kamus bahasa Sunda karangan Danadibrata (2006) dan Sajtadibrata (2011)


(27)

34

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

konteks linguistik semata, tetapi juga dilakukan dalam konteks sosial budaya yang lebih luas sehingga mampu menjangkau fungsi-fungsi sosial, kultural, dan lingkungannya dalam menopang praktik kebudayaan. Kajian nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda ini tidak hanya melibatkan konteks bahasa dan kognisi, melainkan juga konteks sosial-ekologis. Oleh karena itu, pengkajian masalah ini memakai pendekatan teoretis ekolinguistik.

Pendekatan ekolinguistik dalam kajian ini dipusatkan pada model etnografi komunikasi. Hymes (Sumarsono, 1993: 19; Kuswarno, 2008: 11) beranggapan bahwa etnografi komunikasi bermaksud untuk memusatkan kerangka acuan karena paparan tempat bahasa di dalam suatu kebudayaan bukan pada bahasa itu sendiri, melainkan pada komunikasinya. Dengan demikian, suatu bahasa mempunyai makna dalam konteks komunikasi. Sebaliknya, jika bahasa tidak dikomunikasikan, bahasa tidak akan mempunyai makna. Penggunaan model etnografi difungsikan untuk mengungkap nilai-nilai kearifan lokal yang terkandungi di dalam nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda pada latar yang alami, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif (Spradley, 1997: 11-12). Dengan menggunakan metode ini, sumber data berlatar alami atau pada konteks suatu keutuhan (holistik) karena ontologi alami menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dipahami jika terpisah dari konteksnya dan peneliti bertindak sebagai pengumpul data utama (Moleong, 2011: 8-11).

Selain itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi (Endraswara, 2003: 44; Kuswarno, 2009: 35-37) adalah keterlibatan peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami dengan masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang guna mengetahui dunia mereka. Secara khusus, penelitian ini menelaah taksonomi dunia tumbuhan bambu yang dijadikan sebagai bahan olahan kerajinan tangan dari sudut pandang masyarakat perajin bambu secara langsung atau berkaitan dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia dan makna yang ditempelkan padanya (ibid.). Dengan demikian, fenomena pemanfaatan perkakas berbahan


(28)

35

bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang bukan realitas yang berdiri sendiri (Kuswarno, 2008: 21). Pendekatan perspektif fenomenologi merupakan pendekatan yang beranggapan bahwa manusia dalam memperoleh pengetahuan tidak lepas dari pandangan moralnya, baik pengetahuan itu dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan (Muhadjir, 1996: 83; Alwasilah, 2009: 71). Pandangan tersebut terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal. Senada dengan Moleong (2011: 17), penelitian dalam perspektif fenomenologi bermakna memahami budaya lewat pandangan masyarakat perajin bambu atau memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap masyarakat-masyarakat biasa dalam situasi-situasi tertentu. Fenomena yang dimaksud dalam penelitian ini ialah fenomena pemanfaatan tumbuhan bambu yang dijadikan sebagai bahan olahan kerajinan tangan berupa nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang khususnya.

D. Batasan Operasional

Judul penelitian ini adalah “Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam

Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang

(Kajian Ekolinguistik)”. Kesalahan penafsiran judul penelitian dapat menimbulkan kesimpulan lain dari penelitian. Oleh sebab itu, peneliti perlu memberikan batasan operasional berikut ini.

1) Nama perkakas berbahan bambu yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah peralatan atau benda-benda yang terbuat dari bahan dasar bambu sebagai penunjang keperluan kehidupan sehari-hari seperti keperluan rumah tangga, pertanian, peternakan, perkebunan, dan permainan tradisional.

2) Cerminan gejala kebudayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah gambaran yang merujuk pada dimensi tertentu seperti gambaran keselarasan antara manusia dan alam (salah asah), manusia dan manusia (silih asuh), serta manusia dan sang pencipta (silih asih).


(29)

36

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

3) Bentuk lingual yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bentuk lingual dasar tata bahasa Sunda gagasan Kats dan Soeriadiradja (1982) yang dipusatkan pada satuan morfologi seperti kata dasar, kata panjangan, kata pengulangan, dan kata majemuk.

E. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tabel analisis data sebagai berikut.

