Pembangunan Infrastruktur di Indonesia d

Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan
Peran G-20
Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana
Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia

ABSTRAK
Tulisan ini mengidentifikasi kendala Indonesia dalam mengatasi masalah
pembangunan infrastruktur dan menunjukkan munculnya kepedulian baru
dari komunitas internasional terhadap pembangunan infrastruktur di
Indonesia seperti diperlihatkan oleh forum G-20. Kepedulian G-20 berasal
dari keyakinan bahwa hambatan utama terhadap pertumbuhan ekonomi
global adalah kurangnya pembangunan infrastruktur di beberapa negara
anggotanya. Indonesia memiliki kesempatan untuk memanfaatkan forum G20 untuk mengatasi masalah pembangunan infrastrukturnya. Penelitian ini
menarik dua kesimpulan. Pertama, kapasitas negara yang rendah dalam
mobiliasasi pendapatan dan hambatan non-ekonomi menjadi hambatan
utama bagi Indonesia untuk mengatasi masalah pembangunan
infrastrukturnya. Kedua, hanya Cina, Rusia, Korea Selatan dan Jepang
dapat diharapkan membantu Indonesia.
Kata-Kata Kunci: Infrastruktur, G-20, Indonesia.
This article identifies policies constraints that have hampered infrastructure
development and shows serious concern by international community over the

problem of infrastructure development as recently shown by the G-20 forum.
The underlying reason of the G-20 concern seems to have stemmed from the
conviction that one of the main barriers to global economic growth can be
attributed to the lack of infrastructure development of its several member
countries. There has been opportunity for Indonesia to utilize G-20 forum to
overcome the problem of its infrastructure development. This articale has
drawn two conclusions. First, economic barriers in the form of low capacity of
state in its revenue mobilization and non-economic barriers, have become
primary obstacles for Indonesia to cope up with the problem of its
infrastructure development. Second, despite the fact that the G-20 forum is the
club of main economic powers of the world, the article has come to conclude
that only China, Russia, South Korea, and Japan can be expected to assist
Indonesia.
Keywords: Infrastructure, G-20, Indonesia.

29

Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana

Reformasi telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa. Namun, seperti

nanti dipaparkan secara lebih rinci, tidak terdapat perubahan
substansial dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Ini tidak
berarti pemerintah mengabaikannya. Berbagai dokumen resmi seperti
Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJMN) tahun
2004-2009 dan 2010-2014 menyebutkan bahwa pembangunan
infrastruktur menjadi salah satu agenda besar dalam pembangunan
Indonesia untuk kesejahteraan rakyat dan prioritas pembangunan
nasional. Dengan demikian secara normatif pemerintah menyadari betul
bahwa pembangunan infrastruktur yang memadai dan berkualitas
menjadi satu keharusan untuk mendukung proses pembangunan secara
menyeluruh.
Secara
makroekonomi,
prestasi
Indonesia
memang
sangat
mengesankan. Tingkat pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun
terakhir rata-rata sebesar 6% dengan cadangan devisa berada di atas
US$ 105 miliar hingga Februari 2013. Defisit anggaran juga tidak pernah

melebihi angka 3% dari PDB (Rudolf 2013). Meski demikian, prestasi
pembangunan infrastruktur Indonesia cukup memprihatinkan yaitu
berada di posisi ke-74 untuk kualitas infrastruktur (WEF, 2012). Di satu
sisi, di level internasional pembangunan infrastruktur telah menjadi
salah satu agenda dalam G-20, sehingga forum ini dapat diharapkan
sebagai alternatif mengatasi masalah pembangunan infrastruktur di
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, artikel ini akan menganalisis dua
hal. Pertama, hambatan-hambatan yang dihadapi Indonesia dalam
pembangunan infrastruktur. Kedua, peran G-20 dalam membantu
mengatasi hambatan tersebut.
Deskripsi Umum dan Persoalan Infrastruktur di Indonesia
ICD Research (2011, 127) melaporkan perkembangan infrastruktur di
Indonesia yang menyebutkan bahwa total jalan raya di Indonesia
(highways) pada tahun 2009 adalah sebesar 438.150 km sedangkan
jalan kereta api adalah sepanjang 3.400 km. Sementara itu, menurut
Sudrajat (2010), yang menjadi Kepala Perwakilan RI Beijing (20062009), jika dibandingkan dengan Cina, jalan kereta api mencapai
86.000 km, padahal jalan kereta api di Cina pada tahun 1945 adalah
sepanjang 27.000 km sedangkan jalan kereta api di Indonesia pada
tahun 1950 adalah sepanjang 5.910 km.
Demikian juga dengan prestasi Indonesia dalam jalan raya cepat

(expressway). Perbedaan ini dapat dipahami mengingat Cina adalah
negeri kontinental sementara Indonesia adalah negara kepulauan. Akan
tetapi fakta menunjukkan bahwa walau Indonesia sebagai negara
kepulauan yang seharusnya memiliki jumlah pelabuhan yang memadai,

30

Global & Strategis, Th. 8, No. 1

Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-20

namun data laporan ICD menunjukkan jumlah pelabuhan udara di
Indonesia jauh lebih banyak (683) dibandingkan dengan jumlah
pelabuhan laut (154).
Sejauh yang dapat dicermati, laporan yang sangat komprehensif tentang
kondisi infrastruktur Indonesia tidak dibuat oleh lembaga pemerintah,
akan tetapi oleh lembaga swasta di sektor perbankan, Standard
Chartered Bank (Ta Hui et al., 2011). SCB dua tahun lalu telah
mempublikasikan kondisi pembangunan infrastruktur di Indonesia
dengan menyorot empat kategori infrastruktur yaitu daratan (land

infrastructure), pelabuhan udara (airports), pelabuhan laut (seaports),
dan listrik (electricity).
Untuk kategori infrastruktur daratan -yaitu jalan, raya, kereta api dan
jembatan- laporan ini memaparkan temuan-temuan berikut.
Disebutkan, Indonesia memiliki rasio jarak jalan per kilometer dengan
luas wilayah yang paling rendah di kawasan. Pulau Jawa yang hanya 7%
dari wilayah daratan Indonesia merupakan pusat dari jalan kereta api
dan jalan darat di Indonesia. Perlu dicatat bahwa setelah tahun 2000,
dengan kerangka desentralisasi, otoritas pemerintah pusat dalam
pembangunan jalan telah dialihkan ke-33 propinsi dan 497 pemerintah
daerah. Akibatnya pembangunan jalan negara yang menjadi bagian
otoritas pemerintah pusat terabaikan.
Di samping perubahan regulasi, hambatan lainnya adalah pada isu
pembebasan tanah (land clearance) yang melibatkan para spekulator
tanah yang memiliki koneksi politik yang kuat. Selain itu, patut pula
mencatat bahwa adanya ketidaksepadanan antara distribusi jalan dan
konsentrasi aktifitas ekonomi. Laporan SCB menyebutkan 58% jalan di
Indonesia terdapat di Jawa (24%) dan Sumatera (34%), dengan
konsentrasi penduduk di Jawa (59%) dan Sumatera (23%).
Menarik dicatat pula bahwa panjang jalan yang dapat digunakan

