Masyarakat Batak Toba Di Desa Serdang Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang (1954-1990)

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1Topografi Desa Serdang

Kabupaten Deli Serdang dikenal sebagai salah satu daerah dari 25 Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang memiliki keanekaragaman sumber daya alamnya yang besar sehingga merupakan daerah yang memiliki peluang investasi cukup menjanjikan.

Dulu wilayah ini disebut Kabupaten Deli dan Serdang dan pemerintahannya berpusat di Kota Medan. Memang dalam sejarahnya, sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah ini terdiri dari dua pemerintahan yang berbentuk kerajaan (kesultanan) yaitu Kesultanan Deli berpusat di Kota Medan dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan.

Dulu daerah ini mengelilingi tiga “daerah kota madya” yaitu Kota Medan yang menjadi ibukota Propinsi Sumatera Utara. Kota Binjai dan Kota Tebing Tinggi disamping berbatasan dengan beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Langkat, Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun, dengan total luas daerah 6.400 km² yang terdiri dari 33 kecamatan dan 902 kampung.

Daerah ini sejak terbentuk sebagai kabupaten sampai dengan tahun 1970an mengalami beberapa kali perubahan luas wilayahnya, karena Kota Medan, Tebing


(2)

Tinggi dan Binjai yang berada di daerah perbatasan pada beberapa waktu yang lalu meminta atau mengadakan perluasan daerah sehingga luasnya berkurang menjadi 4.397,94 km².

Diawal pemerintahannya Kota Medan menjadi pusat pemerintahan karena memang dalam sejarahnya sebagian besar wilayah Kota Medan adalah “tanah Deli” yang merupakan daerah Kabupaten Deli Serdang. Sekitar tahun 1980an, pemerintahan daerah ini pindah ke Lubuk Pakam, sebuah kota kecil yang terletak di pinggir jalan lintas Sumatera ± 30 km dari Kota Medan yang telah ditetapkan menjadi ibukota Kabupaten Deli Serdang.

Tahun 2004 kabupaten ini kembali mengalami perubahan baik secara geografis maupun administrasi pemerintahan. Setelah adanya pemekaran daerah dengan lahirnya kabupaten baru yaitu Kabupaten Serdang Bedagai sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2003, sehingga berbagai potensi daerah yang dimiliki ikut berpengaruh. Dengan terjadinya pemekaran daerah maka luas wilayahnya sekarang menjadi 2.497,72 km² terdiri dari 22 kecamatan dan 403 desa/kelurahan yang terhampar mencapai 3.34 % dari luas Sumatera Utara.

Kabupaten Deli Serdang dihuni penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Melayu, Karo, Simalungun, Jawa, Batak, Minang, Cina, Aceh dan pemeluk berbagai agama seperti Islam, Kristen, hindu dan Budha dengan total jumlah


(3)

penduduk berjumlah 1.686.366 jiwa dengan Laju Pertumbuhan Penduduknya (LPP) sebesar 2,74 % dengan kepadatan rata-rata 616 jiwa/km².

Dalam gerak pembangunannya, motto Kabupaten Deli Serdang yang tercantum dalam lambang daerahnya adalah “Bhineka Perkasa Jaya” yang memberi pengertian; dengan masyarakatnya yang beraneka ragam suku, agama, ras dan golongan bersatu dalam kebhinekaan secara kekeluargaan dan gotong royong membangun semangat kebersamaan, menggali dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya sehingga menjadi kekuatan dan keperkasaan untuk mengantarkan masyarakat kepada kesejahteraan dan kejayaan sepanjang masa.

Kabupaten Deli Serdang secara geografis terletak diantara 2°57’-3°16’ Lintang Utara dan antara 98°33’-99°27’ Bujur Timur, merupakan bagian dari wilayah pada posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah 2.497,72 km² dari luas Propinsi Sumatera Utara dengan batas sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumatera. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat.

