Penerapan Prinsip Akuntansi dalam Perhit

MAKALAH
PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP AKUNTANSI DALAM MENENTUKAN
DAN MENGHITUNG ASET WAJIB ZAKAT

Makalah ditulis dan dipresentasikan dalam rangka memenuhi tugas matakuliah
Manajemen Zakat dan Wakaf Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Program Studi Ekonomi Syari’ah

Dosen Pengampu:
Nikmatul Masruroh, M.E.I

Disusun oleh :
Ria Rosdiyana Dewi
NIM: 083 134 090

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEPTEMBER, 2015

Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. yang telah menganugerahkan segala

rahmat dan hidayah-Nya, karena hanya dengan karunia-Nya makalah yang
berjudul

“Penerapan

Prinsip-Prinsip Akuntansi

dalam

Menentukan

dan

Menghitung Aset Wajib Zakat” ini dapat selesai tanpa hambatan yang berarti.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. utusan
dan manusia pilihan-Nya yang mengantarkan umat manusia minadzdzulumati
ilan-nuur, yakni addinul Islam (dari zaman kegelapan menuju zaman yang
bercahaya, yakni agama Islam).
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.


Nikmatul Masruroh, M.E.I sebagai dosen pembimbing mata kuliah
Manajemen Zakat dan Wakaf.

2.

Rekan-rekan yang memberikan saran-sarannya dan semangat pada
pemakalah agar dapat menyusun makalah ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan
dengan senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini.

Jember, 20 September 2015

Penulis

2

Daftar Isi

Kata Pengantar.................................................................................................... ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang....................................................................................1

B.

Rumusan Masalah...............................................................................1

C.

Tujuan.................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A.

Karakteristik Aset Wajib Zakat...........................................................2


B.

Penjelasan Karakteristik Aset Wajib Zakat.........................................2

C.

1.

Kepemilikan Sempurna.............................................................2

2.

Aset Produktif atau Berpotensi untuk Produktif.......................3

3.

Harus Mencapai Nisab..............................................................4

4.


Aset Surplus Non Kebutuhan Primer........................................5

5.

Tak Ada Tanggungan Utang......................................................6

6.

Kepemilikan Satu Tahun Penuh................................................7

Penerapan

Prinsip-Prinsip

Akuntansi

dalan

Menetukan


dan

Menghitung Aset Wajib Zakat............................................................8
1.

Prinsip Tahunan (annual/haul)..................................................9

2.

Prinsip independensi tahun keuangan.......................................10

3.

Prinsip standar aset produktif atau potensi produktif................10

4.

Prinsip standar mencapai nisab (nilai surplus)..........................11

5.


Prinsip laba bersih (net income)................................................11

6.

Prinsip monetary unit................................................................12

7.

Prinsip penentuan nilai dengan harga pasar..............................13

8.

Prinsip entitas............................................................................14

BAB III PENUTUP

3

Kesimpulan..................................................................................................16

Daftar Pustaka

4

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Zakat adalah bagian tertentu yang diambil dari harta kekayaan yang
diwajibkan Allah SWT untuk sejumlah orang yang berhak menerimanya.
Dalam pelaksanaannya, muzakki harus mengetahui dan mengerti seperti apa
harta kekayaan yang wajib dizakati. Hal ini bertujuan untuk membuat
ibadah zakat yang merupakan ibadah yang memiliki dua dimensi yakni
dimensi ibadah dan dimensi sosial yang dilaksanakan atas dasar
kemanusiaan ini dapat mencapai kesempurnaan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya penentuan dan perhitungan dengan
kehati-hatian pada zakat terutama zakat mal. Penentuan dan perhitungan
dapat menggunakan alat-alat akuntansi yang sudah banyak dikenal secara
umum. Makalah ini akan menjelaskan beberapa prinsip-prinsip akuntansi

yang dapat diterapkan mengikuti karakteristik aset wajib zakat dalam
konsep fikih.

B.

Rumusan Masalah
a.

Apa saja karakteristik aset wajib zakat?

b.

Bagaimana penjelasan mengenai karakteristik aset wajib zakat yang
merupakan syarat-syarat dari aset wajib zakat tersebut?

c.

Apa saja prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menentukan
dan menghitung aset wajib zakat?


C.

Tujuan
a.

Untuk mengetahui karakteristik aset wajib zakat.

b.

Untuk mengetahui penjelasan mengenai karakteristik aset wajib zakat
yang merupakan syarat-syarat dari aset wajib zakat.

c.

Untuk mengetahui prinsip-prinsip akuntansi yang diterapakan dalam
menentukan dan menghitung aset wajib zakat.

1

BAB II

PEMBAHASAN
A.