semakin berkurang jumlahnya dalam periode 2005-2009, yaitu dari
7.226 km menjadi 6.506 km. Karena itu, gambaran dasar dari
infrastruktur jalan di Indonesia adalah adanya ketimpangan
infrastruktur antar wilayah dan di saat yang sama terjadi kerumunan
infrastruktur di wilayah-wilayah tertentu. Dalam hal pembangunan jalan
tol, disebutkan, Indonesia memiliki jalan tol sepanjang 742 km, padahal
idealnya 3.088 km. Karena itu, jalan tol yang akan dibangun sepanjang
2.337 km dengan dana berkisar US$ 24 miliar. Dari jumlah ini,
pemerintah disebutkan hanya dapat membangun 2.6% atau 70,5 km.
Pemerintah pusat juga tampaknya pasif dalam pembangunan jembatan.
Laporan SCB menyebutkan bahwa dalam periode 1990-1999, jumlah
pembangunan jembatan nasional berada pada angka sekitar 5.000

Global & Strategis, Januari-Juni 2014

31

Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana

dengan total panjang jembatan yang dibangun adalah 125 km. Namun

dari tahun 2000-2008, pembangunan jembatan baru, hanya sekitar 500
dan panjangnya hanyalah 20 km yang mayoritas berada di Sumatera
dan Jawa.
Infrastruktur untuk angkutan kereta api juga menunjukkan kondisi yang
tidak jauh berbeda. Infrastruktur transportasi kereta api umumnya
terpusat di Jawa yang dominan (60%) digunakan untuk mengangkut
penumpang. Di Sumatera, kereta api umumnya (80%) digunakan untuk
mengangkut kargo. Data menunjukkan bahwa hingga tahun 2009
panjang jalan kereta api di Indonesia adalah 4.819 km, yang berarti
hanya tumbuh sekitar 1.1% per tahunnya. Selain itu, kondisinya juga
sangat merisaukan mengingat rel kereta api di Indonesia kini berusia 25
tahun sedangkan di negara maju, penggunaannya hanya 5-10 tahun.
Seperti halnya infrastruktur daratan, kondisi infrastruktur angkutan laut
juga tidak jauh berbeda. Dengan luas laut sekitar 3 juta km2 dan terdiri
dari 17.508 pulau, data-data yang ada menunjukkan pembangunan
pelabuhan laut terabaikan dan sangat tidak memadai untuk
perdagangan antarpulau apalagi internasional. Hanya sedikit pelabuhan
yang yang layak untuk kegiatan perkapalan internasional yaitu 4
berstatus Prime (Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Makassar)
dan 14 berstatus Class I.

Walau terdapat pelabuhan dengan klasifikasi Prime namun pelabuhan
laut utama Indonesia relatif kecil dan tertinggal jika dibandingkan
dengan pelabuhan laut negara tertangga dengan status yang sama.
Pelabuhan laut Tanjung Priok hanya dapat melayani kapal yang
berbobot mati hingga 50.000 ton. Bandingkan misalnya dengan
pelabuhan laut Singapura yang dapat mencapai angka bobot mati hingga
150.000 ton dan Pelabuhan Klang Malaysia 130.000 ton dan Laem
Chabang Thailand hingga 120.000 ton. Selain itu, jika diukur dari
waktu tunggu bagi kapal untuk melakukan bongkar muat, efisiensinya
sangat rendah. Walau demikian, jumlah perusahaan perkapalan
(penumpang dan kargo) di Indonesia meningkat pesat yaitu sebanyak
1.269 perusahaan (2005) menjadi 1.754 perusahaan (2009). Hal ini
menunjukkan bahwa di tengah-tengah kualitas pelabuhan yang tidak
memadai kompetisi justru meningkat di sektor angkutan laut.
Mirip dengan angkutan laut, infrastruktur untuk angkutan udara juga
mengalami masalah yang serupa. Saat ini tercatat sekitar 27 pelabuhan
udara internasional dan 163 pelabuhan udara domestic dengan variasi
dari status Class I hingga yang berstatus Class V yang terendah.
Menarik mencatat pula sekitar 56% dari pelabuhan udara Indonesia
terletak di bagian Timur terutama di Papua (sekitar 36%), walau


32

Global & Strategis, Th. 8, No. 1

Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-20

demikian sebagian besar hanya berstatus paling rendah yaitu Class IV
atau di bawahnya.
Masalah besar di pelabuhan udara Indonesia adalah sarat beban.
Pelabuhan udara Cengkareng misalnya kini menangani penumpang 69%
lebih banyak dari kapasitas optimalnya. Pelabuhan udara Polonia yang
dibangun untuk menampung 900.000 penumpang tetapi pada tahun
2009 “dipaksa” menangani 5 juta penumpang. Terlebih lagi, bisnis
angkutan penumpang udara mengalami pertumbuhan yang cepat
dengan jumlah angkutan penumpang tumbuh sekitar 30% dalam
periode 2000- 2004.
Pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan UU Angkutan Udara untuk
pembangunan 7 pelabuhan baru (diantaranya Majalengka, Banten, Bali
Baru dan Samarinda Baru) dan peningkatan klasifikasi pelabuhan udara

dari Class I menjadi Prime-Class. Diperkirakan pula terdapat sekitar 14
pelabuhan udara yang akan melayani angkutan kargo internasional pada
tahun 2015. Tampaknya target pembangunan infrastruktur pelabuhan
udara ini terkait dengan kesepakatan open-sky tahun 2015 yang
dicanangkan melalui kerjasama regional ASEAN. Sejauh ini hanya 5
pelabuhan udara termasuk dalam kesepakatan ini yaitu Soekarno-Hatta,
Juanda, Kuala Namu (pengganti Polonia Medan), Ngurah Rai Bali, dan
Hasanuddin.
Adapun untuk pembangunan infrastruktur listrik, produksi listrik
Indonesia pada tahun 2008 disebutkan 149.000 GWh, lebih besar dari
Thailand yang berkisar 139.000 GWh. Namun perlu dicatat bahwa
angka populasi Indonesia lebih banyak 4 kali lipat dibandingkan dengan
Thailand. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika rumah tangga
yang memiliki fasilitas listrik di Indonesia hanyalah sekitar 63% dari
seluruh rumah tangga. Laporan ICD juga meramalkan infrastrukur
listrik hanya meningkat rata-rata 2,8% untuk kurun waktu 2010-2015.
Seperti di sektor infrastruktur lainnya, produksi dan penikmat fasilitas
infrastruktur listrik terpusat di Jawa. Karena itu pembangunan
infrastruktur pembangkit listrik tidak hanya sekadar kapasitas tetapi
juga pemerataannya secara geografis.