Desa Serdang merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang. Desa ini terletak di sekitar bantaran sungai yang jaraknya dari Batang Kuis Pekan ke Desa Serdang ± 6 km, dan dari Bandara Kuala Namu ke


(4)

Desa Serdang sekitar ± 6 km, sementara jarak dari Medan ± 24 km. Adapun batas-batas wilayah Desa Serdang yaitu sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : berbatasan dengan Desa Tengah Kecamatan Pantai Labu. b. Sebelah Timur : berbatasan dengan Desa Sidorip/Durian Kecamatan Pantai

Labu.

c. Sebelah Barat : berbatasan dengan Desa Baru/Paya Gambar Kecamatan Batang Kuis.

d. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Desa Aras Kabu Kecamatan Beringin.

Desa Serdang berada di dataran rendah dengan ketinggian 1 sampai dengan 8 meter di atas permukaan laut yang curah hujannya 200 mm, dengan ketinggian tersebut dapat dijadikan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Sehingga struktur atau bentuk permukaan laut dan produktivitas tanah dapat dikatakan baik sebagai tempat pertanian dan memanfaatkan lahan tersebut untuk ditanami tanaman lain seperti tanaman ubi, jagung, sayuran dan padi, oleh sebab itulah di Desa Serdang terdapat tumbuh-tumbuhan yang hijau. Desa Serdang memiliki iklim sub-tropis dengan 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim ini dipengaruhi oleh 2 angin yang terdiri dari angin gunung yang membawa udara panas sedangkan angin laut membawa udara lembab. Pada tahun 1954 curah hujan masih dapat diprediksi, tetepi sekarang curah hujan tidak dapat diperidiksi lagi, Curah hujan yang menonjol pada tahun 1954 yaitu pada bulan November–Juni sedangkan musim kemarau pada bulan Juni–Oktober.


(5)

Menurut data yang di peroleh dari kantor Kepala Desa berdasarkan Luas pemukiman Desa Serdang 10 ha/m², luas persawahan 275 ha/m², luas perkebunan 14 ha/m², luas pekarangan 8 ha/m², luas tanah sawah tadah hujan 275 ha/m². Ada pun iklim yang berada di Desa Serdang seperti curah hujan 200 Mm dan jumlah bulan hujan ada 3 bulan. Kelembapan 1,5 dan suhu rata-rata harian itu ada 28,6°C.9

Pada tahun 1954 tanah di Desa Serdang masih berupa tanah rawa-rawa, rendah dan datar, sehingga masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Serdang tersebut menjadikan tempat itu sebagai lahan pertanian di dataran rendah dan sebagian besar lahan untuk perumahan penduduk ditimbun agar menjadi tempat tinggal dan terhindar dari banjir. Desa serdang memiliki suhu rata-rata harian yaitu 28,6 0C yang beriklim subtropis, sehingga mengakibatkan hujan. Dengan adanya hujan maka lahan di desa ini ditanami tanaman yang berupa padi, sayuran dan pohon-pohon.

Terdapat juga keadaan alam di Desa Serdang ini yang sangat indah bila dipandang oleh mata, seperti adanya sungai yang mengalir begitu deras ditambah lagi jembatan kereta api yang berada melintasi sungai tersebut. Dan jalan kecil disamping jembatan itu terbuat dari papan dan sekarang papan tersebut sudah mulai lapuk. Oleh karena itu masyarakat yang datang dari luar menjadi ketakutan ketika melewati jalan kecil tersebut, tetapi masyarakat yang berada didesa serdang tidak ketakutan melewati jembatan tersebut, sebab hal ini bagi mereka sudah terbiasa. Keadaan alam

9


(6)

yang ada di Desa Serdang sangat lah sejuk dan penuh dengan peghijauan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya padi yang bertebaran di desa Serdang.

Selain dari pada prasarana jalan, sarana transportasi juga jarang sekali ada, bahkan pada tahun 1954 belum ada kendaraan yang beroda dua ataupun beroda tiga dan empat. Sehingga pada tahun 1954 masyarakat yang berada di Desa Serdang, ketika melakukan perjalanan ke Batang Kuis hanya berjalan kaki saja dan perjalanan mereka tidaklah dekat selangkah, melainkan jaraknya sekitar 6 km bahkan lebih yang mereka tempuh.