Karakteristik Aset Wajib Zakat
Pada dasarnya, karakteristik aset wajib zakat merupakan syarat-syarat
yang harus terpenuhi apabila sebuah aset akan dizakati oleh muzakki.
Syarat-syarat tersebut yaitu:

B.

a.

Kepemilikan sempurna;

b.

Aset produktif atau berpotensi untuk produktif;

c.

Harus mencapai nisab;

d.

Aset surplus non kebutuhan primer;

e.

Tak ada tanggungan utang;

f.

Kepemilikan satu tahun penuh.

Penjelasan Karakteristik Aset Wajib Zakat
Pada prinsipnya, aset kekayaan itu wajib zakat apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1.

Kepemilikan Sempurna
Menurut Wahbah Zuhaili, sebagaimana yang telah dikutip oleh Ismail

Nawawi bahwa kepemilikan bermakna pemilikan manusia atas suatu harta
atau kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut
ulama fiqih, kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang
menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya
untuk bertransaksi secara langsung terhadapnya selama tidak ada halangan
syariah.1
Yang dimaksud dengan kepemilikan sempurna adalah bahwa aset
kekayaan tersebut harus berada di bawah kekuasaan seseorang secara total
tanpa ada hak orang lain di dalamnya. Dengan demikian, secara hukum,
pemiliknya dapat membelanjakan kekayaan tersebut sesuai dengan
keinginannya, dan yang dihasilkan dari pemanfaatan kekayaan tersebut akan
1 Abdul Rokhim, Ekonomi Islam Perspektif Muhammad SAW (Jember: STAIN Jember Press,
2013), 3.

2

menjadi miliknya (free of claims by other). Kepemilikan yang tidak cacat
hukum ini sangat penting karena sebagaimana yang dimaksud dengan zakat
adalah pemindahan kepemilikan atas jumlah tertentu dari aset kekayaan
tertentu yang telah mencapai tertentu kepada orang yang berhak menerima,
maka tidak logis jika seseorang memindahkan kepemilikan harta yang tidak
dimilikinya kepada orang lain.
Demikian pula, harta yang wajib dizakati disyaratkan bersumber dari
sesuatu yang halal. Oleh karena itu, harta yang bersumber dari hal-hal yang
haram tidak wajib dizakatkan. Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda:

‫ق َبه َل نم َيك هن َنلصه َفيص ن‬
‫جصصرر َون ن‬
‫ماَ ل‬
‫ه اص ا‬
‫ل َ ا‬
‫كصاَ ن‬
‫ه َأ ص‬
‫ن َ ن‬
‫م ن‬
‫ن َ ن‬
‫صصصهره ه‬
‫م َث ه د‬
‫ع َ ن‬
‫ج ن‬
‫ن‬
‫ن َا ا ص‬
‫م َت ن ن‬
‫صد د ن ا ا ص ن ص‬
‫م ص‬
‫م ص‬
‫حنرا م‬
َ ‫ه‬
‫ع نل ني ص ا‬
“Barangsiapa

yang

mensedekahkannya,

mengumpulkan
maka

tidak

akan

harta
ada

yang

haram,

pahalanya

dan

lalu
dosa

ditanggungnya.” (HR. Abu Daud)2
2.

Aset Produktif atau Berpotensi untuk Produktif
Para fuqaha mensyaratkan “berkembang/produktivitas nilai aset” atau

mempunyai potensi untuk produktif bagi aset yang wajib dizakati. Yang
dimaksud dengan produktivitas aset di sini adalah bahwa dalam proses
pemutarannya (komersialisasi) dapat mendatangkan hasil atau pendapatan
tertentu sehingga tidak terjadi pengangguran nilai atas kapital aset. Islam
melarang suatu tindakan yang berusaha menumpuk-numpuk uang dan
menjadikannya tidak produktif. Sebagaimana firman Allah SWT pada Q.S.
At-Taubah ayat 34:

‫ياَ َأ نيهاَ َال دذين َآمنوصا َإن َك ناثيرلا َمصصن َال نحبصصاَر َوالرهصبصصاَن َل نيصصأ صك ههلو ن‬
‫وا ن‬
‫ل‬
‫ن‬
‫ص ن ا ن ر ن ا ن‬
‫ا ن ن ه ا د‬
‫ن َأ ص‬
‫ن رن‬
‫مصص ن‬
‫م ن‬
‫ب‬
‫ه َنوادلص ا‬
‫ل َالل لصص ا‬
‫ن َالصذ دهن ن‬
‫ن َي نك صن اصصهزو ن‬
‫دو ن‬
‫ص ر‬
‫ن َع ن ن َ ن‬
‫ل َوني ن ه‬
‫ذي ن‬
‫سصابي ا‬
‫س َاباَل صنباَط ا ا‬
‫الدناَ ا‬
‫ن‬
‫ة َون ن‬
‫هم َب اعن ن‬
‫ه َفنب ن م‬
-٣٤-َ ‫م‬
‫ف ه‬
‫شصر ه‬
‫ض ن‬
‫ل َالل ل ا‬
‫ل َهين ا‬
‫نوال ص ا‬
‫ف د‬
‫قون ننهاَ َافيِ َ ن‬
‫ذا م‬
‫سابي ا‬
‫ب َأالي م‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orangorang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang
2 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2000), 864.

