Hubungan Ekspresi Matriks Metalloproteinase-9 (MMP-9) Dengan Derajat Destruksi Tulang Pada Penderita OMSK Tipe Bahaya di RSUP Haji Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret
dari telinga (otorea), baik terus menerus atau hilang timbul lebih dari 2
bulan. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah
(Helmi, 2005). WHO (2004) menentukan batasan waktu 2 minggu,
sedangkan beberapa penulis lain seperti Chole & Nason (2009) serta Deb
& Ray (2012) memberikan batasan waktu lebih dari 3 bulan.
Insidens OMSK tinggi di negara berkembang, karena lingkungan yang
padat, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, higiene yang buruk, dan
infeksi saluran pernafasan atas yang rekuren, nutrisi yang kurang dan
polusi (WHO, 2004; Chole & Nason 2009). Prevalensi OMSK di seluruh
dunia menunjukkan, beban dunia akibat penyakit ini berkisar antara 65330 juta penderita, 60% (39-200 juta) diantaranya mengalami gangguan
pendengaran yang signifikan (WHO, 2004). Prevalensi OMSK di indonesia
adalah 2,1% -5,2% (Edward, 2013; Ghanie A, 2013).
2.1.1. Etiologi OMSK
Faktor risiko pada otitis media adalah disfungsi tuba eustachius
(misalnya rinosinusitis, hipertrofi adenoid, atau karsinoma nasofaring),

imunodefisiensi (primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali
midfasial kongenital (cleft palate atau Down syndrome), dan refluks
gastroesofageal. Faktor risiko yang menonjol pada OMSK adalah infeksi
otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis media
kronis dengan perawatan yang tidak baik (WHO, 2004; Chole & Nason,
2009).
Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk dari liang telinga
luar melalui perforasi membran timpani ataupun melalui nasofaring.

5
Universitas Sumatera Utara

6

Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang terbanyak dijumpai
pada otitis media akut. Pada isolasi dari otitis media kronis, kuman aerobik
dan anaerobik juga terlibat pada sebagian kasus. Kuman aerob yang
sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus
(Akyıldız et al, 2013), basil gram negatif seperti Escherichia coli, Proteus
species, dan Klebsiella species. Kuman anaerob yang paling sering

dijumpai adalah Bacteroides spp. dan Fusobacterium spp. (WHO, 2004;
Chole & Sudhoff, 2005; Wright & Valentine, 2008; Chole & Nason, 2009).
Jamur dapat pula dijumpai pada otitis media kronis khususnya Aspergillus
spp. dan Candida spp. (Chole & Nason 2009).
2.1.2. Klasifikasi OMSK
Secara umum, OMSK dapat dibagi menjadi 2 kelompok (Aboet, 2008;
Djaafar et al, 2007; Ghanie, 2013; Dhingra, 2014) :
1. OMSK tipe jinak, tipe benigna, tubo timpanal ditandai dengan
perforasi membran timpani dibagian sentral.
2. OMSK tipe bahaya, tipe tulang, atau atikoantral dimana perforasi
membran timpani terletak dibagian marginal terutama dibagian
posterosuperior. Biasanya OMSK tipe ini disertai pertumbuhan
kolesteatoma dan mengakibatkan komplikasi yang serius.
2.1.3. Patogenesis
OMSK ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang yang
terjadi pada telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba Eustachius
memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media kronis.
Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba Eustachius membuka
selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan
sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring

masuk ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga
tengah dengan lingkungan luar (Chole & Nason, 2009).
Ada dua mekanisme perforasi kronis yang dapat menyebabkan
infeksi telinga tengah yang berlanjut atau berulang: (1) Bakteri dapat
mengkontaminasi telinga tengah secara langsung dari telinga luar karena
efek proteksi barier fisikal membran timpani telah hilang. (2) Membran

Universitas Sumatera Utara

7

timpani yang utuh secara normal menghasilkan bantalan gas, yang
menolong untuk mencegah refluks sekresi nasofaring ke dalam telinga
tengah melalui tuba Eustachius. Hilangnya mekanisme protektif ini
menyebabkan terpaparnya telinga tengah terhadap bakteri patogen dari
nasofaring (Yates & Anari, 2008).
Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek
membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini
diikuti oleh pelepasan mediator inflamasi ke dalam ruang telinga tengah.
Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase inflamasi

akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mediator selular
mononuklear (makrofag, sel plasma dan limfosit), edema persisten dan
jaringan granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga
tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar
pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret mukoid. Jaringan
granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-kadang membentuk adhesi
terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini akan mengganggu
aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara osikel dan
mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis
menyebabkan perubahan yang ireversibel di dalam tulang dan mukosa
(Chole & Nason 2009).
2.1.4 Diagnosis
Diagnosa dari OMSK dapat ditegakkan melalui anamnesa yang tepat,
pemeriksaan otoskopi, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan audiologi
serta pemeriksaan mikrobiologi. Gejala klinis meliputi tuli, otorhea, otalgia,
obstruksi hidung, tinitus dan vertigo. Tuli dan otorea merupakan gejala
yang paling umum terjadi (Chole & Nason, 2009).
OMSK ditandai oleh otorhea yang banyak dan intermiten, bila disertai
dengan kolesteatoma maka menimbulkan bau busuk. Nyeri dapat terjadi
sebagai tanda komplikasi intrakranial dari kolesteatoma. Gejala lainnya

adalah adanya vertigo, paralisis nervus fasialis atau gejala neurologis
akibat penyebaran intrakranial. Jaringan granulasi sering dijumpai pada

Universitas Sumatera Utara

8

otitis media kronis disebabkan oleh reaksi inflamasi (Yates & Anari, 2008;
Chole & Nason, 2009).
Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk melihat perluasan penyakit
dan untuk mengidentifikasi ada tidaknya kolesteatoma. Foto polos
proyeksi Schuller perlu untuk melihat perkembangan pneumatisasi sel
mastoid dan perluasan penyakit (Helmi, 2005), sedangkan pemeriksaan
CT-Scan lebih efektif untuk menunjukkan anatomi tulang temporal dan
kolesteatoma. Computed Tomography (CT) dianggap merupakan ”gold
standard” untuk mendiagnosis kolesteatoma, namun spesifitasnya kurang
untuk membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi atau edema.
Pada CT-Scan, kolesteatoma terlihat sebagai lesi yang halus dan
berbatas tajam, umumnya CT-Scan dilakukan tanpa kontras (Wright &
Valentine, 2008; Chole & Nason, 2009).

