MODEL PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SENI TAR

MODEL PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SENI TARI SEBAGAI
PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK SISWA
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Eny Kusumastuti
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menemukan model pengembangan pembelajaran
seni tari sebagai pendidikan karakter untuk siswa Sekolah Menengah
Pertama. Target produk penelitian ini berupa: (1) peta kebutuhan
pembelajaran seni tari sebagai pendidikan karakter untuk siswa Sekolah
Menengah Pertama, mencakup materi pelajaran, tujuan, metode, media,
guru dan siswa, sumber belajar, evaluasi, dan sarana prasarana; (2) model
pembelajaran seni tari sebagai pendidikan karakter untuk siswa Sekolah
Menengah Pertama yang berupa Silabus dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP); (3) panduan yang aplikatif bagi guru seni tari atau
buku ajar untuk melaksanakan pembelajaran seni tari sebagai pendidikan
karakter untuk siswa Sekolah Menengah Pertama, dengan mengacu pada
proses apresiasi dan ekspresi. Lokasi penelitian di Kota Semarang, dan
Kabupaten Semarang. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan Research and Development (R & D), terdiri dari dua tahap
pelaksanaan selama dua tahun. Tahap pertama dilakukan untuk menemukan
peta kebutuhan pembelajaran seni tari melalui needs analysis/needs

assessment, yang meliputi materi pelajaran, tujuan, metode, media, guru dan
siswa, sumber belajar, evaluasi, dan sarana prasarana. Hasil analisis
kemudian digunakan untuk perancangan model pembelajaran seni tari
berupa Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran berbasis pendidikan
karakter. Tahap atau tahun kedua, penerapan dan evaluasi Silabus dan
Rencana Pelaksanaan Pengajaran guna menyusun panduan yang aplikatif
bagi guru seni tari atau buku ajar untuk pembelajaran seni tari sebagai
pendidikan karakter untuk siswa Sekolah Menengah Pertama. Hasil
penelitian menghasilkan model pembelajaran seni tari yang bersifat estetis,
apresiatif, kreatif dan ekspresif. Model ini akan diuji cobakan pada
penelitian tahun berikutnya pada Sekolah Menengah Pertama di Kota
Semarang dan Kabupaten Semarang.
Kata Kunci: pembelajaran, seni tari, estetis, apresiatif, kreatif, ekspresif

PENDAHULUAN
Perkembangan dunia pada masa modern ini diwarnai oleh pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai efek negatif dan
positifnya. Efek positif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
berkembangnya wawasan, pola pikir dan peradaban bangsa, sedangkan efek
negatifnya adalah menipisnya nilai-nilai luhur yang mencerminkan karakter bangsa.

Rendahnya mentalitas dan moralitas remaja jaman sekarang ini sebagai akibat
negatif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fenomena ini terlihat dari
banyaknya kejadian tawuran baik antar pelajar maupun antar warga, pemerkosaan,

perampasan, penganiayaan, minum minuman keras dan obat-obatan sampai pada
tindakan korupsi. Thomas Lickona (dalam Sutawi 2010 dalam Sudrajat 2013)
mengatakan bahwa ada 10 aspek degradasi moral yang melanda suatu negara,
merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Degradasi moral tersebut meliputi:
(1) meningkatnya kekerasan pada remaja, (2) penggunaan kata-kata yang
memburuk, (3) pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak
kekerasan, (4) meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, (5)
kaburnya batasan moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) rendahnya
rasa hormat pada orang tua dan guru, (8) membudayanya ketidakjujuran, (9)
rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga Negara, (10) adanya rasa curiga
dan kebencian diantara sesama.
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang
memadai untuk menopang pembangunan bangsa. Pendidikan memiliki peran yang
sangat penting untuk memenuhi ketersediaan sumberdaya manusia yang unggul
serta memiliki karakter yang bagus. UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 3


menyebutkan pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
Nasional bertujuan membentuk potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Kenyataan di lapangan, sistem pendidikan di Indonesia secara umum masih
menitikberatkan pada kecerdasan kognitif. Hal ini terlihat dari orientasi sekolahsekolah yang ada saat ini masih disibukkan dengan ujian-ujian, mulai dari ujian
bulanan, semesteran sampai ujian nasional, ditambah dengan latihan-latihan soal
pelajaran harian dan pekerjaan rumah untuk memecahkan pertanyaan di buku
pelajaran yang biasanya tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari para siswa.
Melihat kenyataan tersebut, sudah saatnya para pengambil kebijakan, para
pendidik, orang tua dan masyarakat, senantiasa memperkaya persepsi bahwa
ukuran keberhasilan tidak selalu dilihat pada prestasi angka-angka. Harapannya,

sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman-pengalaman
bagi siswa untuk membangun dan membentuk karakter-karakter yang unggul.