3

dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari
jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.”
Dalam hal produktivitas aset, tidaklah penting apakah perkembangan
nilai aset tersebut benar-benar terwujud atau tidak tetapi yang disyaratkan
adalah bahwa aset tersebut mempunyai potensi untuk berkembang agar
setiap tahun tidak berkurang karena kewajiban zakatnya, termasuk harta
anak yatim yang dikelola oleh seseorang supaya diinvestasikan dengan
baik.3
Hikmah

dari

persyaratan

ini

adalah

bahwa

Islam

sangat

memperhatikan ketetapan nilai dari sebuah komoditas, properti atau aset
tetap dari sebuah roda usaha yang dijalankan umat muslim agar dapat
memberikan dorongan dalam merealisasikan pertumbuhan ekonomi. Oleh
karena itu, tidak diwajibkan zakat atas tempat tinggal, kuda tunggangan,
baju yang dipakai, buku, peralatan dan lain sebagainya, karena semua itu
tidak termasuk dalam kategori kebutuhan primer yang tidak dapat
berkembang (konsumtif). Dalam hal ini, Islam menegaskan akan pentingnya
produktivitas harta hingga tidak terus berkurang dengan dikeluarkannya
zakat.4
3.

Harus Mencapai Nisab
Yang dimaksud dengan nisab adalah syarat jumlah minimum aset

yang dapat dikategorikan sebagai aset wajib zakat. Islam sejak empat belas
abad yang lalu telah memperhatikan kondisi sosial dan kemampuan setiap
individu dalam membayar zakat. Oleh karena itu, Islam mensyaratkan
dalam pelaksanaan zakat mal agar aset yang dizakati harus mencapai nisab
tertentu, dengan kata lain hanya aset surplus saja yang menjadi objek zakat.
3 Abdurrachman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1998), 12.
4 M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan (Jakarta: Kencana, 2006), 20.

4

Sebab, tidak logis apabila zakat diambil dari orang fakir dan diberikan
kepada fakir lainnya.
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menafsirkan
dan menentukan kadar nisab. Akan tetapi sebagian besar pendapat
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nisab adalah sejumlah makanan,
emas, dan lain sebagainya yang dapat mencukupi kebutuhan dan belanja
keluarga kelas menengah selama satu tahun. Karakreristik nisab berbedabeda sesuai dengan harta yang wajib dizakati, seperti nisab pada hasil
pertanian dan perkebunan adalah dengan 50 kailah atau 635 kg, sedangkan
nisab pada zakat aktiva keuangan adalah 200 dirham atau 85 gram.yang
perlu diperhaikan adalah dalam kadar nisab ditentukan pada akhir tahun
dengan ketentuan harga pasar. Hal ini sesuai dengan apa yang akan kita
bahas kemudian dalam penetuan dan perhitungan berbagai macam kategori
zakat mal.
4.

Aset Surplus Non Kebutuhan Primer
Maksud dari surplus non kebututuhan primer adalah aset kepemilikan

yang melebihi pemenuhan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan).
Ukuran kebutuhan biasa merupakan sesuatu yang sangat relatif sifatnya.
Setiap orang akan berbeda dalam pemenuhan kebutuhan biasanya, apalagi
dalam kondisi perekonomian saat ini yang menganggap bahwa barang
mewah pun sudah menjadi kebutuhan.
Perbedaan ukuran akan keprimeran sesuatu pada saat ini membuat
penentuan kebutuhan primer menjadi sulit. Untungnya, ketetapan fuqaha
berkaitan dengan hal ini cukup fleksibel. Mereka mengembalikan
ketetapannya kepada si pemilik aset calon muzakki disesuaikan dengan
kondisi masing-masing atau kepada pemerintah lokal untuk menetukan
standarisasi tertentu untuk penyebutan aset kebutuhan primer. Kebutuhan
biasa dapat diukur dari diri muzakki, keluarganya dan orang-orang yang
menjadi tanggungannya, sehingga mereka dapat hidup sehat.5
5 Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), 93.

