Evaluasi Dampak Sistem Penanganan Keluhan Pasien BPJS Kesehatan Terhadap Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Medan
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam penelitian landasan teori digunakan untuk memberikan landasan
dasar yang berguna untuk membantu penelitian dalam memecahkan masalah.
Landasan teori dimaksudkan untuk memberi gambaran dan batasan tentang teoriteori yang digunakan sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan, dengan
demikian penulisan dapat menggunakan teori-teori yang relevan dengan tujuan
penelitian.
2.1.
Kebijakan Publik
2.1.1. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan berasal dari kata policy dari bahasa Inggris. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian
konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan publik bisa
diartikan sebagai umum, masyarakat, ataupun negara.
Secara etimilogi, Kebijakan Publik terdiri dari dua kata yaitu kebijakan dan
publlik. Kebijakan oleh Graycar 17 dapat dipandang dari perspektif filosofis,
produk, proses, dan kerangka kerja.Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan
dipandang sebagai serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan.Sebagai
suatu produk, kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau
rekomendasi. Sebagai suatu proses, kebijakan menunjuk pada cara dimana
melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan
17 Donovan
dan Jackson dalam Kaban, 2008, hal.59
19
Universitas Sumatera Utara
darinya yaitu program mekanisme dalam mencapai produknya. Dan sebagai suatu
kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi
untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasi.
Menurut Easton
18
, kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai
kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga
cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah
yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Sedangkan menurut Anderson19, Kebijakan Publik merupakan arah tindakan
yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor (misalnya seorang
pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor
dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini
dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan
atau bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan.
Berdasarkan pengertian para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kebijakan publik merupakan faktor kritikal bagi kemajuan atau kemunduran suatu
negara-bangsa. Selain itu kebijakan publik merupakan serangkaian pedoman dan
dasar rencana yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah
persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang
mengikat. Jadi, kebijakan publik berpusat pada penyelesaian masalah yang sudah
nyata.
18
Tangkilisan, Hesel N. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi (Yogyakarta: YPAPI) hal. 2.
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta: Media Pr essindo) hal. 16.
19 dalam
20
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, meskipun tidak tertulis, dalam memahami kebijakan publik
terdapat dua jenis aliran atau pemahaman20, yaitu:
a. Kontinentalis 21 , yang cenderung melihat bahwa kebijakan publik
adalah turunan dari hukum, bahkan kadang mempersamakan antara
kebijakan publik dan hukum, utamanya hukum publik ataupun
hukum tata negara, sehingga melihatnya sebagai proses interaksi
diantara institusi-institusi negara.
b. Anglo-saxionis, yang cenderung memahami bahwa kebijakan
publik adalah turunan dari politik-demokrasi sehingga melihatnya
sebagai sebuah produk interaksi antara negara dan publik.
Kebijakan publik mengatur, mengarahkan, dan mengembangkan interaksi
dalam komunitas dan antara komunitas dengan lingkungannya untuk kepentingan
agar komunitas tersebut dapat memperoleh atau mencapai
diharapkannya secara efektif.
kebaikan yang
Jadi, secara praktis dapat dikatakan bahwa
kebijakan publik adalah alat dari suatu komunitas yang melembaga untuk
mencapai kepercayaan sosial.
2.1.2. Tahapan Kebijakan Publik
Analisis kebijakan adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan
untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan
tentang dan dalam proses kebijakan 22 . Pembuatan proses dan kegiatan pada
dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses
20
Riant Nugroho, Pu blic Policy Dinamika kebijakan – An alisis Kebijakan – Manaje men Kebijakan, (Jakarta:
Gramedia, 2009), hal, 30
21 Hukum adalah salah sat u bentuk dari kebijakan publik, baik dari sisi w ujud m aupun produk, proses atau sisi
muatan.
22 William Du nn : 2004 Dalam Riant Nugroho, Public Policy Dinamika kebijakan – Analisis Kebijakan – Manajemen
Kebijakan, (Jakart a: Gramedia, 2009), hal. 269-270.
21
Universitas Sumatera Utara
pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling
bergantung dan diatur menurut urutan waktu yakni: penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Aktivitas yang bersifat intelektual terdiri dari perumusan masalah, peramalan
(forecasting), rekomendasi kebijakan, pemantauan (monitoring), dan evaluasi
kebijakan.
Kebijakan publik memiliki tahap yang cukup kompleks karena memiliki
banyak proses dan variabel. Menurut William Dunn 23 , tahap-tahap kebijakan
publik adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Kelompok masyarakat seperti parpol, ormas, serikat, ataupun kelompok
lainnya akan menyuarakan isu mereka kepada pemerintah. Isu yang
disampaikan oleh mereka akan bersaing untuk dapat masuk ke dalam
agenda kebijakan. Para pembuat kebijakan akan memilih isu yang akan
mereka angkat. Sedangka isu yang lain ada yang tidak tersentuh sama
sekali dan sebagian lagi akan didiamkan dalam waktu yang cukup lama.
b. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)
Isu yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan dan dibahas oleh para
pembuat kebijakan akan didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahan
masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif yang ada.Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk
23
Winar no, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta: Media Pressindo). hal. 28
22
Universitas Sumatera Utara
masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk memecahkan masalah.
c. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut
diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara
direktur lembaga atau keputusan peradilan.
d. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Kebijakan yang sudah diadopsi kemudian dirangkum melalui programprogram yang harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan
administrasi maupun agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang
telah diambil akan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap ini,
berbagai kepentingan akan bersaing. Beberapa implementasi kebijakan
mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin
akan ditentang oleh para pelaksana.
e. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah mampu memecahkan
masalah. Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk meraih
dampak yang diinginkan.Dalam hal ini memperbaiki masalah yang
dihadapi masyarakat.Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau
23
Universitas Sumatera Utara
kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik
telah meraih dampak yang diinginkan.
2.2. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada
dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan
publik tersebut24. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
KEBIJAKAN PUBLIK
KEBIJAKAN PUBLIK
PENJELAS
PROGRAM
PROYEK
KEGIATAN
PEM ANFAATAN
(BENEFICIARIES)
Gambar. 2.2.1. Sekuensi Implementasi Kebijakan
Rangkaian implementasi kebijakan, dari gambar di atas, dapat dilihat dengan
jelas, yaitu dimulai dari program, ke proyek, dan ke kegiatan.
24
Riant Nugroho, Pu blic Policy Dinamika kebijakan – An alisis Kebijakan – Manaje men Kebijakan, (Jakarta:
Gramedia, 2009), hal. 618-6 19.
24
Universitas Sumatera Utara
Secara etimologi, implementasi berasal dari bahasa Inggris yaiu to
implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out
(menyediakan sesuatu untuk melaksanakan sesuatu) dan to give practical effect to
(untuk menimbulkan dampak atau akibat berupa undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan peradilan, dan kebijakan yang dibuat oleh lembagalembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.
Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau
pejabat-pejabat kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya
tujuan-tujuan
yang
telah
digariskan
dalam
keputusan
kebijakan 25 .Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi
kebijakan di dalam kurun waktu tertentu 26 .Sedangkan Van Meter dan Horn
menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan27.
Implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami “apa yang
senyatanyaterjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yyakni
peristiwa - peristiwa dan kegiatan - kegiatan yang terjadi setelah proses
pengesahan kebijakan publik, baik
itu
menyangkut
usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak
tertentu pada masyarakat28.
Wahab, Solichin Abd ul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Im plementasi Kebijaksanaan Negara (Mala ng:
UMM Press) hal.65.
26 Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unver sity Press) hal.
132
27 (Van Meter dan Horn dalam Samodra : 2009) dalam Wibaw a, Samodra, dkk.1994. Evaluasi kebijakan Publik
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa) hal. 15.
28 (Mazm ian dan Sebastier dalam Solicin Abdul Wahab, 2008:1 76)
25
25
Universitas Sumatera Utara
Tahap implementasi kebijakan adalah tahap alternatif dimana telah
ditetapkan dan diwujudkan kedalam tindakan yang nyata. Tahap ini dilakukan
oleh unit-unit administratif dengan memobilisasi sumber daya yang ada. Tanpa
adanya implementasi, suatu kebijakan tidaklah berarti apa-apa dan hanya berupa
sebuah konsep saja. Implementasi kebijakan suatu rantai yang menghubungkan
formulasi
kebijakan
dengan
hasil
(outcome)
kebijakan
yang
diharapkan.Disimpulkan bahwa implementasi berupa penerapan, pelaksanaan,
penyelenggaraan, atau pengeksekusian suatu kebijakan yang telah ditetapkan.
