Penentuan Prioritas Teknik Sampling Menggunakan Analytical Hierarchy Process (Ahp)

(1)

KUESIONER PENELITIAN

PREFERENSI KOORDINATOR STATISTIK KECAMATAN (KSK) BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN ASAHAN TENTANG PENGGUNAAN TEKNIK SAMPLING

IDENTITAS RESPONDEN: NAMA :

UMUR : ALAMAT :

Petunjuk Pengisian:

1. Berilah angka dari 1 s/d 9 atau ⁄ s/d 1 pada kolom yang sesuai dengan pendapat anda atas perbandingan dua kriteria yang dibandingkan pada tabel.

2. Pada kolom , berilah angka kebalikan dari angka yang terisi di kolom di atas, misalnya bila pada kolom = maka pada kolom = ⁄ , demikian sebaliknya.

3. Keterangan:

1. artinya kolom ke baris ke Defenisi Kode angka yang Anda berikan :

1: kedua kriteria sama penting (equal importance)

3: kriteria (A) sedikit lebih penting (moderate importance) dibanding dengan (B) 5: kriteria (A) lebih penting (strong importance) dibanding dengan (B)

7: kriteria (A) sangat lebih penting (very strong importance) dibanding dengan (B) 9: kriteria (A) mutlak lebih penting (extreme importance) dibanding dengan (B) Dan jika ragu-ragu antara 2 skala maka ambil nilai tengahnya, misalkan anda ragu-ragu


(2)

PROBABILITY SAMPLING

MATRIKS PERBANDINGAN BERPASANGAN UNTUK SEMUA FAKTOR :

TINGKAT KESULITAN

PROSEDUR PELAKSANAAN

EFISIENSI WAKTU/DANA TINGKAT

KESULITAN PROSEDUR PELAKSANAAN EFISIENSI WAKTU/DANA

KETERANGAN : TS1 = TEKNIK SAMPLING 1 = SIMPLE RANDOM SAMPLING TS2 = TEKNIK SAMPLING 2 = STRATIFIED RANDOM SAMPLING TS3 = TEKNIK SAMPLING 3 = CLUSTER SAMPLING

TS4 = TEKNIK SAMPLING 4 = SYSTEMATIC SAMPLING TS5 = TEKNIK SAMPLING 5 = AREA SAMPLING


(3)

MATRIKS PERBANDINGAN BERPASANGAN PROBABILITY TEKNIK SAMPLING UNTUK KRITERIA TINGKAT KESULITAN

TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

MATRIKS PERBANDINGAN BERPASANGAN PROBABILITY TEKNIK SAMPLING UNTUK KRITERIA PROSEDUR PELAKSANAAN

TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 TS2 TS3 TS4 TS5


(4)

MATRIKS PERBANDINGAN BERPASANGAN PROBABILITY TEKNIK SAMPLING UNTUK KRITERIA EFISIENSI WAKTU/DANA

TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 TS2 TS3 TS4 TS5


(5)

NON PROBABILITY SAMPLING

MATRIKS PERBANDINGAN BERPASANGAN UNTUK SEMUA FAKTOR :

TINGKAT KESULITAN

PROSEDUR PELAKSANAAN

EFISIENSI WAKTU/DANA TINGKAT

KESULITAN PROSEDUR PELAKSANAAN EFISIENSI WAKTU/DANA

KETERANGAN : NTS1 = NON PROBABILITY TEKNIK SAMPLING 1 = CONVENIENCE SAMPLING NTS2 = NON PROBABILITY TEKNIK SAMPLING 2 = PURPOSIVE SAMPLING NTS3 = NON PROBABILITY TEKNIK SAMPLING 3 = SNOWBALL SAMPLING


(6)

MATRIKS PERBANDINGAN BERPASANGAN TEKNIK SAMPLING UNTUK KRITERIA TINGKAT KESULITAN

NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 NTS2 NTS3

MATRIKS PERBANDINGAN BERPASANGAN TEKNIK SAMPLING UNTUK KRITERIA PROSEDUR PELAKSANAAN

NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 NTS2 NTS3

MATRIKS PERBANDINGAN BERPASANGAN TEKNIK SAMPLING UNTUK KRITERIA EFISIENSI WAKTU/DANA

NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 NTS2 NTS3


(7)

Daftar Pustaka

Supranto, Johanes. (1998). “Teknik Pengambilan Keputusan”. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

http://id.scribd.com/doc/21251383/TEKNIK-PENGAMBILAN-SAMPEL

(diakses 15 September 2013)

http://www.scribd.com/hery.seputro/d/2908406-Modul-6-Analytic-Hierarchy-Process (diakses 16 juni 2013)

Mulyono, Sri. 1996. Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki

Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.

Jakarta:PT. Pustaka Binaman Pressindo.

Saaty, T.L. 1987. Uncertainty and rank order in the analytic hierarchy process.


(8)

BAB 3 PEMBAHASAN

Pada bab berikut berisi pembahasan dan perhitungan prioritas untuk setiap kriteria yang tersedia dalam penelitian, untuk nantinya akan mengarahkan pada suatu gambaran hirarki tentang teknik sampling dengan menggunakan Analytical Hierarchy

Process (AHP).Data yang digunakan dalam operasi perhitungan AHP dalam

penelitianini diambil dari 23 responden, yakni jumlah Koordinator Statistik Kecamatan (KSK) yang ada di Kabupaten Asahan.

Penelitian ini akan dibagi dalam dua bagian yakni :

1. Perhitungan Preferensi untuk Probability Sampling

Yang dimana dalam probability sampling terdapat 5 teknik sampling yakni simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area sampling.

2. Perhitungan Preferensi untuk Non-Probability Sampling

Dalam non-probability sampling terdapat 3 teknik sampling yakni convenience sampling, purposive sampling, dansnowball sampling.

Kriteria yang akan digunakan sebagai dasar penilaian untuk mendapatkan nilai preferensi dalam penelitian ini adalah: Tingkat Kesulitan (TK), Prosedur Pelaksanaan (PP), dan Efisiensi Waktu/Dana (EWD).


(9)

3.1 Perhitungan Prioritas Kriteria

Hasil analisis preferensi gabungan dari 22 responden (KSK) untuk seluruh kriteria dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kriteria tingkat kesulitan 5 kali lebih penting dari criteria prosedur pelaksanaan, Sembilan kali lebih penting dari efisiensi waktu/dana. Sedangkan kriteria prosedur pelaksanan 3 kali lebih penting dibandingkan efisiensi waktu/dana, atau seperti ditunjukkan dalam matriks perbandingan berpasangan berikut:

Tabel 3.1Matriks Perbandingan Berpasangan Untuk Semua Faktor : Tingkat

Kesulitan

Prosedur Pelaksanaan

Efisiensi Waktu/Dana Tingkat

Kesulitan 1 5 9

Prosedur

Pelaksanaan 1/5 1 3

Efisiensi

Waktu/Dana 1/9 1/3 1

Tabel 3.2Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Untuk Semua Faktor : Tingkat

Kesulitan

Prosedur Pelaksanaan

Efisiensi Waktu/Dana Tingkat

Kesulitan 1.000 5.000 9.000

Prosedur

Pelaksanaan 0.200 1.000 3.000

Efisiensi

Waktu/Dana 0.111 0.333 1.000


(10)

Tiap data di normalkan dengan membaginya dengan jumlah kolom masing-masing, dan diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 3.3Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan: Tingkat Kesulitan Prosedur Pelaksanaan Efisiensi Waktu/Dana Tingkat

Kesulitan 0.763 0.789 0.692

Prosedur

Pelaksanaan 0.153 0.158 0.273

Efisiensi

Waktu/Dana 0.085 0.053 0.077

Dengan menjumlahkan kesamping kanan setiap nilai pada tabel diatas lalu dihitung rata-rata nya, maka akan diperoleh nilai prioritas untuk setiap kriteria, seperti pada tabel berikut :

Tabel 3.4Faktor Evaluasi Semua Kriteria

Tingkat Kesulitan Prosedur Pelaksanaan Efisiensi Waktu/Dana Nilai Prioritas Tingkat

Kesulitan 0.763 0.789 0.692 0.748

Prosedur

Pelaksanaan 0.153 0.158 0.273 0.195

Efisiensi

Waktu/Dana 0.085 0.053 0.077 0.039

Dari tabel diatas terlihat bahwa: kriteria Tingkat Kesulitan (TK) merupakan kriteria dengan prioritas tertinggi dalam hal teknik samplingdengan bobot 0,748 atau 74,8%, berikutnya kriteria Prosedur Pelaksanaan (PP) dengan nilai bobot 0,195 atau 19,5%, dan kriteria Efisiensi Waktu/Dana (EWD) dengan nilai bobot 0,039 atau 3,9%.