5

Adapun hikmah dari persyaratan ini adalah bahwa syarat surplus
dalam zakat tidak akan terwujud kecuali bila telah terpenuhinya kebutuhankebutuhan primer. Hal yang sama juga terjadi pada syarat berkembang yang
tidak akan tercapai kecuali setelah terpenuhinya semua kebutuhan primer.
Dengan kata lain, aturan yang ketat dari persyaratan ini memberikan
dorongan muslim dengan aset yang surplus agar tidak berlebih-lebihan atau
mengupayakan asetnya untuk diinvestasikan agar tidak habis oleh
kewajiban zakat.
5.

Tak Ada Tanggungan Utang
Aset wajib zakat adalah aset yang sudah dikurangi utang. Apabila

seseorang tersebut memiliki harta yang tidak ada di dalamnya hak orang lain
yang wajib dibayarkan. Atas dasar syarat ini, seseorang yang memiliki harta
yang cukup satu nisab, tetapi karena ia masih mempunyai utang pada orang
lain yang jika dibayarkan sisa hartanya tidak lagi mencapai satu nisab, maka
dalam hal ini tidak wajib zakat padanya6
Hal ini berdasarkan pada asas yang menyatakan bahwa hak orang
yang meminjamkan utang harus didahulukan daripada hak golongan yang
berhak menerima zakat. Namun demikian, di lain pihak jumlah aset dari
utang yang dibayarkan tersebut akan menjadi aset wajib zakat bagi si
pemilik piutang (orang yang meminjamkan utang). Dengan demikian tidak
berlebihan jika kemudian Islam mengindahkan sebuah prinsip baku yang
diintisarikan dari nash hadis bahwa: “penundaan mambayar utang bagi
mereka yang surplus adalah zalim”, karena selain utang mempunyai
kepentingan terhadap kemaslahatan orang mengutangkan, utang juga sangat
berkaitan dengan hak fakir di dalam aset wajib zakat. 7

6.

Kepemilikan Satu Tahun Penuh

6 Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 179.
7 Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat, 23.

6

Sebagian aset waib zakat, sepeti binatang ternak, aset keuangan, dan
barang dagangan (komoditas) harus dimiliki selama satu tahun pnuh
menurut perhiungan kalender hijriyah, umumnya dimulai pada bulan
Ramadhan. Walaupun nantinya pada tataran aplikasi, penggunaan kalender
hijriyah ataupun miladiyah tidak akan menjadi masalah. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa aset yang mudah rusak/busuk tidak dapat menjadi
aset wajib zakat.
Hasil pengamatan penulis, umat muslim banyak yang mengalami
kesalahpahaman dalam konsep haul. Sebagian besar muslim masih
beranggapan bahwa setiap ada pemasukan ataupun penghasilan yang
besarannya di luar kebiasaan, harus langsung dikeluarkan kewajiban
zakatnya sebesar 2,5%. Persepsi ini sangat menyalahi prinsip hukum zakat,
di mana tidak seharusnya zakat tersebut langsung dikeluarkan, walaupun
pendapatan tersbeut memang dapat menambah aset yang kita miliki untuk
menjadi aset wajib zakat di tahun yang akan datang.8
Dalam kitab Asy-Syarh Ash-Shagir dijelaskan: “Hitunglah barangbarang daganganmu setiap tahun dari setiap jenis yang diperdagangkan
karena pada umumnya pada saat itu telah ada nilai yang sesuai dengan
kegiatan jual beli yang dilakukan.” Selain itu, Imam Syafi’i berpendapat:
“Haul adalah merupakan syarat wajib dalam menentukan zakat, apabila
belum sampai waktu haul meskipun sedikit, maka tidak wajib mengeluarkan
zakat, dan disyaratkan kesempurnaan waktu haul pada zakat selain bijibijian, barang tambang, dan harta terpendam.” Sedangkan Imam Maliki
berpendapat bahwa: “Kesempurnaan haul merupakan syarat bagi zakat
selain barang tambang, harta terpendam, dan tanaman.”
Lain halnya pada aset, seperti hasil pertanian, barang tambang dan
harta karun, pada aset-aset tersebut tidak diwajibkan kepemilikan selama
setahun. Hikmah dari syarat tersebut adalah bahwa harta yang memakai
syarat ini merupakan jenis harta berkembang yang perkembangannya tidak
dapat tercapai kecuali setelah melewati rentang waktu tertentu sehingga
8 Ibid., 24

7

pengeluaran zakat dapat diambil dari hasil perkembangan produktivitasnya.
Persyaratan ini juga untuk menjaga proses perkembangan aset agar terus
produktif.
C.