2.2 Sistem Kemasyarakatan

Penulis menggunakan kata sistem kemasyarakatan dalam pembahasan bukan sistem kekerabatan, hal ini disebabkan karena sistem kemasyrakatan itu adalah keseluruhan dari struktur sosial masyarakat, sedangkan sistem kekerabatan itu hanya membahas tentang pergaulan hidup. Seperti garis keturunan yang terlihat dari silsilah marga. Dengan berkembangnya kemajuan zaman mengakibatkan kata pergaulan hidup semakin meluas dalam hal sistem kemasyarakatan. Oleh sebab itu digunakanlah penulisan kata itu menjadi sistem kemasyarakatan. Suatu masyarakat pasti mempunyai lokalitas atau tempat tinggal tertentu. Masyarakat yang mempunyai tempat tinggal tetap biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai


(7)

pengaruh kesatuan tempat tinggalnya.10

2.2.1 Intern

Masyarakat yang mendiami suatu tempat tinggal akan menjalin komunikasi dengan masyarakat lainnya karena pada umumnya masyarakat adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Serdang terdapat sistem kemasyarakatan yang meliputi intern dan ekstern.

Dalam masyarakat Batak Toba di Desa Serdang tidak terlepas dengan yang namanya komunikasi. Salah satu komunikasi yang diterapkan dalam sistem kemasyarakatan suku Batak Toba di Desa Serdang ialah adanya serikat tolong menolong (STM). Serikat tolong menolong tujuannya untuk menggalang kerjasama dan kebersamaan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang menimpa warga, khususnya yang berhubungan dengan masalah kematian. STM ini dapat dilihat dari sejumlah uang yang terkumpul baik secara sukarela maupun secara wajib yang akan disumbangkan/diberikan kepada anggota masyarakat yang terkena musibah kematian atau dalam bentuk peralatan yang dibutuhkan untuk suatu acara pesta. Dengan adanya STM ini terlihatlah solidaritas dari sesama warga masyarakat yang sepenanggungan untuk bekerja secara bersama-sama (gotong-royong) dalam melaksanakan dan mengerjakan sesuatu.

Penelitian ini mengangkat tentang STM yang terbentuk atas dasar kesamaan suku dan agama yang berada pada wilayah yang sama. Dalam hal ini adalah sesama

10


(8)

suku Batak Toba dan beragama Kristen terkait dengan keberadaan suku Batak yang merupakan pendatang di Desa Serdang yang memiliki suku asli adalah suku Melayu, maka aspek budaya yang menuntut mereka untuk mencari/berkumpul dengan sesama suku Batak sebagai makhluk sosial. Sebagai pendatang di Desa Serdang mereka terdesak oleh situasi lingkungan yang baru, agar dapat bertahan mereka harus menyatukan diri dalam satu wadah dalam hal ini adalah STM. Dengan harapan sesama anggota dapat hidup saling kenal, saling menolong dan hidup harmonis.

Adapun bentuk kepercayaan diatas dapat diartikan sebagai bentuk saling percaya antara anggota kelompok yang didasari dengan pengharapan melalui anggota STM agar saling menguntungkan dalam hal moril maupun materil. Harapan yang dimaksud menunjuk pada sesuatu yang akan terjadi dimasa yang akan datang melalui tindakan nyata yang dilakukan oleh setiap anggota terhadap anggota yang lain yang sedang membutuhkan pertolongan. Sehingga hal tersebut akan memperkuat rasa saling percaya antara anggota STM.

Jaringan sosial dalam STM yang didasari oleh hubungan sosial antar individu karena adanya kesamaan agama serta diikat oleh rasa kepercayaan yang kuat mampu membentuk kerja sama dan rasa sepenanggungan diantara anggotanya. Melalui jaringan sosial setiap anggota saling mengingatkan, saling menginformasikan, saling membantu dalam melaksanakan atau mengatasi suatu masalah yang akan lebih mudah diselesaikan bersama-sama dengan anggota yang lain dari pada bekerja sendiri. Selain STM dalam sistem kemasyarakatan di Desa Serdang terdapat juga