Pendidikan karakter di sekolah dapat diintegrasikan dalam pembelajaran
pada setiap mata pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran seni budaya,
khususnya seni tari. Materi pelajaran seni tari yang berkaitan dengan norma-norma
atau nilai-nilai perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dan dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak hanya pada
tataran kognitif tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengalaman nyata dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik di masyarakat. Mata pelajaran Seni Tari sarat
dengan pendidikan berdimensi EQ (Emotional Quotion) yang selama ini
diketepikan dan bahkan nyaris dipersepsikan tanpa adanya ikon, kebermaknaan,
karena kegilaan decision maker dan pendidik untuk menomorsatukan konsep IQ
(Intelectual Quotion) yang menjadi jargon segala-galanya dalam ekspansi sistem
dan kinerja pendidikan (Kusumastuti 2009; 98).
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti mengembangkan model
pembelajaran seni tari sebagai pendidikan karakter untuk siswa Sekolah Menengah
Pertama berupa Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran serta panduan yang
aplikatif bagi guru seni tari atau buku ajar untuk pembelajaran seni tari sebagai
pendidikan karakter untuk siswa Sekolah Menengah Pertama.
Pembelajaran Seni Tari sebagai Bentuk Pendidikan Seni di SMP
Seni tari dalam proses pembelajaran (pendidikan) seni di SMP, dapat
menjadi salah satu upaya melestarikan seni tari. Hal ini sesuai dengan fungsi

pendidikan, seperti yang dinyatakan Taba (dalam Ismiyanto 1999) bahwa
pendidikan berfungsi sebagai pemelihara dan penerus kebudayaan, alat
transformasi kebudayaan, dan alat pengembang individu peserta didik. Pendidikan
seni sebagai salah satu bentuk pendidikan pada hakikatnya juga: (a) mewariskan
kebudayaan; (b) mengupayakan pembaharuan kebudayaan; dan (c) memenuhi
kebutuhan peserta didik. Pendidikan seni tari juga mampu meningkatkan
kecerdasan emosional anak, terlihat pada timbulnya perasaan bangga, memiliki
sifat pemberani, mampu mengendalikan emosi, mampu mengasah kehalusan budi,
mampu menumbuhkan rasa tanggungjawab, mampu menumbuhkan rasa mandiri,

mudah berinteraksi dengan orang lain, memiliki prestasi yang baik, mampu
mengambangkan imajinasi, dan menjadi anak yang kreatif (Kusumastuti 2009:
104-106).
Kompetensi yang diharapkan dari pembelajaran seni di SMP adalah: (1)
mampu memadukan unsur etika, logika dan estetika, meliputi: pengetahuan,
pemahaman, persepsi, analisis, evaluasi, apresiasi, dan berproduksi melalui bahasa
rupa, bunyi, gerak dan peran; (2) memiliki kepekaan inderawi, perasaan estetis dan
artistik melalui pengalaman bereksplorasi, berekspresi dan berkreasi secara lintas
bidang dalam mendukung kecerdasan emosional, intelektual, moral, spiritual dan
adversitas sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa; (3) mampu

berkreasi dalam bahasa rupa, bunyi, gerak dan peran dalam mengembangkan
kemampuan perseptual, pemahaman, apresiasi, kreativitas, dalam berproduksi; (4)
memiliki keterampilan dasar dan mampu berkreasi berdasarkan inspirasi yang
bersumber pada alam dan lingkungan sekitar siswa dalam mengolah medium seni;
(5) Mampu menghargai karya sendiri dan karya orang lain serta keragaman seni
budaya setempat dan nusantara; (6) Mampu mempergelarkan, menyajikan karya
seni dan atau merancang, memamerkannya di kelas dan atau di lingkungan sekolah
(Depdiknas 2001: 8).
Kurikulum Seni Budaya 2013
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang dibuat untuk menyempurnakan
kurikulum 2006. Untuk kurikulum SMP/MTs, organisasi Kompetensi Dasar
dilakukan dengan cara mempertimbangkan kesinambungan antarkelas dan
keharmonisan antarmata pelajaran yang diikat dengan Kompetensi Inti.
Berdasarkan pendekatan ini maka terjadi reorganisasi Kompetensi Dasar mata
pelajaran sehingga Struktur Kurikulum SMP/MTs menjadi lebih sederhana karena
jumlah mata pelajaran dan jumlah materi berkurang.
Substansi muatan lokal termasuk bahasa daerah diintegrasikan ke dalam
mata pelajaran Seni Budaya. Substansi muatan lokal yang berkenaan dengan
olahraga serta permainan daerah diintegrasikan ke dalam mata pelajaran
Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Sedangkan Prakarya merupakan

mata pelajaran yang berdiri sendiri.

