makalah pentingnya masalah dalam penelit

Mengidentifikasi Masalah dalam Penelitian
(Rumusan Masalah)
dan
Merujuknya pada Literatur (Kajian Teori)

Oleh :
Afwatul Mumtazah

(12184202001)

Ameria Puspitasari

(12184202004)

Muti’a

(12184202017)

STKIP PGRI PASURUAN

Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan

Telp. 0343-421948 Fax. 0343-411086
www.stkippgri-pasuruan.ac.id

A. Pengertian dan pentingnya Masalah dalam Penelitian
Salah satu aspek yang paling penting dari melakukan penelitian secara jelas
adalah untuk mengidentifikasi "Masalah" yang mengarah ke kebutuhan untuk studi
yang akan kita lakukan. Kita tampaknya tidak memberikan cukup memperhatikan
mengapa mereka melakukan studi mereka. Masalah penelitian adalah masalah yang
memandu kita untuk melakukan penelitian. Anda dapat menemukan "masalah"
dalam pengantar studi. Mereka termasuk dalam sebuah bagian yang disebut
"pernyataan dari masalah". Dari sudut pandang penelitian, menentukan masalah
penelitian dalam penelitian itu penting karena menetapkan suatu tempat penting
untuk seluruh studi.
1) Perbedaan Masalah dalam Penelitian dari Bagian Lain dari Penelitian & Kriteria
Masalah yang Bisa menjadi Penelitian
Untuk lebih memahami masalah penelitian, kita membedakannya dari bagian
lain proses penelitian. Masalah penelitian berbeda dari topik penelitian, tujuan
atau maksud dari penelitian, dan pertanyaan penelitian secara spesifik (juga
dibahas dalam bab tentang pernyataan tujuan). Masalah penelitian perlu berdiri
sendiri dan diakui sebagai langkah yang berbeda karena merupakan masalah

yang dibahas dalam penelitian ini.
Dalam definisi singkat yang membedakan antara bagian-bagian dari penelitian,
yaitu:
1. Sebuah topik penelitian adalah subjek yang luas ditangani oleh penelitian.
2. Masalah penelitian adalah masalah umum pendidikan, kekhawatiran, atau
kontroversi dibahas dalam penelitian yang menyempit topik.
3. Tujuan adalah maksud utama atau tujuan dari studi yang digunakan untuk
mengatasi masalah tersebut.
Misalnya: Maria memulai proyek penelitiannya untuk program pascasarjana
nya. Jika dia ingin meneliti tentang memuncaknya kekerasan dalam lingkungan
sekolah. Dari mana dia mulai? Dia mulai dengan mengajukan beberapa
pertanyaan dan kemudian menuliskan jawaban singkatnya. Kemudian dia mulai
memikirkan tentang
1. Topik : Maria berusaha untuk mempelajari kepemilikan senjata oleh siswa
di sekolah-sekolah.
2. Masalah penelitian : meningkatnya kekerasan di sekolah karena, sebagian,
untuk siswa yang memiliki senjata.
3. Tujuan : mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruh sejauh mana
siswa membawa senjata di sekolah tinggi.


Pertanyaan penelitian mempersempit tujuan ke pertanyaan spesifik bahwa peneliti
ingin membahasnya dalam penelitian ini. Maria mungkin bertanya, "Apakah teman
mempengaruh siswa untuk membawa senjata? "
Hanya karena ada sebuah masalah, penulis jelas dapat mengidentifikasi masalah
tapi tidak berarti bahwa peneliti dapat atau harus menyelidiki hal itu. Kita memiliki
masalah penelitian, jika kita memiliki akses ke peserta dan lokasi penelitian serta
waktu, sumber daya, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mempelajari masalah
ini. Kita harus meneliti masalah jika studi itu berpotensi memberikan kontribusi
untuk pengetahuan pendidikan atau menambah efektivitas praktik.
Untuk melakukan penelitian, peneliti perlu mendapatkan izin dan melibatkan
orang-orang di lokasi penelitian (misalnya, mendapatkan akses ke sebuah sekolah
dasar untuk belajar anak-anak yang di bawah umur). Akses ini sering membutuhkan
beberapa tingkat persetujuan dari sekolah, seperti administrator distrik, kepala
sekolah, guru, orang tua, dan siswa. Selain itu, proyek-proyek yang dilakukan oleh
lembaga pendidikan yang menerima dana federal (paling perguruan tinggi dan
universitas) harus memiliki ulasan persetujuan institusional untuk memastikan bahwa
peneliti melindungi hak-hak peserta mereka.
Kemampuan kita untuk penelitian, juga tergantung pada waktu, sumber daya, dan
keterampilan penelitian Anda.
1. Waktu