Penerapan

Prinsip-Prinsip

Akuntansi

dalam

Menentukan

dan

Menghitung Aset Wajib Zakat
Pengertian akuntansi dalam ilmu pengetahuan modern menegaskan
bahwa akuntansi dikhususkan untuk menentukan (kebijakan) berbagai
macam aktivitas, kemudian menyampaikan informasi yang berkaitan
dengan hasil aktivitas tersebeut kepada pihak yang berkepentingan untuk
dipergunakan dalam pengambilan keputusan. Proses akuntansi dapat
digambarkan sebagai berikut:
 Membatasi dan mengumpulkan informasi tentang berbagai aktivitas.
 Mencatat, memilah, dan menganalisis keterangan tersebut dengan
definisi dan dasar-dasar tertentu dalam tujuan yang ditentukan.
 Menyampaikan informasi-informasi yang diperoleh dari langkah-langkah
di atas kepada pihak yang berkepentingan untuk dapat dipergunakan
sebagai dasar pengambilan keputusan.
Menurut Husein Sahatah, akuntansi zakat mal dianggap sebagai salah
satu cabang ilmu akuntansi yang dikhususkan untuk menentukan dan
menilai

aset

wajib

zakat,

menimbang

kadarnya

(volume),

dan

mendistribusikan hasilnya kepada para mustahik dengan berdasarkan
kepada kaidah-kaidah syariat Islam. Oleh sebab itu, Husein Sahatah
memaparkan bahwa:
 Sistem akuntansi zakat harus mempunyai kerangka tertentu yang
menentukan batasan-batasan dan hubungannya dengan sistem Islam
lainnya.
 Sistem akuntansi zakat mal terdiri dari beberapa unsur yang saling terkait
dan digabungkan dalam suatu ikatan code of conduct sehingga dapat
terhindar dari segala macam pertentangan.

8

 Pelaksanaan sistem akuntansi zakat mal dikontrol oleh sejumlah hukum
dan kaidah-kaidah permanen, dan itu dapat diintisarikan dari sumbersumber syariah Islam.
 Sistem zakat mal akan bekerja sesuai dengan langkah-langkah yang
penuh ketelitian dan terus-menerus.
Jika demikian, maka sistem akuntansi zakat dapat diharapkan
memberikan sejumlah keterangan dan informasi yang kredibel tentang cara
berhitung, hasil zakat, dan pembagiannya kepada para muzakki dan
mustahik. Penentuan dan perhitungan zakat mal dapat menggunakan alatalat akuntansi yang sudah banyak dikenal secara umum, beberapa prinsipprinsip akuntansi yang dapat diterapkan mengikuti karakteristik aset wajib
zakat dalam konsep fikih, di antaranya:9
1.

Prinsip tahunan (annual/haul)
Dalam pemikiran Islam, tahun qamariah (hijriyah) dijadikan sebagai

standar minimum untuk pertumbuhan nilai aset, dengan demikian maka haul
(satu tahun) merupakan titik awal dari suatu pertumbuhan. Karena itu,
seorang mukalaf atau calon muzakki yang diwajibkan zakat harus
melakukan penilaian atas harta yang dimiliki sesuai dengan nilai pasar
setelah kepemilikannya melewati haul.
Prinsip ini ditegaskan oleh pernyataan ahli fikih Islam seperti
pernyataan Imam Syafi’i: “Haul adalah merupakan syarat wajib dalam
menentukan zakat, apabila belum sampai waktu haul meskipun sedikit,
maka tidak wajib mengeluarkan zakat, dan disyaratkan kesempurnaan
waktu haul pada zakat selain biji-bijian, barang tambang, dan harta
terpendam.” Imam Malik menyatakan bahwa haul merupakan syarat wajib
zakat pada barang selain tambang, harta karun, dan tanaman. Dengan
demikian, zakat pertanian, perkebunan, barang tambang, dan harta karun
dikecualikan dari prinsip ini.
Yang ingin ditekankan di sini adalah naik turunnya nilai aset yang
dimilikinya selama satu tahun haul berjalan tidak menjadi pertimbangan
9 Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat, 28-40.

9

dalam kewajiban zakat, yang terpenting adalah nilai aset pada akhir masa
haul. Selain itu, prinsip ini juga memastikan barang yang mudah
rusak/busuk seperti makanan dan pendapatan yang tidak biasa atau
kebetulan tidak menjadi aset wajib zakat. Konsep ini menunjukkan bahwa
seseorang muslim hanya wajib membayar zakat satu kali dalam satu haul.
Seperti sabda Rasulullah SAW:

‫نز ن‬
‫حوص ه‬
‫حوص ن‬
‫ل‬
‫كأ ن‬
‫ل َع نل ني ص ا‬
‫ه َال ص ن‬
‫حدتىَّ َي ن ه‬
‫ل َ ن‬
‫ة َافىَّ َ ن‬
‫ماَ م‬
“Tidak ada kewajiban zakat pada suatu harta sehingga ia mengalami ulang
tahun. ”10
2.