Tujuan Satuan Pendidikan
Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang
dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan bertujuan membangun landasan
bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: (1)
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan
berkepribadian luhur; (2) berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; (3) sehat,
mandiri, dan percaya diri; dan (4) toleran, peka sosial, demokratis, dan
bertanggung jawab.
Struktur Kurikulum
Struktur kurikulum menggambarkan

konseptualisasi konten kurikulum

dalam bentuk mata pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam kurikulum,
distribusi konten/mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk
mata pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap siswa. Struktur kurikulum
adalah juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam sistem

belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran.
Pengorganisasian konten dalam sistem belajar yang digunakan untuk kurikulum
yang akan datang adalah sistem semester sedangkan pengorganisasian beban
belajar dalam sistem pembelajaran berdasarkan jam pelajaran per semester.
Struktur kurikulum juga gambaran mengenai penerapan prinsip kurikulum
mengenai posisi seorang siswa dalam menyelesaikan pembelajaran di suatu satuan
atau jenjang pendidikan. Dalam struktur kurikulum menggambarkan ide
kurikulum mengenai posisi belajar seorang siswa yaitu apakah mereka harus
menyelesaikan seluruh mata pelajaran yang tercantum dalam struktur ataukah
kurikulum memberi kesempatan kepada siswa untuk menentukan berbagai pilihan.
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar

Selain berisi deskripsi Kompetensi Dasar, dokumen ini berisi pula
Kompetensi Inti dan Struktur Kurikulum. Kompetensi Dasar dikembangkan dari
Kompetensi Inti, sedangkan pengembangan Kompetensi Inti mengacu pada
Struktur Kurikulum. Kompetensi Inti merupakan kompetensi yang mengikat
berbagai Kompetensi Dasar ke dalam aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan

yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata
pelajaran. Kompetensi Inti harus dimiliki peserta didik untuk setiap kelas melalui

pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa aktif. Kompetensi Dasar
merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas.
Kompetensi Inti merupakan terjemahan atau operasionalisasi SKL dalam
bentuk kualitas yang harus dimiliki mereka yang telah menyelesaikan pendidikan
pada satuan pendidikan tertentu atau jenjang pendidikan tertentu,gambaran
mengenai kompetensi utama yang dikelompokkan ke dalam aspek sikap,
pengetahuan, dan keterampilan (afektif, kognitif, dan psikomotor) yang harus
dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata pelajaran.
Kompetensi Inti harus menggambarkan kualitas yang seimbang antara pencapaian
hard skills dan soft skills.
Kompetensi Inti berfungsi sebagai unsur pengorganisasi (organising
element) Kompetensi Dasar. Sebagai unsur pengorganisasi, Kompetensi Inti
merupakan pengikat untuk organisasi vertikal dan organisasi horizontal
Kompetensi Dasar. Organisasi vertikal Kompetensi Dasar adalah keterkaitan
antara konten Kompetensi Dasar satu kelas atau jenjang pendidikan ke
kelas/jenjang di atasnya sehingga memenuhi prinsip belajar yaitu terjadi suatu
akumulasi yang berkesinambungan antara konten yang dipelajari siswa. Organisasi
horizontal adalah keterkaitan antara konten Kompetensi Dasar satu mata pelajaran
dengan konten Kompetensi Dasar dari mata pelajaran yang berbeda dalam satu
pertemuan mingguan dan kelas yang sama sehingga terjadi proses saling

memperkuat.
Kompetensi Inti dirancang dalam empat kelompok yang saling terkait yaitu
berkenaan dengan sikap keagamaan (Kompetensi Inti 1), sikap sosial (Kompetensi
Inti 2), pengetahuan (Kompetensi Inti 3), dan penerapan pengetahuan (Kompetensi
Inti 4). Keempat kelompok itu menjadi acuan dari Kompetensi Dasar dan harus
dikembangkan dalam setiap peristiwa pembelajaran secara integratif. Kompetensi
yang berkenaan dengan sikap keagamaan dan sosial dikembangkan secara tidak
langsung (indirect teaching) yaitu pada waktu peserta didik belajar tentang
pengetahuan (Kompetensi Inti 3) dan penerapan pengetahuan (Kompetensi Inti 4).

