Prevalensi Kejadian Insomnia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Univesitas Sematera Utara Tahun 2015

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tidur
2.1.1.Definisi Tidur
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut
dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang
lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma, yang merupakan keadaan bawah
sadar saat orang tersebut tidak dapat dibangunkan (Guyton & Hall, 2007).
Tidur merupakan suatu fenomena yang umum dimana terjadi keadaan
kehilangan kesadaran yang bersifat sementara dan merupakan suatu keadaan
fisiologik aktif yang ditandai dengan adanya fluktuasi yang dinamik pada
parameter susunan saraf pusat, hemodinamik, ventilasi dan metabolik. Kegunaan
tidur belum sepenuhnya diketahui, tetapi tidur merupakan proses penting dalam
konsolidasi ingatan serta proses penyembuhan (Bae and Schaefer, 2005).
Menurut Schupp dan Hanning (2003), tidur adalah keadaan tidak sadarkan
diri yang reversibel dimana otak kurang responsif terhadap rangsangan eksternal.
Saat tidur kita akan mengalami buta fungsional dengan tidak ada respon terhadap
rangansangan visual dan penurunan ambang respon terhadap rangsangan

pendengaran. Bayi bisa mendengar suara hingga 100 dB, yang telah melewati
batas perlindungan untuk karyawan, tanpa terbangun. Pada orang dewasa, proses
selektif dari fungsi kortikal akan berlangsung ketika tertidur. Sebagai contoh,
seorang ibu terbangun karena bayinya menangis tapi tidak terbangun karena suara
keras lainnya.
Tidur adalah keadaan pikiran dan tubuh yang berbeda dimana tubuh
beristirahat secara tenan, aktivitas metabolisme tubuh menurun, dan pikiran
menjadi tidak sadar terhadap dunia luar (Chopra, 2003).

6

2.1.2. Fisiologi Tidur
Tidur diperkirakan disebabkan oleh proses penghambatan aktif, hal ini
terbukti bahwa pemotongan batang otak setinggi regio midpontil menghasilkan
otak dengan korteks yang tidak pernah tidur. Dengan kata lain, ada beberapa pusat
yang terletak dibawah ketinggian mid pontil pada batang otak,yang diperlukan
untuk menyebabkan tidur dengan cara menghambat bagian-bagian otak lainnya
(Guyton & Hall, 2007).
Chawla (2014), keadaan tidur dan terjaga prosesnya diatur secara ketat.
Hubungan timbal balik beberapa area otak menghasilkan konsolidasi periode

keadaan terjaga dan keadaan tidur yang dipengaruhi cahaya lingkungan pada
waktu tertentu dari siklus 24 jam.
a. Rangsangan area otak untuk keadaan terjaga
Area otak yang penting untuk keaadan terjaga terdiri dari
beberapa kelompok nucleus berpusat disekitar
reticularis

medula

dan

perluasan

ke

pons dan formatio

hipotalamus.

Meskipun


neurotransmiter yang dihasilkan beragam, kelompok sel ini saling
berhubungan melalui penyebaran proyeksi naik ke otak depan dan
proyeksi turun ke daerah otak yang terlibat dalam pengaturan keaadaan
bangun-terjaga. Neurotransmitter yang terlibat bersama kelompok
nucleus yang menghasilkan mereka adalah sebagai berikut (Gambar
2.1.) :
o

Histamin – sel histaminergik di tuberomammillary nucleus
(TMN) di posterior hypothalamus

o

Norepineprin –neuron penghasil norepineprin di locus
coeruleus (LC)

o

Serotonin – neuron serotonin di dorsal raphe nuclei (DRN)


o

Dopamin – neuron dopamin di ventraltegmental area (VTA)

o

Asetilkolin – neuron asetilkolin di basal otak depan

7

Gambar 2.1. Area otak yang merangsang keadaan terjaga
(Chawla,2014).

b. Rangsangan area otak untuk keadaan tidur
Bagian anterior hipotalamus termasuk ventrolateral preoptic
nucleus (VLPO), mengandung gamma-aminobutyric acid (GABA) dan

peptide galanin, yang mana menghambat dan merangsang untuk
keadaan tidur. (Gambar 2.2.)


