Kebijakan Kriminal dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Hewan di Kabupaten Padang Lawas Utara

BAB II
ASPEK-ASPEK UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PENCURIAN HEWAN SECARA PENAL DAN NON PENAL DI
KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA
Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana
dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian, usaha ini pun masih sering
dipersoalkan. Perbedaan mengenai peranan pidana dalam menghadapi masalah
kejahatan ini, menurut Inkeri Anttila, telah berlangsung beratus-ratus tahun dan
menurut Herbert L. Packer, usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan
mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana,
merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum penting.36
Pengguanaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya
untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum.
Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada
umumnya, maka kebijakan penegakan hukum ini pun termasuk dalam bidang
kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional unutk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, pengguanaan
hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan
dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang
dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam
alternatif. Dengan demikian, masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan

dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial seperti
36

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung; Bursa Media, 2010),

Hal.19-20

22
Universitas Sumatera Utara

23

dikemukakan oleh Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the
problem of policy).37
Dalam penelitian yang mengangkat tema kebijakan kriminal dalam upaya
penanggulangan tindak pidana pencurian hewan di Kabupaten Padang Lawas Utara,
dalam kajian kebijakan kriminal dalam upaya penanggulangan secara penal dan non
penal terlebih dahulu menguraikan tinjauan umum tentang kebijakan kriminal serta
apa saja unsur-unsur yang terkait didalamnya dimana akan memudahkan memahami
inti dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

A. Tinjauan Umum Pengertian Kebijakan Kiriminal
Istilah kebijakan berasal dari kata policy (Inggris) atau Politiek (Belanda).
Bertolak dari pengertian itu maka kebijakan hukum pidana dapat disebut juga dengan
istilah “politik hukum pidana”, dengan kepustakaan dikenal dengan berbagai istilah
yakni Penal Policy, Criminal Law Policy atau straffrechtspolitiek.38
Kebijakan kriminal atau politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional
dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Secara Kompleks mengenai arti
kebijakan kriminal ada tiga, yaitu:
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk didalamnya cara kerja dari perngadilan dan polisi.

37

Ibid
Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Prespektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta;
Total Media, 2010), Hal.13
38


Universitas Sumatera Utara

24

c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.39
Selanjutnya pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari
politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum”
adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.40
b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.41
Kebijaksanaan (policy, beleid) merupakan kata atau istilah yang digunakan
sehari-hari, tetapi karena keterbiasaannya terdapat semacam kerancuan atau
kebingungan, kerancuan atau kekeliruan dalam mendefenisikan atau menguraikan
istilah kebijakan (wisdom, wijsheid) yang selalu ditautan dengan istilah diskreasi,

selain itu

istilah kebijaksanaan seringkali penggunaannya dipertukarkan dengan

istilah-istilah lain seperti tujuan, program, keputusan, Undang-Undang, ketentuanketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar bahkan seringkali orang

39

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Opcit, Hal.3
40
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung; Alumni, 1981), Hal.159.
41
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung; Sinar Baru, 1983),
Hal.20.

Universitas Sumatera Utara

25


awam bingung dan tidak dapat membedakan antara policy dan politik.42
Kebijaksanaan sebenarnya dapat dirumuskan sebagai perilaku dari sejumlah
pemeran baik pejabat atau perorangan atau kelompok pakar ataupun instans, lembaga
pemerintah yang terlibat dalam suatu bidang, kegiatan tertentu yang diarahkan kepada
suatu rumusan masalah, permasalahan, sehubungan dengan adanya hambatanhambatan tertentu untuk selanjutnya mengacu pada tindak atau tindakan berpola yang
mengarah kepada tujuan seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan dan
atau mewujudkan sasaran yang ingin dicapai. Menyimak kosentalasi dan kehidupan
politik di Indonesia ini, maka dapat di konstatasi bahwa ciri-ciri khas yang melekat
pada kebijaksanaan-kebijaksanaan negara yang bersumber pada kenyataan bahwa
kebijaksaan itu memiliki kewenangan atau memiliki wewenang dalam sistem politik
tanah air.43
Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan
politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur
berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.44 Mahfud M.D, juga
memberikan definisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan
atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula
pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang


42

Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Prespektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta;
Total Media, 2010), Opcit, Hal.14
43
Ibid
44
Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum, (Bandung; Mandar Maju, 1989), Hal. 49

