PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN SAIN (1)

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN SAINS SMP BERORIENTASI
PADA PENDEKATAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF
Hunaepi
hunaepi@yahoo.co.id
Abstrak: Penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang betujuan untuk mengembangkan perangkat
pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan di ujicobakan di kelas VIIb sejumlah 30
siswa pada SMP Negeri 2 Sepulu, menggunakan rancangan One Group Pretest-Postest Design.
Pengembangan perangkat meggunakan model pengembangan Kemp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
validasi RPP kategori layak, buku siswa kategori layak, Lembar Kerja Siswa (LKS) kategori layak, dan lembar
penilaian kategori layak dengan reliabilitas instrumen validitas RPP 91%; Buku siswa 90%; Lembar Kerja
Siswa 92%. Aktivitas guru yang menonjol adalah membimbing percobaan sebesar 22% pada pertemuan satu
(P1) dan pada pertemuan kedua (P2) 24%. Aktivitas siswa yang menonjol adalah Melakukan pengamatan
22% (P1) dan melakukan pengamatan 24% pada (P2). Keterlaksanaan pembelajaran pada (P1 dan P2)
mayoritas terlaksana (92%) dan (75%). Respon siswa terhadap perangkat dan pembelajaran berkatagori baik
bahkan respon positif. Kemampuan kognitif dilihat dari ketuntasan indikator pembelajaran (O 1) rata-rata <
60% dikategori tidak tuntas, (O2) rata-rata ≥ 60% dikategori tuntas, ketuntasan individual pada (O 1) rata-rata <
60 kategori tidak tuntas, (O2) rata-rata ≥ 65 kategori tuntas, dan ketuntasan secara klasikal pada (O 1) < 75%
dikategorikan tidak tuntas, sedangkan pada (O 2) ≥ 75% Tuntas. Simpulan penelitian menunjukkan bahwa
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat pada materi kerusakan dan pencemaran lingkungan di SMP Negeri 2
Sepulu dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa dan perangkat pembelajaran yang digunakan dalam

penelitian ini berkategori valid dan reliabel.
Kata Kunci: Sains Teknologi Masyarakat, Kognitif.
A. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah membawa perubahan di semua aspek kehidupan
manusia, banyak permasalahan dapat dipecahkan
dengan berbagai upaya penguasaan dan peningkatan
IPTEK. Perkembangan ini menjadi tantangan
pendidikan yang cukup serius, di samping
menyediakan lulusan yang memiliki intelektual tinggi
dalam menghadapi era globalisasi. Pendidikan juga
harus mampu memecahkan persoalan disintegrasi
bangsa. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan
nasional untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(Sisdiknas, 2008:6).
Ilmu pengetahuan alam (sains) diharapkan dapat
menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari
dirinya sendiri dan alam sekitarnya sehingga siswa
dapat lebih menghargai dan memiliki sikap yang
positif terhadap lingkungan. Pendidikan sains
menekankan pemberian pengalaman secara langsung.

Karena
itu,
siswa
perlu
dibantu
untuk
mengembangkan sejumlah keterampilan proses
supaya mereka mampu mempelajari dan memahami
dengan seluruh indra, mengajukan hipotesis,
menggunakan alat dan bahan secara benar,

mengajukan pertanyaan, menafsirkan data, dan
mengkomunikasikan hasil temuan secara beragam.
Hal ini disesuaikan dengan tingkat perkembangan
kognitif siswa SMP yang umumnya masih berada
pada fase transisi dari konkrit ke formal.
Pembelajaran sains perlu diarahkan pada proses
pemecahan masalah yang dapat menunjang
kelestarian kehidupan manusia dalam suasana budaya
yang kondusif. Pemberian materi sains diharapkan
sesuai
dengan
tingkat
pertumbuhan
dan
perkembangan siswa. Dalam hal ini, siswa mencari
pengalaman langsung yang dapat membawa mereka
dalam merencanakan kehidupan di masa mendatang
dan eksistensinya sebagai manusia yang menguasai
teknologi yang berwawasan lingkungan.
Namun pada kenyataannya, dalam pendidikan

sains di tingkat menengah pertama khususnya di
SMP Negeri 2 Sepulu, masih kurang terlihat siswa
diberikan kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan untuk mengambil keputusan dalam
hubungannya dengan masalah sederhana yang ada
disekitarnya dan pengembangan kemampuan kognitif

1

masih rendah, sebab itu perlu ada perubahan dalam
proses pembelajaran.
Upaya dalam perbaikan dan perubahan proses
belajar mengajar, tentunya membutuhkan perhatian
yang lebih dari semua kalangan untuk mengubah
paradigma pembelajaran sains sehingga domain
kognitif, psikomotor, dan afektif dapat tercapai secara
bersamaan. Selain itu juga dibutuhkan pendekatan
untuk mengaktifkan siswa secara fisik maupun
mental dalam suatu pembelajaran sains, mengaitkan
bahan pelajaran dengan penerapannya di dalam

kekehidupan sehari-hari atau upanya mengkonkritkan
objek bahasan, melatih keterampilan proses sains,
dan memadukan antara sains, teknologi dan
masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk
pengembangan perangkat pembelajaran yang sesuai
dengan pendekatan dan metode yang akan
diterapkan.
Salah satu cara untuk memadukan sains,
teknologi dan masyarakat serta untuk mencapai
kompetensi domain kognitif, psikomotor, dan afektif
adalah menggunakan pendekatan STM. Pendekatan
ini, diharapkan siswa mampu mencapai ketiga ranah
pembelajaran tersebut, serta mau dan mampu
menerapkan prinsip-prinsip sains yang dikaitkan
dengan teknologi sehingga dapat diterapkan di
lingkungan Masyarakat. Bybee (1986) dalam Collete
dan Chiappetta, 1994:174) menyatakan bahwa
gerakan sains, teknologi, dan masyarakat memiliki
potensi untuk mendidik para remaja menghadapi
dunia kehidupan, baik masa sekarang maupun masa

yang akan datang.
Pendekatan STM merupakan pendekatan yang
dapat menjangkau ketiga ranah dalam pendidikan
yakni ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Yager
(1996) dalam Poedjiadi (2005:105) menjabarkan
ketiga ranah tersebut menjadi enam bagian yakni
konsep, proses, kreativitas, penerapan, sikap, dan
hubungan. Dalam penelitian ini hanya terfokus pada
peningkatan ranah konitif, hal ini karena
pembelajaran sebelumnya belum mengarah pada
peningkatan kemampuan kognitif berdasarkan
taksonomi Bloom yang tingkatannya mulai dari yang
sederhana sampai yang kompleks. Selain itu juga
disebabkan karena kondisi sekolah yang masih baru
dan kompetensi guru tidak sesuai dengan bidang
yang
diajarkan,
paradigma
guru
dalam

menginterpretasikan
dan
mengembangkan
kurikulum, masih berbasis konten sehingga guru
dituntut untuk menyampaikan materi tepat pada
waktunya dan tidak berinovasi dalam pembelajaran,
guru masih kurang melatih siswa dalam kemampuan
berfikir, belum sepenuhnya guru memanfaatkan
media pembelajaran yang ada di sekitar, selain itu
juga cara penyampaian materi oleh guru masih