Gambar 2.2. Area otak yang menghambat keadaan terjaga
(Chawla,2014).

Saper, Scammell dan Lu (2005), membuat model saklar flip-flop untuk
regulasi tidur-terjaga. Siklus tidur-terjaga mengandung dua set komponen
inhibitor bersama. Sisi tidur adalah VLPO dan sisi terjaga terdiri dari TMN
histaminergik neuron dan regio sistem arousal batang otak (DRN serotonergik

8

neuron, VTA dopaminergik neuron dan LC noradrenergik neuron). Setiap sisi
menginhibisi sisi lainnya. Contohnya, ketika salah satu sisi sedikit lebih kuat, sisi
yang lemah akan meningkat inhibisinya. Model saklar flip-flop memungkinkan
untuk perubahan yang cepat. (Gambar 2.3.)

Gambar 2.3. Model saklar flip-flop.
(Chawla,2014)

2.1.3. Fase dan Siklus Tidur

Dalam tidur, terdapat dua tahap yang terpisah berdasarkan parameter
fisiologis. Kedua tahap tersebut adalah Rapid Eye Movement (REM) dan NonREM (NREM) (Carskadon dan Dement, 2011).

TidurNREM secara konvensional dibagi menjadi empat tahap ditetapkan
sepanjang satu sumbu pengukuran pada electroencephalogram (EEG). Pola EEG
dalam tidur NREM umumnya digambarkan sebagai sinkron, dengan bentuk
gelombang dengan karakteristik sebagai spindle sleep, K-kompleks dan tegangan
tinggi.Mendengkur terjadi pada waktu tidur NREM. Empat tahap dari tidur
NREM kira-kira sejajar dengan kedalaman tidur, dengan ambang batas arousal
terendah pada tahap 1 dan tertinggi pada tahap 4 (Carskadon dan Dement, 2011).

9

Menurut Rama, Cho dan Kushida (2009) Tidur NREM merupakan 7580% dari total waktu tidur, pembagian tidur NREM adalah :

 Tahap 1 (N1) : 3-8% dari total waktu tidur. Tidur tahap ini merupakan
transisi dari sadar penuh ke tidur. Pada tidur N1, terdapat gelombang
alpha, yang mana karakterisitiknya sadar penuh, low-voltage dan
mengecil, dan munculnya bentuk mixed frequency.


 Tahap 2 (N2) : dimulai setelah 10-12 menit setelah tidur tahap 1 dan
merupakan 45-55% dari total waktu tidur. Karakteristik dari EEG tidur
tahap 2 adalah sleep spindles dan K-complexes. Sleep-spindle adalah
gelombang 12 sampai 14 Hz terbentuk minimal 0,5 detik dan memiliki
bentuk tampilan seperti “spindle”. K-complex adalah gelombang yang
memiliki dua komponen, sebuah gelombang negatif diikuti gelombang
positif. Keduanya berlangsung dalam waktu 0,5 detik. Gelombang delta
(0,5-4 Hz) juga terlihat pada tidur tahap 2.

 Tahap 3 dan 4 (N3) : mencakup 15-20% total waktu tidur dan
merupakan bagian dari tidur sleep-wave. Tidur N3 digambarkan
memiliki lebih dari 20% amplitudo tinggi, aktivitas slow-wave. Tonus
otot berkurang dibandingkan tidur tahap 1 dan keadaan terjaga.

Tidur REM atau disebut juga paradoxical sleep, ditandai dengan gerakan
bola mata cepat di bawah kelopak mata yang tertutup. Pada waktu REM, orang
tidak lagi mendengkur, nafas menjadi tak teratur, aliran darah ke otak bertambah
dan temperatur tubuh naik, disertai banyak gerakan tubuh. Gelombang listrik
tampak seperti tingkat 1 dari tidur NREM. Tiap proses tidur melewati 5 tahap ini
dalam 1 siklus, dan tiap siklus berlangsung kira-kira 90 menit (Atmadja, 2010).