2.2.1. Model-Model Implementasi Kebijakan
Kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan
dari banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang
terkait di dalamnya. Dalam implementasi kebijakan, terdapat beberapa model
kebijakan, yakni:
1. Model Implementasi Kebijakan George Edwar d III 29
Gambar 2.2.1.1: Dampak Langsung dan Tidak Langsung Dalam Implementasi
29 Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik: Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta: Gava Media) hal. 3133.
26
Universitas Sumatera Utara
Menurut George C. Edwards III ada empat variabel yang mempengaruhi
kebijakan publik, yaitu:
1. Komunikasi
Komunikasi, yaitu menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan dapat
dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana
program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Dalam hal ini
Edwards menjelaskan, bahwa jika pembuat keputusan / decision maker berharap
agar implementasi kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, maka ia harus
memberikan informasi secara tepat. Tujuan dan sasaran dari program/kebijakan
dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas
kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan
kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan
kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yang
sesungguhnya.
2. Sumber daya
Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh
sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya
finansial.Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas
implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran.Sumber daya
finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program/kebijakan.
Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi program/kebijakan pemerintah,
jika implementator kekurangan sumber daya, maka implementasi tidak akan
27
Universitas Sumatera Utara
efektif, adapun sumber daya yang dimaksud meliputi staff, informasi, otoritas, dan
fasilitas.
Sedangkan
sumber
daya
finansial
menjamin
keberlangsungan
program/kebijakan.Tanpa ada dukungan finansial yang memadai, program tak
dapat berjalan efektif dan cepat dalam mencapai tujuan dan sasaran.
3. Disposisi
Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada
implementor kebijakan/program.Karakter yang paling penting dimiliki oleh
implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Implementor yang
memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan
yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor
untuk tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline
program. Sebagaimana yang pernah Edward katakan dalam bukunya sendiri
bahwa disposisi merupakan hal yang krusial karena berlawanan dengan arah
kebijakan, jadi perspektif ini dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan
kebijakan yang sesungguhnya dengan implementasi kebijakan dilapangan. Salah
satu contoh kasus yang pernah diutarakan oleh Edward, bahwa banyak negara
bagian dan sekolah-sekolah di AS yang tidak mengalokasikan dana bagi anak
kebutuhan khusus meskipun aturan tentang alokasi dana tersebut telah dituangkan
dalam Title I of the Elementary and Secondary Education Act of 1965.
Pelanggaran ini disebabkan oleh sikap negara-negara bagian dan sekolah-sekolah
tersebut tidak berminat/not interested dalam mengimplementasikan kebijakan
tersebut.
28
Universitas Sumatera Utara
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting
dalam implementasi kebijakan.Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal
penting
pertama adalah
mekanisme,
dan struktur organisasi pelaksana
sendiri.Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui
standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline
program/kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas,
sistematis, tidak berbelit, dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi
acuan dalam bekerjanya implementor.
Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari
hal yang berbelit, panjang, dan kompleks.Struktur organisasi pelaksana harus
dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam
program secara cepat.Dan hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain secara
ringkas dan fleksibel menghindari “virus weberian” yang kaku, terlalu hirarkis,
dan birokratis.
2. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn 30
Menurut Meter dan Horn terdapat beberapa variabel yang diyakini dapat
mempengaruhi implementasi dan suatu model kinerja kebijakan. Beberapa
variabel yang terdapat dalam Model Meter dan Horn adalah sebagai berikut:
30 Subar sono,
AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pu staka Pelajar) hal. 99-
100.
29
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2.1.2.: Model Implementasi Van Meter dan Van Horn,
Sumber: Van Meter dan Van Horn, 1975: 463
(1) Standart kebijakan dan sasaran. Pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai
oleh program atau kebijakan, baik yang terwujud maupun tidak, jangka
pendek, menengah atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat
dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan
atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.
(2) Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik
sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia
(non-human resources).
(3) Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah
program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu,
diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu
program.
30
Universitas Sumatera Utara
(4) Karakteristik agen pelaksana. Mencakup birokrasi, norma-norma, dan polapola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya
menunjuk
seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang,
hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi dalam
mempengaruhi implementasi suatu program.
(5) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Menunjuk bahwa lingkungan dalam
ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan
itu sendiri. Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang
dapat mendukung keberhasilan imlementasi kebijakan; sejauh mana
kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan kepada implementasi
kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung ataukah menolak;
bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik
mendunkung implementasi kebijakan.
(6) Disposisi implementator. Mencakup kedalam tiga hal yang penting, Yakni: (a)
respons
implementor
kemauannya
untuk
terhadap
kebijakan
melaksanakan
yang
kebijakan,
akan
(b)
mempengaruhi
kognisi,
yakni
pemahamannya terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementator,
yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementator.
Dari pemaparan diatas, standar dan sasaran kebijakan dapat kita masukkan
kedalam variabel “komunikasi”, karena dari penjelasan yang ada mennunjukkan
bahwa diperlukannya standar dan sasaran kebijakan yang jelassehingga tidak
menimbulkan multi interpretasi maupun konflik. Sumber daya sejalan dengan
variabel “sumber daya”, yaitu mencakup SDM dan non-SDM.Hubungan antar
31
Universitas Sumatera Utara
organisasi masuk dalam variabel “struktur organisasi”.Karakteristik agen
pelaksana dan disposisi implementator, masuk dalam variabel disposisi”, karena
membicarakan tetang norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi pada
implementator merupakan dapat mengacu pada sikap yang ada pada
implementator dalam menyikapi nilai-nilai yang dibawa oleh kebijakan. Yang
sedikit berbeda adalah kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang tidak ada dalam
model edwards III, pada variabel ini terlihat bahwa model ini mempertimbangkan
faktor eksternal.
3. Model Implementasi Kebijakan Grindle
Implementasi menurut Grindle 31 , ditentukan oleh isi kebijakan dan
konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual biaya telah
disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan
mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada
isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang
dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3)
derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa
pelaksana program, (6) sumber daya yang dilibatkan.
Demikian
dengan
konteks
kebijakan
juga
memengaruhi
proses
implementasi.Yang dimaksud Grindle dengan konteks kebijakan adalah: (1)
kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga
dan penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas
31
Wibawa, Samodra, dkk.1994. Evaluasi kebijakan Publik (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa) hal. 15.
32
Universitas Sumatera Utara
keterlibatan para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran, dan para
pelaksana program akan bercampur baur memengaruhi efektivitas implementasi.
Hal ini searah dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang
dikemukakan oleh van meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap
proses implementasi kebijakan. Kelebihan dari Model Grindle dalam variabel
lingkungan kebijakan adalah model ini lebih menitikberatkan pada politik dari
para pelaku kebijakan.
Gambar 2.2.1.3: Implementasi sebagai proses politik dan administrative32
4. Model Implementasi Kebijakan Sebatier dan Mazmanian
Menurut Sebatier dan Mazmanian 33 , ada tiga kelompok variabel yang
mmengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah
32 Sebatier dan Mazmanian (1 983) dalam Merilee S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third
World, (Princeton University Press, New Jersey, p. 11)
33
Universitas Sumatera Utara
(tractability of the problems), (2) karakteristik kebijakan undang-undang (ability
of state to structure implementation), (3) variabel lingkungan (nonstatutory
variables affecting implementation). Kerangka berpkir yang mereka tawarkan
juga mengarah pada dua persoalan yang mendasar yaitu, kebijakan dan
lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini terkesan
menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila pelaksanaannya
mematuhi peraturan yang ada.
Gambar 2.2.1.4: Model Implementasi Kebijakan Sebatier dan Mazmanian
33 dalam Subarsono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
hal. 94
34
Universitas Sumatera Utara
5. Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978) The Top down Aproach 34
Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan
terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa dan
mekanisme pasar. Menurut Hogwood dan Gunn terdapat beberapa syarat yang
diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni:
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala pada saat
implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator,
sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar jangkauan wewenang
kebijakan dan badan pelaksana.
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai. Syarat kedua ini kerap kali muncul diantara kendala-kendala yang
bersifat eksternal. Artinya, kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik
dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan
karena alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek,
khususnya persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya
adalah bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan,
namun kurang peduli dengan penyediaan sarana yang digunakan untuk
mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan/pemotongan terhadap
pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan
program karena sumber-sumber yang tidak memadai. Masalah lain yang biasa
terjadi ialah apabila dana khusus untuk membiayai pelaksanaan program
Wahab, Solichin Ab dul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Im plement asi Kebijaksanaan Negara (Malang:
UMM Press) hal. 71.
