T2 752013008 BAB III

BAB III
KONFLIK DAN UPAYA PENYELESAIANNYA DI JEMAAT GPM
REHOBOTH

Jemaat GPM Rehoboth didiami oleh berbagai etnis dengan ragam budaya, adat
istiadat, juga hidup berdampingan dengan 14 Organisasi Gereja Dedominasi dan
disekitarnya ada masyarakat yang beragama Islam dan Katolik. Kondisi ini menjadikan
Jemaat GPM Rehoboth heterogen. Heterogenitas itu tentu saja dapat menjadi modal
pembangunan kehidupan jemaat yang terwujud dalam sikap saling menghargai,
menghormati dan membantu dalam lingkup pelayanan Jemaat maupun terhadap jemaatjemaat lain (yang bukan warga jemaat GPM Rehoboth). Kendati begitu, heterogenitas
masyarakat dari segi-segi diatas bisa saja menjadi ancaman. Hal inilah yang menjadi
bagian dari hasil-hasil temuan dalam penelitian ini.
Secara geografis, kondisi fisik wilayah pelayanan sebagian besar merupakan
daerah berbukit khususnya pada bagian Selatan dan hanya sebagian kecil daerahnya
yang datar yakni pada bagian Utara. Kondisi wilayah pelayanan yang cukup luas dengan
kondisi fisik wilayah yang berbukit, merupakan tantangan pelayanan tersendiri.
A. Gambaran Umum Jemaat Rehoboth
a. Kondisi Wilayah Pelayanan
Secara administratif pemerintahan, wilayah pelayanan Jemaat GPM Rehoboth
terletak di Kecamatan Nusaniwe, dan anggota jemaatnya membaur serta menyebar
dengan masyarakat lainnya pada 4 Kelurahan dan 1 Negri (bac:Desa), yakni; (1)

Kelurahan Kudamati; (2) Kelurahan Wainitu; (3) Kelurahan Mangga Dua; (4) Kelurahan

38

Waihaong; dan; (5) Negeri Urimessing (Dusun Seri). Sedangkan secara administratif
Gereja, wilayah pelayanan Jemaat GPM Rehoboth terbentang dari pesisir Tanah Lapang
Kecil menuju daerah perbukitan Gunung Nona dengan luas lebih kurang 1,20 Km2, dan
terbagi dalam 19 sektor dengan membawahi 66 unit pelayanan.
Kondisi fisik wilayah sangat variatif, sebagian besar wilayah merupakan daerah
perbukitan khususnya pada daerah sebelah Selatan, sedangkan daerah sebelah Utara
relatif datar, dengan batas-batas wilayah pelayanan sebagai berikut:
 Sebelah Utara

: Teluk Ambon

 Sebelah Selatan

: Jemaat GPM Kesya, Jemaat GPM Seri.




: Jemaat GPM Imanuel – OSM dan Jemaat

Sebelah Barat

GPM Eden.
 Sebelah Timur

: Jemaat GPM Silo, Jemaat Kategorial
GPM Sinar Kasih,
POLRI dan Jemaat GPM Menara Kasih.

B. Potensi Sumberdaya Jemaat dan Tantangan Pelayanan
Perkembangan anggota jemaat (masyarakat) pada periode lima tahun terakhir
nampaknya terus menunjukkan angka kenaikan, baik yang disebabkan oleh kelahiran,
migrasi maupun perpindahan akibat tugas dengan rata-rata pertumbuhan 2,5 persen
pertahun.
a. Demografi.
Sampai dengan tahun 2011, jumlah anggota jemaat GPM Rehoboth tercatat
sebanyak 9.119 jiwa, terdiri dari perempuan sebanyak 4.660 jiwa (51 persen) dan lakilaki sebanyak 4448 jiwa (49 persen). Dilihat dari komposisi umur, jumlah terbanyak


39

adalah usia 16-45 tahun yakni sebanyak 4.503 jiwa, selanjutnya usia 46-59 tahun
sebanyak 1.276 jiwa, usia 60-85 tahun sebanyak 685 jiwa,usia 13-15 tahun sebanyak
585 jiwa, usia 7-9 tahun sebanyak 556 jiwa, usia 10-13 tahun sebanyak 538 jiwa dan
diikuti dengan kelompok uisa lainnya. (lihat tabel I).

Tabel I
Jumlah Anggota Jemaat GPM Rehoboth
Menurut Kategori Usia Tahun 2011
Kategori Usia
N
O.

Sektor

1
2
3

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Elim
Galilea
Petra

Tiberias
Siloam
Bethania
Yarden
Ora et Labora
Bethlehem
Calvari
Sion
Imanuel
Bethabara
Sinai
Karmel
Christy
Natalia
Viadolorosa
Sumber Kasih
Zaitun

10 – 12


13 - 15

16 – 45

46 - 59

60-85

Lk

0–3
Pr

4–6
Lk

Pr

7–9
Lk


Pr

Lk

Pr

Lk

Pr

Lk

Pr

Lk

Pr

Lk


9
22
10
16
14
12
11
10
27
14
20
10
22
11
8
8

5
16

12
9
13
4
11
8
27
17
18
9
20
8
6
9

9
15
6
5
14

3
10
10
17
16
13
17
15
13
9
20

12
13
4
5
5
4
11
9

17
20
16
15
19
11
8
10

12
18
13
14
9
6
17
8
27
24
19
14
26
12
2
15

6
15
7
8
12
7
13
6
18
28
17
10
23
8
5
22

10
12
17
5
7
9
22
16
20
22
35
13
13
18
6
10

4
11
8
6
16
9
28
10
23
18
19
10
20
10
8
14

8
14
7
7
8
12
22
11
27
20
23
9
19
13
12
17

12
15
17
11
17
10
18
15
20
32
30
9
19
17
15
14

78
141
83
58
78
102
150
83
223
156
179
108
221
97
29
152

97
135
87
67
95
117
186
84
224
181
192
85
208
77
26
140

13
33
19
16
20
17
36
24
50
50
48
18
73
29
35
34

24
31
21
19
26
30
47
28
44
59
48
25
81
41
38
47

10
15
17
6
17
15
34
11
17
30
37
8
19
9
22
20

14
18
17
12
19
21
38
26
11
33
50
9
26
15
21
17

1
1
1
1

1
1
3
1
1
1
1
2
1
-

12
7
13

15
20
8

10
14
22

17
24
10

27
12
11

23
28
14

22
15
11

19
13
9

12
24
11

12
12
14

27
119
115

53
128
122

25
25
27

20
24
31

5
10
10

3
14
9

-

1
-

>86
Pr

Sumber: Renstra Jemaat GPM Rehoboth

Dari jumlah anggota jemaat di atas, yang telah menjadi anggota Baptis sebanyak 8.289
orang, diteguhkan sebagai Sidi Gereja sebanyak 6.607 orang, sedangkan yang telah
menikah sebanyak 4.592 orang.