(11)

3.2 Matriks Perbandingan Berpasangan Untuk Semua Kriteria (dalam Probability Sampling)

Perbandingan berpasangan untuk kriteria Tingkat Kesulitan pada 5 teknik sampling yaitu perbandingan berpasangan antara Simple Random Sampling (TS1) terhadap stratified random sampling (TS2), cluster sampling (TS3), systematic sampling (TS4) dan area sampling (TS5). Perbandingan berpasangan antara stratified random sampling (TS2), cluster sampling (TS3), systematic sampling (TS4) dan area sampling (TS5), sampai pada perbandingan berpasangan antara systematic sampling (TS4) dan area sampling (TS5), sehingga diperoleh hasil preferensi rata-rata dari 22 KSK dalam matriks perbandingan berpasangan sebagai berikut:

Tabel 3.5 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk kriteria Tingkat Kesulitan TK TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 1 3 5 7 5

TS2 1/3 1 3 5 5

TS3 1/5 1/3 1 5 3

TS4 1/7 1/5 1/5 1 1/3

TS5 1/5 1/5 1/3 3 1

Keterangan : TK = Tingkat Kesulitan

TS 1 = simple random sampling

TS 2 = stratified random sampling

TS 3 = cluster sampling


(12)

Tabel 3.6 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Tingkat Kesulitan

TK TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 1.000 3.000 5.000 7.000 5.000

TS2 0.333 1.000 3.000 5.000 5.000

TS3 0.200 0.333 1.000 5.000 3.000

TS4 0.143 0.200 0.200 1.000 0.333

TS5 0.200 0.200 0.333 3.000 1.000

JUMLAH 1.876 4.733 9.533 21.000 14.333

Tiap data di normalkan dengan membaginya dengan jumlah kolom masing-masing, dan diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 3.7 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan:

TK TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 0.533 0.634 0.524 0.333 0.349

TS2 0.177 0.211 0.315 0.238 0.349

TS3 0.106 0.070 0.105 0.238 0.209

TS4 0.076 0.042 0.021 0.048 0.023

TS5 0.106 0.042 0.035 0.143 0.070

Dengan menjumlahkan kesamping kanan setiap nilai pada tabel diatas lalu dihitung rata-rata nya, maka akan diperoleh nilai prioritas untuk setiap kriteria, seperti pada tabel berikut :


(13)

Tabel 3.8 Matriks Tingkat Kesulitan (TK)

TK TS1 TS2 TS3 TS4 TS5 PRIORITAS

TS1 0.533 0.634 0.524 0.333 0.349 0.475

TS2 0.177 0.211 0.315 0.238 0.349 0.258

TS3 0.106 0.070 0.105 0.238 0.209 0.146

TS4 0.076 0.042 0.021 0.048 0.023 0.042

TS5 0.106 0.042 0.035 0.143 0.070 0.079

Dari tabel diatas: Berdasarkan Tingkat Kesulitan (TK), Simple Random Samplingdengan prioritas tertinggi bobot 0,475 atau 47,5%, berikutnya secara berurutStratified Random Sampling 0,258 atau 25,8%, Cluster Sampling 0,146 atau 14,6%, Area Sampling 0,079 atau 7,9% danSystematic Sampling 0,042 atau 4,2%.

Perbandingan berpasangan untuk kriteria Prosedur Pelaksanaan pada 5 teknik sampling yaitu perbandingan berpasangan antara Simple Random Sampling (TS1) terhadap stratified random sampling (TS2), cluster sampling (TS3), systematic sampling (TS4) dan area sampling (TS5). Perbandingan berpasangan antara stratified random sampling (TS2), cluster sampling (TS3), systematic sampling (TS4) dan area sampling (TS5), sampai pada perbandingan berpasangan antara systematic sampling (TS4) dan area sampling (TS5), sehingga diperoleh hasil preferensi rata-rata dari 22 KSK dalam matriks perbandingan berpasangan sebagai berikut:


(14)

Tabel 3.9 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk kriteria Prosedur Pelaksanaan

PP TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 1 3 3 7 5

TS2 1/3 1 2 5 5

TS3 1/3 1/2 1 5 5

TS4 1/7 1/5 1/5 1 1/3

TS5 1/5 1/5 1/5 3 1

Keterangan : PP = Tingkat Kesulitan

Tabel 3.10 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Prosedur Pelaksanaan

PP TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 1.000 3.000 3.000 7.000 5.000

TS2 0.333 1.000 2.000 5.000 5.000

TS3 0.333 0.500 1.000 5.000 5.000

TS4 0.143 0.200 0.200 1.000 0.333

TS5 0.200 0.200 0.200 3.000 1.000

JUMLAH 2.009 4.900 6.400 21.000 16.333

Tiap data di normalkan dengan membaginya dengan jumlah kolom masing-masing, dan diperoleh data sebagai berikut :


(15)

Tabel 3.11 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan:

PP TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 0.498 0.612 0.469 0.333 0.306

TS2 0.166 0.204 0.031 0.238 0.306

TS3 0.166 0.102 0.156 0.238 0.306

TS4 0.071 0.041 0.031 0.048 0.020

TS5 0.100 0.041 0.031 0.143 0.061

Dengan menjumlahkan kesamping kanan setiap nilai pada tabel diatas lalu dihitung rata-rata nya, maka akan diperoleh nilai prioritas untuk setiap kriteria, seperti pada tabel berikut :

Tabel 3.12 Matriks Prosedur Pelaksanaan (PP)

PP TS1 TS2 TS3 TS4 TS5 PRIORITAS

TS1 0.498 0.612 0.469 0.333 0.306 0.444

TS2 0.166 0.204 0.031 0.238 0.306 0.189

TS3 0.166 0.102 0.156 0.238 0.306 0.194

TS4 0.071 0.041 0.031 0.048 0.020 0.042

TS5 0.100 0.041 0.031 0.143 0.061 0.075

Dari tabel diatas terlihat bahwa Prosedur Pelaksanaan (PP), Simple Random Sampling dengan prioritas tertinggi bobot 0,444 atau 44,4%, berikutnya secara berurutCluster Sampling 0,194 atau 19,4%, Stratified Random Sampling 0,189 atau 18,9 %, Area Sampling 0,075 atau 7,5% dan Systematic Sampling 0,042 atau 4,2%.


(16)

Perbandingan berpasangan untuk kriteria Efisiensi Waktu/Dana pada 5 teknik sampling yaitu perbandingan berpasangan antara Simple Random Sampling (TS1) terhadap stratified random sampling (TS2), cluster sampling (TS3), systematic sampling (TS4) dan area sampling (TS5). Perbandingan berpasangan antara stratified random sampling (TS2), cluster sampling (TS3), systematic sampling (TS4) dan area sampling (TS5), sampai pada perbandingan berpasangan antara systematic sampling (TS4) dan area sampling (TS5), sehingga diperoleh hasil preferensi rata-rata dari 22 KSK dalam matriks perbandingan berpasangan sebagai berikut:

Tabel 3.13 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk kriteria Efisiensi Waktu/Dana

EWD TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 1 3 3 9 7

TS2 1/3 1 2 7 3

TS3 1/3 1/2 1 7 3

TS4 1/9 1/7 1/7 1 1/3

TS5 1/7 1/3 1/3 3 1

Keterangan : EWD = Efisiensi Waktu/Dana

Tabel 3.14 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Efisiensi Waktu/Dana

EWD TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 1.000 3.000 3.000 9.000 7.000

TS2 0.333 1.000 2.000 7.000 3.000

TS3 0.333 0.500 1.000 7.000 3.000

TS4 0.111 0.143 0.143 1.000 0.333

TS5 0.143 0.333 0.333 3.000 1.000


(17)

Tiap data di normalkan dengan membaginya dengan jumlah kolom masing-masing, dan diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 3.15 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan:

EWD TS1 TS2 TS3 TS4 TS5

TS1 0.521 0.603 0.463 0.333 0.488

TS2 0.173 0.201 0.309 0.259 0.209

TS3 0.173 0.100 0.154 0.259 0.209

TS4 0.059 0.029 0.022 0.037 0.023

TS5 0.075 0.067 0.051 0.111 0.070

Dengan menjumlahkan kesamping kanan setiap nilai pada tabel diatas lalu dihitung rata-rata nya, maka akan diperoleh nilai prioritas untuk setiap kriteria, seperti pada tabel berikut :

Tabel 3.16 Matriks Efisiensi Waktu/Dana

PP TS1 TS2 TS3 TS4 TS5 PRIORITAS

TS1 0.521 0.603 0.463 0.333 0.488 0.482

TS2 0.173 0.201 0.309 0.259 0.209 0.230

TS3 0.173 0.100 0.154 0.259 0.209 0.179

TS4 0.059 0.029 0.022 0.037 0.023 0.034

TS5 0.075 0.067 0.051 0.111 0.070 0.075

Dari tabel diatas: Berdasarkan Efisiensi Waktu/Dana (EWD), Simple Random Samplingdengan prioritas tertinggi bobot 0,482 atau 48,2%, berikutnya secara berurutStratified Random Sampling 0,230 atau 23 %, Cluster Sampling 0,179 atau 17,9%,Area Sampling 0,075 atau 7,5% dan Systematic Sampling 0,034 atau 3,4%.