(9)

sistem kekerabatan. Orang Batak Toba dalam hidup merantau akan mencari keluarga baru di daerah rantau atau lebih mencari hubungan kekerabatan. Demikian juga di Desa Serdang, jika seseorang yang baru datang dari daerah akan ditanyakan marga agar dapat dimengerti partuturon (menentukan kedudukan dalam hubungan kekerabatan). Karena ada istilah dalam masyarakat Batak Toba:“ Jalo tinitip sanggar

laho bahen huruhuran, jalo sinungkun marga asa binoto partuturan “ yang berarti

lebih dahulu ditanyakan marga untuk mengetahui apakah yang bersangkutan sebagai ”dongan sabutuha, hula-hula atau boru” sehingga dapat diketahui kedudukannya. Hubungan komunikasi dengan sesama orang Batak cukup terjalin dengan akrab, ini terlihat jika ada acara adat seperti perkawinan, kematian, dan kelahiran maka orang Batak Toba akan datang dan sudah mengetahui kedudukannya dalam adat, sehingga membantu secara bersama-sama. Setiap orang Batak Toba dalam pesta adat mempunyai kedudukan dalam suatu pesta seperti hula-hula, boru dan donggan

sabutuha. Kedudukan mereka dalam adat diterima secara sukarela, hal ini

menunjukkan hubungan sesama orang Batak Toba lebih mengandalkan Dalihan Na Tolu.Pemeliharaan hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu sering menjadi alasan bagi perkawinan. Perkawinan orang Batak adalah perkawinan dengan orang di luar marganya sendiri. Artinya perkawinan semarga sangat terlarang.

Kalau perlakuan itu dilakukan oleh mereka yang masih sangat dekat hubungannya atau generasi mereka kurang dari enam sundut, maka keduanya dihukum usir dari huta, dibuang dari rumpun marganya. Tetapi kalau sumbang itu


(10)

dilakukan mereka yang sudah jauh pertalian kekeluargaannya berdasarkan sundut, misalnya sudah lebih dari 7 generasi, maka dicari jalan dengan manompas bongbong. Maksudnya agar perdamaian diantara kedua kelompok yang terlibat tetap terpelihara. Dengan pesta besar dilakukan upacara manompas bongbong, akhirnya timbul marga-marga baru.11

Dalam adat masyarakat Batak Toba proses perkawinan itu harus melalui tahapan-tahapan. Ketika kedua muda-mudi sudah seiya sekata untuk menikah, maka masing-masing memberitahukan kepada orang tuanya. Kemudian pihak laki-laki

Sistem perkawinan yang ideal, yang dilakukan sejak dahulu kala ialah marboru ni tulang. Latar belakang perkawinan semarga dilarang itu disebabkan, agar partuturan (hubungan kekerabatan ) tidak menjadi kacau dan terbalik-balik dan hubungan sosial di dalam masyarakat tidak menjadi rusak. Orang yang mariboto terikat kepada pantangan yang sangat kuat. Mereka tidak boleh berbicara secara bebas dan tidak boleh memanggil nama satu sama lain. Kalau memanggil nama harus memakai kata penghalus hamu (kamu) atau halak (orang). Kalau laki-laki hendak memanggil saudaranya perempuan tersebut, dia memanggil nama anaknya (kalau sudah punya anak), misalnya nai mawan (ibu si mawan). Demikian juga sebaliknya, perempuan memanggil nama anak terbesar dari saudara laki-laki tersebut. Pemanggilan dengan memakai nama anak ini merupakan adat kebiasaan orang Batak dan dianggap sebagai kehormatan status.

11


(11)

menyuruh utusannya, yaitu borunya beberapa orang untuk menyampaikan pinangan dan membicarakan berapa kira-kira tuhornya. Pembicaraan tuhor mula-mula dilakukan oleh golongan boru dari kedua belah pihak, dinamakan marhusip (berbisik membicarakan tuhor, belum boleh diketahui umum, jadi harus dengan berbisik-bisik). Didalam marhusip selalu terjadi tawar-menawar adat soal tuhor, yang dibicarakan itu ialah panjuhuti (daging untuk pesta), jumlah ulos yang akan diberikan pihak hula-hula, jumlah undangan kedua belah pihak, tempat pesta, dan lain-lain. Setelah prinsip dasar perkawinan itu disetujui oleh kedua belah pihak, maka dipilih hari baik untuk pelaksanaan pesta perkawinan.

