Hubungan Usia dengan Gambaran Histopatologi Kanker Payudara di RSUP H. Adam Malik Tahun 2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Payudara

2.1.1. Anatomi payudara

Kelenjar payudara merupakan kelenjar aksesoris kulit khusus yang terdapat pada wanita maupun pria. Pada pria maupun wanita yang belum dewasa payudara memiliki bentuk yang sama (Snell, 2012). Payudara yang matang merupakan salah satu tanda kelamin sekunder dari seorang gadis dan merupakan salah satu organ yang indah dan menarik. Lebih dari itu, fungsi organ ini menjadi sangat berperan dalam hal mempertahankan keturunan (Hanum, 2010). Papilla mammae( puting susu) kecil dan dikelilingi oleh daerah kulit yang berwarna gelap yang disebut areola mammae. Jaringan payudara sendiri tersusun oleh sekelompok kecil sistem saluran yang terdapat di dalam jaringan ikat dan bermuara di daerah areola mammae (Snell, 2012). Kelenjar payudara merupakan modifikasi dari kelenjar keringat, disusun oleh duktus dan alveoli payudara. Kelenjar ini berkembang pada payudara wanita di masa pubertas dan berfungsi dalam aktivitas laktasi atau menyusui. Fungsi laktasi sendiri berasosiasi dengan sistem reproduksi, di mana dari proses laktasi atau menyusui dihasilkan susu yang berfungsi sebagai nutrisi anak. Bentuk dan ukuran payudara sangat bervariasi sesuai dengan perbedaan genetik, persentasi lemak tubuh, atau kehamilan. Saat massa pubertas, estrogen dari ovarium menstimulus pertumbuhan kelenjar payudara dan deposit jaringan adiposa di dalam payudara. Kelenjar payudara mengalami hipertrofi pada wanita di massa kehamilan dan menyusui dan biasanya atrofi setelah menopause (Graff, 2002). Kelenjar ini terdiri atas berbagai struktur seperti: 1) jaringan kelenjar jenis tubulo-alveolar, yang mampu mensekresikan ASI;


(2)

2) jaringan ikat fibrosa yang menghubungkan lobus-lobusnya; 3) jaringan lemak interlobar di antara lobus-lobus dan lobulus-lobulus kelenjarnya (Santoso, 2005).

Payudara terbentuk dimulai pada embrio muda di mana timbul sebuah garis penebalan ektoderm disebut rigi susu, yang terbentang dari aksial miring ke region inguinalis (Moore et al,2010). Kelenjar ini pertama kali dapat terlihat pada embrio yang berusia 4 minggu sebagai tunas (bud) atau nodul jaringan epitel yang tampak di sepanjang garis yang disebut krista susu. Pada embrio yang lebih berkembang, krista ini meluas dari midaksilaris sampai daerah inguinal (Linda dan Danny, 2008). Pada hewan, beberapa kelenjar payudara dibentuk di sepanjang linea ini. Pada manusia, linea ini menghilang kecuali sebagian kecil di region pektoralis. Daerah kecil ini menebal, sedikit tertekan, dan mengirim 15 sampai 20 tali padat, yang tumbuh ke dalam mesenkim di bawahnya. Sementara itu, mesenkim berproliferasi, dan ektoderm yang tertekan menebal menjadi timbul ke permukaan untuk membentuk papilla mammae (Moore et al, 2010).Bagian ini berkembang di bawah pengaruh sinyal parakrin dan mesenkim. Tunas epitel sekunder nantinya akan membentuk korda seluler yang memanjang dan bercabang serta memiliki rongga. Korda ini menjadi duktus ekstretoris dan laktiferus pada kelenjar payudara (Linda dan Danny, 2008). Pada usia 5 bulan, dapat ditemukan areola pada kulit sebagai area sirkular yang berpigmen di sekitar bakal papilla mammae (Moore et al, 2010).

Jumlah lemak yang mengelilingi jaringan kelenjar menentukan ukuran dari payudara pada massa tidak menyusui. Secara kasar, anatomi sirkular dari payudara sendiri bersandar di atas sebuah bantalan yang meluas secara transversal dari batas lateral sternum ke arah garis midaksilaris dan secara vertikal dari kosta kedua hingga keenam. Dua per tiga dari bagian bantalan payudara dibentuk oleh fasia pektoral yang menutupi pektoralis mayor; satu per tiga bagian lainnya oleh fasia yang menutupi serratus anterior. Di antara payudara dan fasia pektoral adalah sebuah latar jaringan ikat longgar ataupun ruang potensial ̶ retromammary space (bursa) (Moore et al, 2010).


(3)

Setiap kelenjar payudara terdiri atas 15 sampai 20 lobus, di mana pada setiap lobusnya memiliki saluran drainase menuju bagian luar. Lobus-lobus tersebut dipisahkan oleh jaringan lemak dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah dari jaringan lemak menentukan ukuran dan bentuk payudara namun tidak menentukan kemampuan wanita untuk mengasuh. Setiap lobus dibagi lagi menjadi lobulus-lobulus yang mengandung alveoli kelenjar payudara. Alveoli payudara adalah struktur yang menghasilkan susu pada wanita yang menyusui. Ligamentum suspensorium diantara lobulus memanjang dari kulit ke bagian fasia dalam menutupi otot pektoralis mayor dan menyokong payudara. Sekumpulan alveoli payudara mensekresikan susu ke dalam saluran payudara yang berkumpul untuk membentuk saluran laktiferus. Lumen pada setiap saluran laktiferus memanjang dekat puting untuk membentuk sinus laktiferus. Susu disimpan di dalam sinus laktiferus sebelum dialirkan ke ujung puting (Graff, 2002).

Gambar 2.1 Potongan superfisial regio pektoralis wanita. Fasia pektoral telah diangkat kecuali yang melekat dalam pada payudara. Dasar payudara meluas dari tulang kosta kedua sampai keenam.


(4)

Terdapat perbedaan pada payudara yang dikaitkan dengan berbagai kondisi seperti kehamilan, pasca menyusui, dan pascamenopause. Pada massa kehamilan saja, keadaan payudara di awal maupun akhir kehamilan juga berbeda. Dalam bulan-bulan awal kehamilan, terdapat penambahan yang cepat dan panjang dari cabang-cabang sistem duktus. Alveoli sekretorius berkembang pada ujung duktus-duktus kecil, jaringan penyambung mulai terisi dengan alveoli sekretorius yang menyebar dan bertunas. Vaskularisasi jaringan penyambung juga meningkat untuk menyediakan makanan yang cukup bagi kelenjar yang sedang berkembang. Papilla mammae membesar dan areola menjadi lebih gelap dan lebih lebar sebagai akibat dari bertambahnya deposit pigmen melanin di dalam epidermis. Kelenjar areola membesar dan menjadi lebih aktif. Selama massa pertengahan kedua kehamilan, pertumbuhan menjadi melambat. Namun demikian, kelenjar payudara tetap bertambah besar, terutama disebabkan oleh menggelembungnya alveoli sekretorius oleh cairan yang disebut colostrum.

Begitu bayi disapih payudara kembali ke stadium inaktifnya. Susu yang tertinggal diserap kembali, alveoli sekretorius mengerut, dan hampir seluruh alveoli menghilang. Jaringan penyambung interlobaris menebal. Kelenjar payudara beserta papilla mammae mengecil dan kembali mendekati ukuran semula. Pigmentasi areola berkurang, tetapi warna areanya tidak pernah kembali sepucat sebelumnya.

Setelah menopause, payudara mengalami atrofi. Hampir seluruh alveoli sekretorius menghilang, meninggalkan duktus. Jumlah jaringan adiposa dapat bertambah atau berkurang. Payudara cenderung mengecil dan terletak dalam posisi menggantung. Atrofi pascamenopause disebabkan oleh tidak adanya hormon estrogen ovarium dan progesteron (Snell, 2012).


(5)

Gambar 2.2 Skema perkembangan kelenjar payudara

Sumber : http://brisken-lab.epfl.ch/research [Accesed 10 May 2015]

Payudara sama seperti organ lainnya memiliki vaskularisasi berupa arteri dan vena disamping memiliki aliran limfe. Untuk arteri, cabang-cabang pembuluh darah ke payudara berasal dari:

1) Arteri subklavia membentuk arteri torasika interna pada bagian anterior interkostalis dan arteri mammaria medial

2) Arteri torasika lateralis dan torakoabdominal, cabang dari arteri aksilaris. 3) Arteri interkostalis posterior, cabang dari aorta torasika pada sela interkosta

ke-2,ke-3,dan ke-4.

Untuk aliran darah balik atau vena, terutama menuju ke vena aksilaris, namun ada beberapa aliran yang menuju ke vena torasika interna (Moore et al, 2010).