Prinsip independensi tahun keuangan (independent periodicity
concept)
Dalam bahasan akuntansi yang dimaksud dengan periodicity concept

adalah bahwa konsep yang menggabungkan kegiatan ekonomi pada tiap
periode akuntansi, dan kegiatan tersebut dapat dihitung untuk diukur dan
dilaporkan. Setiap periode produktivitas aset pada satu tahun haul akan
terpisah dengan tahun sebelumnya atau berikutnya. Karena itu, kewajiban
zakat tidak bisa diestimasi dan dipukul rata untuk besaran tiap tahunnya.
Hal ini mengingat baik pengeluaran maupun pemasukan setiap orang pada
setiap tahunnya diprediksi hampir pasti mengalami perubahan yang konstan,
baik itu kecil maupun besar.
3.

Prinsip standar aset produktif atau potensi produktif
Sistem akuntansi zakat didasarkan pada prinsip yang menyatakan

bahwa sumber zakat adalah harta yang dapat berkembang, baik secara riil
maupun tidak, baik harta tersebut habis dalam selama haul maupun tidak,
baik perkembangannya berhubungan dengan asal kekayaan atau terpisah.
Bentuk-bentuk aset produktif dalam kajian ilmu akuntansi dapat
dicontohkan sebagai berikut:


Uang tunai yang ada pada kita atau tersimpan di bank



Saham, obligasi, dan financial papers lainnya

10 Syauqi Isma’il Syahhatih, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern (Jakarta: Pustaka Dian/Antar
Kota, 1987), 128.

10



Persediaan barang dagangan; barang-barang yang diniatkan untuk
dijual



Aset tetap industri, di mana output dari aset tersebuut yang wajib
zakat, dengan begitu aset tetap berlaku sebagai aset zakat secara tidak
langsung (indirect).



Pendapatan dari penyewaan barang (usaha rental, rumah kontrakan,
dan lain-lain)



Piutang bersih (cadangan piutang tidak tertagih dikurangi utang yang
kita miliki).

4.

Prinsip standar mencapai nisab (nilai surplus)
Sistem akuntansi zakat sangat memperhatikan akan pentingnya

standar kemampuan bagi muzakki. Dalam fikih Islam, hal ini disebut
dengan nisab zakat. Nisab (batas jumlah) harus dihitung di mana tidak
ditagih zakat dari orang yang tidak cukup kekayaannya senisab. 11 Adanya
konsep nisab menunjukkan bahwa yang menjadi objek zakat hanyalah aset
surplus saja. Atau secara sederhana, surplus nilai nisab berarti seorang
muzakki masih mempunyai sisa aset sebesar nisab setelah memenuhi
kewajibannya berupa pemenuhan kebutuhannya.
Prinsip ini bertujuan agar tidak membebani kaum muslimin dan
mendorong mereka untuk meningkatkan produktivitas. Standar kemampuan
dalam perhitungan zakat pada seluruh aset ditentukan dengan besaran nisab
yang beragam dalam kajian fikih klasik, yaitu 20 dinar atau 200 dirham atau
85 gram emas atau 4 sha’.
5.

Prinsip laba bersih (net income)
Zakat juga didasarkan pada prinsip yang mirip dengan prinsip

sebelumnya, di mana muzakki diharuskan untuk mengurangi aset yang akan
dizakati dengan utang-utang yang ada dan beban-beban lainnya yang ada
pada pendapatan atau aset. Akuntansi menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan laba adalah pendapatan dikurangi semua pengeluaran. Prinsip
11 Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam: Menuju Perumusan Teori (Jakarta: Pustaka Quantum,
2001), 323

11

pendapatan bersih juga berarti biaya produksi atau semua biaya pabrikasi
tidak menjadi objek zakat seperti upah, overhead pabrik dan bahan baku dan
pajak, serta piutang yang pengembaliannya tidak diharapkan. Sedangkan
piutang yang diharapkan pengembaliannya, dapat dimasukkan sebagai
aktiva lancar sehingga berkaitan dengan net income (laba bersih).
Bagi pengusaha muslim, untuk menentukan aset apa saja yang
termasuk aktiva lancar maupun liabilities dapat langsung mengacu kepada
konsep akuntansi yang sudah mapan saat ini. Karena hal ini merupakan
keringanan bagi orang yang wajib zakat dalam menunaikan kewajiban
zakat. Diriwayatkan dari Abu Ubaid bahwa Rasulullah SAW berkata,
“Apabila telah sampai haul yang mewajibkan kamu untuk berzakat, maka
lihatlah apa yang kamu miliki baik berupa uang atau barang dagangan dan
nilailah dengan nilai uang, jika kamu mempunyai utang maka hitunglah,
kemudian bayarkanlah utangmu, kemudian kamu sedekahkan sisanya.” Hal
ini berarti utang-utang yang ada harus dilunasi sebelum menentukan sumber
zakat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari salah seorang fuqaha terdahulu,
“Bayarkanlah utang dan kharaj (pajak tanah) mu, apabila sisanya masih
sampai 5 saq, setelah itu, maka bayarkanlah zakatnya.”
Dari paragraf di atas, jelaslah bahwa sistem akuntansi zakat sangat
memperhatikan utang dan beban yang harus diambil dari pendapatan,
sedangkan piutang dapat diberlakukan sebaliknya, yaitu menambah aset.
Kewajiban calon muzakki untuk mengurangi aset dengan utang atau
menambah dengan piutang hanya berlaku untuk satu kali haul saja.
6.