Kompetensi Dasar adalah konten atau kompetensi yang terdiri atas sikap,
pengetahuan, dan ketrampilan yang bersumber pada kompetensi inti yang harus
dikuasai peserta didik. Kompetensi tersebut dikembangkan dengan memperhatikan
karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu mata pelajaran.
Mata pelajaran sebagai sumber dari konten untuk menguasai kompetensi bersifat
terbuka dan tidak selalu diorganisasikan berdasarkan disiplin ilmu yang sangat
berorientasi hanya pada filosofi esensialisme dan perenialisme. Mata pelajaran
dapat dijadikan organisasi konten yang dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu
atau non disiplin ilmu yang diperbolehkan menurut filosofi rekonstruksi sosial,
progresifisme, atau pun humanisme. Karena filosofi yang dianut dalam kurikulum

adalah eklektik seperti dikemukakan di bagian landasan filosofi, maka nama mata
pelajaran dan isi mata
Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama
Berdasarkan

kajian

nilai-nilai

agama,

norma-norma

sosial,

peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi
butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai
perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesame manusia, dan lingkungan serta kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai-nilai
utama yang dimaksud dan diskripsi ringkasnya.
2.3.1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan (Religius)
2.3.2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri meliputi: (1) jujur,
(2) Bertanggung jawab, (3) Bergaya hidup sehat, (4) Disiplin, (5) Kerja
keras, (6) Percaya diri, (7) Berjiwa wirausaha, (8) Berpikir logis, kritis,
kreatif, dan inovatif, (9) Mandiri, (10) Ingin tahu, (11) Cinta ilmu
2.3.3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama meliputi: (1) sadar akan
hak dan kewajiban diri dan orang lain, (2) sikap tahu dan mengerti serta
melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta
tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain, (3) patuh pada aturan-aturan
sosial, (4) menghargai karya dan prestasi orang lain, (5) santun, (6)
demokratis.
2.3.4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan, yaitu peduli sosial
dan lingkungan

2.3.5. Nilai kebangsaan meliputi Nasionalis, dan menghargai keberagaman
Pendidikan karakter secara terpadu di dalam pembelajaran adalah
pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilainilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik
sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun
di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran,
selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang
ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal,
menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Model Pembelajaran Seni Tari di SMP
Model pembelajaran yang diperlukan adalah model yang memberikan
peranan pada guru untuk mengelola lingkungan alam dan fisik, sosial, budaya, dan
individual, serta sekaligus hidup atau bertindak di dalamnya dengan sikap-sikap
yang memberi peluang berkembangnya potensi pribadi siswa ke arah estetis,
apresiatif, kreatif dan ekspresif terhadap seni tari yang melebur menjadi satu
kesatuan dengan nilai-nilai luhur yang tujuannya membentuk pribadi karakter
yang tinggi. Model pembelajaran seni tari tersebut dapat digambarkan sebagai
sebuah sistem dengan tujuan akhir adalah kreatif dan apresiatif tidak
meninggalkan nilai-nilai luhur bangsa. Output dari model pembelajaran seni tari
sebagai pendidikan karakter adalah silabus, Rencana Pelaksanaan Pengajaran dan
panduan aplikatif atau buku ajar bagi guru. Sebagai sebuah sistem, model tersebut
terdiri dari unsur-unsur yang satu dengan yang lain terkait erat dalam satu kesatuan
yang saling tergantung satu dengan yang lain dalam satuan sistem yang bulat dan
utuh untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Model pendidikan yang diperlukan itu
dapat digambarkan dalam bentuk bagan yang dikembangkan dari Rohidi (1994:
140) berikut:

MODEL PEMBELAJARAN SENI TARI SEBAGAI
PENDIDIKAN KARAKTER DI SMP

Siswa SMP
Potensi Pribadi

Pembelajaran Seni Tari bersifat
Estetis,
Apresiatif,
Kreatif,
dan Ekspresif
1. Memiliki kepekaan estetis
2. Apresiatif terhadap karya seni
tari
3. Kreatif dalam mengeksplorasi
seni tari

Iklim Pembelajaran Seni Tari
GURU

1. Lingkungan alam dan fisik
2. Lingkungan budaya
3. Lingkungan sosial

Sebagai sumber belajar

Pendidikan Karakter
1. Nilai karakter Religius
2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri
sendiri meliputi: (1) jujur, (2) Bertanggung jawab, (3)
Bergaya hidup sehat, (4) Disiplin, (5) Kerja keras,
(6) Percaya diri, (7) Berjiwa wirausaha, (8) Berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif, (9) Mandiri, (10)
Ingin tahu, (11) Cinta ilmu

3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
meliputi: (1) sadar akan hak dan kewajiban diri dan
orang lain, (2) sikap tahu dan mengerti serta
melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri
sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri

Hasil
1.
2.
3.