(18)

3.3 Perhitungan Total Prioritas Global

3.3.1 Faktor Evaluasi Total (Dalam Probability Sampling)

Dari seluruh evaluasi yang dilakukan terhadap ke-3 kriteria yakni tingkat kesulitan, prosedur pelaksanaandan efisiensi waktu/biaya, selanjutnya dikalikan dengan vektor prioritas. Maka akan diperoleh tabel hubungan antara kriteria dengan alternatif yakni :

Tabel 3.17 Matriks Hubungan Antara Kriteria dan Alternatif

TK PP EWD

TS1 0.475 0.444 0.482 TS2 0.258 0.189 0.230 TS3 0.146 0.194 0.179 TS4 0.042 0.042 0.034 TS5 0.079 0.075 0.075

3.3.2 Total Rangking

Untuk mencari total rangking untuk masing-masing teknik samplingadalah dengan cara mengalikan faktor evaluasi masing-masing alternatif dengan faktor bobot :

[ . . . . . . . . . . . . . . . ] × [ .. . ] = [ . . . . . ]

Dari matriks di atas didapat total ranking untuk setiap teknik sampling secara probability sampling, yang diurutkan sebagai berikut :

1. Simple Random Sampling = 0.461 2. Stratified Random Sampling = 0.239 3. Cluster Sampling = 0.154 4. Area Sampling = 0.077 5. Systematic Sampling = 0.041


(19)

3.4 Matriks Perbandingan Berpasangan Untuk Semua Kriteria (dalam NonProbability Sampling)

Perbandingan berpasangan untuk kriteria Tingkat Kesulitan pada 3 teknik sampling yaitu perbandingan berpasangan antara Convenience sampling (NTS1) dengan Purposive sampling (NTS2) dan Snowball sampling (NTS3). Perbandingan antara Purposive sampling (NTS2) dan Snowball sampling (NTS3), sehingga diperoleh hasil preferensi rata-rata dari 22 KSK dalam matriks perbandingan berpasangan sebagai berikut:

Tabel 3.18 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk kriteria Tingkat Kesulitan TK NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 1 7 7

NTS2 1/7 1 1/3

NTS3 1/7 3 1

Keterangan : TK = Tingkat Kesulitan

NTS 1 = Convenience sampling

NTS 2 = Purposive sampling

NTS 3 = Snowball sampling

Tabel 3.19Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Tingkat Kesulitan TK NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 1.000 7.000 7.000

NTS2 0.143 1.000 0.333

NTS3 0.143 3.000 1.000


(20)

Tiap data di normalkan dengan membaginya dengan jumlah kolom masing-masing, dan diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 3.20Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan: TK NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 0.778 0.636 0.840

NTS2 0.111 0.090 0.040

NTS3 0.111 0.273 0.120

Dengan menjumlahkan kesamping kanan setiap nilai pada tabel diatas lalu dihitung rata-rata nya, maka akan diperoleh nilai prioritas untuk setiap kriteria, seperti pada tabel berikut :

Tabel 3.21 Matriks Tingkat Kesulitan TK NTS1 NTS2 NTS3 Prioritas

NTS1 0.778 0.636 0.840 0.751

NTS2 0.111 0.090 0.040 0.080

NTS3 0.111 0.273 0.120 0.168

Dari tabel diatas: Berdasarkan Tingkat Kesulitan (TK), Convenience Samplingdengan prioritas tertinggi bobot 0,751 atau 75,1%, berikutnya secara berurutSnowball Sampling 0,168 atau 16,8 % dan Purposive Sampling 0,080 atau 8 %.

Perbandingan berpasangan untuk kriteria Prosedur Pelaksanaan pada 3 teknik sampling yaitu perbandingan berpasangan antara Convenience sampling (NTS1) dengan Purposive sampling (NTS2) dan Snowball sampling (NTS3). Perbandingan antara Purposive sampling (NTS2) dan Snowball sampling (NTS3), sehingga diperoleh hasil preferensi rata-rata dari 22 KSK dalam matriks perbandingan berpasangan sebagai berikut:


(21)

Tabel 3.22 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk kriteria Prosedur Pelaksanaan

PP NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 1 5 7

NTS2 1/5 1 3

NTS3 1/7 1/3 1

Keterangan : PP = Prosedur Pelaksanaan

Tabel 3.23 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Prosedur Pelaksanaan PP NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 1.000 5.000 7.000

NTS2 0.200 1.000 3.000

NTS3 0.143 0.333 1.000

Jumlah 1.343 6.333 11.000

Tiap data di normalkan dengan membaginya dengan jumlah kolom masing-masing, dan diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 3.24 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan: PP NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 0.745 0.789 0.636

NTS2 0.149 0.158 0.273


(22)

Dengan menjumlahkan kesamping kanan setiap nilai pada tabel diatas lalu dihitung rata-rata nya, maka akan diperoleh nilai prioritas untuk setiap kriteria, seperti pada tabel berikut :

Tabel 3.25 Matriks Prosedur Pelaksanaan PP NTS1 NTS2 NTS3 Prioritas

NTS1 0.745 0.789 0.636 0.723

NTS2 0.149 0.158 0.273 0.193

NTS3 0.106 0.053 0.091 0.083

Dari tabel diatas: Berdasarkan Prosedur Pelaksanaan (PP), Convenience Samplingdengan prioritas tertinggi bobot 0,723 atau 72,3%, berikutnya secara berurutPurposive Sampling 0,193 atau 19,3 % dan Snowball Sampling0,083 atau 8,3%.

Perbandingan berpasangan untuk kriteria Efisiensi Waktu/Dana pada 3 teknik sampling yaitu perbandingan berpasangan antara Convenience sampling (NTS1) dengan Purposive sampling (NTS2) dan Snowball sampling (NTS3). Perbandingan antara Purposive sampling (NTS2) dan Snowball sampling (NTS3), sehingga diperoleh hasil preferensi rata-rata dari 22 KSK dalam matriks perbandingan berpasangan sebagai berikut:

Tabel 3.26 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk kriteria Efisiensi Waktu/Dana

EWD NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 1 3 7

NTS2 1/3 1 5

NTS3 1/7 1/5 1


(23)

Tabel 3.27 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Efisiensi Waktu/Dana EWD NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 1.000 3.000 7.000 NTS2 0.333 1.000 5.000 NTS3 0.143 0.200 1.000 Jumlah 1.476 4.200 13.000

Tiap data di normalkan dengan membaginya dengan jumlah kolom masing-masing, dan diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 3.28 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan: PP NTS1 NTS2 NTS3

NTS1 0.677 0.714 0.538

NTS2 0.226 0.238 0.385

NTS3 0.097 0.048 0.077

Dengan menjumlahkan kesamping kanan setiap nilai pada tabel diatas lalu dihitung rata-rata nya, maka akan diperoleh nilai prioritas untuk setiap kriteria, seperti pada tabel berikut :

Tabel 3.29 Matriks Efisiensi Waktu/Dana PP NTS1 NTS2 NTS3 Prioritas

NTS1 0.677 0.714 0.538 0.643

NTS2 0.226 0.238 0.385 0.283


(24)

Dari tabel diatas: Berdasarkan Efisiensi Waktu/Dana (EWD), Convenience Samplingdengan prioritas tertinggi bobot 0,643 atau 64,3%, berikutnya secara berurutPurposive Sampling 0,283 atau 28,3 % dan Snowball Sampling 0,074 atau 7,4%.

3.4.1 Faktor Evaluasi Total (Untuk NonProbability Sampling)

Dari seluruh evaluasi yang dilakukan terhadap ke-3 kriteria yakni tingkat kesulitan, prosedur pelaksanaandan efisiensi waktu/biaya, selanjutnya dikalikan dengan vektor prioritas. Maka akan diperoleh tabel hubungan antara kriteria dengan alternatif yakni :

Tabel 3.30 Matriks Hubungan Antara Kriteria dan Alternatif

TK PP EWD

NTS1 0.751 0.723 0.643 NTS2 0.080 0.193 0.283 NTS3 0.168 0.083 0.074

3.4.2 Total Rangking

Untuk mencari total rangking untuk masing-masing teknik samplingadalah dengan cara mengalikan faktor evaluasi masing-masing alternatif dengan faktor bobot :

[ .. .

. . .

. .

. ] × [

. .

. ] = [

. .