Prinsip monetary unit
Pada saat membatasi dan menetukan jumlah kekayaan yang wajib

untuk dizakati, maka harus dihitung seluruh kekayaan yang dimiliki oleh
mukallaf baik yang berada di dalam negeri atau di luar negeri. Pada kondisi
ini, semua harta tersebut harus digabung menjadi satu kemudian dikurangi
dengan utang dan dikeluarkan zakatnya dari sisa kekayaan tersebut.
Pertanyaan yang prinsip ini adalah bagaimana jika seorang calon muzakki
memiliki aset/komoditas yang sebagian ada di Indonesia dan sebagian lagi

12

ada di Amerika? Jawabannya adalah untuk aset yang ada di Indonesia
dihitung dengan nilai pasar Indonesia sedangkan yang sebagian lagi
dihitung dengan nilai pasar Amerika, setelah itu kedua penaksiran nilai
tersebut digabungkan untuk menjadi sumber aset wajib zakat. Konsep ini
juga dapat diterapkan untuk setiap letak aset yang berjauhan terpisah oleh
provinsi, daerah, dan lain sebagainya selama terjadi perbedaan nilai aset di
pasar masing-masing daerah, baik aset sejenis maupun tidak.
Bagaimana cara menilai aset ini diperkuat oleh pernyataan Ibnu AlQayyim, “Nilai barang dagangan disesuaikan dengan nilai yang ada di
negara di mana barang tersebut berada. Dengan demikian, walaupun
barang tersebut diekspor ke negara lain hingga lewat masa haul, maka
nilainya dihitung dengan nilai yang ada di negara tersebut, kemudian
semuanya disatukan dalam penilaiannya walaupun nilai yang dianggap
adalah yang ada pada negara tersebut dan digabungkan di antara satu
barang dagangan dengan yang lain dalam penilaiannya walaupun jenisnya
berbeda.”
7.

Prinsip penentuan nilai dengan harga pasar (current value atau
market value)
Sistem akuntansi zakat menilai barang (valuation of inventories) pada

akhir masa haul berdasarkan prinsip nilai tukar yang berlaku di pasar saat
itu. Jabir bin Zaid berpendapat dalam kasus barang yang diperdagangkan,
“nilailah dengan harga yang ada pada saat tiba masa haul dalam zakat
kemudian keluarkanlah zakatnya.” Dalam kajian akuntansi disebutkan
bahwa harga pasar dapat berarti:


Replacement cost (biaya pengganti), yaitu biaya sekarang untuk
mengganti potensi pelayanan dari sebuah aktiva yang ada. Penekanan
ditempatkan pada pendapatan aktiva dengan kemampuan pelayanan di
masa datang yang sama.



Net Realizable value (nilai bersih yang dapat direalisasikan), yaitu
harga jual yang diharapkan dari persediaan barang dikurangi biaya
yang diharapkan untuk pelengkap dan penyelesaiannya. Nilai ini
13

merupakan jumlah batas dalam penerapan peraturan pasar atau biaya
yang lebih rendah dalam penilaian persediaan.
Diriwayatkan dari Katsir bin Hisyam dari Ja’far bin Furqon dari
Maimun bin Mahran, ia berkata, “Apabila telah sampai kepadamu masa
haul, maka lihatlah uang atau barang dagangan yang kamu miliki
kemudian jadikan barang tersebut senilai dengan uang dan apabila ada
utang yang kamu miliki, maka hitunglah, bayarkan dari harta tersebut dan
keluarkan zakat dari sisanya.”
8.