Ketika merencanakan sebuah penelitian, peneliti harus mengantisipasi waktu
yang dibutuhkan untuk pengumpulan data dan analisis data. Penelitian kualitatif
biasanya memakan waktu lebih daripada penelitian kuantitatif karena proses
yang panjang pengumpulan data di lokasi penelitian dan merinci proses
menganalisis kalimat dan kata-kata. Waktu penelitian harus cukup untuk dapat
menyelesaikan penelitian dalam waktu yang tersedia.
2. Sumber
Para peneliti perlu membuat anggaran tentang antisipasi biaya yang realistis.
Sumber lain mungkin diperlukan juga, seperti label surat, perangko, program
statistik, atau peralatan audiovisual. Tergantung pada kebutuhan sumber daya
tersebut, peneliti mungkin perlu membatasi ruang lingkup proyek,
mengeksplorasi dana yang tersedia untuk mendukung proyek, atau penelitian
proyek dalam tahap setelah dana tersedia.
3. Keterampilan
Keterampilan peneliti juga mempengaruhi penilaian secara keseluruhan apakah
penelitian dari masalah adalah realistis. Peneliti harus telah memperoleh
keterampilan penelitian tertentu untuk secara efektif mempelajari masalahketerampilan yang diperoleh melalui kursus, pelatihan, dan pengalaman
penelitian sebelumnya. Bagi mereka yang terlibat dalam penelitian kuantitatif,
keterampilan ini memerlukan penggunaan computer dalam program statistik
untuk menyajikan informasi. Sedangkan untuk para peneliti penelitian kualitatif,

terdiri dari kemampuan untuk menulis secara rinci, untuk mensintesis informasi

ke tema yang luas, dan menggunakan program komputer untuk memasukkan dan
menganalisis kata-kata dari peserta dalam penelitian.

2) Faktor-faktor yang penting dalam menentukan jenis masalah penelitian cocok
untuk penelitian kuantitatif atau untuk penelitian kualitatif.

Jika masalah penelitian kuantitaf mengharuskan kita melakukan :
- Mengukur variabel
- Mempelajari tentang pandangan individu
- Menilai dampak dari variabel pada hasil
- Menilai proses dari waktu ke waktu

Jika masalah penelitian kuantitaf mengharuskan kita melakukan:
- Teori Uji atau luasan penjelasan
- Menghasilkan teori berdasarkan peserta perspektif
- Menerapkan hasil untuk sejumlah besar orang
- Mendapatkan informasi rinci tentang beberapa orang atau lokasi penelitian


3) Masalah menjadi sebuah pernyataan & rumusan masalah
Setelah kita telah mengindentifikasi masalah penelitian, menetapkan
bahwa hal itu dapat dan harus diteliti, dan secara spesifik baik pendekatan
kuantitatif atau kualitatif, untuk mulai menuliskan tentang "masalah" kedalam
sebuah pernyataan dari bagian masalah yang memperkenalkan penelitian kita.
Rumusan masalah dalam sebuah proposal penelitian adalah hal paling
mendasar. Rumusan masalah akan menjadi penentu apa bahasan yang akan
dilakukan dalam penelitian tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
dalam perumusan masalah, kemudian akan dijawab dalam proses penelitian dan
tertuang secara sistematis dalam laporan penelitian. Semua bahasan dalam
laporan penelitian, termasuk juga semua bahasan mengenai kerangka teori dan
metodologi yang digunakan, semuanya mengacu pada perumusan masalah. Oleh