menggunakan pendekatan kompetisi dan individual
serta kurang bervariasi. Sehingga menyebabkan
kemampuan kognitif siswa masih rendah, dengan
kondisi ini maka perlu adanya pembelajaran yang
dapat membantu meningkatkan kemampuan kognitif
siswa.
Ranah psikomotor dalam penelitian ini, hanya
sebagai penunjang untuk meningkatkan pemahaman
siswa mengenai konsep-konsep materi yang

diajarkan, pada ranah ini siswa melakukan proses
praktikum sebagai bentuk aplikasi dan pembuktian
dari kajian teori yang diajarkan, sedangkan ranah
afektif tidak dilakukan atau tidak diamati karena
ranah ini selain sulit untuk diamati, ranah afektif juga
tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu yang
pendek atau membutuhkan waktu yang lama untuk
dapat menumbuhkan kepribadian atau karakter siswa,
sehingga
siswa
dapat
menerapkan
atau
mengimplementasikan karakter tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
Keberhasilan siswa dalam belajar, yang bisa
meningkatkan kemampuan kognitif, dan memiliki
sikap ilmiah sangat dipengaruhi oleh kondisi internal
maupun faktor eksternal siswa. Salah satu faktor
eksternal yang ikut berpengaruh keberhasilan siswa,

dalam memahami suatu topik pembelajaran yang
berasal dari guru adalah kemampuan guru dalam
memilih metode dan pendekatan pembelajaran yang
tepat.
Dijelaskan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), bahwa bahan kajian ekosistem
dengan materi pokok pencemaran dan kerusakan
lingkungan merupakan salah salah satu materi yang
diajarkan pada kelas tujuh (VII), semester dua (II),
dengan kompetensi dasar: Memahami saling
ketergantungan dalam ekosistem Depdiknas (2006:2),
yang terdapat dalam PP No 22 tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah atau dikenal dengan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Berdasarkan
analisis, materi pencemaran dan kerusakan
lingkungan ini mengaitkan sains, teknologi sebagai
upaya membekali siswa dengan kemampuan yang
dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini memungkinkan materi pencemaran dan

kerusakan
lingkungan
diajarkan
dengan
menggunakan
pendekatan
sains
teknologi
masyarakat.
Dikemukakan dalam Permendiknas bahwa
satuan pendidikan dasar dan menengah dapat
mengembangkan kurikulum dengan standar yang
lebih tinggi dari yang telah ditetapkan, dengan
memperhatikan panduan penyusunan KTSP dan
BNSP. Keleluasaan sekolah dalam merancang,
mengembangkan,
dan
mengimplementasikan

2


kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan
potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh
sekolah. Dalam penerapan kurikulum ini, guru
sebagai orang yang paling utama dalam
mengembangkan
kurikulum.
Pengembangan
kurikulum tersebut, yaitu dengan membuat perangkat
pembelajaran yang disesuaikan dengan potensi dan
kondisi sekolah, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan relevansi pembelajaran dengan
kebutuhan sekolah setempat.
Penelitian sebelumnya tentang pendekatan STM
yang dilakukan oleh Suharyono (2003:71-72)
menyatakan bahwa dengan pendekatan ini, siswa
memberikan respon positif dengan proporsi 0,96 dan
proporsi ketuntasan adalah tinggi, yaitu ketuntasan
THB produk 93%; ketentuan THB psikomotor 89%;
ketentuan THB aplikasi 85%; dengan indeks
sensitivitas rata-rata 0,89 yang artinya pendekatan
sains teknologi masyarakat memberikan efek
terhadap peningkatan literasi sains dan teknologi.
Mengacu pada latar belakang di atas, peneliti
menerapkan
hasil
pengembangan
perangkat
pembelajaran sains SMP berorientasi pada
pendekatan STM untuk meningkatkan kemampuan
kognitif

SMP berorientasi pada pendekatan sains,
teknologi, masyarakat?
f) Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran
dengan
menggunakan
perangkat
pembelajaran sains SMP berorientasi pada
pendekatan sains, teknologi, masyarakat?
g) Hambatan-hambatan apa saja yang menjadi
kendala selama proses pembelajaran dan
bagaimana alternatif solusinya?
2. Tujuan Penelitian
a) Mendeskripsikan
kelayakan
perangkat
pembelajaran sains SMP berorientasi pada
pendekatan sains, teknologi, masyarakat yang
dikembangkan.
b) Mendeskripsikan
keterlaksanaan
pembelajaran sains SMP yang menggunakan
perangkat pembelajaran berorientasi pada
pendekatan sains, teknologi, masyarakat.
c) Mendeskripsikan aktivitas guru dalam
pembelajaran sains SMP berorientasi pada
pendekatan sains, teknologi, masyarakat.
d) Mendeskripsikan aktivitas siswa dalam
pembelajaran sains SMP berorientasi pada
pendekatan sains, teknologi, masyarakat.
e) Mengukur
kemampuan kognitif siswa
setelah selesai melaksanakan sintaks
pembelajaran/RP dengan pembelajaran sains
SMP berorientasi pada pendekatan sains,
teknologi, masyarakat.
f) Mendeskripsikan respon siswa setelah
melaksanakan
pembelajaran
dalam
kegiatan belajar mengajar dengan
menggunakan perangkat pembelajaran
sains SMP berorientasi pada pendekatan
sains, teknologi, masyarakat.
g) Mendeskripsikan hambatan-hambatan yang
dialami
selama
proses
implementasi
pembelajaran sains SMP berorientasi pada
pendekatan sains, teknologi, masyarakat

1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
“Bagaimana
keefektifan
perangkat
pembelajaran sains SMP berorientasi pada
pendekatan STM untuk meningkatkan kemampuan
kognitif ?”. Berdasarkan rumusan masalah utama
penelitian ini dapat diuraikan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
a) Bagaimana kelayakan perangkat pembelajaran
sains SMP berorientasi pada pendekatan sains,
teknologi, masyarakat yang dikembangkan.
b) Bagaimana keterlaksanaan pembelajaran sains
SMP dengan pendekatan sains, teknologi,
masyarakat?
c) Bagaimana aktivitas guru dalam kegiatan
belajar mengajar dengan menggunakan
perangkat
pembelajaran
sains
SMP
berorientasi pada pendekatan sains, teknologi,
masyarakat?
d) Bagaimana aktivitas siswa dalam kegiatan
pembelajaran
dengan
menggunakan
perangkat
pembelajaran
sains
SMP
berorientasi pada pendekatan sains, teknologi,
masyarakat?
e) Bagaimana kemampuan kognitif siswa setelah
kegiatan
pembelajaran
dengan
menggunakan perangkat pembelajaran sains

B. METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
pengembangan karena mengembangkan perangkat
pembelajaran.
Perangkat
pembelajaran
yang
dikembangkan berorientasi pada pendekatan sains,
teknologi, dan masyarakat untuk meningkatkan
kemampuan kognitif. Subjek penelitian pada tahap
implementasi adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2
Sepulu, Bangkalan, Madura. semester II tahun ajaran
2010/2011. Model yang digunakan
dalam
pengembangan perangkat pembelajaran ini adalah
mengacu pada model Kemp.