Silabus
Rencana
Pelaksanaan Pengajaran
Panduan
Pengajaran/Buku Ajar

sendiri serta orang lain, (3) patuh pada aturan-aturan
sosial, (4) menghargai karya dan prestasi orang lain,
(5) santun, (6) demokratis.
4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan,
yaitu peduli sosial dan lingkungan
5. Nilai kebangsaan meliputi Nasionalis, dan menghargai
keberagaman

METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan Research and Development (R
& D), yakni penelitian yang ditindaklanjuti dengan pengembangan dan deseminasi suatu model (model
of) melalui siklus proses aksi, refleksi, evaluasi, replikasi, dan inovasi. Siklus tersebut dilakukan secara
sistematis dan saling terkait satu sama lain. Menurut Borg dan Gall (1983:775-776). Pelaksanaan

penelitian menggunakan metode kualitatif, dengan memanfaatkan latar alami, sumber datanya
langsung dan peneliti sebagai instrumen utamanya (human instrument) (Bogdan dan Biklen,
1982: 27). Penelitian dengan metode kualitatif ini dijabarkan ke dalam sejumlah langkah
kegiatan, antara lain: (1) pengumpulan data melalui observasi langsung, wawancara mendalam,
dokumentasi, dan focus group discution (FGD); (2) pengorganisasian hasil pengumpulan data;
(3) analisis dan perumusan hasil pengumpulan data; (4) penyusunan model (bersifat hipotesis);
(5) program aksi (implementasi model); (6) evaluasi /refleksi; dan (7) replikasi dan inovasi
(desiminasi model pengembangan).
Penelitiaan ini bersifat multi years, yang dirancang dalam dua tahap penelitian. Tahap
pertama atau tahun pertama dilakukan untuk memetakan kebutuhan pembelajaran seni tari
melalui needs analysis/needs assessment untuk merumuskan rancang bangun model. Tahap ke
dua pada tahun ke dua dilakukan untuk aplikasi model, evaluasi model dan penyusunan panduan
atau buku ajar yang aplikatif untuk pembelajaran seni tari sebagai pendidikan karakter untuk
Siswa Sekolah Menengah Pertama.
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari primer dan sekunder dengan teknik
wawancara, observasi dan dokumentasi. Lokasi penelitian di Kota Semarang dan Kabupaten
Semarang. Proses analisis data mencakup tiga alur kegiatan sebagai suatu sistem, yaitu reduksi
data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Ketiga komponen analisis tersebut aktivitasnya
dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus
(Milles & Huberman, 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembelajaran seni tari di Sekolah Menengah Pertama dapat dijabarkan menjadi tiga

permasalahan, yaitu pembelajaran seni tari bersifat estetis, pembelajaran seni tari bersifat
apresiasi, pembelajaran seni tari bersifat ekspresi. Proses estetis, apresiasi, dan ekspresi berjalan
secara bersama-sama saling kait mengkait dan saling mendukung.
Estetika diartikan sebagai keindahan atau estetika diartikan sebagai filsafat keindahan,
dua-duanya digunakan sebagai landasan pelaksanaan pembelajaran seni tari yang bersifat
estetika. Pembelajaran estetika melalui seni tari hanya bisa tercapai jika pelaksanaan
pendidikannya dilakukan melalui apresiasi dan kreasi/ ekspresi. Berkenaan dengan itu, maka
diperlukan konsep apresiasi dan konsep kreasi/ ekspresi yang jelas agar dapat digunakan sebagai
landasan dalam menjalankan pembelajaran apresiasi dan kreasi/ekspresi tersebut menuju
tercapainya pendidikan estetika yang optimal. Pembahasan mengenai pembelajaran estetik
merupakan persoalan pendidikan yang sama dengan jenis pendidikan lain pada umumnya.
Artinya dalam pembelajaran itu juga diperlukan berbagai aspek seperti aspek afektif,
psikomotorik, dan kognitif. Perbedaan yang signifikan antara pembelajaran estetika dengan jenis
pembelajaran lain adalah, pembelajaran estetika lebih menonjolkan aspek afektif dan
psikomotorik untuk mendapatkan apa yang dinamakan pengalaman estetik. Jelasnya,
pembelajaran estetika merupakan pembelajaran yang mengutamakan didapatkannya pengalaman
estetik melalui proses berkesenian. Pengalaman estetik atau pengalaman seni merupakan salah
satu nilai kualitas dalam seni, artinya pengalaman bisa diciptakan kepada siswa untuk
selanjutnya merangsang minat mereka, karena seorang anak melakukan apa yang mereka mau,
bukan apa yang mereka bisa.
Pembelajaran seni tari bersifat estetika melalui hanya bisa tercapai jika pelaksanaan
pembelajarannya dilakukan melalui apresiasi dan kreasi/ ekspresi. Berkenaan dengan itu maka
diperlukan konsep apresiasi dan konsep kreasi/ ekspresi yang jelas agar dapat digunakan sebagai
landasan dalam menjalankan pembelajaran apresiasi dan kreasi/ekspresi tersebut menuju
tercapainya pembelajaran estetika yang optimal. Berkait dengan apresiasi dan ekspresi seni tari
menuju tercapainya pembelajaran estetika, bahwa apresiasi itu sendiri suatu pengenalan seni
melalui perasaan dan kepekaan batin terhadap seni yang diperkenalkan sampai kememahami
serta mengakui terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh seniman. Apresiasi
merupakan proses pengenalan dan pemahaman nilai karya seni, untuk menghargainya, dan
menafsir makna yang terkandung di dalamnya.