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) pada kolesteatoma
sangat berguna bila disangkakan terjadi komplikasi intrakranial karena
keunggulannya dalam visualisasi densitas jaringan lunak. MRI juga efektif
untuk mendiagnosis penyakit yang menyebar ke apeks petrosa.
Sementara itu pemeriksaan sekret telinga penting untuk menentukan jenis
kuman dan menentukan pemilihan antibiotik yang tepat (Wright &
Valentine, 2008; Chole & Nason, 2009).
2.2. OMSK Tipe Bahaya
Kasus kolesteatoma telinga tengah ditemukan pertama kalinya pada
tahun 1683 oleh Du Verney (Maru et al, 2006). Kata “kolesteatoma”
pertama kali perkenalkan oleh Johannes Mueller pada tahun 1838 (Maru
et al, 2006; Zarandy & Rutka, 2010).
Kolesteatoma didefinisikan sebagai kista epitelial yang dilapisi oleh
epitel skuamosa bertingkat yang berisi deskuamasi epitel keratin (Meyer et
al, 2014). Dibandingkan dengan tumor, sifat epitel kolesteatoma lebih
menyerupai proses penyembuhan luka. Akumulasi sel-sel debris dan
keratinosit dari kolesteatoma melibatkan sistem imun seperti sel
Langerhans, sel T dan makrofag (Frickmann & Zautner, 2012).

Universitas Sumatera Utara


9

Secara histologi, epitel kolesteatoma memiliki lapisan yang sama
dengan epitel epidermis kulit normal, yang terdiri dari empat lapisan epitel
(stratum germitativum, stratum spinosum, stratum granulosum dan stratum
corneum). Epitel kolesteatoma dikenal sebaga matriks kolesteatoma, yang
tersusun atas epitel keratinizing stratified squamous dan lapisan
perimatriks yang mengandung jaringan sub epitel penghubung longgar
serta serat kolagen, fibroblas dan sel inflamasi (Alves & Ribeiro, 2004).
Sprekelsen et al (2001) sebagaimana dikutip oleh Maru & Pop (2006)
menyatakan bahwa matriks dan perimatriks dibentuk oleh kolagen tipe IV,
tenascin, fibronectin, b-FGF dan metalloproteinase.
2.2.1. Kekerapan
Angka pasti dari prevalensi tidak diketahui, angka kolesteatoma
didapat berkisar 10% dari penderita OMSK. Secara umum, angka kejadian
kolesteatoma tergolong rendah, Chole & Nason (2009) menyebutkan
insiden kolesteatoma berkisar antara 3-12 kasus per 100.000 populasi.
Chole & Sudhoff (2005) menemukan insiden tahunan pada anak-anak
sebesar 3 per 100.000 sedangkan pada dewasa 12,6 per 100.000. Jenis

kelamin lebih didominanasi laki- laki dibanding perempuan. Baig et al
(2011) menemukan sebanyak 10,6% kasus OMSK merupakan tipe
bahaya dan sebanyak 30% memiliki komplikasi ke ekstrakranial dan 4%
memiliki komplikasi ke intrakranial. Rout et al (2014) menemukan
sebanyak 210 penderita OMSK dengan perforasi sentral ternyata 7
diantaranya memiliki kolesteatoma. Gailardin et al (2012) menemukan
sebanyak 113 penderita OMSK dengan kolesteatoma ternyata 53 pasien
memiliki kolesteatoma yang berada didaerah medial atik, 7 pasien
didaerah lateral atik, 43 pasien berada didaerah retrotimpanum dan 10
pasien didaerah cavum timpani epidermois (Chole & Sudhoff, 2005; Chole
& Nason, 2009; Baig et al 2011; Rout et al., 2014).
Di Indonesia tepatnya di RSUD Soetomo Surabaya, penelitian yang
dilakukan oleh Wisnusubroto (2003) menemukan bahwa sebanyak 298
(56,1%) penderita OMSK dengan kolesteatoma telah dilakukan operasi
mastoidektomi radikal. Masih di tahun yang sama, penelitian yang

Universitas Sumatera Utara

10


dilakukan oleh Suryanti menemukan 331 penderita OMSK yang berobat di
RSUD Soetomo Surabaya periode Januari - Desember 2002.
Di RSUP H. Adam Malik Medan, Nora (2011) menemukan penderita
OMSK dengan kolesteatoma yang berkunjung di departemen THT-KL
RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2009 – 31 Desember 2009
adalah sebanyak 47 penderita. Siregar (2013) menemukan sebanyak 119
pasien OMSK dengan kolesteatoma Departemen THT-KL RSUP. H. Adam
Malik Medan periode 1 Januari 2006 - 31 Desember 2010.
2.2.2. Etiologi
Etiologi kolesteatoma masih belum diketahui secara pasti dan masih
menjadi perdebatan (Dhingra, 2014).
Secara umum kolesteatoma dapat dibagi menjadi :
1. Kolesteatoma Kongenital
Kolesteatoma kongenital pertama kali ditemukan oleh Darlacki dan Clemis
sebagai suatu sisa dari jaringan epitel embrionik didalam telinga tanpa
perforasi membran timpani dan tanpa riwayat infeksi telinga tengah
sebelumnya (Chole & Nason 2009; Dhingra, 2014; Meyer et al, 2014).
Patogenesis kolesteatoma kongenital masih belum diketahui secara
pasti dan masih menjadi perdebatan. Ada beberapa teori patogenesis
kolesteatoma kongenital :