3.1 Tabel Analisis Data

No. Data Bentuk

Lingual Glos

Klasifikasi Fungsi Cerminan Kebudayaan Lokal Deskripsi

P R T P P P P T P P K P P T R

I S I L

HMDLM MDMKLDB S

Keterangan: 1. Fungsi:

1) I : Individual

2) S : Sosial

3) IL : Ilahiah

2. Klasifikasi:

1) PRT : Perkakas Rumah Tangga 2) PP : Perkakas Perikanan 3) PPT : Perkakas Peternakan 4) PPK : Perkakas Perkebunan


(30)

37

3. Cerminan Kebudayaan Lokal:

1) HMDLM : Hubungan Manusia dengan Lingkungan Masyarakat 2) MDMKLDB : Manusia dalam Mengejar Kemajuan Lahiriah dan

Batiniah 3) S : Sisindiran

F. Teknik Pengumpulan Data

Sudaryanto (1988) mengemukakan bahwa teknik pengumpulan data dalam penelitian linguistik terdapat dua macam teknik, yakni (1) metode simak dan (2) metode cakap. Dalam metode simak, peneliti tidak terlibat dalam percakapan hanya mengamati, mencatat, dan merekam hasil simakan yang diperoleh dari informan, sedangkan metode cakap atau wawancara peneliti langsung terlibat dalam percakapan bersama-sama dengan informan guna mengungkap apa yang mereka ketahui perihal nama-nama perkakas berbahan bambu terhadap pemanfaatan keanekaragaman hayati, khususnya tumbuhan bambu di Tatar Sunda. Hal tersebut sejalan dengan Creswell (Kuswarno, 2008: 47) yang menjelaskan bahwa teknik pengumpulan data dalam studi etnografi komunikasi terdapat tiga macam teknik, yakni pengamatan partisipan, wawancara, dan dokumen. Namun, dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu (1) pengamatan partisipan dan (2) wawancara karena penelitian kualitatif itu khas sebagai penelitian yang melibatkan subjek sosial.

Selain itu, pendekatan etnometodologi sebagai salah satu prosedur dalam pengumpulan data pun bermanfaat untuk digunakan karena etnometodologi memusatkan perhatiannya pada penemuan proses dasar yang digunakan oleh para penutur suatu bahasa, yaitu masyarakat perajin bambu dalam penelitian ini perihal nama perkakas berbahan bambu untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman komunikatif, termasuk asumsi-asumsi yang tidak ternyatakan, yang merupakan pengetahuan, dan pemahaman kebudayaan yang diketahui sebagaimana adanya (Kuswarno, 2008: 24; Muhadjir, 1996: 94). Selanjutnya, adapun uraian mengenai (1) wawancara dan (2) pengamatan partisipan adalah sebagai berikut.


(31)

38

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

1. Wawancara

Wawancara atau disebut sebagai metode cakap dalam penelitian ini merupakan metode tidak berstruktur karena akan mendorong masyarakat perajin bambu untuk menakrifkan dirinya sendiri dan lingkungannya untuk menggunakan istilah-istilah mereka sendiri mengenai objek penelitian perihal nama-nama perkakas berbahan bambu (Kuswarno, 2008: 54). Wawancara dalam penelitian ini tidak hanya terpusat pada satu informan saja, melainkan perlu wawancara dengan beberapa informan lain untuk mendapatkan lebih banyak informasi yang mendukung tergantung pada keperluan peneliti. Wawancara ini bersifat terbuka. Wawancara yang dimaksudkan adalah tidak terpaku pada pertanyaan terstruktur. Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan kepada informan harus lentur guna memudahkan peneliti ketika wawancara berlangsung di lapangan.

2. Pengamatan Partisipan

Pengamatan partisipan adalah metode tradisional yang digunakan dalam antropologi atau ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebudayaan dan merupakan sarana untuk peneliti masuk ke dalam masyarakat yang akan ditelitinya (Kuswarno, 2008: 49). Pengamatan partisipan tersebut dimaksudkan untuk menggabungkan perspektif peneliti dengan masyarakat perajin bambu guna mengungkap nama perkakas berbahan bambu terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandungi di dalamnya. Peneliti berusaha menjadi bagian dari masyarakat tutur yang diteliti di pelbagai ranah kegiatan komunikasi. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa dalam pelaksanaannya, peneliti tidak perlu menjadi bagian masyarakat yang diteliti selamanya, melainkan peneliti cukup berada pada keadaan tertentu untuk memahami fenomena yang ada. Adapun teknik-teknik untuk memudahkan penelitian ini, peneliti mengungkap apa yang diketahui oleh masyarakat perajin bambu di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang perihal nama-nama perkakas berbahan bambu, yaitu teknik mencuri


(32)

39

dengar, melacak, dan menggunakan kepekaan perasaan yang ada dalam diri peneliti (Kuswarno, 2008: 51).

G. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengaluran data-data yang telah terkumpul di lapangan. Sejalan dengan itu, Moustakas (Kuswarno, 2009: 69) mengemukakan bahwa ada dua pandangan tentang teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian fenomenologi, yaitu pandangan fenomenologi Van Kaam dan Stevick-Colaizzi-Keen. Namun, penelitian ini hanya dibatasi pada teknik analisis data pandangan fenomenologi Van Kaam.