(6)

Selain itu, kita membedakan 2 macam kumpulan pembuluh balik atau vena, yakni (1) pembuluh balik superfisial di bawah kulit; (2) pembuluh balik letak dalam. Yang pertama terletak di bawah fasia yang superfisial di bawah kulit. Kalau ada pertumbuhan di bawah kulit baik ganas ataupun tidak, dibutuhkan perdarahan yang lebih banyak, sehingga pada inspeksi dengan penerangan biasanya kita melihat pelebaran-pelebaran pembuluh di bawah kulit. Pembuluh balik yang letak dalam dipusatkan pada 3 kumpulan yang menerima darah dari seluruh kelenjar payudara, yakni (1) cabang-cabang dari vv.mammaria interna yang bermuara di v.innominata; (2) kumpulan v.aksilaris dan subklavia; (3) vv.interkostalis yang bermuara ke belakang ke vv.vertebrales. Ada pula satu kumpulan perdarahan balik yang sering dilupakan, vv.kommunikantes yang menghubungkan pembuluh-pembuluh kelenjar payudara kanan dan kiri, sehingga kita menemukan dalam praktik bahwa sesudah beberapa bulan kanker pada salah satu payudara dioperasi, dapat timbul penyakit ini di payudara sebelahnya (Sarwono, 2009).


(7)

Gambar 2.3 Vaskularisasi payudara. A. Kelenjar payudara dipendarahi dari bagian medial terutama oleh cabang-cabang arteri torasika interna dan oleh beberapa cabang dari arteri aksilaris (umumnya arteri torasika lateral) pada bagian superior dan lateral. B. Payudara bagian dalam dipendarahi oleh cabang-cabang yang berasal dari arteri interkostalis. C. Aliran darah vena menuju vena aksilaris (terutama) dan juga menuju ke vena torasika interna.

Sumber : Clinically Oriented Anatomy (Moore et al, 2010)

Persarafan dari payudara berasal dari cabang kutaneus anterior dan lateral nervus interkostalis ke-4 sampai ke-6. Cabang nervus interkostalis melewati fasia pektoral menutupi pektoralis mayor untuk mencapai jaringan subkutan dan kulit payudara. Cabang nervus interkostalis menyampaikan serat sensorik dari kulit payudara dan serat simpatis ke pembuluh darah di payudara dan otot polos sepanjang papilla mammae dan kulit (Moore et al, 2010).


(8)

Gambar 2.4 Segmen-segmen dari persarafan sensoris toraks bagian anterior dan dinding abdomen. Regio-regio nyeri yang berasal dari penyakit-penyakit organ visceral (zona kepala).

Sumber: Atlas of Human Anatomy (Sobotta, 2006)

Aliran limfe payudara penting sekali di klinik mengingat sering timbulnya kanker pada kelenjar ini dan penyebaran sel-sel ganas melalui pembuluh limfe menuju ke nodus limfetikus.

Kuadran lateral kelenjar payudara mengalirkan limfenya ke nodus limfoid aksilaris anterior atau kelompok pektoralis (terletak tepat posterior terhadap pinggir bawah musculus pektoralis mayor). Kuadran medial mengalirkan limfenya melalui pembuluh-pembuluh yang menembus ruangan interkostalis dan masuk ke dalam nodus limfoid torakalis interna (terletak di dalam rongga toraks sepanjang arteri torasika interna). Beberapa pembuluh limfe mengikuti arteri interkostalis posterior dan mengalirkan limfenya ke posterior ke dalam nodus limfoid interkostalis posterior (terletak sepanjang arteri interkostalis posterior);beberapa pembuluh berhubungan dengan pembuluh limfe payudara sisi yang lain dan dengan kelenjar di dinding anterior abdomen (Snell, 2012)


(9)

Gambar 2.5 Aliran limfe pada payudara. A. Nodus limfe menerima aliran dari payudara.

Sumber : Clinically Oriented Anatomy (Moore et al, 2010)

Gambar 2.6 Aliran limfe pada payudara. B. Arah berwarna merah menunjukkan aliran limfe dari payudara kanan. Sebagian besar limfe, khususnya yang berasal dari kuadran lateral superior dan pusat payudara, mengalir menuju nodus limfe aksilaris yang selanjutnya akan berubah untuk dialiri oleh pemanjangan dari aliran limfe subklavia. Bagian kanan, aliran limfe masuk ke sistem vena melalui duktus limfatikus kanan. C. Sebagian besar limfe dari payudara kanan kembali ke sistem vena melalui duktus torasikus.

Sumber : Clinically Oriented Anatomy (Moore et al, 2010)

Untuk lokasi anatomi dan deskripsi tumor dan kista, permukaan payudara dibagi ke dalam empat kuadran. Sebagai contoh, sebuah catatan seorang dokter berisi

“Sebuah massa padat tidak beraturan dirasakan pada kuadran superior medial dari


(10)

Gambar 2.7 Kuadran-kuadran pada payudara

Sumber: Clinically Oriented Anatomy (Moore et al, 2010)

2.1.2. Histologi Payudara

Telah dikatakan bahwa setiap kelenjar payudara terdiri atas 15-20 lobus dari jenis tubuloalveolar kompleks, yang berfungsi menyekresi air susu bagi neonatus. Setiap lobus, yang dipisahkan satu sama lain oleh jaringan ikat padat dan banyak jaringan lemak, sesungguhnya merupakan suatu kelenjar tersendiri dengan duktus ekskretorius laktiferusnya sendiri. Duktus ini, dengan panjang 2-4,5 cm, bermuara pada papilla mammae, yang memiliki 15-25 muara, masing-masing berdiameter 0,5 mm. Struktur histologi kelenjar payudara bervariasi sesuai dengan jenis kelamin, usia, dan status fisiologis.

Pembesaran payudara selama pubertas terjadi akibat penimbunan jaringan lemak dan jaringan ikat, dengan meningkatnya pertumbuhan dan percabangan duktus laktiferus akibat bertambahnya jumlah estrogen ovarium. Struktur khas kelenjar ̶

lobus ̶ pada wanita dewasa berkembang pada ujung duktus terkecil. Sebuah lobus


(11)

lobus terdapat dalam jaringan ikat longgar. Suatu jaringan ikat yang kurang padat dan kurang banyak mengandung sel, memisahkan lobus-lobus.

Dekat dengan muara papilla mammae, duktus laktiferus menjadi lebar dan membentuk sinus laktiferus. Sinus laktiferus dilapisi epitel berlapis gepeng pada muara luarnya. Epitel ini berubah menjadi epitel berlapis silindris atau berlapis kuboid. Lapisan duktus laktiferus dan duktus terminal merupakan epitel selapis kuboid dan dibungkus sel mioepitel yang berhimpitan.

Jaringan ikat yang mengelilingi alveoli mengandung banyak limfosit dan sel plasma. Populasi sel plasma bertambah nyata menjelang akhir kehamilan, sel ini berfungsi menyekresi imunoglobulin (IgA sekretorik) yang memberikan kekebalan pasif kepada neonatus.

Struktur histologi kelenjar ini mengalami sedikit perubahan selama siklus menstruasi, misalnya proliferasi sel duktus di sekitar masa ovulasi. Perubahan ini bertepatan dengan saat ketika kadar estrogen yang beredar mencapai puncaknya. Bertambahnya cairan jaringan ikat pada fase pra-menstruasi menambah besar payudara.

Papilla mammae (puting susu) berbentuk kerucut dan warnanya mungkin merah muda, coklat muda atau coklat tua. Bagian luar papilla mammae ditutupi epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk yang berhubungan langsung kulit di dekatnya. Kulit di sekitar papilla mammae membentuk areola mammae. Epitel papilla mammae berada di atas selapis jaringan ikat yang banyak mengandung serabut otot polos. Serabut-serabut ini tersusun melingkari duktus laktiferus yang lebih dalam dan tersusun sejajar terhadap duktus ini di tempat masuknya duktus pada papilla mammae. Papilla mammae ini banyak dipersarafi oleh ujung saraf sensorik.

Payudara tumbuh pesat selama kehamilan sebagai akibat kerja sinergis beberapa hormon, terutama estrogen, progesteron, prolaktin, dan laktogen plasenta


(12)

manusia. Salah satu fungsi hormon ini adalah proliferasi alveoli di ujung duktus terminalis. Alveoli adalah struktur bulat yang terdiri atas kumpulan sel epitel yang menjadi struktur pensekresi. Sel mioepitel stelata dijumpai di antara sel-sel epitel alveoli dan lamina basal. Jumlah jaringan ikat dan jaringan lemak, dibandingkan dengan parenkim, berkurang selama kehamilan,

Selama laktasi, susu diproduksi oleh sel-sel epitel alveoli dan mengumpul di dalam lumennya dan di dalam duktus laktiferus. Sel-sel sekretoris mengecil dan berbentuk kuboid rendah, serta sitoplasmanya mengandung tetesan bulat dengan berbagai ukuran, yang terutama mengandung trigliserida netral. Tetes lipid ini keluar dari sel ke dalam lumen dan sewaktu keluar, lipid ini diliputi sebagian membran sel apikal. Komposisi lipid lebih kurang 4% dari susu manusia.