3

Dalam kegiatan penelitian ini, implementasi di
kelas menggunakan One Group Pretest-Postest
Design (Tuckman, 1978:129) polanya adalah:
Uji awal
Perlakuan
Uji akhir
O1
X
O2
Keterangan:
O1 = Memberikan uji awal, untuk merekam
penguasaan
siswa
terhadap
topik
pencemaran dan kerusakan lingkungan
sebelum diberikan perlakuan.
X=
Memberikan perlakuan pada siswa, yaitu
dengan
menggunakan
perangkat
pembelajaran
materi sains/IPA dengan
pendekatan STM.
O2 = Memberikan uji akhir O2, untuk merekam
penguasaan siswa terhadap topik pencemaran
dan kerusakan lingkungan setelah diberikan
perlakuan.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
cara observasi/pengamatan, pemberian angket, dan
pemberian Tes. Kemudian hasil tersebut dianalisis
secara deskriptif kualitatif dan statistik deskriptif.

Tabel di atas menunjukkan keterlaksanaan RPP
pada pertemuan I dan II sebesar (83%) berarti RPP
dapat terlaksana dengan baik dengan reliabilitas
sebesar (91%), hal ini menunjukkan bahwa instrumen
keterlaksanaan RPP dapat dikategorikan reliabel.
2. Hasil Pengamatan Aktivitas Guru dalam
KBM
Hasil pengamatan aktivitas guru secara ringkas
disajikan dalam bentuk diagram batang pada Gambar
berikut:

C. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil uji coba dalam penelitian,
diperoleh hasil sebagai berikut.
1. Keterlaksanaan
Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP)
Keterlaksanaan rencana pembelajaran dengan
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat. Rangkuman
hasil penelitian keterlaksanaan dapat dilihat pada
Tabel berikut:

Keterangan:
1. Memotivasi siswa
2. Menjelaskan tujuan pembelajaran
3. Mengemukakan isu-isu lingkungan yang ada di
masyarakat
4. Menyampaikan informasi
5. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan
balik
6. Menjawab pertanyaan siswa
7. Memberi kesempatan kepada siswa untuk
menyampaikan ide
8. Membagi siswa ke dalam kelompok belajar
9. Membimbing percobaan
10. Mengarahkan diskusi
11. Menyimpukkan hasil diskusi
12. Prilaku yang tidak relevan
Gambar digaram di atas menunjukkan bahwa
prekuensi aktivitas guru yang paling dominan pada
pertemuan satu adalah menyampaikan informasi,
menjawab pertanyaan siswa, membimbing percobaan
dan mengarahkan diskusi. Pada pertemuan kedua
prekuensi aktivitas guru yang paling dominan adalah
menjawab pertanyaan siswa, membimbing percobaan
dan mengarahkan diskusi. Hasil analisis tingkat
reliabilitas instrumen sebesar (88%) sehingga
instrumen pengamatan aktivitas guru dapat dikatakan
reliabel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Borich
(1994:385) menyatakan instrumen dikatakan baik

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa
penilaian pada masing-masing aspek pada
keterlaksanaan pembelajaran, menunjukkan bahwa
penilaian rata-rata berkatagori
baik. sedangkan
proses pembelajaran manunjukkan KBM berpusat
pada siswa. Ringkasan keterlaksanaan dan reliabilitas
RPP pada pertemuan satu dan dua dapat dilihat pada
Tabel berikut:

4

(reliabel) jika instrumen memiliki koefisien
reliabilitas ≥ 0,75 (75%).
3. Hasil pengamatan aktivitas Siswa dalam KBM
Hasil pengamatan aktivitas siswa secara
ringkas disajikan dalam bentuk diagram batang
pada Gambar berikut:
Gambar diagram di atas menunjukkan respon
siswa pada perangkat pembelajaran dan proses
pembelajaran menunjukkan respon positif atau
merepon dengan baik.
5. Analisis Tes Hasil Pembelajaran
a. Reliabilitas Tes Butir Soal
Hasil analisis perhitungan tingkat reliabilitas
butir soal pilihan ganda dengan mengunakan rumus
KR-20 adalah r11 sebesar (0,80) hal ini menunjukkan
bahwa soal yang digunakan reliabel. Pada butir soal
uraian yang dianalisis dengan formula Alpha
didapatkan reliabilitas sebesar (r 11 = 0,76). Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat reliabilitas butir soal
uraian dikategorikan reliabel.
b. Sensitivitas Butir Soal
Sensitivitas soal tes hasil belajar kognitif yang
diperoleh dapat dilihat pada Tabel berikut:

Keterangan :
1. Mendengarkan/memperhatikan penjelasa guru
2. Menyampaikan masalah
3. Bertanya kepada guru
4. Membaca dan mencari informasi lainnya
5. Mengerjakan LKS
6. Berdiskusi dalam kelompok
7. Mengambil dan menyiapkan alat dan bahan
praktikum
8. Melakukan pengamatan
9. Menyajikan hasil pengamatan
10. Membersihkan alat dan bahan yang telah dipakai
11. Mencatat
12. Prilaku yang tidak relevan
Gambar digaram di atas menunjukkan bahwa
prekuensi aktivitas siswa yang paling dominan
pada pertemuan satu adalah mendengarkan penjelasa
guru, Bertanya kepada guru, Melakukan pengamatan,
dan Menyajikan hasil pengamatan. Sedangkan pada
pertemuan kedua aktivitas yang paling dominan
adalah
bertanya
kepada
guru,
melakukan
pengamatan, dan menyajikan hasil pengamatan. Hasil
analisis reliabilitas instrumen aktivitas siswa sebesar
(92%). Nilai koefisien reliabilitas instrumen tersebut
melebihi (75%) dengan demikian instrumen ini
termasuk kedalam kategori instrumen yang baik
(Borich, 1994: 385).
4. Respon siswa terhadap proses pembelajaran
Presentase respon siswa terhadap pembelajaran
divisualisasikan dengan diagram batang pada
Gambar berikut:

Tebel di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata
sensivitas butir soal rata-rata lebih besar 0,30 hal ini
berarti butir soal memiliki nilai sensivitas yang baik
dan peka untuk mengukur efek pembelajaran.
Meskipun butir soal nomor 4, 5,11, dan 12 sensivitas
butir soalnya bernilai kurang dari 0,30.
c. Analisis Kemampuan Kognitif Siswa
Adapun kemampuan kognitif diketahui dari:
1) Ketuntasan Indikator
Adapun hasil analisis ketercapaian indikator
seperti yang terlihat pada Tabel berikut:

5

pokok bahasan kerusakan dan pencemaran
lingkungan pada bahan kajian ekosistem.
6. Hambatan-hambatan
Kendala-kendala
yang
ditemukan
saat
implementasi perangkat pembelajaran dapat dilihat
pada Tabel berikut:

Keterangan: T: Tuntas TT
:Tidak
Tuntas
Tabel di atas memperlihatkan bahwa ketuntasan

indikator pembelajaran pada uji awal dan uji akhir
memiliki perbedaan yang sangat jelas yaitu pada uji
awal keseluruhan butir indikator tidak dinyatakan
tuntas karena persentase nilai kurang dari (60%).
Ketuntasan
indikator
pembelajaran
setelah
melakukan
proses
pembelajaran
(posttest)
dikategorikan tuntas 100% karena nilai mencapai
atau lebih besar dari (60%).
2) Ketuntasan Individual
Rangkuman hasil analisis ketuntasan
individual dan klasikal dapat dilihat pada Tabel
berikut:

