DOCRPIJM 554e00a0fd BAB X11. BAB 10 Aspek Kelembagaan
Bab
10 ASPEK KELEMBAGAAN PEMBANGUNAN BIDANG CIPTA KARYA
10.1 Arahan Kebijakan Kelembagaan Bidang Cipta Karya
Dalamrangka pelaksanaan reformasi birokrasi, berikut akan disajikan beberapa ketentuan yang menjadi landasan hukum pengembangan kelembagaan, yaitu:
1. Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Undang
- –Undang nomor 32/2004 digariskan bahwa pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan menjalankan otonomi seluas-luasnya, dengan tujuan meningkatkan kesejatraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Untuk membantu kepala daerah dalam melaksanakan otonomi, dibentuklah organisasi perangkat daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang harus ditangani/dikelola oleh suatu organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbang- kan faktor kemampuan keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, dan sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.
2. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan.Peraturan Pemerintah ini menjelaskan bahwa bidang pekerjaan umum merupakan bidang wajib yang menjadi urusan pemerintah daerah, dan pemerinah berkewajiban untuk melakukan pembiayaan terhadap pemerintah kabupaten/kota. Peraturan Pemerintah ini memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah kabupaten/kota unuk melaksanakan pembangunan di Bidang Cipta Karya, sebagaimana yang digariskan pada Bab III Pasal 7 yaitu :
“(1) Urusan Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten kota, berkaitan dengan pelayanan dasar . “(2) Urusan Wajib sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi : antara lainnya adalah bidang pekerjaan umum”.
Pasal tersebut menegaskan bahwa, bidang pekerjaan umum merupakan bidang wajib yang menjadi urusan pemerintah daerah. Dalamrangka pelaksanaan tugas wajib tersebut, diperlukan suatu instrumen yang dapat dijadikan Standar Operasional dan Prosedur (SOP), yaitu berupa Dokumen Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM) Bidang Cipta Karya. Melalui Dokumen RPI2JM, diharapkan dapat dijadikan acuan bersama bagi seluruh pemangku kepentingan diseluruh tingkatan.
3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41/2007, Bidang Pekerjaan Umum meliputi Bidang Bina Marga, Bidang Pengairan, Bidang Cipta Karya dan Penataan Ruang. Bidang Pekerjaan Umum merupakan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas. Berdasarkan lingkup tugas, Dinas dibentuk atas tiga bagian (bidang) dan masing- masing bidang terdiri dari paling banyak 3 seksi.
Untuk mendukung penataan kelembagaan, dapat ditempuh melalui upaya perkuatan ketatalaksanaan instasi pemerintah, seperti perbaikan standar operasi dan prosedur (SOP) dan penerapan e-government dibeberapa instansi. Sejalan dengan pengembangan manajemen kenerja di lingkungan instasi pemerintah. Seluruh instansi pusat dan daerah diharapkan secara bertahap memperbaiki sistem ketatalaksanaan dengan menyiapkan perangkat SOP, mekanisme kerja yang lebih efisien dan efektif, dan mendukung upaya peningkatan akuntabilitas kinerja.
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025.Tindak lanjut dari Peraturan Presiden ini Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengusulan, Penetapan dan Pembinaan Reformasi Birokrasi pada pemerintah daerah. Berdasarkan peraturan menteri ini reformasi birokrasi pada pemerintah daerah di laksanakan mulai tahun 2012, dengan dilakukan secara bertahap dan berkerkelanjutan sesuai dengan kemampuan pemerintah daerah. Peraturan Menteri ini memberikan panduan dan kejelasan mengenai mekanisme serta prosedur dalam rangka pengusulan, penetapan dan pembinaan pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah daerah. Upaya pembenahan birokrasi dilingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya telah dimulai sejak Tahun 2005. Pembenahan yang dilakukan adalah menyangkut 3 (tiga) pilar birokrasi, yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan dan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk mendukung tercapainya good governance maka perlu dilanjutkan dan disesuaikan dengan program yaitu :
1. Program Menejemen Perubahan, meliputi: penyusunan strategi manajemen perubahan dan strategi komonikasi K/L dan pemda, sosialisasi dan internalisasi menejemen perubahan dalam rangka reformasi birokrasi.
2. Program penataan peraturan Perundang-undangan meliputi : penataan berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan/diterbitkan oleh K/L dan Pemda.
3. Program Penguatan dan Penataan Organisasi meliputi : restrukturisasi tugas dan fungsi unit kerja yang menangani organisasi tata laksana, pelayanan publik, kepegawaian dan diklat.
4. Penataan Tata Laksana meliputi : penyusunan SOP penyelenggaraan tugas dan fungsi serta pembangunan dan pengembangan e-government.