karena itu, ia menjadi titik sentral. Disinilah fokus utama yang akan menentukan
arah penelitian (Yenrizal, 2012).
Ada beberapa para ahli mendefinisikan tentang rumusan masalah, diantaranya:
1. Menurut Pariata Westra (1981 : 263 ) bahwa “Suatu masalah yang terjadi
apabila seseorang berusaha mencoba suatu tujuan atau percobaannya yang
pertama untuk mencapai tujuan itu hingga berhasil.”
2. Menurut Sutrisno Hadi ( 1973 : 3 ) “Masalah adalah kejadian yang

menimbulkan pertanyaan kenapa dan kenapa”.
Rumusan Masalah itu merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan
jawabannya melalui pengumpulan data bentuk-bentuk rumusan masalah
penelitian ini berdasarkan penelitian menurut tingkat eksplanasi (Sugiyono).
Seperti telah dikemukakan bahwa rumusan masalah itu merupakan suatu
pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data. Bentukbentuk rumusan masalah penelitian ini di kembangkan berdasarkan penelitian
menurut tingkat eksplanasi. Bentuk masalah dapat dikelompokkan kedalam
bentuk masalah deskriptif, komparatif, dan asosiatif.
1. Rumusan masalah Deskriptif
Rumusan masalah deskriptif adalah suatu rumusan masalah yang berkenaan
dengan pertanyaan terhadap keberadaan variable atau lebih ( variable yang
berdiri sendiri ). Jadi dalam penelitian ini penelitian tidak membuat
pernamdingan variable itu pada sampel yang lain, dan mencari hubungan
variable itu dengan variable yang lain. Penelitian semacam ini untuk
selanjutnya dinamakan penelitian deskriptif.

2. Rumusan Masalah Komparatif
Rumusan komparatif adalah rumusan masalah penelitian yang
membandingkan keberadaan suatu variable atau lebih pada dua atau lebih
sampel yang berbeda, atau pada waktu yang berbeda.

3. Rumusan Masalah Asosiatif
Rumusan masalah asosiatif adalah rumusan masalah penelitian yang bersifat
menanyakan hubungan antara dua variable atau lebih.
4) Beberapa Strategi untuk membuat pernyataan dari sebuah masalah.
Ada tiga kriteria dari masalah-masalah dan pernyataan-pernyataan masalah yang
baik, yaitu (Kerlinger, 1973):

a. Pernyataan masalah dinyatakan secara jelas, tidak mendua, khusus dan
dalam bentuk pertanyaan langsung yang menggambarkan bentuk masalah
yang dihadapi. Daripada mengemukakan pernyataan, misalnya “Masalah

yang diteliti ialah ......” atau “Sasaran dan tujuan penelitian ini ialah .......”,
yang pada umumnya belum jelas menyatakan apa sebenarnya hal-hal yang
dipermasalahkan dalam (rencana) penelitian bersangkutan, akan lebih baik
membuat pernyataan masalah dalam bentuk kalimat pertanyaan. Ini tidak
berarti bahwa seksi “Sasaran dan Tujuan Penelitian” harus ditiadakan. Coba
periksa dengan seksama perbedaan dan hubungan antara pengertian
“sasaran” dan “tujuan” pemecahan masalah.

b. Umumnya masalah menyatakan hubungan antara dua atau lebih peubah.

Pertanyaan yang dapat dikemukakan misalnya: “Apakah A berhubungan
dengan B; apa bentuk hubungannya?”, “Dalam bentuk bagaimana A dan B
berhubungan terhadap C?”, “Dalam bentuk bagaimana A berhubungan
dengan B pada suatu keadaan tertentu C dan D?”.

c. Pernyataan masalah harus dirumuskan agar cukup memberikan
kemungkinan berimplikasi dapat dilakukannya pemeriksaan atau pengujian
empiris. Suatu masalah yang tidak memiliki implikasi ini adalah suatu
hubungan bukan masalah ilmiah. Suatu penelitian ilmiah memiliki ciri-ciri
sistematis, terkendali, empiris, dan secara kritis menelaah proposisiproposisi hipotetis terhadap hubungan-hubungan yang dipikirkan terdapat di
antara gejala-gejala alami. Lain daripada itu, kriteria menyiratkan bahwa
peubah-peubah yang digunakan haruslah terukur atau potensial dapat
dinilai.

