Penentuan Prioritas Teknik Sampling Menggunakan Analytical Hierarchy Process (Ahp)

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 AHP (Analytical Hierarchy Process)

Metode AHP dikembangkan oleh Thomas Lorie Saaty dari Wharston Business School
(1993). Prinsip kerjanya adalah dengan menguraikan masalah multi kriteria yang
kompleks menjadi suatu hirarki yang melakukan pengukuran untuk menemukan skala
rasio perbandingan berpasangan, baik untuk data diskrit maupun kontinu.

Metode ini dapat digunakan untuk menentukan ranking atau tingkatan
(hierarchy) dari berbagai alternative yang tersedia sehingga dapat mengarahkan

pengambil keputusan untuk memilih alternative terbaik berdasarkan preferensi dan
pertimbangannya.
Thomas Lorie Saaty (1993), mendefenisikan :
Hirarki adalah suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks
dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level
faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari
alternatif.


Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam
kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk tingkatan
tertentu sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.

Universitas Sumatera Utara

Keunggulan yang dimiliki oleh metode AHP dalam memecahkan masalah
pengambilan keputusan yang kompleks dengan tingkatan kriteria yang lebih banyak
dan beragam,adalah :
a. AHP akan mengurutkan setiap alternatif yang tersedia dalam sebuah
struktur hirarki yang lengkap, selanjutnya mengarah kepada konsekuesi dari
kriteria yang akan dipilih (alternatif terbaik)
b. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi
berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.
c. Memperhitungkan output dari setiap alternatif keputusan yang akan
diambil, sehingga dapat member gambaran yang jelas tentang alternatif
terbaik yang akan diarahkan pada sebuah keputusan.

Terdapat 4 landasan aksiomatik yang terkandung dalam metode dasar AHP, yaitu:
1. Reciprocal Comparison artinya pengambilan keputusan harus dapat memuat

matriks perbandingan berpasangan dan menyatakan preferensinya yang harus
memenuhi syarat resiprokal yaitu apabila A lebih disukai daripada B dengan
skala x, maka B lebih disukai daripada A dengan skala 1/x.
2. Homogenity artinya Setiap elemenyang dibandingkanharus merupakan dalam
rumpun yang sama untuk dapat menghasilkan preferensi yang sesuai. Kalau
aksioma ini tidak dipenuhi maka elemen- elemen yang dibandingkan tersebut
tidak homogen dan harus dibentuk cluster (kelompok elemen) yang baru.
3. Independence artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa
kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh
objektif keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan dalam AHP
adalah searah, maksudnya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu
tingkat dipengaruhi atau tergantung oleh elemen-elemen pada tingkat
diatasnya.
4. Expectation artinya untuk tujuan pengambil keputusan. Struktur hirarki
diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil
keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objectif yang tersedia atau
diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.

Universitas Sumatera Utara


2.2 Prinsip Dasar AHP (Analytical Hierarchy Process)

Dalam penggunaan AHP untuk menyelesaikan multi-criteria decision making, ada
beberapa prinsip yang harus dipahami,yakni :
1. Decomposition
Adalah membagi problema yang utuh menjadi unsur-unsur dalam bentuk
hirarki proses pengambilan keputusan, dimana setiap unsur tersebut saling
berhubungan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan dilakukan
terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut,
sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan yang hendak
dipecahkan.Struktur hirarki keputusan tersebut dapat dikategorikan sebagai
complete dan incomplete.

Suatu hirarki (tingkatan) keputusan disebut complete jika semua
elemen pada suatu tingkat memiliki hubungan / terhubung terhadap semua
elemen yang ada pada tingkat berikutnya, sementara hirarki keputusan
incomplete, terdapat satu atau lebih elemen yang tidak memiliki hubungan

dengan elemen di tingkat berikutnya.