a. Teori Migrasi
Aimi (1983) mengemukakan bahwa anulus timpanikus mempunyai
peranan yang penting dalam mengatur proliferasi dan migrasi dari kulit
liang telinga selama masa perkembangan janin. Hilangnya barrier
yaitu jaringan ikat dari anulus timpanikus menyebabkan lapisan
ektodermal bermigrasi dari liang telinga ke telinga tengah dan
membentuk kolesteatoma (Persaud et al, 2007; Fukuda et al, 2011).
b. Teori Kontaminasi Cairan Amnion
Northrop et al (1986) menyatakan bahwa kolesteatoma kongenital
berkembang dari inokulasi telinga tengah dengan sel-sel epidermal
yang

ada

di

cairan

amnion,


yang

memasuki

anterosuperior

Universitas Sumatera Utara

11

mesotimpanum melalui tuba Eustachius (Persaud et al, 2007; Maniu
et al, 2014).

Gambar 2.1. Tulang temporal bayi baru lahir, menunjukkan cavum
timpani terisi oleh cairan amnion (Maniu et al, 2014)
c. Teori Inklusi
Tos (2000) menyatakan bahwa pada kondisi inflamasi yang berulang,
terdapat peningkatan risiko terjadinya retraksi, perlekatan dan
pelepasan membran timpani dari tulang-tulang pendengaran. Pada
proses pelepasan membran timpani, beberapa sel dari membran
timpani menjadi terperangkap pada kavum timpani dan membentuk
kolesteatoma (Persaud et al, 2007).
d. Teori Pembentukan Epidermoid
Teed (1936) menyatakan penebalan lapisan ektodermal epitel
berkembang di dekat ganglion genikulatum, di arah medial dari leher
maleus. Massa epitel ini segera mengalami involusi menjadi lapisan
telinga tengah yang matur. Jika gagal mengalami involusi, epitel ini
menjadi sumber dari kolesteatoma kongenital (Persaud et al, 2007;
Maniu et al, 2014).
2. Kolesteatoma di dapat / Acquired Cholestatoma
Kolesteatoma telinga tengah yang didapat bisa terbentuk dari dua
mekanisme; retraction pocket dan kolesteatoma sekunder. Kolesteatoma
yang terbentuk dari retraction pocket dikenal dengan primary acquired
cholesteatoma.
Beberapa teori telah mengemukakan patofisiologi dari kolesteatoma
primer atau attic retraction kolesteatoma ini, termasuk teori invaginasi dari
pars flaksida, basal sel hiperplasia, otitis media efusi, dan perforasi pars
flaksida disertai dengan pertumbuhan epitel (Meyer et al, 2014).

Universitas Sumatera Utara

12

a. Kolesteatoma Didapat Primer
1. Teori Invaginasi
Teori ini didukung oleh penelitian dari Aschof pada tahun 1897 dan
Wittmack pada tahun 1933. menyatakan invaginasi membran timpani
dari atik atau pars tensa regio posterosuperior membentuk retraction
pocket. Kemudian pada tempat ini terbentuk matriks dari kolesteatoma
berupa sel-sel epitel yang tertumpuk pada tempat tersebut (Meyer,
2006; Fukuda et al, 2011; Dhingra, 2014)

Gambar 2.2. Teori invaginasi (Dhingra, 2014)
2. Teori Hiperplasia Sel Basal (Teori Ruedi)
Terdapat hiperplasia pada lapisan sel basal pars flaksida yang dipicu
oleh infeksi telinga tengah pada masa anak-anak. Perluasan
kolesteatoma kemudian menembus pars flaksida yang membentuk
perforasi attik (Karnik, 2011; Dhingra, 2014; Meyer et al, 2014).

Gambar 2.3. Teori Hiperplasia sel basal (Dhingra, 2014)
3. Teori Otitis Media Efusi
Bluestone dan Klein (1990) menyatakan bahwa pada anak dengan
retraksi di regio atik, tuba eustachius lebih sering berkontraksi
daripada dilatasi ketika menelan. Tekanan negatif di kavum timpani
yang disebabkan oleh disfungsi tuba eustachius dapat menyebabkan
retraksi dari pars flasida dan menyebabkan penumpukan debris
(Meyer, 2006; Dhingra, 2014).

Universitas Sumatera Utara

13

4. Teori Invasi Epitel
Epitel skuamosa pada kulit liang telinga luar dan membran timpani
bagian luar bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi membran
timpani (Meyer, 2006; Dhingra, 2014).

Gambar 2.4. Teori invasi epitel (Dhingra, 2014).
b. Kolesteatoma Didapat Sekunder
1. Migrasi Epitel Skuamosa
Epitel skuamosa berkeratinisasi pada liang telinga luar bermigrasi ke
telinga tengah melalui perforasi membran timpani. Sehingga terjadi
penumpukan debris-debris sel epitel yang akan menjadi kolesteatoma
(Meyer, 2006; Dhingra, 2014).
2. Teori Metaplasia Skuamosa
Epitel dari bagian attic mengalami metaplasia keratinizing skuamosa
diakibatkan oleh infeksi. Infeksi kronik diketahui menjadi penyebab
dari terjadinya metaplasia. Metaplasia juga ditunjukkan pada kasus
otitis media efusi (Meyer, 2006; Fukuda et al, 2011; Dhingra, 2014).
3. Implantasi
Kolesteatoma terjadi akibatimplantasi iatrogenik dari kulit ke telinga
tengah atau membran timpani akibat operasi, benda asing atau
trauma ledakan (Meyer, 2006; Dhingra, 2014).
2.2.3. Patogenesis Kolesteatoma
Meskipun epitel keratinizing stratified squamous telah diketahui
sebagai substrat patologis pada kolesteatoma, pemahaman tentang
patogenesis kolesteatoma masih sangat terbatas. Berbagai macam model
binatang percobaan telah dipakai sejauh ini sebagai dasar untuk
mengetahui proses dasar dari patogenesis penyakit ini (Frickmann &
Zautner, 2012).