D. PEMBAHASAN
1. Hasil Implementasi Perangkat
a) Keterlaksanaan
Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP)
Keterlaksanaan dalam pembelajaran dengan
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat secara
umum presentasi nilai sebesar (83%). Tingkat
reliabilitas (91%). Hal ini menunjukkan bahwa RPP
pada pokok bahasan kerusakan dan pencemaran
lingkungan dengan menggunkan pendekatan Sains
Teknologi Masyarakat (STM) terlaksana dengan
baik, serta instrumen keterlaksanaan RPP yang
digunakan dapat dikategorikan reliabel.
Hasil pengamatan pada
kegiatan awal atau
pendahuluan
yang terdiri dari aspek inisiasi
dikategorikan baik, memberikan orientasi masalah
dikategorikan baik, dan menyampaikan tujuan
pembelajaran dikategorikan baik, dengan nilai ratarata dari pendahuluan sebesar (4,0) dan secara umum
untuk pendahuluan dikategorikan baik.
Aspek inisiasi merupakan bentuk motivasi dalam
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM),
aspek ini merupakan ciri khas dari pendekatan STM,
adanya
pendahuluan
dimulai
dari
inisiasi/invitasi/apersepsi untuk memudahkan siswa
mengemukakan isu-isu atau masalah yang ada di
masyarakat yang terkait dengan pokok bahasan yang
diajarkan yaitu tentang kerusakan dan pencemaran
lingkungan pada bahan kajian ekosistem.
Perbedaan hasil pengamat pada aspek
inisiasi/invitasi/apersepsi pada pertemuan pertama
sebesar (5,0) dan pertemuan kedua sebesar (4,0) lebih
disebabkan karena pada pertemuan pertama guru
lebih aktif memotivasi dan membantu siswa untuk
memusatkan perhatian pada pelajaran. Pertemuan
kedua lebih rendah karena kondisi siswa sudah bisa
beradaptasi dengan lingkungan belajar yang baru,

Tabel di atas
menunjukkan
Keterangan:
T : Tunta
TT : Tidakbahwa
Tuntas ketuntasan
Pretest atau uji awal dinyatakan 100% tidak tuntas,
karena nilai rata-rata dibawah (60%). Pada Posttest
atau uji akhir dari 30 siswa terdapat 26 siswa
dikategorikan tuntas dengan persentase nilai lebih
besar atau sama dengan 0,60 atau (≥ 60) dalam
mempelajari pokok bahasan kerusakan dan
pencemaran lingkungan.
Sedangkan
4 siswa
dinyatakan tidak tuntas dengan persentase kurang
dari 0,60 (≥ 60) dalam mempelajari pokok bahasan
kerusakan dan pencemaran lingkungan.
3) Ketuntasan Klasikal
Persentase ketuntasan klasikal siswa mencapai
(86%) dan dikategorikan tuntas dalam mempelajari

6

sehingga dengan sendirinya siswa termotivasi dan
dapat mengungkapkan isu-isu yang terkait dengan
pengalaman mereka sehari-hari sesuai dengan pokok
bahasan yang sedang diajarkan.
Mahmudin (2009:3) mengatakan memulai
pembelajaran dengan aspek inisiasi atau invitasi
dapat
melatih
keberanian
siswa
untuk
mengungkapkan masalah-masalah yang terkait
dengan kehidupan sehari-harinya pada saat proses
pembelajaran.
Mengawali pembelajaran dengan menggali
informasi yang terkait dengan pengalaman kehidupan
sehari-hari siswa yang berhubungan dengan materi
yang diajarkan merupakan salah satu kekhasan model
pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM).
Poedjiadi
(2005:127) menyatakan manfaat
dikemukakannya isu atau masalah pada awal
pembelajaran (pendahuluan), dapat mengundang pro
dan kontra sehingga mengharuskan siswa untuk
berpikir dan menganalis isu tersebut. Hal ini dapat
menciptakan interaksi antara siswa dengan guru dan
antara siswa dengan siswa. Selain itu juga mengawali
pembelajaran dengan menggali isu-isu atau
permasalahan dari siswa dapat menumbuhkan
keberanian siswa berbicara untuk mengemukakan
serta mempertahankan pendapat tentang ide-ide yang
dimiliki.
Kegiatan inti terbagi menjadi tiga tahap yaitu
tahap pembentukan dan pengembangan konsep, tahap
aplikasi konsep, dan tahap pemantapan konsep.
Secara umum penilaian pada kegiatan inti
dikategorikan baik dengan nilai sebesar (3,6).
Pertemuan pertama dan kedua tahap pembentukan
dan pengembangan konsep diajarkan dengan
menggunakan metode demostrasi, tanya jawab, dan
diskusi informasi, dikategorikan baik. Pada tahap ini
ditemukan beberapa temuan yang terkait dengan
proses pembelajaran di kelas. Temuan-temuan
tersebut antara lain masih banyak siswa yang belum
berani mengungkapkan pendapat, atau menjawab
pertanyaan serta dalam mengemukakan ide atau
pendapat masih ada yang prakonsepsi dengan
pengertian konsep-konsep yang sebenarnya. Pada
tahap ini siswa mengalami atau memiliki prakonsepsi
yang berbeda dengan konsep yang sebenarnya,
sehingga mengakibatkan siswa dapat mengalami
konflik kognitif. Lee at al (2003) menjelaskan
bahwa komplik kognitif adalah sebuah keadaan
dimana siswa merasa adanya ketidakcocokan antara
strukur kognitif mereka dengan keadaan lingkungan
sekitarnya atau antara komponen-komponen dari
struktur kognitif mereka.
Digunakannya metode demostrasi agar siswa
lebih memahami isi materi yang akan dipelajari dan
keterkaitannya dengan kondisi yang sebenarnya, serta