Atau dapat diilustrasikan dalam gambar berikut :
PILIHAN
PRIORITAS

KRITERIA 1

METODE 1

KRITERIA 2

METODE 2

METODE 3

KRITERIA 3

METODE 4

METODE 5


Gambar 2.1.Complete hierarchy

Universitas Sumatera Utara

2. Comparative judgment
Comparative Judgment dilakukan dengan membuat penilaian tentang

kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya
dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena
akan berpengaruh terhadap urutaan prioritas dari elemen-elemenya. Hasil dari
penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks perbandingan
berpasangan yang memuat tingkat preferensi beberapa alternatif untuk tiap
kriteria.
Menurut Saaty, untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala
terbaik untuk mengekspresikan pendapat. Skala 1 yang menunjukkan tingkat
yang paling rendah (equal importance) sampai dengan skala 9 yang
menunjukkan tingkatan yang paling tinggi (erxtreme importance).
Pengisian nilai tabel perbandingan berpasangan dilakukan berdasarkan
kebijakan pembuat keputusan dengan melihat tingkat kepentingan antar satu
elemen dengan elemen yang lainnya. Proses perbandingan berpasangan,

dimulai dari perbandingan kriteria misalnya A1, A2 dan A3. Maka susunan
elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada tabel di
bawah ini:
Tabel 2.1 Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan

A1
A1
A2
A3

1
� ⁄

� ⁄


A2

A3


� ⁄


� ⁄

� ⁄


1

� ⁄


1

Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen digunakan skala
bilangan dari 1 sampai 9 yang dapat dilihat pada Tabel 2.2.
1. Apabila suatu elemen dibandingkan dengan dirinya sendiri maka diberi
nilai 1.
2. Jika elemen i dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu,

maka elemen j dibandingkan dengan elemen i merupakan kebalikannya.

Universitas Sumatera Utara

3. Pengujian konsistensi dilakukan terhadap perbandingan antar elemen yang
didapatkan pada tiap tingkat hirarki.
4. Konsistensi perbandingan ditinjau dari matriks perbandingan dan
keseluruhan hirarki untuk memastikan bahwa urutan prioritas yang
dihasilkan didapatkan dari suatu rangkaian perbandingan yang masih
berada dalam batas-batas preferensi yang logis.
5. Setelah melakukan perhitungan bobot elemen, langkah selanjutnya adalah
melakukan pengujian konsistensi matriks.
Untuk melakukan perhitungan ini diperlukan bantuan tabel Random Index (RI)
yang nilainya untuk setiap ordo matriks dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.2Random Index
Urutan
Matriks
(RI)

1


2

3

4

5

6

7

8

9

10

0.00


0.01

0.58

0.90

1.12

1.24

1.32

1.41

1.45

1.49

3. Synthesis of Priority (Penentuan Prioritas)

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan
(Pairwise Comparisons).Nilai-nilai perbandingan relatif dari seluruh alternatif
kriteria bisa disesuaikan dengan judgement yang telah ditentukan untuk
menghasilkan bobot dan prioritas.Bobot atau prioritas dihitung dengan
manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematika.

4. Logical Consistency (Konsistensi Logis)
Konsistensi memiliki dua makna, pertama, objek-objek yang serupa bisa
dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi.Kedua, menyangkut
tingkat hubungan antar objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Penggunaan Metode AHP

Terdapat beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode
AHP, antara lain (Suryadi & Ramdhani 1998):

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
Tahap ini ialah untuk menentukan masalah yang akan dipecahkan secara jelas,
detail dan mudah dipahami. Dari masalah yang ada, selanjutnya dicoba untuk
menentukan solusi untuk masalah tersebut yang mungkin saja solusi dari
masalah tersebut berjumlah lebih dari satu.Solusi tersebut nantinya kita
kembangkan lebih lanjut dalam tahap berikutnya.

2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum dilanjutkan
dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif
pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Setelah menyusun tujuan utama
sebagai level teratas akan disusun level hirarki yang berada di bawahnya yaitu
kriteria-kriteria yang cocok untuk mempertimbangkan atau menilai alternatif
yang kita berikan dan menentukan alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai
intensitas yang berbeda-beda. Hirarki dilanjutkan dengan subkriteria (jika
mungkin diperlukan).

3. Membuat

matriks

perbandingan

berpasangan

yang

menggambarkankontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap
masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan
dilakukan berdasarkan penilaian dari pembuat keputusan dengan menilai
tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.
4. Menghitung nilai lamda max dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten
maka pengambilan data diulangi.
5. Mengulangi langkah 3, 4 dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.
6. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan.
Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk
mengurutkan penilaian dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada
tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan.
7. Memeriksa konsistensi hirarki.

Universitas Sumatera Utara

Yang diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan melihat index
konsistensi.Konsistensi yang diharapkan adalah yang mendekati sempurna
agar menghasilkan keputusan yang mendekati valid. Walaupun sulit untuk
mencapai yang sempurna, rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau sama
dengan 10 %.Jika nilai lebih dari 10% (persen) atau 0,1 maka penilaian data
harus diperbaiki.