5) Informasi yang digunakan untuk Penelitian
Secara umum terdapat dua metode penelitian dalam bidang sistem
informasi, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Kedua metode ini seharusnya dapat
digunakan bersama-sama untuk saling menguatkan. Dalam beberapa literatur
mutakhir sistem informasi, diperkenalkan juga metode konstruktivis digunakan
untuk menghasilkan konstruk, model, metode baru. Metode kontruktivis ini juga

dalam bagian operasionalisasinya dapat menggunakan metode kuantitatif dan
kualitatif. Secara garis besar, lingkup penelitian sistem informasi meliputi
pengembangan, penggunaan dan aplikasi sistem informasi oleh individu,
organisasi dan masyarakat (Baskerville & Myers, 2002). System informasi juga
mendorong munculnya system informasi baru seperti bio-informatika, bioteknologi, dan sistem informasi geografis. Sejalan dengan perkembangan ini,
sistem informasi tidak lagi hanya sebagai pemakai teori.
Terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian
yaitu, kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Kualitas
instrumen penelitian berkenaan dengan validitas dan reliabilitas instrumen dan
kualitas pengumpulan data berkenaan dengan ketepatan cara-cara yang
digunakan untuk mengumpulkan data. Oleh karena itu instrumen yang telah
teruji validitas dan reliabilitasnya, belum tentu dapat menghasilkan data yang
valid atau reliabel, apabila instrumen tersebut tidak digunakan secara tepat dalam
pengumpulan datanya. Untuk mengetahui bagaimana teknik pengumpulan data
kuantitatif dan kualitatif maka akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
Dalam suatu penelitian, langkah pengumpulan data adalah satu tahap yang sangat
menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan dilaksanakan
tersebut.
Kesalahan dalam melaksanakan pengumpulan data dalam satu penelitian,
akan berakibat langsung terhadap proses dan hasil suatu penelitian. Kegiatan


pengumpulan data pada prinsipnya merupakan kegiatan penggunaan metode dan
instrumen yang telah ditentukan dan diuji validitas dan reliabilitasnya. Secara
sederhana, pengumpulan data diartikan sebagai proses atau kegiatan yang
dilakukan peneliti untuk mengungkap atau menjaring berbagai fenomena,
informasi atau kondisi lokasi penelitian sesuai dengan lingkup penelitian. Dalam
prakteknya, pengumpulan data ada yang dilaksanakan melalui pendekatan
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dengan kondisi tersebut, pengertian
pengumpulan data diartikan juga sebagai proses yang menggambarkan proses
pengumpulan data yang dilaksanakan dalam penelitian kuantitatif dan penelitian
kualitatif.
B. Pengertian dan Pentingnya Merujuk Literatur
a. Pengertian Teori
Menurut Jonathan Turner (dalam babbie,1992) menyatakan bahwa teori
dalam ilmu sosial adalah penjelasan sistematis tentang hukum-hukum dan
kenyataan-kenyataan yang dapat diamati, yang berkaitan dengan aspek khusus
dari kehidupan manusia
Menurut Mark 1963, dalam ( Sugiyono,2012) membedakan adanya tiga
macam teori. Ketiga teori yang dimaksud ini berhubungan dengan data empiris,
teori ini antara lain:
a. Teori yang Deduktif: memberi keterangan yang dimulai dari suatu
perkiraan, atau pikiran spekulatis tertentu kearah data akan diterangkan.
b. Teori Induktif: cara menerangkan adalah dari data ke arah teori. Dalam
bentuk ekstrim titik pandang yang positivistik ini dijumpai pada
kaum behaviorist.
c. Teori fungsional: disini nampak suatu interaksi pengaruh antara data dan
perkiraan teoritis, yaitu data mempengaruhi pembentukan teori dan
pembentukan teori kembali mempengaruhi data.
b. Kegunaan Teori dalam Penelitian
Semua penelitian bersifat ilmiah, oleh karena itu semua peneliti harus
berbekal teori. Dalam sebuah penelitian teori yang digunakan harus sudah jelas
karena fungsi teori dalam sebuah penelitian menurut (Sugiyono,2012:57) adalah
sebagai berikut:
a) Untuk memperjelas dan mempertajam ruang lingkup, atau konstruk
variabel yang akan diteliti.
b) Untuk merumuskan hipotesis dan menyusun instrumen penelitian.
c) Memprediksi dan membantu menemukan fakta tentang sesuatu hal yang
hendak diteliti.
Secara ringkas, menurut Borg dan Gall (1989: 114-119), dan Latief (2012: 43-50)
dalam Website Prof. Dr. Mudjia Raharjo,M.Si menjelaskan setidaknya ada enam (6)
alasan mengapa kajian pustaka / Teori harus dilakukan, sebagaimana uraian berikut:
1. Sangat bermanfaat untuk menajamkan rumusan masalah penelitian yang
diajukan, sehingga besar kemungkinan rumusan masalah yang sudah dibuat
berubah setelah peneliti membaca pustaka karena telah memiliki wawasan
tentang tema yang diteliti lebih luas daripada sebelumnya.
2. Kajian pustaka tidak saja untuk mempelajari apa yang telah dilakukan orang
lain, tetapi juga melihat apa yang terlewatkan dan belum dikaji oleh peneliti
sebelumnya.
3. Untuk melihat bahwa pendekatan penelitian yang kita lakukan steril dari
pendekatan-pendekatan lain.