Universitas Sumatera Utara

26

bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam
kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam
perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya.45
Bertolak dari pengertian itu maka "Criminal policy is the rational
organization of the social reactions to crime". Modern criminal science terdiri dari
tiga komponen yakni: Criminology.46 Criminal Law.47 dan Penal Policy.48
B. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Criminal Policy)

B.1. Kebijakan Non-Penal (Non Penal Policy)
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal
ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social
policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (socialwalfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social
defence policy).49
Mengingat upaya penanggualangan kejahatan lewat jalur "non-penal" lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-

45

Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta; LP3ES, 1998), Hal.1-2
Criminologi. Ilmu pengetahuan yang mempelajari pola keteraturan, keseragaman, dan sebab
musabab kejahatan, pelaku dan reaksi masyarakat terhadap keduanya, serta meliputi cara
penaggulangannya.
47
Criminal Law. yakni hukum yang menetukan setiap orang yang melakukan kejahatan atau
delik, dan perbuatan apa yang dapat dipidana ats perbuatan tersebut.
48

Penal Policy. adalah kebijakan pemerintah untuk menentukan jenis pemidanaan terhadap
pelaku delik.
49
Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Tanah Di
Indonesia: Suatu Pemikiran: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu
Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum USU, (Medan; USU Press, 2006), Hal.2
46

Universitas Sumatera Utara

27

faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal
secara makro dan global maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan
strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
kejahatan.50
Beberapa masalah dan kondisi yang dapat merupakan faktor kaondusif
penyebab timbulnya kejahatan jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi

semata -mata dengan "penal". Disinilah keterbatasan jalur "penal" dan oleh karena itu
harus ditunjang oleh jalur "nonpenal". Salah satu jalur nonpenal untuk mengatasi
masalah-masalah sosial adalah melalui jalur "kebijakan sosial" (social policy).
Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan
pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari
pembangunan.51
Kebijakan penaggulangan kejahatan non penal atau non penal policy ialah
kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan
pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah
mengenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada
masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan sedangkan
50

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru).Opcit. Hal.46
51
Ibid. Hal.50


Universitas Sumatera Utara

28

kebijakan penanggualangan kejahatan secara penal atau kebijakan hukum pidana
penal policy atau politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan
seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan
atau diperbaharui, apa yang dibuat untuk mencegah terjadinya kejahatan dan cara
bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.52
Disamping upaya-upaya non penal dapat ditempuh dengan menyehatkan
mesyasarakat melalui kebijakan sosial dan dengan menggali potensi yang ada dalam
masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya nonpenal digali dari berbagai sumber lainnya
yang juga mempuanyai potensi efek-preventif. Sumber lain misalnya, media/pers
massa, memanfaatkat kemajuan teknologi dan pemanfaatan potensi efek-preventif
dari aparat penegak hukum.53
Perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan karena masih
diragukannya atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai
tujuan politik kriminal. Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa
Prevensi-umum dan prevensi-khusus saja, efektifitas sarana penal masih diragukan

atau setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya.54
B.2. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Adapun Penal Policy, adalah ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan
52

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan; Pustaka Bangsa Press, 2008),
OpCit.Hal.55-68
53
Ibid. Hal.53
54
Ibid. Hal.54

Universitas Sumatera Utara

29

secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman, tidak hanya kepada pembuat
undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Diantara studi mengenai faktor kriminologis disatu pihak dan studi mengenai teknik
perundang-undangan dilain pihak, fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang
rasional dimana para sarjana dan praktisi kriminologi dan sarjana hukum dapat
bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi
sebagai kawan sekerja yang terkait dalam tugas bersama yaitu tugas bersama untuk
menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistis, humanis dan berfikiran maju,
progresif dan sehat.55
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik
hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan
merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian
terlihat pula dalam definisi “penal policy” dari Marc Ancel yang telah dikemukakan
pada uraian pendahuluan yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu
sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “peraturan
hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah
peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal
policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik
hukum pidana”.