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan melalui dua tahapan. Tahapan pertama dilakukan dengan menggunakan teknik analisis fenomenologi pandangan Van Kaam, yaitu membuat senarai dan mengelompokkan data awal yang diperoleh. Selanjutnya, tahapan kedua dilakukan dengan langkah (1) transkripsi data hasil rekaman dan (2) pengelompokan data yang berasal dari perekaman serta catatan lapangan berdasarkan konteks sosial yang terjadi dalam peristiwa komunikasi di pelbagai ranah sosial sehari-hari. Pelaksanaan tahapan tersebut meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

1) membuat klasifikasi bentuk lingual nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda berdasarkan aspek morfologinya;

2) membuat klasifikasi dan deskripsi nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda berdasarkan ranah penggunaan, misalnya perkakas rumah tangga, perkakas peternakan, perkakas perkebunan, perkakas pertanian, perkakas perikanan, dan perkakas permainan tradisional;

3) memaparkan klasifikasi fungsi nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda;

4) memaparkan cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda seiring dengan perkembangan sosial-budaya dan ekologis masyarakatnya;


(33)

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Senada dengan rumusan masalah, ada empat simpulan dalam penelitian ini. Keempatnya menyoroti fenomena bahasa dan budaya di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang. Budaya dan bahasa yang dimaksud adalah perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda yang merupakan produk hasil dari pemanfaatan tumbuhan bambu. Adapun uraian keempat hal tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang dapat dikategorikan menjadi empat bentuk lingual dasar: (A) kata dasar terdapat 36 buah kata (62%), yaitu (1) ambén, (2) bésék, (3) bilik, (4) boboko, (5) bongsang, (6) bubu, (7) carangka, (8) cémpéh, (9) cetok, (10) étém, (11) gedég, (12) gribig, (13) hihid, (14) irig, (15) jeujeur, (16) kalo, (17) kekeb, (18) kelanding, (19) kembu, (20) kempis, (21) kohkol, (22) kré, (23) lodong, (24) nyiru, (25) osol, (26) pengki, (27) posong, (28) rancatan, (29) ranggap, (30) said, (31) songsong, (32) sundung, (33) susug, (34) tampir, (35) tarajé, dan (36) tolok; (B) kata panjangan -an terdapat 2 buah kata (3,5%), yaitu (1)aseupan dan (2) ayakan; (C) kata majemuk terdapat 16 kata (27,6%), yaitu (1) aseupan jablay, (2) aseupan lépé, (3) ayakan atén-atén, (4) ayakan bangsal, (5) ayakan carang, (6) ayakan kerep, (7) ayakan lalab, (8) ayakan monyong, (9) ayakan soko, (10) ayakan unyil, (11) bilik kembang, (12) cetok géboy, (13) cetok kabrok, (14) keranjang ojég, (15) kurung ayam, dan (16) tutup sangu. Keseluruhan nama-nama perkakas berbahan bambu tersebut tergolong ke dalam kata majemuk yang kata keduanya membatasi kata pertama. Bentuk lingual dasar yang keempat adalah kata pengulangan. Kata pengulangan nama-nama perkakas berbahan bambu terdapat 4 buah kata (6,9%), yaitu (1) bebedilan, (2) momobilan, (3) jajangkungan, dan (4) langlayangan. Keempat kata tersebut merupakan kata pengulangan yang tergolong ke dalam kata pengulangan sebagian yang diikuti dengan proses panjangan -an. Pembentukan keempat kata


(34)

140

tersebut menunjukkan keterangan ketidaktentuan dan memiliki makna tiruan serta kesamaan.

Penamaan kata dasar nama-nama perakas berbahan bambu ini berasal dari bentuk, bunyi, dan cara kerja bendanya. Salah satu penamaan perkakas berbahan bambu yang berasal dari bentuknya seperti perkakas bilik. Penamaan bilik berasal dari bentuknya yang ngabrilik karena menyerupai kulit ular. Adapun penamaan perkakas berbahan bambu yang berasal dari bunyi bendanya adalah perkakas songsong. Bunyi yang dimaksud berasal dari songsong ketika digunakan untuk menyalakan api. Selanjutnya, penamaan perkakas berbahan bambu yang berasal dari cara kerja bendanya adalah kohkol. Cara kerja benda yang dimaksud adalah ditakol ‘dipikul’. Sementara itu, nama perkakas berbahan bambu yang berbentuk kata panjangan, yaitu aseupan dan ayakan. Penamaan aseupan berasal dari keadaan cara kerja bendanya ketika digunakan mengeluarkan aseup ‘asap’ dan kata ayakan berasal dari cara kerja bendanya untuk mengayak.