34
35
Universitas Sumatera Utara
sudah tersedia harus dapat dihabiskan dalam tempo yang sangat singkat,
kadang lebih cepat dari kemampuan program/proyek untuk secara efektif
menyerapnya. Salah satu hal yang perlu pula ditegaskan disini, bahwa
dana/uang itu pada dasarnya bukanlah resources/sumber itu sendiri, sebab ia
tidak lebih sekedar penghubung untuk memperoleh sumber-sumber yang
sebenarnya. Oleh karena itu, kemungkinan masih timbul beberapa persoalan
berupa kelambanan atau hambatan-hambatan dalam proses konversinya, yaitu
proses mengubah uang itu menjadi sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan program atau proyek. Kekhawatiran
mengenai keharusan untuk mengembalikan dana proyek yang tidak terpakai
habis pada setiap akhir tahun anggaran seringkali menjadi penyebab kenapa
instansi-instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah) selalu berada pada
situasi kebingungan, sehingga karena takut dana itu menjadi hangus, tidak
jarang pula terbeli atau dilakukan hal-hal yang seharusnya tidak perlu.
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar -benar tersedia. Persyaratan
ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, artinya disatu pihak harus
dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang
diperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses impelementasinya
perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar dapat disediakan.
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang handal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan
secara
efektif
bukan
lantaran
karena
kebijakan
tersebut
telah
diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan
36
Universitas Sumatera Utara
itu sendiri memang buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau mau dicari, tidak
lain karena kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat pemahaman yang tidak
memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Sebabsebab timbulnya
masalah dan cara pemecahannya, atau peluang-peluang yang tersedia untuk
mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk
memanfaatkan peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini Pressman dan
Wildalsky 35 , menyatakan secara tegas bahwa setiap kebijakan pemerintah
pada hakikatnya memuat hipotesis (sekalipun tidak secara eksplisit) mengenai
kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang diramalkan bakal terjadi
sesudahnya. Oleh karena itu, apabila ternyata kelak kebijakan itu gagal, maka
kemungkinan penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadi
landasan kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang keliru.
5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky juga
memperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan sebab akibatnya
tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali
mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin
besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin
menjadi kompleks implementasinya. Semakin banyak hubungan dalam mata
rantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa diantaranya kelak terbukti
amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
35 Pr essman
dan Wildavsky (1973)
37
Universitas Sumatera Utara
6. Hubungan ketergantungan harus kecil. Implementasi yang sempurna menuntut
adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal, yang
untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada badanbadan lain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan
badanbadan/ instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan
organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik artian
jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program
ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan
tertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen terhadap setiap tahapan
diantara sejumlah besar aktor/ pelaku yang terlibat, maka peluang bagi
keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang dihar apkan
kemungkinan akan semakin berkurang.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan ini
mengharuskan adanya pemahaman yang
menyeluruh mengenai, dan
kesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan yang
penting,
keadaan
ini
harus
dapat
dipertahankan
selama
proses
implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik, dan
lebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh
seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan
mendukung, serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksana
program dapat dimonitor.
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat Persyaratan
ini mengandung makna bahwa dalam mengayun langkah menuju tercapainnya
38
Universitas Sumatera Utara
tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan
menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus
dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.
Sebenarnya, model Hogwood dan Gunn mendasarkan pada konsep
manajemen strategis yang mengarahakan pada praktik manajemen yang sistematis
dan tidak meninggalkan kaidah-kaidah pokok. Kelemahannya, konsep ini tidak
secara tegas menunjukkan mana yang bersifat politis, strategis, dan teknis atau
operasional.
2.3. Evaluasi
Sebuah kebijakan publik tidak dapat dilepas begitu saja.Kebijakan harus
selalu diawasi, dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut “evaluasi
kebijakan”.Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan
kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan konstituennya.Sejauh mana tujuan
dicapai.Evaluasi bertujuan untuk melihat antara “harapan” dan “kenyataan”.
Tujuan pokok evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan, melainkan
untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu
kebijakan publik.Evaluasi bertujuan untuk mencari kekurangan dan menutup
kekurangan. Ciri evaluasi kebijakan adalah:
(1) Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan
kinerja kebijakan.
(2) Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan,
pelaksana kebijakan, dan target kebijakan
(3) Prosedur dpat dipertangggung jawabkan secara metodologi
(4) Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian
(5) Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja
kebijakan.
39
Universitas Sumatera Utara
Evaluasi merupakan tahap terakhir didalam proses kebijakan publik. Rossi
dan Freeman36 menyatakan evaluasi berkaitan dengan penelitian sosial mengenai
konsepsialisasi dan pendesainan, implementasi dan pemanfaatan program
intervensi sosial yang dilakukan oleh pemerintah.
Evaluasi kebijakan 37 adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau
penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.Evaluasi
kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh
proses kebijakan.
Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan,
masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil
kebijakan dan program.
“Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran
(appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment), katakata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam
arti satuan nilainya. Evaluasi berkenaan denga produksi informasi
mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan38”
Pengertian di atas menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan merupakan hasil
kebijakan dimana pada kenyataannya mempunyai nilai dari hasil tujuan atau
sasaran kebijakan. Bagian akhir dari suatu proses kebijakan adalah evaluasi
kebijakan.
36
Wirawan, Evaluasi: teor i, model, standar, aplikasi, dan profesi, (Depok: PT Rajagrafindo Per sada, 2012), hal. 16.
1975)
38 Dunn, William, 2003, Pengantar An alisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua. (Yogyakarta: Gadjah Mada Unniver sity
Pr ess), hal 608
37 (Anderson:
40
Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Sifat Evaluasi
Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutantuntutan yang bersifat evaluatif. Di sini pertanyaan utamanya bukan mengenai
fakta (Apakah sesuatu ada ?) atau aksi (Apakah yang harus dilakukan ?) tetapi
nilai (Berapa nilainya ?). Karena itu evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik
yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya :
Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian
menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan progam. Evaluasi
terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial
kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan
informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi. Karena ketepatan
tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup
prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri39.
Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta”
maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kinerja kebijakan atau program
tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan
tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu,
kelompok atau seluruh masyarakat untuk menyatakan demikian, harus
didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan
konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah
tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
39 (Fracis
G. Caro, 1971:2)
41
Universitas Sumatera Utara
Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan
tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu,
ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksiaksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis
nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).
Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai
kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara.
Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada
(misalnya, kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi
dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi
pencapaian tujuan-tujuan lain), nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki
yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan
dan sasaran.
2.3.2. Fungsi Evaluasi
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan.
Menurut William N. Dunn fungsi evaluasi, yaitu:
“Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang
valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan.Kedua, evaluasi
memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemilihan tujuan dan target. Ketiga, evaluasi memberi
sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya,
termasuk perumusan masalah dan rekomendasi40”
Berdasarkan pendapat William N. Dunn di atas dapat disimpulkan bahwa
evaluasi merupakan suatu proses kebijakan yang paling penting karena dengan
evaluasi kita dapat menilai seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan dengan
40 Dunn,
William, 2003, Pengantar An alisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua. (Yogyakarta: Gadjah Mada Unniver sity
Pr ess), hal 609-610
42
Universitas Sumatera Utara
melalui tindakan publik, dimana tujuan-tujuan tertentu dapat dicapai. Sehingga
kepantasan dari kebijakan dapat dipastikan dengan alternatif kebijakan yang baru
atau merevisi kebijakan.
Selain hal tersebut diatas, evaluasi kebijakan memiliki 4 (empat) fungsi41 ,
yaitu:
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksana program dan
dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai
dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat
mengidentifikasi
masalah,
kondisi,
dan
aktor
yang
mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku lainnya, sesuai dengan standart dan prosedur
yang ditetapkan kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui apa output benar-benar sampai ke
tangan kelompok sarsaran kebijakan atau justru ada kebocoran atau
penyimpangan.
4. Akunting. Melalui evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari
kebijakan tersebut.
2.3.3. Tujuan Evaluasi Kebijakan
Dalam mengevaluasi kebijakan, ada fokus yang ingin dicapai oleh
Evaluator. Adapun tujuan evaluasi dapat dirincikan sebagai berikut42:
41 Samodra
Wibawa, Yuyun Purbokusu mo, dan Agus Pram usinto, Evaluasi Kebijakan Publik. Jakar ta: PT. Grafindo
Persada, 1994. Hal 10-1 1
42 Subar sono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teor i, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal.
120-121
43
Universitas Sumatera Utara
a) Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan, melalui evaluasi dapat
diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.
b) Mengukur tingkat efesiensi sutau kebijakan, dengan evalusasi dapat
diketaui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.
c) Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan, salah satu tujuan
evaluasi adalah mengukur pengeluaran ouput dari kebijakan
d) Mengukur dampak suatu kebijakan, evaluasi ditujukan untuk melihat
dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
e) Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan, evaluasi bertujuan untuk
mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi,
dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian
target.
f) Sebagai bahan melakukan (input) untuk kebijakan yang akan datang,
tujuan akhir dari evaluasi adalah memberikan masukan bagi proses
kebijakan kedepan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.