40

L
k

Pr

b. Pendidikan.
Keunggulan kompetitif kualitas di setiap jenjang pendidikan menunjukkan
kemajuan yang cukup baik. Itu berarti merupakan potensi yang cukup besar bagi
kemajuan pembinaan pelayanan. Kualitas pelayanan seyogianya juga perlu didukung
dengan sumberdaya manusia yang terampil dan berkualitas.
Dari data yang diperoleh ternyata klasifikasi pendidikan anggota jemaat sangat
bervariasi, antara lain untuk S3 sebanyak 15 orang, S2 sebanyak 78 orang, S1 sebanyak
1.033 orang, Diploma sebanyak 521 orang, SMU/SMK sebanyak 4.298 orang, SLTP
sebanyak 1.301 orang dan SD sederajat sebanyak1.056 orang. Gambaran secara jelas
tentang klasifikasi pendidikan formal anggota jemaat dapat diikuti pada tabel II.
Tabel II.
Klasifikasi Pendidikan Anggota Jemaat GPM Rehoboth
Tahun 2007 – 2011
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011

S3
5
5
6
8
15

S2
59
65
66
70
78

Klasifikasi Pendidikan
S1
Diplom SLTA
a
741
379
3.226
854
436
3.756
918
469
4.009
942
476
4.115
1.033
521
4.298

SLTP
1.002
1.092
1.155
1.207
1.301

SD
755
796
869
910
1.056

Sumber : PHMJ GPM Rehoboth

Gambaran tabel II di atas, menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2011 jumlah
anggota Jemaat GPM Rehoboth yang memiliki klasifikasi pendidikan terbanyak adalah
pada jenjang pendidikan SLTA yakni 29,14 persen, selanjutnya SLTP sebanyak 8,82
persen, SD sebanyak 7,17 persen, S1 sebanyak 7,00 persen, Diploma sebanyak 3,53
persen, S2 sebanyak 0,53 persen dan S3 sebanyak 0,10 persen.
41

Di sisi penyediaan prasarana dan sarana (infrastruktur) pendidikan baik oleh
pemerintah maupun lembaga pendidikan Kristen di daerah pelayanan Jemaat GPM
Rehoboth, tersedia 2 Unit Taman Kanak-Kanak, 3 komplek persekolahan Sekolah
Dasar, 2 komplek persekolahan Sekolah Menengah Pertama, 3 komplek persekolahan
Sekolah Menengah Umum/Kejuruan dan 1 lembaga perguruan tinggi (UKIM).
Khusus untuk sarana dan prasarana pendidikan yang dikelola oleh Yayasan
Pendidikan Persekolahan Kristen (YPPK) Dr.J.B. Sitanala yakni, 1 komplek
persekolahan mulai dari jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) sampai dengan
menengah (SMU), melalui pergumulan yang panjang atas kerjasama Sinode Gereja
Protestan Maluku dengan lembaga pendidikan Yayasan Lentera Harapan Jakarta telah
disepakati untuk dikelola oleh Yayasan Lentera Harapan.
Kesepakatan terhadap kerjasama, mulai tahun 2011 persekolahan Rehoboth
milik YPPK disiapkan menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan terintegrasi
dibawah tanggung jawab pembinaan dan pengelolaan oleh Yayasan Pendidikan Lentera
Harapan Jakarta. Untuk menunjang proses pembelajaran pada persekolahan Lentera
Harapan, sampai dengan tahun 2011 terdapat 302 siswa SD dengan guru 16 orang, siswa
SMP 150 orang dengan guru 10 orang dan siswa SMA 195 orang dengan guru 11, dan
ini dapat terlihat pada tabel III
Kesepakatan kerjasama antara GPM dengan Yayasan Lentera Harapan
mewajibkan pihak Yayasan Lentera untuk menyediakan sumberdaya tenaga pendidik
dan melatih meningkatkan kapasitas serta mutunya agar dapat memenuhi standar
pendidikan yang berkualitas sehingga dapat bersaing dengan lembaga pendidikan secara
nasional.

42

Tabel III
Jumlah Siswa dan Guru pada kompleks
Persekolahan YPPK Rehoboth
No.

Kelas

1.
I
2.
II
3.
III
4.
IV
5.
V
6.
VI
7.
VII
8.
VIII
9.
IX
10.
X
11.
XI
12.
XII
Jumlah

Jumlah Siswa dan Guru pada Setiap Jenjang
SD
SMP
SMA
Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru
55
16
58
45
44
48
52
60
10
45
45
55
11
62
78
302
16
150
10
195
11

Sumber: YPPK Sitanala Rehoboth

c. Putus Sekolah dan Pengangguran.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) baru saja mengeluarkan survei
terbarunya mengenai angka pengangguran pada anak yang putus sekolah. Survei
menemukan tingkat pengangguran sangat besar di antara mereka yang putus sekolah
yakni pada kelompok usia 15 – 17 tahun dengan angka pengangguran sebesar 71 persen.
Besaran tersebut berkurang secara berangsur-angsur menjadi sekitar 53 persen untuk
usia 19 - 20 tahun dan 20 persen untuk usia 23 – 24 tahun. Anak yang putus sekolah dan
masuk dunia kerja memang dapat membantu perekonomian keluarga untuk jangka
pendek, namun tidak sampai di usia dewasa. Ia kemungkinan besar gagal atau kurang

43

berhasil dalam kehidupan bekerjanya ketimbang mereka yang berhasil menamatkan
pendidikannya.
Salah satu penyebab anak putus sekolah adalah karena ekonomi keluarga yang
kurang mampu dan distribusi bantuan pemerintah yang belum merata. Kondisi yang
demikian ditemui pada Jemaat GPM Rehoboth, di mana beberapa tahun terakhir ini
jumlah anak putus sekolah memang tidak terlalu menonjol, namun angka pengangguran
sangat tinggi yakni lebih kurang 28 - 30 persen. Tingginya angka pengangguran
dipengaruhi berbagai faktor. Misalnya, minimnya perhatian dari orang tua untuk
menyekolahkan anaknya dan juga pengaruh lingkungan masyarakat sekitar yang kurang
―mendukung‖.
Putus Sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik
yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan berikutnya. Masalah putus
sekolah khususnya pada jenjang pendidikan rendah, kemudian tidak bekerja atau
berpenghasilan tetap, dapat merupakan beban masyarakat bahkan sering menjadi
penggangu ketentraman masyarakat. Hal ini ini diakibatkan kurangnya pendidikan atau
pengalaman intelektual, serta tidak memiliki keterampilan, sehingga sulit diterima kerja.
Itupun juga kalau Ia tidak berusaha menyeimbangkannya dengan pengalamanpengalaman kerja di bidang informal yang kurang memperhatikan tenaga kerja dari latar
belakang pendidikan tinggi.

Orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah bisa

mengalami frustasi dan merasa rendah diri tetapi bersikap over acting, bisa
menimbulkan

gangguan-gangguan

dalam

masyarakat

berupa

perbuatan

yang

bertentangan dengan norma-norma sosial.

44

C. Pembinaan Jemaat.
a.

Pelayanan Jemaat.

Proses pembinaan dan pendampingan umat dalam konteks pelayanan jemaat
sangat variatif dengan tetap berpedoman pada norma dan etika tata pelayanan jemaat
GPM. Tujuannya adalah untuk memotivasikan umat agar berkarya dan berbuat dengan
tetap mengedepan karya keselamatan Allah dalam ketritunggalan-Nya. Keterpanggilan
umat dalam tanggung jawab pelayanan dilakukan secara teratur dalam berbagai bentuk
ibadah, meliputi:
1)

Pelayanan ibadah minggu sebanyak 11 kali dalam seminggu pada
7 rumah gereja, disertai dengan pelayanan rumah kepada orang
sakit, lanjut usia oleh seluruh perangkat pelayan di jemaat.

2)

Pelayanan ibadah Unit pada setiap hari jumat.

3)

Pelayanan ibadah Sektor pada setiap akhir bulan.

4)

Pelayanan HUT pernikahan keluarga yang dilaksanakan oleh para
Pendeta.

5)

Pelayanan HUT kelahiran pada unit-unit pelayanan yang
dilaksanakan oleh Majelis Jemaat dan Koordinator Unit.