Setelah tetes lipid, terdapat banyak vakuol berbatas membran yang mengandung granul berisi kasein dan protein susu lainnya. Protein susu mencakup

beberapa kasein, α-laktalbumin, dan IgA yang dihasilkan plasmosit (Janqueira, 2004).

Gambar 2.8 Kelenjar payudara aktif pada dewasa


(13)

Gambar 2.9 Kelenjar payudara inaktif pada usia muda

Sumber: http://www.ouhsc.edu/hystology/ [Accesed 27 April 2015]

Gambar 2.10 Kelenjar payudara inaktif pada dewasa

Sumber: http://www.ouhsc.edu/hystology/ [Access 27 April 2015]


(14)

Kelainan payudara perempuan jauh lebih sering daripada kelainan payudara laki-laki. Kelainan ini biasanya mengambil bentuk massa atau nodus yang dapat diraba dan kadang-kadang nyeri. Untungnya, sebagian besar lesi bersifat jinak, tetapi seperti telah diketahui, kanker payudara adalah penyebab terpenting kematian akibat kanker pada perempuan di Amerika Serikat sampai tahun 1986. Kelainan –kelainan berikut seyogianya dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kemungkinan kemiripan kelainan secara klinis dengan keganasan. Massalah ini paling akut pada kelainan fibrokistik karena penyakit ini merupakan penyebab tersering “benjolan” di payudara dan karena terus berlanjut silang-pendapat mengenai keterkaitan varian tertentu dengan karsinoma payudara (Robbins, 2007).

Gambar 2.11 Representasi temuan pada beberapa perempuan yang mencari evaluasi

terhadap “benjolan” payudaranya yang tampak

Sumber: Buku Ajar Patologi (Robbins, 2007) 2.2.1. Perubahan Fibrokistik

Nama ini digunakan untuk berbagai perubahan di payudara perempuan yang berkisar dari kelainan tidak berbahaya hingga pola yang berkaitan dengan peningkatan resiko karsinoma payudara. Sebagian kelainan ini menyebabkan benjolan yang dapat diraba. Telah diterima secara luas bahwa ragam kelainan ini

40% 13%

7% 10%

Perubahan fibrokistik

Penyakit jinak lainnya

Fibroadenoma

Kanker


(15)

adalah akibat dari peningkatan dan distorsi perubahan siklik payudara yang terjadi secara normal selama daur haid.

Secara tradisional, kelainan payudara ini pernah diberi nama penyakit fibrokistik; namun, para dokter sangat keberatan dengan nama ini. Sebagian besar perubahan yang tercakup dalam diagnosis penyakit fibrokistik kurang memiliki makna klinis, kecuali bahwa perubahan tersebut menyebabkan nodularitas; hanya sebagian kecil yang mencerminkan bentuk hiperplasia epitel yang secara klinis penting. Oleh karena itu, istilah perubahan fibrokistik lebih dianjurkan, karena tidak menstigmasi subjek dengan kata penyakit. Di luar silang-pendapat semantik ini, benjolan yang ditimbulkan oleh berbagai pola perubahan fibrokistik harus dibedakan dengan kanker, dan pembedaan antara lesi yang ringan dan lesi yang tidak terlalu ringan dilakukan dengan pemeriksaan bahan aspirasi jarum-halus atau secara lebih pasti dengan biopsi dan evaluasi histologik. Dengan cara yang sedikit banyak arbitrer, kelainan di sini dibagi atas pola nonproliferatif dan proliferatif.

Lesi nonproliferatif mencakup kista dan/atau fibrosis tanpa hiperplasia sel epitel, yang dikenal sebagai perubahan fibrokistik sederhana. Lesi proliferatif mencakup serangkaian hiperplasia sel epitel duktulus atau duktus banal atau atipikal serta adenosis sklerotikans. Semuanya cenderung timbul selama usia subur dan mungkin menetap setelah menopause. Berbagai perubahan, terutama yang nonproliferatif, sedemikian seringnya ditemukan (ditemukan pada autopsi dari 60% hingga 80% perempuan) sehingga hampir dapat dianggap sebagai varian fisiologik (Robbins, 2007).


(16)

Gambar 2.12 Beberapa spesimen biopsi yang memperlihatkan perubahan fibrokistik pada payudara.

Sumber: Buku Ajar Patologi (Robbins, 2007)

Gambar 2.13 Detail mikroskopik perubahan fibrokistik pada payudara. Sumber: Buku Ajar Patologi (Robbins, 2007)

Hubungan perubahan fibrokistik dengan karsinoma payudara merupakan suatu massalah medis yang kontroversial. Secara klinis, meskipun beberapa gambaran tertentu pada perubahan fibrokistik cenderung membedakannya dengan kanker, satu-satunya cara pasti untuk membuat pembedaan ini adalah dengan biopsi dan pemeriksaan histologik. Dalam kaitannya dengan hubungan berbagai pola perubahan fibrokistik dengan kanker, pernyataan berikut saat ini merupakan opini yang paling memiliki dasar:

1) Tidak ada atau sangat sedikit peningkatan resiko karsinoma payudara; fibrosis, perubahan kistik (mikro atau makroskopik), metaplasia apokrin, hiperplasia ringan.


(17)

2) Sedikit peningkatan resiko (1,5 hingga 2 kali): hiperplasia sedang hingga subur, papilomatosis duktus, adenosis sklerotikans, fibroadenoma, terutama jika berkaitan dengan perubahan fibrokistik, penyakit payudara proliferatif, atau riwayat kanker payudara dalam keluarga.

3) Peningkatan resiko yang bermakna (5 kali) ; hiperplasia atipikal, duktulus atau lobulus.

4) Lesi proliferatif mungkin multifokal, dan resiko karsinoma berikutnya berlaku untuk kedua payudara.

5) Riwayat kanker payudara dalam keluarga dapat meningkatkan resiko pada semua kategori (missal, menjadi sekitar sepuluh kali lipatpada hiperplasia atipikal) (Robbins, 2007).

2.2.2. Tumor Payudara

Tumor merupakan lesi terpenting pada payudara perempuan. Walaupun mungkin berasal dari jaringan ikat atau struktur epitel, tumor struktur epitel yang sering menyebabkan neoplasma payudara.

2.2.2.1. Fibroadenoma

Fibroadenoma sejauh ini adalah tumor jinak tersering pada payudara perempuan. Peningkatan mutlak atau nisbi aktivitas estrogen diperkirakan berperan dalam pembentukannya (Robbins, 2007). Hal ini juga dikemukakan oleh Wilson dalam buku Christopher-Davis, di mana disebutkan bahwa ada hubungan antara kadar hormon wanita dalam darah dan penyakit ini, karena dapat timbul pada binatang percobaan dengan pemberian estrogen (Sarwono, 2007).

Secara morfologi, fibroadenoma muncul sebagai nodus diskret, biasanya tunggal, mudah digerakkan, dan bergaris tengah 1 hingga 10 cm. Walaupun jarang, tumor mungkin multipel dan, juga sama jarangnya, tumor mungkin bergaris tengah lebih dari 10 cm (fibroadenoma raksasa). Berapapun ukurannya, tumor ini biasanya mudah “dikupas”. Secara makroskopis, semua tumor teraba padat dengan warna


(18)

seragam coklat-putih pada irisan, dengan bercak-bercak kuning-merah muda yang mencerminkan daerah kelenjar.

Secara histologis, tampak stroma fibroblastik longgar yang mengandung rongga mirip duktus berlapis epitel dengan ukuran dan bentuk beragam. Meskipun di sebagian lesi rongga duktus terbuka, bundar sampai oval, dan cukup teratur (fibroadenoma perikanalikularis), sebagian lainnya tertekan oleh proliferasi ekstensif stroma sehingga pada potongan melintang rongga tersebut tampak sebagai celah atau struktur irregular mirip-bintang (fibroadenoma intrakanalikular).

Secara klinis, lesi mungkin membesar pada akhir daur haid dan selama kehamilan. Pascamenopause, lesi mungkin mengecil dan mengalami kalsifikasi. Pemeriksaan sitogenik memperlihatkan bahwa sel stroma bersifat monoklonal sehingga mencerminkan elemen neoplastik dari tumor ini. Fibrioadenoma hampir tidak pernah menjadi ganas (Robbin, 2007).