2.3.4. Model Evaluasi Kebijakan
Dua macam model evaluasi kebijakan43, yakni:
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau program yang sedang
diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah
program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa meningkatkan
keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi memerlukan evaluasi
43
Parsons, Wayne, 2008, Public Policy: Pen gantar Teori dan Pr aktik An alisis Kebijakan,Pr enada Media Group,
Jakart a (Hal. 549-552)
44
Universitas Sumatera Utara
‘formatif’ yang akan emonitor cara dimana sebuah program dikelola atau
diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk
meningkatkanproses implementasi.
Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi
ini sebgai evaluasi pada tiga persoalan:
Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat
Apakah penyampaian pelayanan konsisten dengan spesifikasi desain
program atau tidak
Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program
2. Evaluasi Sumatif
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur bagaimana kebijkan atau
program
secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya.
Model evaluasai ini pada dasarnya dalah model penelitian komparatif yang
mengukur beberapa persoalan yaitu:
Membandingkan sebelum dan sesudah program diimplementasikan
Membandingkan dampak intervensi terhadapsatu kelompok dengan
kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi subjek
intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok kontrol)
Membandingkan apa yang terjadi dengan apa yang mungkin terjadi
tanpa intervensi
Atau membandingkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda dalam
satu wilayah mengalami dampak yang berbeda-beda akibat dari
kebijakan yang sama.
45
Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Kriteria untuk Evaluasi Kebijakan
Suatu kebijakan yang telah diimplementasikan harus menghasilkan informasi
menegnai kinerja kebijakan.Mengevaluasi suatu program atau kebijakan publik
diperlukan adanya suatu kriteria untuk mengukur keberhasilan program atau
kebijakan publik tersebut. William N. Dunn44mengemukakan beberapak kriteria
dalam evaluasi, yakni:
TIPE KRITERIA
Efektivitas
Efisiensi
Kecukupan
Perataan
Resposivitas
Ketepatan
PERTANYAAN
Apakah
hasil
yang
diinginkan telah dicapai?
Seberapa banyak usaha
diperlukan untuk mencapai
hasil yang diinginkan?
Seberapa jauh pencapaian
hasil
yang
diinginkan
memecahkan masalah?
ILUSTRASI
Unit pelayanan
Unit biaya
Manfaat bersih
Rasio biaya-manfaat
Biaya tetap
(masalah tipe I)
Efektivitas tetap
(masalah tipe II)
Kriteria Pareto
Kriteria
kaldorHicks
Kriteria Rawls
Konsistensi dengan
survai warga Negara
Apakah biaya dan manfaat
didistribusikan
dengan
merata kepada kelompokkelompok tertentu?
Apakah hasil kebijakan
memuaskan
kebutuhan,
preferensi
atau
nilai
kelompok-kelompok
tertentu?
Apakah hasil (tujuan) yang Program
publik
diinginkan
benar-benar harus merata dan
berguna atau bernilai?
efisien
Tabel 2.3.5.1: Kriteria Evaluasi (Sumber: Dunn, 2003:610)
Kriteria-kriteria di atas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi
kebijakan publik.Dikarenakan penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka
pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang
dirumuskan oleh William N. Dunn untuk setiap kriterianya.Sedangkan untuk
44 Dunn,
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unver sity Press) hal.
610
46
Universitas Sumatera Utara
ilustrasi dilihat dari tabel di atas pembahasannya lebih kepada metode kuantitatif.
Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
2.3.5.1. Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya
keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Efektivitas disebut
juga hasil guna.Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang
diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Seperti yang dikemukakan
oleh Arthur G. Gedeian dkk dalam bukunya Organization Theory and Design
yang mendefinisikan efektivitas adalah That is, the greater the extent it which an
organization`s goals are met or surpassed, the greater its effectiveness (Semakin
besar pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas)45.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan
daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya.
Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar
daripada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuantujuan tersebut. William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua, menyatakan bahwa:
“Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternative
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari
diadakannya tindakan.Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas
teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai
moneternya46”.
45 Gedeian,
46 Dunn,
1991:61
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unver sity Press) hal.
429
47
Universitas Sumatera Utara
Apabila
setelah
pelaksanaan
kegiatan
kebijakan
publik
ternyata
dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi
masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah
gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif
dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.
Efektifitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian
dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.Efektivitas tersebut juga hasil guna.Efektivitas selalu terkait
dengan hubungan anatara hasil yang diharapkan dengan hasil yang
sesungguhnya dicapai47.
Berdasarkan pendapat diatas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan
organisasi semakin besar, maka efektifitasnya akan semakin besar pula.
Kesimpulannya adanya pencapaian yang besar dari organisasi, maka makin besar
pula hasil yang akan dicapai dari tujuan tersebut. Apabila setelah terlaksananya
kegiatanpublik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan
yang sedang dihadapi masyarakat , maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan
kebijakan tersebut telah gagal, tetapi ada saat dimana suatu kebijakan publik itu
saat di jalankan hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, tetapi etelah
melalui beberapa proses tertentu.Pendapat lain juga dinyatakan oleh Susanto,
yaitu: “efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat
kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi48”. Berdasarkan definisi tersebut,
peneliti beranggapan bahwa efektivitas bisa tercipta jika pesan yang disampaikan
dapat mempengaruhi khalayak yang diterpanya.
47 Menur ut
Winarno (2002:1 84)
197 5:156)
48 (Susanto,
48
Universitas Sumatera Utara
Menurut pendapat David Krech, Ricard S. Cruthfied dan Egerton L.
Ballachey dalam bukunya Individual and Society yang dikutip Sudarwan Danim
dalam bukunya Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok menyebutkan
ukuran efektivitas, sebagai berikut:
1. Jumlah hasil yang dapat dikeluarkan, artinya hasil tersebut berupa
kuantitas atau bentuk fisik dari organisasi, program atau kegiatan. Hasil
dimaksud dapat dilihat dari perbandingan (ratio) antara masukan
(input) dengan keluaran (output).
2. Tingkat kepuasan yang diperoleh, artinya ukuran dalam efektivitas ini
dapat kuantitatif (berdasarkan pula jumlah atau banyaknya) dan dapat
kualitatif (berdasarkan pada mutu).
3. Produk kreatif, artinya penciptaan hubungannya kondisi yang kondusif
dengan dunia kerja, yang nantinya dapat menumbuhkan kreativitas dan
kemampuan.
4. Intensitas yang akan dicapai, artinya memiliki ketaatan yang tinggi
dalam suatu tingkatan intens sesuatu, dimana adanya rasa saling
memiliki dengan kadar yang tinggi.49
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ukuran daripada
efektivitas diharuskan adanya suatu perbandingan antara masukan dan
keluaran.Ukuran daripada efektivitas mesti adanya tingkat kepuasan dan adanya
penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi.Artinya
ukuran daripada efektivitas adalah adanya keadaan rasa saling memiliki dengan
tingkatan yang tinggi. Adapun menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh
Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa
ukuran daripada efektivitas50, yaitu:
49 (Dalam
50 (Dalam
Danim, 2004:119-120)
Steer s, 1985:4 6-48)
49
Universitas Sumatera Utara
1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi;
2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;
3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan
kemungkinan dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;
4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap
biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut;
5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah
semua biaya dan kewajiban dipenuhi;
6. Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang
dan masa lalunya;
7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya
sepanjang waktu;
8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada
kerugian waktu;
9. Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian
tujuan, yang melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan
perasaan memiliki;
10. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu
untuk mencapai tujuan;
11. Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai
satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan
mengkoordinasikan;
12. Keluwesan Adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk
mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk
mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan;
Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas
merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang
akan dicapai. Selain itu, menunjukan pada tingkat sejauhmana organisasi,
program/kegiatan melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal.
50
Universitas Sumatera Utara
2.3.5.2. Efisiensi
Menurut William N. Dunn51
“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan
untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu.Efisiensi yang merupakan
sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara
efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos
moneter.Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit
produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi
dengan biaya terkecil dinamakan efisien” .
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata
sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan
terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan
kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.
2.3.5.3. Kecukupan
Menurut Dunn52:
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah
dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal.Kecukupan
(adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas
memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan
adanya masalah.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih
berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa
jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan
dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
51 Dunn,
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unver sity Press) hal.
430
52 Ibid
51
Universitas Sumatera Utara
Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan
antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria tersebut berkenaan
dengan empat tipe masalah53, yaitu:
1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan
efektivitas yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah
memaksimalkan efektivitas pada batas risorsis yang tersedia.
2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas yang
sama dan biaya yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah
untuk meminimalkan biaya.
3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan
efektivitas yang berubah dari kebijakan.