Universitas Sumatera Utara

14

Studi dan penelitian yang dipubilkasikan akhir – akhir ini menunjukkan
banyak data tentang biologi kolesteatoma. Namun masih banyak
pertanyaan yang belum terjawab. Meskipun kolesteatoma merupakan
proses hiperproliferatif, namun tidak menunjukkan sifat seperti neoplasia
dimana tidak dijumpai metastase dan perubahan genetik (Maniu et al,
2014).
Albino et al (2006) sebagaimana yang dikutip oleh Morales et al
(2007) menyimpulkan bahwa: (1) Terbentuknya kolesteatoma tidak
berhubungan dengan faktor genetik, yang menjadikannya berbeda
dengan keganasan. (2) Induksi terhadap hiperproliferasi sel pada basal
epidermis dari kolesteatoma mengimplikasikan suatu respon idiopatik
yang potensial, yang berasal rangsangan baik dari dalam maupun luar,
melalui produksi sitokin oleh sel-sel pro inflamasi. (3) Bakteri dapat
memicu proses terbentuknya kolesteatoma. (4) Sejauh ini, tidak dijumpai
perbedaan komposisi molekular maupun selular pada jenis kolesteatoma
yang berbeda, baik pada kolesteatoma kongenital, primer, sekunder
maupun kolesteatoma rekuren.
Beberapa peneliti telah mempelajari kolesteatoma untuk menemukan
etiopatogenesis penyakit yang tetap masih kontroversial ini. Banyak studi
yang menggunakan metode imunohistokimia untuk menganalisis sitokin
dan perannya dalam etiopatogenesis dari kolesteatoma (Alves & Ribeiro,
2004). Alves et al (2012) meneliti tentang ekspresi EGFR pada 50 pasien
dengan kolestatoma dan menemukan peningkatan ekspresi EGFR pada
44 pasien dengan kolesteatoma. Shudoff dkk (2010) menemukan
peningkatan ekspresi VEGF pada kolesteatoma dibandingkan dengan
kulit liang telinga normal.
Inflamasi merupakan suatu bentuk respon imun tubuh terhadap luka
ataupun iritasi. Hal yang sangat berperan terhadap proses ini adalah
mediator inflamasi seperti protein, peptida, glikoprotein, sitokin, asam
arakidonat, dan nitrit oksida (Jung et al, 2002). Sitokin merupakan suatu
protein yang diproduksi oleh berbagai sel sebagai respon terhadap proses
inflamasi dimana sel inflamasi yang terbanyak dijumpai adalah limfosit dan

Universitas Sumatera Utara

15

makrofag. Sitokin diproduksi oleh banyak sel pada tubuh kecuali eritrosit,
sebagai bentuk inisial respon imun yang dapat menstimulasi respon tubuh
terhadap inflamasi termasuk penyembuhan luka dan proses remodeling
jaringan (Alves & Ribeiro, 2004).
Inflamasi menyebabkan proliferasi sel dan berhubungan dengan
terjadinya peningkatan ekspresi dari enzim litik dan sitokin, termasuk
asam arakidonat, Intercellular Adhesion Molecule (ICAM), Receptor
Activator of Nuclear Factor Kappa-B Ligand (RANKL), Interleukin-1,-2,dan
-6 (IL-1, IL-2, IL-6), Matriks Metalloproteinase -2 dan -9 (MMP-2, MMP-9)
dan juga Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-α) (Juhn et al, 2008;
Frickmann & Zautner, 2012). Interleukin-1 (IL1) diproduksi terutama oleh
makrofag.

IL-1

menstimulasi

terjadinya

resorbsi

tulang

melalui

peningkatan sel prekusor osteoklas. Tumor necrosis factor-alpha (TNF-α)
yang juga dikenal sebagai cachectin, juga diproduksi oleh makrofag dan
dapat menginduksi produksi kolagenase dan prostaglandin serta bersifat
kemotaktik terhadap sel inflamasi. Epidermal growth factor (EGF),
merupakan polipeptida yang dapat memicu proliferasi sel,fibroblas dan
angiogenesis. Sitokin lain yang juga dapat dijumpai adalah Transforming
Growth Factor-Alpha (TGF-α) dan Transforming Growth Factor-Beta
(TGF-β) (Juhn et al, 2008).
2.2.4. Stadium OMSK Tipe Bahaya
Menurut Japan Otological Society (JOS) seperti yang dikutip oleh
Hashimoto-Ikehara et al. (2011), kolesteatoma memiliki stadium :
• Stadium I

: Kolesteatoma tidak meluas melebihi daerah atik

• Stadium II : Kolesteatoma meluas melebihi daerah atik
• Stadium III : Sejumlah kolesteatoma yang menyebabkan sedikitnya
satu komplikasi di bawah ini:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kelumpuhan saraf fasialis
Komplikasi intrakranial
Fistel labirin
Defek luas pada liang telinga luar
Ganguan pendengaran sensorineural berat
Adhesi total pada membran timpani

Universitas Sumatera Utara

16

Kuczkowski et al. (2011) membagi derajat destruksi tulang akibat
kolesteatoma menjadi :
a. Ringan

: erosi skutum dan osikel.

b. Sedang

: destruksi tegmen dan seluruh osikel.

c. Berat

: destruksi seluruh osikel, tulang labirin, kanalis fasialis
dan liang telinga luar.