Kedua, nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang dapat diklasifikasikan menjadi tujuh kategori: (A) perkakas rumah tangga terdapat 20 buah nama perkakas berbahan bambu, yaitu (1) ambén; (2) aseupan dengan varian: aseupan jablay, dan aseupan lépé; (3) ayakan dengan varian: ayakan atén-atén atau kedo, ayakan bangsal atau kiser, ayakan carang, ayakan kerep, ayakan lalab, ayakan soko, ayakan unyil, irig, dan kalo; (4) bésék; (5) bilik dengan varian: bilik kembang; (6) boboko; (7) cetok; (8) cémpéh; (9) gedég; (10) gribig; (11) hihid; (12) kekeb; (13) kré; (14) nyiru; (15) pengki; (16) said; (17) songsong; (18) tampir; (19) tarajé; (20) tutup sangu, (B) perkakas peternakan terdapat 2 buah nama perkakas berbahan bambu, yaitu (1) kurung ayam; (2) ranggap, (C) perkakas perkebunan terdapat 5 buah nama perkakas berbahan bambu, yaitu (1) bongsang; (2) carangka; (3) cetok kabrok; (4) kelanding; (5) rancatan, (D) perkakas pertanian terdapat 3 buah nama perkakas berbahan bambu, yaitu (1) cetok geboy; (2) étém; (3) sundung, (E) perkakas perikanan terdapat 7 buah nama perkakas berbahan bambu, yaitu (1) ayakan monyong; (2) bubu; (3) jeujeur; (4)


(35)

141

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

kembu dan kempis; (5) osol; (6) posong; (7) susug, (F) perkakas permainan tradisional terdapat 4 buah nama perkakas berbahan bambu, yaitu (1) bebedilan; (2) jajangkungan; (3) langlayangan; (4) momobilan, serta (7) perkakas lain-lain terdapat 4 buah nama perkakas berbahan bambu, yaitu (1) kohkol; (2) keranjang ojeg; (3) lodong; (4) tolok.

Ketiga, nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi: (1) individual, (2) sosial, dan (3) ilahiah. Sebagai salah satu fungsi individual tersebut, nama perkakas berbahan bambu dapat dijadikan penanda mimpi sebagai acuan dalam melakukan hal. Sebagai contoh, jika bermimpi menerbangkan langlayangan, masyarakat Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang percaya bahwa sesuatu yang diinginkan atau dilakukan akan gagal. Sementara itu, fungsi sosial perkakas berbahan bambu memiliki peran kemanasukaan dilihat dari segi bahasanya. Dalam hal ini, manasuka merupakan salah satu hakikat dari bahasa. Setiap bahasa di mana pun berada mempunyai aturan tersendiri bagi penuturnya. Sebagai contoh, masyarakat di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang menyebut nama aseupan jablay sebagai nama perkakas berbahan bambu yang dikenal sebagai jenis aseupan yang bentuknya lebih demplon dan pendek. Lebih khusus, fungsi sosial tersebut dilatarbelakangi oleh budaya dan bahasa sebagai status simbol serta ekonomi sebagai status komersial. Di samping itu, fungsi ilahiah pun tersiratkan dari nama perkakas berbahan bambu cémpéh. Penggunaan cémpéh oleh masyarakat Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang menunjukkan adanya pandangan dualisme terhadap alam semesta ini. Masyarakat Sunda percaya bahwa alam semesta ini dihuni oleh kekuatan baik dan buruk. Kekuatan baik tercermin dari istilah karuhun, sedangkan kekuatan buruk tercermin dari istilah jurig. Agar kedua hal tersebut berjalan beriringan, masyarakat Sunda membatasinya dengan ruang netral untuk menghalau kekuatan buruk. Oleh karena itu, ruang netral tersebut diberikan sesajén.


(36)

142

Keempat, nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang dapat mencerminkan gejala kebudayaan perihal lingkungannya. Hal yang dimaksud adalah pandangan-pandangan hidup perihal keadaan sosial dan budaya di desa tersebut yang tersiratkan dalam ungkapan (babasan) nama-nama perkakas berbahan bambu. Pandangan hidup yang dimaksud adalah pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan lingkungan yang tersiratkan dalam 3 nama perkakas, yaitu (1) boboko, (2) carangka, dan (3) ayakan. Sementara itu, pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan batiniah tersiratkan dalam 4 nama perkakas, yaitu (1) bilik, (2) ayakan, (3) aseupan, dan (4) nyiru. Selain itu, nama perkakas berbahan bambu mengandungi sisindiran yang tersiratkan dalam 2 nama perkakas berbahan bambu, yaitu (1) bilik dan (2) tolombong.

Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan lingkungan masyarakat merupakan gambaran keadaan lingkungan suatu masyarakat kolektif yang berdiam terkait permasalahan hidup yang dihadapi dengan sesamanya seperti pertentangan ataupun kepatuhan terhadap norma-norma yang berlaku. Pandangan yang dimaksud tersiratkan dalam ungkapan (babasan). Dalam ungkapan tersebut melibatkan nama perkakas berbahan bambu boboko. Ungkapan yang dimaksud adalah boboko buntung naek ka meja ‘bakul rusak naik ke atas meja’. Ungkapan tersebut mengandungi makna bahwa orang yang dulunya miskin menjadi kaya, tetapi sombong. Sementara itu, pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan batiniah merupakan cerminan keadaan diri seseorang dalam menjalani dinamika kehidupan bermasyarakat guna mencapai harapan yang diinginkan, baik untuk jasmani maupun rohaninya. Hal tersebut tertuangkan dalam ungkapan yang melibatkan nama perkakas nyiru. Ungkapan yang dimaksud adalah ayak-ayak nyiru, nu gede moncor, nu lembut namper ‘mengayak-ayak nyiru, yang besar keluar, yang kecil ke pinggir’. Ungkapan tersebut mengandungi makna bahwa jika sesuatu hal atau perbuatan yang ingin dikerjakan harus memilih-milih dan menimbang-nimbang, baik besar maupun kecilnya.


(37)

143

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Selain itu, talenta masyarakat Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang dalam mengolah kata tercerminkan pula dalam sisindiran ketika penutur menyampaikan maksud tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sisindiran yang dimaksud adalah samping hideung dina bilik kumaha nuturkeunana, kuring nineung kanu balik kumaha nuturkeunana

‘kain hitam dibilik bagaimana mengikutinya, saya kangen kepada yang pulang

bagaimana mengikutinya’. Sisindiran tersebut mengandungi makna rasa kangen

terhadap seseorang yang disayang, tetapi sudah tiada.

Selanjutnya, penelitian ini dapat memberikan sumbangan kosakata sebanyak 22 nama perkakas berbahan bambu yang belum masuk ke dalam kamus bahasa Sunda karangan Danadibrata (2006) dan Sajtadibrata (2011), yaitu (1) aseupan lépé, (2) aseupan jablay, (3) ayakan atén-atén atau kedo, (4) ayakan bangsal atau kiser, (5) ayakan carang, (6) ayakan kerep, (7) ayakan lalab, (8) ayakan soko, (9) ayakan unyil, (10) irig, (11) bilik kembang atau batik, (12) cémpéh, (13) gribig, (14) kré, (15) tutup sangu, (16) kurung ayam, (17) cetok kabrok, (18) kelanding, (19) cetok géboy, (20) ayakan monyong, (21) bebedilan, dan (22) keranjang ojég.

Berdasarkan uraian keempat hal tersebut, kajian ekolinguistik dalam penelitian nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda ini lebih ke arah hubungan antara bahasa dan budaya terkait produk budaya. Dengan kata lain, penelitian ini terfokus ke arah kajian etnolinguistik. Dalam hal ini, ekolinguistik hanya berperan sebagai payung besar dari kajian bahasa-bahasa. Lebih jauh, bagaimana cara pandang masyarakat Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang untuk mengiterpretasikan keadaan lingkungan-sosialnya melalui bahasanya, khususnya nama-nama perkakas berbahan bambu dapat terungkap.


(38)

144

Penelitian ini menunjukkan bahwa kajian ekolinguistik penting untuk dimanfaatkan sebagai pisau dalam mengungkap keberadaan bahasa terkait dengan variabel-varibelnya serta cara pandang budaya suatu masyarakat kolektif di tempat berdiam dewasa ini. Penelitian ini membuka wawasan kita bahwa ilmu bahasa dapat dimanfaatkan dalam pelbagai dimensi kehidupan manusia. Dengan demikian, ilmu bahasa tidak hanya mengungkap permasalahan salah atau benar dalam berbahasa, melainkan kebermaknaannya. Oleh karena itu, ada beberapa saran yang ingin disampaikan dalam penelitian ini. Adapun saran yang ingin disampaikan adalah sebagai berikut.

1) Penelitian ekolinguistik akan lebih kaya jika penelitian selanjutnya memperluas bahasan dan studinya. Apalagi, kajian ekolinguistik ini terbilang masih jarang, khususnya di Indonesia. Hasil penelitian semacam ini diharapkan akan lebih beraneka ragam. Selain itu, penelitian ekolinguistik ini akan lebih menantang jika dielaborasikan dengan wacana lingkungan (greenspeak), sehingga hasilnya tidak hanya terbatas mengungkap cara pandang seseorang ataupun suatu masyarakat kolektif terkait budayanya saja, melainkan lebih kepada realisasi nilai-nilai luhur yang terkandungi di dalamnya untuk kehidupan sehari-hari dan berbangsa.

2) Penelitian ekolinguistik mendatang juga dapat membandingkan dan mengungkap aspek-aspek atau tanda-tanda semantik terkait dengan produk-produk budaya dipelbagai daerah saat ini. Di samping itu, penelitian ini hanya menggunakan kerangka analisis gagasan Haugen (1972) tentang ekolinguistik yang lebih kepada ruang lingkup kajian etnolinguistik. Ada baiknya, jika penelitian-penelitian serupa di masa mendatang dapat menggunakan dan mengelaborasi kerangka analisis yang lain dalam cakupan ekolinguistik guna mengungkap bahasa dan budaya suatu tempat seiring dengan perkembangan sosial, budaya, dan ekologisnya.