55

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Opcit, Hal.26

Universitas Sumatera Utara

30

Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi masalah
yang cukup luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang
berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana yang akan datang dan
bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui komponen sistem peradilan pidana
pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti hukum pidana harus
menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. 56
Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan di
atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana
merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakukan hukum pidana Indonesia
masa yang akan datang dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk
diterapkan.57
Usaha menemukan alas philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan
mengarah kepada sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak saat ini. Pembabakan
tentang tujuan hukum pidana diuraikan berdasarkan tujuan retributif, deterrence,
treatment, dan social defence, yaitu:58
1) Teori Retributif
Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa
pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena pelaku
kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang
penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu
56

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008),
Opcit.Hal.65-88
57
Ibid
58
Ibid

Universitas Sumatera Utara

31

kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma
moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan
sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum
si pelaku.59
2) Teori Deterrence
Tujuan yang kedua dari pemidanaan adalah “deterrence”. Terminologi
“deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada
penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut
membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan.
Namun “the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini
dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan
kejahatan.
Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism)
karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah
untuk mengurangi frekuensi kejahatan (… the justification for penalizing offences is
that this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan
dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:
a. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu
membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran
hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;

59

Ibid

Universitas Sumatera Utara

32

b. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators),
dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang berpotensial
untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah
dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan
kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;
c. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku
si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak
melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dan ancaman
pidana;
d. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan,
sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi
kejahatan;
e. Melingdungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang
cukup lama.60
3) Teori Treatment
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang
berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan,
bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini
adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation)
kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argument aliran
positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit

60

Ibid

Universitas Sumatera Utara

33

sehingga

membutuhkan

tindakan

perawatan

(treatment)

dan

perbaikan

(rehabilitation).61
Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode
ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan
terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan
bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena
manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik
watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku
kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan
perlakuan (treatment) untuk resosialisasi dan perbaikan sipelaku.62
4) Teori Social Defence
Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II
dengan tokoh terkenalnya adalah Flippo Gramatica yang pada tahun 1945 mendirikan
Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, padangan
seorang defence ini (Setelah kongres ke-2 Tahun 1949) terpecah menjadi dua aliran,
yaitu aliran radikal (ekstrim) dan aliran moderat (reformis).63
Pandangan Radikal yang dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatica
berpendapat bahwa “Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana
yang

sekarang.

Tujuan

utama

dari

hukum

perlindungan

sosial

adalah

mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap

61

Ibid
Ibid
63
Ibid
62

Universitas Sumatera Utara

34

perbuautannya”.64
Sedangkan pandangan moderat yang dipelopori oleh Marc Ancel berpendapat
bahwa “Tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan
bersama tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya”. Oleh
karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak
dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat,
yaitu:65
a. Pandangan moderat yang bertujuan mengintegrasiakan ide-ide atau kosepsikonsepsi perlidungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.
b. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat
mengenai hukum pidana dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan
msyarakat itu sendiri.
c. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak menggunakan fiksifiksi dan tekniks-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan
reaksi kepada legisme dari aliran klasik.
B.3. Pengertian Pencurian Hewan Menurut KUHPidana Beserta Unsur-Unsur
Dalam lingkup hukum pidana Indonesia, yang dimaksud dengan hewan
dijumpai/dimuat pada pasal 101 KUHP yang berbunyi: Perkataan ternak berarti
hewan yang berkuku satu, pemamah biak dan babi, atau dengan lain perkataan: kuda,
sapi, atau kerbau dan babi. Disatu pihak, penentuan arti kata ini bersifat memperluas
64
65

Ibid
Ibid

Universitas Sumatera Utara

35

karena biasanya kuda dan babi tidak termasuk istilah ternak (vee), di pihak lain
bersifat membatasi karena tidak masuk didalamnya: pluimvee atau ayam, bebek, dan
sebagainya.66
R. Soesilo memberikan penjelasan terkait dengan Pasal 363 KUH Pidana, “
Pencurian dalam pasal ini dinamakan “pencurian dengan pemberatan” atau pencurian
dengan kwalifikasi” dan diancam hukuman yang lebih berat. Apakah yang diartikan
dengan “pencurian dengan pemberatan” itu ? Ialah pencurian biasa (ps. 362) disertai
dengan salah satu keadaan seperti berikut, a. bila barang yang dicuri itu adalah
“khewan” dan yang dimaksudkan dengan “khewan” diterangkan dalam pasal 101,
jaitu semua macam binatang yang memamah biak (kerbau, sapi, kambing dsb.),
binatang yang berkuku satu (kuda, keledai) dan “babi”. Anjing, ayam, bebek, angsa,
itu bukan khewan, karena tidak memamah biak, tidak berkuku satu dan bukan babi.
Pencurian khewan dianggap berat, karena khewan merupakan milik seorang petani
yang terpenting.”67
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Andi Hamzah, sebagai berikut, “
Semua bagian dari inti delik yang tercantum di dalam Pasal 362 KHUP berlaku juga
untuk pasal 363 KHUP, ditambah dengan satu bagian inti (bestanddeel) lagi yang
menjadi dasar pemberatan pidana. Jika pada pasal 362 KHUP ancaman pidananya
maksimum lima tahun penjara, maka pasal 363 KUHP menjadi maksimum tujuh
tahun penjara. Bagian inti tambahan itu ialah:

66

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung: Refika
Adiatma, 2010), Hal. 21
67
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), Hal. 251.