. ]

Dari matriks di atas didapat total ranking untuk setiap teknik sampling secara nonprobability sampling, yang diurutkan sebagai berikut :

1. Convenience Sampling = 0.728 2. Snowball Sampling = 0.145 3. Purposive Sampling = 0.109


(25)

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan perhitungan di atas dapat diketahui nilai prioritas (rangking) untuk tiap-tiap teknik sampling yang merupakan hasil preferensi Koordinator Statistik Kecamatan (KSK) di Kabupaten Asahan, berdasarkan pada kriteria-kriterianya sehingga diperoleh urutan prioritas masing-masing metode sebagai berikut :

Dalam Probability Sampling :

 Untuk Kriteria Tingkat Kesulitan 1. Simple Random Sampling (47,5 %) 2. Stratified Random Sampling (25,8%) 3. Cluster Sampling (14,6%)

4. Area Sampling (7,9%) 5. Systematic Sampling (4,2%)

 Untuk Kriteria Prosedur Pelaksanaan

1. Simple Random Sampling (44,4 %) 2. Cluster Sampling (19,4%)

3. Stratified Random Sampling (18,9%) 4. Area Sampling (7,5%)


(26)

 Untuk Kriteria Efisiensi Waktu/Dana 1. Simple Random Sampling (48,2 %) 2. Stratified Random Sampling (23%) 3. Cluster Sampling (17,9%)

4. Area Sampling (7,5%) 5. Systematic Sampling (3,4%)

Dalam Non Probability Sampling:

 Untuk Kriteria Tingkat Kesulitan 1. Convenience Sampling (75,1%) 2. Snowball Sampling (16,8%) 3. Purposive Sampling (8%)

 Untuk Kriteria Prosedur Pelaksanaan 1. Convenience Sampling (72,3%) 2. Purposive Sampling (19,3%) 3. Snowball Sampling (8,3%)

 Untuk Kriteria Prosedur Pelaksanaan 1. Convenience Sampling (64,3%) 2. Purposive Sampling (28,3%) 3. Snowball Sampling (7,4%)


(27)

4.2 Saran

1. Seiring perkembangan dan pemanfaatan Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam penelitian yang bersifat Multi Criteria Decision Making, perhitungan dengan AHP, dapat menggunakan program computer Expert Choice, karena program ini mampu untuk melakukan perhitungan dengan banyak kriteria maupun data, juga dengan hasil yang akan akurat dan cepat.

2. Untuk dapat memberikan penilaian pada AHP, setiap responden harus dijelaskan terlebih dahulu tentang tata cara dan prosedur penentuan nilai skala Saaty, agar nilai prioritas yang diberikan tidak bias dan tidak obyektif (dengan kata lain, responden harus memiliki pengetahuan tentang AHP).


(28)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 AHP (Analytical Hierarchy Process)

Metode AHP dikembangkan oleh Thomas Lorie Saaty dari Wharston Business School (1993). Prinsip kerjanya adalah dengan menguraikan masalah multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki yang melakukan pengukuran untuk menemukan skala rasio perbandingan berpasangan, baik untuk data diskrit maupun kontinu.

Metode ini dapat digunakan untuk menentukan ranking atau tingkatan

(hierarchy) dari berbagai alternative yang tersedia sehingga dapat mengarahkan

pengambil keputusan untuk memilih alternative terbaik berdasarkan preferensi dan pertimbangannya.

Thomas Lorie Saaty (1993), mendefenisikan :

Hirarki adalah suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif.

Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk tingkatan tertentu sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.


(29)

Keunggulan yang dimiliki oleh metode AHP dalam memecahkan masalah pengambilan keputusan yang kompleks dengan tingkatan kriteria yang lebih banyak dan beragam,adalah :

a. AHP akan mengurutkan setiap alternatif yang tersedia dalam sebuah struktur hirarki yang lengkap, selanjutnya mengarah kepada konsekuesi dari kriteria yang akan dipilih (alternatif terbaik)

b. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan. c. Memperhitungkan output dari setiap alternatif keputusan yang akan

diambil, sehingga dapat member gambaran yang jelas tentang alternatif terbaik yang akan diarahkan pada sebuah keputusan.

Terdapat 4 landasan aksiomatik yang terkandung dalam metode dasar AHP, yaitu:

1. Reciprocal Comparison artinya pengambilan keputusan harus dapat memuat matriks perbandingan berpasangan dan menyatakan preferensinya yang harus memenuhi syarat resiprokal yaitu apabila A lebih disukai daripada B dengan skala x, maka B lebih disukai daripada A dengan skala 1/x.

2. Homogenity artinya Setiap elemenyang dibandingkanharus merupakan dalam

rumpun yang sama untuk dapat menghasilkan preferensi yang sesuai. Kalau aksioma ini tidak dipenuhi maka elemen- elemen yang dibandingkan tersebut tidak homogen dan harus dibentuk cluster (kelompok elemen) yang baru. 3. Independence artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa

kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh objektif keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan dalam AHP adalah searah, maksudnya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu tingkat dipengaruhi atau tergantung oleh elemen-elemen pada tingkat diatasnya.

4. Expectation artinya untuk tujuan pengambil keputusan. Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objectif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.


(30)

2.2 Prinsip Dasar AHP (Analytical Hierarchy Process)

Dalam penggunaan AHP untuk menyelesaikan multi-criteria decision making, ada beberapa prinsip yang harus dipahami,yakni :

1. Decomposition

Adalah membagi problema yang utuh menjadi unsur-unsur dalam bentuk hirarki proses pengambilan keputusan, dimana setiap unsur tersebut saling berhubungan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan yang hendak dipecahkan.Struktur hirarki keputusan tersebut dapat dikategorikan sebagai

complete dan incomplete.

Suatu hirarki (tingkatan) keputusan disebut complete jika semua elemen pada suatu tingkat memiliki hubungan / terhubung terhadap semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya, sementara hirarki keputusan

incomplete, terdapat satu atau lebih elemen yang tidak memiliki hubungan

dengan elemen di tingkat berikutnya.

Atau dapat diilustrasikan dalam gambar berikut :

Gambar 2.1.Complete hierarchy

METODE 1 METODE 2 METODE 3 METODE 4 METODE 5

PILIHAN PRIORITAS


(31)

2. Comparative judgment

Comparative Judgment dilakukan dengan membuat penilaian tentang

kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap urutaan prioritas dari elemen-elemenya. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan yang memuat tingkat preferensi beberapa alternatif untuk tiap kriteria.

Menurut Saaty, untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik untuk mengekspresikan pendapat. Skala 1 yang menunjukkan tingkat yang paling rendah (equal importance) sampai dengan skala 9 yang menunjukkan tingkatan yang paling tinggi (erxtreme importance).

Pengisian nilai tabel perbandingan berpasangan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan melihat tingkat kepentingan antar satu elemen dengan elemen yang lainnya. Proses perbandingan berpasangan, dimulai dari perbandingan kriteria misalnya A1, A2 dan A3. Maka susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1 Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan

A1 A2 A3

A1 1 � ⁄ � ⁄

A2 � ⁄ 1 � ⁄

A3 � ⁄ � ⁄ 1

Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen digunakan skala bilangan dari 1 sampai 9 yang dapat dilihat pada Tabel 2.2.

1. Apabila suatu elemen dibandingkan dengan dirinya sendiri maka diberi nilai 1.

2. Jika elemen i dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j dibandingkan dengan elemen i merupakan kebalikannya.


(32)

3. Pengujian konsistensi dilakukan terhadap perbandingan antar elemen yang didapatkan pada tiap tingkat hirarki.

4. Konsistensi perbandingan ditinjau dari matriks perbandingan dan keseluruhan hirarki untuk memastikan bahwa urutan prioritas yang dihasilkan didapatkan dari suatu rangkaian perbandingan yang masih berada dalam batas-batas preferensi yang logis.

5. Setelah melakukan perhitungan bobot elemen, langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian konsistensi matriks.

Untuk melakukan perhitungan ini diperlukan bantuan tabel Random Index (RI) yang nilainya untuk setiap ordo matriks dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.2Random Index Urutan

Matriks 1 2 3 4 5 6 7 8

9 10

(RI) 0.00 0.01 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49

3. Synthesis of Priority (Penentuan Prioritas)

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (Pairwise Comparisons).Nilai-nilai perbandingan relatif dari seluruh alternatif kriteria bisa disesuaikan dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematika.

4. Logical Consistency (Konsistensi Logis)

Konsistensi memiliki dua makna, pertama, objek-objek yang serupa bisa dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi.Kedua, menyangkut tingkat hubungan antar objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.


(33)

2.3 Penggunaan Metode AHP

Terdapat beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode AHP, antara lain (Suryadi & Ramdhani 1998):

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.

Tahap ini ialah untuk menentukan masalah yang akan dipecahkan secara jelas, detail dan mudah dipahami. Dari masalah yang ada, selanjutnya dicoba untuk menentukan solusi untuk masalah tersebut yang mungkin saja solusi dari masalah tersebut berjumlah lebih dari satu.Solusi tersebut nantinya kita kembangkan lebih lanjut dalam tahap berikutnya.