(39)

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

Al-Gayoni, Yusradi Usman. (2012). Ekolinguistik. Jakarta: Pang Linge Bekerja Sama dengan Research Center for Gayo.

Alwasilah, A. Chaedar dkk. (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Bakker, J.W.M. (1984). Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Danadibrata, R.A. (2006). Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran.

Darheni, Nani. (2010). “Leksikon Aktivitas Mata dalam Toponomi di Jawa Barat: Kajian Etnosemantik”. Linguistik Indonesia. 28, (1), 55-67.

Duranti, Alessandro. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Endraswara, Suwardi. (2003). Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Fasya, Mahmud. (2011). “Leksikon Waktu Harian dalam Bahasa Sunda: Kajian Linguistik Antropologis”. dalam Nasanius, Yassir (ed.) KOLITA 9: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 9: Tingkat Internasional. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya. Pp. 265-269. Fernandez, Inyo Yos. (2008). “Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa

Jawa sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada Masyarakat Petani dan Nelayan”. Kajian Linguistik dan Sastra. 20, ( 2), 166-177.

Foley, William A. (1997). Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.

Garna, Judistira K. (2008). Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad dan Judistira Garna Foundation.


(40)

146

Haugen, Einar. (1972). The Ecology of Language. California: Stanford University Press.

Idris, Nuny Sulistiany. (2012). “Pengaruh Kognisi terhadap Penggunaan Verba Berendonim Indera Penglihatan dalam Bahasa Indonesia”. Artikulasi: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 11, (1), 76-90.

Iskandar, Johan dan Iskandar, Budiawati S. (2011). Agroekosistem Orang Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Kaplan, David dan Manners, Albert A. (2000). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Kats, J dan Soeriadiradja, M. (1982). Tata Bahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda. Terjemahan Ayatrohaedi. Jakarta:Djambatan.

Koentjaraningrat. (1980). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.

Kuswarno, Engkus. (2008). Metode Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi (Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya). Bandung: Widya Padjadjaran.

Kuswarno, Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi: Fenomenologi (Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian). Bandung: Widya Padjadjaran.

Miles, Matthew B dan Huberman, A. Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru.Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.

Mokoagouw, Maryanti E. (2012). “Wacana Mob Papua: Kajian Ekolinguistik Dialektikal”. dalam Subyanto, Agus, dkk (ed.) International Seminar: Language Maintenance and Shift II. Semarang: Master Program in Linguistics, Diponegoro University in Collaboration with Balai Bahasa Jawa Tengah. Pp. 296-301.

Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). TerjemahanBandung: Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi III). Yogyakarta: Rake Sarasin.

Palmer, Gary B. (1999). Toward A Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press.


(41)

147

Jaenudin, 2013

Nama Perkakas Berbahan Bambu dalam Bahasa Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang (Kajian Ekolinguistik)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Pei, Mario. (1971). Kisah daripada Bahasa. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Djakarta: Bhratara.

Rahyono, F.X. (2009). Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Ramlan. (2001). Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono.

Rasna, I Wayan dan Binawati, Ni Wayan S. (2012). “Pemertahanan Leksikal Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Kajian Semantik Ekolinguistik”. Jurnal Bumi Lestari. 12, (1), 173-187.

Rasna, I Wayan. (2010). “Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Jurnal Bumi Lestari. 10, (2), 321-332. Rosidi, Ajip. (2010). Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Sapir, Edward. (2001). “Language and Environment”. dalam Alwin Fill dan Peter Mühlhäusler The Ecolinguistic Reader: Language, Ecology, and Environment. New York: Continuum. Pp. 13-23.

Satjadibrata. 2011. Kamus Sunda-Indonesia. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Spradley, James P. (1997). Metode Etnografi. Terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Sudana, Dadang dkk. (2012). “Eksplorasi Nilai Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Leksikon Etnobotani: Kajian Etnopedagogi di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya”. Laporan Hibah Penelitian Etnopedagogi. Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UPI.

Sudaryanto. (1988). Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sujarwo, Wawan dkk. (2010). “Potensi Bambu Tali (Gigantochloa apus J.A. & J.H. Schult. Kurz) sebagai Obat di Bali”. Bul. Littro. 21, (2), 129-137. Sumardjo, Jakob. (2011). Sunda: Pola Rasionalitas Budaya. Bandung: Kelir.

Sumarsono. (1993). Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.


(42)

148

Suradika, Agus. (2009). “Pertimbangan Etika dalam Penelitian Kualitatif: Telaah tentang Pengaruh Pandangan Etik dan Emik terhadap Perilaku Peneliti di Lokasi Penelitian.” Informasi. 14, (01), 1-18.