(19)

Gambar 2.14 Gambaran makroskopis (fibroadenoma). Paling sering tampak sebagai nodul soliter dengan ukuran kecil (3-4 cm), berbatas jelas, tunggal, dan mobile (tidak menginfiltrasi kulit ataupun struktur jaringan lemak yang dalam ataupun bahkan otot rangka. Permukaan tumor berwarna putih keabu-abuan, berlobus atau menyerupai bunga kol (cauliflower-like), dengan pola yang melingkar dan celah ireguler.

Sumber: http://www.pathologyatlas.ro/fibroadenoma-breast-pathology.php [Accesed 27 April 2015]

Gambar 2. Gambaran mikroskopis fibroadenoma. Berbentuk nodul dan berkapsul, berada di dalam struktur payudara. Fibroadenoma intrakanalikular (gambar A): dominasi proliferasi stromal dan menekan duktus, bentuknya iregular dan mengurangi celah yang ada. Fibroadenoma perikanalikular (gambar B): proliferasi stroma fibrous mengelilingi celah duktus, sehingga tetap berbentuk bulat atau oval pada potongan melintang. Membran basement tetap utuh. (H&E, ob. X4)

Sumber: http://www.pathologyatlas.ro/fibroadenoma-breast-pathology.php [Accesed 27 April 2015]

2.2.2.2. Tumor Filoides

Tumor ini jauh lebih jarang ditemukan daripada fibroadenoma dan diperkirakan berasal dari stroma intralobulus, jarang dari fibroadenoma yang sudah ada. Tumor ini mungkin kecil (garis tengah 3 hingga 4 cm), tetapi sebagian besar tumbuh hingga berukuran besar, mungkin massif sehingga payudara membesar. Sebagian mengalami lobulasi dan menjadi kistik; karena pada potongan memperlihatkan celah mirip daun, tumor ini disebut tumor filoides (kata Yunani


(20)

Perubahan yang paling merugikan adalah peningkatan selularitas stroma disertai oleh anaplasia dan aktivitas mitotik yang tinggi, disertai oleh peningkatan pesat ukuran, biasanya dengan invasi jaringan payudara di sekitarnya oleh stroma maligna (Robbins, 2007).

Gambar 2.16 Tumor filoides payudara

Sumber: http://anatpat.unicamp.br/pecasgin26.html [Accesed 27 April 2015]


(21)

Sumber:http://www.brown.edu/Courses/Digital_Path/systemic_path/breast/phyllodes .html [Accesed 27 April 2015]

2.2.2.3. Papiloma Intraduktal

Ini adalah pertumbuhan tumor neoplastik di dalam suatu duktus. Sebagian besar lesi bersifat soliter, ditemukan di dalam sinus atau duktus laktiferus utama. Lesi ini menimbulkan gejala klinis berupa (1) keluarnya discharge serosa atau berdarah dari puting payudara, (2) adanya tumor subareola kecil dengan garis tengah beberapa millimeter, atau (3) (yang jarang) retraksi puting payudara.

Pada beberapa kasus, terbentuk banyak papiloma di beberapa duktus atau papilomatosis intraduktus. Lesi kadang-kadang menjadi ganas, sedangkan papiloma soliter hampir selalu tetap jinak. Demikian juga, karsinoma papilaris perlu disingkirkan; tumor ini tidak memiliki komponen mioepitel dan memperlihatkan atipia sel yang parah dengan gambaran mitotik abnormal (Robbin, 2007).

Gambar 2.18 Papiloma intraduktal payudara


(22)

Gambar 2.19 Gambaran mikroskopik papiloma intraduktal Sumber:

http://www.brown.edu/Courses/Digital_Path/systemic_path/breast/intraductal.html [Accesed 27 April 2015]

2.2.3. Kanker Payudara

2.2.3.1. Etiologi dan Faktor Resiko

Belum begitu jelas apa yang menyebabkan terjadinya kanker payudara. Dokter mengetahui bahwa kanker payudara terjadi ketika beberapa sel payudara mulai tumbuh secara tidak normal dan membelah secara lebih cepat dari sel-sel pada keadaan normal. Proses pembelahan itu akan terus berlangsung dan menimbulkan akumulasi sehingga membentuk sebuah massa, bahkan sel-sel tersebut bisa saja mengalami penyebaran atau metastasis dari payudara menuju pembuluh limfe maupun ke bagian lain dari tubuh (Mayo Clinic, 2014).

Banyak faktor resiko yang bisa meningkatkan kemungkinan seseorang untuk terkena kanker payudara, namun tetap saja belum diketahui secara pasti bagaimana berbagai faktor resiko tersebut menyebabkan sel berkembang menjadi sebuah kanker. Faktor resiko sendiri merupakan sesuatu yang bisa menyebabkan


(23)

seseorang mempunyai kesempatan untuk mendapatkan suatu penyakit, termasuk kanker. Namun, faktor resiko tidak menjelaskan kepada kita sepenuhnya. Mempunyai sebuah faktor resiko, atau bahkan beberapa, tidak berarti seseorang pasti akan mendapatkan penyakit. Kebanyakan wanita yang mempunyai satu atau lebih faktor resiko tidak pernah berkembang menjadi suatu penyakit, ketika wanita lain yang tidak mempunyai faktor resiko mengalami kanker payudara. Bahkan ketika seorang wanita dengan faktor resiko mengalami kanker payudara, ini masih sulit untuk menjelaskan seberapa besar faktor resiko tersebut memberikan kontribusi terhadap terjadinya kanker payudara (American Cancer Society, 2015).

1) Jenis kelamin

Wanita merupakan faktor resiko terpenting dari kanker payudara. Namun, pria juga bisa mengalami kanker payudara hanya saja resiko untuk wanita sekitar 100 kali lebih besar daripada pria. Kemungkinan hal ini akibat pria memiliki sedikit hormon estrogen dan progesteron daripada wanita, di mana hormon tersebut merupakan promoter dari pertumbuhan sel kanker payudara (American Cancer Society, 2015).

Menurut penelitian Kumiko dan Tomotaka pada tahun 2009, dijelaskan bahwa angka kematian kasar penderita kanker payudara pria di Jepang pada tahun 2006 adalah 0,2 per 100.000 populasi. Sedangkan di Amerika pada tahun 2004 angka ini menunjukkan besar 0,3 per 100.000 populasi. Namun, angka ini masih rendah bila dibandingkan tingkat kematian pada wanita yang mencapai 85-90 kAli lebih tinggi daripada pria di Negara Jepang maupun Amerika.

2) Usia

Resiko berkembangnya kanker payudara meningkat dengan bertambahnya usia. Sekitar 1 dari 8 kanker payudara invasive ditemukan pada wanita berusia dibawah 45 tahun, ketika 2 dari 3 kanker payudara invasive


(24)

ditemukan pada wanita berusia 55 tahun dan lebih tua (American Cancer Society, 2015).

Hal tersebut dikuatkan dengan penelitian yang dlakukan oleh Ali et al tahun 2011 di Iran di mana distribusi pada pasien yang mengalami kanker payudara berdasarkan usia terdapat lebih banyak pada usia lebih dari 40 tahun dibandingkan dengan usia dibawah 40 tahun yakni 82,8%.

3) Genetik

Sekitar 5% hingga 10% kasus kanker payudara diperkirakan karena adanya faktor herediter, artinya bahwa kanker merupakan hasil langsung dari adanya defek pada gen atau biasa disebut dengan mutasi yang berasal dari orang tua (American Cancer Society, 2015). Mutasi tersebut diturunkan secara autosomal dominan dan bervariasi dalam jenis mutasi yang terjadi (Devita et al, 2011).

Penyebab paling utama dari terjadinya kanker payudara adalah adanya mutasi dari gen BRCA1 dan BRCA2 yang diturunkan. Pada keadaan normal, gen-gen tersebut berfungsi mencegah kanker dengan memproduksi suatu protein yang menjaga sel agar tidak mengalami perkembangan secara tidak normal, sehingga jika seseorang memiliki kopian mutasi dari kedua gen tersebut dari orang tua, maka seseorang tersebut memiliki resiko tinggi untuk menjadi kanker payudara di sepanjang hidupnya (American Cancer Society, 2015).

Lebih dari 700 perbedaan mutasi yang terjadi pada gen BRCA1 dan 300 pada BRCA2 telah dijelaskan, dan posisi mutasi dalam gen telah ditunjukkan mempengaruhi resiko terjadnya kanker payudara maupun kanker ovarium (Devita et al, 2011). Pada beberapa keluarga dengan mutasi gen BRCA1 resiko terjadinya kanker payudara sebesar 80%. Pada usia lebih tua resiko ini terlihat menurun, yakni berkisar antara 55% sampai dengan 65%. Sedangkan untuk


(25)

mutasi gen BRCA2 resikonya lebih rendah dari BRCA1 yakni sebesar 45% (American Cancer Society, 2015).