2.4 Penyusunan Prioritas

Penentuan susunan prioritas elemen dilakukan dengan menyusun perbandingan
berpasangan yaitu membandingkan dalam bentuk berpasangan seluruh elemen untuk
setiap sub hirarki yang kemudian perbandingan tersebut ditransformasikan ke dalam
bentuk matriks.

Contoh, terdapat n objek yang dinotasikan dengan (A1, A2,...,An) yang akan
dinilai berdasarkan pada nilai tingkat kepentingannya antara lain A1 dan Aj
dipresentasikan dalam matriks perbandingan berpasangan seperti berikut :

Tabel 2.3 Matriks Perbandingan Berpasangan
A1

A2

...

An

A1

a 11

a 12

...

a 1n

A2

a 21

a 22

a 2n

.
.
.

.
.

.
.
.

.

.
.

...

...

...

An

...

.

.

a mn

Membuat matriks perbandingan berpasangan memerlukan besaran-besaran
yang mampu mencerminkan perbedaan

antara faktor satu

dengan

faktor

Universitas Sumatera Utara

lainnya.Thomas Lorie Saaty (1987), Untuk menilai perbandingan tingkat
kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya digunakan skala 1 sampai 9 yang
dimana bobot 1 sampai 9 tersebut diperoleh seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 2.4 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan
Keterangan

Intensitas Kepentingan
1

Kedua elemen sama pentingnya.

3

Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen
yang lainnya.

5

Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang
lainnya

7

Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen
yang lainnya.

9

Satu elemen mutlak penting daripada elemen yang
lainnya.

2,4,6,8

Nilai-nilai antara
berdekatan.

dua

nilai

pertimbangan

yang

Jika aktivitas i mendapat satu angka dibandingkan dengan
aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya
dibandingkan dengan i.

Kebalikan

Model AHP didasarkan pada matriks perbandingan berpasangan, dimana
elemen-elemen pada matriks tersebut merupakan “penilaian” dari pengambil
keputusan.

Seorang

pengambil

keputusanakan

memberikan

penilaian,

mempersepsikan, ataupun memperkirakan kemungkinan dari sesuatu hal/peristiwa
yang dihadapi. Matriks tersebut terdapat pada setiap tingkatan hirarkidari suatu
struktur model AHP yang membagi habis suatu persoalan.

Berikut ini contoh suatu matriks perbandingan berpasangan pada suatu
tingkatan hirarki:

=

[

/
/
/

/

/
/

]

Universitas Sumatera Utara

Baris 1 Kolom 2: jika A dibandingkan dengan B, maka B lebih
penting/disukai/dimungkinkan daripada A yaitu sebesar 7, artinya : B “lebih mutlak
penting” daripada A, dan seterusnya. Angka 7 bukan berarti bahwa Btujuhkali lebih
besar dari A, tetapi B “lebih mutlak penting” dibandingkan A.

2.5 Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Sebelum kita membahas tentang nilai eigen dan vector eigen, terlebih dahulu kita
bahas mengenai matriks, operasi matriks dan komponen-komponennya.

1. Matriks
Matriks adalah suatu kumpulan angka – angka (elemen-elemen) yang disusun menurut
baris dan kolom sehinggu berbentuk persegi panjang, yang dimana panjang dan
lebarnya ditunjukkan oleh banyaknya kolom-kolom dan baris-baris.
Sekumpulan himpunan objek (bilangan riil atau kompleks,variabel–variabel)
yang disusun secara persegi panjang (yang terdiri dari baris dankolom) yang biasanya
dibatasi dengan kurung siku atau biasa. Jika sebuah matriks memiliki m baris dan n
×

kolom maka matriks tersebut berukuran (ordo)

= . Dan skalar –skalarnya berada dibaris ke-i dan n

sangkar (square matrix) jika
kolom ke-j yang disebut

=

matriks entri.

