Selain ibadah-ibadah jemaat, dilaksanakan juga ibadah-ibadah oleh Wadah
Pelayanan laki-laki dan perempuan serta pemuda maupun pada unit tertentu di beberapa
Sektor juga dilaksanakan Ibadah Binakel/Gatris pada setiap hari Sabtu, dengan
pembagian menjadi beberapa kelompok. Hasil evaluasi terhadap kehadiran anggota
jemaat dalam setiap ibadah, khususnya pada ibadah di unit-unit maupun wadah-wadah
pelayanan lainnya masih belum terlalu maksimal, dan ini menjadi tantangan yang cukup

45

besar untuk digumuli. Pada tabel IV tergambar secara jelas rata-rata kehadiran anggota
jemaat dalam ibadah Unit maupun Wadah Pelayanan selama tahun 2011 hanya sebesar
55,74 persen, terdiri dari laki-laki sebesar 46,57 persen, sedangkan perempuan sebesar
64,91 persen.
Tabel IV
Kehadiran Anggota Jemaat Dalam Setiap Ibadah Unit dan
Wadah-Wadah Pelayanan Jemaat GPM Rehoboth

NO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.

SEKTOR
Sumber Kasih
Yarden
Orel
Sinai
Viadolorosa
Christy Natalia
Imanuel
Calvary
Petra
Sion
Bethabara
Gelilea
Elim
Bethlehem
Bethania
Zaitun
Siloam
Tiberias
Karmel

KEHADIRAN
LAKI-LAKI
(%)
28
38
64
47
42
94
37
49
45
47
51
64
84
50
30
32
30
46
30

KEHADIRAN
PEREMPUAN
(%)
69
45
96
90
100
94
72
42
49
50
44
66
73
39
64
55
62
78
49

KET

Sumber data: Renstra Jemaat GPM Rehoboth 2010-2015

b. Pendidikan Anak dan Remaja
Gereja Protestan Maluku menyelenggarakan pendidikan formal gereja pada
jenang pendidikan anak, remaja dan katekisasi. Jenjang pendidikan Anak dan remaja
sebagai basis sumberdaya manusia gereja adalah aset yang harus diperhatikan secara

46

serius di dalam mengantisipasi pergerakan dunia di era globalisasi yang dengan sangat
cepat dan transparan menawarkan hal-hal positif maupun negatif. Dengan demikian
pembinaan di jenjang anak, remaja dan katekisasi menjadi hal yang utama di dalam
pembentukan spiritualitas umat yang membumi serta mampu menjawab perkembangan
zaman dengan segala tantangannya. Oleh karena itu penguatan sumberdaya manusia
melalui pendidikan berjenjang beserta tenaga pendidik menjadi penting di dalam proses
pembinaan dimaksud.
Penguatan sumberdaya umat melalui Sekolah Minggu Tunas Pekabaran Injil
(SM-TPI) mengacu pada kurikulum sinode GPM yang bertumpu pada 3 pilar utama
yaitu Firman, Gereja dan Konteks. Penguasaan ruang lingkup ketiga pilar tersebut
membutuhkan bukan hanya kuantitas tetapi juga kualitas pengasuh (pendidik), sehingga
pelayanan terhadap seluruh umat khususnya anak dan remaja dapat terjangkau. Di dalam
perjalanannya SM-TPI Jemaat GPM Rehoboth mampu membuktikan hal ini dalam
beberapa prestasi penting baik di tingkat Klasis maupun Sinode. Pada tahun 2009, SMTPI Jemaat GPM Rehoboth meraih juara I lomba pidato bahasa Inggris Jambore Remaja
tingkat Klasis Pulau-Pulau Ambon. Pada tahun 2010, SM-TPI Jemaat GPM Rehoboth
meraih juara I lomba cerdas cermat memperingati HUT GPM tingkat Sinode dan pada
tahun 2011, meraih juara harapan III lomba Pesparawi Kota Ambon.
Jemaat GPM Rehoboth merupakan salah satu jemaat dengan karakteristik
geografis dan etnografis sangat beragam (heterogen). Dengan demikian pendekatan
kelompok ajar berdasarkan letak geografis dipraktekan selama ini dan dirasakan cukup
efektif. Di dalam wilayah pelayanan Jemaat GPM Rehoboth terdapat 32 kelompok

47

belajar SM-TPI, dan ini dapat dilihat pada tabel V. Dengan adanya pembagian kelompok
seperti ini maka tantangan karakteristik wilayah dapat diminimalisasi.
Tantangan lain yang sangat berpengaruh didalam meningkatkan efektivitas
pembinaan adalah peran serta orang tua didalam memberi dorongan kepada peserta didik
bahwa keikutsertaannya di sekolah minggu merupakan sarana pembentukan karakter
mereka. Peran serta para pelayan maupun koordinator unit atau sektor selama ini
memang diharapkan untuk meningkatkan kinerja para pengasuh di kelompok-kelompok
tersebut. Oleh karena itu fungsi kontrol terhadap aktivitas SM-TPI menjadi agenda rutin
dari para pelayanan di Unit maupun Sektor pelayanan.
Tabel V
Kelompok Mengajar SM-TPI Jemaat GPM Rehoboth
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Sektor
Elim
Galilea
Petra
Tiberias
Siloam
Behtania
Yarden
Ora et Labora
Bethlehem
Calvari
Sion
Zaitun
Via Dolo Rosa
Imanuel
Christi Natalia
Karmel
Sinai
Sumber Kasih
Bethabara

Kelompok SMTPI
Desemse
Galilea 2, Galilea 3
Petra, Apostolos
Tiberias, Via Dolo Rosa
Siloam
Alhairani, Pniel
Eklesia, Kawan Seiman
Dalyer, Orel 3
Bethlehem, Bt. Gantung 2, Bethabara Bt. Gantung
Calvari
Sion
Exaudia
Diaspora 1, Diaspora2
Doulas, Gets Batu Gantung
Christi Natalia
Yerikho
Kumatu,Euaggelion, Nazareth
Sumber Kasih 1, Sumber Kasih 2
Bethabara 1, Bethabara 2

Sumber :Sub Komisi Anak dan Remaja GPM Rehoboth

Jemaat GPM Rehoboth memiliki 2.053 orang anak tanggung dan 585 anak
remaja yang diasuh oleh tenaga pengasuh sebanyak 278 orang dan terdistribusi dalam 4
48

jenjang dan 12 sub jenjang (komunikasi interpersonal). Dari jumlah keseluruhan
pengasuh jika dikuantifikasi maka, kurang lebih 1 pengasuh mengasuh 6 sampai 7 orang
nara didik. Rasio ini, sebenarnya cukup ideal untuk menunjang peningkatan kualitas
Proses Belajar Mengajar (PBM). Artinya dengan rasio ini diharapkan PBM lebih efektif,
sehingga pengasuh lebih mudah membimbing dan mengenal nara didiknya.
Persoalannya adalah bagaimana mekanisme distribusi tenaga pengasuh tiap jenjang
berdasarkan kemampuannya yang mereka miliki. Nara didik tidak mudah memahami
topik atau materi yang diberikan kalau kemampuan pengasuh tidak mampu menciptakan
suasana pembelajaran yang nyaman serta pandai menggunakan sumberdaya di sekitar.
Sehingga dapat menarik perhatian nara didik terlibat proses pembelajaran.
Penguatan sumberdaya nara didik jenjang anak dan remaja yang selama ini
sudah dilakukan dalam bentuk PBM, bimbingan pengasuh, penataran pengasuh,
pelatihan kepemimpinan anak dan remaja, evaluasi akhir semester dan sebagainya, tentu
tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan fasilitas yang menunjang pembelajaran. Oleh
karena itu fasilitas/alat pembantu mengajar atau alat peraga tersebut juga merupakan hal
penting yang dibutuhkan dalam PBM, sehingga penerapan garis-garis besar pokok
pengajaran sesuai topik ataupun konteks yang akan diajarkan lebih optimal.
c. Katekisasi.
Katekisasi merupakan jenjang pendidikan formal gereja tertinggi bagi anggota
jemaat yang akan diteguhkan menjadi anggota sidi gereja. MJ GPM Rehoboth
melakukan pembinaan katekisasi terhadap anggota jemaat yang berasal dari berbagai
latar belakang dan usia (khususnya yang belum sidi). Jumlah siswa yang terdaftar
katekisasi berbeda-beda setiap tahun dan terdistribusi pada 4 gereja dan dilayani oleh 10