5. Penatan sistem manajemen SDM Aparatur, meliputi penataan sistem rekrutmen pegawai, analisis dan evaluasi jabatan, penyusunan standar kompetensi jabatan, asesmen individu berdasar kompentisi.
6. Penguatan pengawasan meliputi : penerapan sistem pengendalian intern, pemerintah (SPIP) dan peningkatan peran Aparat Pengawasan Item Pemerintah (APIP).
7. Penguatan Akuntabilitas meliputi : penguatan akuntanbilitas kinerja instasi pemerintah, pengembangan sistem mamajemen kinerja organsasi dan penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU).
8. Penguatan Pelayanan Publik meliputi : penerapan standar pelayanan pada unit kerja masing-masing, penerapan SPM pada kabupaten / kota.
9. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan.
6. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional.Di dalam Intruksi Presiden ini dinyatakan bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah ditingkat pusat dan daerah. Presiden menginstruksikan untuk melaksanakan pengarasutamaan gender guna terselenggaraannya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender sesuai sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing - masing.
Terkait PUG Kementerian Pekerjaan Umum dan Ditjen Cipta Karya pada umumnya telah mulai menerapkan PUG dalam tiap program/kegiatan Keciptakaryaan. Untuk itu perlu diperhatikan dalam pengembangan kelembagaan Bidang Cipta Karya untuk memasukan prinsip
- –prinsip PUG, demikian pula di dalam pengelolaan RPI2JM Bidang Cipta Karya.
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 14/PRT/M/2010 Tentang Standar
Pelayanan Minimum.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum ini menekankan tentang target pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum yang menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Target pelayanan dasar yang dietapkan dalam Peraturan Menteri ini yaitu pada Pasal 5 ayat 2, dapat dilihat sebagai bagian dari beban dan tanggung jawab kelembagaan yang menangani bidang ke-PU-an, khususnya untuk Sub. Bidang Cipta Karya yang dituangkan di dalam dokumen RPI2JM. Dalam Peraturan Menteri ini juga disebutkan bahwa Gubernur bertanggung jawab dalam koordinasi penyelenggaraan pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum, sedangkan Bupati/Walikota bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum. Koordinasi dan penyelenggaraan pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang baik provinsi maupun kabupaten/kota.
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk
Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah.Peraturan Menteri ini menjadi landasan petunjuk teknis dalam penataan perangkat daerah. Berdasarkan Peraturan Menteri ini dasar hukum penetapan perangkat daerah adalah Peraturan Daerah (PERDA). Penjabaran tupoksi masing-masing SKPD provinsi ditetapkan dengan PERGUB dan SKPD kabupaten/Kota dengan Perbup/Perwal.
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2010 tentang Pedoman Standar Pelayanan Perkotaan.
Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan bagi pemerintah daerah sebagai dasar untuk memberikan pelayanan perkotaan bagi masyarakat. SPP adalah standar pelayanan minimal kawasan perkotaan, yang sesuai dengan fungsi kawasan perkotaan merupakan tempat permukiman perkotaan, termasuk didalamnya jenis pelayanan bidang keciptakaryaan, seperti perumahan, air minum, drainase, prasarana jalan lingkungan, persampahan dan air limbah.
10. Keputusan Menteri PAN Nomor 75 tahun 2004 Tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan Pegawai Berdasarkan Beban Kerja Dalam Rangka Penyusunan Formasi Pegawai Negeri Sipil.
Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan bagi setiap instansi pemerintah dalam menghitung kebutuhan pegawai berdasarkan beban kerja dalam rangka penyusunan formasi PNS. Dalam perhitungan kebutuhan pegawai, aspek pokok yang harus diperhatikan adalah : beban kerja, standar kemampun rata - rata dan waktu kerja. Dalam keputusan ini, Gubernur melakukan pembinaan dan pengendalian pelayanan perkotaan, sedangkan Bupati/Walikota melaksanakan dan memfasilitasi penyediaan pelayanan kabupaten dan perkotaan. Berdasarkan peraturan-peraturan di atas maka dimungkinkan untuk mengeluarkan peraturan daerah untuk pemantapan dan pengembangan perangkat daerah, khususnya untuk urusan pemerintahan pada Sub. Bidang Cipta Karya. Dengan adanya suatu kelembagaan yang definitif untuk menangani urusan pemerintah pada Bidang / Sub. Bidang Cipta Karya maka diharapkan dapat meningkatkan kinerja pelayanan kelembagaan.