Dalam menjadikan seni tari sebagai alat pembelajaran estetika, setelah memahami konsep
apresiasi, selanjutnya harus memahami konsep ekspresi. Biasanya antara konsep ekspresi dengan
konsep kreasi dipahami/dimengerti, rancu. Kerancuan ini bisa dimengerti sebab dalam dunia
seni, berekspresi dalam bentuk mewujudkan sebuah karya seni bisa dimengerti sebagai berkreasi
namun berekpresi dalam bentuk penjiwaan dan/atau pembawaan sebuah karya seni tanpa
menghasilkan wujud karya seni baru tertentu, hanya bisa dimengerti sebagai berapresiasi.
Dengan demikian, konsep ekspresi bisa dimengerti sebagai suatu penjiwan dan/atau pembawaan
dalam sebuah tataran apresiasi, namun juga bisa dimengerti sebagai sebuah bentuk berkreasi
manakala ekspresi tersebut sampai ketataran mewujudkan sebuah karya seni.
Dalam hubungannya dengan kepentingan berkesenian/berekspresi seni sebagai alat
pembelajaran estetika, lebih lanjut diperlukan pemahaman tentang konsep kreasi secara khusus.
Secara harfiah atau khusus dari sisi kebahasaan, kreasi dapat dimengerti sebagai hasil dari
sebuah kreativitas. Kreativitas adalah kemampuan berpikir tentang sesuatu dengan cara yang
baru untuk dapat menemukan pemecahan masalah yang unik. Paling sedikit terdapat dua
kemampuan yang terlibat dalam berpikir kreatif, yaitu kemampuan produksi divergen dan
kemampuan transformasi. Kreativitas tampaknya berkorelasi dengan fleksibilitas dalam proses
berpikir, yaitu adanya gagasan-gagasan yang lebih mengarah pada kompleksitas berpikir.
Kreativitas sebagai proses berpikir yang menghasilkan konsep-konsep baru atau pemecahan
masalah. Kreativitas berkait dengan daya cipta seseorang yang menghasilkan sesuatu dalam
wujud/bentuk baru dan/atau berbeda dengan yang lain, dan ini bisa bersifat verbal, non verbal,
nyata, atau abstrak. Hadirnya kreativitas ditandai oleh beberapa indikator, antara lain memiliki
kepekaan terhadap masalah, memiliki ide yang lancar, memiliki keluwesan dalam menyesuaikan
diri, memiliki keaslian dalam menanggapi dan memecahkan masalah yang dihadapi, bebas dalam
mengungkapkan gagasan, mampu memecahkan masalah dengan cara yang berbeda dengan yang
dilakukan oleh orang lain, memiliki kemampuan menyusun ulang situasi, serta memiliki
kemampuan dalam analisis dan sintesis.
Bertolak dari konsep dan/atau pemahaman tentang apresiasi dan ekspresi/kreasi seperti
yang telah dikemukakan, jika dihubungkan dengan seni dalam hubungannya dengan pencapaian
pembelajaran estetika, tampaknya akan menjadi sarana ketersampaiannya. Alasan dari pemikiran
ini adalah, dalam berapresiasi, seni mengandung kepekaan estetik, begitu pula dalam berekspresi
seni juga mengandung kepekaan estetik, dan dalam berkreasi seni juga bergulat dengan