2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum dilanjutkan dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Setelah menyusun tujuan utama sebagai level teratas akan disusun level hirarki yang berada di bawahnya yaitu kriteria-kriteria yang cocok untuk mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita berikan dan menentukan alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai intensitas yang berbeda-beda. Hirarki dilanjutkan dengan subkriteria (jika mungkin diperlukan).

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkankontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan penilaian dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.

4. Menghitung nilai lamda max dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi.

5. Mengulangi langkah 3, 4 dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.

6. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mengurutkan penilaian dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan.


(34)

Yang diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan melihat index konsistensi.Konsistensi yang diharapkan adalah yang mendekati sempurna agar menghasilkan keputusan yang mendekati valid. Walaupun sulit untuk mencapai yang sempurna, rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 10 %.Jika nilai lebih dari 10% (persen) atau 0,1 maka penilaian data harus diperbaiki.

2.4 Penyusunan Prioritas

Penentuan susunan prioritas elemen dilakukan dengan menyusun perbandingan berpasangan yaitu membandingkan dalam bentuk berpasangan seluruh elemen untuk setiap sub hirarki yang kemudian perbandingan tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk matriks.

Contoh, terdapat n objek yang dinotasikan dengan (A1, A2,...,An) yang akan dinilai berdasarkan pada nilai tingkat kepentingannya antara lain A1 dan Aj dipresentasikan dalam matriks perbandingan berpasangan seperti berikut :

Tabel 2.3 Matriks Perbandingan Berpasangan

A1 A2 . . . An

A1 a11 a12 . . . a1n

A2 a21 a22

. . . a2n . . . . . . . . . . . . .

An . . . . . .

. . .

amn

Membuat matriks perbandingan berpasangan memerlukan besaran-besaran yang mampu mencerminkan perbedaan antara faktor satu dengan faktor


(35)

lainnya.Thomas Lorie Saaty (1987), Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya digunakan skala 1 sampai 9 yang dimana bobot 1 sampai 9 tersebut diperoleh seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 2.4 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan

Intensitas Kepentingan Keterangan

1

Kedua elemen sama pentingnya.

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya.

5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya

7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen yang lainnya.

9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen yang lainnya.

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan.

Kebalikan Jika aktivitas i mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya dibandingkan dengan i.

Model AHP didasarkan pada matriks perbandingan berpasangan, dimana elemen-elemen pada matriks tersebut merupakan “penilaian” dari pengambil keputusan. Seorang pengambil keputusanakan memberikan penilaian, mempersepsikan, ataupun memperkirakan kemungkinan dari sesuatu hal/peristiwa yang dihadapi. Matriks tersebut terdapat pada setiap tingkatan hirarkidari suatu struktur model AHP yang membagi habis suatu persoalan.

Berikut ini contoh suatu matriks perbandingan berpasangan pada suatu tingkatan hirarki: = / / / / /


(36)

Baris 1 Kolom 2: jika A dibandingkan dengan B, maka B lebih penting/disukai/dimungkinkan daripada A yaitu sebesar 7, artinya : B “lebih mutlak penting” daripada A, dan seterusnya. Angka 7 bukan berarti bahwa Btujuhkali lebih besar dari A, tetapi B “lebih mutlak penting” dibandingkan A.

2.5Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Sebelum kita membahas tentang nilai eigen dan vector eigen, terlebih dahulu kita bahas mengenai matriks, operasi matriks dan komponen-komponennya.

1. Matriks

Matriks adalah suatu kumpulan angka – angka (elemen-elemen) yang disusun menurut baris dan kolom sehinggu berbentuk persegi panjang, yang dimana panjang dan lebarnya ditunjukkan oleh banyaknya kolom-kolom dan baris-baris.

Sekumpulan himpunan objek (bilangan riil atau kompleks,variabel–variabel) yang disusun secara persegi panjang (yang terdiri dari baris dankolom) yang biasanya dibatasi dengan kurung siku atau biasa. Jika sebuah matriks memiliki m baris dan n kolom maka matriks tersebut berukuran (ordo) × dan matriks dikatakan bujur sangkar (square matrix) jika = . Dan skalar –skalarnya berada dibaris ke-i dan n kolom ke-j yang disebut matriks entri.

= [

� � … � �

� � … � �

� � … � �

� � … � … �

� � … � … � ]


(37)

2. Perkalian Matriks

Perkalian matriks dilakukandengan cara : elemen-elemen tiap baris dikalikan dengan tiap kolom, lalu dijumlahkan pada baris yang sama

= ∑ �

= ∙ Contoh :

[ ] ∙ [ ] = [ ∙ + ∙∙ + ∙ ∙ + ∙∙ + ∙ ] = [ ]

3. Vektor dari n dimensi

Suatu vektor dengan n dimensi merupakan suatu susunan elemen – elemenyang teratur berupa angka–angka sebanyak n buah, yang disusun baik menurut baris, dari kirike kanan (disebut vektor baris atau row vector dengan ordo × ) maupun menurutkolom, dari atas ke bawah (disebut vektor kolom atau coloumn vector dengan ordo × ). Himpunan semua vektor dengan n komponen dengan entri riil dinotasikan dengan ℛ

Untuk vektor ⃗ dirumuskan sebagai berikut:

� ∈ � ⃗ ∈� ⃗ = [

� � �

] ∈�

4. Eigen value dan Eigen vector

Definisi : Jika A adalah matriks n x n maka vektor tak nol x di dalam ℛ dinamakan dinamakan eigen vector dari A jika Ax kelipatan skalar x, yakni :


(38)

Skalar � dinamakan eigen value dari A dan x dikatakan eigenvector yang bersesuaian dengan �. Untuk mencari eigen value dari matriks A yang berukuran maka dapat ditulis pada persamaan berikut :

= � atau secara ekivalen

�� − =

Agar � menjadi eigen value, maka harus ada pemecahan tak nol dari persamaan ini. Akan tetapi, persamaan diatas akan mempunyai pemecahan tak nol jika dan hanya jika :

�� − =

Ini dinamakan persamaan karakteristik A, skalar yang memenuhi persamaan ini adalah eigen value dari A.

Bila diketahui bahwa nilai perbandingan elemen Ai terhadap elemen Aj adalah � , maka secara teoritis matriks tersebut berciri positif berkebalikan, yakni � =

⁄ . Bobot yang dicari dinyatakan dalam vektor = , , , … . Nilai menyatakan bobot kriteria An terhadap keseluruhan set kriteria pada sub sistem tersebut.

Jika � mewakili derajat kepentingan i terhadap faktor j dan � manyatakan kepentingan dari faktor j terhadap faktor k, maka agar keputusan menjadi konsisten, kepentingan i terhadap faktor k harus sama dengan � � atau jika� � = � untuk semua i,j,k maka matriks tersebut konsisten.

Untuk suatu matriks konsisten dengan faktor w, maka elemen � dapat ditulis menjadi :� = �

� ; ∀ , = , , , … , (1) Jadi matriks konsisten adalah:

� . � =� .� =� = � (2)

Seperti yang diuraikan diatas, maka untuk matriks perbandingan berpasangan diuraikan seperti berikut ini:


(39)

� =� = � �

⁄ =� ; (3) Dari persamaan tersebut di atas dapat dilihat bahwa :

� = � = ∀, = , , , … , (4)

Dengan demikian untuk matriks perbandingan berpasangan yang konsisten menjadi:

∑ = � . . = ; ∀, = , , , … , (5) ∑ = � . = ; ∀, = , , , … , (6) Persamaan di atas ekivalen dengan bentuk persamaan matriks di bawah ini:

. = . (7)

Dalam teori matriks, formulasi ini diekspresikan bahwa w adalah eigenvector dari matriks A dengan eigen value n. Perlu diketahui bahwa n merupakan dimensi matriks itu sendiri. Dalam bentuk persamaan matriks dapat ditulis sebagai berikut:

= [ � � � � … � � � � � � … � �

] . [ ] = [ ] (8) Pada prakteknya, tidak dapat dijamin bahwa :

� =� (9)

Salah satu faktor penyebabnya yaitu karena unsur manusia (decision maker) tidak selalu dapat konsisten mutlak (absolte consistent) dalam mengekpresikan preferensinya terhadap elemen-elemen yang dibandingkan. Dengan kata lain,

judgment yang diberikan tidak untuk setiap elemen persoalan pada suatu level hierarchy dapat saja inconsistent.

Jika :


(40)

dengan eigen value dari matriks A dan jika � = ; ∀, = , , , … , , maka ditulis ∑ � = (11)

Misalkan kalau suatu matriks perbandingan berpasangan bersifat ataupun memenuhi kaidah konsistensi seperti pada persamaan (2), maka perkalian elemen matriks sama dengan 1.