Derajat invasi kolesteatoma dan jaringan granulasi dibagi atas:
1. Meliputi 1 area: epitimpanum atau mesotimpanum
2. Meliputi 2 area: epitimpanum atau mesotimpanum dan antrum
3. Meliputi 3 area: mesotimpanum, epitimpanum dan antrum.
2.2.5. Komplikasi Akibat Kolesteatoma
Secara garis besar, komplikasi dari kolesteatoma dibagi menjadi
komplikasi intratemporal dan intrakranial :
A. Infeksi intra temporal :
1. Konduktif dan sensorineural hearing loss
2. Paralisis nervus fasialis
3. Fistel labirin
4. Petrositis
5. Mastoiditis
B. Infeksi intra kranial :
1. Meningitis
2. Epidural abses
3. Abses otak
4. Empyema subdural
5. Trombosis sinus sigmoid
6. Hidrosefalus otitis
2.3. Penatalaksanaan OMSK Tipe Bahaya
2.3.1. Radical Mastoidectomy
Operasi ini ditujukan untuk eradikasi penyakit sebaik-baiknya. Pada
cara ini dilakukan pembersihan total sel-sel mastoid di sudut sino dura, di
daerah segitiga Trautmann, disekitar kanalis fasialis, di sekitar liang
telinga yaitu prosesus zigomatikus, juga di prosesus mastoideus sampai

Universitas Sumatera Utara

17

ke ujung mastoid, kemudian membuang inkus dan maleus, hanya stapes
atau sisa stapes yang dipertahankan, sehingga membentuk kavitas yang
merupakan gabungan rongga mastoid, kavum timpani dan liang telinga.
Mukosa kavum timpani juga dibuang seluruhnya, muara tuba eustachius
ditutup dengan tandur jaringan lunak. Kerugian cara ini adalah kesulitan
rekonstruksi membran timpani, sehingga terdapat kesulitan dalam usaha
memperbaiki pendengaran penderita namun dengan teknik ini dapat
dicapai suatu safe ear. Untuk kasus kolesteatoma yang lebih lanjut
dengan

perluasan

yang

hebat,

mastoidektomi

radikal

perlu

dipertimbangkan tanpa melihat kemungkinan mempertahankan fungsi
pendengaran (Chole & Nason, 2009).
2.3.2. Modified Radical Mastoidectomy
Modified Radical Mastoidectomy adalah operasi untuk eradikasi
penyakit sehingga epitimpani, antrum mastoid dan liang telinga menjadi
suatu rongga yang berhubungan langsung dengan dunia luar melalui
meatus akustikus eksternus. Tindakan ini seperti mastoidektomi radikal,
kecuali tetap mempertahankan osikel dan membran timpani yang ada
untuk mempertahankan fungsi transformasi suara. Teknik operasi ini
adalah dengan membersihkan seluruh rongga mastoid, merendahkan
dinding posterior liang telinga, dan diikuti dengan tindakan timpanoplasti.
Dengan operasi ini fungsi pendengaran dapat dipertahankan. Indikasi
operasi ini adalah adanya kolesteatoma di atik dan antrum dengan
mesotimpanum normal dan defek hanya pada pars flaksida (Chole &
Nason, 2009).
2.3.3. Atikotomi
Kolesteatoma yang terbatas hanya pada regio atik dapat di angkat
dengan prosedur atikotomi. Atikotomi dikenal juga sebagai epitimpanotomi
atau timpanotomi anterior adalah tindakan membuka atap kavum timpani
dengan tetap menjaga keutuhan dinding liang telinga dan daerah skutum
serta tulang-tulang pendengaran (Helmi, 2005; Chole & Nason, 2009).

Universitas Sumatera Utara

18

2.4. Matriks metalloproteinase (MMP)
Matriks metalloproteinase (MMP) pertama kali diidentifikasi pada
vertebra oleh Jerome Gross dan Charles M. Laepiere pada tahun 1962
yang meneliti degradasi kolagen tripel-helical selama metamorfose
kecebong (Krizkova et al, 2011).
Matrix metalloproteinase (MMP), yang juga dikenal dengan matrixin,
adalah keluarga dari Zn-dependent endopeptidase, yang pada pH normal,
bertanggung jawab terhadap proses degradasi berbagai jenis protein
seperti kolagen, elastin, gelatin, matriks glikoprotein dan proteoglikan
pada matriks intraseluler dan membran basal (Verma & Hansch, 2007).
MMP disekresikan oleh bermacam connective tissue dan sel pro inflamasi
termasuk sel fibroblas, osteoblas, keratinosit, makrofag, neutrofil, limfosit
dan sel endotel (Khasigov et al, 2001; Verma & Hansch, 2007; Maniu et
al, 2014).
Sejauh ini, terdapat 26 jenis MMP berbeda yang berhasil diidentifikasi
pada manusia termasuk data dan struktur primer masing-masing (Amalinei
et al, 2007). Berdasarkan struktur primer, spesifikasi substrat dan lokasi
sel, enzym- enzym ini dapat dibagi setidaknya menjadi 6 sub famili
sebagaimana yang dapat dilihat pada tabel 1:
Enzim

MMP

Kolagenase
- Kolagenase-1
- Kolagenase-2
- Kolagenase-3

MMP-1
MMP-2
MMP-13

Gelatinase
- Gelatinase-A
- Gelatinase-B

MMP-2
MMP-9

Stromelysin
- Stromelysin–1 (progelatinase)
- Stromelysin–2
- Stromelysin–3
Matrilysin
- Matrilysin–1 (uterine matrilysin)
- Matrilysin–2 (endometase)
Membrane-type MMPs Transmembrane
- MT1–MMP
- MT2–MMP

MMP-3
MMP-10
MMP-11
MMP–7
MMP–26
MMP–14
MMP–15

Universitas Sumatera Utara

19

-

MT3–MMP
MT5–MMP
MT4–MMP
MT6–MMP (leukolysin)

MMP–16
MMP–24
MMP–17
MMP–25

MMP Lainnya
- Macrophage elastase
- RASI–1
-

MMP–12
MMP–19
(MMP–18)
Enamelysin
MMP–20
XMMP (Xenopus)/Cy–MMP
MMP–21
(Cynops)
(MMP–23A)
Femalysin
MMP–22
(MMP–23B)
CA–MMP
MMP–23
CMMP (Gallus)
MMP–27
Epilysin
MMP–28
Tabel 2.1. Grup MMP ( Amilinei et al, 2007)