Di samping PLN, sebenarnya terdapat pemain lain yang memasok listrik
di Indonesia. Patut dicatat bahwa produksi listrik PLN diperkirakan
hanya sebesar 76,9% dari keseluruhan produksi total listrik di
Indonesia. Sisanya diproduksi oleh “produsen listrik independen” (PLI)
dimana pada tahun 2001 memproduksi hanya 13,1%, kemudian
meningkat menjadi 20,5% (2005) dan meningkat lagi menjadi 23,1%
(2009). Tampaknya peran PLI ini akan terus meningkat di tahun-tahun
mendatang dengan diterbitkannya ketentuan UU baru pada tahun 2009
yang mengizinkan usaha swasta dan koperasi untuk bergerak dalam

Global & Strategis, Januari-Juni 2014

33

Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana

binis pasokan listrik. Dengan regulasi ini, PLI diizinkan untuk menjual
listrik secara langsung kepada konsumen akhir.
Selain itu pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan peraturan
setingkat Perpres yaitu No. 36/2010 yang mendorong partisipasi pihak
asing dalam pembangunan sektor listrik yang memungkinkan pihak
asing memiliki saham hingga 95% untuk pabrik pembangkit listrik di
atas 10 MW. Di bawah ketentuan baru ini juga dimungkinkan untuk
membangun kemitraan dengan perusahan domestik untuk pabrik
pembangkit dengan kapasitas hingga 10 MW. Perusahan asing juga
diizinkan untuk beperan dalam melakukan distribusi, pemeliharaan dan
jasa-jasa konsultansi.
Ketidakseimbangan dalam Pembangunan Infrasturktur
Dari seluruh pemaparan di atas setidaknya kita bisa melihat adanya
kecenderungan ketidakseimbangan-ketidakseimbangan (imbalances)
dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan berbagai
dimensinya. Pertama, ketidakseimbangan dalam pengertian dimensi
geografis. Infrastruktur yang ada terpusat di Jawa dan Sumatera,
sementara wilayah lain tampaknya sangat tertinggal. Hal ini juga
menyampaikan pesan bahwa ekonomi modern Indonesia tampak lebih
terpusat di Jawa dan Sumatera.
Kedua, ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan
pertumbuhan pembangunan infastruktur. Walau tingkat pertumbuhan
ekonomi makro menunjukkan angka yang cukup baik yaitu sekitar 6%,
namun pembangunan infrastruktur menunjukkan angka pertumbuhan
lebih rendah dari itu. Terkait dengan ini terdapat skenario yang
menyatakan bahwa jika pertumbuhan pembangunan infrastruktur dapat
ditingkatkan maka proyeksi angka pertumbuhan ekonomi nasional
kemungkinan akan dapat menjadi lebih tinggi. Tampaknya, konsensus
politik yang lemah menjadi salah satu faktor penyebab mengapa tidak
terdapat dorongan kuat untuk memacu pembangunan infrasturktur itu.
Ketiga, ketidakseimbangan dalam pengertian makna infrastruktur.
Menurut Ghani, et al. (2005), istilah infrastruktur pada dasarnya
memiliki muatan sebagai barang atau fasilitas yang dibangun untuk
memenuhi kebutuhan publik. Kecenderungan kuat dari adanya praktik
monopolistik dalam pengelolaan atau operasi bisnis infrastruktur
merupakan salah satu argumen mengapa negara harus mengambil
tanggung jawab utama. Sesungguhnya kegiatan pengoperasian sebagian
besar bisnis infrastruktur secara alamiah memiliki watak anti kompetisi.
Selain itu, pengelolaan oleh swasta akan menyulitkan warga negara
untuk menyampaikan keluhannya. Namun, kecenderungan yang ada di

34

Global & Strategis, Th. 8, No. 1

Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-20

Indonesia telah menunjukkan sebaliknya yaitu peningkatan peran
swasta dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia dalam satu
dasawarsa terakhir.
Di samping surutnya tanggung jawab dan peran negara dalam
pembangunan infrastruktur, fokus pembangunan infrastruktur
tampaknya kurang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar dan
vital bagi kehidupan manusia, seperti air bersih, dibandingkan misalnya
dengan pembangunan infrastruktur megaproject seperti jalan tol.
Contohnya dokumen MP3EI mengkategorikan pembangunan utilitas air
sebagai infrastrukur pendukung. Tidaklah kemudian mengherankan jika
alokasi jumlah investasi infrastruktur pemenuhan kebutuhan air hanya
Rp 18 trilliun dari total indikasi investasi yang ditargetkan yaitu Rp
1.786 trilliun. Tidak hanya itu, dalam konteks infrastruktur air istilah
yang digunakan hanya pada istilah air bersih (clean water) bukan air
minum (drinking water) yang masih merupakan barang langka di
beberapa tempat, tidak hanya di daerah terpencil akan tetapi juga
terdapat di pinggiran Jakarta.
Keempat, ketidakseimbangan dalam pengertian dimensi anggaran.
Secara nominal, anggaran untuk pembangunan infrastruktur
menunjukkan peningkatan, namun porsi pengeluaran pemerintah
(2001-2007) untuk sektor infrastruktur hanya berkisar 10% (Bappenas,
2011). Hal ini berarti angka pengeluaran pembangunan infrastruktur
dalam satu dasawarsa terakhir tidak pernah melebihi angka 2% dari
PDB. Angka ini tentu saja memprihatinkan jika dibandingkan dengan
Cina
yang
terus
meningkatkan
anggaran
pembangunan
infrastrukturnya, bahkan mematok hingga 15% dari PDB-nya.
Berdasarkan penelitian Sahoo, et al. (2010), diperkirakan hingga tahun
2014 Indonesia membutuhkan sebesar Rp 1.429 triliun untuk
pembangunan infrastruktur agar pertumbuhan ekonomi mencapai
angka 5%-7%. Namun pemerintah hanya sanggup memberikan Rp 386
triliun atau sekitar 27%.
Pada saat yang sama subsidi BBM kini mencapai angka 25% dari APBN
yaitu 274,7 triliun rupiah. Angka ini menjadi bermasalah karena selain
mengambil sekitar 25% dari RAPBN, juga lebih besar dari belanja modal
(205 triliun rupiah). Seandainya, pilihan kebijakan yang dilakukan
adalah menghapuskan subsidi BBM dan dialihkan untuk pembangunan
infrastruktur, persoalan mobilisasi pendanaan mungkin tidak terlalu
berat. Mobilisasi pendanaan yang terbatas juga semakin bermasalah
karena sumber pendapatan negara melalui pajak sangat terbatas.
Heenan, et al. (2011) menyatakan bahwa rasio pajak terhadap PDB di
Indonesia relatif tidak bergeser di sekitar 11,5% dalam satu dasawarsa
terakhir yang merupakan rasio terendah di negara berkembang (Heenan
et.al. 2011). Memperbesar defisit anggaran untuk pembangunan