siswa diharapkan lebih mudah memahami konsepkonsep yang ada dalam materi pelajaran tersebut,
khususnya pada pokok bahasan kerusakan dan
pencemaran lingkungan. Sebagai salah satu contoh
digunakannya metode demostrasi pada indikator ke
empat yaitu untuk mengetahui konsekuensi
kerusakan hutan terhadap lingkungan, guru
membagikan madu dan menyuruh siswa untuk
mencicipi serta bertanya darimanakah asal madu?
Siswa menjawab sarang lebah. Guru kembali
bertanya dimanakah umumnya lebah bersarang?
siswa menjawab dipohon-pohon yang ada di hutan.
Setelah siswa menjawab guru memulai pembentukan
dan pengembangan konsep tentang hutan.
Pada akhir pembentukan konsep siswa lebih
memahami cara mengatasi masalah terhadap isu-isu
yang telah dikemukakan oleh guru maupun siswa
pada awal pembelajaran, hal ini tercermin pada tahap
aplikasi konsep dan tahap evaluasi yang bersifat
verbal.
Sebelum tahap aplikasi konsep, guru terlebih
dahulu mengelompokkan siswa kedalam 6 kelompok
belajar, yang terdiri dari 5 orang siswa.
Pengelompokan siswa ini dilakukan untuk
memudahkan guru megatur siswa dalam proses
aplikasi konsep atau melakukan percobaan. selain itu
tujuan pembentukan kelompok adalah agar siswa
dapat diberi tugas dan tanggung jawab di antara
anggota kelompoknya (Arends, 2008:112). Proses
pembentukan kelompok ini dilakukan pada
pertemuan pertama sedangkan pada pertemuan kedua
tidak dilakukan karena kelompok yang digunakan
tetap.
Tahap aplikasi konsep, pada tahap ini siswa
melakukan percobaan sederhana yang terkait dengan
materi yang telah dipelajari. pada pertemuan pertama
siswa melakukan percobaan sederhana mengenai
simulasi tanah longsor dan pengaruh pencemaran
udara terhadap serangga, sesuai dengan sub bab yang
dibahas yaitu kerusakan hutan dan pencemaran udara.
Pada tahap ini guru lebih banyak berperan
dikarenakan siswa baru pertama kali melakukan
percobaan, dan kondisi siswa sama sekali belum
mengenal alat-alat sederhana yang digunakan dalam
percobaan. Untuk memudahkan dan mengatur waktu,
sebelum melakukan percobaan guru terlebih dahulu
mendemonstrasikan
prosedur
atau
cara-cara
menggunakan alat sederhana yang akan digunakan
dalam percobaan.
Pertemuan kedua tahap aplikasi konsep, siswa
melakukan percobaan sederhana yaitu tentang
pengaruh pencemaran deterjen terhadap organisme
air dan pencemaran tanah oleh deterjen, sesuai
dengan Buku Ajar dan Lembar Kerja Siswa (LKS).
Pertemuan kedua siswa sudah lebih memahami dan

7

mengenal alat dan bahan yang digunakan dalam
praktikum,
sehingga
guru
hanya
sebatas
membimbimbing jalannya proses paraktikum sampai
selesai. Akan tetapi meskipun kondisi siswa sudah
lebih memahami, guru masih dominan membimbing
siswa karena proses praktikum dilaksanakan di
lapangan atau di luar kelas.
Setelah proses praktikum dilaksanakan, untuk
melatih siswa dalam mengemukakan ide dan
pendapat, guru melanjutkan pembelajaran dengan
mengadakan presentase hasil pengamatan, karena
keterbatasan waktu maka guru hanya memberikan
kesempatan kepada satu kelompok saja.
Tahap ke empat dari proses pembelajaran ini
adalah pemantapan konsep hal ini dilakukan untuk
memantapkan konsep-konsep yang telah dipelajari,
khususnya mengenai materi kerusakan dan
pencemaran lingkungan. Poedjiadi (2006:131)
mengatakan pemantapan konsep perlu dilaksanakan
pada akhir pembelajaran, karena konsep-konsep
kunci yang ditekankan pada akhir pembelajaran akan
memiliki retensi lebih lama dibandingkan dengan
tidak dimanfaatkan atau di tekankan oleh guru pada
akhir pembelajaran.
Tahap yang terakhir atau kelima adalah evaluasi,
proses evaluasi dilakukan pada akhir pembelajaran
setelah
tahap pemantapan konsep. Evalusi ini
dilakukan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah
menangkap atau memahami materi pelajaran yang
telah di pelajari atau yang telah di ajarkan guru. Pada
tahap penutupan selain diadakan evalusi secara
verbal guru juga pada pertemuan pertama
mengingatkan siswa untuk mempelajari materi yang
akan dipelajari pada pertemuan kedua, yaitu tentang
pencemaran air dan pencemaran tanah.
Penilaian suasana belajar oleh dua orang
pegamat, secara umum dikategorikan baik dengan
nilai sebesar (3,9), yang dijabarkan kedalam 6 aspek.
Aspek kesesuaian KBM dengan tujuan pembelajaran
atau indikator dikategorikan baik dengan nilai
sebesar (4,0), penguasaan konsep dikategorikan baik
dengan nilai sebesar (3,5), Antusias guru kategori
sangat baik dengan nilai sebesar (4,8), Antusias siswa
dengan kategori sangat baik dengan nilai sebesar
(4,3), aspek aspek berpusat pada guru (2,5) dengan
kategori cukup baik, dan KBM berpusat pada siswa
(4,5) dengan kategori sangat baik. Untuk aspek
pembelajaran yang berpusat pada siswa pada proses
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
Sains Teknologi masyarakat (STM) ini sesuai dengan
teori konstruktivis yang menyatakan bahwa siswa
secara pribadi menemukan dan menerapkan
informasi konpleks untuk membangun pengetahuan
dalam benaknya sendiri.
b) Aktivitas Guru

Aktivitas guru merupakan semua kegiatan guru
selama proses pembelajaran berlangsung dengan
menggunakan
pendekatan
Sains
Teknologi
Masyarakat (STM) pada pokok bahasan Kerusakan
dan Pencemaran Lingkungan
bahan kajian
Eksosistem.
Data hasil analisis aktivitas guru yang disajikan
pada Tabel 4.8 menunjukkan bahwa frekuensi
aktivitas guru memotivasi siswa memiliki perbedaan
antara pertemuan I dengan pertemuan II. Frekuensi
pertemuan I mencapai 7% sedangkan pertemuan
kedua mengalami penurunan frekuensi menjadi 5%.
Tingginya frekuensi guru memotivasi siswa pada
pertemuan pertama, disebabkan kondisi siswa masih
belum sepenuhnya tertarik untuk belajar dengan
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM),
Sehingga guru membutuhkan waktu meningkatkan
motivasi siswa untuk belajar dengan menggunakan
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM).
Pertemuan kedua siswa sudah lebih termotivasi untuk
belajar dengan pendekatan yang digunakan.
Memotivasi siswa untuk belajar merupakan salah
satu komponen yang sangat penting dalam proses
pembelajaran, jika proses pembelajaran yang
diinginkan efektif dan berhasil. Nur (2008:2)
menyatakan motivasi dalam proses pembelajaran
merupakan suatu unsur paling penting dari
pengajaran efektif atau pengajaran yang berhasil.
Frekuensi aktivitas guru dalam menjelaskan
tujuan pembelajaran pada pertemuan pertama dan
kedua memiliki frekuensi yang sama yaitu 2%.
Kesamaan ini dikarenakan dalam menjelaskan tujuan
pembelajaran, guru hanya menjelaskan tujuan secara
umum tentang materi yang diajarkan yaitu kerusakan
dan pencemaran lingkungan, kerusakan hutan, dan
pencemaran udara untuk pertemuan pertama,
sedangkan untuk pertemuan kedua materi yang
disampaikan adalah pencemaran air dan pencemaran
tanah. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada awal
pembelajaran untuk membantu guru dan siswa
tentang arah pembelajaran sehingga sampai pada
tujuan yang diinginkan. Nur (2008:27) menyatakan
bahwa tujuan pembelajaran akan membantu guru dan
siswa untuk mengetahui kemana mereka akan pergi
dan kapan mereka akan sampai pada tujuan.
Aktivitas
guru
mengemukakan
isu-isu
lingkungan dimasyarakat pada pertemuan pertama
dan kedua memiliki perbedaan yaitu pertemuan
pertama sebesar (5%), sedangkan pada pertemuan
kedua mencapain (7%). Guru menyampaikan
informasi pada pertemuan pertama sebesar (13%)
sedangkan pada pertemuan kedua (9%), tingginya
frekuesi guru menyampaiakan informasi pada
pertemuan partama karena materi yang disampaikan
oleh guru bersifat masih baru dan siswa belum bisa