Secara fisiologis, enzym tersebut berperan pada remodelling jaringan
seperti pada perkembangan embrio, angiogenesis, ovulasi, pertumbuhan
payudara dan pada proses penyembuhan luka (Amilinei, 2007; Decock et
al, 2008). Dalam keadaan normal, aktifits MMP dikendalikan oleh sel
endogen spesifik Tissue Inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs).
Hilangnya kontrol terhadap regulasi tersebut dapat menimbulkan berbagai
keadaan seperti artritis, arterosklerosis, aneurisma, nefritis, radang
jaringan lunak, dan fibrosis (Bode et al, 1999). Pada kondisi fisiologis
maupun patologis, ekspresi MMP akan cepat terangsang ketika
remodelling jaringan diperlukan (Decock et al, 2008).
Pada penyakit keganasan, MMP telah diketahui memiliki peranan
penting terhadap proliferasi, migrasi, invasi dan metastasis berbagai jenis
kanker pada manusia karena MMP juga dapat diproduksi oleh sel tumor
dan/atau sel stroma disekitar sel tumor tersebut (Stark et al, 2007; Decock
et al, 2008).
Aktivitas MMP diatur pada tiga tahap yaitu transkripsi, aktivasi
zimogen prekursor dan inhibisi oleh inhibitor terutama Tissue Inhibitors of
Metalloproteinases (TIMPs) (Amalinei, 2007). TIMP terdiri dari empat
anggota dan berperan kuat dalam mengatur mekanisme aktivasi dan
fungsi MMP. TIMP-1 dapat menghambat kolagenase MMP-3 dan

Universitas Sumatera Utara

20

gelatinase. TIMP-2 mengikat MMP-2 dan juga menghambat aktivitas
MMP-1, MMP-3, MMP-7 dan MMP-9 (Chen et al, 2011).
2.4.1. Matriks metalloproteinase-9 (MMP-9) pada OMSK tipe bahaya
MMP-9 (92-kDa gelatinase) pertama kali disaring dari makrofag
manusia (Vasala, 2008). Dari keseluruhan jenis MMP yang telah
ditemukan sampai saat ini, jenis gelatinase dalam hal ini MMP-2 dan
MMP-9 merupakan enzim yang utama dalam perannya sebagai enzim
yang mendegradasi kolagen tipe IV, V, VII, X, XI dan XIV, gelatin dan
elastin (Khasigov et al, 2001; Amalinei 2007; Chen et al, 2011).
MMP-2 dan MMP-9 adalah enzim yang paling banyak diteliti karena
sangat berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan sel kanker
(Decock et al, 2008). Ekspresi MMP-2 dan MMP-9 mempunyai peranan
dalam karakter invasi sel melalui kemampuannya untuk mendegradasi
kolagen tipe IV yang merupakan komponen utama membran basal
(Yoshizaki et al, 1998).
OMSK dengan kolesteatoma memiliki karakteristik berupa terjadinya
destruksi struktur telinga tengah maupun dalam melalui resorbsi tulang
secara terus menerus yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan
pendengaran dan berbagai komplikasi lainnya. saat ini telah disepakati
bahwa resorbsi dan destruksi tulang disebabkan oleh aktifitas lokal dari
osteoklas (Juhasz et al, 2009). Pada tahun 1969, Abramson melaporkan
keterlibatan kolagenolisis pada kolesteatoma untuk pertama kalinya
(Schonermark

et

al,

1996).

Pada

kolesteatoma,

beberapa

studi

menerangkan bahwa ketidakseimbangan fungsi pengaturan MMP dan
peningkatan ekspresi MMP secara keseluruhan dan berkurangnya inhibisi
dari TIMP menyebabkan kerusakan pada matriks ekstraseluler (Maniu et
al, 2014).
Isoenzym spesifik pada kolesteatoma (MMP-2, MMP-3 dan MMP-9)
pertama kali diidentifikasi pada tahun 1996 melalui pemeriksaan
imunohistokimia. Bernal et al (2001) menyatakan bahwa MMP dan
fibroblast basic growth factor dapat menjelaskan sifat destruksi dan
proliferasi kolesteatoma. Zhu et al (2001) mempublikasikan studi yang

Universitas Sumatera Utara

21

melibatkan kolesteatoma dan kanker telinga tengah. Mereka berpendapat
bahwa perubahan antara metalloproteinase dan inhibitornya menjadi
alasan dibalik aktifitas resobsi tulang pada kolesteatoma dan kanker
telinga tengah. Jazionek et al (2008) menemukan tingkat aktifitas yang
signifikan pada MMP-9 (92-kDa) dibanding pada kulit liang telinga normal
dengan pemeriksaan zymography. Schmidt et al (2001) juga menemukan
peningkatan ekspresi MMP-9 dibandingkan dengan kulit liang telinga
normal.
Pada

kolesteatoma,

gelatinase

memainkan

perannya

melalui

pembersihan pada bagian osteoid pada permukaan tulang sehingga
memicu aktivasi dari osteoklas (Schmidt et al, 2001).
2.5. Anatomi Telinga Tengah
Secara anatomi telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar, telinga tengah,
dan telinga dalam (Dhingra, 2014). Telinga tengah adalah suatu ruang
antara membran timpani dengan badan kapsul dari labirin pada daerah
petrosa dari tulang temporal yang dimana terdapat rantai tulang
pendengaran. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani,
tuba eustachius, dan prosesus mastoid. (Wright & Valentine, 2008; Gacek
2009; Dhingra, 2014) .
2.5.1. Membran timpani
Membran timpani membentuk dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Membran timpani berbentuk
bulat dan mempunyai ukuran vertikal kira-kira 9-10 mm, horizontal 8-9
mm, tebal ± 0,1 mm (Wright & Valentine 2008; Dhingra, 2014).
Membran timpani secara anatomi terdiri dari 2 bagian yaitu pars tensa
terletak di bagian bawah, tegang dan lebih luas, serta pars flaksida
(membran Shrapnell) di bagian atas yang lebih tipis karena mengandung
sedikit lapisan fibrosa (Gacek, 2009).
Secara histologis membran timpani terdiri dari tiga lapisan, yaitu
(Gulya, 2003; Menner, 2003; Wright & Valentine 2008; Dhingra 2014) :
1. Lapisan luar (stratum kutaneum) yaitu: lapisan epitel yang berasal
dari liang telinga luar.