4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan
juga efektivitas tetap dari kebijakan. Masalah ini dapat dikatakan sulit
dipecahkan karena satu-satunya alternatif kebijakan yang tersedia
barangkali
LANDASAN TEORI
Dalam penelitian landasan teori digunakan untuk memberikan landasan
dasar yang berguna untuk membantu penelitian dalam memecahkan masalah.
Landasan teori dimaksudkan untuk memberi gambaran dan batasan tentang teoriteori yang digunakan sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan, dengan
demikian penulisan dapat menggunakan teori-teori yang relevan dengan tujuan
penelitian.
2.1.
Kebijakan Publik
2.1.1. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan berasal dari kata policy dari bahasa Inggris. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian
konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan publik bisa
diartikan sebagai umum, masyarakat, ataupun negara.
Secara etimilogi, Kebijakan Publik terdiri dari dua kata yaitu kebijakan dan
publlik. Kebijakan oleh Graycar 17 dapat dipandang dari perspektif filosofis,
produk, proses, dan kerangka kerja.Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan
dipandang sebagai serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan.Sebagai
suatu produk, kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau
rekomendasi. Sebagai suatu proses, kebijakan menunjuk pada cara dimana
melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan
17 Donovan
dan Jackson dalam Kaban, 2008, hal.59
19
Universitas Sumatera Utara
darinya yaitu program mekanisme dalam mencapai produknya. Dan sebagai suatu
kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi
untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasi.
Menurut Easton
18
, kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai
kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga
cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah
yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Sedangkan menurut Anderson19, Kebijakan Publik merupakan arah tindakan
yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor (misalnya seorang
pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor
dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini
dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan
atau bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan.
Berdasarkan pengertian para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kebijakan publik merupakan faktor kritikal bagi kemajuan atau kemunduran suatu
negara-bangsa. Selain itu kebijakan publik merupakan serangkaian pedoman dan
dasar rencana yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah
persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang
mengikat. Jadi, kebijakan publik berpusat pada penyelesaian masalah yang sudah
nyata.
18
Tangkilisan, Hesel N. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi (Yogyakarta: YPAPI) hal. 2.
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta: Media Pr essindo) hal. 16.
19 dalam
20
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, meskipun tidak tertulis, dalam memahami kebijakan publik
terdapat dua jenis aliran atau pemahaman20, yaitu:
a. Kontinentalis 21 , yang cenderung melihat bahwa kebijakan publik
adalah turunan dari hukum, bahkan kadang mempersamakan antara
kebijakan publik dan hukum, utamanya hukum publik ataupun
hukum tata negara, sehingga melihatnya sebagai proses interaksi
diantara institusi-institusi negara.
b. Anglo-saxionis, yang cenderung memahami bahwa kebijakan
publik adalah turunan dari politik-demokrasi sehingga melihatnya
sebagai sebuah produk interaksi antara negara dan publik.
Kebijakan publik mengatur, mengarahkan, dan mengembangkan interaksi
dalam komunitas dan antara komunitas dengan lingkungannya untuk kepentingan
agar komunitas tersebut dapat memperoleh atau mencapai
diharapkannya secara efektif.
kebaikan yang
Jadi, secara praktis dapat dikatakan bahwa
kebijakan publik adalah alat dari suatu komunitas yang melembaga untuk
mencapai kepercayaan sosial.
2.1.2. Tahapan Kebijakan Publik
Analisis kebijakan adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan
untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan
tentang dan dalam proses kebijakan 22 . Pembuatan proses dan kegiatan pada
dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses
20
Riant Nugroho, Pu blic Policy Dinamika kebijakan – An alisis Kebijakan – Manaje men Kebijakan, (Jakarta:
Gramedia, 2009), hal, 30
21 Hukum adalah salah sat u bentuk dari kebijakan publik, baik dari sisi w ujud m aupun produk, proses atau sisi
muatan.
22 William Du nn : 2004 Dalam Riant Nugroho, Public Policy Dinamika kebijakan – Analisis Kebijakan – Manajemen
Kebijakan, (Jakart a: Gramedia, 2009), hal. 269-270.
21
Universitas Sumatera Utara
pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling
bergantung dan diatur menurut urutan waktu yakni: penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Aktivitas yang bersifat intelektual terdiri dari perumusan masalah, peramalan
(forecasting), rekomendasi kebijakan, pemantauan (monitoring), dan evaluasi
kebijakan.
Kebijakan publik memiliki tahap yang cukup kompleks karena memiliki
banyak proses dan variabel. Menurut William Dunn 23 , tahap-tahap kebijakan
publik adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Kelompok masyarakat seperti parpol, ormas, serikat, ataupun kelompok
lainnya akan menyuarakan isu mereka kepada pemerintah. Isu yang
disampaikan oleh mereka akan bersaing untuk dapat masuk ke dalam
agenda kebijakan. Para pembuat kebijakan akan memilih isu yang akan
mereka angkat. Sedangka isu yang lain ada yang tidak tersentuh sama
sekali dan sebagian lagi akan didiamkan dalam waktu yang cukup lama.
b. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)
Isu yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan dan dibahas oleh para
pembuat kebijakan akan didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahan
masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif yang ada.Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk
23
Winar no, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta: Media Pressindo). hal. 28
22
Universitas Sumatera Utara
masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk memecahkan masalah.
c. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut
diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara
direktur lembaga atau keputusan peradilan.
d. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Kebijakan yang sudah diadopsi kemudian dirangkum melalui programprogram yang harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan
administrasi maupun agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang
telah diambil akan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap ini,
berbagai kepentingan akan bersaing. Beberapa implementasi kebijakan
mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin
akan ditentang oleh para pelaksana.
e. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah mampu memecahkan
masalah. Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk meraih
dampak yang diinginkan.Dalam hal ini memperbaiki masalah yang
dihadapi masyarakat.Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau
23
Universitas Sumatera Utara
kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik
telah meraih dampak yang diinginkan.
2.2. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada
dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan
publik tersebut24. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
KEBIJAKAN PUBLIK
KEBIJAKAN PUBLIK
PENJELAS
PROGRAM
PROYEK
KEGIATAN
PEM ANFAATAN
(BENEFICIARIES)
Gambar. 2.2.1. Sekuensi Implementasi Kebijakan
Rangkaian implementasi kebijakan, dari gambar di atas, dapat dilihat dengan
jelas, yaitu dimulai dari program, ke proyek, dan ke kegiatan.
24
Riant Nugroho, Pu blic Policy Dinamika kebijakan – An alisis Kebijakan – Manaje men Kebijakan, (Jakarta:
Gramedia, 2009), hal. 618-6 19.
24
Universitas Sumatera Utara
Secara etimologi, implementasi berasal dari bahasa Inggris yaiu to
implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out
(menyediakan sesuatu untuk melaksanakan sesuatu) dan to give practical effect to
(untuk menimbulkan dampak atau akibat berupa undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan peradilan, dan kebijakan yang dibuat oleh lembagalembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.
Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau
pejabat-pejabat kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya
tujuan-tujuan
yang
telah
digariskan
dalam
keputusan
kebijakan 25 .Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi
kebijakan di dalam kurun waktu tertentu 26 .Sedangkan Van Meter dan Horn
menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan27.
Implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami “apa yang
senyatanyaterjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yyakni
peristiwa - peristiwa dan kegiatan - kegiatan yang terjadi setelah proses
pengesahan kebijakan publik, baik
itu
menyangkut
usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak
tertentu pada masyarakat28.
Wahab, Solichin Abd ul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Im plementasi Kebijaksanaan Negara (Mala ng:
UMM Press) hal.65.
26 Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unver sity Press) hal.
132
27 (Van Meter dan Horn dalam Samodra : 2009) dalam Wibaw a, Samodra, dkk.1994. Evaluasi kebijakan Publik
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa) hal. 15.
28 (Mazm ian dan Sebastier dalam Solicin Abdul Wahab, 2008:1 76)
25
25
Universitas Sumatera Utara
Tahap implementasi kebijakan adalah tahap alternatif dimana telah
ditetapkan dan diwujudkan kedalam tindakan yang nyata. Tahap ini dilakukan
oleh unit-unit administratif dengan memobilisasi sumber daya yang ada. Tanpa
adanya implementasi, suatu kebijakan tidaklah berarti apa-apa dan hanya berupa
sebuah konsep saja. Implementasi kebijakan suatu rantai yang menghubungkan
formulasi
kebijakan
dengan
hasil
(outcome)
kebijakan
yang
diharapkan.Disimpulkan bahwa implementasi berupa penerapan, pelaksanaan,
penyelenggaraan, atau pengeksekusian suatu kebijakan yang telah ditetapkan.
2.2.1. Model-Model Implementasi Kebijakan
Kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan
dari banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang
terkait di dalamnya. Dalam implementasi kebijakan, terdapat beberapa model
kebijakan, yakni:
1. Model Implementasi Kebijakan George Edwar d III 29
Gambar 2.2.1.1: Dampak Langsung dan Tidak Langsung Dalam Implementasi
29 Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik: Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta: Gava Media) hal. 3133.