4. Memperoleh pengetahuan (insights) mengenai metode, ukuran, subjek, dan
pendekatan yang dipakai orang lain dan bisa dipakai untuk memperbaiki
rancangan penelitian yang kita lakukan.
5. Melalui kajian pustaka, bisa diperoleh pengetahuan berupa rekomendasi atau
saran-saran bagi peneliti selanjutnya.
6. Untuk mengetahui siapa saja yang pernah meneliti bidang yang sama dengan
yang akan kita lakukan.
Langkah dalam merujuk literatur

Proses penyusunan kajian teori bukanlah perkara yang bisadisepelekan, bahkan
untuk mendapatkan kualitas literatur yang baik. Meredith, Joyce & Walter (2003)
mengungkapkan “ it requires tree to sixmonths or more to do a good review of the
literature, especially if you know litle about the literature on your research problem
at the outset”. Proses kajian teori yang baik memerlukan waktu tiga sampai enam
bulan.

Analisis Kajian Teori dalam penelitian kuantitatif
Teori sebagai Hukum dan Rumus untuk Pengukuran
“Hukum” (laws) digunakan dalam sains untuk menggambarkan kejadian atau
fenomena di alam semesta ini yang sudah dianggap pasti. Salah satu contoh hukum yang
popular di sains dan fisika adalah Hukum Pergerakan Planet karya Kepler yang
menggambarkan secara pasti bagaimana pola pergerakan benda-benda di alam semesta.
Namun hukum seringkali tidak memberikan penjelasan lebih jauh, misalnya mengapa
mereka planet bergerak seperti itu. Maka seringkali hukum dalam sains harus