Universitas Sumatera Utara

22

2. Lapisan mukosa (stratum mukosum) yang berasal dari mukosa
telinga tengah.
3. Lapisan fibrosa (lamina propria) terletak diantara stratum kutaneum
dan stratum mukosum.
2.5.2. Kavum timpani
Kavum timpani merupakan suatu ruang yang terletak diantara
membran timpani dan telinga dalam. Kavum timpani adalah suatu ruang
bikonkaf dengan diameter vertikal dan antero-posteriornya sekitar 15 mm
dan diameter transversal 2-6 mm, yang mempunyai 6 dinding, yang
dibatasi oleh (Helmi 2005; Wright & Valentine 2008; Lee, 2008). :
1. Dinding atas, dibatasi oleh tulang yang tipis yang disebut tegmen
timpani, kadang-kadang mengalami dehisensi.
2. Dinding bawah, dibentuk oleh tulang tipis yang membatasi kavum
timpani dari bulbus vena jugularis.
3. Dinding lateral, dibentuk terutama oleh membran timpani.
4. Dinding anterior, berhubungan dengan m. tensor timpani, ostium
tuba Eustachius, dan dinding dari karotis.
5. Dinding medial, memisahkan kavum timpani dari telinga dalam.
Pada dinding medial terdapat promontorium yang merupakan
lingkaran basal koklea. Pada bagian belakang bawah dinding
media ini terdapat fenestra koklea (rotundum), dan pada bagian
belakang atas terdapat fenestra ovale.
6. Dinding posterior, bagian atas berhubungan dengan sellulae
mastoideus melalui aditus ad antrum.
Dalam kavum timpani terdapat tulang-tulang pendengaran yang
berhubungan satu sama lain terdiri dari maleus, inkus dan stapes yang
menghubungkan membran timpani dengan foramen ovale (Helmi 2005;
Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).
2.5.3. Tuba Eustachius
Tuba Eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan
nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab dalam
mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan atmosfir

Universitas Sumatera Utara

23

(Poe & Gopen, 2009). Kestabilannya oleh karena adanya kontraksi
muskulus tensor veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat
mengunyah dan menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang
rawan yang dikelilingi oleh jaringan lunak, jaringan adiposa dan epitel
saluran nafas (Menner, 2003; Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).
Tuba Eusthacius memiliki ukuran 17-18 mm pada bayi baru lahir serta
tumbuh menjadi 35 mm pada saat dewasa. Tuba Eusthacius memiliki
tekanan 200-300 mmH 2 O (Gulya, 2003; Lee, 2008).
2.5.4. Prosesus mastoid
Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainasenya
menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu pneumatik
atau selular, diploik dan sklerotik atau aselular (Dhingra, 2014). Pada tipe
pneumatik, hampir seluruh prosesus mastoid terisi oleh pneumatisasi,
pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali, sedangkan
pada tipe diploik pneumatisasi kurang berkembang. Sel mastoid dapat
meluas ke daerah sekitarnya, sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars
skuamosa tulang temporal (Wright & Valentine 2008; Gacek

2009;

Dhingra, 2014).
Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang
terletak tepat di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran
yang menghubungkan

antrum dengan epitimpani. Lempeng dura

merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang
sekitarnya

yang

membatasi

rongga

mastoid

dengan

duramater,

sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis
disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan
membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian
superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus
(Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).
2.5.5. Vaskularisasi kavum timpani
Telinga tengah dan mastoid diperdarahi oleh kumpulan cabang ateri
yang berbeda dari sistem karotis eksterna. Cabang arteri ke ruang telinga
tengah adalah cabang timpani anterior dari arteri maksilaris interna, yang

Universitas Sumatera Utara

24

masuk melalui fisura petrotimpani dan berjalan sepanjang tuba Eustachius
dan kanalis semisirkularis menuju tensor timpani. Arteri meningea media
bercabang menjadi arteri petrosus superfisialis yang berjalan bersama
nervus petrosus superfisialis mayor dan memasuki kanalis fasialis di
hiatus. Anastomosis pembuluh darah ini dengan cabang arteri aurikularis
posterior, arteri stilomastoideus, yang memasuki kanalis fasialis di bagian
inferior melalui foramen stilomastoideus. Cabang arteri stilomastoideus
meninggalkan kanalis Fallopian dan berjalan melalui kanalikulus bersama
nervus korda timpani untuk memasuki telinga tengah. Akhirnya, arteri
timpani inferior, cabang dari arteri faringeal asenden, memasuki telinga
tengah melalui kanalikulus timpani di dalam hipotimpani dengan cabang
timpani dari nervus ke sembilan (Helmi, 2005; Gacek, 2009).
2.6. Pemeriksaan Imunohistokimia
Pemeriksaan imunohistokimia dapat memberi informasi mengenai
kandungan berbagai unsur molekul di dalam sel normal maupun sel
neoplastik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah pengikatan antigen (yang
terkandung dalam sel) dengan antibodi spesifiknya yang diberi label
chromogen. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik yaitu prosedur
pembuatan irisan jaringan (histologi) untuk diamati di bawah mikroskop.
Irisan

jaringan

yang

didapat

kemudian

memasuki

prosedur

imunohistokimia (Hardjolukito & Endang 2005).
Imunohistokimia menjadi teknik pilihan untuk menentukan petandapetanda biologik tersebut karena relatif mudah, murah dan dapat
diterapkan pada sediaan rutin histopatologik. Namun demikian perlu
diperhatikan

sejumlah

faktor

yang

dapat

mempengaruhi

hasil

pemeriksaan, dimana pengaruh faktor-faktor tersebut dimulai dari tahap
pembedahan, pengolahan jaringan hingga penilaian hasil pulasan
(Hardjolukito & Endang, 2005).
2.6.1. Metode pewarnaan imunohistokimia
Prinsip dari metode imunohistokimia adalah perpaduan antara reaksi
imunologi dan kimiawi, dimana reaksi imunologi ditandai adanya reaksi