26
Universitas Sumatera Utara
Menurut George C. Edwards III ada empat variabel yang mempengaruhi
kebijakan publik, yaitu:
1. Komunikasi
Komunikasi, yaitu menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan dapat
dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana
program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Dalam hal ini
Edwards menjelaskan, bahwa jika pembuat keputusan / decision maker berharap
agar implementasi kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, maka ia harus
memberikan informasi secara tepat. Tujuan dan sasaran dari program/kebijakan
dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas
kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan
kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan
kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yang
sesungguhnya.
2. Sumber daya
Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh
sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya
finansial.Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas
implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran.Sumber daya
finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program/kebijakan.
Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi program/kebijakan pemerintah,
jika implementator kekurangan sumber daya, maka implementasi tidak akan
27
Universitas Sumatera Utara
efektif, adapun sumber daya yang dimaksud meliputi staff, informasi, otoritas, dan
fasilitas.
Sedangkan
sumber
daya
finansial
menjamin
keberlangsungan
program/kebijakan.Tanpa ada dukungan finansial yang memadai, program tak
dapat berjalan efektif dan cepat dalam mencapai tujuan dan sasaran.
3. Disposisi
Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada
implementor kebijakan/program.Karakter yang paling penting dimiliki oleh
implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Implementor yang
memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan
yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor
untuk tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline
program. Sebagaimana yang pernah Edward katakan dalam bukunya sendiri
bahwa disposisi merupakan hal yang krusial karena berlawanan dengan arah
kebijakan, jadi perspektif ini dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan
kebijakan yang sesungguhnya dengan implementasi kebijakan dilapangan. Salah
satu contoh kasus yang pernah diutarakan oleh Edward, bahwa banyak negara
bagian dan sekolah-sekolah di AS yang tidak mengalokasikan dana bagi anak
kebutuhan khusus meskipun aturan tentang alokasi dana tersebut telah dituangkan
dalam Title I of the Elementary and Secondary Education Act of 1965.
Pelanggaran ini disebabkan oleh sikap negara-negara bagian dan sekolah-sekolah
tersebut tidak berminat/not interested dalam mengimplementasikan kebijakan
tersebut.
28
Universitas Sumatera Utara
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting
dalam implementasi kebijakan.Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal
penting
pertama adalah
mekanisme,
dan struktur organisasi pelaksana
sendiri.Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui
standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline
program/kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas,
sistematis, tidak berbelit, dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi
acuan dalam bekerjanya implementor.
Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari
hal yang berbelit, panjang, dan kompleks.Struktur organisasi pelaksana harus
dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam
program secara cepat.Dan hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain secara
ringkas dan fleksibel menghindari “virus weberian” yang kaku, terlalu hirarkis,
dan birokratis.
2. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn 30
Menurut Meter dan Horn terdapat beberapa variabel yang diyakini dapat
mempengaruhi implementasi dan suatu model kinerja kebijakan. Beberapa
variabel yang terdapat dalam Model Meter dan Horn adalah sebagai berikut:
30 Subar sono,
AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pu staka Pelajar) hal. 99-
100.
29
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2.1.2.: Model Implementasi Van Meter dan Van Horn,
Sumber: Van Meter dan Van Horn, 1975: 463
(1) Standart kebijakan dan sasaran. Pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai
oleh program atau kebijakan, baik yang terwujud maupun tidak, jangka
pendek, menengah atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat
dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan
atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.
(2) Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik
sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia
(non-human resources).
(3) Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah
program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu,
diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu
program.
30
Universitas Sumatera Utara
(4) Karakteristik agen pelaksana. Mencakup birokrasi, norma-norma, dan polapola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya
menunjuk
seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang,
hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi dalam
mempengaruhi implementasi suatu program.
(5) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Menunjuk bahwa lingkungan dalam
ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan
itu sendiri. Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang
dapat mendukung keberhasilan imlementasi kebijakan; sejauh mana
kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan kepada implementasi
kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung ataukah menolak;
bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik
mendunkung implementasi kebijakan.
(6) Disposisi implementator. Mencakup kedalam tiga hal yang penting, Yakni: (a)
respons
implementor
kemauannya
untuk
terhadap
kebijakan
melaksanakan
yang
kebijakan,
akan
(b)
mempengaruhi
kognisi,
yakni
pemahamannya terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementator,
yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementator.
Dari pemaparan diatas, standar dan sasaran kebijakan dapat kita masukkan
kedalam variabel “komunikasi”, karena dari penjelasan yang ada mennunjukkan
bahwa diperlukannya standar dan sasaran kebijakan yang jelassehingga tidak
menimbulkan multi interpretasi maupun konflik. Sumber daya sejalan dengan
variabel “sumber daya”, yaitu mencakup SDM dan non-SDM.Hubungan antar
31
Universitas Sumatera Utara
organisasi masuk dalam variabel “struktur organisasi”.Karakteristik agen
pelaksana dan disposisi implementator, masuk dalam variabel disposisi”, karena
membicarakan tetang norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi pada
implementator merupakan dapat mengacu pada sikap yang ada pada
implementator dalam menyikapi nilai-nilai yang dibawa oleh kebijakan. Yang
sedikit berbeda adalah kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang tidak ada dalam
model edwards III, pada variabel ini terlihat bahwa model ini mempertimbangkan
faktor eksternal.
3. Model Implementasi Kebijakan Grindle
Implementasi menurut Grindle 31 , ditentukan oleh isi kebijakan dan
konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual biaya telah
disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan
mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada
isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang
dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3)
derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa
pelaksana program, (6) sumber daya yang dilibatkan.
Demikian
dengan
konteks
kebijakan
juga
memengaruhi
proses
implementasi.Yang dimaksud Grindle dengan konteks kebijakan adalah: (1)
kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga
dan penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas
31
Wibawa, Samodra, dkk.1994. Evaluasi kebijakan Publik (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa) hal. 15.
32
Universitas Sumatera Utara
keterlibatan para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran, dan para
pelaksana program akan bercampur baur memengaruhi efektivitas implementasi.
Hal ini searah dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang
dikemukakan oleh van meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap
proses implementasi kebijakan. Kelebihan dari Model Grindle dalam variabel
lingkungan kebijakan adalah model ini lebih menitikberatkan pada politik dari
para pelaku kebijakan.
Gambar 2.2.1.3: Implementasi sebagai proses politik dan administrative32
4. Model Implementasi Kebijakan Sebatier dan Mazmanian
Menurut Sebatier dan Mazmanian 33 , ada tiga kelompok variabel yang
mmengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah
32 Sebatier dan Mazmanian (1 983) dalam Merilee S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third
World, (Princeton University Press, New Jersey, p. 11)
33
Universitas Sumatera Utara
(tractability of the problems), (2) karakteristik kebijakan undang-undang (ability
of state to structure implementation), (3) variabel lingkungan (nonstatutory
variables affecting implementation). Kerangka berpkir yang mereka tawarkan
juga mengarah pada dua persoalan yang mendasar yaitu, kebijakan dan
lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini terkesan
menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila pelaksanaannya
mematuhi peraturan yang ada.
Gambar 2.2.1.4: Model Implementasi Kebijakan Sebatier dan Mazmanian
33 dalam Subarsono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
hal. 94
34
Universitas Sumatera Utara
5. Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978) The Top down Aproach 34
Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan
terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa dan
mekanisme pasar. Menurut Hogwood dan Gunn terdapat beberapa syarat yang
diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni:
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala pada saat
implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator,
sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar jangkauan wewenang
kebijakan dan badan pelaksana.
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai. Syarat kedua ini kerap kali muncul diantara kendala-kendala yang
bersifat eksternal. Artinya, kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik
dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan
karena alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek,
khususnya persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya
adalah bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan,
namun kurang peduli dengan penyediaan sarana yang digunakan untuk
mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan/pemotongan terhadap
pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan
program karena sumber-sumber yang tidak memadai. Masalah lain yang biasa
terjadi ialah apabila dana khusus untuk membiayai pelaksanaan program
Wahab, Solichin Ab dul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Im plement asi Kebijaksanaan Negara (Malang:
UMM Press) hal. 71.