dikembangkan lebih lanjut menjadi teori; atau dengan kata lain, hukum seringkali adalah
bagian dari sebuah teori. Ini tidak berarti bahwa hukum tak lebih berguna dari teori,
sebab seringkali hukum berbentuk formula atau rumus yang memudahkan sebuah
penelitian ilmiah. Selain itu, sebagaimana dikatakan Naggel (1979), hukum yang
digunakan dalam eksperimen (experimental laws) seringkali adalah tentang hal-hal yang
mudah dilihat (observable), misalnya hukum tentang perilaku gas (gas laws) yang
mengaitkan tekanan, temperatur, dan volume, merupakan hukum tentang sesuatu yang
dapat diamati pancaindera. Itu sebabnya hukum amat sering digunakan dalam penelitian
tentang hal-hal yang dianggap terlihat dan terukur.
Dalam IP&I, penggunaan hukum banyak dilakukan untuk kajian bibliometrika.
Ada tiga hukum yang kemudian juga dikenal sebagai rumus utama dalam bibliometrika
yaitu hukum Lotka tentang produktivitas sebuah bidang ilmu (Lotka’s Law of Scientific
Productivity), hukum ketersebaran dari Bradford (Bradford’s Law of Scattering), dan
hukum kemunculan kata dari Zipf (Zipf’s Law of Word Occurrence). Perlu diketahui,
bibliometrika berkembang dari ketertarikan ilmuwan pada awal abad 20 tentang
dinamika ilmu pengetahuan sebagaimana tercermin dalam produksi literatur ilmiahnya.
Produk literatur ini tentunya adalah sesuatu yang terlihat dan terukur. Itu sebabnya
bibliometrika menggunakan statistik dan pada awalnya disebut “statistical
bibilography”. Sebagaimana diuraikan Hertzel (2003), sejarah bibliometrika kemudian
memperlihatkan perubahan ketertarikan menggunakan statistik untuk mengkaji
perkembang literatur ilmiah ini dari “statistical bibliography” menjadi “bibliometrics”.
Dalam sebuah ulasan, D’Elia dan Walsh (1983) menjelaskan bahwa ada dua
pendekatan utama dalam pengukuran ini, yang mereka beri nama pendekatan objektif
dan subjektif. Dalam pendekatan objektif, unit analisisnya adalah perpustakaan yang
bersangkutan. Sedangkan dalam pendekatan subjektif, unit analisisnya adalah pengguna
perpustakaan. Baik pendekatan objektif maupun subjektif ini tetap menjadikan ukuran
kepuasan sebagai indikator kinerja. Penelitian yang menggunakan pengukuran kepuasan
ini amat dipengaruhi teori-teori manajemen dan kinerja organisasi di masyarakat. Di
kalangan pustakawan Amerika Serikat, penggunaan pengukuran berbasis teori organisasi
dan manajemen ini antara lain dipromosikan oleh Ernest R. DeProspo yang amat
dipengaruhi ilmuwan kuantitatif Abraham Kaplan (lihat Curran dan Summers, 1990).
Selain itu, pertimbangan-pertimbangan ekonomi, khususnya untuk menjustifikasi
pembiayaan perpustakaan umum, menjadi salah satu pendorong penggunaan rumusrumus ekonomi pada tahun 1980an (lihat Bookstein, 1981).
Perkembangan di ataslah yang mendorong popularitas penggunaan alat-alat ukur
untuk kinerja dalam penelitian IP&I, termasuk penggunaan alat-alat ukur yang sering
dipakai dalam dunia bisnis, seperti pengukuran berdasarkan standar ISO, penggunaan
prinsip TQM (total quality management), pengukuran kualitas jasa (service quality), dan
sebagainya. Ini sejalan dengan semakin banyaknya ilmuwan IP&I yang menggunakan
metode-metode kuantitatif yang terus menjadi popular sampai awal 1990an 4. Kajian oleh
Reisman dan Xiaomei (1994), misalnya, melacak penggunaan operation researchs
selama 25 tahun (akhir 1960an sampai awal 1990an) di bidang IP&I dan mereka
menganjurkan peningkatan penggunaannya untuk menjamin cost effectiveness dari
sistem perpustakaan. Ulasan yang komprehensif tentang pengukuran kinerja
perpustakaan (measuring library performance) dibahas antara lain oleh Brophy (2006).
Khusus untuk kinerja perpustakaan umum, dibahas antara lain oleh Matthews (2003)
Apa yang telah diuraikan di atas – terutama di bagian tentang penggunaan hukum
dan rumus pengukuran dalam penelitian IP&I – merupakan bagian dari “pendekatan
kuantitatif” (quantitative approach) dengan salah satu ciri utamanya, yaitu pengukuran

(measurement) atau pengujian berdasarkan ukuran tertentu. Pengukuran ini seringkali
(walau tidak selalu) menggunakan metode statistik.