10.2 Kondisi Kelembagaan Saat Ini
10.2.1 Kondisi Keorganisasian Bidang Cipta Karya
Pembentukan susunan organisasi dan tata kerja Dinas Pekerjaan Umum di Kota Bengkulu diatur dalam Peraturan Daerah Nomor …. Tahun 2013. Adapun kedudukan, tugas dan fungsi dari dinas tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Dinas Pekerjaan Umum merupakan unsur pelaksana tugas otonomi daerah di Bidang Pekerjaan Umum dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah.
(2) Dinas Pekerjaan Umum mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang pekerjaan umum.
Tugas dan Fungsi Dinas Pekerjaan Umum adalah :
a. Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya di Bidang Pekerjaan Umum.
b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya di Bidang Pekerjaan Umum.
c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya di Bidang Pekerjaan Umum dan.
d. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan lingkup tugasnya di Bidang Pekerjaan Umum.
Susunan Organisasi Dinas Pekerjaan Umum, terdiri dari : a. Kepala Dinas.
b. Sekretariat.
c. Bidang Penyusunan Program.
d. Bidang Pengairan.
e. Bidang Bina Marga.
f. Bidang Cipta Karya dan.
g. Kelompok Jabatan Fungsional.
(a) Sekretariat membawahi : a. Sub. Bagian Umum.
b. Sub. Bagian Kepegawaian dan.
c. Sub. Bagian Keuangan. (b) Bidang Penyusunan Program membawahi : a. Seksi Perencanaan.
b. Seksi Pelaporan dan.
c. Seksi Monitoring dan Evaluasi. (c) Bidang Pengairan membawahi : a. Seksi Pengairan Irigasi dan Rawa.
b. Seksi Sungai dan Pantai dan.
c. Seksi Pemeliharaan Irigasi, Rawa, Sungai dan Pantai. (d) Bidang Bina Marga membawahi :
a. Seksi Pembangunan dan Peningkatan Jalan
b. Seksi Pembangunan dan Peningkatan Jembatan dan Gorong –Gorong.
c. Seksi Pemeliharaan Jalan, Jembatan, Gorong
- –Gorong, Alat dan Perlengkapan.
(e) Bidang Cipta Karya membawahi : a. Seksi Perumahan dan Permukiman.
b. Seksi Penyehatan Lingkungan Permukiman dan.
c. Seksi Tata Bangunan
10.2.2 Kondisi Ketatalaksanaan Bidang Cipta Karya
Tatalaksana organisasi yang perlu dikembangkan adalah menciptakan hubungan kerja antar perangkat daerah dengan menumbuhkembangkan rasa kebersamaan dan kemitraan dalam melaksanakan beban kerja dan tanggung jawab bagi peningkatan produktifitas dan kinerja.
Prinsip-prinsip hubungan kerja antar keorganisasian pemerintah kota, khususnya menyangkut tupoksi dari masing-masing instansi pemerintah bidang keciptakaryaan. Dengan mengacu pada tabel berikut, dapat dicantumkan penjabaran peran masing-masing instansi dalam penyelenggaraan kegiatan Bidang Cipta Karya. Selain itu guna memperjelas pelaksanaan tugas pada setiap satuan kerja, perlu dilengkapi dengan tata laksana dan tata hubungan kerja antara satuan kerja serta Standar Oprasi dan Prosedur (SOP) untuk setiap pelaksanaan tugas, yang dapat dijadikan pedoman bagi pegawai dalam dalam melakukan tugasnya. Dengan mengisi tabel berkut bisa dicantumkan inventarisasi SOP Bidang Cipta Karya didaerah.
Tabel 10.1 Hubungan Kerja Instansi Bidang Cipta KaryaPeran Instansi dalam Unit / Bagian yang menangani No Instansi Pembangunan Bidang CK Pembangunan Bidang CK
1 BAPPEDA
2 Dinas PU
3 Dinas Tata Kota Dinas Kebersihan dan
4 Pertamanan
5 Dinas Kesehatan Badan Lingkungan
6 Hidup
Tabel 10.2 Inventarisasi SOP Bidang Cipta KaryaTugas dan Fungsi No Nama SOP Instansi yang Terlibat Instansi Dalam BOP Pengembangan Permukiman 1. Dst. Penataan Bangunan dan Lingkungan 1. Dst. Pengembangan Air Minum 1. Dst. Pengembangan PLP 1. Dst. SOP Non - Teknis 1. Dst.
10.2.3 Kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Cipta Karya
Dalam kaitan dengan reformasi birokrasi, penataan sistem manajemen SDM aparatur merupakan program ke
- – 5 (lima) dari Sembilan Program Reformasi Birokrasi yang perlu ditingkatkan, tidak hanya dari segi kuantitas tetapi juga kualitas. Bagian ini menguraikan kondisi SDM di keorganisasian instansi yang menangani Bidang Cipta Karya, yang dapat dilakukan dengan mengisi tabel berikut mengenai komposisi pegawai dalam unit kerja bidang Cipta Karya.