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Antoniou et al yang memperlihatkan hasil bahwa pada sampel yang mengalami mutasi gen BRCA1 mempunyai resiko kumulatif yang lebih besar untuk terjadinya kanker payudara dibandingkn pada sampel yang mengalami mutasi gen BRCA2.

Terdapat mutasi genetik lainnya yang berasosiasi dengan terjadinya kanker payudara, walaupun jumlahnya mungkin saja lebih sedikit bila dibandingkan dengan mutasi yang terjadi pada BRCA1 ataupun BRACA2. Gen ATM yang pada kondisi normal memiliki kemampuan untuk membantu dalam hal memperbaiki DNA yang rusak, jika terjadi mutasi dapat menyebabkan kelainan tertentu. Adanya dua kopian abnormal dari gen ini yang diturunkan akan menyebabkan terjadinya ataxia-telangiektasis sedang satu kopian abnormal dari gen ini yang diturunkan akan berhubungan dengan kejadian kanker payudara pada beberapa keluarga.

Selain itu adanya mutasi pada gen TP53 juga dpat memicu terjadinya kanker payudara, karena pada kondsi normal gen ini menghasilkan protein p53 yang membantu menghentikan pertumbuhan sel yang tidak normal.Namun mutasi pada gen ini jarang terjadi. Mutasi pada gen PALB2 juga meningkatkan resiko kanker payudara, karena gen ini berfungsi menghasilkan sebuah protein yang berinteraksi dengan protein yang dibuat oleh gen BRCA1 dan BRCA2. Mutasi gen CHEK2, PTEN, CDH1, dan STK11 juga dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara pada wanita (American Cancer Society, 2015). 4) Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga sudah sejak lama diakui sebagai faktor resiko terjadinya kanker payudara. Resiko untuk menjadi kanker payudara meningktat


(26)

1,5 sampai 3 kali lipat pada wanita yang memiliki ibu ataupun saudara perempuan yang mengalami kanker payudara. Riwayat keluarga, bagaimanapun, merupakan faktor resiko yang heterogen dengan implikasi yang berbeda-beda bergantung pada relativitas kanker payudara, hubungan keluarga yang dekat, usia saat terdiagnosis, dan sebagainya (Harold et al, 2011).

5) Ras dan Etnis

Wanita kulit putih sedikit lebih mungkin untuk terkena kanker payudara dibandingkan wanita Afrika-Amerika. Kanker payudara juga lebih umum terjadi pada wanita Afrika-Amerika di usia kurang dari 45 tahun. Wanita Asia, Hispanic, dan Native-America mempunyai resiko yang lebih rendah untuk berkembang menjadi kanker payudara (American Cancer Society, 2015).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ruth et al yang melihat kejadian kanker payudara pada wanita kulit putih dan kulit hitam di Inggris Tenggara menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat insiden kanker payudara pada wanita Black Caribbean, Black African dan wanita kulit putih dibawah usia 50 tahun, namun wanita Black Caribbean dan Black African didiagnosis dengan kanker payudara pada usia rata-rata yang lebih muda dibandingkan wanita kulit putih ataupun wanita yang tidak diketahui etnisnya.

6) Kepadatan Jaringan Payudara

Kepadatan jaringan payudara adalah suatu kondisi di mana terdapat lebih banyak jaringan kelenjar dan jaringan ikat serta lebih sedikit jaringan lemak. Wanita dengan payudara yang padat pada mammografi mempunyai resiko untuk terkena kanker payudara sebesar 1,2 sampai 2 kali daripada wanita yang mempunyai kepadatan payudara seperti pada umumnya atau rata-rata. Dan sangat disayangkan juga bahwa jaringan payudara yang padat dapat membuat mamografi kurang akurat (American Cancer Society, 2015).


(27)

Menurut Norman kepadatan mammografi jaringan payudara berhubungan dengan proliferasi epitel dan stromal fibrosis. Hubungan diantara gambaran histologi dan resiko kanker payudara dijelaskan oleh adanya kerja sebuah growth factor yang diperkirakan mempunyai peran penting dalam perkembangan payudara dan karsinogenesis. Hasil tersebut didukung oleh sebuah studi meta-analysis yang melibatkan 42 artikel menunjukkan bahwa adanya peningkatan resiko kanker payudara pada wanita dengan densitas payudara yang meningkat.

7) Faktor Hormonal

Perkembangan kanker payudara pada banyak wanita berhubungan dengan hormon reproduksi wanita. Studi epidemiologi secara konsisten mengidentifkasi sejumlah faktor resiko kanker payudara yang berhubungan dengan peningkatan paparan terhadap estrogen endogen. Usia menarke yang lebih awal, nulliparitas, ataupun kehamilan pada usia yang terlalu tua, serta usia menopause yang terlambat meningkatkan resiko kanker payudara (Harold et al, 2011).

Terapi pengganti hormon setelah menopause yang berkorelasi dengan level estrogen plasma dan level estradiol plasma, dihubungkan dengan peningkatan resiko kanker payudara (Harold et al, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Ronald et al menujukkan bahwa resiko kanker payudara meningkat 10% setiap 5 tahun penggunaan terapi hormon pengganti. Walaupun resiko tidak meningkat secara monoton dengan peningkatan lama penggunaan terapi hormon pengganti, data yang ada tersebut sesuai dengan peningkatan yang teratur dari peningkatan lama penggunaan terapi hormon pengganti. Setelah 15 tahun penggunaan, resiko kanker payudara menjadi 36%.


(28)

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa menyusui menurunkan resiko untuk terkena kanker payudara pada wanita, terutama jika menyusui berlangsung selama 1,5 sampai 2 tahun (American Cancer Society, 2015). Penelitian Young Lee et al di Korea menunjukkan adanya penurunan insidensi kanker payudara dengan semakin lamanya seorang wanita menyusui.

9) Obesitas

Menjadi obesitas pada saat menopause ataupun karena mendapatkan berat sewaktu dewasa berhubungan dengan peningkatan resiko untuk menjadi kanker payudara (American Cancer Society, 2015). Menurut Margot dan Michael obesitas menjadi faktor resiko terjadinya kanker payudara untuk penderita kanker payudara pada usia postmenopause, terutama karena adanya perkembangan dari hormon-responsive tumor. Meningkatnya level estrogen pada sirkulasi menjadi faktor pertumbuhan primer dalam meningkatkan resiko kanker payudara. Selain itu adipokin yang secara langsung disintesis di jaringan adiposa mungkin mempengaruhi tumorigenesis.

Beberapa hipotesis lain diajukan untuk menjelaskan hubungan ini, salah satunya menyatakan bahwa obesitas yang berasosiasi dengan metabolic syndrome memicu terjadinya peningkatan sirkulasi insulin dan juga insulin-like growth faktor (IGF) yang berperan sebagai mitogen. Bagian dari mekanisme kerja mitogen tersebut juga dimediasi oleh adanya crosstalk dari jalur ini dengan jalur reseptor estrogen pada sel payudara (Lorincz dan Sukumar, 2006).

2.2.3.2. Klasifikasi dan staging

Kanker payudara dibagi menjadi kanker yang belum menembus membrane basal (non-invasive) dan kanker yang sudah menembus membrane basal (invasive). Bentuk utama karsinoma payudara dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


(29)

A. Non-invasive

1) Karsinoma duktus in situ (DCIS; karsinoma intra-duktus)

Pada DCIS, gambaran histologik memperlihatkan pola yang beragam. Pola arsitekturnya antara lain tipe solid, kribformis, papilaris, mikropapilaris dan clinging. Di setiap tipe kemungkinan ditemukan nekrosis. Gambaran nukleus bervariasi dari derajat rendah dan monomorfik hingga derajat tinggi dan heterogen. DCIS sering disertai kalsifikasi karena bahan sekretorik atau debris nekrotik yang mengalami kalsifikasi. Saat ini DCIS jarang terlihat sebagai massa yang dapat diraba atau terlihat secara radiografis. Apabila deteksi terlambat, mungkin terdapat massa yang dapat diraba atau discharge puting payudara. Prognosis DCIS sangat baik, dengan lebih dari 97% pasien bertahan hidup lama. Sebagian pasien mengalami metastasis jauh tanpa rekurensi lokal, kasus ini biasanya adalah DCIS derajat tinggi ekstensif dan mungkin memiliki daerah invasive kecil yang tidak terdeteksi. Saat ini, upaya terapi untuk melenyapkan DCIS adalah dengan pembedahan dan radiasi. Terapi dengan antiestrogen tamoksifen juga dapat mengurangi kekambuhan (Robbins, 2007).