8

beradaptasi dengan pendekatan yang digunakan
dalam pembelajaran, seperti pada kegiatan
pendahuluan pertemuan pertama, dimana guru harus
lebih banyak menyampaikan informasi yang terkait
dengan materi yang akan diajarkan. Informasi yang
disampaikan oleh guru merupakan pengetahuan
prosedural yang disampaikan secara
bertahap.
Pertemuan kedua frekuensi menyampaikan informasi
sebesar (9%), jika dibandingkan dengan pertemuan
pertama frekuensi pertemuan kedua lebih kecil. Pada
pertemuan keduan ini guru hanya menyampaikan
informasi dan mengingatkan kembali prosedur yang
akan digunakan dan mengingatkan konsep-konsep
yang
terkait
dengan
materi
pembelajaran
sebelumnya.
Aktivitas guru mengecek pemahaman dan
memberikan umpan balik kepada siswa mengalami
peningkatan dari pertemuan pertama sebesar (8%) ke
pertemuan kedua sebesar (9%), mengecek
pemahaman siswa untuk mengetahui sejauh mana
perhatian dan pemahaman siswa yang telah
disampaikan dengan cara menanyakan kepada siswa
tentang materi yang telah disampaikan dan
pemberian umpan balik dengan cara verbal, untuk
mendapatkan hasil terbaik, umpan balik seharusnya
dibuat sesepesifik mungkin, dan diberikan segera
setelah latihan dilaksanakan. Umpan balik yang
diberikan sesuai dengan perkembangan siswa (Nur,
2008:44).
Tinggi rendahnya frekuensi aktivitas guru
menjawab pertanyaan siswa tergantung dari seberapa
banyak siswa bertanya, baik pertanyaan yang
ditujukan kepada guru langsung maupun pada
kelompok yang tidak bisa menjawab pertanyaan.
Frekuensi guru menjawab pertanyaan siswa terdapat
perbedaan pada pertemuan pertama dan pertemuan
kedua, pertemuan pertama sebesar (11%) sedangkan
pada pertemuan ke dua (15%), ini menunjukan
bahwa frekuensi aktivitas bertanya siswa mengalami
peningkatan dan menunjukkan perkembangan pada
aktifitas positif siswa.
Memberikan
kesempatan
siswa
untuk
menyampaikan ide atau pendapat, merupakan salah
satu cara untuk melatih siswa mengungkapkan ide
atau pendapat baik dalam kelompok maupun secara
individu, kemampuan siswa menyampaikan pendapat
menunjukkan perkembangan aktivitas kearah positif
untuk mengemukakan solusi atau pemecahan
masalah.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
pertemuan pertama, guru membagi siswa menjadi 6
kelompok
beranggotakan
5
orang
siswa.
Pembentukan kelompok ini untuk memudahkan
siswa melakukan pengamatan dalam percobaan
sederhana yang terdapat dalam LKS. Pembentukan

kelompok belajar bertujuan agar siswa dapat diberi
tugas dan tanggung jawab diantara anggota
kelompoknya (Arends, 2008:112).
Data yang disajikan pada Tabel 4.8 mengenai
aktivitas guru, menunjukkan bahwa aktivitas guru
yang dominan pada pertemuan satu adalah
membimbing percobaan
yaitu sebesar (22%),
dominannya membimbing percobaan ini dikarenakan
siswa pada pertemuan pertama mesih belum
mengenal alat yang digunakan dalam proses
percobaan, siswa baru pertama kali melakukan
percobaan, dan baru pertama menggunakan Lembar
Kerja Siswa (LKS) sebagai salah satu media belajar.
Aktivitas guru pada pertemuan pertama ini lebih
dominan membimbing siswa dalam proses
percobaan, untuk mengatasi dan memenejmen waktu,
siswa sebelum melakukan percobaan terlebih dahulu
guru mendemonstrasikan nama, fungsi dan cara
penggunaan alat-alat yang digunakan dalam
percobaan sederhana tentang simulasi tanah longsor
dan pengaruh pencemaran udara terhadap kehidupan
serangga.
Jika dibandingkan dengan pertemuan kedua
maka frekuensi aktivitas guru membimbing siswa
lebih tinggi dari pada pertemuan pertama, frekuensi
membimbing siswa mencapai (24%), meskipun siswa
sudah lebih memahami prosedur percobaan dan
sudah lebih mengenal nama alat serta fungsinya, akan
tetapi pelaksanaan percobaan untuk pertemuan kedua
membutuhkan waktu lebih lama, karena pelaksanaan
percobaan di luar kelas yaitu di halaman sekolah.
Frekuensi aktivitas guru yang dominan pada
pertemuan pertama ini selain dari membimbing
percobaan adalah pada aktifitas mengarahkan diskusi
sebesar (17%), masih tingginya frekuensi aktivitas
guru dalam mengarahkan diskusi, dikarenakan siswa
masih belum terbiasa melakukan diskusi di dalam
kelompok maupun di depan kelas, sehingga siswa
masih membutuhkan arahan yang lebih intensif pada
saat diskusi dalam kelompok maupun presentasi di
depan kelas. Selain itu guru mengarahkan diskusi
agar tidak menyimpang dari tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai.
Hasil analisis reliabilitas hasil pengamatan
aktivitas guru sebesar (88%) sehingga instrumen
pengamatan aktivitas dapat dikatakan reliabel. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Borich (1994:385)
menyatakan instrumen dikatakan baik (reliabel) jika
instrumen memiliki koefisien reliabilitas ≥ 0,75
(75%).
c) Aktivitas siswa
Aktivitas siswa dalam penelitian ini merupakan
rangkaian kegiatan yang dilakukan siswa dalam
mengikuti pembelajaran, selama proses pembelajaran
berlangsung dengan menggunakan pendekatan Sains