= [ ] � � = b (12)

Eigen value dari matriks A,

− � =

− �� = (13) | − ��| =

Kalau diuraikan lebih jauh untuk persamaan (13), hasilnya menjadi :

| − � − �| = (14)

Dari persamaan (14) kalau diuraikan untuk mencari harga eigen value

maximum (λ-max) yaitu :

− � − = − � + � − =

� − � =

� � − = � = ; � =

Dengan demikian matriks pada persamaan (12) merupakan matriks yang konsisten, dimana nilai λ – max sama dengan harga dimensi matriksnya.

Jadi untuk n > 2, maka semua harga eigen value-nya sama dengan nol dan hanya ada satu eigen value yang sama dengan n (konstan dalam kondisi matriks konsisten.


(41)

2) Jika ada perubahan kecil dari elemen matriks maka aijeigen value-nya akan berubah

menjadi semakin kecil pula.

Dengan menggabungkan kedua sifat matriks (aljabar linier). Jika: a. Elemen diagonal matriks A

� = ∀, = , , , … ,

b. Dan untuk matriks A yang konsisten, maka variasi kecil dari � ; ∀ , = , , , … , akan membuat harga eigen value yang lain mendekati nol.

2.6 Uji Konsistensi Indeks dan Rasio

Dalam teori matriks dapat diketahui kesalahan kecil pada koefisien akan menyebabkan penyimpangan kecil pada eigen value. Dengan mengkombinasikan apa yang telah diuraikan sebelumnya, jika diagonal utama dari matriks A bernilai satu dan jika A konsisten maka penyimpangan kecil dari � akan tetap menunjukkan eigen

value terbesar maks, nilainya akan mendekati n dan eigen value sisanya akan mendekati nol.

Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi dengan persamaan:

� =��� �−

− (15)

Dimana: � = Rasio penyimpangan (deviasi) konsistensi (consistency index) � � � = nilai eigenmaksimum

n = ukuran matriks

Apabila � bernilai nol, berarti matriks konsisten, batas ketidakkonsistensi (inconsistency) yang ditetapkan Saaty diukur dengan menggunakan Rasio Konsistensi (CR), yakni perbandingan indeks konsistensi dengan nilai random indeks (RI) yang


(42)

diperlihatkan seperti tabel 2.3. Nilai ini bergantung pada ordo matriks n. Dengan demikian, Rasio Konsistensi dapat dirumuskan :

� =���� (16)

Nilai-nilai pada Random Index (RI) dapat dilihat pada tabel 2.3.Bila matriks bernilai CR lebih kecil dari 0,100, ketidakkonsistenan pendapat bisa diterima jika tidak maka penilaian perlu di ulang.

2.7Sampel dan Komponen-komponennya

Dalam teknik sampling, ada 3 elemen penting yang menjadi bagian dari teknik sampling itu sendiri, yakni :

1. Populasi

Adalah sekelompok orang, kejadian, atau benda, yang menjadi objek penelitian.Misalnya,jika yang diteliti adalah dampak penggunaan salah satu alat olahraga, maka populasinya adalah keseluruhan konsumen pengguna alat olahraga tersebut.Jika yang ingin diteliti adalah motivasi siswa untuk mengikuti pelajaran tertentu di sekolah “X” maka populasinya adalah seluruh siswa di sekolah “X”.Atau dapat juga dikatakan, keseluruhan elemen atau unsur yang menjadi objek penelitian, yang memiliki sifat-sifat tertentu yang menjadi perhatian dalam penelitian yang akan dilakukan.

2. Sampel

Adalah sebagian dari populasi yang dapat mewakili populasi itu sendiri, atau dapat juga dikatakan merupakan penduga atas populasi yang sedang diamati.Artinya sampel tidak akandapat didefenisikan tanpa adanya populasi. 3. Elemen/unsur

Adalah setiap satuan dari populasi.Jika dalam suatu populasi tertentu terdapat 1000 konsumen pengguna alat olahraga, maka setiap konsumen tersebut adalah elemen atau unsur dalam penelitian tersebut.Artinya dalam populasi tersebut terdapat 1000 elemen penelitian. Jika populasinya adalah siswa suatu sekolah “X”, dan terdapat 300 siswa di sekolah tersebut, maka dalam populasi tersebut terdapat 300 elemen penelitian.


(43)

Dalam sebuah penelitian, untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan akurat sesuai harapan peneliti, maka seharusnya dilakukan penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi yang diteliti tersebut, atau yang dinamakan “sensus”.Namun, sensus tidak selalu menjadi hal yang mudah untuk dilakukan mengingat hal-hal berikut :

1. Populasi yang sedemikian besar sehingga dalam prakteknya tidak dimungkinkan untuk meneliti setiap elemen dalam populasi tersebut

2. Keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia dalam melakukan penelitian untuk setiap unsur dalam poopulasi.

3. Kesalahan (human error) dalam melakukan sensus karena besarnya populasi dan banyaknya elemen yang harus diteliti, yang mungkin disebabkan karena kelelahan fidik maupun mental, justru dapat menyebabkan bias terhadap hasil penelitian yang dilakukan.

4. Untuk suatu populasi yang homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi akanmenjadi tidak masuk akal, karena untuk suatu populasi yang homogen, akan tetap menghasilkan hasil penelitian yang sama ketika dilakukan penelitian pada sebagian elemen populasi maupun terhadap seluruh elemen populasi.

Oleh karena hal-hal di atas, seringkali sensus menjadi sesuatu hal yang dihindari dan tidak perlu untuk dilakukan untuk dalam sebuah penelitian. Namun, agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian mewakili karakteristik populasi, makaada cara-dara penarikan sampel yang harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel ini disebut dengan teknik sampling.

 Syarat sampel yang baik

Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi.Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur.Misalnya jika yang ingin diukur adalah siswa di sekolah “X”, sedangkan yang dijadikan sampel adalah hanya siswa kelas 1 saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mewakili siswa dari kelas


(44)

Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan. 1. Akurasi atau ketepatan

yaitu tingkat kekeliruan (bias)dalam sampel. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan adalah populasi.

2. Presisi

Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita dengan karakteristik populasi.

Contoh : Dari 300 buruh sebuah pabrik, diambil sampel 50 buruh. Setelah diukur ternyata setiap orang menghasilkan 50 unit produk “X” perhari, namun berdasarkan laporan harian, pegawai bisa menghasilkan sampai rata-rata 60 unit produk “X” perhari. Artinya antara laporan harian yang dihitung berdasarkan populasi (sensus) dengan hasil penelitian yang dihasilkan dari sampel (survey), terdapat perbedaan 10 unit.Makin kecil tingkat perbedaan di antara rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin tinggi tingkat presisi sampel tersebut.

Bias yang terjadi dalam setiap hasil penelitian dengan sampel dikenal dengan nama “sampling error”. Presisi diukur oleh simpangan baku (standard error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (dilambangkan dengan s) dengan simpangan baku dari populasi (dilambangkan dengan ) makin tinggi pula tingkat presisinya.

Untuk meningkatkan tingkat presisi ini, cara yang sering dilakukan adalah dengan menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ). Seperti contoh di atas, mungkin saja perbedaan rata-rata di antara populasi dengan sampel bisa lebih sedikit, jika sampel ditambah misalkan dari 50 menjadi 100.


(45)

Di bawah ini digambarkan hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat kesalahan seperti yang diuarakan oleh Kerlinger

Kecil besarnya sampel besar

Gambar.2 Hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat kesalahan  Ukuran sampel

Dalam penelitian kuantitatif, ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting karena hasil penelitian akan berdasar pada data dan angka, sementara pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan adalah kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya akan lebih bermanfaat.

Dalam hal penentuan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu:

1. derajat keseragaman, semakin tidak seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi (heterogen), makin banyak sampel yang harus diambil. 2. rencana analisis, Jika rencana analisis yang dibuat mendetail atau rinci

maka jumlah sampelnya juga harus banyak.

3. biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia . (Singarimbun dan Effendy, 1989).

Yang sering menjadi pertanyaan adalah : seberapa besar sampel yang harus diambil jika diketahui suatu populasi yang menjadi penelitian. Misalnya, jumlah siswa yang dijadikan populasi penelitian ada 500 siswa.Pertanyaannya adalah, berapa banyak siswa yang harus dijadikan sebagai sampel agar hasilnya mewakili populasi? 30?, 50?, 100?,atau 250?, jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika ukuran populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.

kecil

k

e

sal

ah


(46)

Ada pula yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).

Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran (1992) memberikan pedoman penentuan jumlah sampel sebagai berikut :

1. Sebaiknya ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen

2. Jika sampel dipecah lagi ke dalam subsampel (laki/perempuan, SD/SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel harus 30

3. Pada penelitian multivariat (termasuk analisis regresi multivariat) ukuran sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali) dari jumlah variabel yang akan dianalisa.

4. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.