49

orang tenaga pengajar. Tenaga pengajar katekisasi adalah yang memiliki latar belakang
sebagai Pendeta dan Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK). Materi pembelajaran
yang diberikan kepada siswa adalah yang sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan oleh
Sinode GPM. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum berbasis konteks dan
merupakan kelanjutan dari kurikulum SM-TPI.
Dalam perkembangannya ternyata pembinaan katekisasi juga memiliki beberapa
kendala antara lain:
1)

Para orang tua belum sepenuhnya memahami betapa pentingnya
proses pembinaan secara berkelanjutan terhadap perkembangan
rohani seorang anak dalam keluarga kristen. Kebanyakan masih
memiliki pemahaman bahwa katekisasi hanya merupakan
kebijakan formalitas yang harus diikuti oleh seluruh umat dalam
suatu jemaat. Ketidakseriusan para orang tua tampak terlihat
ketika baru mendaftarkan anaknya setelah katekhisasi berjalan
selama 2-3 bulan.

2)

Dari sisi nara didik, sebagai siswa katekisasi juga ternyata ada
yang sangat sulit menerima materi-materi yang disampaikan.
Kesulitan ini lebih diakibatkan karena ternyata nara didik
tersebut tidak mengikuti program pendidikan di tingkat SM-TPI,
sehingga tidak ada keberlanjutan di dalam pembelajaran atau
proses pembinaan terhadap anak.

3)

Waktu katekisasi 1

kali seminggu dan kurang dari 2 jam,

ternyata dirasakan kurang efektif di dalam menyelesaikan

50

keseluruhan materi dalam kurikulum yang dipakai tersebut,
apalagi dalam perjalanannya diselingi dengan waktu libur.

D. Gambaran Umum Kondisi Kepemudaan Jemaat GPM Rehoboth
Pemuda merupakan penerus perjuangan generasi terdahulu untuk mewujukan
cita-cita bangsa. Pemuda menjadi harapan dalam setiap kemajuan di dalam suatu
bangsa, Pemuda lah yang dapat merubah pandangan orang terhadap suatu bangsa dan
menjadi tumpuan para generasi terdahulu untuk mengembangkan suatu bangsa dengan
ide-ide ataupun gagasan yang berilmu, wawasan yang luas, serta berdasarkan kepada
nilai-nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Baik buruknya suatu masyarakat dilihat dari kualitas pemudanya, karena
generasi muda adalah penerus dan pewaris Bangsa, Negara dan Gereja. Generasi muda
harus mempunyai karakter yang kuat untuk membangun bangsa dan Gerejanya,
memiliki kepribadian tinggi, semangat nasionalisme, berjiwa saing, mampu memahami
pengetahuan dan teknologi untuk bersaing secara global. Pemuda juga perlu
memperhatikan bahwa mereka mempunyai fungsi sebagai Agent of change, moral force
and sosial kontrol sehingga fungsi tersebut dapat berguna bagi masyarakat.

Pemuda berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen
perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional. Peran aktif pemuda sebagai
kekuatan moral diwujudkan dengan menumbuhkembangkan aspek etik dan moralitas
dalam bertindak pada setiap dimensi kehidupan kepemudaan, memperkuat iman dan
taqwa serta ketahanan mental-spiritual, dan meningkatkan kesadaran hukum. Sebagai

51

kontrol sosial diwujudkan dengan memperkuat wawasan kebangsaan, membangkitkan
kesadaran

atas

tanggungjawab,

hak,

dan

kewajiban

sebagai

warga

negara,

membangkitkan sikap kritis terhadap lingkungan dan penegakan hukum, meningkatkan
partisipasi dalam perumusan kebijakan publik, menjamin transparansi dan akuntabilitas
publik, dan memberikan kemudahan akses informasi.

Dalam proses pembangunan masyarakat, pemuda merupakan kekuatan moral,
kontrol sosial, dan agen perubahan sebagai perwujudan dari fungsi, peran, karakteristik,
dan kedudukannya yang strategis dalam pembangunan nasional. Untuk itu, tanggung
jawab dan peran strategis pemuda di segala dimensi pembangunan perlu ditingkatkan
dalam kerangka hukum nasional sesuai dengan nilai yang terkandung di dalam Pancasila
dan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan
berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kebangsaan, kebhinekaan,
demokratis, keadilan, partisipatif, kebersamaan, kesetaraan, dan kemandirian.
Gereja protestan Maluku memiliki organisasi kepemudaan yang dikenal dengan
sebutan Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (disingkat AM-GPM). Organisasi
tersebut memiliki cabang dan ranting di semua wilayah GPM. Secara operasional
memiliki tujuan membina Pemuda GPM sebagai pewaris dan penerus nilai-nilai Injili
agar memiliki ketahanan iman, iptek, sosio ekonomi, sosio budaya dan sosio politik
untuk mewujudkan tanggung jawabnya dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Sesuai Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga AMGPM Bab VIII tentang Keanggotaan, pasal 12 menyebutkan anggota AM-GPM adalah
semua Anggota GPM yang berusia 17-45 tahun. Sedangkan menurut UU Kepemudaan
nomor 40 tahun 2009 batasan usia pemuda Indonesia yakni 15 sampai dengan 30 tahun.
52

Dalam teori perkembangan kognitif Piaget57 usia 11 tahun sampai dewasa
merupakan kategori usia dengan periode operasi berpikir formal. Di dalam proses
periode ini, kekuatan baru kognitif mereka bisa mengarah kepada idealisme dan
utopianisme yang mengejutkan. Pikiran idealistik dan utopis seperti itu membawa di
dalamnya sejenis egosentrime baru. Egosentrisme mengacu pada ketidakmampuan
untuk membedakan perspektifnya sendiri dari perspektif orang lain. Mereka bermimpi
tentang ―masa depan yang menakjubkan atau mentransformasi dunia lewat ide-ide tanpa
berusaha mengetes pikiran-pikiran mereka di dalam realitas.
Dalam masa-masa pertumbuhan mencari jati diri, tahap perkembangan ini
memperlihatkan masa transisi yang berdampak luar biasa terhadap moralitas pemuda.
Kondisi pemuda yang sementara labil ini sangat rentan terhadap berbagai persoalan,
apalagi jika tidak memiliki pegangan yang kuat, karena harus berhadapan dengan
berbagai pengaruh dari lingkungan di sekitarnya. Kerentanan mereka terhadap berbagai
pengaruh, dapat membawa pada pergaulan yang negatif. Hal inilah yang ditunjukkan
dalam konteks kehidupan pemuda di Kelurahan Batu Gantung, jemaat GPM Rehobot.
Kaum muda yang notabene berada pada usia produktif, terlibat dalam pergaulan
kelompok-kelompok tertentu. Pergaulan kelompok-kelompok ini, dapat menjurus pada
hal-hal yang negatif, walaupun ada potensi-potensi positif yang sesungguhnya dapat
mereka kembangkan. Hal ini tercermin dari kehidupan mereka sehari-hari yang sering
duduk bergerombolan di pingggiran jalan, melakukan perjudian, balapan liar, minuman
keras. Dan terakhir konflik komunitas.