keestetikaan. Proses yang demikian ini akan menjadikan pengalaman estetik bagi orang yang
berkesenian sesuai dengan keinginan bagi kepentingan pembelajaran estetika.
Merujuk pada konsep pendidikan melalui seni, maka pelaksanaannya lebih ditekankan
pada proses pembelajaran dari pada produk. Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka
sasaran belajar pembelajaran seni tari tidak mengharapkan siswa pandai menari, pandai
memainkan alat musik tari, pandai menggambar dan terampil menari. Melainkan sebagai sarana
ekspresi, imajinasi dan berkreativitas untuk menumbuhkan keseimbangan rasional dan
emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Kalau memang ternyata melalui pembelajaran seni
tari dapat menghasilkan seorang seniman maka itu merupakan dampak saja.
Guru dapat melakukan improvisasi untuk mengembangkan pembelajaran seni sesuai
kemampuan dan kondisi sekolah dan daerah. Guru dapat mengambil prioritas seni yang mana
yang dipilih untuk menunjang pembentukan pengalaman estetik peserta didik dan pembangunan
budaya daerahnya. Improvisasi guru terhadap materi pembelajaran seni ini tentunya menentukan
pula tingkat antusiasme siswa dalam melakukan pembelajaran seni tari sebagai pembelajaran
estetis.
Rupanya pelaksanaan pendidikan seni di sekolah umum merupakan aplikasi dari konsep
pendidikan melalui seni. Hal ini terjadi karena memang minat, bakat, sarana prasarana, dan
lingkungan yang membentuk keadaan seperti ini. Sekolah umum hanya memberi jatah dua jam
pelajaran dalam seminggu untuk pelajaran seni budaya, dengan waktu yang demikian singkat
pelajaran seni budaya ini tidak mungkin bisa dipergunakan untuk mencetak kemampuan
psikomotorik semua siswa dalam memainkan alat musik, melukis, bernyanyi atau menjadikan
siswa ahli dalam bidang seni.
Pengertian estetika biasanya secara sempit dipergunakan untuk mengkaji atau
menganalisis kualitas suatu keindahan dalam fenomena satu objek tertentu. Namun demikian
dalam hubungannya dengan berkesenian sebagai suatu tujuan pendidikan estetik, yang lebih
dipentingkan adalah merasakan dan/ atau proses membuat “benda” indah. Berkait dengan
apresiasi dan ekspresi seni tari menuju tercapainya pembelajaran estetika, bahwa apresiasi adalah
suatu pengenalan seni melalui perasaan dan kepekaan batin terhadap seni yang diperkenalkan
sampai kememahami serta mengakui terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh
seniman.

Apresiasi merupakan proses pengenalan dan pemahaman nilai karya seni, untuk
menghargainya,

dan

menafsir

makna

yang

terkandung

di

dalamnya.

Langkah-langkah pembelajaran apresiasi seni tari meliputi: pengenalan awal (deskripsi), analisis
(pemahaman), interpretasi dan evaluasi (penilaian). Tahap pengenalan awal dalam konteks
apresiasi seni tari adalah penggambaran tentang pesan tarinya/isi tarinya, dimana pesan tersebut
berkaitan dengan kehidupan tertentu. Setelah diberi apresiasi awal dengan mendiskripsikan
gerak, ruang, tenaga, level dan pola lantai terhadap tarian daerah, tradisional, tari modern dan
tari kontemporer . Pada tahap memahami (analisis), yang perlu dipahami adalah memahami teks
yang disebut dengan analisis tekstual. Dalam analisi tekstual, bisa menganalisis struktur bentuk
tarinya berdasarkan tenaga, ruang, waktu, level dan pola lantai. Selanjutnya tahap intrepertasi
yaitu memahami atau menilai karya seni yang ada. Evaluasi atau penilaian terhadap sebuah karya
seni tari tidak boleh bersifat subyektif. Siswa dengan bantuan gurunya belajar menilai sebuah tari
.
Dalam menjadikan seni tari sebagai alat pembelajaran estetika, setelah memahami konsep
apresiasi, selanjutnya harus memahami konsep ekspresi. Biasanya antara konsep ekspresi dengan
konsep kreasi dipahami/dimengerti, rancu. Kerancuan ini bisa dimengerti sebab dalam dunia
seni, berekspresi dalam bentuk mewujudkan sebuah karya seni bisa dimengerti sebagai berkreasi
namun berekpresi dalam bentuk penjiwaan dan/atau pembawaan sebuah karya seni tanpa
menghasilkan wujud karya seni baru tertentu, hanya bisa dimengerti sebagai berapresiasi.
Dengan demikian, konsep ekspresi bisa dimengerti sebagai suatu penjiwan dan/atau pembawaan
dalam sebuah tataran apresiasi, namun juga bisa dimengerti sebagai sebuah bentuk berkreasi
manakala ekspresi tersebut sampai ketataran mewujudkan sebuah karya seni.
Hadirnya kreativitas ditandai oleh beberapa indikator, antara lain memiliki kepekaan
terhadap masalah, memiliki ide yang lancar, memiliki keluwesan dalam menyesuaikan diri,
memiliki keaslian dalam menanggapi dan memecahkan masalah yang dihadapi, bebas dalam
mengungkapkan gagasan, mampu memecahkan masalah dengan cara yang berbeda dengan yang
dilakukan oleh orang lain, memiliki kemampuan menyusun ulang situasi, serta memiliki
kemampuan dalam analisis dan sintesis.
Bertolak dari konsep dan/atau pemahaman tentang apresiasi dan ekspresi/kreasi jika
dihubungkan dengan seni dalam hubungannya dengan pencapaian pendidikan estetika,
tampaknya akan menjadi sarana ketersampaiannya. Alasan dari pemikiran ini adalah, dalam