10.3 Analisis Kelembagaan
10.3.1 Analisis Keorganisasian Bidang Cipta Karya
Tujuan analisis keorganisasian adalah untuk mengetahui keorganisasian Bidang Cipta Karya yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi maupun tingkat kompetensi aparatur dalam penyelenggaraan tugas-tugas Bidang Cipta Karya. Analisis deskriftif dapat dilakukan dengan cara diskusi antar anggota Satgas RPI2-JM.
PERAN SERTA PARA PELAKU PEMBANGUNAN
Pelaku penyelenggaraan Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Kota Bengkulu adalah : a. Pemerintah, terdiri dari:
- Pemerintah Pusat - Pemerintah Propinsi Bengkulu - Pemerintah Kota Bengkulu
b. Swasta, terdiri dari:
- BUMN : Perumnas, PT. Telkom, PT. PLN
- BUMD: PDAM, perusahaan daerah lainnya
- Swasta Murni: Pengembang, kontraktor dan investor lainnya
- Koperasi
c. Masyarakat, melalui swadaya, swadana dan swakelola
- Kelompok Masyarakat - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
- Organisasi Sosial Kemasyarakatan
10.3.2 Analisis Ketatalaksanaan Bidang Cipta Karya
Tujuan analisis permasalahan ketatalaksanaan kelembagaan Bidang Cipta Karya adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi dalam melaksanakan tufoksi Bidang Cipta Karya.
10.3.3 Analisais Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Cipta Karya
Tujuan analisis Sumber Daya Manusia adalah untuk mengetahui permasalahan SDM Bidang Cipta Karya yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi dalam melaksanakan tufoksi Bidang Cipta Karya.
10.3.4 Analisis SWOT Kelembagaan
Analisis SWOT kelembagaan merupakan suatu metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats) di bidang kelembagaan. Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam matriks SWOT. Strategi yang digunakan adalah bagaimana kekuatan mampu mengambil keuntungan dari peluang yang ada (strategi S - O), bagaimana cara mengatasi kelemahan yang mencegah keuntungan dari peluang yang ada (strategi W - O), bagaimana kekuatan mampu menghadapi ancaman yang ada (strategi S - T) dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan yang mampu membuat ancaman menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru (strategi W - T). Selengkapnya tentang analisis swot dapat diperlihatkan seperti pada Tabel 10.3. Berdasarkan matriks SWOT tersebut, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut : a. Menginventarisasi faktor-faktor dari metode SWOT yaitu kekuatan (internal), kelemahan (internal), peluang (eksternal) dan ancaman (eksternal) kelembagaan organisasi perangkat kerja daerah, khususnya terkait dengan Bidang Cipta Karya.
b. Melakukan perumusan strategi berdasarkan kolaborasi dari faktor-faktor analisis SWOT yaitu sebagai berikut :
Mengembangkan strategi SO (kuadran 1) yaitu strategi agar kekuatan yang
- dimiliki organisasi mampu mengambil keuntungan dari peluang yang ada. Mengembangkan strategi ST (kuadran II) yaitu dengan kekuatan yang dimiliki
- organisasi, dapat dirumuskan strategi untuk mengurangi dampak dari pengaruh eksternal yang mempengaruhi kinerja organisasi. Mengembangkan Strategi WO (kuadran III) yaitu memperbaiki kelemahan -
- kelemahan organisasi yang ada dengan memanfaatkan peluang yang ada. Mengembangkan strategi WT (kuadran IV) untuk strategi ini maka diperlukan
- upaya yang sangat besar karena selain memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada, juga harus melakukan upaya-upaya untuk meminimalisir ancaman - ancaman yang berpotensi untuk melemahkan kinerja dari organisasi.
d. Revitalisasi jaringan pipa air bersih e. Pembangunan sarana tangkapan air yang baru f. Pengolahan air limbah secara terpadu.
e. Sering terjadinya kerusakan pada alat berat secara tiba
b. Mengoptimalkan komitmen Pemkotdan DPRD untuk membentuk tim terpadu dalam penanggulangan kebersihan dan pertamanan.
c. Melaksanakan ketentuan peraturan perundang
Threats (T) Strategi (S/T) Strategi (W/T) a. Adanya bahaya banjir/ dari DAS Drainase.
b. Masih adanya sebagian masyarakat yang belum mendukung program Kebersihan dan Pertamanan.
c. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk membayar retribusi kebersihan.
d. Laju inflasi dikaitkan dengan biaya operasional.