34
35
Universitas Sumatera Utara
sudah tersedia harus dapat dihabiskan dalam tempo yang sangat singkat,
kadang lebih cepat dari kemampuan program/proyek untuk secara efektif
menyerapnya. Salah satu hal yang perlu pula ditegaskan disini, bahwa
dana/uang itu pada dasarnya bukanlah resources/sumber itu sendiri, sebab ia
tidak lebih sekedar penghubung untuk memperoleh sumber-sumber yang
sebenarnya. Oleh karena itu, kemungkinan masih timbul beberapa persoalan
berupa kelambanan atau hambatan-hambatan dalam proses konversinya, yaitu
proses mengubah uang itu menjadi sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan program atau proyek. Kekhawatiran
mengenai keharusan untuk mengembalikan dana proyek yang tidak terpakai
habis pada setiap akhir tahun anggaran seringkali menjadi penyebab kenapa
instansi-instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah) selalu berada pada
situasi kebingungan, sehingga karena takut dana itu menjadi hangus, tidak
jarang pula terbeli atau dilakukan hal-hal yang seharusnya tidak perlu.
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar -benar tersedia. Persyaratan
ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, artinya disatu pihak harus
dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang
diperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses impelementasinya
perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar dapat disediakan.
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang handal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan
secara
efektif
bukan
lantaran
karena
kebijakan
tersebut
telah
diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan
36
Universitas Sumatera Utara
itu sendiri memang buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau mau dicari, tidak
lain karena kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat pemahaman yang tidak
memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Sebabsebab timbulnya
masalah dan cara pemecahannya, atau peluang-peluang yang tersedia untuk
mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk
memanfaatkan peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini Pressman dan
Wildalsky 35 , menyatakan secara tegas bahwa setiap kebijakan pemerintah
pada hakikatnya memuat hipotesis (sekalipun tidak secara eksplisit) mengenai
kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang diramalkan bakal terjadi
sesudahnya. Oleh karena itu, apabila ternyata kelak kebijakan itu gagal, maka
kemungkinan penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadi
landasan kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang keliru.
5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky juga
memperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan sebab akibatnya
tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali
mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin
besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin
menjadi kompleks implementasinya. Semakin banyak hubungan dalam mata
rantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa diantaranya kelak terbukti
amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
35 Pr essman
dan Wildavsky (1973)
37
Universitas Sumatera Utara
6. Hubungan ketergantungan harus kecil. Implementasi yang sempurna menuntut
adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal, yang
untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada badanbadan lain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan
badanbadan/ instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan
organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik artian
jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program
ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan
tertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen terhadap setiap tahapan
diantara sejumlah besar aktor/ pelaku yang terlibat, maka peluang bagi
keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang dihar apkan
kemungkinan akan semakin berkurang.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan ini
mengharuskan adanya pemahaman yang
menyeluruh mengenai, dan
kesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan yang
penting,
keadaan
ini
harus
dapat
dipertahankan
selama
proses
implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik, dan
lebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh
seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan
mendukung, serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksana
program dapat dimonitor.
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat Persyaratan
ini mengandung makna bahwa dalam mengayun langkah menuju tercapainnya
38
Universitas Sumatera Utara
tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan
menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus
dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.
Sebenarnya, model Hogwood dan Gunn mendasarkan pada konsep
manajemen strategis yang mengarahakan pada praktik manajemen yang sistematis
dan tidak meninggalkan kaidah-kaidah pokok. Kelemahannya, konsep ini tidak
secara tegas menunjukkan mana yang bersifat politis, strategis, dan teknis atau
operasional.
2.3. Evaluasi
Sebuah kebijakan publik tidak dapat dilepas begitu saja.Kebijakan harus
selalu diawasi, dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut “evaluasi
kebijakan”.Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan
kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan konstituennya.Sejauh mana tujuan
dicapai.Evaluasi bertujuan untuk melihat antara “harapan” dan “kenyataan”.
Tujuan pokok evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan, melainkan
untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu
kebijakan publik.Evaluasi bertujuan untuk mencari kekurangan dan menutup
kekurangan. Ciri evaluasi kebijakan adalah:
(1) Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan
kinerja kebijakan.
(2) Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan,
pelaksana kebijakan, dan target kebijakan
(3) Prosedur dpat dipertangggung jawabkan secara metodologi
(4) Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian
(5) Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja
kebijakan.
39
Universitas Sumatera Utara
Evaluasi merupakan tahap terakhir didalam proses kebijakan publik. Rossi
dan Freeman36 menyatakan evaluasi berkaitan dengan penelitian sosial mengenai
konsepsialisasi dan pendesainan, implementasi dan pemanfaatan program
intervensi sosial yang dilakukan oleh pemerintah.
Evaluasi kebijakan 37 adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau
penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.Evaluasi
kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh
proses kebijakan.
Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan,
masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil
kebijakan dan program.
“Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran
(appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment), katakata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam
arti satuan nilainya. Evaluasi berkenaan denga produksi informasi
mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan38”
Pengertian di atas menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan merupakan hasil
kebijakan dimana pada kenyataannya mempunyai nilai dari hasil tujuan atau
sasaran kebijakan. Bagian akhir dari suatu proses kebijakan adalah evaluasi
kebijakan.
36
Wirawan, Evaluasi: teor i, model, standar, aplikasi, dan profesi, (Depok: PT Rajagrafindo Per sada, 2012), hal. 16.
1975)
38 Dunn, William, 2003, Pengantar An alisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua. (Yogyakarta: Gadjah Mada Unniver sity
Pr ess), hal 608
37 (Anderson:
40
Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Sifat Evaluasi
Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutantuntutan yang bersifat evaluatif. Di sini pertanyaan utamanya bukan mengenai
fakta (Apakah sesuatu ada ?) atau aksi (Apakah yang harus dilakukan ?) tetapi
nilai (Berapa nilainya ?). Karena itu evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik
yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya :
Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian
menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan progam. Evaluasi
terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial
kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan
informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi. Karena ketepatan
tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup
prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri39.
Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta”
maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kinerja kebijakan atau program
tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan
tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu,
kelompok atau seluruh masyarakat untuk menyatakan demikian, harus
didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan
konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah
tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
39 (Fracis
G. Caro, 1971:2)
41
Universitas Sumatera Utara
Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan
tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu,
ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksiaksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis
nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).
Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai
kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara.
Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada
(misalnya, kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi
dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi
pencapaian tujuan-tujuan lain), nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki
yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan
dan sasaran.
2.3.2. Fungsi Evaluasi
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan.
Menurut William N. Dunn fungsi evaluasi, yaitu:
“Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang
valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan.Kedua, evaluasi
memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemilihan tujuan dan target. Ketiga, evaluasi memberi
sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya,
termasuk perumusan masalah dan rekomendasi40”
Berdasarkan pendapat William N. Dunn di atas dapat disimpulkan bahwa
evaluasi merupakan suatu proses kebijakan yang paling penting karena dengan
evaluasi kita dapat menilai seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan dengan
40 Dunn,
William, 2003, Pengantar An alisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua. (Yogyakarta: Gadjah Mada Unniver sity
Pr ess), hal 609-610
42
Universitas Sumatera Utara
melalui tindakan publik, dimana tujuan-tujuan tertentu dapat dicapai. Sehingga
kepantasan dari kebijakan dapat dipastikan dengan alternatif kebijakan yang baru
atau merevisi kebijakan.
Selain hal tersebut diatas, evaluasi kebijakan memiliki 4 (empat) fungsi41 ,
yaitu:
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksana program dan
dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai
dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat
mengidentifikasi
masalah,
kondisi,
dan
aktor
yang
mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku lainnya, sesuai dengan standart dan prosedur
yang ditetapkan kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui apa output benar-benar sampai ke
tangan kelompok sarsaran kebijakan atau justru ada kebocoran atau
penyimpangan.
4. Akunting. Melalui evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari
kebijakan tersebut.
2.3.3. Tujuan Evaluasi Kebijakan
Dalam mengevaluasi kebijakan, ada fokus yang ingin dicapai oleh
Evaluator. Adapun tujuan evaluasi dapat dirincikan sebagai berikut42:
41 Samodra
Wibawa, Yuyun Purbokusu mo, dan Agus Pram usinto, Evaluasi Kebijakan Publik. Jakar ta: PT. Grafindo
Persada, 1994. Hal 10-1 1
42 Subar sono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teor i, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal.
120-121
43
Universitas Sumatera Utara
a) Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan, melalui evaluasi dapat
diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.
b) Mengukur tingkat efesiensi sutau kebijakan, dengan evalusasi dapat
diketaui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.
c) Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan, salah satu tujuan
evaluasi adalah mengukur pengeluaran ouput dari kebijakan
d) Mengukur dampak suatu kebijakan, evaluasi ditujukan untuk melihat
dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
e) Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan, evaluasi bertujuan untuk
mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi,
dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian
target.
f) Sebagai bahan melakukan (input) untuk kebijakan yang akan datang,
tujuan akhir dari evaluasi adalah memberikan masukan bagi proses
kebijakan kedepan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.