2) Karsinoma lobulus in situ (LCIS)

Pada LCIS, tidak seperti DCIS, memperlihatkan gambaran uniform. Sel bersifat monomorfik dengan nukleus polos bundar dan terdapat dalam kelompok kohesif di duktus dan lobules. Vakuol musin intrasel sering ditemukan. LCIS hampir selalu ditemukan secara tidak sengaja dan jarang menimbulkan metastasis. LCIS juga jarang membentuk massa sehingga jarang mengalami kalsifikasi. LCIS merupakan penanda peningkatan resiko timbulnya kanker di kedua payudara dan prekusor langsung bagi sejumlah kanker (Robbins et al,2007).

B. Karsinoma Invasive


(30)

Karsinoma duktus invasive merupakan istilah yang digunakan untuk semua karsinoma yang tidak dapat disubklasifikasikan ke dalam salah satu tipe khusus yang dijelaskan di bawah dan tidak menunjukkan bahwa tumor ini secara spesifik berasal dari sistem duktus. Sebagian besar (70% hingga 80%) kanker masuk ke dalam kategori ini. Sebagian besar karsinoma duktus menimbulkan respon desmoplastik, yang menggantikan lemak payudara normal dan membentuk massa yang teraba keras. Gambaran mikroskopik cukup heterogen, berkisar dari tumor dengan pembentukan tubulus yang sempurna serta nukleus derajat rendah hingga tumor yang terdiri atas lembaran-lembaran sel anaplastik. Tepi tumor biasanya irregular, tetapi kadang-kadang menekan dan sirkumskripta. Mungkin ditemukan invasi ke rongga limfovaskular atau di sepanjang saraf. Sekitar dua pertiga tumor mengekspresikan reseptor estrogen atau progesterone, dan sepertiga mengekspresikan secara berlebihan ERBB2 (Robbins, 2007).

2) Karsinoma lobules invasive

Karsinoma ini terdiri atas sel yang secara morfologis identik dengan sel pada LCIS. Pada dua pertiga kasus ditemukan LCIS disekitar tumor. Sel-sel secara sendiri-sendiri menginvasi stroma dan sering tersusun membentuk rangkaian. Kadang-kadang sel tersebut mengelilingi asinus atau duktus yang tampak normal atau karsinomatosa, menciptakan apa yang disebut sebagai mata sapi (bull’s eye). Karsinoma lobulus lebih sering bermetastasis ke cairan otak, permukaan serosa, ovarium dan uterus, serta sumsum tulang dibandingkan dengan karsinoma duktus. Karsinoma jenis ini juga lebih sering bersifat multisentrik dan bilateral (10% hingga 20%). Hampir semua karsinoma ini mengekspresikan reseptor hormon, tetapi ekspresi ERBB2 jarang atau bahkan tidak terjadi. Tumor ini membentuk kurang dari 20% dari semua kanker payudara (Robbins, 2007).


(31)

Subtipe karsinoma yang jarang dan membentuk sekitar 2% dari kasus ini merupakan kanker yang berbentuk lembaran sel besar anaplastik dengan tepi yang berbatas tegas. Secara klinis, tumor ini mungkin bisa disalahartikan dengan fibroadenoma. Selalu terdapat infiltrat limfoplasmasitik yang mencolok. Karsinoma ini tidak memiliki reseptor hormon dan tidak mengekspresikan ERBB2 secara berlebihan (Robbins, 2007).

4) Karsinoma koloid (musinosa)

Seperti karsinoma medularis, karsinoma jenis ini juga jarang terjadi. Sel kanker menghasilkan banyak musin ekstrasel yang merembes ke dalam stroma di sekitarnya. Tumor ini sering bermanifestasi sebagai massa sirkumskripta dan mungkin disangka fibroadenoma. Secara makroskopis, tumor biasanya lunak dan gelatinosa. Sebagian besar mengekspresikan reseptor hormon, dan beberapa mungkin mengekspresikan ERBB2 secara berlebihan (Robbins, 2007).

5) Karsinoma tubulus

Jenis ini jarang bermanifestasi sebagai massa yang dapat diraba tetapi merupakan penyebab 10% karsinoma invasive yang berukuran kurang kurang dari 1 cm yang ditemukan pada pemeriksaan mammografi. Pada mammografi, tumor biasanya tampak sebagai densitas ireguler. Secara mikroskopis, karsinoma terdiri atas tubulus yang berdiferensiasi baik dengan nukleus derajat rendah. Jarang bermetastasis ke kelenjar getah bening, dan prognosis baik. Hampir semua karsinoma tubulus mengekspresikan reseptor hormon, dan sangat jarang mengekspresikan ERBB2 secara berlebihan (Robbins, 2007).


(32)

(33)

(34)

Tabel 2.1 (Lanjutan…)

Sumber: AJCC, 2009 2.2.3.3. Patogenesis

Kanker payudara memperlihatkan tingkah laku yang mencakup ke dalam biologi maupun klinis. Keberagaman ini diperlihatkan melalui variasi molekular dan morfologi yang mendasarinya, dengan adanya spektrum dari gambaran histologi dan marker patologi secara molekular sangat berguna dalam memprediksi clinical outcome dan pemilihan terapi yang tepat (Subramaniam and Isaacs, 2005 dalam Kwei et al, 2010).

Kanker sendiri merupakan penyakit genetik dan sangat jelas dimengerti melalui pembelajaran mengenai adanya perubahan DNA yang memicu terjadinya perkembangan suatu sel menjadi kanker. Begitu juga kanker payudara, kanker ini merupakan penyakit heterogen yang secara fundamental disebabkan oleh akumulasi yang progresif dari penyimpangan genetik, termasuk di dalamnya seperti mutasi point, amplifikasi kromosom, delesi, penyususnan kembali, translokasi, dan duplikasi (Erin, Gina, and Lyndsay, 2011).


(35)

Bukti molekuler telah memperjelas mengenai adanya jalur berbeda yang memicu terjadinya perkembangan kanker payudara invasive. Studi memperhatikan pada pola ataupun bentuk dari perubahan dan mutasi sejumlah kopi gen telah mengidentifikasi mengenai adanya perubahan pada gen tertentu seperti delesi pada 16q ataupun penambahan gen pada 1q. Hal tersebut terlihat lebih sering terjadi pada kanker dengan ER-positive daripada ER-negative karena kanker dengan ER-negative cenderung lebih terlindungi dari kerusakan genetik yang berat seperti mutasi pada p53, amplifikasi HER2, disfungsi BRCA1, dan instabilitas gen yang tinggi. Bukti ini juga memperlihatkan bahwa kanker dengan ER-positive dan ER-negative mempunyai jalur yang berbeda untuk berkembang, yang mana satu sama lain sangat jarang sekali untuk tumpang tindih (overlap).

Selain itu, bertentangan dengan data sebelumnya yang menyatakan bahwa progresifitas kanker invasive dari low-to-high-grade jarang terjadi, kanker dengan ER-positive memperlihatkan kemungkinan untuk berkembang dari tingkat rendah menjadi tinggi (from low to high grade). Kira-kira 50% kanker dengan ER-positive grade 3 mengalami perubahan gen yang sama seperti pada kanker dengan ER-positive grade 1, yakni pada 16q dan 1q. Hal tersebut memperlihatkan adanya jalur umum dari perkembangan kanker. Hanya saja, pada kanker grade 3 cenderung mengakumulasi perubahan gen yang lebih ekstra sehingga menyebabkan proliferasi yang lebih tinggi dan instabilitas gen yang lebih besar.

Bukti terakhir juga menunjukkan bahwa kanker duktus maupun lobular denga ER-positive, baik pada jenis invasive ataupun in situ terlihat begitu identik jika dilihat dari sudut pandang genetik. Namun, pada jenis lobular, selain terjadi perubahan pada gen 16q dan 1q terjadi juga ekspresi E-cadherin yang menghilang. Pemikiran sebelumnya yang menyatakan bahwa sel-sel basal/myoepithelial dari

payudara yang “bangun” sebagai penyebab terjadi kanker payudara ditolak dengan

adanya bukti terakhir yang menyatakan bahwa kemungkinan adanya prekusor-prekusor lain yang dapat menyebabkan terjadinya kanker payudara.


(36)

Gambar 2.20 Skema pathogenesis molecular (molecular pathogenesis) kanker payudara

Sumber: Molecular Pathology of Breast Cancer (Allison, 2012)

Pada akhirnya, berbagai bukti terakhir yang menyoroti heterogenitas genetik dan molekular dari kanker, termasuk payudara, telah membawa konsep evolusi klonal pada kanker ke barisan depan mengenai teori perkembangan suatu kanker (Allison, 2012).