berapresiasi, seni tari mengandung kepekaan estetik, begitu pula dalam berekspresi seni tari juga
mengandung kepekaan estetik, dan dalam berkreasi seni juga bergulat dengan keestetikaan.
Proses yang demikian ini akan menjadikan pengalaman estetik bagi orang yang berkesenian
sesuai dengan keinginan bagian penting pembelajaran estetika. Berikut adalah gambar alur
proses kreasi.
SIMPULAN DAN SARAN
Pembelajaran seni tari di Sekolah Menengah Pertama berdasarkan Kurikulum yang
terbaru yaitu kurikulum 2013, meliputi memahami (apresiasi) dan melakukan (ekspresi) ruang
gerak, waktu, tenaga, pola lantai, level untuk tari daerah, tari tradisional, tari modern dan tari
kontemporer. Sementara itu, pendidikan berkarakter melebur menjadi satu dengan kompetensi
inti yang dalam pelaksanaan pembelajarannya diberikan secara melebur menjadi satu dengan
kompetensi dasar. Pembelajaran seni tari terbagi menjadi pembelajaran apresiasi dan
pembelajaran ekspresi/kreasi. Harapannya siswa mempunyai kemampuan berapresiasi, dan
berekspresi dengan berpegangan pada nilai-nilai pendidikan berkarakter terhadap tari daerah, tari
tradisional, tari modern dan tari kontemporer yang terjabarkan ke dalam Silabus, Perencanaan
Pelaksanaan Pengajaran dan bahan ajar guru.
SARAN
Saran yang bisa disampaikan berkaitan dengan hasil penelitian adalah hendaknya guru
dalam proses pelaksanaan pembelajaran seni tari di Sekolah Menengah Pertama selalu
berpedoman pada apresiasi dan ekspresi. Berkait dengan hal itu, maka guru harus menguasai
konsep dan tahapan apresiasi dan ekspresi.

DAFTAR PUSTAKA
Bogdan, Robert, S. & Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to
Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, In
Ismiyanto, Pc. S. Petrus. 1999. “Creative Problem Solving dalam Pembelajaran Pendidikan Seni
Rupa: Sebuah Penawaran Pendekatan Pembelajaran" dalam Lingua Artistika No. 3 Th
XXII Sepetember 1999, Semarang: IKIP Semarang UNNES.Press.
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta

Kusumastuti, Eny.2009. Peningkatan Kecerdasan Emosional (Emotional Quotion) Anak Usia
Dini Melalui Pendidikan Seni Tari. Jurnal Lembar Ilmu Kependidikan. Semarang:
UNNES PRESS.
-----------------------.2010. Pendidikan Seni tari Melalui Pendekatan Ekspresi Bebas, Disiplin
Ilmu, dan Multikultural sebagai Upaya peningkatan Kreativitas siswa. Jurnal Harmonia
volume X no.2 Desember. Semarang.
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1988. Qualitative Data Analysis. Terjemahan
Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.
Rohidi, T.R.. 1994. “Pendekatan Sistem Budaya dalam Penelitian Seni dan Pendidikan Seni
(Sapuan Kuas Besar dalam Kerangka Ilmu Sosial), makalah Seminar Nasional
Pendekatan-pendekatan dalam Penelitian Seni dan Pendidikan Seni, dalam rangka Dies
Natalis XXIX IKIP Semarang, Semarang, Tanggal 11 April 1994.
Rohidi, T.R.. 1994. Pendekatan Sistem Sosial Budaya dalam Pendidikan, IKIP Semarang Prees,
Semarang.