Warnaen, Suwarsih dkk. (1987). Pandangan Hidup Orang Sunda: seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wiarna, Ensa dkk. (2011). Bambu dalam Budaya Sunda. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

Wierzbicka, Anna. (1992). Semantics, Cognition, and Culture: Universal Human Concepts in Culture-Specific Configurations. London: Oxford University Press.

Wierzbicka, Anna. (1997). Understanding Cultures through Their Key Words: English, Russian, Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press.


(1)

Selain itu, talenta masyarakat Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang dalam mengolah kata tercerminkan pula dalam sisindiran ketika penutur menyampaikan maksud tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sisindiran yang dimaksud adalah samping hideung dina bilik kumaha nuturkeunana, kuring nineung kanu balik kumaha nuturkeunana ‘kain hitam dibilik bagaimana mengikutinya, saya kangen kepada yang pulang bagaimana mengikutinya’. Sisindiran tersebut mengandungi makna rasa kangen terhadap seseorang yang disayang, tetapi sudah tiada.

Selanjutnya, penelitian ini dapat memberikan sumbangan kosakata sebanyak 22 nama perkakas berbahan bambu yang belum masuk ke dalam kamus bahasa Sunda karangan Danadibrata (2006) dan Sajtadibrata (2011), yaitu (1) aseupan lépé, (2) aseupan jablay, (3) ayakan atén-atén atau kedo, (4) ayakan bangsal atau kiser, (5) ayakan carang, (6) ayakan kerep, (7) ayakan lalab, (8) ayakan soko, (9) ayakan unyil, (10) irig, (11) bilik kembang atau batik, (12) cémpéh, (13) gribig, (14) kré, (15) tutup sangu, (16) kurung ayam, (17) cetok kabrok, (18) kelanding, (19) cetok géboy, (20) ayakan monyong, (21) bebedilan, dan (22) keranjang ojég.

Berdasarkan uraian keempat hal tersebut, kajian ekolinguistik dalam penelitian nama-nama perkakas berbahan bambu dalam bahasa Sunda ini lebih ke arah hubungan antara bahasa dan budaya terkait produk budaya. Dengan kata lain, penelitian ini terfokus ke arah kajian etnolinguistik. Dalam hal ini, ekolinguistik hanya berperan sebagai payung besar dari kajian bahasa-bahasa. Lebih jauh, bagaimana cara pandang masyarakat Sunda di Desa Parapatan, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang untuk mengiterpretasikan keadaan lingkungan-sosialnya melalui bahasanya, khususnya nama-nama perkakas berbahan bambu dapat terungkap.


(2)

144

Penelitian ini menunjukkan bahwa kajian ekolinguistik penting untuk dimanfaatkan sebagai pisau dalam mengungkap keberadaan bahasa terkait dengan variabel-varibelnya serta cara pandang budaya suatu masyarakat kolektif di tempat berdiam dewasa ini. Penelitian ini membuka wawasan kita bahwa ilmu bahasa dapat dimanfaatkan dalam pelbagai dimensi kehidupan manusia. Dengan demikian, ilmu bahasa tidak hanya mengungkap permasalahan salah atau benar dalam berbahasa, melainkan kebermaknaannya. Oleh karena itu, ada beberapa saran yang ingin disampaikan dalam penelitian ini. Adapun saran yang ingin disampaikan adalah sebagai berikut.

1) Penelitian ekolinguistik akan lebih kaya jika penelitian selanjutnya memperluas bahasan dan studinya. Apalagi, kajian ekolinguistik ini terbilang masih jarang, khususnya di Indonesia. Hasil penelitian semacam ini diharapkan akan lebih beraneka ragam. Selain itu, penelitian ekolinguistik ini akan lebih menantang jika dielaborasikan dengan wacana lingkungan (greenspeak), sehingga hasilnya tidak hanya terbatas mengungkap cara pandang seseorang ataupun suatu masyarakat kolektif terkait budayanya saja, melainkan lebih kepada realisasi nilai-nilai luhur yang terkandungi di dalamnya untuk kehidupan sehari-hari dan berbangsa.

2) Penelitian ekolinguistik mendatang juga dapat membandingkan dan mengungkap aspek-aspek atau tanda-tanda semantik terkait dengan produk-produk budaya dipelbagai daerah saat ini. Di samping itu, penelitian ini hanya menggunakan kerangka analisis gagasan Haugen (1972) tentang ekolinguistik yang lebih kepada ruang lingkup kajian etnolinguistik. Ada baiknya, jika penelitian-penelitian serupa di masa mendatang dapat menggunakan dan mengelaborasi kerangka analisis yang lain dalam cakupan ekolinguistik guna mengungkap bahasa dan budaya suatu tempat seiring dengan perkembangan sosial, budaya, dan ekologisnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Gayoni, Yusradi Usman. (2012). Ekolinguistik. Jakarta: Pang Linge Bekerja Sama dengan Research Center for Gayo.