2.3.4. Model Evaluasi Kebijakan
Dua macam model evaluasi kebijakan43, yakni:
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau program yang sedang
diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah
program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa meningkatkan
keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi memerlukan evaluasi
43
Parsons, Wayne, 2008, Public Policy: Pen gantar Teori dan Pr aktik An alisis Kebijakan,Pr enada Media Group,
Jakart a (Hal. 549-552)
44
Universitas Sumatera Utara
‘formatif’ yang akan emonitor cara dimana sebuah program dikelola atau
diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk
meningkatkanproses implementasi.
Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi
ini sebgai evaluasi pada tiga persoalan:
Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat
Apakah penyampaian pelayanan konsisten dengan spesifikasi desain
program atau tidak
Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program
2. Evaluasi Sumatif
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur bagaimana kebijkan atau
program
secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya.
Model evaluasai ini pada dasarnya dalah model penelitian komparatif yang
mengukur beberapa persoalan yaitu:
Membandingkan sebelum dan sesudah program diimplementasikan
Membandingkan dampak intervensi terhadapsatu kelompok dengan
kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi subjek
intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok kontrol)
Membandingkan apa yang terjadi dengan apa yang mungkin terjadi
tanpa intervensi
Atau membandingkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda dalam
satu wilayah mengalami dampak yang berbeda-beda akibat dari
kebijakan yang sama.
45
Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Kriteria untuk Evaluasi Kebijakan
Suatu kebijakan yang telah diimplementasikan harus menghasilkan informasi
menegnai kinerja kebijakan.Mengevaluasi suatu program atau kebijakan publik
diperlukan adanya suatu kriteria untuk mengukur keberhasilan program atau
kebijakan publik tersebut. William N. Dunn44mengemukakan beberapak kriteria
dalam evaluasi, yakni:
TIPE KRITERIA
Efektivitas
Efisiensi
Kecukupan
Perataan
Resposivitas
Ketepatan
PERTANYAAN
Apakah
hasil
yang
diinginkan telah dicapai?
Seberapa banyak usaha
diperlukan untuk mencapai
hasil yang diinginkan?
Seberapa jauh pencapaian
hasil
yang
diinginkan
memecahkan masalah?
ILUSTRASI
Unit pelayanan
Unit biaya
Manfaat bersih
Rasio biaya-manfaat
Biaya tetap
(masalah tipe I)
Efektivitas tetap
(masalah tipe II)
Kriteria Pareto
Kriteria
kaldorHicks
Kriteria Rawls
Konsistensi dengan
survai warga Negara
Apakah biaya dan manfaat
didistribusikan
dengan
merata kepada kelompokkelompok tertentu?
Apakah hasil kebijakan
memuaskan
kebutuhan,
preferensi
atau
nilai
kelompok-kelompok
tertentu?
Apakah hasil (tujuan) yang Program
publik
diinginkan
benar-benar harus merata dan
berguna atau bernilai?
efisien
Tabel 2.3.5.1: Kriteria Evaluasi (Sumber: Dunn, 2003:610)
Kriteria-kriteria di atas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi
kebijakan publik.Dikarenakan penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka
pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang
dirumuskan oleh William N. Dunn untuk setiap kriterianya.Sedangkan untuk
44 Dunn,
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unver sity Press) hal.
610
46
Universitas Sumatera Utara
ilustrasi dilihat dari tabel di atas pembahasannya lebih kepada metode kuantitatif.
Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
2.3.5.1. Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya
keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Efektivitas disebut
juga hasil guna.Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang
diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Seperti yang dikemukakan
oleh Arthur G. Gedeian dkk dalam bukunya Organization Theory and Design
yang mendefinisikan efektivitas adalah That is, the greater the extent it which an
organization`s goals are met or surpassed, the greater its effectiveness (Semakin
besar pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas)45.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan
daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya.
Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar
daripada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuantujuan tersebut. William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua, menyatakan bahwa:
“Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternative
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari
diadakannya tindakan.Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas
teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai
moneternya46”.
45 Gedeian,
46 Dunn,
1991:61
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unver sity Press) hal.
429
47
Universitas Sumatera Utara
Apabila
setelah
pelaksanaan
kegiatan
kebijakan
publik
ternyata
dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi
masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah
gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif
dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.
Efektifitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian
dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.Efektivitas tersebut juga hasil guna.Efektivitas selalu terkait
dengan hubungan anatara hasil yang diharapkan dengan hasil yang
sesungguhnya dicapai47.
Berdasarkan pendapat diatas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan
organisasi semakin besar, maka efektifitasnya akan semakin besar pula.
Kesimpulannya adanya pencapaian yang besar dari organisasi, maka makin besar
pula hasil yang akan dicapai dari tujuan tersebut. Apabila setelah terlaksananya
kegiatanpublik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan
yang sedang dihadapi masyarakat , maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan
kebijakan tersebut telah gagal, tetapi ada saat dimana suatu kebijakan publik itu
saat di jalankan hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, tetapi etelah
melalui beberapa proses tertentu.Pendapat lain juga dinyatakan oleh Susanto,
yaitu: “efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat
kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi48”. Berdasarkan definisi tersebut,
peneliti beranggapan bahwa efektivitas bisa tercipta jika pesan yang disampaikan
dapat mempengaruhi khalayak yang diterpanya.
47 Menur ut
Winarno (2002:1 84)
197 5:156)
48 (Susanto,
48
Universitas Sumatera Utara
Menurut pendapat David Krech, Ricard S. Cruthfied dan Egerton L.
Ballachey dalam bukunya Individual and Society yang dikutip Sudarwan Danim
dalam bukunya Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok menyebutkan
ukuran efektivitas, sebagai berikut:
1. Jumlah hasil yang dapat dikeluarkan, artinya hasil tersebut berupa
kuantitas atau bentuk fisik dari organisasi, program atau kegiatan. Hasil
dimaksud dapat dilihat dari perbandingan (ratio) antara masukan
(input) dengan keluaran (output).
2. Tingkat kepuasan yang diperoleh, artinya ukuran dalam efektivitas ini
dapat kuantitatif (berdasarkan pula jumlah atau banyaknya) dan dapat
kualitatif (berdasarkan pada mutu).
3. Produk kreatif, artinya penciptaan hubungannya kondisi yang kondusif
dengan dunia kerja, yang nantinya dapat menumbuhkan kreativitas dan
kemampuan.
4. Intensitas yang akan dicapai, artinya memiliki ketaatan yang tinggi
dalam suatu tingkatan intens sesuatu, dimana adanya rasa saling
memiliki dengan kadar yang tinggi.49
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ukuran daripada
efektivitas diharuskan adanya suatu perbandingan antara masukan dan
keluaran.Ukuran daripada efektivitas mesti adanya tingkat kepuasan dan adanya
penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi.Artinya
ukuran daripada efektivitas adalah adanya keadaan rasa saling memiliki dengan
tingkatan yang tinggi. Adapun menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh
Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa
ukuran daripada efektivitas50, yaitu:
49 (Dalam
50 (Dalam
Danim, 2004:119-120)
Steer s, 1985:4 6-48)
49
Universitas Sumatera Utara
1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi;
2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;
3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan
kemungkinan dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;
4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap
biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut;
5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah
semua biaya dan kewajiban dipenuhi;
6. Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang
dan masa lalunya;
7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya
sepanjang waktu;
8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada
kerugian waktu;
9. Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian
tujuan, yang melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan
perasaan memiliki;
10. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu
untuk mencapai tujuan;
11. Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai
satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan
mengkoordinasikan;
12. Keluwesan Adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk
mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk
mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan;
Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas
merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang
akan dicapai. Selain itu, menunjukan pada tingkat sejauhmana organisasi,
program/kegiatan melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal.
50
Universitas Sumatera Utara
2.3.5.2. Efisiensi
Menurut William N. Dunn51
“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan
untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu.Efisiensi yang merupakan
sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara
efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos
moneter.Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit
produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi
dengan biaya terkecil dinamakan efisien” .
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata
sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan
terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan
kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.
2.3.5.3. Kecukupan
Menurut Dunn52:
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah
dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal.Kecukupan
(adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas
memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan
adanya masalah.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih
berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa
jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan
dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
51 Dunn,
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unver sity Press) hal.
430
52 Ibid
51
Universitas Sumatera Utara
Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan
antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria tersebut berkenaan
dengan empat tipe masalah53, yaitu:
1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan
efektivitas yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah
memaksimalkan efektivitas pada batas risorsis yang tersedia.
2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas yang
sama dan biaya yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah
untuk meminimalkan biaya.
3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan
efektivitas yang berubah dari kebijakan.
4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan
juga efektivitas tetap dari kebijakan. Masalah ini dapat dikatakan sulit
dipecahkan karena satu-satunya alternatif kebijakan yang tersedia
barangkali