f. Masih adanya jalan lingkungan yang rusak
c. Mengoptimalkan komitmen pimpinan dalam melaksanakan perda yang berlaku.
g. Masih adanya permukiman kumuh
h. Belum adanya aturan tentang tata bangunan i. Masih ada masyrakat yang belum terlayani air bersih j. Jaringan perpipaan air bersih yang sudah tua k. Tangkapan air baku dari mata air berkurang l. Air tanah tercemar a. Mengoptimalkan SDM Aparatur yang memadai dan meningkatkan kerjasama antar personil.
b. Mengoptimalkan komitmen dari pimpinan dalam mengatasi bahay banjir/DAS Drainase. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membayar retribusi.
c. Mengoptimalkan tenaga yang profesional yang mengantisipasi alat
d. Memperbaiki sarana prasarana jalan lingkungan permukiman e. Penataan kawasan permukiman kumuh f. Penegakan peraturan tata bangunan gedung g. Pengadaan jaringan air bersih dengan perpipaan dan non perpipaan h. Pembangunan Sambungan Rumah (SR) air limbah a. Meningkatkan sarana dan prasarana guna menunjang operasional pengelolaan sampah dan penanggulangan bahaya banjir.
b. Meningkatkan disiplin kerja pegawai dalam rangka pelaksanaan tupoksi.
c. Meningkatkan pelaksanaan sosialisasi sampah dan penyuluhan kebersihan serta keindahan Kota Bengkulu.
a. Memanfaatkan dana yang ada dengan bekerjasama dengan pihak swasta.
b. Melaksanakan pembinaan dan penyuluhan secara rutin dan
berkesinambungan.
c. Dana yang tersedia belum mencukupi.
d. Adanya program asuransi tenaga kerja.
Tabel 10.3 Matriks analisis SWOT KelembagaanAnalisis SWOT strategi Strength (Kekuatan) (S) Weakness (Kelemahan) (W)
Internal Eksternal a. Kuantitas SDM Aparatur dan Tenaga
harian yang memadai
b. Formasi Jabatan struktural sudah terisi.c. Komitmen dari pimpinan dalam mengarahkan dan membimbing pelaksanaan teknis operasional.
a. Adanya peraturan perundang
Opportunities (O) Strategi (S/O) Strategi (W/O)
d. Pengolahan sampah, air limbah dan limbah tinja masih secara tradisional.
a. Mengoptimalkan SDM Aparatur yang memadai.
b. Belum cukupnya sarana dan prasarana guna menunjang operasional.
a. Rendahnya disiplin sebagai SDM.
e. Adanya kerjasama yang baik antar personil.
- – undangan tentang pengelolaan sampah.
b. Adanya komitmen Pemkot Bengkulu dan DPRD dalam hal Kebersihan dan Keindahan.
c. Tersedianya lahan untuk pengelolaan sampah.
d. Adanya partisipasi dari masyarakat.
e. Adanya keinginan pihak swasta untuk bekerjasama dalam hal pengelolaan sampah.
- – undangan dalam rangka penegakan disiplin para pegawai dan tenaga harian.
- – tiba (Buldozer dan Jonder)
- –
alat berat yang rusak
.
10.4 Rencana Pengembangan Kelembagaan
10.4.1 Rencana Pengembangan Keorganisasian
Rencana pengembangan keorganisasian dilakukan dengan mengacu pada analisis dan evaluasi tugas dan fungsi satuan organisasi termasuk perumusan dan pengembangan jabatan struktural dan fungsional di lingkungan Pemda. Serta menyusun analisis jabatan dan beban kerja dalam rangka mendayagunakan dan meningkatkan kapasitas kelembagaan satuan organisasi dimasing-masing unit kerja dilingkungan pemerintah daerah, khususnya Bidang Cipta Karya.