57

Bnd., Jean Piaget dalam William Crain, Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), 202-2014

53

Walaupun tidak semua hal yang dilakukan oleh kelompok pemuda ini negatif,
karena ada kegiatan-kegiatan positif yang juga biasa dilakukan untuk memberikan rasa
persaudaraan tetapi juga menimbulkan rasa bangga bagi tempat tinggal mereka. Peran
positif mereka terlihat dalam proses pembuatan taman Batu Gantung, selain itu mereka
juga terlibat dalam di grup tari (Bagada dance) dan kelompok balap motor resmi dan
juga aktif dalam organisasi-organisasi gerejawi seperti seperti, Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Anak Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan
Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AM-GPM).
E. Faktor-faktor Terjadinya Konflik
Berikut ini akan di paparkan mengenai kondisi sosial yang berkorelasi dengan
fokus kajian yang diteliti berkaitan dengan konflik dua komunitas Pemuda Batu
Gantung. Seperti telah disebutkan bahwa Jemaat GPM Rehoboth memiliki potensi
konflik cukup besar di beberapa titik pelayanannya. Namun, sejauh yang diketahui,
konflik dua Komunitas pemuda yang terjadi Batu Gantung Dalam dan Batu Gantung
Ganemo merupakan konflik yang tingkat eskalasinya tinggi.58 Oleh karenanya
menimbulkan keresahan bagi masyarakat Ambon.
Di bagian terdahulu, sudah disebutkan kondisi umum Jemaat Rehoboth. Mulai
dari kondisi pendididikan, mata pencaharian, putus sekolah dan kondisi pelayanannya
semuanya memberikan petunjuk bahwa jemaat Rehoboth mengalami ketidakberdayaan
di hampiir semua sisi pelayanan. Kondisi-kondisi sosial yang demikian berpotensi
konflik. Seperti yang akan dipaparkan berikut ini.

58

Eskalasi merupakan sebuah istilah dalam teori konflik yang diperkenalkan oleh Pruitt. Merujuk pada
situasi konflik yang terus ber-transformasi ke dalam bentuk-bentuk konflik yang lain dengan
melibatkan symbol-simbol tertentu. Dean G. Pruitt, Op., Cit. 143

54

Kapan mula terjadinya konflik antara dua kelompok pemuda batu gantung
hampir tidak dapat dipastikan. Tetapi yang pasti kejadian ini sudah berlangsung lama.
Secara ekslusif dibenarkan oleh Bapak N Soumokil.59
a. Heterogenitas.
Gereja Protestan Maluku hidup dan berkembang dalam suatu realitas masyarakat
heterogen, secara etnis, agama, budaya dan ras. Realitas ini merupakan suatu
keniscayaan sosiologis dan bersifat taken for granted. Dan dari sekian banyak ragam
masyarakat tersebut, yang paling dominan adalah kemajemukan masyarakat dari aspek
etnis dan agama (etnoreligius). Enam etnis tersebut terdiri dari etnis Ambon dan Lease
sebanyak 52,37 persen dan tersebar pada 52 unit pelayanan, Maluku Tenggara Barat
sebanyak 19,10 persen dan tersebar pada 47 unit pelayanan, Maluku Tenggara sebanyak
17,18 persen dan tersebar pada 40 unit pelayanan, Seram/Banda sebanyak 5,03 persen
dan tersebar pada 35 unit pelayanan, Buru sebanyak 4,01 persen dan tersebar pada 11
unit pelayanan serta lain-lain (Batak, Papua, Jawa, Sulawesi, dan sebagainya) 2,31
persen dan tersebar pada 25 unit pelayanan (lihat tabel VI).

59

Wawancara dengan Bapak Nus Soumokil. Pada 13 oktober 2014. Pkl. 11.57 WIT. Bertempat di Kantor
Jemaat GPM Rehoboth.

55

Tabel VI
Prosentase Jumlah Anggota Jemaat GPM Rehoboth
Berdasarkan Daerah Asal (Komunitas)
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Komunitas
Ambon dan Lease
Maluku Tenggara Barat
Maluku Tenggara
Seram, Banda, TNS
Buru
Lain-Lain (Luar Maluku)
Jumlah

Jumlah Jiwa
4.775
1.741
1.567
459
366
211

Persen Tersebar
52,37
52 Unit
19,10
47 Unit
17,18
40 Unit
5,03
35 Unit
4,01
11 Unit
2,31
25 Unit

9.119

100

Sumber: Renstra Jemaat GPM Rehoboth 2010-2015

Nilai-nilai kultural yang selama ini menjadi benteng perekat hidup orang
basudara (bac: secara kekeluargaan) dengan pendekatan pela gandong60 mulai dirasuki
dengan kepentingan kolonial. Bahasa lokal sebagai identitas perlahan-lahan punah
akhirnya masyarakat seolah-olah kehilangan jati dirinya. Pasca penjajahan sampai masa
orde baru telah mengerus pranata-pranata adat yang selama ini hidup dan berkembang di
masyarakat

dimusnahkan

secara

sistematis

dengan

diberlakukan

kebijakan

penyeragaman.
Selain memiliki keragaman etnis, kedudukan Jemaat GPM Rehoboth juga
bersentuhan langsung dengan 14 komunitas gereja-gereja saudara (dedominasi),
komunitas agama Katolik dan komunitas agama Islam. Untuk komunitas agama Islam,
bersentuhan langsung dengan anggota jemaat pada sektor Bethania, Elim, dan Petra,
sedangkan pada beberapa sektor lainnya bersentuhan dengan masyarakat pemeluk
agama Katolik maupun penganut Gereja Saudara.

60

Pela Gandong merupakan salah satu sistem budaya Maluku. Bnd. Rachel Iwamony-Tiwery dalam,
Jurnal Tifa Teologi, Program Pasca Sarjana UKIM. Vol. 1. No.1, April 2011, 52

56

Konflik sosial pada tahun 1999-2004 yang memporak-porandakan pondasi hidup
beragama dan persaudara sebagai orang basudara Salam-Sarane (Islam-Kristen)
sebagai kearifan lokal, serta hubungan-hubungan kultural yang selama ini hidup dan
berkembang dalam masyarakat menjadi hancur. Setelah merajut kembali tatanan
kehidupan orang basudara pasca konflik dimaksud, dihancurkan lagi oleh badai konflik
11 September 2011. Daerah permukiman Sektor Elim dan Betahania yang merupakan
permukiman Kristen dan berbatasan langsung dengan kelompok Muslim di Kampung
Beringin dan Telkom sebagian porakporanda dan hancur. Jatuhnya korban jiwa dan
hilangnya harta benda pada kedua komunitas merupakan implikasi dari arogansi
manusia yang terbakar emosi akibat ketahanan diri jemaat yang sangat rentang terhadap
isu provokatif.
Disamping konflik antar komunitas agama, juga sering terjadi konflik antar
komunitas di dalam Jemaat GPM Rehoboth yang melibatkan warga jemaat pada wilayah
Batu Gantung dan Kampung Ganemo, Kudamati (Farmasi) dengan Lorong Rumah
Tingkat, Air Putri dengan Wainitu belakang bengkel Super Star, lorong Merpati dengan
Air Putri. Sementara potret bergereja dalam kaitan hubungan dengan gereja-gereja aliran
sering terjadi konflik interes berkaitan dengan perebutan anggota jemaat akibatnya status
ganda warga jemaat tidak dapat terhindarkan.
Konflik antar warga GPM dan gereja saudara disebabkan aspek dogma, ajaran
maupun klaim-mengklaim kebenaran dalam melaksanakan penginjilan. Dokumen
keesaan gereja yang menjadi payung aspek legalitas dalam praktek bergereja terabaikan
dan tak mampu membendung konflik interes antar warga gereja.