Global & Strategis, Januari-Juni 2014

35

Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana

infrastruktur melalui kebijakan fiskal juga memiliki keterbatasan oleh
ketentuan UU No. 17 tahun 2003 yang tidak memungkinkan pemerintah
untuk memperbesar defisit anggaran melebihi angka 3% dari PDB.
Kelima, ketidakseimbangan antara tataran kebijakan dengan tataran
implementasi. Secara kebijakan, pemerintah telah memberikan ruang
lebih besar bagi pasar dan swasta untuk berperan dalam pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Sebagai misal, pada tahun 2009 pemerintah
mengeluarkan Perpres No. 27 tahun 2009 yang menugaskan BKPM
untuk melaksanakan sistem satu pintu untuk mempercepat proses izin
bagi investor langsung (real-sector) dan untuk mengurangi kerumitan
birokrasi. Namun, persoalan di lapangan menunjukkan adanya unsur
non-ekonomi yang cukup berperan seperti masalah pembebasan tanah
yang memiliki jaringan rumit dengan dinamika dan koneksi politik
lokal.
Keseluruhan
ketidakseimbangan
inilah
yang
mengakibatkan
pembangunan infrastruktur menjadi sangat rumit di Indonesia. Sejauh
ini opsi kebijakan yang diambil adalah terfokus pada penggalangan dana
di luar sektor anggaran negara. Hal ini misalnya juga dapat
diindikasikan oleh pendirian PT Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI)
pada tahun 2009 yang dimiliki sepenuhnya oleh Kementerian
Keuangan. PT SMI menciptakan berbagai usaha patungan dengan
lembaga-lembaga multilateral, bank-bank asing dan lokal, dan entitas
bisnis lainnya untuk melakukan inveastasi di proyek infrastruktur.
Pemerintah juga mendirikan PT Penjamin Infrastruktur Indonesia
(PTPII) yang berfungsi sebagai penjamin bagi proyek-proyek
infrastruktur di Indonesia.
Masih menjadi problematika apakah seluruh ketidakseimbangan dalam
pembangunan infrastruktur di Indonesia ini dapat dinetralisir melalui
keterlibatan Indonesia dalam kerangka keanggotaan G-20 dan apakah
opsi kebijakan ini akan lebih mudah direalisasikan melalui agenda
pertemuan G-20 itu. Bagian berikut mencoba mengidentifikasi karakter
forum G-20 berikut agenda pembangunan infrastrukturnya.
Karakter Forum G-20 dan Agenda Pembangunan
Infrastruktur
G-20 atau dikenal juga dengan Group of Twenty secara resmi berdiri
pada tahun 1999. Ide dibentuknya G-20 merupakan tanggapan negara
anggota G-7 terhadap tiga perkembangan utama di akhir tahun 1990an
yaitu (1) krisis keuangan di Asia pada tahun 1997, (2) meningkatnya
pengaruh negara-negara emerging market economies terhadap
perekonomian global, dan (3) munculnya ide dalam forum G-7 tentang

36

Global & Strategis, Th. 8, No. 1

Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-20

pelibatan kekuatan-kekuatan ekonomi lainnya agar keputusankeputusan yang disepakati dapat berjalan efektif dan berpengaruh
secara luas.
Diaz (2009) menyebutkan ada beberapa hal menarik tentang G-20.
Pertama, asal-usul dari G-20 sangat terkait dengan krisis finansial yang
melanda Asia Timur pada 1997-1998 sehingga dikatakan G-20
merupakan “anak” dari krisis keuangan internasional. Isu utamanya
adalah pembaruan terhadap arsitektur keuangan internasional dengan
melibatkan negara berkembang. Karena itu G-20 pada awalnya adalah
forum keuangan dan bukan forum pembangunan. Kedua, upaya untuk
menciptakan arsitektur keuangan itu bukan dilakukan melalui institusi
IMF,
akan
tetapi
dilakukan
dengan
menciptakan
forum
intergovernmental network. Pilihan ini menggambarkan sikap jalan
moderat. Penciptaan institusi baru di luar kerangka IMF dianggap
terlalu radikal karena dapat menciptakan keguncangan dalam institusiinstitusi keuangan di seluruh dunia. Namun, pilihan melalui IMF juga
dipandang terlalu konservatif.
Ketiga, kelompok negara berkembang dalam G-20 plus negara yang
dikategorikan sebagai emerging market melebihi jumlah negara maju
G-7. Meski demikian, keunggulan numerik tidak berarti pengaruh
negara berkembang lebih kuat dibandingkan dengan negara maju. Hal
ini disebabkan watak pertemuan dari G-20 adalah forum dialog yang
didasarkan pada konsensus, dimana posisi negara maju lebih dominan
karena memiliki kapasitas sumber daya yang lebih besar. Kementerian
keuangan dan bank-bank sentral yang ada di G-7 disebutkan memiliki
kapasitas yang lebih besar untuk merancang agenda, dan memiliki
jaringan pengaruh yang luas dan kuat dengan IMF dan Bank Dunia.
Keempat, Diaz (2009) menyebutkan sikap G-20 tampak lebih memihak
G-7 dibandingkan dengan sikap G-24 (kumpulan negara berkembang).
Dari sembilan isu yang dijadikan rujukan, G-20 disebutkan hanya
tampak mengakomodasikan dua isu kebijakan yang disampaikan G-24,
yaitu isu restrukturisasi utang negara (sovereign debt) dan isu
pembaruan lembaga-lembaga Bretton Woods. Dalam isu restrukturisasi
utang negara, disepakati perlunya code of conduct yang adil bagi negara
berkembang sementara untuk isu pembaruan kelembagaan juga
disepakati perlu adanya perubahan dalam voting power di dalam
institusi IMF dan Bank Dunia. Namun, dalam tiga isu lainnya, posisi G20 tidak memihak usulan negara berkembang. Sebagai misal, G-20
menolak posisi G-24 yang mengusulkan agar tidak mengaitkan aturan
pengawasan (surveillance) dan persyaratan pinjaman (conditionality)
IMF. Akan tetapi, dalam satu isu khusus, Diaz (2009) menyebutkan,
posisi G-20 menggambarkan posisi lebih ”maju” dibandingkan dengan
G-7, yaitu dalam isu pendanaan terorisme yang disinyalir merupakan isu