Krejcie dan Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) membuat daftar yang bisa dipakai untuk menentukan jumlah sampel sebagai berikut (Lihat Tabel)

Populasi (N) Sampel (n) Populasi (N) Sampel (n) Populasi (N) Sampel (n)

10 10 220 140 1200 291

15 14 230 144 1300 297

20 19 240 148 1400 302

25 24 250 152 1500 306

30 28 260 155 1600 310

35 32 270 159 1700 313

40 36 280 162 1800 317

45 40 290 165 1900 320

50 44 300 169 2000 322

55 48 320 175 2200 327

60 52 340 181 2400 331

65 56 360 186 2600 335

70 59 380 191 2800 338

75 63 400 196 3000 341

80 66 420 201 3500 346

85 70 440 205 4000 351

90 73 460 210 4500 354


(47)

2.8Teknik sampling

Secara umum, ada dua jenis teknik sampling yaitu, sampel acak atau random

sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom samping/nonprobability sampling.

Yang dimaksud dengan random sampling/probability samplingadalah cara pengambilan sampel yang dimana setiap elemen dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel.

Yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya kemungkinannya 0 (nol).

Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda.Jika peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel representatif dan diambil secara acak.Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak.Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi.

Dari kedua teknik sampling tersebut di atas, setiap jenis teknik samplingtersebut dapat dijabarkan kembali menjadi beberapa teknik samplingyang lebih spesifik. Pada sampel acak (random sampling)dapat dibagi atassimple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area samplingdan pada nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain convenience sampling, purposive sampling, dan snowball sampling.


(48)

2.9 Probability/Random Sampling

Syarat pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama“sampling frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tempat, atau juga benda.

Misalnya, Jika populasi penelitian adalah siswa sekolah “X”, maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua siswa yang ada di sekolah “X” tersebut selengkapnya. Nama, NIS, jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N).

Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu sendiri.

Berikut dijabarkan teknik sampling yang masukdalam kategori

probability/random sampling :

1. Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana

Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya.Selama perbedaan-perbedaan gender, status kemakmuran, dan perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat


(49)

mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel.

Prosedur penggunaan teknik ini adalah:

1. Susun “sampling frame” (kerangka sampel), 2. Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil, 3. Tentukan alat pemilihan sampel, lalu

4. Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi.

2. Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Terstratifikasi

Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan.Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi.Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan tersebut, yaitu tingkat manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari setiap tingkat tersebut dipilih sampel secara acak.

Prosedur penggunaan teknik ini adalah:

1. Siapkan “sampling frame” (kerangka sampel),

2. Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki, 3. Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, lalu

4. Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.

Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap tingkatan, peneliti dapat menentukan secara “proposional”, maupun secara “tidak proposional”.


(50)

tersebut. Misalnya, untuk tingkatan manajer tingkat atas (I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45 manajer (II), dan manajer tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160. Kalau jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100 manajer, maka untuktingkatan I diambil (15:160)x100 = 9 manajer, tingkatan II = 28 manajer, dan tingkatan 3 = 63 manajer.

Jumlah dalam setiaptingkatan tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau elemen di salah satu atau beberapa tingkatan sangat sedikit. Misalnya saja, kalau dalam tingkatan manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer, maka peneliti bisa mengambil semua manajer dalam tingkatan tersebut , dan untuk manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat bawah (III), tetap 63 orang.

3. Cluster Sampling atau Sampel Gugus

Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak terstratifikasi, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen.Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen saja.Prosedur :

1. Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.

2. Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel 3. Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak


(51)

4. Systematic Sampling atau Sampel Sistematis

Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang “keberapa”.Misal, setiap unsur populasi yang ke-tiga, yang bisa dijadikan sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada ukuran populasi dan ukuran sampel.Contoh, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya :

1. Susun sampling frame

2. Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil 3. Tentukan K (kelas interval)

4. Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.

5. Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.

6. Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya

5. Area Sampling atau Sampel Wilayah

Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat kota Medan atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya :

1. Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Medan). 2. Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel, kecamatan atau

kelurahan?

3. Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya. 4. Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau


(52)

5. Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.

2.10 Nonprobability/Nonrandom Sampling

Selanjutnya, teknik pengambilan sampel yang dimana sampelnya tidak diambil secra acak, disebut nonprobability random sampling. Yang dimana artinya tidak semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.

1. Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.

Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini, hasilnya ternyata kurang obyektif.

2. Purposive Sampling

Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu.Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.

Judgment Sampling

Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan


(53)

oleh suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment samplingumumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena

mereka mempunyai “information rich”.

Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik. (Cooper dan Emory, 1992).

Quota Sampling

Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.

Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60% dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang.Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja.

3. Snowball Sampling – Sampel Bola Salju

Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya.Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui tentang penggunaan bahan-bahan berbahaya untuk makanan, peneliti cukup mencari satu orang peracik bahan tersebut, kemudian melakukan wawancara.Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada orang tersebut untuk bisa mewawancarai orang lainnya.Setelah jumlah respenden yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa mengentikan pencarian responden lainnya.


(54)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Teknik sampling adalah cara yang dilakukan untuk mendapatkan sampel sesuai dengan harapan si pengambil keputusan agar diperoleh sampel yang representatif dan dapat mewakili populasi yang sebenarnya. Untuk menentukan teknik sampling ini, yang selalu menjadi perhatian utama adalah bagaimana agar sampel yang diperoleh nantinya akan dapat dinyatakan sebagai representasi dari populasi yang sedang diteliti dan tidak menghasilkan hasil analisis yang bias.

Dalam penentuan sampel atas setiap survey yang akan dilakukan oleh Lembaga ataupun Badan tertentu, mereka sering dihadapkan pada persoalan tentang metode apa yang tepat untuk digunakan pada survey yang akan dilaksanakan tersebut. Badan Pusat Statistika juga sebagai salah satu Badan yang tugas dan kegiatannya adalah seputar pelaksanaan sensus dan survey untuk mempresentasikan segala sesuatu hal tentang Indonesia juga tentunya akan melakukan pemilihan atas metode – metode yang tepat untuk digunakan dalam setiap survey yang akan mereka lakukan.

Secara umum, ada dua jenis teknik samplingyaitu :

1. Sampel acak atau random sampling / probability sampling,

Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel.


(55)

2. Sampel tidak acak atau nonrandom samping/nonprobability sampling.Yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau

nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai

kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Misalnya, lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya kemungkinannya 0 (nol).

Dari kedua metode umum tersebut di atas, terdapat beberapa metode yang lebih spesifik lagi dalam pengambilan pengambilan sampel yaitu pada

1. Probability Sampling (sampel acak) dapat dibagi atas :

simple random sampling,

stratified random sampling

cluster sampling

systematic sampling, dan

area sampling.

2. Nonprobability sampling(sampel tidak acak) dapat dibagi atas :

convenience sampling

purposive sampling, dan

snowball sampling

Dari teknik sampling di atas, tentu bukan merupakan hal yang mudah untuk dapat segera memutuskan metode apa yang akan dipakai untuk sebuah survey yang akan dilakukan tersebut, hal ini tentu akan mengacu kepada jenis sampel dan hasil bagaimana yang akan diharapkan akan diperoleh pada penelitian tersbut.

Dalam permasalahan penentuan prioritas ini, pengambil keputusan dihadapkan pada beberapa kriteria dalam memberikan penilaian prioritas terhadap metode – metode sampel yang ada karena tentunya ada kriteria - kriteria tertentu yang menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan prioritas tersebut, atau disebut dengan MCDM (Multi Criteria Decision Making).


(56)

pelaksanaan pekerjaan ataupun survey yang dilakukan di Kabupaten Asahan.Sehingga penulis mencoba untuk untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut.

Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam menyelesaikan persoalan MCDM adalah Analytical Hierarchy Process (AHP)karena AHP dapat menyelesaikan masalah yang menggabungkan data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis mengambil judul “Penentuan Prioritas Teknik SamplingMenggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) Studi Kasus Koordinator Statistik Kecamatan BPS Kabupaten Asahan”, untuk menunjukkan bagaimana AHP digunakan dalam penyelesaian masalah penentuan ranking tersebut.

1.2Perumusan Masalah

Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penggunaan AHP untuk menentukan penggunaan teknik samplingoleh Koordinator Statistik Kecamatan di Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan.

1.3Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang dibahas pada penelitian ini, maka penulis hanya membahas teknik sampling sebagai berikut :

Probability sampling : simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling,area sampling

Non-Probability Sampling :convenience sampling, purposive sampling, dan snowball sampling.


(57)

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelesaikan persoalan MCDM (Multi

Criteria Decision Making) dalam penentuan prioritas penggunaan teknik sampling

oleh KSK di Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahansehingga diperoleh skala prioritas dalam penggunaan teknik – teknik tersebut.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para Koordinator Statistik Kecamatan di Kabupaten Asahan untuk dapat dijadikan acuan dalam menentukan teknik sampling yang ingin digunakan.Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana penggunaan AHP dalam pengambilan keputusan dengan banyak kriteria (MCDM).