Analisis Kajian Teori dalam penelitian kualitatif
teori-teori yang digunakan untuk penelitian kualitatif pun agak berbeda dari yang
digunakan dalam penelitian kuantitatif. Pada umumnya, teori-teori penelitian kualitatif
datang dari teori sosial (sosiologi) dan budaya (humaniora). Menurut situs Research
Methods Knowledge Base ada empat aliran atau teori utama9 yang biasa digunakan
dalam penelitian kualitatif, yaitu etnografi, fenomenologi, field research, dan grounded
theory. Tidak pada tempatnya jika artikel ini membahas secara rinci tentang keempat
teori tersebut. Penjelasan umum tentang penggunaan teori ini dapat dilihat pula di Pendit
(2009b) yang menambahkan interaksionisme simbolik dan hermenitika sebagai bagian
dari teori-teori utama dalam penelitian kualitatif. Secara ringkas contoh-contoh
penggunaan teori-teori tersebut akan diuraikan berikut ini.
• Contoh penggunaan etnografi adalah penelitian Crabtree dan kawan-kawan (2000) di
sebuah perpustakaan perguruan tinggi yang sedang mengembangkan sistem informasi.
Dipandu oleh teori-teori interaksi sosial dari Anthony Giddens dan Harold Garfinkel 10,
mereka sekaligus menggunakan penelitian tersebut sebagai bagian dari perancangan
sistem (system design). Contoh lainnya adalah sebuah proyek penelitian berkelanjutan
bernama ERIAL (Ethnographic Research in Illinois Academic Libraries), yang dapat
dilihat di situs mereka (http://www.erialproject.org/). Penggunaan etnografi di bidang
IP&I memang cukup marak sejak 1980an ketika antropologi mulai dilirik para peneliti
(lihat Sandstrom dan Sandstrom, 1995, dan Sandstrom, 2004). Untuk pembahasan lebih
lengkap, dapat dibaca uraian Dent-Goodman (2011) yang selain memaparkan sejarah
penggunaan pendekatan ini, juga memberikan beberapa contoh penelitian yang
menggunakannya. Jelaslah bahwa etnografi dalam IP&I digunakan untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana komunitas dan
kelompok masyarakat tertentu memaknai perpustakaan dan lembaga-lembaga informasi
yang mereka gunakan. Sebagai metode yang “diimpor” dari antroplogi, etnografi
membantu para peneliti IP&I mengaitkan perilaku penggunaan informasi dengan
konteks budaya, mulai dari kebiasaan sampai ke tingkat adat istiadat. Di Indonesia,
Laksmi
(2011) menggunakan etnografi untuk meneliti budaya kerja di perpustakaan umum.
• Contoh penggunaan fenomenologi adalah penelitian Dalbelo (2005) terhadap
pengembangan perpustakaan digital di lingkungan Library of Congress dengan
menggunakan teori perubahan teknologi dan konstruksi sosial atau SCOT (Social
Construction of Technology). Selain itu, penelitian-penelitian perilaku informasi
(information behaviour) juga sering menggunakan fenomenologi, seperti yang telah
dibukukan oleh Savolainen (2008). Penelitian fenomenologi dalam bidang IP&I ini
banyak menggunakan teori dari para pionir seperti Edmund Husserl, Martin Heidegger,
dan Paul Ricoeur. Sebagaimana dikatakan Budd (2005) teori mereka menarik sebab
banyak menyangkut masalah persepsi, kesadaran yang bermaksud (intentionality), dan
pola interpretasi yang bisa dikaitkan dengan proses pencarian informasi secara
individual. Secara khusus Budd melihat potensi penggunaan teori-teori fenomonologi
untuk kajian tentang komunikasi dan dialog yang harus dilakukan seseorang ketika ia
mencari informasi. Sebagaimana diketahui, fenomenologi juga merupakan aliran ilmu
(school of thought) yang memfokuskan perhatian pada pengalaman subjektif manusia
dan cara manusia menginterpretasi atau memahami dunianya. Ini amat cocok untuk
kajian-kajian pemakai dari segi psikologi atau psikologi-sosial. Di Indonesia, contohnya
adalah Damayani (2011) yang menggunakan fenomenologi untuk mengkaji komunitas
baca di Bandung.