Tidur rapid eye movement mencakup 20-25% total waktu tidur. Tidur
REM dimulai 60-90 menit setelah onset tidur NREM. Gambaran karakteristik
EEG pada tidur REM adalah low-voltage, yaitu gabungan frekuensi dari slowalpha (1-2 Hz lebih kecil dari keadaan terjaga) dan gelombang theta (Rama, Cho

dan Kushida, 2009).

10

Orangdewasa yang sehat bila sudah tertidur akan masuk ke dalam tingkat
1, diikuti tingkat 2,3 dan 4, kemudian kembali lagi ke tingkat 1 dan setelah 2
periode, siklus itu akan lengkap setelah diikuti oleh periode REM antara 5 sampai
15 menit. Putaran akan berlangsung 4-5 kali dengan penambahan periode REM
pada tahap berikutnya, disertai pengurangan periode NREM (terutama pada
tingkat 3 dan 4). Pada orang yang tidur selama 8 jam, akan menjalani 2 jam tidur
REM dan 6 jam tidur NREM (Atmadja, 2010).

Gambar 2.4. Pola EEG pada tahap siaga dan tidur.
(Guyton & Hall, 2007)

2.1.4. Pola Tidur Berdasarkan Usia

Pola tidur berubah selama kita hidup. Bayi baru lahir menghabiskan lebih
dari 16 jam dengan perubahan dari tidur ke terjaga dilakukan dalam waktu cepat.
Pada umur 3 bulan, bayi tidur selama malam hari dan tidur siang dua kali atau
lebih. Ketika anak memasuki usia sekolah tidur dibagi pada malam hari dan tidur
siang sekali. Dan ketika menginjak remaja tidur siang tidak dilakukan lagi (Rama,
Cho dan Kushida, 2009).
Pola tidur slow-wave dan tidur REM juga berubah selama kita hidup. Tidur
slow-wave berkurang setelah remaja dan terus berkurang mengikuti pertambahan

11

usia. Tidur REM menurun dari lebih dari 50% saat lahir sampai 20-25% saat
remaja dan dewasa muda (Rama, Cho dan Kushida, 2009).

Gambar 2.5. Pola Tidur Berdasarkan Usia.
(Brown, 2009)

2.1.5. Akibat dari Kekurangan Tidur
a. Ganguan fungsi kognitif
Banyak


bukti

menunjukkan

kekurangan

tidur

dapat

mempengaruhi performa dari berpikir dan motorik. Salah satu
penelitian menunjukkan bahwa orang yang tetap terjaga dalam waktu
19 jam mempunyai performa dan kesdaran yang lebih buruk dari orang
mabuk (Kuo, 2001). Penelitian lain menemukan bahwa setelah
kekurangan tidur satu malam, skor dari subjek mengalami penurunan
dalam tes judgment, simple reaction time, memory explicit, dan
membaca kata terbalik (National Sleep Foundation Backgrounder,
2006).
b. Gangguan mood

Banyak literatur mengatakan kekurangan tidur dapat mepengaruhi
mood. Kita semua tahu bagaimana mudah tersinggungnya kita jika kita
tidak tidur satu malam. Bukti-bukti medis menghubungkan kurang tidur
dengan kemarahan, kecemasan, dan kesedihan. Peneliti Universitas
Pennsylvania menemukan bahwa ketika subjek penelitian hanya