10.4.2 Rencana Pengembangan Tatalaksana
Untuk merumuskan rencana pengembangan tatalaksana, diperlukan evaluasi tatalaksana, pengembangan standar operasi dan prosedur, serta pembagian kerja dan program yang jelas antar unit dilingkungan Bidang Cipta Karya. Kemitraan pada hakikatnya merupakan wujud ideal peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Kemitraan didasari atas hubungan antar pelaku yang bertumpu pada hubungan/relasi yang saling menunjang dan saling menguntungkan, serta saling menghidupi berdasarkan asas kesetaraan dan kebersamaan. Setiap pelaku usaha memiliki potensi, kemampuan dan keistimewaan sendiri, walaupun berbeda ukuran, jenis, sifat, dan tempat usahanya. Setiap pelaku usaha juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dengan kelebihan dan kekurangan itu timbul kebutuhan kerjasama dan kemitraan. Dengan demikian, kelebihan-kelebihan akan dilipatgandakan dengan memaksimalkan manfaat yang mungkin diperoleh. Sedangkan kekurangan-kekurangan dapat diusahakan untuk dikurangi, atau bahkan dihilangkan sama sekali, dengan kerjasama yang saling menutupinya. Kemitraan dalam pembangunan pada dasarnya mengandung hakekat keadilan dalam perolehan keuntungan dan manfaat, pembebanan biaya dan penanggungan risiko yang timbul dalam kegiatan usaha tersebut. Dengan demikian, kemitraan yang dikembangkan adalah kemitraan yang setara antara para pelaku sesuai dengan kemampuan kontribusinya. Kemitraan yang setara memerlukan pula pemahaman yang kuat terhadap hak dan tanggung jawab serta peranan dari masing-masing pelaku. Menjadi tantangan kita bersama untuk mengembangkan semangat dan suasana yang mendorong tumbuhnya kemitraan dan mengembangkan pola-pola yang praktis dan menarik,serta menjamin keuntungan bagi semua pihak.
Dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat tentu harus memiliki tanggung jawab karena, kemitraan harus dapat diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab. Meskipun semua pihak memiliki tanggung jawab, pemerintah tetap harus mengambil prakarsa, paling tidak untuk menciptakan iklim yang merangsang bagi usaha kemitraan, antara lain dengan: a) Mengembangkan kebijaksanaan dan strategi pembangunan yang jelas, yang tercermin baik pada tujuan, arahan maupun indikator-indikator kebijaksanaan (policy
indicators).
b) Menetapkan prioritas pembangunan yang realistis dan diikuti oleh semua pihak, baik pemerintah maupun dunia usaha dan masyarakat. Untuk itu perlu kesepakatan di antara berbagai pelaku pembangunan ini, dan karena itu perlu ada dialog-dialog.
c) Memantapkan mekanisme komunikasi yang lancar dan transparan. Transparansi erat kaitannya dengan tingkat partisipasi dan oleh karena itu, sejak pada tahap awal mekanisme kemitraan yang transparan harus dikembangkan dan dimantapkan.
d) Mengembangkan pilihan-pilihan atas pola-pola kemitraan yang dapat mencakup kepentingan-kepentingan yang ada di berbagai lapisan dan golongan masyarakat, sehingga masyarakat dapat berperanserta seluas-luasnya dalam kemitraan pembangunan.
e) Menyiapkan rencana pengembangan kemitraan yang mencakup rencana investasi pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan nasional.
f) Menyiapkan kerangka peraturan dan arahan serta pedoman yang dapat menjadi acuan terutama bagi swasta dan masyarakat dan juga menjamin kepastian usaha.
Pengembangan kemitraan dalam pembangunan dapat mencakup dua pola dasar, yaitu: Pertama, dalam bentuk peran serta swasta dan masyarakat dalam pembangunan yang sifatnya memberikan lebih banyak peluang untuk berpartisipasi pada kegiatan yang semula merupakan tugas pemerintah, atau dengan kata lain, pemerintah memberi ijin pemanfaatan aset milik pemerintah (konsesi) kepada pihak swasta dan masyarakat untuk digunakan dalam jangka waktu tertentu guna melakukan tugas-tugas pelayanan umum. Kedua, kerjasama kemitraan antara masyarakat, swasta dan pemerintah melalui pengembangan formula pembagian modal kerja yang menjadi tanggung jawab masing-masing pihak. Dalam rangka ini dikembangkan pola-pola kerjasama kemitraan yang mencakup pembagian keuntungan dan sekaligus juga risikonya.
Untuk mewujudkan kemitraan dalam bentuk-bentuk tersebut, perlu kesepakatan dalam persepsi kemitraan antara swasta maupun pemerintah. Swasta tidak hanya mempertimbangkan aspek keuntungan ekonomi jangka pendek saja, apalagi yang bersikap spekulatif, tetapi sudah harus memperhatikan kesinambungan pembangunan, atau lebih mengkonseptualisasikan pemikiran investasi yang berwawasan jangka panjang. Baru-baru ini, Bappenas bersama Bank Dunia telah menyelenggarakan konferensi internasional tingkat tinggi mengenai infrastruktur, yang tujuannya adalah mencari jalan yang tepat untuk mendorong kemitraan dan partisipasi swasta dalam pembangunan prasarana. Dari hasil konperensi tersebut telah disimpulkan bahwa yang terpenting bukanlah dana, tetapi justru perlunya kebijakan dan kerangka yang jelas untuk membangun kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Adanya kerangka itu dapat mengurangi ketidakpastian yang sampai sekarang ini dirasakan, khususnya di kalangan swasta, misalnya kerangka tentang kelembagaan, kontrak, dan produksi termasuk jasa. Secara potensial ada peluang-peluang yang terbuka lebar untuk menumbuhkembangkan kemitraan yang saling menguntungkan dalam pembangunan nasional, khususnya dalam pembangunan perkotaan. Potensi dan peluang yang besar ini terutama disebabkan oleh makin meningkatnya kemampuan masyarakat di perkotaan untuk memperoleh pelayanan perkotaan yang makin berkualitas dengan sistem penyediaan yang lebih baik. Kemampuan masyarakat saat ini sangat berkembang, terutama untuk membayar pelayanan yang lebih baik tersebut memberi landasan keekonomian yang kuat bagi pengembangan kemitraan dalam penyediaan pelayanan prasarana dan sarana yang tersedia.