Prinsip entitas
Yang dimaksud dengan entitas adalah:

a)

Dalam kajian akuntansi: subjek unit ekonomi yang terpisah pada
pengukuran keuangan untuk keperluan akuntansi, misalnya perseroan
terbatas, firma, dan sebagainya.

b)

Dalam hukum: perseorangan, persekutuan, kerja sama, dan
sebagainya yang diizinkan oleh hukum untuk memiliki kekayaan dan
perjanjian dalam melakukan usaha. Kesatuan hukum yang bergabung
dapat terjadi seperti pada konsolidasi untuk pelaporan keuangan.
Dengan demikian, teori entitas adalah suatu teori yang memberikan

pandangan mengenai suatu unit usaha, organisasi atau kelembagaan yang
mempunyai tanggung jawab (hak dan kewajiban) di depan hukum, terpisah
dari tanggung jawab para pemiliknya dalam menjalankan setiap usahanya,
atau paling tidak setiap upaya merealisasikan tujuan dari pembentukan unit
kelembagaan tersebut.
Berkenaan dengan entitas dalam konteks teori fikih atas hak dan
kewajiban personal, para ahli fikih mencantumkan kelembagaan sebagai
salah satu shahibul al hak (pihak yang mempunyai hak) dalam kajian rukun
hak setelah Allah SWT., shahsiyah at tabi’iyah (natural person/manusia),
dan terakhir shahsiyah al i’tibariyah (institusi/ kelembagaan). Kejelasan
dalam analogi ini sangat penting karena hal ini akan sangat berkenaan
dengan hukum taklifi (halal-haram) dan istiklaf (khalifah di muka bumi)
untuk tindak tanduk sebuah lembaga atau institusi (entitas). Kemudian

14

entitas dalam konteks teori ahliyah atau kapabilitas personal untuk suatu
ketetapan hak dan kewajiban yang diperhitungkan dalam hukum syar’i serta
keabsahannya dalam melakukan suatu tindakan hukum. Konsepsi ini
kemudian mengilhami akan pengembangan konsep entitas, sebagai sebuah
kelembagaan yang dapat dianalogikan kapabilitasnya dari personal legal
form (manusia).
Beberapa produk ijtihad ulama di masa lalu yang mencirikan adanya
pengakuan atas konsep entitas adalah:


Pemisahan aset bait al mal dengan aset yang dimiliki secara pribadi
oleh hakim. Bait al mal adalah pewaris tunggal bagi seorang muslim
yang tidak mempunyai ahli waris. Kemudian, seorang hakim di bait al
mal diakui sebagai wakil umat dalam manajerial aset-aset bait al mal.



Orang yang diberikan wasiat untuk me-manage harta anak yatim
dianggap sebagai wakil umat untuk bisa mewakili si anak yatim dalam
menjalankan setiap transaksi yang berkaitan dengan aset si anak yatim
tersebut.



Para fuqaha membenarkan untuk memberikan wasiat atau wakaf
kepada sebuah kelembagaan seperti masjid.



Nazir wakaf berlaku sebagai wakil dari kantor urusan wakaf, dan
produk ijtihad lainnya yang berkaitan dengan wakaf sangat
mencirikan adanya pengakuan terhadap konsep entitas.

15

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat aset wajib zakat
yang dimiliki oleh seseorang adalah kepemilikan sempurna, aset produktif atau
berpotensi untuk produktif, harus mencapai nisab, aset surplus non kebutuhan
primer, tidak ada tanggungan utang, dan kepemilikan satu tahun penuh (haul).
Keenam syarat tersebut harus terpenuhi semua apabila seorang muzakki (orang
yang wajib mengeluarkan zakat) akan mengeluarkan zakat dari hartanya.
Akuntansi dalam ilmu pengetahuan modern menegaskan bahwa akuntansi
dikhususkan untuk menentukan (kebijakan) berbagai macam aktivitas, kemudian
menyampaikan informasi yang berkaitan dengan hasil aktivitas tersebut kepada
pihak yang berkepentingan untuk dipergunakan dalam pengambilan keputusan.
Prinsip-prinsip yang telah ada pada sistem akuntansi zakat diharapkan dapat
memberikan sejumlah keterangan dalam menentukan dan menghitung aset wajib
zakat.

16

Daftar Pustaka
Harahap, Sofyan Syafri. 2001. Akuntansi Islam: Menuju Perumusan Teori.
Jakarta: Pustaka Quantum.
Mufraini, M. Arief. 2006. Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan
Kesadaran dan Membangun Jaringan. Jakarta: Kencana.
Mursyidi. 2006. Akuntansi Zakat Kontemporer. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Qadir, Abdurrachman. 1998. Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 2000. Hukum Zakat. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa.
Ritonga, Rahman dan Zainuddin. 2002. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
Rokhim, Abdul. 2013. Ekonomi Islam Perspektif Muhammad SAW. Jember:
STAIN Jember Press.
Syahhatih, Syauqi Isma’il. 1987. Penerapan Zakat dalam Dunia Modern. Jakarta:
Pustaka Dian/Antar Kota