[�









dan matriks dikatakan bujur



















= (� )
]

Universitas Sumatera Utara

2. Perkalian Matriks
Perkalian matriks dilakukandengan cara : elemen-elemen tiap baris dikalikan dengan
tiap kolom, lalu dijumlahkan pada baris yang sama


=∑
=



Contoh :
[

]∙[

]=[




+ ∙
+ ∙

∙ +
∙ +


]=[


]

3. Vektor dari n dimensi
Suatu vektor dengan n dimensi merupakan suatu susunan elemen – elemenyang
teratur berupa angka–angka sebanyak n buah, yang disusun baik menurut baris, dari
kirike kanan (disebut vektor baris atau row vector dengan ordo

× ) maupun

menurutkolom, dari atas ke bawah (disebut vektor kolom atau coloumn vector dengan
ordo

×

). Himpunan semua vektor dengan n komponen dengan entri riil

dinotasikan dengan ℛ

Untuk vektor ⃗ dirumuskan sebagai berikut:

�∈ �

⃗ ∈�


⃗ =[ ]∈�


4. Eigen value dan Eigen vector
Definisi : Jika A adalah matriks n x n maka vektor tak nol x di dalam ℛ dinamakan

dinamakan eigen vector dari A jika Ax kelipatan skalar x, yakni :
=�

Universitas Sumatera Utara

Skalar � dinamakan eigen value dari A dan x dikatakan eigenvector yang

bersesuaian dengan �. Untuk mencari eigen value dari matriks A yang berukuran
maka dapat ditulis pada persamaan berikut :

=�

atau secara ekivalen
�� −

=

Agar � menjadi eigen value, maka harus ada pemecahan tak nol dari

persamaan ini. Akan tetapi, persamaan diatas akan mempunyai pemecahan tak nol jika
dan hanya jika :
�� −

=

Ini dinamakan persamaan karakteristik A, skalar yang memenuhi persamaan
ini adalah eigen value dari A.
Bila diketahui bahwa nilai perbandingan elemen Ai terhadap elemen Aj adalah
� , maka secara teoritis matriks tersebut berciri positif berkebalikan, yakni � =
⁄� . Bobot yang dicari dinyatakan dalam vektor

=

,

,

,…

. Nilai

menyatakan bobot kriteria An terhadap keseluruhan set kriteria pada sub sistem

tersebut.
Jika � mewakili derajat kepentingan i terhadap faktor j dan �

manyatakan

kepentingan dari faktor j terhadap faktor k, maka agar keputusan menjadi konsisten,
kepentingan i terhadap faktor k harus sama dengan � � atau jika � �
� untuk semua i,j,k maka matriks tersebut konsisten.

=

Untuk suatu matriks konsisten dengan faktor w, maka elemen � dapat ditulis

menjadi :� =





;

Jadi matriks konsisten adalah:

∀ , = , , ,…,

� .�

=







.� =

(1)





= � (2)

Seperti yang diuraikan diatas, maka untuk matriks perbandingan berpasangan
diuraikan seperti berikut ini:

Universitas Sumatera Utara

� =



=�



=

⁄�



;

(3)

Dari persamaan tersebut di atas dapat dilihat bahwa :
� =



=



∀ , = , , , … , (4)

Dengan demikian untuk matriks perbandingan berpasangan yang konsisten
menjadi:




=

=

� .

� .

=

.

= ;



;

∀ , = , , ,…,

(5)

∀ , = , , , … , (6)

Persamaan di atas ekivalen dengan bentuk persamaan matriks di bawah ini:
.

= .

(7)

Dalam teori matriks, formulasi ini diekspresikan bahwa w adalah eigenvector
dari matriks A dengan eigen value n. Perlu diketahui bahwa n merupakan dimensi
matriks itu sendiri. Dalam bentuk persamaan matriks dapat ditulis sebagai berikut:

=










[�















].[

]=

[

]

(8)

Pada prakteknya, tidak dapat dijamin bahwa :


� =�

(9)

Salah satu faktor penyebabnya yaitu karena unsur manusia (decision maker )
tidak selalu dapat konsisten mutlak (absolte consistent) dalam mengekpresikan
preferensinya terhadap elemen-elemen yang dibandingkan. Dengan kata lain,
judgment yang diberikan tidak untuk setiap elemen persoalan pada suatu level
hierarchy dapat saja inconsistent.