12

diperbolehkan tidur 4,5 jam setiap malam dalam satu minggu, mereka
melaporkan merasa lebih stress, marah, sedih, dan kelelahan pikiran,
dengan skor mood dan semangat menurun sejalan dengan waktu tes.
Ketika subjek penelitian diberikan waktu tidur yang cukup, skor mood
mereka meningkat secara dramatis (Dement & Vaughan, 1999).
c. Hormon dan Metabolisme
Tidur adalah waktu ketika tubuh mensekresi banyak hormon
penting yang mempengaruhi pertumbuhan, regulasi energi, dan kontrol
metabolik. Sebagai contoh, kadar hormon stress cortisol dalam darah,
yang dapat menyebabkan keaadaa terjaga, meningkat pada akhir siklus
tidur. Growth Hormone, yang berkontribusi untuk pertumbuhan anak
dan membantu meregulasi masa otot pada dewasa, juga disekresikan
pada saat tidur. Follicle Stimulating Hormon dan Luteinizing Hormon,
keduanya berfungsi dalam hal reproduksi, juga dilepas saat tidur:
pelepasan saat tidur dari LH diperkirakan sebagai awal dari pubertas.
Lebih lanjut, siklus tidur mempengaruhi sekresi hormon yang berfungsi
dalam hal nafsu makan dan berat badan. Kekurangan tidur memiliki
potensi besar yang berdampak pada obesitas dan diabetes, yang mana
berkembang proporsi epideminya dalam tahun-tahun belakangan
(Kryger & Zee, 2006).
d. Obesitas dan Diabetes
Peneliti telah mencari akibat kekurangan tidur terhadap beberapa
hormon yang mempengaruhi kecenderungan untuk obesitas. Sebagi
contoh, menurunnya tidur slow-wave pada remaja dihubungkan dengan
penurununan produksi GH (Van Cauter, Leproult dan Plat, 2000).
Pertumbuhan masalah obesitas juga dihubungkan dengan
diabetes. Penelitian tahun 1999 di Universitas Chicago menemukan
bahwa kekurangan tidur yang diakumulasikan dalam beberapa hari
dapat mengganggu metabolisme glukosa dan menurunkan kadar
hormon. Setelah 11 remaja hanya dibolehkan tidur selama 4 jam dalam
beberapa malam, kadar gula darah mereka tidak terkontrol, dalam

13

beberapa kasus kondisi pre-diabetic, mendorong tubuh mereka
menghasilkan lebih banyak insulin (Spiegel, Leprout dan Van Cauter,
1999).
e. Sistem Imun
Bukti terbaik untuk dampak kekurang tidur pada sistem kekebalan
tubuh berasal dari sebuah penelitian terbaru menunjukan bahwa
efektifitas vaksinasi flu sangat tertunda pada individu yang kurang tidur
(Kryger & Zee, 2006).
Vaksin flu diberikan kepada orang yang tidurnya dibatasi hanya
empat jam per malam untuk empat malam terus menerus dan kepada
orang yang tidurnya normal. Sepuluh hari setelah vaksinasi, mereka
yang kekurangan tidur secara substansial memiliki respon imun yang
rendah dibandingkan mereka yang tidurnya cukup (Spiegel, Sheridan
dan Van Cauter, 2002).
f. Penyakit Kardiovaskular
Berkembangnya banyak bukti tentang hubungan kekurangan tidur
jangka panjang dan pendek dengan penyakit kardiovaskular, termasuk
peningkatan tekanan darah peningkatan resiko stroke dan ditambah
gangguan kesehatan jangka panjang lainnya. Kekurangn tidur telah
dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah pada malam hari yang
berlangsung hingga hari selanjutnya (Rosansky, Menachery, dan
Whittman, 1996).
Bukti lain menyimpulkan hubungan antara terlalu banyak atau
terlalu sedikit tidur dengan peningkatan resiko penyakit jantung koroner
pada wanita (Ayas, White, dan Manson, 2003).
Tingginya prevalensi sleep apnea pada orang yang mengalami
masalah kardiovaskular. Orang dengan gangguan tidur meningkatkan
resiko hipertensi, juga kematian mendadak karena penyebab jantung
pada malam hari (Gami, Howard, Olson, dan Somers, 2005).

14

2.2. Insomnia
2.2.1. Definisi Insomnia
ICSD-2 (2005) mendefinisikan insomnia sebagai kesulitan berulang
dengan inisiasi, durasi, konsolidasi atau kualitas tidur yang terjadi meskipun
waktu dan kesempatan untuk tidur cukup dan mengakibatkan beberapa bentuk
gangguan aktivitas pada siang hari.
Insomnia didefinisikan sebagai keluhan kesulitan untuk memulai tidur.
kesulitan mempertahankan tidur, atau

mengalami

nonrestorative sleep, dan

biasanya dihubungkan dengan masalah pada aktivitas siang hari (Stepanski,
2009).