Global & Strategis, Januari-Juni 2014

37

Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana

yang diangkat oleh AS sebagai upaya untuk melibatkan banyak pihak
dalam penanganan pendanaan terorisme.
Sebagai suatu forum informal, karakter lainnya dari G-20 adalah tidak
memiliki sekretariat dan perangkat organisasi yang tetap. Layanan
kesekretariatan disediakan oleh ketua tahun berjalan selama masa
tugasnya. Hal ini memperjelas posisi G-20 sebagai sebuah forum
kerjasama internasional yang berlandaskan komitmen dan konsensus
yang tidak mengikat secara hukum. Walau demikian, G-20 secara
diplomatik diakui sebagai sebuah forum yang memiliki reputasi yang
tinggi karena dua alasan. Pertama, G-20 memberikan arahan kebijakan
ekonomi (economic policy guidance) bagi negara anggotanya. Kedua, G20 secara tidak langsung dapat mempengaruhi arah kebijakan ekonomi
global mengingat anggota G-20 adalah kumpulan negara yang
menghimpun 90% GDP dunia, menguasai 80% total perdagangan dunia
dan memiliki dua pertiga penduduk dunia.
Watak lainnya adalah beragamnya kepentingan dari anggotanya. Jika
dilihat secara lebih detil profil masing-masing negara, G-20
sesungguhnya dapat dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu: negara
maju anggota G-7/G-8 (Amerika, Jepang, Kanada, Jerman, Perancis,
Inggris, Itali) dan non G-8 yaitu Australia dan Korea Selatan; negara
BRICS (Brazil, Rusia, Cina, India, dan Afrika Selatan) sebagai emerging
economies; dan negara berkembang seperti Indonesia, Argentina,
Meksiko, Turki, dan Arab Saudi. Hal ini mengindikasikan dua hal.
Pertama, dinamika proses pengambilan keputusan konsensual dalam
forum ini akan sangat diwarnai kepentingan yang berbeda dari ketiga
kelompok tersebut. Kedua, adanya kesenjangan ekonomi yang cukup
besar diantara negara anggota.
Agenda Pembangunan Infrastruktur dalam G-20
Masalah infrastruktur secara eksplisit menjadi agenda G-20 Leaders
Summit pada pertemuan di Toronto tahun 2010. Hal ini ditandai
dengan dicapainya satu kesepakatan tentang pembiayaan infrastruktur
(infrastructure investment) pada pertemuan tersebut. Agenda ini
kemudian dibahas kembali pada pertemuan kelima di Seoul pada tahun
yang sama. Pertemuan di Seoul ini menghasilkan the Seoul Multi Year
Action Plan (MYAP) dan Seoul Consensus on Development yang
menempatkan sembilan pillar dalam pembangunan, salah satunya
adalah infrastruktur. Konsensus ini menjadi titik awal persoalan
infrastruktur dibicarakan secara eksplisit dalam G-20.
Masalah infrastuktur dibahas lagi dalam pertemuan keenam G-20
Leaders Summit tahun 2011 di Perancis. Hasil pertemuan ini tidak lagi

38

Global & Strategis, Th. 8, No. 1

Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-20

bicara tentang pembiayaan infrastruktur akan tetapi secara lebih umum
menyebutkan “improving infrastructure in developing countries.” Pada
pertemuan 2012 di Los Cabos, para pemimpin negara menyatakan
sepakat untuk menciptakan situasi yang lebih kondusif untuk
pembangunan yang meliputi dukungan untuk investasi infrastruktur
(supporting infrastructure investment). Dalam pertemuan tersebut,
Indonesia adalah salah satu negara yang sangat kuat mendukung
diagendakannya persoalan infrastruktur khususnya untuk pembiayaan
infrastruktur dengan “global infrastructure investment initiative
(Suryanto 2013; Wiyanti 2012).”
Tabel 1 Perkembangan Agenda Infrastruktur dalam
Pertemuan G-20
Tahun
June 26-27, 2010
Toronto, Canada

Agenda Utama
Building on achievements
in addressing the global
economic crisis
11-12, Uneven
growth
and
widening imbalances

November
2010
South Korea
November
3-4,
2011
Cannes, France
June 18-19, 2012
Los
Cabos,
Mexico

Key Word
Infrastructure spending

Nine pillars of Seoul
Development
Consensus
Global Recovery
Improving
infrastructure
in
developing countries.
To promote growth and Supporting
jobs, in a challenging infrastructure
economic context
investment

Sumber: Suryanto 2013; Wiyanti 2012.