Universitas Sumatera Utara

36

-

Pencurian ternak

… Pencurian ini disebut pencurian dengan pemberatan. Membiarkan ternak
berkeliaran dikebun padang rumput atau padang rumput kering, baik tanah yang
sudah ditaburi dan seterusnya diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 459 KUHP
dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah (sangat tidak
sesuai lagi sekarang). Ternak dapat dirampas. Pasal 101 memberi pengertian ternak:
semua binatang yang berkuku satu, binatang memamah biak dan babi.68
Oleh Barda Nawawi Arief, dijelaskan bahwa, “ Kebijakan kriminal atau politik
kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan.”69 Kaitan dengan tindak pidana pencurian hewan, sebagaimana dalam
Pasal 363 KUH Pidana, bahwa pencurian hewan merupakan pencurian dengan
pemberatan, sehingga “pemberatan pidana” dapat dilihat sebagai usaha rasional
dalam menanggulangi kejahatan pencurian hewan. Adapun rasio legis (alasan hukum)
pemberatan pidana terhadap pencurian hewan ternak, dikarenakan hewan ternak
memiliki kedudukan yang istimewa bagi kehidupan manusia.
Tindak pidana oleh pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai mengambil barang,
seluruhnya, atau sebagian milik orang lain dengan tujuan memilikinya secara
melanggar hukum. dimana maksud penjelasannya sebagai berikut:70
Mengambil barang
Unsur pertama dari tindak pidana pencurian adalah perbuatan mengambil
68

Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu(Speciale Delicten) Di Dalam KUHP. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009). Hal. 104-105
69
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2011). Hal.3
70
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Opcit. Hal. 14-18

Universitas Sumatera Utara

37

barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakan
tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan menghilangkannya ke tempat lain.
Barang yang diambil
Oleh karena sifat tindak pidana pencurian adalah merugikan kekayaan korban,
maka barang yang diambil harus berharga. Harga ini tidak selalu ekonomis.
Tujuan memiliki barangnya dengan melanggar hukum
Unsur memiliki barangnya dengan melanggar hukum ini juga terdapat pada
tindak pidana penggelapan barang dari Pasal 372 KUHP, bahkan disana tidak hanya
harus ada tujuan (oogmerk) untuk itu, tetapi perbuatan si pelaku harus masuk
rumusan memiliki barangnya dengan melanggar hukum.
Wujud perbuatan memiliki barang
Perbuatan ini dapat berwujud macam-macam seperti, menjual, menyerahkan,
meminjamkan, memakai sendiri, menggadaikan, dan sering dan bahkan bersifat
negatif, yaitu tidak berbuat apa-apa terhadap barang itu, tetapi juga tidak
mempersilahkan mempersilahkan orang lain berbuat sesuatu dengan barang itu tanpa
persetujuannya.
Isltilah gequalificeerde deifstal yang mungkin dapat diterjemahkan sebagai
pencurian khusus dimaksudkan sebagai suatu pencurian dengan cara-cara tertentu
atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari itu diancam
dengan hukuman maksimalnya lebih tinggi, yaitu hukuman penjara lima tahun dari
Pasal 362 KUHP. Hal ini diatur dalam Pasal 363 KUHP, yang mana penjelasannya
sebagai berikut:71

71

Ibid, Hal.19-21

Universitas Sumatera Utara

38

Pasal 363 KUHP
1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:
ke-1: pencurian ternak;
ke-2: pencurian pada waktu kebakaran, peletusan, banjir, gempa bumi atau gempa
laut, peletusan gunung appi, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan
kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang;
ke-3: pencurian pada waktu malam dalam suatu rumah kediaman atau
dipekarangan tertutup yang disitu ada rumah kediaman, dilakukan dilakukan
oleh orang disitu tanpa setahu atau bertentangan dengan kehendak yang
berhak;
ke-4: pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama;
ke-5: pencurian yang dilakukan dengan jalan membongkar, merusak atau
memanjat, atau memakai anak kunci palsu, yaitu untuk masuk ketempat
kejahatan atau untuk dapat mengambil barang yang akan dicuri.
2) Jika pencurian dari nomor 3 disertai dengan salah satu nomor 4 dan nomor 5,
maka dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Bentuk pencurian sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 363 (bentuk
pokoknya) ditambah unsur-unsur lain, baik yang objektif maupun subjektif, yang
bersifat memberatkan pencurian itu, dan oleh karenanya diancam dengan pidana yang
lebih berat dari pencurian dalam bentuk pokoknya. Ternak ditetapkan oleh
pembentuk Undang-undang sebagai faktor-faktor memperberat didasarkan pada
pertimbangan mengenai keadaan khusus pada Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