9

Teknologi Masyarakat (STM) pada pokok bahasan
Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan bahan
kajian Eksosistem, yang direkam menggunakan
instrumen pengamatan aktivitas siswa.
Berdasarkan data pada pada Tabel 4.9 dapat
diketahui bahwa frekuensi aktivitas siswa
mendengarkan atau memperhatikan penjelasan guru
sebesar (15%) tingginya frekuensi ini disebabkan
oleh siswa dihadapkan dengan materi baru, model
pembelajaran baru, serta siswa baru pertama kali
menggunakan perangkat pembelajaran (buku siswa
dan LKS). Frekuensi aktivitas siswa mendengarkan
atau memperhatikan penjelasan guru pada pertemuan
kedua sebesar (9%), ini dikerenakan pada pertemuaan
kedua siswa sudah bisa beradaftasi dengan kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
Sains Teknologi Masyarakat
(STM). Hal ini
didukung oleh teori belajar sosial yang
dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut
Bandura sebagian besar manusia belajar melalui
pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah
laku orang lain (Arends, 1997:69) dalam Nur
(2008:21).
Siswa menyampaikan masalah pada pertemuan
pertama sebesar (6%) sedangkan pada pertemuan
kedua (7%) adanya perbedaan frekuensi pada tiap
pertemuan menunjukkan bahwa siswa sudah lebih
mampu beradaftasi pada pertemuan kedua dan lebih
berani mengemukkan pendapat meskipun pendapat
yang disampaikan kurang tepat.
Frekuensi aktivitas siswa bertanya kepada guru
terdapat perbedaan frekuensi pada pertemuan
pertama dan pertemuan kedua, pertemuan pertama
sebesar (12%) sedangkan pada pertemuan ke dua
(15%), ini menunjukan bahwa frekuensi aktivitas
bertanya siswa mengalami peningkatan dan
menunjukkan perkembangan aktifitas positif siswa.
Membaca dan mencari informasi lainnya,
aktivitas mengerjakan LKS, berdiskusi dalam
kelompok, dan mengambil dan menyiapkan alat dan
bahan praktikum, menunjukkan adanya perbedaan
frekuensi pada ttiap pertemuan. Aktivitas membaca
dan mencari informasi lebih dominan pada
pertemuan pertama dikarenakan siswa pada
pertemuan pertama ini masih membutuhkan
informasi yang lebih banyak tentang materi
pembelajaran yang disampaikan oleh guru.
Frekuensi aktivitas siswa dalam melakukan
pengamatan dan menyajikan hasil pengamatan
menunjukkan aktivitas siswa yang paling dominan
baik pada pertemuan pertama maupun pada
pertemuan kedua. Frekuensi aktivitas siswa
melakukan pengamatan sebesar (22%) pada
pertemuan pertama, sedangkan pada pertemuan
kedua aktivitas tersebut meningkat sebesar (24%).

Untuk penyajian hasil pengamatan menunjukkan
aktivitas siswa sebesar (14%), sedangkan frekuensi
pada pertemuan kedua sebesar (22%).
Berdasarkan analisis data tersebut menunjukkan
aktivitas siswa lebih banyak pada kegiata inti selama
proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan
skenario pembelajaran yang terdapat pada rencana
pembelajaran dan merupakan ciri dari pendekatan
Sains Teknologi Masyarakat (STM) yang dilandasi
teori konstruktivis oleh Piaget yang menekankan
pembelajaran berpusat pada siswa.
Menurut Sudjana (2002:72) aktivitas masingmasing siswa dalam kegiatan belajar mengajar tentu
tidaklah sama. Hal ini banyak dipengaruhi oleh
kegiatan mengajar guru. Salah satu ciri pengajaran
yang berhasil dapat dilihat dari kadar kegiatan
(aktivitas) siswa dalam belajar. Makin tinggi kegiatan
(aktivitas) belajar siswa, makin tinggi pula peluang
berhasilnya pengajaran. Ini berarti kegiatan guru
mengajar harus merangsang aktivitas siswa
melakukan berbagai aktivitas belajar.
Rata-rata reliabilitas instrumen aktivitas siswa
sebesar (92%) presentase tersebut menunjukkan
bahwa instrumen ini tergolong baik, dimana
reliabilitasnya lebih dari 75% (Borich, 1994:385) ini
berarti bahwa instrumen tersebut dapat dipercaya
karena memberikan indikasi yang stabil dari aspekaspek tingkah laku siswa yang teramati selama
kegiatan pembelajaran berlangsung.
Aktivititas yang tinggi dari siswa dalam KBM
ini didukung oleh beberapa teori diantaranya Piaget
menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman fisik
dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya
perubahan perkembangan dan intraksi sosial dengan
teman sebaya, khususnya berargumentasi
dan
berdiskusi membantu meperjelas pemikiran yang
pada akhirnya membuat pemikiran itu menjadi lebih
logis dalam (Nur, 2008:7) teori vygotsky menyatakan
bahwa jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas
tersebut masih berada dalam jangkauan mereka.
Senada dengan pendapat di atas Sardiman,
(2004:99) berpendapat bahwa aktivitas siswa dalam
pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting
yakni dalam pembelajaran sangat diperlukan adanya
aktivitas, tanpa aktivitas belajar itu tidak mungkin
akan berlansung dengan baik. Aktivitas dalam proses
belajar mengajar merupakan rangkaian kegiatan yang
meliputi keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran,
bertanya hal yang belum jelas, mencatat, mendengar,
berfikir, membaca dan segala kegitan yang dilakukan
yang dapat menunjang prestasi belajar.
d) Respon Siswa
Berdasarkan hasil analisis data respons siswa
(Lampiran 29) menunjukkan bahwa sebagian besar
siswa memberikan respon positif terhadap

10

pembelajaran sains biologi dengan menggunakan
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) yang
telah dilaksanakan.
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa (99%) siswa
menyatakan senang dengan materi pelajaran, buku
siswa, lembar kegiatan siswa, suasana belajar di
kelas, cara guru mengajar, dan model pembelajaran
dengan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat
(STM). Siswa yang menyatakan baru pada aspek
materi pelajaran, buku siswa, lembar kegiatan siswa,
suasana belajar di kelas, cara guru mengajar, dan
model pembelajaran dengan pendekatan Sains
Teknologi Masyarakat (STM)
sebesar (94%).
Respon siswa yang menyatakan berminat mengikuti
kegiatan belajar mengajar dengan pendekatan Sains
Teknologi Masyarakat (STM) mencapai (100%).
Pernyataan Ya/Tidak pada aspek ke tiga tentang
tentang buku ajar bahwa bahasanya mudah
dimengerti, ketertarikan, penampilan, isi atau materi
pelajaran, dan pemahaman pada buku ajar sebesar
(95%), dan presentase siswa yang merespon
mengenai LKS bahwa modelnya baru, penampilan
menarik,
memudahkan
dalam
melakukan
pengamatan, dan memudahkan untuk menarik
kesimpulan sebesar (91% ) menyatakan Ya.
Dari data-data tersebut mengindikasikan bahwa
pembelajaran sains biologi dengan pendekatan Sains
Teknologi Masyarakat (STM) pada pokok bahasan
kerusakan dan pencemaran lingkungan relatif baru
bagi siswa dan mayoritas siswa menyatakan senang
belajar dengan menggunakan pembelajaran ini.
e) Hasil Belajar Siswa Kognitif Siswa
Analisis kemampuan kognitif siswa, ditentukan
berdasarkan ketuntasan siswa dalam pembelajaran
setelah melakukan proses pembelajaran dengan
menggunakan
pendekatan
Sains
Teknologi
Masyarakat (STM). Hasil analisis ketuntasan
indikator sebelum pembelajaran (pretest) secara
keseluruhan tidak dinyatakan tuntas dikarenakan nilai
yang didapatkan yakni sebesar < 6,0 (60%).
Sedangkan indikator pembelajaran dikatakan tuntas
apabila persentase ketuntasan mencapai 6,0 (60%)
(Depdiknas, 2006).
Setelah dilaksanakan pembelajaran dengan
menggunakan
pendekatan
Sains
Teknologi
Masyarakat
(STM),
ketuntasan
indikator
pembelajaran
mengalami
peningkatan
yang
signifikan yaitu keseluruhan indikator pembelajaran
dinyatakan tuntas dengan nilai persentase rata-rata
lebih besar dari 6,0 (60%). Dari hasil analisi
persentase tersebut menunjukkan bahwa peningkatan
ketuntasan indikator pembelajaran dapat terjadi
setelah melalui proses pembelajaran dengan
menggunakan
pendekatan
Sains
Teknologi
Masyarakat (STM).