Pada zaman dahulu penentuan hari perkawinan diserahkan kepada datu (dukun), yang disebut maniti ari (memilih hari baik). Sekarang itu tidak ada lagi. Dahulu pengantin memulai hidup berumah tangga dengan tinggal satu minggu dirumah perempuan. Setelah satu minggu baru mereka berangkat kerumah pengantin laki-laki untuk seterusnya diantar oleh kaum ibu. Kemudian upacara maningkir tangga rumah hela (menantu laki-laki) dan putrinya, dilakukan oleh pihak hula-hula setelah satu minggu kemudian. Setelah kedatangan hula-hula ini, maka pengantin baru bebas mengunjungi rumah keluarga istri, dinamakan paulak une. Semua upacara ini dilakukan dalam rangkaian upacara perkawinan. Setelah upacara ini dilakukan, maka kedua belah pihak bebas saling mengunjungi secara biasa di luar kunjungan adat. Selama hula-hula belum datang maningkir tangga, kedua pengantin tidak boleh pergi ke rumah pihak istri atau ke kampung asal istri.


(12)

Perubahan yang terjadi sekarang ialah maningkir tangga, pulak une maupun marune (berangkat kerumah laki-laki langsung dari pesta perkawinan) sudah disatukan pelaksanaannya selama satu hari di dalam gedung pesta. Sehingga sebagai formalitas saja, tidak sungguh-sungguh seperti dahulu, hanya mempertahankan unsure adat. Penyebab perubahan yaitu bahwa semakin timbul kesadaran orang bahwa pesta perkawinan seperti dahulu menghabiskan banyak waktu dan biaya. Bagi mereka yang tinggal di perantauan, misalnya di Jakarta, dan kawin di Desa Serdang, waktu perkawinan harus dilaksanakan dengan cepat dan singkat, karena si pengantin laki-laki harus segera kembali ke Jakarta untuk bekerja. Karena itu seluruh unsur-unsur adat perkawinan tidak dapat dituruti lagi.12

12

Wawancara, pak Suhut Parhusip Nainggolan, Desa Serdang, 11 Oktober 2013. 2.2.2 Ekstern

Dalam sebuah kehidupan masyarakat tidak terlepas dengan hubungan antara individu yang satu dengan yang lain. Hubungan yang dimaksud ialah adanya interaksi guna terjalinnya kehidupan yang harmonis dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai makhluk sosial di dalam masyarakat. Seperti halnya yang terjadi di Desa Serdang, dimana keragaman etnis yang terdapat di Desa Serdang memiliki masyarakat yang majemuk.


(13)

Keragaman etnis yang ada didaerah Desa Serdang ialah Melayu, Jawa, Batak Toba dan Karo. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Batak sangat terkenal dengan nada bicara yang kasar dan keras yang terbawa dari daerah asalnya dan sampailah ditempat tinggalnya sekarang, oleh sebab itu didalam masyarakat orang Batak Toba yang berada di daerah Desa Serdang selalu beradu pendapat ketika terjadi suatu permasalahan mengenai lahan yang ingin dikuasai. Agar tidak semakin besar permasalahannya, maka mereka membangun kampung lainnya yaitu adanya kampung sumur, kampung karo, dan kampung mesjid yang letaknya tidak jauh dari Desa Serdang. Dengan adanya kampung sumur, kampung karo, dan kampung mesjid tidak menjadikan orang Batak Toba tersebut berselisih paham, melainkan interaksi mereka tetap terjaga dengan baik antara yang satu dengan yang lainnya.

2.3 Sistem Religi Masyarakat Batak Toba di Desa Serdang

Sistem religi merupakan semua aktivitas manusia yang mendorong untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Sistem religi juga berhubungan dengan kepercayaan dan agama. Secara sederhana agama merupakan pegangan hidup agar tidak menyimpang. Tapi bagi orang-orang yang beraliran komunis mungkin agama hanya merupakan candu yang tidak membawa dalam kemajuan atau kehidupan yang sempurna. Kepercayaan dan agama ini memiliki perbedaan, dimana kepercayaan itu lahir dari adanya kesadaran akan kekuatan supranatural, seperti kepercayaan terhadap roh nenek moyang, dewa - dewa, kekuatan alam, ilmu gaib dan lain - lain. Sedangkan agama itu adalah keyakinan yang mutlak dan harus diterima


(14)

oleh umatnya yang berisi pedoman - pedoman tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dan menuntun umatnya agar memperoleh keselamatan di dunia dan di surga.