Jika :
1) Jika λ1, λ2,...,λn adalah bilangan-bilangan yang memenuhi persamaan :
=�

(10)

Universitas Sumatera Utara

dengan eigen value dari matriks A dan jika � = ;
∑� =

(11)

∀ , = , , , … , , maka ditulis

Misalkan kalau suatu matriks perbandingan berpasangan bersifat ataupun
memenuhi kaidah konsistensi seperti pada persamaan (2), maka perkalian elemen
matriks sama dengan 1.
=[

]

Eigen value dari matriks A,

� �

=



−� =
|

− ��

− ��| =

b

(12)

=

(13)

Kalau diuraikan lebih jauh untuk persamaan (13), hasilnya menjadi :
|

−�

−�

|=

(14)

Dari persamaan (14) kalau diuraikan untuk mencari harga eigen value
maximum (λ-max) yaitu :

−�



− �+� −
� �−

� − �=
= � =

=

=

;� =

Dengan demikian matriks pada persamaan (12) merupakan matriks yang
konsisten, dimana nilai λ – max sama dengan harga dimensi matriksnya.
Jadi untuk n > 2, maka semua harga eigen value-nya sama dengan nol dan
hanya ada satu eigen value yang sama dengan n (konstan dalam kondisi matriks
konsisten.

Universitas Sumatera Utara

2) Jika ada perubahan kecil dari elemen matriks maka a ijeigen value-nya akan berubah
menjadi semakin kecil pula.
Dengan menggabungkan kedua sifat matriks (aljabar linier). Jika:
a. Elemen diagonal matriks A
� =

∀ , = , , ,…,

b. Dan untuk matriks A yang konsisten, maka variasi kecil dari � ; ∀ , =
, , , … , akan membuat harga eigen value yang lain mendekati nol.

2.6 Uji Konsistensi Indeks dan Rasio

Dalam teori matriks dapat diketahui kesalahan kecil pada koefisien akan
menyebabkan penyimpangan kecil pada eigen value. Dengan mengkombinasikan apa
yang telah diuraikan sebelumnya, jika diagonal utama dari matriks A bernilai satu dan
jika A konsisten maka penyimpangan kecil dari � akan tetap menunjukkan eigen

value terbesar � maks, nilainya akan mendekati n dan eigen value sisanya akan

mendekati nol.

Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi dengan
persamaan:

Dimana:

n

Apabila



�=

��� � −


(15)

= Rasio penyimpangan (deviasi) konsistensi (consistency index)
� �

= nilai eigenmaksimum
= ukuran matriks

� bernilai nol, berarti matriks konsisten, batas ketidakkonsistensi

(inconsistency) yang ditetapkan Saaty diukur dengan menggunakan Rasio Konsistensi

(CR), yakni perbandingan indeks konsistensi dengan nilai random indeks (RI) yang

Universitas Sumatera Utara

diperlihatkan seperti tabel 2.3. Nilai ini bergantung pada ordo matriks n. Dengan
demikian, Rasio Konsistensi dapat dirumuskan :
�=

��

��

(16)

Nilai-nilai pada Random Index (RI) dapat dilihat pada tabel 2.3.Bila matriks bernilai
CR lebih kecil dari 0,100, ketidakkonsistenan pendapat bisa diterima jika tidak maka
penilaian perlu di ulang.

2.7 Sampel dan Komponen-komponennya

Dalam teknik sampling, ada 3 elemen penting yang menjadi bagian dari teknik
sampling itu sendiri, yakni :
1. Populasi
Adalah sekelompok orang, kejadian, atau benda, yang menjadi objek
penelitian.Misalnya,jika yang diteliti adalah dampak penggunaan salah satu
alat olahraga, maka populasinya adalah keseluruhan konsumen pengguna alat
olahraga tersebut.Jika yang ingin diteliti adalah motivasi siswa untuk
mengikuti pelajaran tertentu di sekolah “X” maka populasinya adalah seluruh
siswa di sekolah “X”.Atau dapat juga dikatakan, keseluruhan elemen atau
unsur yang menjadi objek penelitian, yang memiliki sifat-sifat tertentu yang
menjadi perhatian dalam penelitian yang akan dilakukan.
2. Sampel
Adalah sebagian dari populasi yang dapat mewakili populasi itu sendiri, atau
dapat juga dikatakan merupakan penduga atas populasi yang sedang
diamati.Artinya sampel tidak akandapat didefenisikan tanpa adanya populasi.
3. Elemen/unsur
Adalah setiap satuan dari populasi.Jika dalam suatu populasi tertentu terdapat
1000 konsumen pengguna alat olahraga, maka setiap konsumen tersebut
adalah elemen atau unsur dalam penelitian tersebut.Artinya dalam populasi
tersebut terdapat 1000 elemen penelitian. Jika populasinya adalah siswa suatu
sekolah “X”, dan terdapat 300 siswa di sekolah tersebut, maka dalam populasi
tersebut terdapat 300 elemen penelitian.