57

Karena keberagaman merupakan realitas yang niscaya, dalam bentuk apa pun
dan di mana pun, sikap inklusif pun menjadi suatu keniscayaan. Di sinilah kemudian
muncul satu cara interaksi sosial antar keyakinan, agama kelompok, etnis dan ideologi,
yakni apa yang biasa disebut sebagai ”dialog”. Karena itu, setiap pemeluk agama harus
menyadari kenyataan tentang pluralisme ini, sebab hanya dengan kesadaran inilah
hubungan dialogis antar umat beragama bisa dibangun.
b. Hubungan putra-putri (hungan berdasarkan cinta)
Informasi yang berkembang di masyarakat sejauh ini menyebutkan bahwa
konflik Batu Gantung mulai terjadi ketika saat itu terjadi miskomunikasi dua kelompok
pemuda berbeda dalam hal melihat permasalahan yang sedang dialami oleh dua
pasangan muda-mudi yang saat itu sedang menjalankan hubungan berpacaran yang nota
bene berasal dari dua komunitas Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung
Ganemo.61 Permasalahan ini tidak ditangani secara baik, terutama keluarga dari dua
belah pihak sehingga menimbulkan rasa ketidakpuasaan kedua belah pihak.
c. Minuman Keras (Sopi)
Konflik tidak selalu bersifat tunggal. Inilah menjadi dasar mengapa konflik Batu
Gantung hampir terus terjadi dan bereskalasi dalam proses sosial masyarakat disana.
Karena konflik selalu merambat dan melilit masuk ke dalam elemen-elemen masyarakat,
maka faktor penyebab konflik di Batu Gantung tidak hanya di akibatkan gagalnya
hubungan pacaran yang berakhir dengan konflik. Konflik Batu Gantung juga di picu halhal lain, seperti disampaikan oleh Ny L Pattiwael. Menurutnya konflik juga dipengaruhi
oleh faktor peredaran dan penggunan minuman keras.

61

Wawancara dengan Bapak A. Pelupessy. 29 Juli 2014

58

Sopi adalah salah satu dari jenis minuman keras yang cukup banyak beredar di
tengah masyarakat Kota Ambon. Sopi terbuat dari hasil olahan air enau (tifar mayang).
Kadar alkoholnya sangat tinggi sehingga dengan cepat bisa mempengaruhi kesadaran
pikiran bagi mereka yang menggunakannya.
Di Kota Ambon dan sekitarnya sopi sering digunakan dalam pergelaran adat.
Berkaitan dengan acara nikah adat, acara masuk rumah baru, buka sasi adat bahkan
untuk menjaga stamina tubuh. Namun sering kali orang mengkonsumsinya di luar acara
adat atau digunakan dalam kadar yang tidak terbatas pada moment-moment yang tidak
resmi. Terutama hal itu dilakukan oleh pemuda-pumda Batu Gantung yang di
latarbelakangi oleh tujuan ―senang-senang‖ tetapi juga karena wujud solidaritas di antara
mereka.
d. Tegur Sapa
Masyarakat Ambon dapat dibilang masih kental dengan tata cara hidup
persaudaraan. Hal ini dapat ditunjukan dari pergaulan masyarakat sehari-hari. Mislanya
ketika berpapasan dengan orang lain, mereka bertegur sapa. Walaupun ada diantara
mereka tidak sempat kenal.
Tata krama seperti ini kelihatannya cukup sederhana dan kelihatan tidak ada
artinya. Tetapi dalam tata cara pergaulan masyarakat di Kota Ambon dan sekitarnya hal
itu justru memiliki arti yang cukup penting. Sebab tata cara pergaulan semacam ini
dilakukan dengan kesadaran sebagai bentuk integrasi masyarakat. Jika seorang individu
atau kelompok bertemu baik tidak sengaja disuatu tempat tanpa memberikan ucapan,
dianggap tidak tahu menghargai orang lain. Ganjaran yang diberikan terhadap mereka
yang tidak menjalankan tata pergaulan biasanya mendapat teguran secara halus sebagai

59

bentuk peringatan untuk menunjukan bahwa perilaku yang bersangkutan sudah
menyinggung perasaan pihak lain. Seperti disampaikan seorang pemuda Batu Gantung
Dalam. ―Dong kalo jalan paling susah kase suara katong‖62(artinya: mereka paling sulit
menyapa kita). Kondisi ini dapat saja menghasilkan mispersepsi yang memungkinkan
terjadinya konfrontasi fisik. Dan kecenderugan semacam ini selalu nampak dalam
pergaulan pemuda-pemuda Batu Gantung.
e. Kemiskinan
Seperti yang sudah disinggung di awal tulisan ini bahwa, diawal tahun 1999
Maluku mengalami tragedi kemanusian yang menyebabkan tewasnya ribuan korban
jiwa dan melululantahkan ribuan rumah. Selain itu terjadi pengungsian besar-besaran,
dari dan keluar wilayah Maluku. Menurut beberapa pihak tragedi kemanusian yang
terjadi di Maluku dan Maluku Utara merupakan konflik antara dua komunitas agama
Kristen dan Islam. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa konflik adalah akibat dari
pengaruh kelompok pendukung pro-reformasi versus elit pro-Orde Baru yang
memunculkan segregasi sosial-politik sehingga memicu terjadi konfrontasi fisik yang
pada akhirnya agama dijadikan alat untuk memperluas jangkauan pengaruh di dalam
masyarakat yang destruktif.63
Situasi pasca konflik secara khusus di Kota Ambon saat ini memang tidak
separah beberapa tahun lalu dimana hampir seluruh kantor-kantor pemerintah dan
swasta tidak beroperasi karna vasilitasnya di rusak, di bakar dan dihancurkan. Rumahrumah ibadah juga menjadi sasaran empuk amukan massa dari kedua belah pihak yang

62

Johanes, bukan nama sebenarnya. 9 Oktober 2014
Band., George Aditjondro dalam Tri Ratnawati, “Maluku Dalam Catatan Seorang Peneliti”, Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), 5

63

60

sedang bertikai. Akibat lainnya ialah hancurnya sentra-sentra ekonomi dan hilangnya
mata pencaharian ekonomi warga. Tetapi telah terjadi pembenahan di hampir semua
sektor kehidupan. Saat ini pemerintah dan masyarakat rame-rame membangun kembali
kondisi kota yang sempat hancur itu. Mulai dari membangu kembali gedung-gedung
pemerintahan, vasilitas umum seperti jalan-jalan protokol dan sejumlah rumah–rumah
ibadah. Dibangun juga pasar-pasar baru dan revitalisasi pasar-pasar lama. Dibukanya
juga lowongan pekerjaan Pegawai Negri Sipil (PNS), lowongan pekerjaan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri). Hanya saja, semua
upaya pembangunan infrastruktur pasca konflik belum mampu mengentaskan
kemiskinan.
Menurut data Rencana Strategi (Renstra) Jemaat GPM Rehoboth tahun 20122016. Terdapat sekitar 785 kepala keluarga (KK) miskin. Selain itu, terdapat kategori
keluarga penyandang masalah sosial, meliputi; janda 371 orang, cacat fisik 42 orang,
cacat mental 26 orang, anak yatim/piatu 286 orang, serta duda 102 orang.
Dari data tersebut, ternyata kondisi ekonomi jemaat berkorelasi dengan konflik
Batu Gantung. Seperti yang diungkapkan Bapak N Soumokil. ―pemuda-pemuda yang
berasal dari kalangan keluarga miskin cenderung melampiaskan rasa frustrasi mereka
dengan cara mengkonsumsi minuman keras secara berlebihan sehingga menimbulkan
hilangnya kontrol diri. Ketika kehilangan kontrol diri akibat pengaruh alkohol dapat
dengan muda mendorong perbuatan makar‖.
Akibat lain, hilangnya kontrol diri karena telah dipengaruhi alkohol ialah sering
mengeluarkan kalimat-kalimat tidak senonoh. Situasi ini dengan mudah memprovokasi
lingkungan masyarakanya. Ketika kalimat yang dikeluarkan mengusik identitas