39

C. Hubungan

Kebijakan

Penanggulangan

Kejahatan

(Criminal

Policy)

Terhadap Sistem Peradilan Pidana
Seperti yang diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, dapat dilihat
penjelasan mengenai kebijakan kriminal secara jelas mengenai pengertian kebijakan
kriminal, dimana telah dipaparkan tentang kebijakan penanggulangan kejahatan
melalui penal dan non penal, selanjutnya bagaimana hubungan antara kebijakan
kriminal dengan sistem peradilan pidana.
Pendekatan sistem peradilan pidana dilandaskan beberapa argumen, yaitu:72
a. Pendekatan disamping memiliki kemampuan untuk menggambarkan keutuhan
karakteristik objek, juga memiliki kemampuan untuk melakukan analisis terhadap
setiap komponen objek;
b. Pendekatan sistem senantiasa mempertimbangkan kerberhubungan suatu objek
secara internal dan ekseternal.
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu:
pendekatan normatif, administratif dan sosial, yakni:73
1. Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (Kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)sebagai institusi pelaksana
peraturan perunang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur terbebut

72

Lili Rasyid dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Sistem, (Bandung; Remaja Rosdakarya,
1993), Hal.3
73
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontenporer, ( Jakarta; Kencana, 2010),
Hal.6-7

Universitas Sumatera Utara

40

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum sematamata.74
2. Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai
suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang
bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai denagn struktur organisasi
yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adala sistem
admisnistrasi.75
3. Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem soal sehingga masyarakat secara
keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari
keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem
yang digunakan adalah sistem sosial.76
Terminologi sistem menujuk kepada pengaturan dalam suatu bagian dalam
desain atau perencanaan yang ditentukan. Gagasan utama dalam suatu sistem adalah
melibatkan hubungan kerja sama antara komponen-komponen antara sistem tersebut
secara sengaja dan direncanakan untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itulah,
ciri umum dari suatu sistem bahwa kinerja suatu subsistem akan mempengaruhi
subsistem lainnya sebagai bagian dari fungsi sistem secara keseluruhan.77
Untuk menyatukan presepsi dan keobyektifan terhadap istilah-istilah dalam

74

Ibid
Ibid
76
Ibid
77
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan; Pustaka Bangsa Press, 2008), Opcit,
Hal.90
75

Universitas Sumatera Utara

41

penulisan ini, maka perlu memberikan pengertian istilah sistem dan istilah sistem
peradilan pidana. Istilah Sistem menurut Anatol Rapport, memberi pengertian sistem
adalah whole which function as a whole by vertue of the interdependence of its parts.
R.L.Ackoff, sistem sebagai entity, conceptual or physical, which concists of
interdependent parts. Menurut Lili Rasjidi, ciri suatu sistem adalah:78
1) Suatu Kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses).
2) Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain
saling bergantung (interpendence of its partsi.)
3) Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar,
yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya (the whole is more than the sum
of its parts).
4) Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole
determines the nature of its parts).
5) Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami
secara terpisah dari keseluruhan itu the parts cannot be understood if considered in
isolation from thw whole).
6) Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan
dalam keseluruhan (sistem) itu.
Istilah Sistem Peradilan Pidana menurut Chamelin/Fox/Whisenand, bahwa
criminal justice system sebagai suatu sistem dan masyarakat dalam proses
menentukan konsep sistem merupakan aparatur peradilan pidana yang diikat bersama
78

Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung; PT.Remaja
Rosdakrya, 1993), Opcit,Hal.5

Universitas Sumatera Utara

42

dalam hubungan antara sub sistem polisi, pengadilan dan lembaga (penjara). Menurut
Muladi sistem peradilan pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat
bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (struktural syncronization), dapat
pula sinkronisasi struktural (substancial syncronization). Dalam hal sinkronisasi
struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi
peradilan pidana (the administration of justice) dalam kerangka hubungan antar
lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial, maka keserampakan ini
mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum
positif yang berlaku. Sedangkan sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu
serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang
secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.79
Selanjutnya menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa komponen-komponen
yang bekerjasama dalam sistem ini adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
(lembaga) permasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerja bersama
membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu “integrated criminal justice
administration.80kemudian menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistem
dalam peradilan pidana81 ialah:
1) Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan).