2.2.2. Klasifikasi Insomnia
a. Berdasarkan penyebabnya (Moul & Buysse, 2009)
i. Insomnia Primer
Insomnia sebagai gangguan yang berdiri sendiri, dimana tidak ada
penyebab lain seperti : gangguan psikiatri dan pengobatan. ICSD 2
membagi insomnia primer menjadi:
- Psychophysiological insomnia

: ketika faktor kondisi

psikologis yang menjadi stimulus terjaga, jadi menyebabkan
gangguan pada tidur
- Idiopathic insomnia : insomnia yang onsetnya ketika kanakkanak yang terus dialami hingga dewasa, biasanya karena ada
gangguan neurofisiologis pada sistem saraf pusat
- Paradoxical insomnia : keluhan pasien mengalami insomnia
tapi hasil polisomnografi menunjukan tidur yang normal
ii. Insomnia sekunder
Gangguan psikiatri, seperti depresi dan cemas adalah contoh dari
gangguan utama yang dihubungkan dengan insomnia sekunder.
Hubungan komorbiditas antara insomnia dan depresi biasanya kuat,
pasien dengan insomnia berat delapan kali lebih mudah mendapat

15

depresi dari pasien tanpa insomnia. Kejadian insomnia juga tinggi
pada pasien dengan gangguan medis.
b. Berdasarkan manifestasi klinis (American Psychiatric Association,
2013)
i.

Sleeponsetinsomnia (atauinitial insomnia)dengan gejala kesulitan

memulai tidur saat waktu tidur.
ii.

Sleep maintenance insomnia (atau middle insomnia) dengan

gejala sering terbangun ketika malam hari yang terus menerus.
iii.

Late insomnia dengan gejala terbangun terlalu pagi dan sulit

untuk tidur kembali.
iv.

Nonrestorative sleep karena kurangnya kualitas tidur dengan

gejala merasa tidak bugar ketika bangun tidur meskipun waktu
untuk tidur cukup.
c. ICSD 2
The International Classification of Sleep Disorders, 2nd
Edition (ICSD-2) membagi insomnia dalam 11 kategori, sebagai
berikut:
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
ix.
x.
xi.

Adjustment insomnia (insomnia akut)
Psychophysiologic insomnia ( insomnia primer)
Paradoxical insomnia
Insomnia karena kondisi medis
Insomnia karena gangguan mental
Insomnia karena pengobatan atau penyalahgunaan obay
I nsomnia tidak spesifik
Sleep hygiene yang tidak adekuat
Idiopathic insomnia
Behavioral insomnia of childhood
Primary sleep disorders causing insomnia

2.2.3. Etiologi Insomnia
Insomnia sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, dan yang
palingbanyak menjadi penyebab insomnia adalah masalah psikologi. Berikut
adalah beberapafaktor yang merupakan penyebab insomnia (Susilo &Wulandari,
2011):

16

a. Faktor Psikologi
Stres yang berkepanjangan sering menyebabkan insomnia kronis.
Tingkat tuntutan kerja yang tinggi atau keinginan yangtidak tercapai,
dan berita-berita kegagalan sering memicuterjadinya insomnia transient.
Orang-orang yang memiliki masalah-masalah stres, sering kali
mengalami insomnia.
b. Problem Psikiatri
Depresi banyakg ditemukan di masa sekarang.Banyak pola hidup
instan yang dapat memicu depresi. Tuntutan prestasiyang semakin
tinggi dan gaya hidup yang tidak sehat, semakinmembuat orang terusmenerus berlomba menjadi yang terbaik. Mereka tanpa sadar
seringtidak peduli pada kesehatannya.Akibatnya, semakin banyak orang
yang terus-menerus berpikir.Apabila sudah demikian, mereka akan
mengalami gangguan tidur.Jika mereka sering bangun lebih pagi dari
biasanya pada kondisiyang tidak diinginkan, itu merupakan gejala
paling umum dariawal depresi. Selain itu, perasaan cemas yang
berlebihan, neorosa(gangguan jiwa), dan gangguan psikologi lainnya
sering menjadipenyebab dari gangguan tidur.
c. Sakit Fisik
Pada saat seseorang mengalami sakit fisik, sebenarnyaproses
metabolisme dan kinerja di dalam tubuh tidak berjalannormal atau
terjadi gangguan. Banyak orang yang sakit, otomatistidak dapat tidur
dengan nyenyak dan sering kurang tidur.
d. Faktor Lingkungan
Lingkungan memegang peranan besar terhadap terjadinyainsomnia
seseorang. Lingkungan yang bising, seperti lingkunganlintasan pesawat
terbang, lintasan kereta api, pabrik dengan mesinmesinyang terus
beroperasi sepanjang malam atau suara TV yang keras dapat menjadi
faktor penyebab sulit tidur.