Di kabupaten/kota, kegiatan yang digerakkan oleh swasta dan masyarakat mencapai sekitar 60-70 persen. Saat ini pihak swasta telah melaksanakan kegiatan pembangunan dalam berbagai sektor, dalam skala mikro maupun makro serta secara mandiri maupun bermitra dengan pemerintah. Peran swasta itu dapat diperkirakan akan terus meningkat. Selama ini kemitraan telah berkembang dalam prasarana ekonomi yang kelayakannya tinggi, seperti jalan tol, listrik, telepon. Namun, khusus di kota-kota besar, peluang kemitraan dalam penyediaan air bersih, prasarana dan sarana penyehatan lingkungan, persampahan, jalan kota, rumah sakit, sekolah-sekolah unggulan, dan prasarana serta sarana sosial lainnya terbuka cukup lebar.
Berdasarkan cara pandang kabupaten/kota sebagai pusat pelayanan ekonomi wilayah/ kawasan, maka hendaknya kab./kota tidak hanya dilihat sebagai unit yang berdiri sendiri secara individual, tetapi dipandang sebagai satu kesatuan dalam suatu sistem. Berkaitan dengan peningkatan peran swasta dalam berbagai bentuk pembangunan skala besar seperti pembangunan perumahan, kota baru, kota satelit dan lain-lain, maka kegiatannya perlu dilaksanakan dalam suatu kerangka sistem perkotaan yang lebih luas, di samping pembangunan sistem internal kotanya sendiri. Dengan demikian, dapat terwujud keterpaduan dan sinkronisasi system prasarana kota dan antara kota yang berdampingan atau berdekatan, baik yang dibangun pemerintah maupun yang dibangun oleh swasta. Selain itu juga dapat saling mendukung dengan sistem dalam kota intinya dan juga mendukung keterkaitan dengan kota-kota lainnya.
Dengan kata lain, sinkronisasi pembangunan regional merupakan tantangan yang harus diatasi dengan meningkatnya berbagai bentuk pembangunan skala besar oleh pihak swasta.
Dalam banyak hal, memang kegiatan swasta sudah tidak lagi berskala mikro, tetapi sudah sampai pada skala makro yang berdampak makro pula, seperti pengembangan permukiman skala besar atau kota baru, penyediaan sistem telekomunikasi melalui satelit, pembangunan pusat-pusat tenaga listrik, dan sebagainya. Mengingat makin besarnya bentuk dan nilai partisipasi swasta dalam pembangunan daerah yang berskala besar seperti itu, maka sinkronisasi investasi pembangunan menjadi imperatif agar terjadi sinergi yang optimal antara berbagai pelaku pembangunan. Kegiatan yang saling tumpang tindih harus dapat dihilangkan. Di sisi lain, adanya sinkronisasi dapat mengisi ‘gap’ atau kekosongan dari suatu kegiatan pembangunan. Kemitraan adalah pola yang sesuai dengan prinsip-prinsip partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya yang ingin didorong dalam pembangunan. Kemitraan juga dapat memberi solusi atas efisiensi dan pemerataan kesempatan, karena efisiensi tidak mengharuskan pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok tertentu. Kemitraan haruslah didorong tidak saja antara pemerintah dengan usaha besar, tetapi juga dengan usaha kecil dan koperasi, serta antara usaha swasta besar, menengah dan kecil. Dengan demikian kemitraan adalah usaha yang tepat dan tidak bertentangan dengan prisip-prinsip ekonomi yang mendasar, dalam membangun ekonomi yang berdasarkan demokrasi.