Alwasilah, A. Chaedar dkk. (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Bakker, J.W.M. (1984). Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Danadibrata, R.A. (2006). Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran.

Darheni, Nani. (2010). “Leksikon Aktivitas Mata dalam Toponomi di Jawa Barat: Kajian Etnosemantik”. Linguistik Indonesia. 28, (1), 55-67.

Duranti, Alessandro. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Endraswara, Suwardi. (2003). Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Fasya, Mahmud. (2011). “Leksikon Waktu Harian dalam Bahasa Sunda: Kajian Linguistik Antropologis”. dalam Nasanius, Yassir (ed.) KOLITA 9: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 9: Tingkat Internasional. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya. Pp. 265-269. Fernandez, Inyo Yos. (2008). “Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa

Jawa sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada Masyarakat Petani dan Nelayan”. Kajian Linguistik dan Sastra.20, ( 2), 166-177.

Foley, William A. (1997). Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.

Garna, Judistira K. (2008). Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad dan Judistira Garna Foundation.


(4)

146

Haugen, Einar. (1972). The Ecology of Language. California: Stanford University Press.

Idris, Nuny Sulistiany. (2012). “Pengaruh Kognisi terhadap Penggunaan Verba Berendonim Indera Penglihatan dalam Bahasa Indonesia”. Artikulasi: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 11, (1), 76-90.

Iskandar, Johan dan Iskandar, Budiawati S. (2011). Agroekosistem Orang Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Kaplan, David dan Manners, Albert A. (2000). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Kats, J dan Soeriadiradja, M. (1982). Tata Bahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda. Terjemahan Ayatrohaedi. Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. (1980). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.

Kuswarno, Engkus. (2008). Metode Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi (Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya). Bandung: Widya Padjadjaran.

Kuswarno, Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi: Fenomenologi (Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian). Bandung: Widya Padjadjaran.

Miles, Matthew B dan Huberman, A. Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru.Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.

Mokoagouw, Maryanti E. (2012). “Wacana Mob Papua: Kajian Ekolinguistik Dialektikal”. dalam Subyanto, Agus, dkk (ed.) International Seminar: Language Maintenance and Shift II. Semarang: Master Program in Linguistics, Diponegoro University in Collaboration with Balai Bahasa Jawa Tengah. Pp.296-301.

Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Terjemahan Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi III). Yogyakarta: Rake Sarasin.

Palmer, Gary B. (1999). Toward A Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press.


(5)

Pei, Mario. (1971). Kisah daripada Bahasa. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Djakarta: Bhratara.

Rahyono, F.X. (2009). Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Ramlan. (2001). Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono.

Rasna, I Wayan dan Binawati, Ni Wayan S. (2012). “Pemertahanan Leksikal Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Kajian Semantik Ekolinguistik”. Jurnal Bumi Lestari. 12, (1), 173-187.

Rasna, I Wayan. (2010). “Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Jurnal Bumi Lestari. 10, (2), 321-332. Rosidi, Ajip. (2010). Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Sapir, Edward. (2001). “Language and Environment”. dalam Alwin Fill dan Peter Mühlhäusler The Ecolinguistic Reader: Language, Ecology, and Environment. New York: Continuum. Pp. 13-23.

Satjadibrata. 2011. Kamus Sunda-Indonesia. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Spradley, James P. (1997). Metode Etnografi. Terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Sudana, Dadang dkk. (2012). “Eksplorasi Nilai Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Leksikon Etnobotani: Kajian Etnopedagogi di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya”. Laporan Hibah Penelitian Etnopedagogi. Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UPI.

Sudaryanto. (1988). Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sujarwo, Wawan dkk. (2010). “Potensi Bambu Tali (Gigantochloa apus J.A. & J.H. Schult. Kurz) sebagai Obat di Bali”. Bul. Littro. 21, (2), 129-137. Sumardjo, Jakob. (2011). Sunda: Pola Rasionalitas Budaya. Bandung: Kelir.

Sumarsono. (1993). Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.


(6)

148

Suradika, Agus. (2009). “Pertimbangan Etika dalam Penelitian Kualitatif: Telaah tentang Pengaruh Pandangan Etik dan Emik terhadap Perilaku Peneliti di Lokasi Penelitian.” Informasi. 14, (01), 1-18.

Warnaen, Suwarsih dkk. (1987). Pandangan Hidup Orang Sunda: seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wiarna, Ensa dkk. (2011). Bambu dalam Budaya Sunda. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

Wierzbicka, Anna. (1992). Semantics, Cognition, and Culture: Universal Human Concepts in Culture-Specific Configurations. London: Oxford University Press.

Wierzbicka, Anna. (1997). Understanding Cultures through Their Key Words: English, Russian, Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press.