Masyarakat yang ada di Desa Serdang pada umumnya menganut agama Kristen, Islam, Katholik dan sebagian lagi ialah kepercayaan Parmalim. Dahulu kepercayaan Parmalim yang ada di Desa Serdang hanya ada 2 keluarga, akan tetapi sekarang tinggal 1 keluarga. Hal ini disebabkan orang tua dari salah satu keluarga tersebut meninggal dan hanya tinggal anaknya saja yang masih hidup, lalu anak-anaknya masuk ke agama Kristen. Sampai sekarang agama parmalim masih bertahan hanya 1 keluarga saja di Desa Serdang.

Kedatangan masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Serdang membawa pengaruh agama yang mereka anut dari daerah asal mereka masing-masing. Agama yang dianut oleh masyarakat Batak Toba mayoritasnya adalah Kristen dan Katholik yang beribadah ke gereja.


(15)

Tabel I

Jumlah pemeluk agama di Desa Serdang kecamatan Beringin

Agama Laki – laki Perempuan

ISLAM 160 Orang 147 Orang

KRISTEN 900 Orang 949 Orang

KATHOLIK 323 Orang 300 Orang

JUMLAH 1283 Orang 1296 Orang

Sumber data: Kantor Kepala Desa Serdang

2.4 Sistem Mata Pencaharian

Pada umumnya Desa Serdang merupakan salah satu daerah lahan pertanian, dimana masyarakat yang tinggal didaerah ini hidup dari sektor pertanian. Dengan kata lain bertani merupakan mata pencaharian utama dari Desa Serdang tersebut. Pada awalnya Desa Serdang ini dibuka oleh masyarakat Melayu, tetapi pada tahun 1930 terjadi bencana alam yaitu banjir bandang yang mengakibatkan sebagian masyarakat Melayu berpindah ke daerah lain, seperti: Percut Seituan, Pantai Labu, Pantai Cermin, Lubuk Pakam, Tembung dan Perbaungan. Sehingga didaerah Desa


(16)

Serdang tersebut menjadi lahan yang kosong ataupun dapat dikatakan bahwa Desa Serdang tersebut menjadi hutan.

Pada waktu daerah Desa Serdang itu menjadi hutan, maka ada 2 orang Batak yang bermarga Samosir dan nainggolan, mereka melihat bahwa lahan yang ada di Desa Serdang yang hutan atau rawa-rawa sangat cocok dijadikan lahan pertanian untuk ditanami segala jenis tanaman, seperti: jagung, sayuran,dan yang peling dominan ialah padi.

Kemudian sesudah orang Batak tersebut membuka lahan pertanian diajaklah sebagian orang Batak yang berasal dari kampung halaman mereka yaitu samosir untuk bermigrasi ke Desa Serdang, agar dapat memperbaiki kehidupan ekonomi mereka. Sehingga dengan bermigrasi orang Batak ke Desa Serdang maka desa tersebut lebih dominan dihuni oleh masyarakat Batak Toba.

Pada tahun 1954 mulai dibuka Desa Serdang yang dulunya rawa-rawa menjadi lahan pertanian. Masyarakat Desa Serdang pada tahun 1954 masih mengandalkan air dari sungai untuk mengairih sawah mereka, agar dapat ditanami padi, karena keadaan alam dan letak sawah atau ladang mereka berada dekat dengan pinggiran sungai, sehingga memudahkan masyarakat Desa Serdang tersebut untuk menanam padi. Pada tahun 1954 masyarakat Desa Serdang tersebut menanam padi dengan menggunakan peralatan yang sederhana, seperti: cangkul, tajak, sabit, dan untuk membajak sawah yaitu kerbau agar dapat ditanami padi.


(17)

Namun setelah mengalami perkembangan masyarakat Batak yang berada di Desa Serdang ini mengganti sistem peralatan yang dulunya mereka pergunakan alat sederhana seperti cangkul, tajak, sabit dan kerbau menjadi tenaga mesin seperti jetor. Hasil pertanian mereka pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sebagian juga dijual. Setelah mereka menggunakan tenaga mesin, akhirnya membawa dampak yang cukup baik dan tidak memerlukan waktu yang lama.