Perkembangan ini tentu saja menarik dan positif. G-20 tidak lagi
sekedar membahas agenda keuangan tetapi memuat agenda
pembangunan. Selama ini persoalan infrastruktur dianggap sebagai isu
domestik dan hanya dilihat sebagai bagian dari kerangka pembangunan
nasional, dan bukan terkait dengan persoalan pertumbuhan dan
kestabilan ekonomi di tingkat global (a new souce of growth). Hal ini
tergambarkan pada progress report 2012 dari development working
group G-20 yang menetapkan bahwa: “Key challenges to development:
inclusive green growth, infrastructure, and food security
(consilium.europa.eu 2012).”
Lebih jauh, dalam KTT di Rusia tahun 2013 ini telah dibentuk working
group yang membahas mengenai investasi secara keseluruhan termasuk
investasi untuk pembangunan infrastruktur. Sebagai upaya untuk
mencapai agenda pembangunan & pembiayaan infrastruktur ini, pada
pertemuan Cannes tahun 2011 diusulkan mekanisme Multilateral

Global & Strategis, Januari-Juni 2014

39

Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana

Development Banks/MDBs dan dibentuknya High Level Panel (HLP) on
Infrastructure (bond.org.uk 2011).
Terkait pembangunan infrastruktur, penting untuk melihat kinerja
makroekonomi negara anggota G-20 karena beberapa alasan berikut.
Pertama, pada tingkat implementasi, pendanaan pembangunan
infrastruktur pada akhirnya akan dilaksanakan secara bilateral antar
negara. Kedua, G-20 sejauh yang diamati belum pernah mengusulkan
dibentuknya suatu lembaga pendanaan yang khusus terfokus pada
pembangunan infrastruktur di luar kerangka Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Regional. Ketiga, terdapat alternatif yang baru-baru ini
telah digagas untuk membentuk lembaga pendanaan multilateral yang
tidak bersifat regional melalui mekanisme BRICS. Atas dasar
pertimbangan ini, melihat potensi negara anggota G-20 menjadi jauh
lebih signifikan dibandingkan dengan sekadar melihat agenda yang
tengah dibentangkan melalui rangkaian pertemuan.
Berdasarkan data World Development Indicators (WDI), diluar Uni
Eropa, Amerika Serikat (AS) merupakan negara dengan perekonomian
terbesar di dunia untuk periode 2007- 2009, kemudian disusul oleh
Jepang diposisi kedua dan Cina diposisi ketiga. Namun pada tahun
2010, Cina berhasil menjadi negara dengan perekonomian terbesar
kedua setelah AS, menggeser Jepang (Hosaka 2011). Hingga tahun 2011,
PDB Cina terus meningkat namun masih cukup jauh untuk mendekati
PDB AS yang mencapai US$ 14 triliun. Kondisi ini sangat timpang
dengan PDB negara G-20 lainnya terutama Argentina (US$ 446 miliar)
dan Afrika Selatan (US$ 408 miliar) di tahun yang sama. Sementara itu,
Turki, Arab Saudi, dan Indonesia memiliki PDB dibawah US$1 milliar.
Ketimpangan ini menunjukan jika pertumbuhan ekonomi di dalam
kelompok G-20 dan secara global tidak merata.
Grafik 1. Total Produk Domestik Bruto Negara G-20
(dalam US$)

Sumber:worldbank.org 2012.

40

Global & Strategis, Th. 8, No. 1

Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-20

Seperti diketahui, dalam kurun waktu lima tahun terakhir,
perekonomian dunia dilanda dua krisis ekonomi yang menimpa negaranegara yaitu krisis keuangan global yang berasal dari AS (2008) dan
krisis utang di Uni Eropa (2010). Krisis ini tidak hanya melemahkan
perekonomian AS maupun Eropa namun juga berdampak secara global.
Oleh karena itu, krisis finansial menjadi fokus pertemuan pemimpin
negara G-20 pada tahun 2008.
Namun seiring kesadaran akan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan
dan seimbang, para pemimpin negara G-20 mulai menyerukan
pentingnya infrastruktur.
Infrastruktur yang buruk hanya akan
menghambat pertumbuhan ekonomi setiap negara. Daya saing maupun
produktivitas suatu negara akan berkurang apabila infrastrukturnya
tidak berkembang. Di dalam forum G-20 sendiri, masih ada negaranegara yang kualitas infrastrukturnya masih memprihatinkan.
Pembangunan Infrastruktur di
Indonesia dan Peran G-20
Indonesia merupakan salah satu negara G-20 yang memiliki
permasalahan dalam pembangunan infrastruktur dan termasuk tiga
negara dengan kualitas infrastruktur terburuk di dalam G-20 bersama
India dan Argentina. Masalah infrastruktur telah membuat
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi kurang maksimal. Menyadari
hal ini, pemerintah Indonesia meluncurkan Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI dibentuk
sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk melakukan pemerataan dan
peningkatan kemampuan aksesbilitas melalui pembangunan enam
koridor ekonomi dengan kebutuhan investasi sebesar Rp 4.012 triliun.
Untuk mencapai nilai tersebut, pemerintah membutuhkan investasi dari
pihak-pihak lain seperti BUMN maupun swasta, karena pemerintah
hanya mampu menyediakan 10% dari total investasi yang dibutuhkan
(MP3EI, 2011).
Selain melibatkan BUMN dan swasta, pemerintah Indonesia dapat
mengajak negara lain terutama negara G-20 untuk melakukan investasi
di Indonesia. Di antara negara G-20, Cina, Rusia, dan Korea Selatan
merupakan negara-negara yang makroekonominya cukup baik sehingga
berpotensi untuk melakukan investasi di Indonesia. Cina adalah negara
yang memiliki potensi terbesar, dimana ditengah pertumbuhan ekonomi
dunia yang melambat karena dilanda dua krisis ekonomi secara
berturut-turut, Cina mampu tetap menjadi negara yang mencatat
pertumbuhan ekonomi sekitar 9,3% pada tahun 2011. Tidak hanya itu,
rasio utang pemerintah Cina terhadap PDB juga relatif aman dikisaran
33% dengan cadangan devisa terbesar di dunia yaitu mencapai US$ 3

Global & Strategis, Januari-Juni 2014

41

Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana

triliun. Dengan cadangan devisa sebesar itu, Cina mampu membiayai
MP3EI secara keseluruhan yaitu sekitar 13% dari total cadangan devisa
Cina.
Grafik 2. Total Cadangan Devisa Negara G-20 (dalam US$)

Sumber : worldbank.org 2012.