• Kajian Ellis (1993) adalah contoh penggunaan grounded theory dalam bidang IP&I.
Dalam penelitiannya, Ellis mencoba memahami perilaku pencarian informasi para
peneliti di tiga bidang penelitian berbeda, yaitu sains, ilmu sosial, dan ilmu budaya
(humaniora). Sebagaimana diketahui Grounded Theory merupakan pendekatan kualitatif
yang pada awalnya dikembangkan Glaser dan Strauss (1967) untuk penelitian sosial.
Sebagai metode, pendekatan ini menekankan proses menghasilkan teori dari
penyelidikan di lapangan, sebagai kebalikan dari menggunakan teori untuk mengukur
fenomena di lapangan; dengan kata lain, teori selalu dibumikan (grounded). Di
Indonesia, grounded theory antara lain digunakan oleh Pendit dan Wijayanti (2009) dan
Suryati (2009).
penelitian kualitatif atau penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih cocok untuk
situasi yang sedang dan masih berkembang sehingga lebih memerlukan penjelajahan
atau eksplorasi (lihat Parasuraman, Grewal, dan Krishnan, 2004), bukan pengukuran.
Penelitian kualitatif juga dianggap lebih tepat atau untuk penelitian yang bertujuan
mendalami, memaknai, atau memahami fenomena sosial tertentu (Malhotra and Birks,
2003). Jika dikerjakan dengan seksama penelitian kualitatif seringkali lebih tepat untuk
menuntun peneliti kepada kesimpulan yang lebih luas, holistik, dan membuka wawasan
baru (Miles dan Huberman, 1994). Menurut McCracken (1988: 16), “Penelitian
kualitatif berupaya menemukan pola antar-kaitan dari berbagai kategori, bukan
membatasi secara tajam hubungan antara sejumlah kategori terbatas.”
Seringkali penelitian kualitatif terkesan “melebar”, sementara penelitian kuantitatif
“menyempit” ke satu sampai tiga variabel saja. Selain itu, penelitian kualitatif juga
cenderung “mendekat” ke wilayah (teritori) atau lingkup fenomena yang dikaji,
berlawanan dengan penelitian kuantitatif yang membuat jarak melalui penggunaan alat
atau mekanisme artifisial (buatan manusia) untuk mengukur fenomena (Van Maanen,
1979). Hal lain yang berbeda dalam pendekatan kualitatif adalah sisi pandang filosofis
yang mendasarinya, yaitu sisi pandang “interpretivist” (mengandalkan interpretasi
peneliti, sehingga sering disebut penelitian subjektif). Peneliti kualitatif menempatkan
diri sebagai seseorang yang melakukan interpretasi, memahami, mengalami, dan bahkan
juga menghasilkan (terlibat di dalam) fenomena sosial yang ditelitinya (Mason, 1996).
Pengertian “interpretasi” ini juga perlu dipahami sebagai upaya melibatkan pendapat
subjektif orang-orang yang diteliti.

Kajian penelitian kualitatif berawal dari kelompok ahli sosiologi dari “mazhab
Chicago” pada tahun 1920-1930, yang memantapkan pentingnya penelitian kualitatif
untuk mengkaji kelompok kehidupan manusia. Pada waktu yang sama, kelompok
ahli antropologi menggambarkan outline dari metode karya lapangan; yang
melakukan pengamatan langsung ke lapangan untuk mempelajari adat dan budaya
masyarakat setempat. Dari awal, tampak bahwa penelitian kualitatif merupakan
bidang penyelidikan tersendiri. Bidang ini bersilang dengan disiplin dan pokok
permasalahan lainnya. Suatu kumpulan istilah, konsep, asumsi yang kompleks dan
saling terkait meliputi istilah penelitian kualitatif. Dalam penelitian tidak lepas dari
rancangan, tetapi pada rancangan penelitian kualitatif dalam pendidikan,
penelitiannya bersifat sementara karena ketika penelitian berlangsung, peneliti secara
terus menerus menyesuaikan rancangan tersebut dengan proses penelitian dan
kenyataan yang terjadi di lapangan khususnya di dalam dunia pendidikan. Jadi
berbeda dengan proses penelitian kuantitatif yang disusun secara ketat dan kaku
sebelum penelitian dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena:
1. Peneliti kualitatif belum dapat membayangkan sebelumnya tentang kenyataankenyataan yang akan dijumpai di lapangan

2. Peneliti belum dapat meramalkan sebelumnya tentang perubahan yang terjadi
ketika terjadi interaksi antara peneliti dan kenyataan yang diteliti
3. Bermacam-macam sistem nilai yang terkait berhubungan dengan cara yang tidak
dapat diramalkan

Daftar Pustaka
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: CV. Alfabeta
John W Creswell, Educational Research (University of Nebraska–Lincoln), Inc 501 Boylston
Street, Boston : Pearson Education,