1.6Tinjauan Pustaka

Hasan Mustafa (2000) Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan diteliti.

Sri Mulyono (1996) Pada dasarnya AHP adalah suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio baik dari perbandingan berpasangan yang diskrit maupun kontinu.Perbandingan-perbandingan ini dapat diambil dari ukuran actual atau dari suatu skala yang mencerminkan kekuatan perasaan dan preferensi relatif.AHP memiliki perhatian khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran dan pada ketergantungan di dalam dan di antara kelompok elemen strukturnya.


(58)

Thomas Lorie Saaty (1987) AHP merupakan suatu teori pengukuran yang digunakan untuk menderivikasikan skala rasio baik dari perbandingan-perbandingan berpasangan diskrit maupun kontinu.Diperlukan suatu hirarki dalam menggunakan AHP untuk mendefenisikan masalah dan perbandingan berpasangan untuk menentukan hubungan dalam struktur tersebut. Stuktur hirarki digambarkan dalam suatu diagram pohon yang berisi goal ( tujuan masalah yamg akan dicari solusinya ), ktiteria , subkriteria dan alternatif.

Thomas Lorie Saaty (1993) menguraikan metode AHP yang dilakukan dengan cara memodelkan permasalahan secara bertingkat yang terdiri dari kriteria dan alternatif.

Kardi Teknomo, Hendro Siswanto dan Sebastianus Ari Yudhanto (2005) menguraikan tentang penggunaan AHP yang dimulai dengan membuat struktur hirarki atau jaringan dari permasalahan yang ingin diteliti. Di dalam hirarki terdapat tujuan utama, kriteria-kriteria, subkriteria-subkriteria dan alternatif-alternatif yang akan dibahas. Perbandingan berpasangan dipergunakan untuk membentuk hubungan di dalam struktur. Hasil dari perbandingan berpasangan ini akan membentuk matrik dimana skala rasio diturunkan dalam bentuk eigenvektor utama atau fungsi-eigen. Matrik tersebut berciri positif dan berkebalikan, yakni

� = �

Suryadi, Kadarsa, Ramdhani, dan M. Ali, (1998) menyatakan, kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lainnya adalah:

1. Struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada sub-subkriteria yang paling dalam.

2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. 3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output pengambilan keputusan.


(59)

4. Metode AHP memiliki keunggulan dari segi proses pengambilan keputusan dan akomodasi untuk atribut-atribut baik kuantitatif dan kualitatif (Gualda et, Al. 2003)

5. Metode AHP juga mampu menghasilkan hasil yang lebih konsisten dibandingkan dengan metode-metode lainnya (Minutolo, 2003)

6. Metode pengambilan keputusan AHP memiliki langkah pengerjaan yang mudah dipahami dan digunakan (Shinan & KAbir, 2003)

1.7Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan pengumpulan data dengan memberikan kuisioner kepada Koordinator Statistik Kecamatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan tentang preferensi mereka terhadap 9 teknik sampling tersebut di atas.

2. Menggabungkan data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh selama penelitian.

3. Menganalisa data yang diperoleh pada penelitian menggunakan AHP

(Analytical Hierarchy Process).Pada tahapan ini, langkah-langkah yang

dilakukan adalah :

 Mengumpulkan hasil pengisian kuisioner oleh setiap responden, kemudian dari setiap nilai preferensi yang mereka berikan, akan diambil nilai rata-rata dengan rumus

�̅ =

∑ �

Dimana :�̅= nilai rata-rata �= nilai preferensi responden

= banyaknya responden

 Selanjutnya nilai rata-rata yang diperoleh tersebut dilakukan pembulatan untuk mendapatkan nilai yang akan diaplikasikan pada


(1)

ABSTRACT

Determine of the specific sampling techniques to use in a sampling, not always be an easy thing to do. Indecision of a sampler in determining a sampling technique that will be used often make the implementation of the sampling becomes difficult.

AHP (Analytical Hierarchy Process) is a method that can be used to determine ranking or level (hierarchy) of the various alternatives that exist in a problem. AHP method outlines a complex multi-criteria problem into a hierarchy which take measurements to find a ratio scale pairwise comparisons, for both continuous and discrete data. This method will also be able to describe the problem of multi criteria such as the determination of the sampling technique to be used in a study, because the AHP will generate rank ordering of all sampling techniques are studied.

First, AHP will define the problem, which then created a hierarchical structure (levels) to make general purpose as the initial manufacture of the hierarchy followed by sub-objectives, criteria and possible alternatives to the very bottom of the hierarchy. Following that, formed a pairwise comparison matrix for each pair of elements or criteria that became the topic of discussion. These comparisons are taken from the actual size or scale basis that reflects the relative strength of the feelings and preferences of the decision maker.


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan ` iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Pembatasan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 4

1.5 Manfaat Penelitian 4

1.6 Tinjauan Pustaka 4

1.7 Metodologi Penelitian 6

BAB 2 LANDASAN TEORI 8

2.1 AHP (Analytical Hierarchy Process) 8

2.2 Prinsip dasar AHP 10

2.3 Penggunaan Metode AHP 13

2.4 Penyusunan Prioritas 14

2.5 Nilai Eigen dan Vektor Eigen 16

2.6 Uji Konsistensi Indeks dan Rasio 23

2.7 Sampel dan Komponen-Komponennya 24

2.8 Teknik Sampling 29

2.9 Probability/ Random Sampling 30

2.10 Nonprobability/ Nonrandom Sampling 34

BAB 3 PEMBAHASAN 36

3.1 Perhitungan Prioritas Kriteria 37


(3)

3.2 Matriks Perbandingan Berpasangan Untuk Semua Kriteria (dalam

Probability Sampling) 39

3.3 Perhitungan Total Prioritas Global 45

3.3.1 Faktor Evaluasi Total (Dalam probability Sampling) 45

3.3.2 Total Ranking 45

3.4 Matriks Perbandingan Berpasangan Untuk Semua Kriteria (dalam

Non-Probability Sampling) 46

3.4.1 Faktor Evaluasi Total (Dalam Non-probability Sampling) 50

3.4.2 Total Ranking 51

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 52

4.1 Kesimpulan 52

4.2 Saran 53

DAFTAR PUSTAKA 54


(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan 11

Tabel 2.2 Random Indeks (RI) 12

Tabel 2.3 Matriks Perbandingan Berpasangan 14

Tabel 2.4 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan 15 Tabel 3.1 Matriks Perbandingan Berpasangan Untuk Semua Faktor 37 Tabel 3.2 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Untuk Semua Faktor 37 Tabel 3.3 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan 38

Tabel 3.4 Faktor Evaluasi Semua Kriteria 38

Tabel 3.5 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk Kriteria Tingkat Kesulitan 39

Tabel 3.6 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap untuk Kriteria

Tingkat Kesulitan 39

Tabel 3.7 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan 40

Tabel 3.8 Matriks Tingkat Kesulitan 40

Tabel 3.9 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk Kriteria Prosedur

Pelaksanaan 41

Tabel 3.10 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap untuk Prosedur

Pelaksanaan 41

Tabel 3.11 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan 42

Tabel 3.12 MatriksProsedur Pelaksanaan 42

Tabel 3.13 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk Kriteria Efisiensi

Waktu/ Dana 43

Tabel 3.14 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap untuk Efisiensi

Waktu/ Dana 43

Tabel 3.15 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan 44

Tabel 3.16 Matriks Efisiensi Waktu/ Dana 44

Tabel 3.17 Matriks Hubungan Antara Kriteria dan Alternatif 45 Tabel 3.18 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk kriteria Tingkat Kesulitan 46 Tabel 3.19Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Tingkat Kesulitan 46 Tabel 3.20Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan: 47


(5)

Tabel 3.21 Matriks Tingkat Kesulitan 47 Tabel 3.22 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk kriteria Prosedur Pelaksanaan 47 Tabel 3.23 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Prosedur Pelaksanaan 48 Tabel 3.24 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan: 48

Tabel 3.25 Matriks Prosedur Pelaksanaan 48

Tabel 3.26 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk kriteria Efisiensi

Waktu/Dana 49

Tabel 3.27 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap Efisiensi Waktu/Dana 49 Tabel 3.28 Matriks Perbandingan Berpasangan Lengkap yang Dinormalkan: 49

Tabel 3.29 Matriks Efisiensi Waktu/Dana 50

Tabel 3.18 Matriks Hubungan Antara Kriteria dan Alternatif 50 Tabel 4.1 Urutan Prioritas Untuk Setiap Kriteria dalam Probability Sampling

Beserta Nilai Prioritasnya 52

Tabel 4.2 Urutan Prioritas Untuk Setiap Kriteria dalam NonProbability Sampling


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Complete Hierarchy 10

Gambar 2.2 Hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat kesalahan 26