Universitas Sumatera Utara

25

antara antigen dengan antibodi, dan reaksi kimiawi ditandai adanya reaksi
antara enzim dengan substrat (Sudiana & Ketut 2005).
Pemeriksaan imunohistokimia dimaksudkan untuk mengenali bahan
spesifik tertentu didalam jaringan dengan menggunakan antibodi dan
sistem deteksi yang memungkinkan untuk mengenali bahan spesifik
tersebut secara visual (Sudiana & Ketut 2005).
Antibodi bereaksi terhadap determinan dari antigen yang berada dalam
bahan spesifik yang diperiksa. Antibodi-antibodi ini akan berikatan dengan
bahan dalam jaringan, dan antibodi-antibodi ini diketahui dengan
menggunakan antibodi-antibodi lain yang dirancang untuk mengenal
immunoglobulin tersebut dari spesies-spesies yang terekspos dengan
bahan asli atau original (Sudiana & Ketut 2005).
Antibodi-antibodi penentu (anti-antibodi dari spesies lain) ini ditempeli
(tagged) dengan beberapa molekul pelapor (reporter molecule) misalnya
fluorecein atau enzim yang dapat mengkatalisa reaksi selanjutnya menuju
produk yang dapat dilihat (Sudiana & Ketut 2005).
Pewarnaan imunohistokimia pada dasarnya ada dua macam metode
yaitu (Sudiana & Ketut 2005):
a. Metode direct
Pada metode ini antibodi monoklonal yang digunakan untuk
mendeteksi suatu marker pada sel, langsung di label dengan suatu
enzim.
b. Metode indirect
Pada metode imunohistokimia indirect, antibodi monoklonal yang
digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, tidak dilabel
dengan suatu enzim. Antibodi ini dikenal dengan sebutan antibodi
primer. Namun pada metode ini bukan berarti tidak membutuhkan
antibodi yang dilabel enzim. Hal ini tetap dibutuhkan tetapi yang
dilabel adalah antiimunoglobulin, dalam imunohistokimia indirect
dikenal dengan sebutan antibodi sekunder. Untuk melabel antibodi
sekunder dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
Secara langsung artinya antibodi sekunder telah terlabel oleh suatu

Universitas Sumatera Utara

26

enzim. Sedangkan secara tidak langsung artinya pelabelan antibodi
sekunder dengan suatu enzim adalah menggunakan suatu bahan
perantara (kombinasi) seperti : biotin-streptavidin atau biotin-avidin.

Universitas Sumatera Utara

27

2.7. Kerangka Konsep / Teori
Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya/
Kolesteatoma
Inflamasi Kronis, Hiperplasia jaringan
Bakteri ↑,
Biofilm ↑,
Granulasi

Respon imun seluler ↑:
T-Limfosit, Makrofag, Sel Langerhans, sel Mast

Sitokin proinflamasi ↑ :

Regulasi TIMP

Ekspresi Matrix Metalloproteinase

(MMP-9) ↑

Degradasi matriks
ekstra seluler tulang

Asam Arakidonat, ICAM, RANKL,
IL-1,-2,-6, TNF-α, EGF, VEGF,
TGF- α, TGF-β, Ki-67

Proliferasi epitel ↑,
Angiogenesis ↑

Aktivasi osteoklas ↑

Resorbsi tulang ↑

Pertumbuhan Kolesteatoma ↑

Destruksi tulang ↑

Ringan

Sedang

Berat
Komplikasi

Intratemporal

Intrakranial

= variabel yang diperiksa

Universitas Sumatera Utara

28

Pada OMSK dengan kolesteatoma terjadi akumulasi sel debris dan
keratinosit diinvasi oleh sel-sel sistem imun termasuk sel Langerhans, selT dan makrofag. Proses ini distimulasi oleh proliferasi epitel yang tidak
seimbang, diferensiasi dan maturasi keratinosit dan pemanjangan
apoptosis. Migrasi sel digantikan oleh hiperplasia dalam kondisi inflamasi.
Inflamasi yang mendorong proliferasi epitel berhubungan dengan
peningkatan ekspresi enzim litik dan sitokin termasuk asam arakidonat,
Intercellular Adhesion Molecule (ICAM), Receptor Activator Of Nuclear
Factor Kappa-β Ligand (RANKL), EGFR, VEGF, Interleukin-1, 2 dan 6 (IL1, IL-2, IL-6), Matriks Metalloproteinase-2 dan 9 (MMP-2, MMP-9) dan
Tumor Necrosis Factor Alpha yang sebagian diinduksi oleh antigen
bakterial termasuk endotoksin seperti lipopolisakarida. Sel mast banyak
terdapat pada jaringan kolesteatoma dan berkontribusi terhadap inflamasi
kronis. MMP-9 akan menstimulasi diferensiasi dan maturasi osteoklas
atau dapat bereaksi pada matriks tulang, memaparkannya terhadap
osteoklas. Hal ini akan menyebabkan degradasi matriks ekstraselular
tulang, sehingga terjadi destruksi tulang yang menyebabkan komplikasi
OMSK tipe bahaya.

Universitas Sumatera Utara