79

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang; UNDIP, 1995), Hal.13-14
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan
Karangan Buku Ketiga, (Jakarta; Lembaga Kriminologi UI, 1994), Hal.85
81
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, (Bandung; Binacipta, 1996), Hal.10:
80

Universitas Sumatera Utara

43

2) Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan
pidana.
3) Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara.
4) Penggunaan hukum sebabagi instrumen untuk memantapkan the administration of
justice.
Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan
kejahatan dengan tujuan untuk :82
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melalukan kejahatan tidak mengulangi
lagi kejahatannya.
Sistem peradilan pidana, bila diterapkan secara konsisten, konsekwen dan
terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat
mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana juga bermanfaat untuk:83
1) Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu polisi.
Dengan statistik kriminal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam
menyusun kebijakan kriminal secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.

82

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan
Karangan Buku Ketiga, (Jakarta; Lembaga Kriminologi UI, 1994), Opcit, Hal.84
83
Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan pidana (Jakarta; Restu Agung, 2007),
Hal.4

Universitas Sumatera Utara

44

2) Mengetahui Keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam
penanggulangan kejahatan.
3) Kedua butir a dan b tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah
dalam rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang
untuk mewujudkan tujuan nasional.
4) Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun masyarakat
Dengan uraian di atas, dapatlah disimpulkan makna dan hakikat pembaruan hukum
pidana sebagai berikut:84
1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan:85
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah
sosial (termasuk masalah-kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang
tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya

merupakan

bagian

dari

upaya

perlindungan

masyarakat

(khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui subtansi hukum
(legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai:86

84

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru).Opcit. Hal.29
85
Ibid
86
Ibid

Universitas Sumatera Utara

45

Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan dan penilaian kembali (“reorientasi dan reevealuasi”) nilai-nilai
sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi
terhadap muatan normatif dan substansif hukum pidana yang dicita-citakan.
Bukanlah pembaruan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum
pidana yang dicita-citakan (misalnya, KUHP Baru) sama saja dengan orientasi
nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).
Kebijakan penanggulangan kejahatan yang merupakan bagian dari kebijakan
penegakan hukum, harus menjadi suatu pedoman bagi aparat penegak hukum dalam
penanggualangan kejahatan. Aparat penegak hukum yang tergabung dalam sistem
peradilan pidana harus mampu untuk menginternalisasikan setiap keputusan yang
dirumuskan dalam criminal policy melalui kinerja yang efektif dan koordinatif untuk
mencapai tujuan bersama dari sistem secara keseluruhan. Disamping itu juga, aparat
penegak hukum sebagai instansi penegak hukum (legal structure) harus mampu
menerjemahkan peraturan perundang-undangan pidana (legal substance) dan
mengaplikasikannya sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Oleh karena
itulah, pandangan serta sikap serta penghormatan (legal culture) aparat penegak
hukum terhadap hukum itu sendiri akan sangat menentukan keberhasilan penegak
hukum yang secara strategis dirumuskan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan
(criminal policy).87
Elemen-elemen diatas merupakan acuan yang menjadi pedoman bagi
87

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan; Pustaka Bangsa Press, 2008), Opcit,
Hal.

Universitas Sumatera Utara

46

bekerjanya aparat penegak hukum pidana dalam upaya melahirkan kebijakan
penanggulangan kejahatan. Hal ini juga sebagaimana yang dikemukakan oleh
Harkristuti bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan sebagai upaya masyarakat
yang rasional dalam menaggulangi kejahatan (baik proaktif maupun reaktif), pada
umumnya dirumuskan melalui perangkat perundang-undangan yang berkenaan
dengan masing-masing lembaga yang terlibat dalam upaya penegakan hukum dalam
proses peradilan pidana. Perangkat perundang-undangan tersebut akan merefleksikan
penanggulangan kejahatan melalui sarana penal, yang lazimnya digunakan melalui
langkah-langkah perumusan norma-norma hukum pidana dan acara pidana yang
didalamnya terkandung adanya unsur substantif, struktural dan kultural masyarakat
yang menjadi landasan bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice
system).88

88

Ibid

Universitas Sumatera Utara