Selain menanam padi, masyarakat Desa Serdang juga menanam tanaman palawija, seperti sayur-sayuran dan cabai yang dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka dan hasilnya mereka jual ke pasar. Selain bertani masyarakat Batak yang ada di Desa Serdang juga melakukan kegiatan berdagang. Berdagang juga merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat Batak yang ada di Desa Serdang.

Pada tahun 1980 an masyarakat Batak yang ada di Desa Serdang mulai mengalami perubahan, baik itu dari segi kehidupan sehari-hari dan juga pekerjaan mereka setiap harinya. Terlebih lagi setiap tahun jumlah penduduk yang ada di desa Serdang semakin bertambah dan sebagian pergi dari desa tersebut untuk menambah wawasan mereka ditempat perantauan. Sebelum tahun 1954 orang melayu yang tinggal di desa Serdang diperkirakan sekitar 3308 orang, sedangkan Pada tahun sekarang orang melayu yang ada di Desa Serdang sekitar 271 orang.13

13

Wawancara, Abdul Malik, Desa Serdang, 20 agustus 2013.


(18)

Sehingga dilihat dari perbandingan diatas dapat disimpulkan bahwa orang melayu sekarang jumlah penduduknya tidak sebanding dengan tahun sebelum datangnya Batak Toba di Desa Serdang.


(1)

Keragaman etnis yang ada didaerah Desa Serdang ialah Melayu, Jawa, Batak Toba dan Karo. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Batak sangat terkenal dengan nada bicara yang kasar dan keras yang terbawa dari daerah asalnya dan sampailah ditempat tinggalnya sekarang, oleh sebab itu didalam masyarakat orang Batak Toba yang berada di daerah Desa Serdang selalu beradu pendapat ketika terjadi suatu permasalahan mengenai lahan yang ingin dikuasai. Agar tidak semakin besar permasalahannya, maka mereka membangun kampung lainnya yaitu adanya kampung sumur, kampung karo, dan kampung mesjid yang letaknya tidak jauh dari Desa Serdang. Dengan adanya kampung sumur, kampung karo, dan kampung mesjid tidak menjadikan orang Batak Toba tersebut berselisih paham, melainkan interaksi mereka tetap terjaga dengan baik antara yang satu dengan yang lainnya.

2.3 Sistem Religi Masyarakat Batak Toba di Desa Serdang

Sistem religi merupakan semua aktivitas manusia yang mendorong untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Sistem religi juga berhubungan dengan kepercayaan dan agama. Secara sederhana agama merupakan pegangan hidup agar tidak menyimpang. Tapi bagi orang-orang yang beraliran komunis mungkin agama hanya merupakan candu yang tidak membawa dalam kemajuan atau kehidupan yang sempurna. Kepercayaan dan agama ini memiliki perbedaan, dimana kepercayaan itu lahir dari adanya kesadaran akan kekuatan supranatural, seperti kepercayaan terhadap roh nenek moyang, dewa - dewa, kekuatan alam, ilmu gaib dan


(2)

oleh umatnya yang berisi pedoman - pedoman tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dan menuntun umatnya agar memperoleh keselamatan di dunia dan di surga.

Masyarakat yang ada di Desa Serdang pada umumnya menganut agama Kristen, Islam, Katholik dan sebagian lagi ialah kepercayaan Parmalim. Dahulu kepercayaan Parmalim yang ada di Desa Serdang hanya ada 2 keluarga, akan tetapi sekarang tinggal 1 keluarga. Hal ini disebabkan orang tua dari salah satu keluarga tersebut meninggal dan hanya tinggal anaknya saja yang masih hidup, lalu anak-anaknya masuk ke agama Kristen. Sampai sekarang agama parmalim masih bertahan hanya 1 keluarga saja di Desa Serdang.

Kedatangan masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Serdang membawa pengaruh agama yang mereka anut dari daerah asal mereka masing-masing. Agama yang dianut oleh masyarakat Batak Toba mayoritasnya adalah Kristen dan Katholik yang beribadah ke gereja.