17

e. Gaya Hidup
Gaya

hidup

yang

tidak

sehat

juga

dapat

memicu

munculnyainsomnia. Kebiasaan mengonsumsi alkohol, rokok, kopi
(kafein),obat penurun berat badan, jam kerja yang tidak teratur, juga
dapatmenjadi faktor penyebab sulit tidur.
f. Tidur Siang Berlebihan
Banyak orang terbiasa dengan tidur siang setiap harinya.Mungkin
mereka memang memerlukan istirahat total sekitar 10-30menit dengan
tidur siang. Hal ini bisa disebut normal atau wajar.Mungkin karena
kelelahan bekerja sehingga butuh waktu tidursiang sejenak. Akan tetapi,
ada banyak orang yang berlebihan dalam tidur siang, sehingga
menyebabkan mereka mengalami kesulitan tidur pada malam hari.

2.2.4. Faktor yang mempengaruhi berkembangnya Insomnia
Menurut Stepansky (2009) ada tiga faktor yang mempengaruhi
berkembangnya insomnia yaitu :
 Faktor Predisposisi

Adanya faktor predisposisi disimpulkan dari berbedanya ambang tiap
individu untuk mengalami insomnia. Mekanisme yang spesifik belum
dijelaskan. Teorinya sbb:

 Physiological Hyperarousal
Individu yang mengalami insomnia dibandingkan dengan
orang normal, mengalami peningkatan denyut jantung karena
stress, peningkatan laju metabolisme, peningkatan variabilitas
denyut jantung,

peningkatan aktivitas beta pada EEG,

peningkatan sekresi ACTH, peningkatan metabolisme glukosa
pada otak selama tidur dan terjaga, dan peningkatan kewaspadaan
meskipun tidur siang. Penelitian menggunakan PET scans
menunjukkan sedikit perbedaan metabolisme glukosa otak antara
tidur dengan terjaga pada orang yang mengalami insomnia
dibandingkan orang yang tidurnya normal. Namun belum dapat

18

dijelaskan apakah hyperarousal sendiri adalah penyebab atau
akibat dari insomnia. Tambahan untuk mengukur physiological
hyperarousal, ada bukti menunjukkan bahwa pasien insomnia

cenderung meningkat cognitive arousal atau emotional arousal.

 Penurunan rangsang homeostasis untuk tidur

Inisiasi tidur, dan keseluruhuan regulasi siklus tidur-terjaga,
dijelaskan berhubungan dengan homeostasis dan mekanisme
sirkadian.

Pasien

dengan

insomnia

tidak

menunjukkan

peningkatan yang sama pada tidur slow-wave karena kekurangan
tidur seperti pada orang normal, konsisten dengan penurunan
rangsang

homeostasis.

Penurunan

rangsang

untuk

tidur

diperkirakan mempersulit untuk inisiasi dan mempertahankan
tidur pada kondisi kekurangan tidur. Penurunan rangsang untuk
tidur

dapat

berinteraksi

dengan

faktor

presipitasi

yang

menyebabkan insomnia kronis.
 Faktor presipitasi
Faktor presipitasi adalah segala gangguan atau kondisi yang tipikal
yang diperkirakan sebagai penyebab insomnia sekunder. Faktor
presipitasi yang sering termasuk gangguan medis, gangguan psikiatri,
faktor lingkungan, efek pengobatan, gangguan tidur primer, atau
perubahan irama sirkadian yang secara negatif mempengaruhi tidur.