Oleh karena itu pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan untuk
mengajak Cina agar melakukan investasi di Indonesia terkait dengan
pembangunan infrastruktur. Kiranya perlu digarisbawahi fakta selama
ini Cina lebih banyak menggunakan excess liquidity justru untuk
membantu kestabilan perekonomian AS dengan cara membeli surat
berharga dari AS. Karena itu terdapat ruang dan peluang yang yang
cukup besar bagi Indonesia untuk memanfaatkan excess liquidity ini. Di
ASEAN, Cina dapat diajak untuk berkontribusi dalam ASEAN
Investment Fund dan ssekaligus Indonesia dapat melakukan
pendekatan bilateral dengan Cina terkait investasi infrastruktur
tersebut. Perlu dicatat bahwa Cina memiliki kepentingan untuk
membangun kedekatan dengan Indonesia karena jumlah populasi yang
besar sebagai pangsa pasar dan sebagai negara yang memiliki pengaruh
besar di Asia Tenggara.
Negara kedua yang berpotensi menjadi investor di Indonesia adalah
Rusia (lihat grafik 2). Berdasarkan data Bank Dunia, tingkat
pertumbuhan ekonomi Rusia masih lebih tinggi dibandingkan dengan
negara-negara maju seperti AS, Jerman, dan Inggris pada tahun 2011.
Pertumbuhan ekonomi Rusia mencapai 4,3% sedangkan pertumbuhan
ekonomi AS hanya 1,7% pada tahun yang sama. Selain itu, dilihat dari
rasio defisit anggaran pemerintah terhadap PDB dan rasio utang
pemerintah terhadap PDB pun, keuangan pemerintah Rusia masih lebih
sehat dibandingkan dengan negara maju di forum G-20. Rusia pun
termasuk dalam limanegara yang memiliki cadangan devisa terbesar di
dunia di luar Uni Eropa dengan total cadangan devisa mencapai US$
497 miliar pada tahun 2011.

42

Global & Strategis, Th. 8, No. 1

Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-20

Selain itu, disinyalir Rusia memiliki perhatian terhadap sumber daya
alam batubara di Kalimantan sehingga hal ini dapat menjadi potensi
untuk Indonesia melakukan negosiasi dengan Rusia dalam upaya
menarik investasi Rusia untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Rusia juga memiliki rencana untuk membangun konektivitas antara
Rusia bagian timur dengan negara-negara Asia Tenggara, sehingga
Indonesia dapat memanfaatkan situasi tersebut. Di samping itu, Rusia
secara historis dapat dikatakan memiliki kedekatan dengan Indonesia
pada masa pemerintahan Soekarno.
Adapun Korea Selatan juga berpotensi karena kondisi makroekonomi
negara ini relatif cukup baik. Cadangan devisa Korea Selatan mencapai
US$ 304 miliar pada tahun 2011 dan jumlah PDB Korea Selatan relatif
stabil. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan
hubungan perdagangan dan investasi antara Korea Selatan dan
Indonesia (Marboen 2011).
Negara G-20 lainnya yang berpotensi membantu Indonesia dalam
mengatasi persoalan infrastruktur adalah Jepang. Walaupun mengalami
stagnasi ekonomi, Jepang tercatat sebagai negara yang memiliki
perhatian besar terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Berdasarkan ODA Loan Report tahun 2002 hingga 2007 yang
dikeluarkan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA),
terlihat bahwa terjadi peningkatan alokasi bantuan ODA Jepang yang
diarahkan untuk pembangunan infrastruktur yang terdiri dari sektor
transportasi, telekomunikasi, listrik, dan gas dari tahun ke tahun.
Banyaknya perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia membuat
Jepang mau tidak mau memiliki kepentingan terhadap pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Dalam konteks ini, Indonesia dapat
meningkatkan posisi tawarnya terhadap Jepang dalam menegosiasikan
kepentingan pembangunan infrastrukturnya. Walau demikian, perlu
dipertimbangkan bahwa dibandingkan Jepang, Cina memiliki kelebihan
karena birokrasi Cina lebih efisien.
Dari uraian di atas diketahui bahwa Cina, Rusia, dan Korea Selatan
dapat menjadi mitra alternatif Indonesia untuk pembangunan
infrastruktur di Indonesia di luar Jepang yang hingga saat ini masih
menjadi salah satu investor terbesar untuk sektor tersebut. Namun
kerangka kerjasama bilateral yang dilakukan sebaiknya berangkat dari
posisi daya tawar yang tinggi. Tujuannya adalah agar skema kerjasama
yang dibangun tidak bersifat asimetris. Selain itu, konteks kemitraan
Pemerintah Swasta/KPS (Public Private Partnership/PPP) mendesak
untuk diformulasikan secara jelas sehingga menjadi salah satu alternatif
strategis
untuk
memaksimalkan
pembiayaan
pembangunan
infrastruktur di Indonesia.

Global & Strategis, Januari-Juni 2014

43

Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana

Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan analisis diatas, ada beberapa kesimpulan yang dapat
dihasilkan. Pertama, persoalan pembangunan infrastruktur di Indonesia
terutama disebabkan oleh lemahnya mobilisasi pendanaan negara.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kendala anggaran
sejauh ini adalah dengan memberikan ruang yang lebih besar bagi pihak
swasta (aktor non Negara) baik nasional maupun asing untuk
membangun infrastruktur di Indonesia. Namun perlu disadari bahwa
keberhasilan dalam mobilisasi pendanaan infrastruktur tidak akan serta
merta membuat pemerataan dalam penyediaan fasilitas infrastruktur
bagi masyarakat. Tantangan ke depan bagi Indonesia adalah tidak hanya
mengoptimalkan pendanaan bagi infrastruktur tetapi juga mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia.
Hambatan non-ekonomi juga telah menciptakan kesulitan dalam
pembangunan infrastruktur di Indonesia. Tindakan deregulasi dan
swastanisasi tampaknya diiringi oleh lemahnya kemampuan untuk
mengefektifkan implementasi kebijakan. Ketidakpastian hukum dalam
pembebasan lahan dan jejaring koneksi politik dengan dinamika politik
lokal telah mempersulit implementasi pembangunan infrastruktur di
Indonesia. Dibutuhkan terobosan besar untuk membuat kebijakan
menjadi efektif ketika dilaksanakan.
Terkait peran G-20, agenda pembangunan infrastruktur setidaknya
telah membuat forum G-20 tidak hanya sekedar forum stabilisasi
keuangan tetapi juga menjadi forum untuk agenda pembangunan
infrastruktur. Namun mengingat forum G-20 tidak bersifat mengikat
dan lebih merupakan forum policy guidance, tidak terdapat dampak
langsung yang konkret dari agenda pembangunan infrastruktur
terhadap Indonesia. Sekalipun demikian, Indonesia perlu mengaitkan
pentingnya isu pembangunan infrastruktur dengan pertumbuhan
ekonomi di tataran internasional. Dalam kaitan ini tidak semua negara
anggota G-20 memiliki kapasitas untuk mendukung pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Tulisan ini menemukan bahwa hanya Cina,
Rusia, Korea Selatan, Rusia dan Jepang yang memiliki potensi sebagai
sumber pendanaan infrastruktur di Indonesia yang dapat dilakukan
secara bilateral.
Berdasarkan analisa di atas, tulisan ini merekomendasikan dua hal
sebagai berikut. Pertama, Indonesia perlu melakukan pendekatan
khusus kepada negara-negara yang memiliki cadangan devisa yang
besar. Patut pula mencatat bahwa Indonesia memiliki hubungan yang
bersifat khusus melalui kesepakatan “kemitraan strategis” yang bersifat
bilateral yang memuat kerjasama pembangunan infrastruktur dengan
beberapa Negara anggota G-20 seperti Cina, Korea dan Jepang. Oleh