61

kelompok lain, maka dengan cepat dapat menimbulkan kegaduhan dan tindakantindakan yang mengarah pada suatu tindakan kekerasan.
Lebih parahnya lagi, walau sudah mendapat laporan masyarakat namun aparat
keamanan terkesan tidak responsif terjun cepat ke tempat kejadian perkara. Ketika
konflik lamban ditangani maka akan sangat cepat menyebar ke lokasi lainnya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa ada unsur pembiaraan pemerintah melalui aparat
keamanan dalam memberikan rasa aman.
f. Sentiment Etnis
Ambon menjadi salah satu pusat perjumpaan masyarakat dari berbagai daerah
karena statusnya sebagai Kota Madya. Hal ini mempengaruhi masyarakatnya sangat
heterogenitas secara agama, budaya dan etnis. Kondisi ini juga secara otomatis
menyebabkan terjadinya perubahan struktural yang terjadi terus menerus dalam
masyarakat. Perubahan tersebut meliputi perubahan perilaku, yang dilandasi oleh konsep
pengendalian diri dan kelembagaan, perilaku yang beroryentasi pada rasionalitas dan
fungsi, kebauran dan diversivikasi Kultural.
Masalah utama yang paling sering dihadapi masyarakat semacam ini, ialah
adanya persaingan memperebutkan pengaruh untuk menguasai sumber daya ekonomi
bahkan persaingan untuk mendapatkan pengaruh dan mendapatkan keuntungan secara
kultural yang dilakukan secara perorangan ataupun kelompok. Dalam masyarakat
heterogen, biasanya menginginkan bermacam-macam hak yang dipertimbangkan demi
mempertahankan identitas kolektif mereka64.

Bhikhu Parekh, “Rethinking Multiculturalism: Keberagamn Budaya dan Teori Politik”, (Yogjakarta:
Kanisius, 2008), 284
64

62

Hal yang paling mungkin terjadi dari kondisi seperti ini ialah adanya persaingan
yang kurang sehat sehingga dapat memicu terjadinya sentiment terhadap yang berbedabeda itu dalam hal ini etnis. Parahnya lagi perasaan semacam itu seharusnya tidak hidup
dan berkembang dalam masyarakat yang dikelilingi rumah-rumah ibadah. Tetapi
tampaknya tidak demikian bagi sebagian anggota jemaat Gereja Rehoboth. Akibat yang
ditimbulkan ialah sering terjadi gesekan dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti yang
diungkapkan beberapa anggota masyarakat yang ditemui. ―dong kamari bawa dong pung
kalakuang seng bae tu (artinya: mereka yang datang dari luar Ambon bawa-bawa
mereka punya perilaku busuk )‖65. ―Memangnya dorang sapa la datang kase rusak
katong? (artinya: mereka itu siapa lalu datang merusak—tatanan masyarakat)66. Dong tu
memang kasta biadab. (artinya: mereka dari kasta biadab).67 Katong tau kamong orang
Ambon tapi jang biking katong bagini.68 (artinya: katong tau kalian orang Ambon tapi
jangan perlakukan kita begini). Sapa juga pusing deng kamong. Kamong bikin katong
jua biking. Katong lia sapa yang jago (siapa juga yang mau ambil pusing, kalian bikin
kita juga bikin)69
Tampaknya masing-masing etnis menyatakan keberatan dan cenderung
membenarkan sikap mereka masing-masing. Mereka ingin diakui dan dihargai namun
kelihatannya sangat sulit mempertemukan kesamaan dan ternyata perbedaan yang selalu
dikemukakan. Pada akhirnya menimbulkan konflik.

65

Wawancara dengan sdr. Ongen (bukan nama sebenarnya), warga etnis Ambon. Pada tanggal 10 Oktober
2014.
66
Wawancancara dengan sdr Welim (bukan nama sebenarnya), warga etnis Ambon. 11 Oktober 2014
67
Wawancara dengan sdr. Buce (bukan nama sebenarnya), warga etnis Ambon. 12 Oktober 2014
68
Wawancara dengan sdr. Garang (bukan nama sebenarnya), warga etnis Maluku Tenggara. 9 Oktober
2014
69
Wawancara dengan sdri Bunga (bukan nama sebenarnya) warga etnis pulau seram. 13 Oktober 2014

63

g. Relasi dengan Gereja ber-Aliran Karismatik dan Pentakostal
Gereja adalah persekutuan umat percaya yang dipanggil dan diutus oleh Allah
untuk memberitakan Injil kepada semua mahkluk (Markus 16:15); menampakkan
keesaan mereka seperti keesaan Tubuh Kristus dengan rupa-rupa karunia, tetapi satu
Roh (I Korintus 12:4); menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakkan
keadilan (Markus 10:45, Lukas 4:18, 10:25-37; Yohanes 15:16). Tugas panggilan gereja
ini sama dan tidak berubah. Dalam hubungan ini, maka gereja–gereja berkepentingan
untuk merawat dan memelihara kebersamaannya dalam aksi untuk implementasi misi
yang satu, seperti yang disebutkan di atas. Untuk itu, pada tahun 1950 gereja-gereja di
Indonesia telah merumuskan kehadirannya secara strategis sebagai bagian yang integral
dari masyarakat Indonesia, untuk menyatakan misinya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan membentuk Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), yang kemudian
menjadi Persekutuan Gereje-gereja di Indonesia (PGI) pada Sidang Raya di Ambon.
Sekalipun kesejarahan dan tradisi masing-masing gereja berbeda, namun misi panggilan
dan pengutusannya satu. Dalam semangat dan dinamika itu, gerakan oikumene berada
dalam lintasan sejarahnya untuk membantu gereja-gereja agar terus konsisten menjaga
kebersamaannya dan secara strategis menyatakan misinya di tengah realitas kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.
Upaya merawat dan menjaga kebersamaan tersebut didasarkan pada kesepakatan
bersama gereja-gereja di Indonesia yang dinyatakan dalam Dokumen Keesaan Gereja
yang terdiri dari masing-masing dokumen yaitu:
a. Pokok-pokok

Tugas

Panggilan

Bersama
64

b. Pemahaman Bersama Iman Kristen
c. Oikumene Gerejawi
d. Tata dasar Persekutuan Gerejagereja di Indonesia dan Tata Rumah
Tangga Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia.
Dalam perkembangan gerakan Oikumene di Indonesia, GPM terlibat aktif sejak
berdirinya sampai sekarang. Tercatat sejumlah pendeta GPM yang terlibat dalam
kepemimpinan DGI/PGI, ini memperlihatkan komitmen GPM terhadap Gerekan
Oikumene. Begitu juga, GPM menjadi pendiri dan anggota GPI, Dewan Gereja-Gereja
di Asia (CCA), anggota gereja-gereja Reformis se Dunia (WARC) dan anggota Dewan
Gereja-Gereja se Dunia (DGD/WCC). Dengan begitu, Jemaat GPM Rehoboth pun
merasa berkewajiban untuk merawat dan membangun kehidupan oikumenis di wilayah
pelayanannya. Dan ini adalah wujud dari sebuah tanggung jawab teologis sebagai gereja
yang esa.
Prinsipnya saling menghargai selalu dikedepankan dalam relasi sosial
masyarakat. Termasuk saling menghargai teologi yang dianut masing-masing organisasi
gereja. Namun pada kenyataanya, kondisi sebaliknya sering terjadi. Menurut Bapak N
Soumokil, ―bentuk pekabaran injil dari anggota gereja-gereja beraliran karismatik dan
pentakostal di wilayah jemat GPM Rehoboth, seperti menarik orang masuk dalam gereja
mereka mengakibatkan terjadinya gesekan antar anggota gereja yang berbeda itu.
“Banyak anggota kita yang tidak senang dengan metode pekabarana injil tersebut
sehingga dalam kunjungan pastoral kami selalu mendengar alasan ketidaksenangan