Universitas Sumatera Utara

Dalam sebuah penelitian, untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan akurat
sesuai harapan peneliti, maka seharusnya dilakukan penelitian terhadap seluruh
elemen dalam populasi yang diteliti tersebut, atau yang dinamakan “sensus”.Namun,
sensus tidak selalu menjadi hal yang mudah untuk dilakukan mengingat hal-hal
berikut :
1. Populasi yang sedemikian besar sehingga dalam prakteknya tidak
dimungkinkan untuk meneliti setiap elemen dalam populasi tersebut
2. Keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia dalam
melakukan penelitian untuk setiap unsur dalam poopulasi.
3. Kesalahan (human error) dalam melakukan sensus karena besarnya
populasi dan banyaknya elemen yang harus diteliti, yang mungkin
disebabkan karena kelelahan fidik maupun mental, justru dapat
menyebabkan bias terhadap hasil penelitian yang dilakukan.
4. Untuk suatu populasi yang homogen, penelitian terhadap seluruh elemen
dalam populasi akanmenjadi tidak masuk akal, karena untuk suatu populasi
yang homogen, akan tetap menghasilkan hasil penelitian yang sama ketika
dilakukan penelitian pada sebagian elemen populasi maupun terhadap
seluruh elemen populasi.

Oleh karena hal-hal di atas, seringkali sensus menjadi sesuatu hal yang
dihindari dan tidak perlu untuk dilakukan untuk dalam sebuah penelitian. Namun, agar
hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam
artian mewakili karakteristik populasi, makaada cara-dara penarikan sampel yang
harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel ini disebut dengan teknik
sampling.
 Syarat sampel yang baik
Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak
mungkin karakteristik populasi.Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid,
yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur.Misalnya jika yang ingin diukur
adalah siswa di sekolah “X”, sedangkan yang dijadikan sampel adalah hanya siswa
kelas 1 saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mewakili siswa dari kelas
lainnya yang juga merupakan bagian dari populasi.

Universitas Sumatera Utara

Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.
1. Akurasi atau ketepatan
yaitu tingkat kekeliruan (bias)dalam sampel. Dengan kata lain makin
sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel
tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan adalah populasi.
2. Presisi
Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi.
Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita

dengan

karakteristik populasi.
Contoh : Dari 300 buruh sebuah pabrik, diambil sampel 50 buruh. Setelah
diukur ternyata setiap orang menghasilkan 50 unit produk “X” perhari,
namun berdasarkan laporan harian, pegawai bisa menghasilkan sampai
rata-rata 60 unit produk “X” perhari. Artinya antara laporan harian yang
dihitung berdasarkan populasi (sensus) dengan hasil penelitian yang
dihasilkan dari sampel (survey), terdapat perbedaan 10 unit.Makin kecil
tingkat perbedaan di antara rata-rata populasi dengan rata-rata sampel,
maka makin tinggi tingkat presisi sampel tersebut.
Bias yang terjadi dalam setiap hasil penelitian dengan sampel dikenal dengan
nama “sampling error ”. Presisi diukur oleh simpangan baku (standard error ). Makin
kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (dilambangkan

dengan s) dengan simpangan baku dari populasi (dilambangkan dengan ) makin
tinggi pula tingkat presisinya.
Untuk meningkatkan tingkat presisi ini, cara yang sering dilakukan adalah dengan
menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah
sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ). Seperti contoh di atas, mungkin saja
perbedaan rata-rata di antara populasi dengan sampel bisa lebih sedikit, jika sampel
ditambah misalkan dari 50 menjadi 100.