44

Global & Strategis, Th. 8, No. 1

Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-20

karena itu penting bagi Indonesia mengaitkan hubungan strategis
bilateral ini dengan forum multilateral seperti G-20.
Kedua, perlunya Indonesia mencermati dinamika yang terjadi di antara
negara-negara G-20 khususnya yang merupakan anggota BRICS. Seperti
diketahui, BRICS telah menggagas lembaga pendanaan multilateral yang
dapat menjadi sumber pendanaan diluar lembaga multilateral Bretton
Woods. Oleh karena itu, hal yang penting untuk dilakukan oleh
Indonesia adalah mengaitkan kebutuhan infrastruktur di Indonesia
dengan dinamika yang terjadi di dalam BRICS.

Daftar Pustaka
Buku
Diaz, Leonardo Martinez, 2009. “The G-20 After Eight Years: How
Effective a Vehicle for Developing Country Influence”, dalam Woods,
Ngaire dan Leonardo Martinez Diaz (ed.), 2009. Network of
Influence? Developing Countries in a Network Gobal Order. Oxford:
Oxford University Press.
ICD Research, 2011. The Indonesian Defense Industry-Market
Opportunities, Entry Strategies, Analysis and Forecast to 2016.
New York: Business Wire.
Laporan Penelitian
Hui, Ta, et.al., 2011. Special Report : Indonesia-Infrastructure
Bottleneck.Laporan Penelitian Standard Chartered Bank.
Working Papers
Ghani, Ashraft, et.al., 2005. “Closing the Sovereignty Gap: An Approach
to State Building”. Overseas Development Institute Working Paper,
253.
Heenan, Geoffrey, et.al., 2011. “Indonesia : Selected Issue.” IMF Country
Report 11/310.
Sahoo, Pravakar, et al, 2010. “Infrastructure Development and
Economic Growth in China.” Institute of Developing Economies
Discussion Paper, 261.
Makalah Seminar
Sudrajat, 2010. “ASEAN - China FTA: Memahami dan Menyikapi”,
dalam Kuliah Umum Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu

Global & Strategis, Januari-Juni 2014

45

Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana

Hubungan Internasional, 9 Februari 2010. Depok: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Indonesia.
Publikasi Resmi Pemerintah
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011. Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Jakarta : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Laporan Tahunan
Japan International Cooperation Agency (JICA), 2002-2007. ODA Loan
Report 2002-2007.
World Economic Forum (WEF), 2012. The Global Competitiveness
Report 2012-2013.
Artikel Online
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011.Infrastructure
Development
Strategy
in
Indonesia.
[online].
dalam
http://www.oecd.org/gov/regulatory-policy/47377678.pdf. [diakses
5 April 2013].
Bond.org, 2011. G-20 2011 Cannes Summit Outcomes on Infrastructure
Including a summary of the High Level Panel on Infrastructure’s
report
to
the
G20.
[online].
dalam
http://
www.bond.org.uk/data/files/G20_Outcomes_on_Infrastructure_Su
mmary_and_Analysis_24th_Nov.pdf [diakses 15 Maret 2013].
EU, 2012. 2012 Progress Report of the Development Working Group.
[online].
dalam
http://www.consilium.europa.eu/uedocs/
cms_data/docs/pressdata/en/ec/131115.pdf [diakses 15 Maret 2013].
G-20, t.t. Leader’s Statement: The Pittsburgh Summit September 24-25,
2009
[online].
dalam
http://www.g20.org/Documents/pitts
burgh_summit_leaders_statment_250909.pdf [diakses 13 Maret
2013].
G-20, t.t. The G-20 : Its Role and Legacy. [online]. dalam
http://www.g20.org/docs/about/part_G20.html [diakses 11 Maret
2013].
International Monetary Fund (IMF), 2012. World Economic Outlook
Database. [online]. dalam http://www.imf.org/external/pubs/ft/
weo/2012/02/weodata/weoselgr.aspx [diakses 1 Maret 2013].
Kompas.com, 2012. APBN 2013 Tidak Adil. [online]. dalam
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/17/1004392
[diakses 11 Maret 2013].
Marboen, Ade, 2011. Korea Selatan Kini 5 Besar Investasi di Indonesia.
[online]. dalam www.antaranews.com/berita/268277/korea-selatankini-5-besar-investasi-di-indonesia [diakses 4 April 2013].

46

Global & Strategis, Th. 8, No. 1

Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-20

Rudolf, Daniel Wesly, 2013. Harga Minyak Melonjak, Cadangan Devisa
Indonesia Bisa Anjlok. [online]. dalam http://m.metrotvnews.com/
read/news/2013/03/09/137114/Harga-Minyak-MelonjakCadangan-Devisa-Indonesia-Bisa-Anjlok [diakses 4 April 2013].
Suryanto, 2012. Indonesia Usulkan Pembiayaan Infrastruktur Dalam
G-20 [online]. dalam http://www.antaranews.com/berita/307611/
indonesia-usulkan-pembiayaan-infrastruktur-dalam-g20 [diakses 11
Maret 2013].
Wiyanti, Sri, 2012. SBY Dorong Negara G20 Biayai Infrastruktur
Negara Berkembang. [online]. dalam http://m.merdeka.com/
uang/sby-dorong-negara-g20-biayai-infrastruktur-negaraberkembang.html [diakses 11 Maret 2013].
World Bank, 2012. World Development Indicators. [online]. dalam
http://databank.worldbank.org/data/views/variableSelection/select
variables.aspx?source=world-development-indicators [diakses 1
Maret 2013].

Global & Strategis, Januari-Juni 2014

47

Makmur Keliat, Asra Virgianita dan Fina Astriana

48

Global & Strategis, Th. 8, No. 1