65

anggota kami akan cara mereka menginjili. Mereka (anggota jemaat GPM Rehoboth)
menganggap penginjilan sebagai bentuk pemaksaan”.
h. Penegakan Hukum
Indonesia merupakan negara hukum. Segala bentuk tindakan yang dipandang
melawan hukum biasanya diselesaikan secara hukum pula. Meskipun begitu, beberapa
wilayah di Indonesia khususnya pada wilayah rawan konflik penegakan hukum masih
belum maksimal. Hal itu bisa saja menyangkut profesionalisme aparat penegak hukum
dalam menangani perkara hukum. Begitu halnya sebagaimana yang terjadi dalam
konflik pemuda Batu Gantung dalam dan Batu Gantung Ganemo.
N. Soumokil, sekertaris Majelis Jemaat dan J. M Souhoka, Ketua Majelis jemaat
memastikan bahwa konflik komunitas di Batu Gantung situasinya diperparah
penanganan hukum yang lemah sehingga kasus-kasus pelanggaran yang sudah terjadi
berulang-ulang

statusnya hukumnya belum jelas atau tuntas. ―berarti itu bentuk

pembiaraan‖ sebagaimana dikatakan oleh Bapak N Soumokil. ―Rasasanya aparat
penegak hukum belum bersikap professional menjalankan fungsinya‖ demikian ucapan
yang keluar dari mulut Bapak J. M Souhoka.
Dalam kasus seperti ini, hukum harus ditegakan. Selain menimbulkan kepastian
hukum bagi korban-korban yang menuntut keadilan hukum tetapi juga sebagai upaya
untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku tindak kekerasan. Tugas seperti ini
terutama menjadi tugas wewenang aparat kepolisian. Sebab kalau tidak ada tindakan
permainan hakim sendiri dan gejolak-gejolak lain akan timbul.

66

F. Upaya-upaya terhadap Pendekatan Konflik
Majelis Jemaat Rehoboth sangat memandang serius konflik yang terjadi antar
pemuda batu gantung yang biasanya disebut “konflik keumatan” dengan menempuh
beberapa cara. Maka pada bagian ini akan dijelaskan tentang mekanisme penyelesaian
konflik yang selama ini dilakukan.
a. Strategi Penyelesaian Konflik dengan Komunikasi Persuasif yaitu
oleh Majelis Jemaat Rehoboth
Ketika konflik pecah, hal yang umum dilakukan untuk mengatasinya ialah
melalui komunikasi persuasif. Biasanya, baru mendengar laporan bahwa telah terjadi
kekisruhan antar dua kelompok bertikai, unsur MJ langsung turun ke tempat kejadian
perkara. Setelah berada di lokasi kejadian, biasanya unsur MJ langsung membangun
komunikasi dengan kedua belah pihak dalam bentuk ―himbauan‖ dengan tujuan supaya
masing-masing pihak segera menghentikan kekisruhan dan kembali tenang. Hal itu
sebagaimana disampaikan ketua Majelis Jemaat GPM Rehoboth ―kami melakukan
tindakan pencegehan dini. Caranya langsung turun ke lapangan berdasarkan konfirmasi
anggota jemaat kami yang kebetulan berada di lapangan‖.70
Jadi, strategi penyelesaian konflik melalui komunikasi persuasif bertujuan untuk
mengubah atau memengaruhi sikap dan perilaku dua belah pihak sehingga kedua belah
pihak dapat menyudahi konflik dan membuka kesempatan bagi tindakan penyelesaian
yang lebih permanen. Tergantung tingkat eskalasinya. Sejauh ini tindakan tersebut
berhasil walaupun tidak selalu berjalan mulus. Ada beberapa alasan, Pertama, dua pihak

70

Wawancara dengan Ketua Majelis Jemaat GPM Rehoboth. 13 Oktober 2014.

67

bertikai cukup menghargai otoritas gereja sebagai lembaga etik-moral yang
direpresentasikan oleh majelis jemaat sebagai pemimpin gereja. Artinya, sumber pesan
atau komunikator mempunyai kredibilitas yang tinggi untuk mempengaruhi subjek.
Kedua, dua kelompok yang bertikai merupakan anggota gereja Rehoboth, sehinga ada
pengaruh lingkung didalam proses ini. Ketiga. Tidak dengan kekerasan. Keempat. ada
keinginan dua kelompok bertikai untuk mengakhiri konflik.
Persoalannya apakah cara yang demikian selalu berhasil? Fakta menunjukan
cara-cara tersebut memiliki celah yang cukup lebar sehingga sulit di kecilkan dan
pelaksanaannya tidak selalu berhasil. Ada beberapa alasan mengapa cara tersebut tidak
selalu berhasil; Pertama, apabila kelompok pemuda bertikai dikendalikan minuman
keras/alkohol. Kedua, apabila konflik terjadi di malam hari. Dua kelompok bertikai
kemungkinan tidak dapat mengenali kehadiran pihak-pihak yang menghendaki
perdamaian. Ketiga, ditengarai ada keterlibatan provokator yang menginginkan susana
gaduh dan tegang sehingga konflik tetap berjalan terus. Keempat, tidak semua pihak
bertikai adalah warga jemaat Rehoboth sehingga tidak ada hubungan emosional.
b. Upaya Pendekatan Represif yaitu oleh Kepolisian
Pendekatan represif oleh aparat kepolisian merupakan langkah pengendalian
sosial, bertujuan agar dua pihak dapat mematuhi norma dan nilai sosial yang ada dalam
masyarakat. Sehingga tercipta ketentraman sosial. Pengendalian dilakukan setelah orang
melakukan suatu tindakan penyimpangan sosial. Dan cenderung dilakukan secara tegas
sehingga menimbulkan rasa sakit.

68

Berkaitan dengan fungsi dan tugasnya, kepolisian sebagai instrument negara
bertanggung jawab terhadap keamanan sipil. Biasanya kehadiran mereka dilengkapi
alat-alat keamanan berupa tameng, senjata api, water canon, senjata gas dan lain-lainnya.
Kelengkapan tersebut biasanya menimbulkan tekanan psikologis pada masyarakat.
Olehnya ketika kehadiran polisi warga yang sedang bertikai langsung membubarkan
diri.
Tetapi sejalan dengan meningkatnya ekskalasi konflik, biasanya mereka tidak
lagi menghiraukan kehadiran aparat kepolisian. Hal itu disebabkan atas beberapa hal.
Pertama, tidak netralnya aparat kepolisian dalam beberapa kasus mempengarahui
rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut. Kedua,
Penggunaan tindakan fisik justru semakin meningkatkan adrenalin kelompok pemuda
bertikai. Ketiga, masyarakat cenderung memandang rendah profesi kepolisian
menyebabkan institusi negara ini kehilangan kewibawaan di hadapan masyarakat.
Olehnya, aparat kepolisian tidak bisa bekerja sendiri secara independe.
c. Upaya Mediasi yaitu oleh Gereja
Setelah melakukan pendekatan persuasif, Gereja mengambil langkah-lang