2.3. Usia dan Gambaran Histopatologi Kanker Payudara

Penuaan merupakan faktor resiko terbesar untuk terjadinya suatu penyakit, mulai dari kanker sampai neurodegeneratif. Berbagai patologi yang berhubungan


(37)

dengan usia pada umumnya berjalan secara kronik, hal tersebut menyebabkan morbiditas serius yang terjadi dalam waktu lama atau bahkan bisa menimbulkan kematian.

Untuk memulai memahami bagaimana suatu penyakit oleh karena usia berhubungan, telah terdapat dua kategori yang digunakan untuk membagi age-related-disease. Kategori pertama adalah mengenai penyakit-penyakit yang timbul karena adanya kehilangan fungsi. Penyebabnya adalah adanya kehilangan pada berbagai aspek mulai dari sel, fungsi subseluler, elemen jaringan, atapun fungsi jaringan. Penyakit neurodegeneratif dan beberapa penyakit kardiovaskular masuk ke dalam kategori ini. Kategori kedua adalah mengenai penyakit yang timbul karena bertambahnya fungsi. Bentuk paling umum dari kategori ini adalah hiperplasia, yang pada kasus tertentu menyebabkan timbulnya fungsi seluler baru. Bentuk paling dikenal dari kategori ini tentu saja kanker.

Dalam perkembangannya, suatu kanker sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal sel kanker dan faktor eksternal sel kanker. Adanya akumulasi mutasi somatik merupakan faktor internal sel kanker. Di mana biasanya kanker mempunyai tipikal untuk melindungi perubahan genetik pada sel itu sendiri. Hal tersebut dipercepat oleh adanya mutasi lebih awal yang dapat menginaktivasi genetik yang mempunyai fungsi kritis dalam mempertahankan kestabilan genomik. Selain itu, adanya mutasi tadi memberikan beberapa sifat keganasan yang penting secara fungsional, seperti unchecked cell proliferation, survival, motility, dan invasiveness. Faktor kedua merupakan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan mikro (microenvironment) dari sel kanker tersebut. Dalam keadaan normal, lingkungan tersebut melindungi sel dengan menekan sel yang mengalami mutasi untuk tidak dapat berkembang serta tidak dapat untuk bertahan, ini sebabnya mengapa setiap sel kanker harus mempunyai kemampuan untuk merubah keadaan lingkungan tersebut. Salah satu variable yang dapat memicu untuk suatu lingkungan sel menjadi


(38)

pro-carsinogenic adalah usia. Hal tersebut terjadi melalui berbagai faktor, namun hingga saat ini mekanisme pasti belum begitu dimengerti. Salah satu mekanisme yang cukup dimenegrti saat ini adalah mengenai cellular senescence yang berperan dalam respon terhadap stress dan kerusakan. Hal tersebut juga menjadi dasar sebuah hipotesis mengenai hubungan kanker dengan adanya petologi degeneratif dari penuaan (degenerative pathologies of aging).

Cellular senescence merupakan suatu keadaan di mana kemampuan suatu sel untuk berproliferasi menjadi hilang secara irreversibel yang terjadi ketika suatu sel terkena stimulus onkogenik. Oleh karena hal tersebut, saat ini cellular senescence merupakan mekanisme supresif tumor yang potent dan paling efektif. Efek dari cellular senescence sangat bergantung kepada fungsi dari jalur p53 dan p16INK4a/pRB, di mana keduanya merupakan jalur tumor supresif yang paling kuat yang dikode oleh genom vetebrata (Judith et al,2011). Sehingga jika p53 ataupun pRB mengalami inaktivasi, sebagian besar sel manusia akan berproliferasi hingga telomere menjadi sangat pendek. Hal tersebut dapat membawa sel ke dalam keadaan yang tidak stabil, dan diketahui bahwa erosi telomer serta kromosom yang berada dalam kondisi tidak stabil dapat menyebabkan kematian sel. Pada beberapa sel lainnya, adanya mutasi dapat memungkinkan sel untuk menstabilkan telomer mereka sehingga dapat terus mengalami proliferasi namun dengan resiko besar untuk berkembang menjadi ganas. Hal yang sangat menarik adalah senescent cell mengalami peningkatan dengan bertambahnya usia di berbagai jaringan tubuh mammalia (Judith et al, 2001).

Senescence cell memperlihatkan tanda dan perubahan yang berbeda pada pola ekspresi gen, diantaranya adalah adanya peningkatan level mRNA yang terjadi secara kuat serta sekresi sejumlah sitokin, kemokin, growth factor, dan protease, yang selanjutnya dikenal dengan SASP (Senescence-associated secretory phenotype). SASP memungkinkan sel yang rusak untuk berkomunikasi menyebabkan sel


(39)

berkeliling pada jaringan. Oleh karena itu, SASP berperan dalam menstimulasi regenerasi atau perbaikan jaringan setelah mengalami kerusakan.

SASP juga mengandung sejumlah kemokin dan sitokin yang dapat memicu serta mengaktivasi sel imun sistem, karena senescence cell mengekspresikan ligan untuk sel-sel imun sitotoksik seperti sel NK. Respon ini mungkin juga berhubungan dengan mekanisme yang memfasilitasi pembersihan (clearance) senescent cell dari jaringan. Sesuai dengan pernyataan di atas, ditemukan bahwa senescent cell mengalami peningkatan frekuensi pada sel yang tua. Satu hal yang mendasari hal ini kemungkinan adalah sitem imun yang mengalami penuaan. Kondisi ini memperlihatkan pengurangan dan gangguan pada fungsi sel imun tersebut sehingga sistem imun menjadi kurang mampu untuk membersihkan (clearing) senescence cell dari jaringan.

Senescence cell secara jelas diperlihatkan menganggu struktur normal dari sebuah jaringan dan mendiferensiasikan fungsi pada model seluler dari suatu kompleks sel. Sebagai contoh senescence stroma fibroblast diperlihatkan menganggu organisasi normal dan fungsi khusus sel epitel payudara.


(40)

Gambar 2.21 Senesceny cells, berdasarkan adanya SASP, memungkinkan untuk terjadinya penyakit degeneratif ataupun neoplastik. Baik senescent cells ataupun sel-sel neoplastik meningkat sejalan dengan bertambahnya usia pada banyak jaringan. SASP dari senescent cells dapat menyebabkan sel normal dalam jaringan kehilangan fungsi optimal, memicu degenerasi jaringan. SASP juga dapat menyebabkan sel premaligna mengalami proliferasi dan mengadopsi lebih banyak fenotip yang bersifat maligna.

Sumber: Cellular Senescence: A link between cancer and age-related degenerative disease? (Judith et al, 2011)

Kemungkinan lain yang memperlihatkan bukti langsung yang berkontribusi terhadap age-related degeneration berasal dari studi pada tikus yang diketahui mengalami kekurangan ekspresi protein p16INK4a, yang diketahui sebelumnya mempunyai fungsi sebagai suppressor tumor.

Meskipun SASP memiliki kemampuan untuk memfasilitsi terjadinya suppresi pada sel tumor, bukti lain memperlihatkan bahwa SASP dapat memicu fenotipe ganas (malignant phenotype) pada kultur. Pada kultur tersebut, SASP merupakan penginduksi yang poten terhadap terjadinya transisi sel epitel ke mesenkim yang merupakan tahap penting dalam perkembangan karsinoma invasive dan metastasis (Judith et al, 2011).

Prediksi dari hal tersebut adalah adanya fungsi supresi tumorigenesis pada organisme yang lebih muda namun secara kontras justru mempunyai efek menghapus pada sel. Sehingga disimpulkan bahwa walaupun pada usia muda senescence cell melindungi dari sel kanker, justru pada usia tua senescene cell justru memicu terjadinya kanker (Judith et al ,2001).

Semua pernyataan di atas didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Farhat et al yang membagi sampel ke dalam tiga kelompok usia yakni 40-49 tahun, 50-69 tahun, dan 70-79 tahun. Dalam penelitiannya diperlihatkan peningkatan kejadian kanker payudara jenis invasive dengan peningkatan umur, dan sebaliknya


(41)

penurunan kejadian kanker payudara jenis non-invasive dengan bertambahnya usia. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mehmet et al juga memperlihatkan peningkatan kejadian kanker payudara jenis invasive dengan bertambahnya usia, hanya saja pada penelitian ini angka kejadian kanker payudara jenis non-invasive menunjukkan peningkatan dan penurunan yang tidak konsisten dengan bertambahnya usia.