Berdasarkan kajian kelembagaan, bahwa dalam lingkup instansi keciptakaryaan masih ditemukan beberapa persoalan, diantaranya : lemahnya koordinasi, kelembagaan, dan ketatalaksanaan. Perubahan paradigma pembangunan yang sejalan dengan semangat reformasi, mengindikasikan bahwa dalam struktur organsasi dan ketatalaksanaan kelembagaan memerlukan beberapa langkah penyesuaian terkait dengan sistem pemerintahan, peran masyarakat dan swasta dalam pengelolaan infrastruktur keciptakaryaan. Penguatan peran masyarakat, pemerintah daerah, dan swasta diperlukan dalam rangka memperluas dan memperkokoh basis sumber daya. Pada aspek institusi, lemahnya koordinasi antar instansi dan antar daerah otonom, dapat menimbulkan pola pengelolaan keciptakaryaan yang kurang efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain, kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terjaminnya keberlanjutan pola pengelolaan keciptakaryaan, masih belum mencapai tingkat yang diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan. Sasaran pembangunan dan pengelolaan bidang keciptakaryaan pada tahun 2018 berorientasi pada tersedianya pelayanan kepada publik bidang keciptakaryaan sesuai dengan standar pelayanan minimal. Selanjutnya dengan terpenuhinya pelayanan minimal kepada publik akan mendorong peningkatan produktivitas sektor-sektor ekonomi yang menggunakan infrastruktur keciptakaryaan sebagai salah satu sarana pendukung faktor produksinya. Sasaran kedua adalah meningkatnya partisipasi swasta yang antara lain dalam bentuk investasi dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur di kabupaten/kota.
10.4.3 Rencana Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Untuk merumuskan rencana pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dengan mengacu pada analisis SWOT, antara lain diperlukan perlukan perencanaan kariel setiap pegawai sesuai dengan kompetensi individu dan kebutuhan organisasi. Guna meningkatkan pelayanan kepegawaian maka perencanaan pegawai hendaknya mengacu pada analisis jabatan yang terintegrasi sesuai dengan kebutuhan organisasi. Selain itu rencana pengembangan SDM dapat dilakukan dengan peningkatan jenjang pendidikan serta mendukung pembinaan kapasitas pegawai melalui pelatihan, sesuai dengan lingkup kegiatan atarterdapat beberapa pelatihan yang yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU yang dapat menjadi referinsi dipaparkan pada Tabel 10.6.
Tabel 10.6 Pelatihan Bidang Cipta KaryaNo Jenis Pelatihan
Bimbingan Teknis Pengelolaan Bangunan Gedung dan Rumah Negara serta sertifikasi
1 Pengelola Teknis
2 Bimbingan teknis penyelenggaraan bangunan gedung negara
3 Bimbingan teknis pengelolaan rumah negara golongan III 4 Training of trainers (TOT) bidang penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan.
Training of Trainer (TOT) Sosialisasi Peraturan Perundang- undangan Bangunan Gedung dan
5 Lingkungan Peningkatan Kapasitas SDM Dit. PBL, bekerjasama dengan Pusat Pembinaan Kompetisi dan
6 Pelatihan Konstruksi
7 Pembinaan Tekhnis Peningkatan Kemampuan dalam Bidang Keprotokolan
8 Pembinaan Teknis Peningkatan Kemampuan Pemeliharaan dalam Bidang Tata Persurata
Pembinaan Teknis Peningkatan Kemampuan Pemeliharaan dan Pengamanan Infrastruktur
9 Publik Bidang Keciptakaryaan
10 Pembina Teknis Peningkatan Kemampuan Aparat Negara dalam Tanggap Darurat Bencana
11 Pembina Teknis Percepatan Proses Hibah/Alih Status Barang Milik Negara
12 Pembina Teknis Penerapan Aplikasi SIMAK,BMN
13 Pembinaan Teknis Pengembangan Kompetisi Pegawai
14 Pembinaan Teknis Penetapan Kopetisi Pegawai
15 Diklat Pejabat Inti Salker (PNS)
16 Diklat Jabatan Fungsional
Berkenaan dengan Sumberdaya Manusia yang ada di Bidang Cipta Karya saat ini, personil yang ada dianggap belum mumpuni untuk melaksanakan tugas dengan baik. Saat ini personil yang ada di Bidang Cipta Karya hanya 6 orang, 2 diantaranya adalah tenaga honorer. Kondisi personil seperti ini diperburuk lagi oleh seringnya mutasi jabatan.
Berdasarkan struktur organisasi Bidang Cipta Karya sebagaimana yang disajikan terdahulu, Bidang Cipta Karya terdiri dari 3 seksi, yaitu: Seksi Pengembangan Permukiman Seksi Penyehatan Lingkungan Permukiman Tata Bangunan dan Lingkungan
Dari data personil yang ada, memperlihatkan bahwa SDM di Bidang Cimpta Karya belum cukup mumpuni untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah menjadi tufoksinya.