 Faktor presipitasi dapat berupa kejadian akut yang tidak
menyenangkan , perubahan lingkungan yang akut (contoh, suara
atau cahaya berlebihan pada kamar tidur, atau tidur dilingkungan
yang baru), atau perubahan jadwal tidur (contoh, jet lag atau kerja
shift).

 Kondisi medis dan psikiatri yang kronis (contoh, nyeri, sesak
nafas, gangguan neurodegeneratif, gagal ginjal, hipertiroid, dan
gangguan mood) dapat mencetuskan insomnia.

19

 Obat-obatan juga mempengaruhi kejadian insomnia, contohnya
anti depresan, steroid, beta blocker, bronchodilator, dan
dekongestan.

 Gangguan tidur primer menyebabkan insomnia termasuk restless
leg syndrome, periodic limb movement disorder, dan sleepdisordered breathing. Semua gangguan tidur primer lebih banyak

dialami dengan bertambahnya usia.
 Faktor Perpetuasi
Faktor perpetuasi adalah perubahan kebiasaan dan perilaku yang
terjadi ketika sesorang mengalami gangguan tidur selama waktu
tertentu.

 Contohnya termasuk jadwal tidur yang tidak teratur terusmenerus, menghabiskan banyak waktu di tempat tidur untuk
menambah waktu tidur, tidur siang berlebihan, dan melakukan
aktivitas berlebihan pada malam hari. Perubahan ini pada orang
sering disebabkan insomnia dalam usahanya mendapatkan waktu
tidur dan istirahat. Meskipun, perubahan ini dapat meringankan
gejala dalam jangka pendek, tapi dapat menyebabkan insomnia
terus menerus dalam jangka panjang.

 Perubahan perilaku yang terjadi pada insomnia temasuk lebih
suka tidur pada siang hari, dan juga ketakutan akan tidak bisa
tidur dan gangguan pada aktivitas siang hari. Perubahan ini
memicu peningkatan ketegangan saat waktu tidur dan juga
terbangun ketika malam hari.

 Pasien juga mengalami ketakutan yang irasional karena efek dari
insomnia

(contoh,

ketidakmampuan

untuk

tidur

dapat

menyebabkan kehilangan pekerjaan bahkan kematian).
Pada semua individu memiliki faktor predisposisi untuk insomnia dan
insomnia terjadu ketika individu dengan faktor predisposisi terpajan faktor
presipitasi. Individu yang memiliki faktor predisposisi yang tinggi akan

20

mengalami insomnia dengan sedikit faktor presipitasi, sedangkan yang memiliki
faktor predisposisi yang rendah akan mengalami insomnia jika terpajan faktor
presipitasi yang cukup signifkan. Dalam perjalanannya, faktor presipitasi akan
digantikan faktor perpetuasi yang mempertahankan insomnia (Stepansky, 2009).

2.2.5. Perbedaan jenis kelamin dalam kejadian insomnia
Banyak penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan jenis kelamin dalam
kejadian insomnia dengan prevalensi lebih tinggi pada wanita. Namun, faktor
yang berkontribusi terhadap perbedaan-perbedaan ini belum jelas. Lindberg et al.
(1997), meneliti hubungan perbedaan gender insomnia dan status psikologis
berdasarkan jenis kelamin responden dan mendapatkan hasil prevalensi
kecemasan lebih tinggi di kalangan wanita.
Nishijawa et al (1997), membuktikan otak wanita memiliki kadar serotonin
yang lebih rendah dibandingkan otak pria. Kadar serotonin yang rendah akan
membuat wanita lebih rentan terhadap beberapa jenis psikopatologi, seperti
depresi, bunuh diri, agresif, cemas, insomnia, dan bulimia.
Perbedaan strategi untuk menghadapi stress (coping) antara kedua gender
dimana wanita memiliki mekanisme coping “tend-and-befriend” sedangkan pada
pria “fight-or-flight” juga menyebabkan perbedaan kejadian insomnia antara pria
dan wanita (Taylor, 2000).