Hasil analisis ketuntasan belajar siswa disajikan
pada Tabel 4.15, menunjukkan bahwa untuk uji awal
siswa mempunyai rentang nilai antara (10,00) sampai
(42,00), dimana nilai Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) yang ditetapkan sekolah 6,0 (60). Berarti
100% siswa tidak dinyatakan tuntas baik secara
individual maupun klasikal.
Hasil analisis uji akhir (posttest) menunjukkan
rentang nilai siswa antara (38,0) sampai (100), siswa
yang memiliki nilai di bawah KKM 4 orang siswa
dan dikategorikan tidak tuntas, sedangkan yang
mencapai nilai KKM 26 orang siswa dan
dikategorikan tuntas dengan nilai KKM di atas 60.
Ketuntasan secara klasikal pada uji akhir (posttest)
mencapai nilai (86%) dan dinyatakan tuntas secara
klasikal. Depdikbut dalam Trianto (2010:24)
menyatakan
ketuntasan
klasikal
merupakan
ketuntasan rata-rata kelas. Suatu kelas dikatakan
tuntas secara klasikal jika dalam kelas tersebut
terdapat lebih atau sama dengan 85% siswa yang
telah tuntas belajarnya.
Kemampuan kognitif siswa yang diukur
menggunakan tes hasil belajar produk pada tinggkat
atau kategori C1 atau ingatan, C2 atau pemahaman,
dan C3 atau aplikasi, menunjukkan adanya
peningkatan dari ketuntasan pretest atau sebelum
melakukan pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat, dan sesudah
postest atau menggunakan pendekatan pendekatan
Sains Teknologi Masyarakat. Adanya peningkatan ini
jelas bahwa pendekatan Sains Teknologi Masyarakat
dapat meningkatkan kemampuan kognitif pada pokok
bahasan kerusakan dan pencemaran lingkungan di
kelas VIIb SMP Negeri Sepulu Bangkalan.
Menurut prinsip psikologi pendidikan guru tidak
dapat hanya semata-semata memberikan pengetahuan
kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan
di dalam benak sendiri. Guru dapat membantu proses
ini, dengan cara-cara mengajar yang membuat
informasi menjadi sangat bermakna dan sangat
relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan
sendiri ide-ide, dan dengan mengajak siswa agar
menyadari secara sadar menggunakan strategistrategi mereka sendiri untuk belajar (Nur, 2008:2).
Hasil pembelajaran di atas menunjukkan bahwa
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)
memberikan efek positif terhadap kemampuan dan
peningkatan nilai kognitif siswa yang ditunjukkan
dengan ketuntasan siswa baik secara individu
maupun seacara klasikal pada pokok bahasan
kerusakan dan pencemaran lingkungan bahan kajian
ekosistem.
Terkait dengan temuan di atas, didukung oleh
pendapat Poedjiadi (2005:136) mengatakan bahwa

11

pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)
memiliki efek iring yang lebih kaya karena dapat
mengembangkan dan meningkatkan aspek kognitif
melalui pengembangan keterampilan intelektual.
Hasil penelitian berupa pengembangan perangkat
pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan
Sains Teknologi Masyarakat (STM) yang hanya
terfokus pada peningkatan kemampuan kognitif. Hal
ini karena pembelajaran sebelumnya
belum
mengarah pada peningkatan kemampuan kognitif
berdasarkan taksonomi Bloom yang tingkatannya
mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Selain itu juga di sebabkan karena kondisi sekolah
yang masih baru dan kompetensi guru tidak sesuai
dengan bidang yang diajarkan, paradigma guru dalam
menginterpretasikan dan mengembangkan kurikulum
masih berbasis konten sehingga guru dituntut untuk
menyampaikan materi tepat pada waktunya dan tidak
berinovasi dalam pembelajaran, guru masih kurang
melatih siswa dalam kemampuan berfikir, belum
sepenuhnya guru memanfaatkan media pembelajaran
yang ada di sekitar, selain itu juga cara penyampaian
materi oleh guru masih menggunakan pendekatan
kompetisi dan individual serta kurang bervariasi
sehingga menyebabkan kemampuan kognitif siswa
masih rendah, dengan kondisi ini maka fokus
penelitian ini lebih pada peningkatkan kemampuan
kognitif siswa.
Digunakannya pendekatan Sains Teknologi
Masyarakat (STM) ini karena sesuai dengan pokok
bahasan yang diajarkan yaitu kerusakan dan
pencemaran lingkungan, pokok bahasan ini dapat
menjanggkau sisi sains, teknologi dan dapat di
implementasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa
dalam bermasyarakat. Selain itu juga pendekatan
Sains Teknologi Masyarakat (STM) dapat
menjangkau ketiga ranah dalam pembelajaran yakni
ranah kognitif, ranah psikomotor, dan ranah afektif.
Hal ini sejalan dengan pendapat Poedjiadi (2005:104105) yang menyatakan bahwa ranah yang dapat
dikembangakan melalui pembelajaran sains dengan
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)
antara lain penerapan, kreativitas, konsep, proses, dan
sikap.
Dalam penelitian ini peneliti lebih terfokus pada
ranah kognitif, sedangkan pada ranah psikomotor dan
afektif belum sepenuhnya dilakukan. Adapun hasil
penelitian pada ranah kognitif dengan menggunakan
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)
memberikan efek yang sangat baik dalam
meningkatkan kemampuan kognitif siswa, hal ini
terlihat dari peningkatan hasil uji awal sebelum
pembelajaran dan uji akhir sesudah pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan STM pada pokok
bahasan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Ranah psikomotor belum sepenuhnya tersentuh
yang meskipun selama proses pembelajaran siswa
melakukan aktivitas percobaan atau praktikum untuk
pembuktian kajian teori yang dipelajari dan untuk
menujang pemahaman konsep siswa. Tidak dikajinya
ranah psikomotor pada penelitian ini karena
perangkat yang dikembangkan dengan menggunakan
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)
hanya terfokus pada peningkatan kemampuan
kognitif siswa.
Ranah afektif atau karakter tidak dilakukan atau
tidak diamati oleh peneliti karena ranah ini selain
sulit untuk diamati. Ranah apektif
juga
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat
menumbuhkan kepribadian atau karakter siswa dalam
menjalani kehidupan sehari-hari.
f) Hambatan-Hambatan
Meskipun hasil kegiatan belajar
mengajar
berlangsung baik dan hasil belajar siswa tuntas,
namun tetap saja ada hambatan-hambatan yang dapat
menganggu kegiatan belajar mengajar dan perlu
mendapat perhatian. Hambatan-ham