Universitas Sumatera Utara

Di bawah ini digambarkan hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat kesalahan
kesalahan

seperti yang diuarakan oleh Kerlinger

kecil
Kecil

besarnya sampel

besar

Gambar.2 Hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat kesalahan
 Ukuran sampel
Dalam penelitian kuantitatif, ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil
menjadi persoalan yang penting karena hasil penelitian akan berdasar pada data dan
angka, sementara pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif, ukuran
sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan adalah kekayaan
informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya
akan lebih bermanfaat.
Dalam hal penentuan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi
beberapa faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu:
1. derajat keseragaman, semakin tidak seragam sifat atau karakter setiap
elemen populasi (heterogen), makin banyak sampel yang harus diambil.
2. rencana analisis, Jika rencana analisis yang dibuat mendetail atau rinci
maka jumlah sampelnya juga harus banyak.
3. biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia . (Singarimbun dan Effendy, 1989).
Yang sering menjadi pertanyaan adalah : seberapa besar sampel yang harus
diambil jika diketahui suatu populasi yang menjadi penelitian. Misalnya, jumlah siswa
yang dijadikan populasi penelitian ada 500 siswa.Pertanyaannya adalah, berapa
banyak siswa yang harus dijadikan sebagai sampel agar hasilnya mewakili populasi?
30?, 50?, 100?,atau 250?, jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika ukuran
populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika ukuran
populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran populasinya
30, maka sampelnya harus 100%.

Universitas Sumatera Utara

Ada pula yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari
populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian
perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15
elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).
Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran (1992) memberikan pedoman penentuan
jumlah sampel sebagai berikut :
1. Sebaiknya ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen
2. Jika

sampel

dipecah

lagi

ke

dalam

subsampel

(laki/perempuan,

SD/SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel harus 30
3. Pada penelitian multivariat (termasuk analisis regresi multivariat) ukuran
sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali) dari jumlah variabel yang
akan dianalisa.
4. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat,
ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.

Krejcie dan Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) membuat daftar yang
bisa dipakai untuk menentukan jumlah sampel sebagai berikut (Lihat Tabel)
Populasi
(N)
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95

Sampel
(n)
10
14
19
24
28
32
36
40
44
48
52
56
59
63
66
70
73
76

Populasi
(N)
220
230
240
250
260
270
280
290
300
320
340
360
380
400
420
440
460
480

Sampel
(n)
140
144
148
152
155
159
162
165
169
175
181
186
191
196
201
205
210
214

Populasi
(N)
1200
1300
1400
1500
1600
1700
1800
1900
2000
2200
2400
2600
2800
3000
3500
4000
4500
5000

Sampel
(n)
291
297
302
306
310
313
317
320
322
327
331
335
338
341
346
351
354
357

Universitas Sumatera Utara

2.8 Teknik sampling

Secara umum, ada dua jenis teknik sampling yaitu, sampel acak atau random
sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom
samping/nonprobability sampling.

Yang dimaksud dengan random sampling/probability samplingadalah cara
pengambilan sampel yang dimana setiap elemen dalam populasi memiliki kesempatan
yang sama untuk menjadi sampel. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang
akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai
kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel.
Yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling,
setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan
sampel. Lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan
rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya
kemungkinannya 0 (nol).
Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang
berbeda.Jika peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk
mengestimasikan populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka
seharusnya sampel representatif dan diambil secara acak.Namun jika peneliti tidak
mempunyai kemauan melakukan generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa
diambil secara tidak acak.Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak
mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap
elemen populasi.
Dari kedua teknik sampling tersebut di

atas, setiap jenis teknik

samplingtersebut dapat dijabarkan kembali menjadi beberapa teknik samplingyang
lebih spesifik. Pada sampel acak (random sampling)dapat dibagi atassimple random
sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan
area sampling dan pada nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain
convenience sampling, purposive sampling, dan snowball sampling .

Universitas Sumatera Utara

2.9 Probability/Random Sampling

Syarat pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak
adalah memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan
nama“sampling frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar
yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen
populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tempat, atau juga
benda.
Misalnya, Jika populasi penelitian adalah siswa sekolah “X”, maka peneliti
harus bisa memiliki daftar semua siswa yang ada di sekolah “X” tersebut
selengkapnya. Nama, NIS, jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang
berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui
jumlah populasinya (N).
Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa
dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa
dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka
Random, kalkulator, atau

undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan

melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah
ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu sendiri.
Berikut

dijabarkan

teknik

sampling

yang

masukdalam

kategori

probability/random sampling :

1. Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung
deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada
setiap unsur atau elemen populasi tidak merupakan hal yang penting bagi
rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada
yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaanperbedaan lainnya.Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan
perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat

Universitas Sumatera Utara

mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian setiap unsur
populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi
sampel.
Prosedur penggunaan teknik ini adalah:
1. Susun “sampling frame” (kerangka sampel),
2. Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil,
3. Tentukan alat pemilihan sampel, lalu
4. Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi.

2. Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Terstratifikasi
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut
mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka
peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti
ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan.Dia
menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap
kebijakan perusahaan tadi.Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka
sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah,
dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan,
maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan tersebut, yaitu tingkat
manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari setiap tingkat
tersebut dipilih sampel secara acak.

Prosedur penggunaan teknik ini adalah:
1. Siapkan “sampling frame” (kerangka sampel),
2. Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki,
3. Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, lalu
4. Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.

Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap tingkatan, peneliti dapat
menentukan secara “proposional”, maupun secara “tidak proposional”.
Yang

dimaksud

setiaptingkatan

dengan

proposional

adalah

jumlah

sampel

dalam

sebanding dengan jumlah unsur populasi dalam tingkatan

Universitas Sumatera Utara

tersebut. Misalnya, untuk tingkatan manajer tingkat atas (I) terdapat 15
manajer, tingkat menengah ada 45 manajer (II), dan manajer tingkat bawah
(III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160. Kalau
jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100 manajer, maka
untuktingkatan I diambil (15:160)x100 = 9 manajer, tingkatan II = 28 manajer,
dan tingkatan 3 = 63 manajer.
Jumlah dalam setiaptingkatan tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah
unsur atau elemen di salah satu atau beberapa tingkatan sangat sedikit.
Misalnya saja, kalau dalam tingkatan manajer kelas atas (I) hanya ada 4
manajer, maka peneliti bisa mengambil semua manajer dalam tingkatan
tersebut , dan untuk manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan
manajer tingat bawah (III), tetap 63 orang.
3. Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel
berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak
terstratifikasi, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik
yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua),
maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang
karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi
terdapat 100 departemen.Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai
dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat
pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnya, dan
perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat
penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan
perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk
mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen
saja.Prosedur :
1. Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas,
elemennya ada 100 departemen.
2. Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
3. Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
4. Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample

Universitas Sumatera Utara

4. Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki
alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat
digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi
secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang
“keberapa”.Misal, setiap unsur populasi yang ke-tiga, yang bisa dijadikan
sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel
tergantung pada

ukuran populasi dan ukuran sampel.Contoh, dalam satu

populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah
dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya
adalah 25. Prosedurnya :
1. Susun sampling frame
2. Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil
3. Tentukan K (kelas interval)
4. Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut
secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.
5. Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang
terpilih.
6. Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya

5. Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi
penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing
manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat
kota Medan atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan
area sampling sangat tepat. Prosedurnya :
1. Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Medan).
2. Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel, kecamatan atau
kelurahan?
3. Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
4. Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau
random.

Universitas Sumatera Utara

5. Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil
datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.

2.10 Nonprobability/Nonrandom Sampling

Selanjutnya, teknik pengambilan sampel yang dimana sampelnya tidak diambil secra
acak, disebut nonprobability random sampling. Yang dimana artinya tidak semua
unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi
sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena
kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.

1. Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan
kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain
kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel
karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang
tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah
accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample (man-

on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk
penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang
sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang
menggunakan jenis sampel ini, hasilnya ternyata kurang obyektif.

2. Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan
tertentu.Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti
menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi
yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan
nama judgement dan quota sampling.



Judgment Sampling

Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang
paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk
memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan

Universitas Sumatera Utara

oleh suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang
terbaik

untuk

bisa

memberikan

informasi.

Jadi,

judment

samplingumumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena

mereka mempunyai “information rich”.
Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya
yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan
bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan
dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu
dengan baik. (Cooper dan Emory, 1992).


Quota Sampling

Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara
proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan
saja.
Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60% dan perempuan
40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari
kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai lakilaki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang.Sekali
lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara
acak, melainkan secara kebetulan saja.
3. Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi
penelitiannya.Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan
penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih
banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan
orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti
ingin mengetahui tentang penggunaan bahan-bahan berbahaya untuk
makanan, peneliti cukup mencari satu orang peracik bahan tersebut,
kemudian melakukan wawancara.Setelah selesai, peneliti tadi minta
kepada orang tersebut untuk bisa mewawancarai orang lainnya.Setelah
jumlah respenden yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti
bisa mengentikan pencarian responden lainnya.

Universitas Sumatera Utara