(3)

Tabel I

Jumlah pemeluk agama di Desa Serdang kecamatan Beringin

Agama Laki – laki Perempuan

ISLAM 160 Orang 147 Orang

KRISTEN 900 Orang 949 Orang

KATHOLIK 323 Orang 300 Orang

JUMLAH 1283 Orang 1296 Orang

Sumber data: Kantor Kepala Desa Serdang

2.4 Sistem Mata Pencaharian

Pada umumnya Desa Serdang merupakan salah satu daerah lahan pertanian, dimana masyarakat yang tinggal didaerah ini hidup dari sektor pertanian. Dengan kata lain bertani merupakan mata pencaharian utama dari Desa Serdang tersebut. Pada awalnya Desa Serdang ini dibuka oleh masyarakat Melayu, tetapi pada tahun 1930 terjadi bencana alam yaitu banjir bandang yang mengakibatkan sebagian masyarakat Melayu berpindah ke daerah lain, seperti: Percut Seituan, Pantai Labu, Pantai Cermin, Lubuk Pakam, Tembung dan Perbaungan. Sehingga didaerah Desa


(4)

Serdang tersebut menjadi lahan yang kosong ataupun dapat dikatakan bahwa Desa Serdang tersebut menjadi hutan.

Pada waktu daerah Desa Serdang itu menjadi hutan, maka ada 2 orang Batak yang bermarga Samosir dan nainggolan, mereka melihat bahwa lahan yang ada di Desa Serdang yang hutan atau rawa-rawa sangat cocok dijadikan lahan pertanian untuk ditanami segala jenis tanaman, seperti: jagung, sayuran,dan yang peling dominan ialah padi.

Kemudian sesudah orang Batak tersebut membuka lahan pertanian diajaklah sebagian orang Batak yang berasal dari kampung halaman mereka yaitu samosir untuk bermigrasi ke Desa Serdang, agar dapat memperbaiki kehidupan ekonomi mereka. Sehingga dengan bermigrasi orang Batak ke Desa Serdang maka desa tersebut lebih dominan dihuni oleh masyarakat Batak Toba.

Pada tahun 1954 mulai dibuka Desa Serdang yang dulunya rawa-rawa menjadi lahan pertanian. Masyarakat Desa Serdang pada tahun 1954 masih mengandalkan air dari sungai untuk mengairih sawah mereka, agar dapat ditanami padi, karena keadaan alam dan letak sawah atau ladang mereka berada dekat dengan pinggiran sungai, sehingga memudahkan masyarakat Desa Serdang tersebut untuk menanam padi. Pada tahun 1954 masyarakat Desa Serdang tersebut menanam padi dengan menggunakan peralatan yang sederhana, seperti: cangkul, tajak, sabit, dan untuk membajak sawah yaitu kerbau agar dapat ditanami padi.


(5)

Namun setelah mengalami perkembangan masyarakat Batak yang berada di Desa Serdang ini mengganti sistem peralatan yang dulunya mereka pergunakan alat sederhana seperti cangkul, tajak, sabit dan kerbau menjadi tenaga mesin seperti jetor. Hasil pertanian mereka pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sebagian juga dijual. Setelah mereka menggunakan tenaga mesin, akhirnya membawa dampak yang cukup baik dan tidak memerlukan waktu yang lama.

Selain menanam padi, masyarakat Desa Serdang juga menanam tanaman palawija, seperti sayur-sayuran dan cabai yang dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka dan hasilnya mereka jual ke pasar. Selain bertani masyarakat Batak yang ada di Desa Serdang juga melakukan kegiatan berdagang. Berdagang juga merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat Batak yang ada di Desa Serdang.

Pada tahun 1980 an masyarakat Batak yang ada di Desa Serdang mulai mengalami perubahan, baik itu dari segi kehidupan sehari-hari dan juga pekerjaan mereka setiap harinya. Terlebih lagi setiap tahun jumlah penduduk yang ada di desa Serdang semakin bertambah dan sebagian pergi dari desa tersebut untuk menambah wawasan mereka ditempat perantauan. Sebelum tahun 1954 orang melayu yang tinggal di desa Serdang diperkirakan sekitar 3308 orang, sedangkan Pada tahun sekarang orang melayu yang ada di Desa Serdang sekitar 271 orang.13


(6)

Sehingga dilihat dari perbandingan diatas dapat disimpulkan bahwa orang melayu sekarang jumlah penduduknya tidak sebanding dengan tahun sebelum datangnya Batak Toba di Desa Serdang.