(1)

Gambar 2.20 Skema pathogenesis molecular (molecular pathogenesis) kanker payudara

Sumber: Molecular Pathology of Breast Cancer (Allison, 2012)

Pada akhirnya, berbagai bukti terakhir yang menyoroti heterogenitas genetik dan molekular dari kanker, termasuk payudara, telah membawa konsep evolusi klonal pada kanker ke barisan depan mengenai teori perkembangan suatu kanker (Allison, 2012).

2.3. Usia dan Gambaran Histopatologi Kanker Payudara

Penuaan merupakan faktor resiko terbesar untuk terjadinya suatu penyakit, mulai dari kanker sampai neurodegeneratif. Berbagai patologi yang berhubungan


(2)

dengan usia pada umumnya berjalan secara kronik, hal tersebut menyebabkan morbiditas serius yang terjadi dalam waktu lama atau bahkan bisa menimbulkan kematian.

Untuk memulai memahami bagaimana suatu penyakit oleh karena usia berhubungan, telah terdapat dua kategori yang digunakan untuk membagi age-related-disease. Kategori pertama adalah mengenai penyakit-penyakit yang timbul karena adanya kehilangan fungsi. Penyebabnya adalah adanya kehilangan pada berbagai aspek mulai dari sel, fungsi subseluler, elemen jaringan, atapun fungsi jaringan. Penyakit neurodegeneratif dan beberapa penyakit kardiovaskular masuk ke dalam kategori ini. Kategori kedua adalah mengenai penyakit yang timbul karena bertambahnya fungsi. Bentuk paling umum dari kategori ini adalah hiperplasia, yang pada kasus tertentu menyebabkan timbulnya fungsi seluler baru. Bentuk paling dikenal dari kategori ini tentu saja kanker.

Dalam perkembangannya, suatu kanker sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal sel kanker dan faktor eksternal sel kanker. Adanya akumulasi mutasi somatik merupakan faktor internal sel kanker. Di mana biasanya kanker mempunyai tipikal untuk melindungi perubahan genetik pada sel itu sendiri. Hal tersebut dipercepat oleh adanya mutasi lebih awal yang dapat menginaktivasi genetik yang mempunyai fungsi kritis dalam mempertahankan kestabilan genomik. Selain itu, adanya mutasi tadi memberikan beberapa sifat keganasan yang penting secara fungsional, seperti unchecked cell proliferation, survival, motility, dan invasiveness.

Faktor kedua merupakan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan mikro

(microenvironment) dari sel kanker tersebut. Dalam keadaan normal, lingkungan tersebut melindungi sel dengan menekan sel yang mengalami mutasi untuk tidak dapat berkembang serta tidak dapat untuk bertahan, ini sebabnya mengapa setiap sel kanker harus mempunyai kemampuan untuk merubah keadaan lingkungan tersebut. Salah satu variable yang dapat memicu untuk suatu lingkungan sel menjadi


(3)

pro-carsinogenic adalah usia. Hal tersebut terjadi melalui berbagai faktor, namun hingga saat ini mekanisme pasti belum begitu dimengerti. Salah satu mekanisme yang cukup dimenegrti saat ini adalah mengenai cellular senescence yang berperan dalam respon terhadap stress dan kerusakan. Hal tersebut juga menjadi dasar sebuah hipotesis mengenai hubungan kanker dengan adanya petologi degeneratif dari penuaan (degenerative pathologies of aging).

Cellular senescence merupakan suatu keadaan di mana kemampuan suatu sel untuk berproliferasi menjadi hilang secara irreversibel yang terjadi ketika suatu sel terkena stimulus onkogenik. Oleh karena hal tersebut, saat ini cellular senescence

merupakan mekanisme supresif tumor yang potent dan paling efektif. Efek dari

cellular senescence sangat bergantung kepada fungsi dari jalur p53 dan p16INK4a/pRB, di mana keduanya merupakan jalur tumor supresif yang paling kuat yang dikode oleh genom vetebrata (Judith et al,2011). Sehingga jika p53 ataupun pRB mengalami inaktivasi, sebagian besar sel manusia akan berproliferasi hingga telomere menjadi sangat pendek. Hal tersebut dapat membawa sel ke dalam keadaan yang tidak stabil, dan diketahui bahwa erosi telomer serta kromosom yang berada dalam kondisi tidak stabil dapat menyebabkan kematian sel. Pada beberapa sel lainnya, adanya mutasi dapat memungkinkan sel untuk menstabilkan telomer mereka sehingga dapat terus mengalami proliferasi namun dengan resiko besar untuk berkembang menjadi ganas. Hal yang sangat menarik adalah senescent cell

mengalami peningkatan dengan bertambahnya usia di berbagai jaringan tubuh mammalia (Judith et al, 2001).

Senescence cell memperlihatkan tanda dan perubahan yang berbeda pada pola ekspresi gen, diantaranya adalah adanya peningkatan level mRNA yang terjadi secara kuat serta sekresi sejumlah sitokin, kemokin, growth factor, dan protease, yang selanjutnya dikenal dengan SASP (Senescence-associated secretory phenotype).


(4)

berkeliling pada jaringan. Oleh karena itu, SASP berperan dalam menstimulasi regenerasi atau perbaikan jaringan setelah mengalami kerusakan.

SASP juga mengandung sejumlah kemokin dan sitokin yang dapat memicu serta mengaktivasi sel imun sistem, karena senescence cell mengekspresikan ligan untuk sel-sel imun sitotoksik seperti sel NK. Respon ini mungkin juga berhubungan dengan mekanisme yang memfasilitasi pembersihan (clearance) senescent cell dari jaringan. Sesuai dengan pernyataan di atas, ditemukan bahwa senescent cell

mengalami peningkatan frekuensi pada sel yang tua. Satu hal yang mendasari hal ini kemungkinan adalah sitem imun yang mengalami penuaan. Kondisi ini memperlihatkan pengurangan dan gangguan pada fungsi sel imun tersebut sehingga sistem imun menjadi kurang mampu untuk membersihkan (clearing) senescence cell

dari jaringan.

Senescence cell secara jelas diperlihatkan menganggu struktur normal dari sebuah jaringan dan mendiferensiasikan fungsi pada model seluler dari suatu kompleks sel. Sebagai contoh senescence stroma fibroblast diperlihatkan menganggu organisasi normal dan fungsi khusus sel epitel payudara.


(5)

Gambar 2.21 Senesceny cells, berdasarkan adanya SASP, memungkinkan untuk terjadinya penyakit degeneratif ataupun neoplastik. Baik senescent cells ataupun sel-sel neoplastik meningkat sejalan dengan bertambahnya usia pada banyak jaringan. SASP dari senescent cells dapat menyebabkan sel normal dalam jaringan kehilangan fungsi optimal, memicu degenerasi jaringan. SASP juga dapat menyebabkan sel premaligna mengalami proliferasi dan mengadopsi lebih banyak fenotip yang bersifat maligna.

Sumber: Cellular Senescence: A link between cancer and age-related degenerative disease? (Judith et al, 2011)

Kemungkinan lain yang memperlihatkan bukti langsung yang berkontribusi terhadap age-related degeneration berasal dari studi pada tikus yang diketahui mengalami kekurangan ekspresi protein p16INK4a, yang diketahui sebelumnya mempunyai fungsi sebagai suppressor tumor.

Meskipun SASP memiliki kemampuan untuk memfasilitsi terjadinya suppresi pada sel tumor, bukti lain memperlihatkan bahwa SASP dapat memicu fenotipe ganas (malignant phenotype) pada kultur. Pada kultur tersebut, SASP merupakan penginduksi yang poten terhadap terjadinya transisi sel epitel ke mesenkim yang merupakan tahap penting dalam perkembangan karsinoma invasive

dan metastasis (Judith et al, 2011).

Prediksi dari hal tersebut adalah adanya fungsi supresi tumorigenesis pada organisme yang lebih muda namun secara kontras justru mempunyai efek menghapus pada sel. Sehingga disimpulkan bahwa walaupun pada usia muda senescence cell

melindungi dari sel kanker, justru pada usia tua senescene cell justru memicu terjadinya kanker (Judith et al ,2001).

Semua pernyataan di atas didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Farhat et al yang membagi sampel ke dalam tiga kelompok usia yakni 40-49 tahun, 50-69 tahun, dan 70-79 tahun. Dalam penelitiannya diperlihatkan peningkatan kejadian kanker payudara jenis invasive dengan peningkatan umur, dan sebaliknya


(6)

penurunan kejadian kanker payudara jenis non-invasive dengan bertambahnya usia. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mehmet et al juga memperlihatkan peningkatan kejadian kanker payudara jenis invasive dengan bertambahnya usia, hanya saja pada penelitian ini angka kejadian kanker payudara jenis non-invasive menunjukkan peningkatan dan penurunan yang tidak konsisten dengan bertambahnya usia.